Tatalaksana Umum
1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus
pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral.
Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan
dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya
aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu
trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan
pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3
mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan
oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan
dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg
per rektal untuk anak dengan BB 10 kg, atau dosis diazepam intravena
untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti, pemberian
diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis
pasien. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti
infus tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam
diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa
orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis
membaik bila tidak dijumpai spasme spontan, badan masih kaku,
kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.
Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme
atau mengalami spasme laring, sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat
di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan
mendapat bantuan pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi
antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis
yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya
pengurangan dosis dilakukan secara bertahap (berkisar antara 20% dari
dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan
morfin dapat digunakan sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di
ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.
5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port dentree, maka
diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT.
Tatalaksana Khusus
1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG)
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan
50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis.
Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi
aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat
diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis
tunggal. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian
dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG
hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan
ujung saraf. Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung
antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobuline sebelumnya;
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat
memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain penatalaksanaan
diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :
HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan
klinis dari 4-30%).
Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.
Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme
otot.
Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu
melalui infus iv.
Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan
hipotensi yang berganti-ganti, hiperpireksia/hipotermia) dan
mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau
nifedipin.
Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain
dapat diberikan untuk mengontrol spasme otot. Pada kasus yang ekstrim
mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat
kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat
ringan dapat memicu spasme yang berpotensi menyebabkan kematian pada
pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua
prosedur terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko
menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga minimal. Semua
prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan
relaksasi yang optimal. Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus
tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus
harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada
anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak mengganggu
tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi
gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. Selanjutnya pasien
diberikan imunisasi tetanus.
2. Antibiotika
Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi
terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan kesehatan.
Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-
10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani
bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain
50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif
terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk
anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif
C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan
dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap
tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama.
Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik
yang sesuai. Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan
klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi toksin.
Beberapa pilihan antibiotika yang dapat digunakan pada penatalaksanaan
tetanus :
Nama Obat Deskripsi Dosis Kontraindikasi/
Perhatian
Metronidazole Efek antibakteri Neonatus KI :
terhadap a. Neonatus < 1200 Hipersensitivitas
klostridium. Obat gram: 7,5
ini tergolong mg/kgBB IV tiap P: Hati-hati pada
Komplikasi Tetanus
SISTEM TUBUH KOMPLIKASI
Jalan napas Aspirasi
Laringospasme/obstruksi
Sedasi dihubungkan dengan
obstruksi
Respirasi Apnea
Hipoksia Tipe I (ateletaksis,
aspirasi, pneumonia) dan tipe II
gagal napas (spasme laring,
pemanjangan spasme batang
tubuh, sedasi berlebihan)
ARDS
Komplikasi dari pemanjangan
bantuan ventilasi (contoh :
pneumonia) Komplikasi
trakeostomi (contoh : stenosis
trakea)
Emboli paru
Emfisema mediastinum
Penumotoraks
Spasme diafragma
Kardiovaskular Takikardia,hipertensi,iskemia
Hipotensi, Bradikardi
Takiaritmia, Bradiaritmia
Asistol
Gagal jantung
Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan
poliuria
Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis lambung
Ileus
Diare
Perdarahan
Lain-lain Status konvulsivus
Dehidrasi
Penurunan berat badan
Tromboemboli
Sepsis dan gagal organ multipel
Fraktur vertebra selama spasme
Avulsi tendon selama spasme
Prognosis
Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka
mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan
yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus.
Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status
imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin
buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka
dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis.
Jenis tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk.
Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin
profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi
tetanus. Berikut ini adalah skala/derajat keparahan yang menentukan prognosis
tetanus menurut sistem skoring Bleck :
Sumber : HEALTH TECHNOLOGY ASSESSMENT INDONESIA
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2008