Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia.

Peranan pokok pangan adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup,

melindungi dan menjaga kesehatan, serta berguna untuk mendapat energi yang

cukup untuk bekerja secara produktif. Makanan dan minuman yang

dikonsumsi manusia haruslah makanan dan minuman yang baik dan

bermanfaat bagi tubuh, serta halal untuk dikonsumsi.

Kebutuhan pangan setiap orang berbeda-beda. Konsumsi pangan harus

disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu. Faktor-faktor yang

harus diperhatikan untuk menentukan kebutuhan tubuh antara lain adalah:

tahap-tahap perkembangan kehidupan (umur), jenis kegiatan yang dilakukan,

tinggi dan berat badan, status kesehatan, keadaan fisiologis tertentu (misalnya

hamil, menyusui), dan nilai gizi pangan yang dikonsumsi. Kaitan konsumsi

pangan dengan kesehatan sangat erat dan sangat sulit untuk dipisahkan, karena

konsumsi pangan yang keliru akan mengakibatkan timbulnya gizi salah

(malnutrisi), baik gizi kurang.1

Komposisi makanan yang dikonsumsi haruslah seimbang. Makanan

yang sehat adalah makanan yang memiliki komposisi gizi yang lengkap yang

1
Sagung Seto, Pangan dan Gizi Ilmu Teknologi dan Perdagangan, Institute
Pertanian Bogor, Bogor, 2001
2

terdiri dari karbohidrat, serat, protein, baik yang bersumber dari hewan

maupun tumbuhan. Sumber protein hewani salah satunya adalah daging.

Daging merupakan bahan makanan yang mengandung gizi tinggi yang baik

untuk tubuh manusia, karena kandungan zat gizinya tersebut, daging juga

merupakan media atau tempat yang sangat baik untuk pertumbuhan dan

perkembangbiakan kuman-kuman, baik kuman yang dapat menyebabkan

pembusukan daging ataupun kuman yang dapat menyebabkan gangguan bagi

kesehatan manusia. Kuman-kuman pada daging tersebut dapat berasal dari

hewan masih hidup (karena hewan hidup telah mengandung kuman) atau

berasal dari pencemaran mulai hewan dipotong sampai saat daging siap

dikonsumsi. Sumber pencemaran kuman-kuman tersebut antara lain hewan

hidup, tangan manusia, insekta, air, peralatan dan udara.2

Beberapa hal penting yang perlu dikhawatirkan dalam produk asal

hewan adalah adanya kontaminasi atau pencemaran mikroba, residu obat

hewan seperti produk biologis, farmasetik serta premiks dan bahan kimia serta

pemakaian bahan pengawet tertentu yang merugikan konsumen.

Pemerintah melalui bidang kesehatan masyarakat veteriner sesuai

kewenangannya telah mengatur pemakaian berbagai obat hewan dan

menyiapkan produk asal hewan dan hasil olahannya yang layak untuk

dikonsumsi manusia serta mengatur pengawasan dan pembinaannya sehingga

tidak berdampak buruk bagi masyarakat sebagai konsumen. Penyediaan daging

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani yang terus


2
http://higiene-pangan.blogspot.com/2008/11/daging-yang-baik-dan-sehat.html,
diakses pada tanggal 15 April 2016
3

meningkat khususnya di pasar tradisional yang hingga saat ini belum banyak

mendapat perhatian, sehingga aspek kualitas daging pada tahap ini cenderung

terabaikan. Padahal situasi pasar tradisional dengan segala kegiatan dan kondisi

lingkungannya justru memiliki potensi kontaminasi yang tinggi terhadap daging yang

dijajakan.

Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang relatif murah

dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi,

daging kerbau dan daging kambing, sehingga banyak dikonsumsi oleh

masyarakat.3 Tingginya permintaan daging ayam yang berakibat harga jualpun

tinggi, menciptakan ruang bagi pedagang untuk meraih untung besar. Upaya

ini sering diwarnai dengan perbuatan curang yang sengaja dilakukan

pedagang, salah satunya menjual ayam mati kemarin atau ayam tiren.

Minimnya sanksi terhadap oknum pedagang membuat penjualan ayam tiren

tidak pernah surut. Razia pun gencar dilakukan sebab banyak daging ayam

yang tidak layak konsumsi tetapi ternyata dijual di pasaran. Banyak pedagang

menjual ayam tidak layak konsumsi, busuk, ayam mati kemarin atau ayam

tiren, hingga yang berpengawet, peredaran ayam jenis ini sangat meresahkan

masyaraka.

Padahal pemerintah telah menentukan bahwa setiap orang atau badan

dilarang menjual daging yang tidak sehat. Daging yang layak dikonsumsi

manusia harus memenuhi persyaratan aman, sehat, utuh, dan, halal (ASUH).

Untuk memenuhi kriteria tersebut beberapa perlakuan disyaratkan baik untuk

3
http://bp3kprambanan.slemankab.go.id/bagaimana-karkas-daging-ayam-
yangbaik.slm, diakses pada tanggal 15 April 2016
4

hewan hidup yang akan dipotong di rumah potong unggas (RPU), hewan

perah maupun ayam petelur, penanganan daging, pengangkutan, tempat

penjualan, dan pengawetan.4

Untuk menjamin produk asal hewan yang beredar di masyarakat telah

memenuhi kriteria ASUH, baik pemerintah maupun pemerintah daerah harus

ikut mengawasi dan mengontrol peredaran pangan asal hewan ini.

Sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang Peternakan dan

Kesehatan Hewan No.18 Tahun 2009 Pasal 58 angka 1 dan angka 2 bahwa:

“Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan
halal, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standarisasi,
sertifikasi, dan registrasi produk hewan.”
“Pengawasan dan pemeriksaan produk hewan dilakukan mulai dari
tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan
pengumpulan, baik masih dalam kondisi segar, sebelum pengawetan,
dan waktu pengedaran setelah pengawetan.”
Perlindungan kesehatan manusia dengan cara yang dapat di

pertanggung jawabkan secara ilmiah, tentu mudah dapat diterima oleh para

anggota namun diperlukan pula suatu tindakan perlindungan kesehatan

(rohani) atau ketenteraman batin konsumen, yaitu masalah kehalalan.

Menyangkut perlindungan konsumen terhadap produk pangan halal, dalam

salah satu Surat Keputusan Menteri Pertanian juga menentukan bahwa

pemasukan daging untuk konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal

dari ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat Islam dan

4
http://mulyadiveterinary.wordpress.com/2011/05/22/92/ ,diakses pada tanggal 15
April 2016
5

dinyatakan dalam sertifikat halal.5 Selain itu, di dalam Pasal 61 angka 1 dan 2

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan menyebutkan :

“Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:


a. dilakukan di rumah potong; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan
masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.”
“Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan
hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
memerhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut
masyarakat.”

Masalah perlindungan konsumen terhadap produk yang halal juga

diatur dalam Pasal 8 huruf h Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang

menyatakan bahwa:

“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan


barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi
secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label.”

Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang

Label dan Iklan Pangan Pasal 10 angka 1 menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang


dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan
menyatakan bahwa pangan tersebut halal bagi umat Islam,
bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib
mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada Label.”

5
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 79
6

Namun pada kenyataannya ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengatur sertifikasi dan tanda halal sampai saat ini belum menjangkau

bahan baku, bahan tambahan, maupun bahan penolong dalam bentuk “bukan

kemasan”, padahal bahan tersebut perlu kepastian halal karena akan

menentukan kehalalan produk makanan yang dihasilkan .6

Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar

bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yaitu

menyangkut kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun

konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Berbagai

aturan tentang pangan yang telah ada termasuk pangan asal hewan seperti

daging ayam tidak lantas menjamin daging ayam yang beredar di masyarakat

aman, karena pada kenyataannya masih terdapat beberapa kasus peredaran

daging yang tidak layak dalam proses pemotongan dan tidak layak dikonsumsi

seperti ayam berformalin, ayam glonggongan, atau ayam tiren. Pengawasan

dari berbagai pihak serta pemberian sanksi yang tegas terhadap pelaku usaha

yang berbuat curang diharapkan mampu meminimalisasi kasus yang seperti

ini.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

membahas masalah mengenai “PERLINDUNGAN HUKUM BAGI

KONSUMEN ATAS PEREDARAN AYAM POTONG TIDAK LAYAK

DALAM PENYEMBELIHAN DI PASAR TRADISIONAL KOSAMBI

6
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji
Departemen Agama, Tanya jawab Seputar Produksi Halal, Departemen Agama, Jakarta, 2003,
hlm. 2-3.
7

KOTA BANDUNG DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.8

TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.”

A. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka permasalahan yang

dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen atas peredaran

ayam potong yang tidak layak dalam penyembelihan di pasar

tradisional kosambi kota Bandung?

2. Bagaimana upaya dinas peternakan kota Bandung dalam

melindungi konsumen terhadap peredaran ayam potong yang tidak

layak dalam penyembelihan di pasar tradisional kosambi kota

Bandung?

3. Bagaimana upaya konsumen dalam perlindungan konsumen di

pasar tradisional?

4.

B. Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah sesuai dengan

rumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya yaitu:

1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen atas peredaran

daging ayam yang beredar di pasar tradisional kosambi kota Bandung


8

ditinjau dari Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

2. Untuk menegetahui upaya yang dilakukan oleh Dinas Peternakan kota

Bandung dalam melindungi konsumen terhadap peredaran daging

khusunya ayam potong yang tidak layak sembelih di pasar tradisional.

C. Kegunaan Penelitian

Penulis berharap dengan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan

manfaat dan kegunaan baik secara teoritis maupun praktis yang diambil dari

penulisan ini sebagai berikut:

1. Diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu

pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan perlindungan hukum

konsumen.

2. Diharapkan dapat memberikan informasi bagi konsumen untuk lebih

berhati-hati dalam memilih produk makanan yang berasal dari hewan

khususnya ayam potong yang di jual belikan di pasar tradisional.

D. Kerangka Pemikiran

Di era globalisasi dan perdagangan bebas pertumbuhannya, persaingan

hidup semakin tinggi, arus perdagangan barang dan/atau jasa semakin pesat. Ini

menyebabkan semakin banyaknya barang dan/atau jasa di pasaran. Kondisi ini

sebenarnya memberi keuntungan bagi konsumen karena kebutuhan konsumen


9

akan barang dan/atau jasa yang diinginkan akan terpenuhi. Selain itu, mereka juga

dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuannya.

Di sisi lain, kondisi ini akan memaksa para pelaku usaha untuk mencari

metode yang efektif guna menambah minat beli konsumen dan cara untuk

meraup keuntungan yang besar terhadap barang dan/atau jasa yang mereka

tawarkan. Metode-metode yang kurang bijak pun sering kali digunakan yang

dimana hal tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Dengan

demikian, upaya-upaya untuk melindungi konsumen merupakan sesuatu hal yang

dianggap penting dan mutlak harus segera dicari solusinya.

Melihat permasalahan ini, Indonesia pun menanggapinya dengan

mengesahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen yang selanjutnya disebut dengan UUPK. UUPK ini diharapkan dapat

mengatasi permasalahan konsumen yang ada di Indonesia dan dapat menjadi

landasan hukum bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen. UUPK ini

mulai berlaku pada tanggal 4 April 2000.

Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Undang-

Undang Perlindungan Konsumen/UUPK), yaitu:

“segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi


perlindungan kepada konsumen.”

Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1

angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut cukup memadai.

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian

hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-


10

wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan

perlindungan konsumen.7

Makna dari kepastian hukum tersebut untuk memberikan perlindungan

kepada konsumen yang antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan

martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa

baginya, dan menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung

jawab.

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.8 Pengertian

konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

adalah:

“setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam


masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Sedangkan istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent,

dan dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan

istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha. Dalam Pasal 3

angka 1 disebutkan bahwa:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,baik


yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
7
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm.
8
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, hlm. 22
11

hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama


melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.”
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjelaskan asas

dari perlindungan konsumen, asas perlindungan konsumen yaitu:

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,


keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama

berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus memberikan

manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku

usaha secara keseluruhan;

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil;

3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti

materiil dan spiritual;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang dikonsumsi atau digunakan;


12

5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen beserta

penjelasannya, dapat dilihat bahwa perumusannya mengacu pada filosofi

pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang

berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.9

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan

substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas yaitu:10

1. asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen;

2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

3. asas kepastian hukum.

Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen yang dikelompokkan dalam 3

(tiga) kelompok diatas yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan, dan kepastian

hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan,

kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi, dan kepastian hukum

disejajarkan dengan asas efisiensi. Asas kepastian hukum yang disejajarkan

dengan asas efisien karena menurut Himawan bahwa :

9
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm. 26
10
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 3
13

“Hukum yang berwibawa adalah hukum yang efisien, di bawah naungan


mana seseorang dapat melaksanakan hakhaknya tanpa ketakutan dan
melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.11
Tujuan perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

11
Ahmadi Miru, Ibid., hlm. 33
14

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan

konsumen.12

Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen yang disebutkan di atas

bila dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum secara umum, maka tujuan

hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat dalam rumusan huruf c, dan huruf e.

Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan

huruf a, dan d, serta huruf f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan

kepastian hukum terlihat dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan ini tidak

berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat dilihat dalam rumusan pada huruf

a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang harus dikualifikasi sebagai tujuan

ganda.13

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan

menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu suatu metode yang

menggambarkan suatu fakta-fakta dan perubahan dihubungkan dengan

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.

2. Metode Pendekatan

12
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers,
Jakarta, 2010, hlm
13
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia,
Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 35
15

Metode Pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode

yuridis normatif, yaitu menguji dan mengkaji dengan menitik beratkan

kepada data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui bahan

kepustakaan yang berupa bahan hukum primer bahan hukum

sekunder,dan bahan hukum tersier.

3. Tahap Penelitian

Sehubungan dengan metode pendekatan yang digunakan digunakan

penulis dalam penelitian ini sebagai berikut:

Data Primer, yaitu data diperoleh secara langsung dari sumbernya

mengenai masalah-masalah yang menjadi pokok bahasan, melalui

wawancara dengan narasumber yang dianggap memiliki keterkaitan dan

kompetensi dengan permasalahan yang ada.

Data Sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari

lapangan, yang berupa sejumlah keterangan yang diperoleh dari

dokumen, berkas perkara, buku literatur, majalah, arsip, buku hasil

penelitian terdahulu serta peraturan hukum yang berkaitan dengan

masalah yang diteliti. Data sekunder terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu berupa Undang-Undang Dasar 1945,

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peraturan

Pemerintah serta Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.
16

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil

karya ilmiah para sarjana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang membutuhkan kelengkapan

dari hukum primer dan hukum sekunder seperti jurnal, internet,

berbagai media (cetak maupun elektronik), kamus hukum serta

buku-buku yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan

dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

1. Wawancara (interview) yaitu pengumpulan data yang dilakukan

dilapangan dengan cara mewawancarai pihak-pihak yang terkait dengan

perlindungan konsumen guna untuk mendapatkan data primer.

Wawancara dilakukan terhadap:

a. Satu orang Pelaku Usaha/ pedagang di pasar tradisional

b. Dua orang Konsumen

2. Studi kepustakaan (library research) yaitu melakukan pengumpulan data

sekunder yang berasal dari buku-buku hukum, peraturan perundang-

perundangan, jurnal, dan artikel dari internet serta bahan bacaan

lainnya.

5. Analisis Data
17

Semua data yang diperoleh dari penelitian ini akan dianalisis dengan

menggunakan teknik analisis kualitatif kemudian dideskripsikan, yaitu

dengan menganalisis data dari informasi yang diperoleh dari hasil

penelitian, guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dengan

hasil penelitian.

Anda mungkin juga menyukai