Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak asasai manusia yang dijamin dalam Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan
sumber daya manusia yang berkualitas, dan negara berkewajiban untuk mewujudkan
ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman,
bermutu dan bergizi seimbang baik pada tingkat nasional maupun hingga
perseorangan secara merata di seluruh wilayah NKRI sepanjang waktu dengan
memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Pangan adalah segala
sesuatu yang berasal dari sember hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan dan air yang diolah maupun tidak diolah yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk
bahan tambahanpangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam
proses
penyiapan, pengolahan dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Salah satu bahan pangan yang sangat dibutuhkan dan diminati banyak
kalangan masyarakat adalah susu segar. Susu disebut sebagai makanan yang
hampir sempurna karena kandungan zat gizinya yang lengkap. Selain air, susu
mengandung protein, karbohidrat, lemak, mineral, enzim-enzim, gas serta
vitamin A, C dan D dalam jumlah memadai. Manfaat susu merupakan hasil dari
interaksi molekul-molukel yang terkandung di dalamnya. Badan Standarisasi
Nasional dalam SNI No. 01-3141-1998 mendefinisikan susu segar sebagai cairan
yang berasal dari ambing sehat yang diperoleh dengan cara pemerahan yang
benar, tidak mengalami penambahan atau pengurangan suatu komponen apapun
dan tidak mengalami pemanasan dengan karateristik mutu. Salah satu jenis susu
segar yang sangat diminati masyarakat saat ini adalah susu segar yang berasal
dari kambing perah. Menurut Journal of America Medicine, susu kambing
mengandung multi vitamin, mineral, elektrolit, unsur kimiawi, enzim, protein
serta asam lemak yang mudah dimanfaatkan serta lebih cepat dicerna oleh tubuh
manusia dibandingkan dengan susu sapi. Keistimewaan susu kambing adalah
lemak dan proteinnya yang mudah dicerna, bersifat basa sehingga aman untuk
dikonsumsi untuk penderita penyakit maag kronis, mengandung zat Florin yang
baik untuk penderita bronchitis, asma dan TBC. Kandungan kalsium yang
terdapat dalam susu kambing lebih tinggi dari susu sapi, kaya akan lactoglobulin
(penahan protein penyebab alregi, menambah vitalitas dan daya tahan tubuh
serta terdapat enzim Xanthine oxydase dan niasin (vitamin B3) yang berfungsi
untuk mengatasi sel tumor/kanker dan mengurangi efek toksis dari kemoterapi.
Cemaran mikroba berupa bakteri Salmonella pada umumnya terdapat pada daging
ayam broiler. Cemaran mikroba tersebut dapat ditemui di kloaka ayam dan atau pada
kandang ayam sehingga unggas ayam broiler dapat terinfeksi sejak dalam proses
pemeliharaan (Jawet, 2006; Afifah, 2013; Erianto, 2007). Diketahui bahwa bakteri
seperti Salmonella dapat menyebabkan diare dan gastroenteritis (Martin et al., 2005).
Merujuk pada hasil riset sebelumnya, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan
untuk melihat jumlah cemaran mikroba pada daging ayam broiler yang tersebar di
area kota Makassar. Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kelayakan
pangan yang dapat dikonsumsi sesuai badan standar nasional. Makanan yang aman
merupakan faktor yang penting untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Menurut Undang-Undang RI No 7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan
sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari
kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Penyakit melalui makanan (food
borne disease) dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari organisme patogen
termasuk bakteri, kapang, parasit dan virus atau dari bahan kimia seperti racun alami,
logam berat, pestisida, hormon, antibiotik, bahan tambahan berbahaya dan bahan-
bahan pertanian lainnya. Salah satu jenis makanan yang besar kemungkinannya untuk
mengalami kontaminasi adalah ikan. Ikan merupakan rantai akhir dari kegiatan rantai
makanan di perairan dan merupakan salah satu sumber bahan pangan yang
dibutuhkan oleh manusia. Selain itu ikan cepat mengalami proses pembusukan. Hal
ini karena ikan mempunyai kadar air yang tinggi dan kandungan nutrient ikan yang
cocok untuk pertumbuhan bakteri pembusuk seperti Acromobacter, Pseudomonas,
Micrococcus, dan Bacillu. Salah satu cara mencegah terjadinya kontaminasi, yaitu
dengan pengawetan dengan pembuatan ikan asin. Di Indonesia, ikan asin masih
menempati posisi penting sebagai salah satu bahan pokok kebutuhan hidup rakyat.
Berdasarkan uraian diatas, maka dilakukan penelitian “Analisis Cemaran Mikroba
Pada Ikan Asin Air Tawar di Samarinda” untuk mengetahui kualitas dari ikan asin air
tawar yang diproduksi di 3 produsen ikan asin di Samarinda.
BAB II
PEMBAHASAN

Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran bilogis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Merugikan
kesehatan manusia yaitu yang dapat menimbulkan dampak akibat bahan beracun atau
bahan lain dalam tubuh sehingga dapat mengganggu penyerapan senyawa atau zat
gizi kedalam aliran darah tetapi tidak membahayakan kesehatan. Sedangkan jika
membahayakan kesehatan yaitu apabila dampak yang timbul akibat adanya bahan
beracun atau berbahaya seperti residu pestisida, mikotoksin, logam berat, hormon dan
obat-obatan hewan. Kualitas sumber daya manusia selaku konsumen dipengaruhi oleh
kualitas mutu dari bahan pangan. Kualitas bahan pangan meliputi nilai gizi yang
cukup, bebas dari cemaran kimia maupun cemaran mikrobiologis serta memberikan
ketentraman batin bagi konsumen karena halal. Jaminan mutu terhadap keamanan
pangan secara konvensional yang hanya berdasarkan inspeksi produk akhir tidak
dapat menjamin mutu secara keseluruhan. Pengawasan mutu pangan berdasarkan
prinsip-prinsip pencegahan dipercayai lebih unggul dibandingkan dengan cara-cara
tradisional yang menekankan pada pengujian produk akhir di laboratorium. Penyakit
yang timbul karena pangan yang tercemar merupakan masalah serius sehingga
masalah kemanan pangan menjadi permasalahan bersama yang perlu untuk ditangani
secara seksama baik oleh pemerintah, produsen maupun konsumen.
Good Manufacturing (GMP) merupakan suatu pedoman cara memproduksi makanan
dengan tujuan agar produsen memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan untuk
menghasilkan produk makanan yang bermutu dan sesuai dengan kemanan pangan dan
tuntutan konsumen. Sanitasi pangan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan
bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan pathogen dalam
makanan dan minuman, perlatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan
membahayakan manusia. Cara Produksi Pangan yang Baik (CPBB) merupakan suatu
pedoman yang menjelaskan tentang bagaimana cara memproduksi pangan agar
bermutu, aman dan layak untuk dikonsumsi. CPBB harus diterapkan pada seluruh
rantai pangan yang dimulai saat pangan diproduksi hingga pangan telah siap untuk
dikonsumsi (from fram to table), yang dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk
menghasilkan produk akhir pangan yang layak, bermutu dan aman untuk dikonsumsi.
Makanan yang layak adalah makanan yang tidak mengalami kerusakan, yang tidak
berbau busuk, menjijikan, kotor, tercemar atau terurai. Pangan yang bermutu adalah
pangan yang mempunyai keunggulan nilai yang ditentukan atas dasar kriteria
keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan. Bahaya yang dapat
terjadi pada pangan dapat berupa bahaya biologis yaitu pangan dapat tercemar bakteri,
virus maupun parasit. Bahaya kimiawi yaitu pangan dapat tercemar oleh sanitizers,
pestisida maupun obat-obatan yang diperuntukkan bagi hewan serta dapat pula bahaya
fisik dimana
pangan tercampur dengan tulang, pasir, kerikil maupun logam. Sanitation Standard
Operating Prosedures (SSOP) merupakan strategi dalam penerapan GMP yang
meliputi keamanan air proses produksi, kondisi kebersihan permukaan yang kontak
dengan bahan pangan, pencegahan kontaminasi silang dari objek yang tidak saniter,
kebersihan pekerja, pencegahan atau perlindungan dari adulterasi, pelabelan dan
penyimpanan yang tepat, pengendalian kesehatan karyawan dan pemberantasan hama.
Pengolahan pangan akan berisiko berupa kontaminasi karena penggunaan alat
pengolahan yang kotor dan mengandung mikroba dalam jumlah yang tinggi. Peralatan
yang digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan diharuskan disanitasi terlebih
dahulu untuk sebelum dan sesudah proses produksi berlangsung.
Menurut SNI 01-2721-2009 ikan asin kering adalah suatu produk olahan ikan dengan
cara penggaraman dan pengeringan dalam bentuk utuh atau disiangi atau berupa
potongan. Menurut Badan Standarisasi Nasional (2009), batas maksimum cemaran
mikroba untuk ikan asin adalah untuk nilai ALT (30 °C, 24 jam) adalah 1×105
koloni/g dan nilai MPN Escerichia coli adalah kurang dari 3/g dan negatif bakteri
Salmonella.
CEMARAN MIKROBA PADA
PRODUK TERNAK
Untuk menghadapi tantangan pasar
global maka Indonesia harus mampu
menghasilkan produk pangan hewani
yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH).
Keamanan pangan (food safety) merupakan
tuntutan utama konsumen. Permintaan
pangan hewani (daging, telur, dan
susu) dari waktu ke waktu cenderung
meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk, perkembangan ekonomi,
perubahan pola hidup, peningkatan kesadaran
akan gizi, dan perbaikan pendidikan
masyarakat.
Cemaran Mikroba pada Unggas
dan Produk Olahannya
Salah satu persyaratan kualitas produk
unggas adalah bebas mikroba patogen
seperti Salmonella sp., Staphylococcus
aureus, Escherichia coli, dan Campylobacter
sp. Banyak kasus penyakit yang
diakibatkan oleh cemaran mikroba patogen
(foodborne diseases) pada daging unggas
maupun produk olahannya. Sebagai
contoh yang sering terjadi di Eropa dan
Amerika Serikat adalah kasus penyakit
yang disebabkan oleh Salmonella
enteritidis yang ditularkan melalui daging
ayam, telur, dan produk olahannya
(Baumler et al. 2000). Daging unggas
cocok untuk perkembangan mikroba,
karena unggas dalam kehidupannya selalu
bersentuhan dengan lingkungan yang
kotor. Karkas ayam mentah paling sering
dikaitkan dengan cemaran Salmonella dan
Campylobacter yang dapat menginfeksi
manusia (Raharjo 1999).
Cemaran Mikroba pada Telur
dan Produk Olahannya
Telur merupakan produk unggas yang
selalu dihubungkan dengan cemaran
Salmonella. Cemaran Salmonella pada
telur dapat berasal dari kotoran ayam dalam
kloaka atau dalam kandang. Secara alami,
cangkang telur merupakan pencegah yang
baik terhadap cemaran mikroba.
Cemaran bakteri dapat terjadi pada
kondisi suhu dan kelembapan yang tinggi.
Cemaran pada telur bebek lebih banyak
dibanding pada telur ayam. Apabila penanganan
telur tidak dilakukan dengan
baik, misalnya kotoran unggas masih
menempel pada cangkang telur, maka
kemungkinan Salmonella dapat mencemari
telur, terutama saat telur dipecah.
Cemaran mikroba tersebut dapat dikurangi
dengan cara mencuci dan mengemas telur
sebelum dipasarkan.
Cemaran Mikroba pada Daging
Sapi dan Produk Olahannya
Daging sapi banyak dikonsumsi oleh
masyarakat setelah daging ayam. Daging
sapi mudah rusak dan merupakan media
yang cocok bagi pertumbuhan mikroba,
karena tingginya kandungan air dan gizi
seperti lemak dan protein. Kerusakan
daging dapat disebabkan oleh perubahan
dalam daging itu sendiri (faktor internal)
maupun karena faktor lingkungan (eksternal).
Daging yang tercemar mikroba melebihi
ambang batas akan menjadi berlendir,
berjamur, daya simpannya menurun,
berbau busuk dan rasa tidak enak serta
menyebabkan gangguan kesehatan bila
dikonsumsi. Beberapa mikroba patogen
yang biasa mencemari daging adalah E.
coli, Salmonella, dan Staphylococcus sp.
Kandungan mikroba pada daging sapi
dapat berasal dari peternakan dan rumah
potong hewan yang tidak higienis
(Mukartini et al. 1995). Oleh karena itu,
sanitasi atau kebersihan lingkungan
peternakan maupun rumah potong hewan
perlu mendapat perhatian.
Proses pengolahan daging yang
cukup lama juga memungkinkan terjadinya
cemaran mikroba pada produk olahannya.
Produk olahan daging seperti kornet dan
sosis harus memenuhi syarat mutu yang
sudah ditetapkan. Berdasarkan SNI 01-
3820-1995, cemaran Salmonella pada sosis
daging harus negatif, Clostridium perfringens
negatif, dan S. aureus maksimal 102
koloni/g.
Cemaran Mikroba pada Susu
dan Produk Olahannya
Susu merupakan bahan pangan yang
berasal dari sekresi kelenjar ambing pada
hewan mamalia seperti sapi, kambing,
kerbau, dan kuda. Susu mengandung
protein, lemak, laktosa, mineral, vitamin,
dan enzim-enzim (Lampert 1980). Susu sapi
yang berasal dari sapi yang sehat dapat
tercemar mikroba nonpatogen yang khas
segera setelah diperah. Pencemaran juga
dapat berasal dari sapi, peralatan pemerahan,
ruang penyimpanan yang kurang
bersih, debu, udara, lalat dan penanganan
oleh manusia (Volk dan Wheeler 1990).
CEMARAN MIKROBA PADA
PRODUK TANAMAN
PANGAN
Produk tanaman pangan seperti serealia
dan kacang-kacangan merupakan media
yang baik bagi pertumbuhan mikroba,
khususnya kapang (jamur/cendawan).
Cemaran kapang dapat terjadi saat tanaman
masih di lapang, yang dikenal dengan
cemaran prapanen, maupun selama penanganan
pascapanen. Kapang yang
umum mencemari serealia dan kacangkacangan
adalah Aspergillus flavus dan
A. parasiticus yang sangat berbahaya
bagi kesehatan manusia. Kedua jenis
kapang ini dapat menghasilkan aflatoksin
yang merupakan secondary metabolic
products dan bersifat toksik bagi manusia.
CEMARAN MIKROBA PADA
BUAH DAN SAYUR
Buah dan sayur dapat tercemar oleh
bakteri patogen dari air irigasi yang tercemar
limbah, tanah, atau kotoran hewan
yang digunakan sebagai pupuk. Cemaran
akan semakin tinggi pada bagian tanaman
yang ada di dalam tanah atau dekat dengan
tanah. Mikroba tertentu seperti Liver fluke
dan Fasciola hepatica akan berpindah
dari tanah ke selada air akibat penggunaan
kotoran kambing atau domba yang
tercemar sebagai pupuk. Air irigasi yang
tercemar Shigella sp., Salmonella sp., E.
coli, dan Vibrio cholerae dapat mencemari
buah dan sayur. Selain itu, bakteri
Bacillus sp., Clostridium sp., dan Listeria
monocytogenes dapat mencemari buah
dan sayur melalui tanah. Namun, penanganan
dan pemasakan yang baik dan
benar dapat mematikan bakteri patogen
tersebut, kecuali bakteri pembentuk spora.
CEMARAN MIKROBA PADA
PRODUK PERIKANAN

Pertumbuhan mikroba terjadi dalam


waktu singkat dan pada kondisi yang
sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH,
suhu, dan kadar air bahan pangan. Kelompok
mikroba pembusuk akan mengubah
makanan segar menjadi busuk bahkan
dapat menghasilkan toksin (racun), yang
kadang-kadang tidak menunjukkan tandatanda
perubahan atau kerusakan fisik (bau
busuk kurang nyata) sehingga bahan
pangan tetap dikonsumsi. Pada Gambar 3
disajikan infeksi mikroba patogen ke dalam
pangan dan dampaknya terhadap kesehatan
manusia.

PENCEGAHAN CEMARAN
MIKROBA PADA PRODUK
PERTANIAN
Produksi dan pemasaran produk pertanian
melibatkan berbagai pihak yang saling
berinteraksi (Gambar 4). Sumber bahan
pangan adalah produsen (petani, peternak,
nelayan) dan pengolah. Pengolah
mengubah bahan dasar (produk pertanian)
menjadi produk akhir yang siap dikonsumsi
atau mengawetkan produk agar
masa simpannya lebih lama. Dalam menghasilkan
bahan pangan, produsen dan
pengolah diharapkan dapat menerapkan
cara-cara berproduksi yang baik (good
manufacture practices) sehingga produk
yang dihasilkan aman dan sehat dikonsumsi.
Distributor berfungsi memindahkan
bahan pangan dari satu tempat ke tempat
lain, dan kadang-kadang menyimpan
bahan pangan untuk digunakan lebih
lanjut. Bahan pangan sampai ke konsumen
melalui pengecer (pedagang) atau food
service (rumah makan, pengusaha jasa
boga, restoran, warung makan dan sebagainya).
Dalam jaringan bahan pangan tersebut,
setiap individu mempunyai peran
yang penting dalam menjaga keamanan
pangan. Dengan kata lain, keamanan
pangan merupakan tanggung jawab
bersama antara produsen, pengolah,
distributor, pemerintah, dan konsumen.
Pemerintah dalam hal ini berfungsi sebagai
penentu kebijakan yang berkaitan dengan
keamanan pangan serta mengawasi
pelanggaran atau penyalahgunaan peraturan
yang sudah ditetapkan.
Berkaitan dengan keamanan pangan,
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-
Undang No. 7 tahun 1996 yang menyatakan
makanan yang beredar haruslah tidak
membahayakan konsumen. Undangundang
tersebut diikuti dengan Peraturan
Pemerintah nomor 28 tahun 2004 tentang
keamanan, mutu, dan gizi pangan. Pangan
yang aman, bermutu, dan bergizi sangat
penting peranannya bagi pertumbuhan,
kesehatan, dan peningkatan kecerdasan
masyarakat.
Keamanan bahan pangan harus
diperhatikan mulai dari tahap budi daya
hingga pangan tersebut siap disantap.
Penerapan sistem keamanan pangan pada
setiap tahap produksi harus dilakukan
dengan baik agar pangan yang dikonsumsi
benar-benar aman (Gambar 5). Pada
tahap budi daya perlu diterapkan Good
Farming Practices (GFP), selanjutnya
pada tahap pascapanen dilakukan Good
Handling Practices (GHP). Begitu pula
pada tahap pengolahan, penerapan Good
Manufacture Practices (GMP) sangat
diperlukan, dan pada tahap distribusi
harus diterapkan Good Distribution
Practices (GDP) agar produk pertanian
maupun makanan sampai ke konsumen
dalam keadaan aman. Di Indonesia, tahapan-
tahapan tersebut telah dilaksanakan
oleh industri pengolahan pangan berskala
besar. Namun, untuk industri skala rumah
tangga, tahapan-tahapan tersebut belum
dilaksanakan. Apabila sistem atau peraturan
tentang sanitasi dan higiene bahan
pangan telah diterapkan dengan baik maka
peraturan tersebut dapat digunakan sebagai
dasar dalam melakukan praktek budi
daya maupun pengolahan pangan untuk
meningkatkan keamanan pangan.
Pendekatan lainnya adalah dengan
melakukan pengendalian atau pencegahan
terhadap munculnya potensi bahaya,
baik biologis, kimia maupun fisik selama
proses produksi hingga penyiapan pangan.
Secara sederhana dapat dikemukakan
bahwa pencegahan terhadap munculnya
risiko bahaya lebih baik daripada
mengatasi bahaya yang telah muncul.
Pada tahun 1993, Codex Alimentarius
Commission (CAC) dari Badan Dunia
FAO/WHO telah menetapkan sistem
Hazard Analysis and Critical Control
Point (HACCP) (Wuryaningsih 2005).
HACCP merupakan suatu evaluasi sistematis
terhadap prosedur pengolahan atau
penyiapan pangan untuk mengidentifikasi
potensi bahaya yang berkaitan dengan
bahan atau prosedur pengolahan bahan
pangan. Penerapan HACCP juga bertujuan
untuk mengetahui cara mengendalikan
risiko bahaya yang mungkin muncul.
Melalui sistem tersebut, selanjutnya
ditetapkan langkah-langkah pengolahan
yang tepat untuk mencegah dan mengendalikan
risiko bahaya.
Pada prinsipnya, HACCP merupakan
sistem manajemen untuk menghindarkan
atau mencegah makanan dari bahaya
biologis (termasuk mikrobiologis), kimia,
dan fisik. Secara sederhana, sistem ini
dapat diterapkan dengan langkah awal
mengidentifikasi potensi bahaya dan
dilanjutkan dengan tahapan pengendalian
agar risiko yang muncul dari bahaya
tersebut dapat dihilangkan atau ditekan.
Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh
prinsip, yaitu:
1. Analisis potensi bahaya. Tindakan ini
dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi potensi bahaya yang
diperkirakan dapat terjadi pada setiap
langkah produksi makanan, mulai dari
penanaman (budi daya), pemanenan
atau penyembelihan, pengolahan,
distribusi dan penyiapan makanan
sampai konsumen akhir. Pada setiap
langkah tersebut, kemungkinan munculnya
bahaya dan tingkat keparahan
efek buruknya terhadap kesehatan
dikaji dan diukur sehingga tindakan
pengendalian dapat diidentifikasi.
2. Penentuan titik kendali kritis. Setiap
potensi bahaya yang teridentifikasi
pada analisis pertama harus diikuti dengan
satu atau lebih Critical Control
Point (CCP) untuk mengendalikan
bahaya tersebut. Pada langkah ini,
tindakan pengendalian diterapkan dan
merupakan tindakan yang penting
sehingga potensi bahaya dapat dicegah,
dihilangkan atau dikurangi ke
tingkat yang masih dapat diterima.
3. Penetapan batas kritis. Batas kritis
adalah kriteria yang memisahkan
antara penerimaan dan penolakan.
Batas kritis mencerminkan batasan
yang digunakan untuk menjamin
proses yang berlangsung menghasilkan
produk yang aman. Dalam proses
pengolahan, suhu tertentu, kombinasi
suhu-waktu, nilai pH atau kadar garam
dapat mengendalikan potensi bahaya
jika hal tersebut dipenuhi dengan baik.
Sebagai contoh, pada pH < 4,50 pertumbuhan
C. botulinum dapat dicegah
karena nilai pH tersebut merupakan
batas kritis yang apabila dipenuhi
dapat mengendalikan bahaya yang
ditimbulkan oleh patogen tersebut.
4. Penetapan sistem pemantauan. Bagian
penting dari sistem HACCP adalah
pemantauan terhadap parameter
kendali (misalnya suhu-waktu, pH)
pada titik kendali kritis (CCP) untuk
Memastikan bahwa pengendalian
terhadap bahaya tengah diterapkan
dan batas kritis diamati. Dalam pengolahan
makanan komersial, tindakan
tersebut memerlukan jadwal pengujian
atau observasi. Pada tahapan ini dilakukan
serangkaian pengamatan atau
pengukuran untuk memeriksa apakah
CCP di bawah kendali dan untuk
memperoleh catatan yang akurat untuk
digunakan dalam verifikasi.
5. Penetapan tindakan korektif. Jika
hasil pemantauan menunjukkan
bahwa CCP melampaui batas kritis
maka segera diketahui tindakan yang
dapat dilakukan untuk memperbaiki
situasi tersebut dan untuk menangani
makanan yang diproduksi bila titik
kendali kritis tidak berada dalam
kendali. Sebagai contoh, jika suhu
untuk pemasakan tidak mencapai batas
kritis maka makanan mungkin perlu
dipanaskan kembali. Meskipun bukan
persyaratan yang mutlak, tindakan
perbaikan harus ditetapkan sebelum
rencana HACCP.
6. Penetapan prosedur verifikasi.
Verifikasi meliputi uji dan prosedur
tambahan untuk memastikan bahwa
sistem HACCP berjalan dengan efektif.
Langkah ini juga dapat menunjukkan
jika rencana HACCP memerlukan
modifikasi.
7. Penetapan dokumentasi dan penyimpanan
dokumen. Langkah ini
harus mencakup semua dokumentasi
dan catatan yang sesuai untuk rencana
HACCP, seperti rincian analisis bahaya,
penentuan CCP dan batas kritis,
pemantauan dan verifikasi. Dokumentasi
dan penyimpanan catatan harus
sesuai dengan jenis rencana tersebut.
Penggunaan antibiotik dengan tujuan
pencegahan biasanya dilakukan pada saat ternak
berumur 17 hari. Pada umur tersebut, paparan
amoniak yang berasal dari feses/kotoran ayam
potong mulai menumpuk sehinga menyebabkan
terjadi iritasi pada saluran pernapasan (sinus
orbitalis, laring dan trachea) sehingga bakteri
sangat mudah untuk menginfeksi. Untuk
menanggulangi dan mencegah kejadian tersebut,
peternak biasanya mulai menggunakan antibiotik
sebagai upaya preventif. Salah satu jenis
Yaddi et al./Jurnal Ilmu dan Teknologi Peternakan Tropis 6(1):34-37
37
antibiotik yang banyak digunakan adalah
golongan tetrasiklin (oksitetrasil, doksisiklin dan
klortetrasilin) yang diberikan secara peroral
melalui air minum. Penggunaan antibiotik dapat
berlangsung hingga 3-5 hari sampai dengan umur
ayam 21 hari. Prescott dan Baggot (1993)
menjelaskan bahwa waktu henti antibiotik
golongan tetrasiklin cukup panjang yang
disebabkan oleh sirkulasi dan enterohepatik yang
ekstensif. Hasil yang diperoleh pada penelitian
ini menunjukan tidak terditeksinya antibiotik
golongan tetrasiklin pada daging ayam potong.
Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat kejadian
penyakit dan langkan penanganan serta
pemahaman peternak dalam penggunaan
antibiotik dalam prosen pemeliharaan
BAB III
PENUTUP

Makanan dari produk pertanian merupakan sumber gizi bagi tubuh. Setiap
individu berhak mendapatkan makanan yang bergizi dan aman agar dapat hidup sehat.
Kesalahan dalam memilih makanan justru dapat menuai penyakit bahkan berujung
pada kematian. Kasus keracunan makanan dapat disebabkan oleh faktor manusia
karena nanganan maupun pengolahan makanan yang baik, serta praktek sanitasi dan
higiene yang belum memadai. Sering kali cemaran berasal dari pengolah makanan
maupun dari peralatan yang digunakan dalam pengolahan dan lingkungan tempat
pengolahan. Cemaran dapat terjadi karena kontak langsung antara anggota tubuh
orang yang sedang sakit dengan makanan, baik yang disengaja maupun tidak
disengaja. Produk peternakan dari ayam potong yang di pasarkan di Kota Kendari
sebagian besar tidak mengandung residu antibiotik. Peternak ayam potong yang ada di
Kota Kendari sudah mulai bijak dalam penggunaan antibiotik serta penentuan waktu
panen. Populasi ayam potong yang masih sangat rendah dapat menjadi salah satu
penyebab minimnya transmisi serta tingkat kejadian penyakit pada ayam potong
sehingga penggunaan antibiotik sangat kurang.Pengawasan terhadap produk asal
hewan harus menjadi aktifitas rutin pemerintah daerah dalam upaya menjamin
keselamatan konsumen terhadap bahaya biologis dan kimia yang mungkin
ditimbulkan.

Anda mungkin juga menyukai