Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor otak merupakan salah satu bagian dari tumor pada sistem saraf, di samping
tumor spinal dan tumor saraf perifer. Tumor otak ini dapat berupa tumor yang
sifatnya primer ataupun yang merupakan metastasis dari tumor pada organ lainnya
(Hakim, 2005; Wahjoepramono, 2006).

Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan abnormal di dalam otak, tetapi
tidak ganas. tumor otak maligna adalah kanker di dalam otak yang berpotensi
menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau yang telah menyebar
(metastase) ke otak dari bagian tubuh lainnya melalui aliran darah.

Permasalahan klinis pada tumor otak agak berbeda dengan tumor lain karena efek
yang ditimbulkannya, dan keterbatasan terapi yang dapat dilakukan. Kerusakan
pada jaringan otak secara langsung akan menyebabkan gangguan fungsional pada
sistem saraf pusat, berupa gangguan motorik, sensorik, panca indera, bahkan
kemampuan kognitif. Selain itu efek massa yang ditimbulkan tumor otak juga
akan memberikan masalah serius mengingat tumor berada dalam rongga
tengkorak yang pada orang dewasa merupakan suatu ruang tertutup dengan
ukuran tetap (Wahjoepramono, 2006).

Menurut The Central Brain Tumor Registry of the United States (CBTRUS),
tumor otak primer adalah termasuk dalam 10 besar penyebab kematian terkait
kanker. Diperkirakan sekitar 13.000 orang di Amerika Serikat meninggal dunia
akibat tumor ini setiap tahunnya. Data dari Mayo Klinik, berdasarkan analisis dari
tahun 1950 sampai 1989, dikatakan bahwa insiden tumor otak primer adalah 19,1
per 100.000 orang pertahun (11,8 per 100.000 untuk tumor yang simtomatik dan
7,3 per 100.000 untuk tumor yang asimtomatik). Data ini sama dengan data dari
CBTRUS yang memberikan angka 11,47 per 100.000 per tahun. Di Eropa rata
rata survival rate pasien tumor otak maligna dewasa adalah 18,7%. Prognosis

1
penderita tumor otak primer beragam, pada tumor otak primer yang maligna
median survivalnya 12 bulan. Pada penelitian lain yang mengukur survival rate
pasien brain tumor didapatkan survival rate dalam 5 tahun pasien tumor otak
yang terburuk adalah glioblastoma sebesar 3% sedangkan yang tertinggi adalah
ependimoma yaitu 74% (Wahjoepramono, 2006; Arber, 2010; Sloan 2002).

2
BAB II

DATA PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. S
Umur : 69 th
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Status pernikahan : Sudah Menikah
Suku Bangsa : Jawa
Tanggal masuk : 23 Februari 2017
Dirawat yang ke- :1

2.2 RIWAYAT PENYAKIT

ANAMNESIS
Keluhan Utama :Kelumpuhan Anggota Gerak Kanan
Keluhan Tambahan : Sakit kepala berdenyut yang dirasa 4 bulan

terakhir, mual
Riwayat Penyakit Sekarang (Autoanamnesis + Alloanamnesis oleh anak

kandung)
Keluhan Utama :Kelumpuhan anggota gerak sebelah kanan
Lokasi : Ekstremitas superior et inferior dextra
Onset : tiba-tiba saat beraktivitas beberapa jam SMRS
Kualitas : Tangan kanan dan kaki kanan benar-benar tidak

dapat digerakkan
Kuantitas : ADL dibantu seluruhnya oleh keluarga
Faktor yang memperberat (-)
Faktor yang memperingan (-)
Kronologis :
Pasien datang dengan keluhan kelumpuhan anggota gerak sebelah kanan

beberapa jam SMRS. Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba saat pasien

sedang melakukan aktivitas. Pasien juga mengeluh sering merasakan sakit

kepala yang hilang timbul dan dirasakan 4 bulan belakangan ini. Sakit

kepala dirasakan berdenyut dan makin memburuk akhir-akhir ini. Keluhan

sakit kepala terutama dirasakan saat bangun tidur di pagi hari. Selain itu,

3
pasien juga mengeluh adanya rasa mual. Namun, pasien rutin

mengkonsumsi obat warung saat sakit kepala mulai timbul.


Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat stroke sebelumnya (keluhan pertama kali

dirasakan sebulan yang lalu). Sebelumnya, pasien pernah dirawat inap di

salah satu RS karena kelemahan anggota gerak kanan sebulan yang lalu.

Keluarga pasien mengatakan bahwa saat itu pasien sempat muntah-muntah

yang menyembur beberapa kali dan mual saat dibawa ke RS, pasien juga

sempat mengalami kejang sebanyak 1x dan tidak pernah mengalami kejang

sebelumnya. Namun, keluhan tersebut mulai membaik setelah dilakukan

pengobatan dan pasien mulai dapat beraktivitas kembali.Hipertensi mulai

dialami saat keluhan kelemahan anggota badan pertama kali muncul

(sebulan yang lalu), riwayat hipertensi sebelumnya disangkal. Riwayat DM

disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak terdapat anggota keluarga dengan keluhan yang sama dengan pasien

saat ini.

Riwayat Sosial Ekonomi :


Status ekonomi cukup.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

1 Status Present
a. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. GCS : E4 M6 V5
d. Tanda vital

Tekanan darah : 150/80 mmHg


Nadi : 86x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,0C
e. BB : 53 kg
f. TB : 165 cm
g. BMI : 19,4; kesan BMI normal
h. Gizi : Nafsu makan menurun

2 Status Generalis
a. Kepala

4
Rambut : Dalam batas normal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-) pterigium
(-/+)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut :Dalam batas normal
b. Leher
Pembesaran KGB : Tidak ditemukan
Pembesaran tiroid : Tidak ditemukan
JVP : Tidak meningkat
Trakea : Deviasi (-)
c. Thorax
Cor
Inspeksi : IC tidak terlihat
Palpasi : IC teraba di ICS 5
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1-S2 murni reguler, murmur (-), gallop (- )
Pulmo
Inspeksi : simetris, tidak ada sisi yang tertinggal
Palpasi : fremitus taktil dekstra=sinistra
Perkusi : sonor seluruh lapang paru
Auskultasi :suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
d. Abdomen
Inspeksi : Supel
Palpasi : Nyeri tekan (+) pada epigastrium
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal

e. Ekstremitas
Superior : edema (-/-)
Inferior : edema (-/-)

3
Status Psikikus
Cara berfikir : Realistis
Tingkah laku : Hipoaktif
Perasaan Hati : Normothym
Ingatan : Cukup
2.4 PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

1 Kesadaran (GCS) : E (4) M (6) V (5)


2 SarafCranialis
Kanan/Kiri
a Nervus I (N. Olfactorius)
Daya penghidu : Dalam Batas Normal
Kesan : N. I Dalam batas normal
b Nervus II (N.Opticus)
Ketajaman penglihatan : 1/300/ 1/300
Pengenalan warna : -/- (mata kanan dan kiri tidak dapat mengenali
warna dengan baik semua warna menjadi putih)

5
Lapang pandang : Tidak dapat dinilai
Funduskopi : Tidak dilakukan
Kesan : Paresis N. II
c Nervus III, IV, VI ( N. Occulomotorius/trochlearis/abdusens)
Ptosis : -/-
Strabismus : -/-
Nistagmus : -/-
Eksoftalmus : -/-
Enoptalmus : -/-
Gerakan bola mata
Medial : -/-
Atas lateral : -/-
Atas medial : -/-
Bawah medial : -/-
Atas : -/-
Bawah : -/-
Bawah lateral : -/-
Lateral : +/+
Pupil
Diameter : 2,5 mm / 2,5 mm
Bentuk pupil : Bulat (+/+)
Isokor/anisokor : Isokor (+/+)
Posisi : Di tengah (+/+)
Reflek cahaya langsung : +/+
Reflek cahaya tidak langsung : +/+
Reflek akomodasi / konvergensi : +/+

Kesan : Paresis N. III dan IV

d Nervus V ( N.trigeminus )
Motorik
M. maseter : Dalam Batas Normal
M. temporalis : Dalam Batas Normal
M. pterigodeus : Dalam Batas Normal
Sensorik
R. Oftalmikus : Dalam Batas Normal
R. Maksilaris : Dalam Batas Normal
R. Mandibularis : Dalam Batas Normal
Refleks
Refleks kornea : Dalam Batas Normal
Kesan : N. V Dalam Batas Normal
e Nervus VII (N.fasialis)
Pasif
Kerutan kulit dahi : Dalam Batas Normal
Kedipan mata : Dalam Batas Normal
Lipatan nasolabial : Dalam Batas Normal
Sudut mulut : Dalam Batas Normal
Aktif
Mengerutkan dahi : Dalam Batas Normal
Menutup mata : Dalam Batas Normal
Meringis : Dalam Batas Normal

6
Menggembungkan pipi : Dalam Batas Normal
Sensoris
Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Tidak dilakukan
Kesan : N. VII Dalam Batas Normal
f Nervus VIII ( N.acusticus)
Suara gesekan jari tangan : masih dapat mendengar +/+
Mendengarkan detik jam arloji : terdengar +/+
Tes rinne : tidak dilakukan
Tes weber : tidak dilakukan
Tes swabach : tidak dilakukan
Kesan : N. VIII Dalam Batas Normal
g Nervus IX, X (N. Glossopharyngeus/N. Vagus)
Suara bindeng/nasal :-
Posisi uvula : di tengah
Palatum mole : Dalam batas normal
ArcusPharingeus : Dalam batas normal
Reflekmuntah : Dalam batas normal
Menelan : Dalam batas normal
Daya pengecap lidah 1/3 lidah belakang :Tidak dilakukan
Kesan : N. IX dan X Dalam Batas Normal
h Nervus XI (N. Assesorius)
M. Sternocledomastoideus : Dalam batas normal
M. Trapezius : Dalam batas normal
Kesan : N. XI Dalam Batas Normal
i Nervus XII (N. Hipoglosus)
Menjulurkan lidah : Dalam batas normal
Atrofi lidah :-
Artikulasi : Dalam batas normal
Kesan : N.XII Dalam Batas Normal

3 Gejala rangsang meningeal


Kaku kuduk :-
Laseque :-
Kernig :-
Brudzinsky I :-
Brudzinsky II :-
Kesan : Pemeriksaan Rangsang Meningeal Dalam Batas Normal

4 Motorik

Superior Ka/Ki Inferior Ka/Ki

Gerak -/+ -/+

Kekuatan 0/5 0/5

Tonus N/N N/N

Trofi E/E E/E

ReflekFisiologis + /+ + /+

ReflekPatologis -/- -/-

7
Klonus - -

Kesan : Hemiparesis dekstra

5 Sensibilitas
Eksteroseptif
Raba :Berkurang pada sisi kanan
Nyeri : Berkurang pada sisi kanan
SuhuPanas : Tidak dilakukan
SuhuDingin : Tidak dilakukan

Propioseptif
Posisi : Pasien tidak dapat menentukan posisi sentuhan
pada sisi kanan maupun kiri
Tajam tumpul : Abnormal pada sisi kanan
Vibrasi : Abnormal pada sisi kanan
Tekanan dalam : Abnormal pada sisi kanan

Kesan : Hemihipestesi Dekstra

6 Vegetatif :BAK (dalam batas normal) BAB (dalam batas


normal)
Kesan : Saraf Otonom Dalam Batas Normal

2.5 PEMERIKSAAN TAMBAHAN / PENUNJANG


Pemeriksaan Lab :
Darah Lengkap :
Leukosit (11,74 x 103), Eritrosit (4,93 x 106 ) Hb (13,5 gr/dl) Ht: (44,2 %),
trombosit : (308 x 103)
Profil Lipid:
Kolesterol total (185 mg/dl), Trigliserida (77 mg/dl), HDL (39 mg/dl), LDL
(130,6 mg/dl)
Lain-lain:
Ureum (54 mg/dl), creatinin (1,36 mg/dl), GDS: 114 mg/dl

Head CT-Scan :
Suspek massa serebri di lobus temporoparietalis sinistra dengan perifocal edem
luas di temporooccipitoparietalis sinistra, menyebabkan herniasi subfalxine ke
dextra

8
2.6 RESUME
Pasien pria 69 tahun datang dengan kelumpuhan anggota gerak bagian kanan

yang terjadi secara tiba-tiba saat sedang beraktivitas, onset beberapa jam SMRS

disertai dengan sakit kepala berdenyut yang sudah dirasakan selama 4 bulan dan

makin buruk akhir-akhir ini disertai dengan mual. Pada pemeriksaan didapatkan:

Kesadaran : GCS = E4M6V5

Tanda vital

Tekanan darah : 150/80 mmHg


Nadi : 86x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,0C

9
Nn. Craniales

Pada pemeriksaan N. II (Optikus) didapatkan Vod 1/300 dan Vos 1/300 (pasien

dapat melihat lambaian tangan dalam jarak 1 m) dan dari pemeriksaan terhadap

warna, pasien mengalami kesulitan untuk menentukan warna dan melihat semua

warna menjadi warna putih


Kesan : Paresis N. II
Pada pemeriksaan N. III, IV, VI, didapatkan pasien hanya dapat menggerakkan

bola mata ke arah lateral


Kesan : Paresis N. III dan N.IV

Motorik

Kekuatan otot kanan 0 ( tidak dapat digerakkan sama sekali)


Tonus menurun pada ekstremitas superior dan inferior dekstra
Refleks fisiologis negatif pada ekstremitas superior dan inferior dekstra
Tidak dijumpai adanya refleks patologis
Kesan : hemiparesis dekstra
Sensibilitas : Hemihipestesi dekstra

2.7 DIAGNOSIS
I. Tumor Otak
Klinis :
1) Paresis N. II
2) Paresis N. III dan N.IV
3) Hemiparesis dextra
4) Hemihipestesi dekstra
5) Cephalgia kronik progresif
Topis : lobus temporoparietalis sinistra
Etiologi: Tumor Otak
Usulan : CT-Scan dengan kontras
II. Hipertensi Grade 1

2.8 PENATALAKSANAAN AWAL


Dx : Darah lengkap, GDS , profil lipid, Ureum, Kreatinin, Head CT-Scan

Tx :
- Posisi kepala ditinggikan 30
- O2 nasal canule 2L/menit
- IVFD RL + Ketorolac 20 tpm
- Inj. Ondansentron 2x1 amp
- Inj.Ranitidin 2x 1 amp
- Amlodipin 1x10 mg
- Dexamethason 3x1

10
Mx
KU, tanda-tanda vital dan defisit neurologis, rehabilitasi medik fisioterapi

Ex
- Edukasi keluarga pasien tentang penyakit pasien saat ini, faktor resiko
penyakit,serta prognosis penyakit
- Edukasi tentang tujuan pengobatan dan pemeriksaan
- Persiapan rujukan

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Sistem Saraf Pusat


Otak terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak yang dibentuk oleh
mesensefalon, pons, dan medulla oblongata. Bila kalvaria dan dura mater
disingkirkan, di bawah lapisan arachnoid mater kranialis dan pia mater
kranialis terlihat gyrus, sulkus, dan fisura korteks serebri. Sulkus dan
fisura korteks serebri membagi hemisfer serebri menjadi daerah lebih kecil
yang disebut lobus (Moore & Argur, 2007).

11
Gambar 1. Bagian-bagian Otak (Sumber: Centers for Disease Control and
Prevention (CDC), 2004.)

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1. Serebrum (Otak Besar)
Serebrum adalah bagian terbesar dari otak yang terdiri dari dua
hemisfer. Hemisfer kanan berfungsi untuk mengontrol bagian
tubuh sebelah kiri dan hemisfer kiri berfungsi untuk mengontrol
bagian tubuh sebelah kanan. Masing-masing hemisfer terdiri dari
empat lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian
lekukan yang menyerupai parit disebut sulkus. Keempat lobus
tersebut masing-masing adalah lobus frontal, lobus parietal, lobus
oksipital dan lobus temporal (CDC, 2004).
a. Lobus parietal merupakan lobus yang berada di bagian
tengah serebrum. Lobus parietal bagian depan dibatasi oleh
sulkus sentralis dan bagian belakang oleh garis yang ditarik
dari sulkus parieto-oksipital ke ujung posterior sulkus
lateralis (Sylvian). Daerah ini berfungsi untuk menerima
impuls dari serabut saraf sensorik thalamus yang berkaitan
dengan segala bentuk sensasi dan mengenali segala jenis
rangsangan somatik (Ellis, 2006).

12
b. Lobus frontal merupakan bagian lobus yang ada di bagian
paling depan dari serebrum. Lobus ini mencakup semua
korteks anterior sulkus sentral dari Rolando. Pada daerah
ini terdapat area motorik untuk mengontrol gerakan otot-
otot, gerakan bola mata; area broca sebagai pusat bicara;
dan area prefrontal (area asosiasi) yang mengontrol
aktivitas intelektual (Ellis, 2006).
c. Lobus temporal berada di bagian bawah dan dipisahkan
dari lobus oksipital oleh garis yang ditarik secara vertikal
ke bawah dari ujung atas sulkus lateral. Lobus temporal
berperan penting dalam kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara (Ellis,
2006).
d. Lobus oksipital berada di belakang lobus parietal dan lobus
temporal. Lobus ini berhubungan dengan rangsangan visual
yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata
(Ellis, 2006).
Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi
beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 4. Area Otak

2. Serebelum (Otak Kecil)


Serebelum atau otak kecil adalah komponen terbesar kedua otak.
Serebelum terletak di bagian bawah belakang kepala, berada di

13
belakang batang otak dan di bawah lobus oksipital, dekat dengan
ujung leher bagian atas. Serebelum adalah pusat tubuh dalam
mengontrol kualitas gerakan. Serebelum juga mengontrol banyak
fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi
tubuh, mengontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh. Selain itu, serebelum berfungsi menyimpan dan
melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti
gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan
mengunci pintu dan sebagainya (Clark, 2005).
3. Batang Otak
Batang otak berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala
bagian dasar dan memanjang sampai medulla spinalis. Batang otak
bertugas untuk mengontrol tekanan darah, denyut jantung,
pernafasan, kesadaran, serta pola makan dan tidur. Bila terdapat
massa pada batang otak maka gejala yang sering timbul berupa
muntah, kelemahan otat wajah baik satu maupun dua sisi, kesulitan
menelan, diplopia, dan sakit kepala ketika bangun (CDC, 2004).
Batang otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a. Mesensefalon atau otak tengah (disebut juga mid brain)
adalah bagian teratas dari batang otak yang
menghubungkan serebrum dan serebelum. Saraf kranial III
dan IV diasosiasikan dengan otak tengah. Otak tengah
berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan,
gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan
tubuh dan pendengaran (Moore & Argur, 2007).
b. Pons merupakan bagian dari batang otak yang berada
diantara midbrain dan medulla oblongata. Pons terletak di
fossa kranial posterior. Saraf Kranial (CN) V diasosiasikan
dengan pons (Moore & Argur, 2007).
c. Medulla oblongata adalah bagian paling bawah belakang
dari batang otak yang akan berlanjut menjadi medulla
spinalis. Medulla oblongata terletak juga di fossa kranial
posterior. CN IX, X, dan XII disosiasikan dengan medulla,

14
sedangkan CN VI dan VIII berada pada perhubungan dari
pons dan medulla (Moore & Argur, 2007).

3.2 Definisi Tumor Otak

Neoplasma sistem saraf pusat (SSP) mencakup neoplasma yang berasal


dari dalam otak, medulla spinalis, atau meningen, serta tumor metastatik
yang berasal dari tempat lain. Neoplasma SSP primer sedikit berbeda
dengan neoplasma yang timbul di tempat lain, dalam artian bahwa bahkan
lesi yang secara hitologis jinak, dapat menyebabkan kematian karena
penekanan terhadap struktur vital. Selain itu, berbeda dengan neoplasma
yang timbul di luar SSP, bahkan tumor otak primer yang secara histologis
ganas jarang menyebar kebagian tubuh lain (Kumar et al., 2007).

Pada kasus kanker, terdapat sekumpulan sel normal atau abnormal yang
tumbuh tak terkontrol membentuk massa atau tumor. Pada saat tumor otak
terjadi, pertumbuhan sel yang tidak diperlukan secara berlebihan
menimbulkan penekanan dan kerusakan pada sel-sel lain di otak dan
mengganggu fungsi otak bagian tersebut. Tumor tersebut akan menekan
jaringan otak sekitar dan menimbulkan tekanan oleh karena tekanan
berlawanan oleh tulang tengkorak, dan jaringan otak yang sehat, serta area
sekitar saraf. Sebagai hasilnya, tumor akan merusak jaringan otak (Cook &
Freedman, 2012).

Tumor otak intrakranial dapat diklasifikasikan menjadi tumor otak


benigna dan maligna. Tumor otak benigna umumnya ektra-aksial, yaitu
tumbuh dari meningen, saraf kranialis, atau struktur lain dan menyebabkan
kompresi ekstrinsik pada substansi otak. Meskipun dinyatakan benigna
secara histologis, tumor ini dapat mengancam nyawa karena efek yang
ditimbulkan. Tumor maligna sendiri umumnya terjadi intra-aksial yaitu
berasal dari parenkim otak. Tumor maligna dibagi menjadi tumor maligna
primer yang umumnya berasal dari sel glia dan tumor otak maligna

15
sekunder yang merupakan metastasis dari tumor maligna di bagian tubuh
lain (Ginsberg, 2011).
Tumor otak benigna adalah pertumbuhan jaringan abnormal di dalam otak,
tetapi tidak ganas. tumor otak maligna adalah kanker di dalam otak yang
berpotensi menyusup dan menghancurkan jaringan di sebelahnya atau
yang telah menyebar (metastase) ke otak dari bagian tubuh lainnya
melalui aliran darah.

Tumor ganas otak yang paling sering terjadi merupakan penyebaran dari
kanker yang berasal dari bagian tubuh yang lain. Kanker payudara dan
kanker paru-paru, melanoma maligna dan kanker sel darah (misalnya
leukemia dan limfoma) bisa menyebar ke otak. Penyebaran ini bisa terjadi
pada satu area atau beberapa bagian otak yang berbeda.

Tumor otak merupakan sebuah lesi yang terletak pada intracranial yang
menempati ruang di dalam tengkorak. Tumor-tumor selalu bertumbuh
sebagai sebuah massa yang berbentuk bola tetapi juga dapat tumbuh
menyebar, masuk ke dalam jaringan. Neoplasma terjadi akibat dari
kompresi dan infiltrasi jaringan.
Pada pasien tumor otak yang berusia tua dengan atrofi otak, kejadian
edema otak jarang menimbulkan peningkatan tekanan intra kranial,
mungkin dikarenakan ruang intrakranial yang berlebihan. Hal ini dapat
menjelaskan tidak adanya papiledema pada pasien berusia tua. Muntah
lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan dewasa dan
biasanya berhubungan dengan lesi di daerah infratentorial (Kaal & Vecht,
2004).
3.3 Klasifikasi
LOCATION ADULT CHILDREN
cerebrum meningioma astrocytoma
glioblastoma ependymoma
multiforme
astrocytoma
metastatic tumor
pituitary region pituitary adenoma craniopharyngoma
craniopharyngoma optic tract glioma

16
meningioma pituitary adenoma
pituitary adenoma hemangioblastoma medulloblastoma
cerebellar ependymoma
astrocytoma
metastatic tumor cerebellar
astrocytoma
cerebellopontine acoustic neurinoma ependymoma
angle
meningioma choroid plexus
papilloma
epidermoids
brainstem astrocytoma astrocytoma
glioblastoma glioblastoma
multiforme multiforme

3.4 Etiologi
Penyebab dari brain tumor belum dapat diketahui secara
pasti, walaupun genetik dan faktor lingkungan dapat
berperan dalam perkembangannya. Faktor resiko meliputi :
1. Faktor genetik
Faktor keturunan memainkan peran yang kecil dalam
penyebab brain tumor. Dibawah 5% penderita glioma
mempunyai sejarah keluarga yang menderita brain
tumor. Beberapa penyakit warisan seperti tuberous
sclerosis, neurofibriomatosis tipe I, Turcot syndrome
dan Li-Fraumeni cancer syndrome, mempengaruhi
pasien menjadi penderita glioma. Bagaimanapun
juga, tumor tumor tersebut cenderung terjadi pada
anak-anak dan orang dewasa dan tidak terjadi pada
mayoritas penderita glioma.
2. Faktor Lingkungan
Prior cranial irradiation adalah satu-satunya yang
beresiko menyebabkan neoplasma intrakranial
3. Karakteristik Gaya Hidup
Brain tumor tidak berhubungan dengan gaya hidup
seperti merokok, minuman beralkohol atau
penggunaan ponsel

17
3.5 Patologi Tumor Otak
1. Tumor Neuroglia Primer (Glioma)
Glioma merupakan tumor otak primer paling banyak dijumpai
(50%) yang pada orang dewasa letaknya berada di supratentorial
dan berasal dari korteks dan hemisfer otak. Pada anak-anak 70%
terletak di infratentorial yang berasal dari serebelum, batang otak,
dan mesensefalon. Rasio antara penderita pria dan wanita adalah
55:45. Penatalaksanaan tumor ini yaitu dengan bedah atau
kemoterapi (Satria, 2011).
a. Astrositoma
Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang
berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti
astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif yang
sangat ganas seperti glioblastoma multiforme. Tumor
Astrositik dapat dibagi menjadi astrositik fibriler
(infiltratif), astrositoma pilositik dan beberapa varian yang
jarang (Kumar et al., 2007). Tumor astrositoma merupakan
tipe tumor SSP yang paling banyak (38,6%) dan berlokasi
di korteks frontoparietal (G. Aryal, 2011). Astrositoma
merupakan tumor tersering pada anak dengan insidensi
puncak usia 59 tahun pada laki-laki dan 1014 tahun
untuk wanita (Katchy et al., 2013).
1) Neoplasma Astrositik Difus
Neoplasma astrositik difus merupakan tumor yang
biasa terjadi pada dewasa muda dan ditandai dengan
tingkat diferensiasi seluler yang tinggi dan
pertumbuhan yang lambat. Astrositoma difus dapat
terjadi di seluruh SSP namun biasanya terletak
supratentorial dan memiliki kecenderungan intrinsik
untuk berkembang menjadi astrositoma anaplastik
dan akhirnya menjadi glioblastoma (Louis et al.,
2007). Data epidemiologi menunjukkan bahwa
kejadian astrositoma pada anak-anak sedikit
meningkat selama tiga dekade terakhir di beberapa

18
negara seperti Skandinavia dan Amerika Utara.
Distribusi usia astrositoma difus menunjukkan
kejadian puncak pada orang dewasa muda antara
usia 30 dan 40. Sekitar 10% terjadi di bawah usia
20, 60% antara 20-45 tahun, dan sekitar 30% lebih
dari 45 tahun dengan rata-rata usia 34 tahun. Ada
dominasi laki-laki yang terkena dampak (M: F rasio,
1.18:1) (Louis et al., 2007). Astrositoma difus dapat
menempati setiap wilayah di SSP, tetapi kebanyakan
sering berkembang di area supratentorial, lobus
frontal dan lobus temporal baik pada anak-anak
maupun orang dewasa. Batang otak dan tulang
belakang adalah lokasi tersering berikutnya.
Astrositoma difus ini paling jarang berlokasi di otak
kecil (Louis et al., 2007). Kejang adalah gejala yang
umum, meskipun dalam studi retrospeksi kelainan
halus seperti kesulitan berbicara, perubahan sensasi,
visi, atau beberapa perubahan motorik mungkin
telah hadir sebelumnya. Tumor yang berlokasi di
lobus frontal dapat menyebabkan perubahan
perilaku atau kepribadian. Setiap perubahan tersebut
mungkin telah hadir selama berbulan-bulan sebelum
diagnosis, tetapi gejala mungkin juga berupa onset
yang mendadak (Louis et al., 2007).
2) Astrositoma Pilositik
Astrositoma pilositik merupakan tumor WHO grade
I yang timbul lambat dan berbatas tegas (Louis et
al., 2007). Pada penampang mikroskopis sering
ditemukan daerah kistik, serat Rosenthal yang
eosinofilik terang, dan butir-butir eosinofilik kaya-
protein (badan granular hialin) (Kumar et al., 2007).
Astrositoma pilositik memiliki 5 years survival
96,4% pada anak usia 0 19 tahun (Kohler et al.,

19
2011). Astrositoma pilositik terdiri sekitar 5 6%
dari semua glioma. Astrositoma pilositik merupakan
tumor otak glioma yang paling sering terjadi tanpa
predileksi jenis kelamin yang jelas dan biasanya
terjadi pada dua dekade pertama hidup. Prevalensi
kejadian tumor ini pada usia 0 14 tahun dan 15
19 tahun masing-masing sekitar 21% dan 16% dari
semua tumor SSP. Dalam sebuah studi pada 1195
tumor pediatrik dari satu institusi, astrositoma
pilositik adalah tumor yang paling umum (18%) di
kompartemen otak. Pada orang dewasa, astrositoma
cenderung muncul satu dekade sebelumnya (usia
rata-rata 22 tahun) dibandingkan low grade
astositoma infiltasi tetapi relatif sedikit timbul pada
pasien yang lebih tua dari 50 tahun (Louis et al.,
2007). Astrositoma pilositik muncul di sepanjang
neuraxis, namun pada pediatrik populasi tumor
lebih muncul dalam daerah infratentorial. Lokasi
tumor ini meliputi saraf optik (glioma saraf optik),
chiasma optikum, talamus dan ganglia basal,
hemisfer, serebelum, dan batang otak. Pada anak-
anak, lokasi paling umum di supratentorial.
Astrositoma pilositik yang terjadi di sumsum tulang
belakang kurang sering, namun tidak jarang, dan
pada anak-anak mewakili sekitar 11% dari tumor
tulang belakang (Louis et al., 2007). Astrositoma
pilositik menghasilkan defisit neurologis fokal atau
tanda-tanda non-lokalisasi, misalnya makrosefali,
sakit kepala, endokrinopati, atau peningkatan
tekanan intrakranial. Kejang jarang terjadi karena
lesi jarang melibatkan korteks serebral (Louis et al.,
2007).
3) Glioblastoma Multiforme

20
Glioblastoma multiforme merupakan tumor otak
primer kelompok neuroepitel tersering dan
neoplasma yang paling ganas (Kohler et al., 2011;
Louis et al., 2007). Tumor ini biasanya menyerang
orang dewasa dan terutama berlokasi di
hemisferium. Glioblastoma dapat timbul cepat
secara de novo, tanpa lesi prekursor yang sering
disebut glioblastoma primer. Sedangkan
glioblastoma sekunder berkembang secara perlahan
dari difus astrositoma (WHO grade II) atau
anaplastik astrositoma (WHO grade III). Karena
sifatnya yang invasif, glioblastoma tidak dapat
sepenuhnya direseksi dan meskipun mendapat
radioterapi atau kemoterapi, kurang dari setengah
pasien yang dapat bertahan lebih dari satu tahun
(Louis et al., 2007). Bahkan berdasarkan registri
kanker oleh Beasty A. Kohler dkk, 5 years survival
untuk penderita glioblastoma yang berusia 40 60
tahun hanya 5% (Kohler et al., 2011). Prognosis
lebih jelek pada pasien usia tua dibandingkan pasien
muda tidak dapat dihungkan dengan perifokal
edema (Seidel et al., 2011). Glioblastoma adalah
tumor otak yang paling sering, terhitung sekitar 12
15% dari semua neoplasma intrakranial dan 60
75% dari tumor astrositik. Di sebagian besar Eropa
dan Amerika Utara, terdapat 3 4 kasus baru per
100 000 penduduk per tahun. Glioblastoma dapat
bermanifestasi pada usia berapa pun, tetapi paling
sering terdapat pada orang dewasa, dengan puncak
kejadian di antara usia 45 dan 75 tahun (Louis et al.,
2007). Berdasarkan laporan kasus dari Lee TT dan
Manzano GR dalam Luis (2007) pada 987 penderita

21
glioblastoma dari Rumah Sakit Universitas Zurich,
lokasi yang paling sering terkena adalah lobus
temporal (31%), lobus parietal (24%), lobus frontal
(23%) dan lobus oksipital (16%). Infiltrasi dari
glioblastoma sering meluas ke korteks yang
berdekatan dan melalui corpus callosum ke belahan
kontralateral. Glioblastoma yang berlokasi ganglia
basal dan talamus juga tidak jarang, terutama pada
anak-anak. Glioblastoma dari batang otak jarang
terjadi dan sering menyerang anak-anak. Serebelum
dan sumsum tulang belakang merupakan lokasi
yang paling jarang ditempati oleh neoplasma ini
(Louis et al., 2007). Gejala dan tanda-tanda yang
umum dari glioblastoma berupa gejala peningkatan
tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, mual,
muntah dengan disertai papil edema. Sepertiga
pasien dapat mengalami kejang epilepsi. Gejala
neurologis non-spesifik seperti sakit kepala dan
perubahan kepribadian juga dapat terjadi (Louis et
al., 2007).
b. Oligodendroglioma
Oligodendroglioma merupakan tumor grade II WHO yang
berkaitan dengan hilangnya heterozigositas di lengan
panjang kromosom 19 dan lengan pendek kromosom 1.
Secara mikrioskopis terdapat sel infiltratif dengan nukleus
bulat seragam sering dikelilingi oleh halo jernih
perinukleus. Sel neoplastik cenderung berkumpul disekitar
neuron asli, sutatu fenomena yang sering disebut sebagai
satelitosis (Kumar et al., 2007; Louis et al., 2007).
Oligodendroglioma diperkirakan 1,9% dari semua tumor
otak primer dan 6,4% dari semua glioma (Central Brain
Tumor Registry Of United States (CBTRUS), 2012).
Tingkat insiden tahunan di United States diperkirakan

22
berkisar 0,27 sampai 0,35 per 100 000 orang. Angka
kejadian oligodendroglioma meningkat secara signifikan
selama beberapa tahun terakhir (Louis et al., 2007).
Mayoritas oligodendrogliomas timbul pada orang dewasa,
dengan insiden puncak antara 40 dan 45 tahun.
Oligodendroglioma jarang terjadi pada anak-anak. Hanya
1,1% dari seluruh otak tumor pada pasien lebih muda dari
14 tahun. Pria sedikit lebih sering daripada perempuan
dengan rasio 1,1:1 (Louis et al., 2007; CBTRUS, 2012).
Oligodendroglioma muncul terutama di korteks hemisfer
otak. Sekitar 50-65% dari pasien menderita
oligodendroglioma di lobus frontal, diikuti dengan
penurunan frekuensi oleh lobus temporal, parietal dan
oksipital. Keterlibatan lebih dari satu lobus otak atau tumor
bilateral umum terjadi. Ada pula pasien yang dilaporkan
menderita oligodendroglioma dalam fossa posterior, ganglia
basal, batang otak atau sumsum tulang belakang (Louis et
al., 2007). Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial (misal, nyeri kepala). Selain itu bisa juga
terdapat kelainan fokal yang berkaitan dengan lokasinya
(misal, kejang) (Kumar et al., 2007).
c. Ependimoma
Ependimoma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan
umumnya pada anak-anak dan dewasa muda, yang berasal
dari dinding ventrikel atau dari kanal tulang belakang dan
terdiri dari neoplastik sel ependimal (Louis et al., 2007).
Secara histologis, ependimoma didominasi oleh sel panjang
dengan prosesus menyebar disekitar pembuluh darah
(perivaskuler pseudorosette) atau lumen (ependimal
rosette), ependimal rosette merupakan rekapitulasi struktur
ependim normal. Varian lain, ependimoma maksopapilar,
sering ditemukan di filum terminal korda spinalis (Kumar
et al., 2007). Penatalaksanaan tumor ini dapat berupa

23
reseksi total dan radioterapi. Pada pasien berusia lebih dari
3 tahun dapat dilakukan kombinasi radioterapi dan
kemoterapi (Parker, MacDonald, & Vezina, 2010). Di
Amerika Serikat, WHO grade II III ependimoma
memiliki perkiraan kejadian 0,29 pada pria dan 0,22 per
100 000 orang per tahun pada wanita. Tampak terdapat
perbedaan angka kejadian berdasarkan ras dengan kejadian
0,35 pada ras kulit putih versus 0.14 untuk Afrika Amerika.
Ependimoma tercatat 2 9% dari semua tumor
neuroepithel. Meskipun dapat menyerang semua usia,
namun ependimoma merupakan 6 12% dari semua tumor
intrakranial anak yang 30% dari kasus tersebut terjadi pada
anak yang kurang dari 3 tahun (Louis et al., 2007). Tumor
ini dapat terjadi dimanapun sepanjang sistem ventrikel dan
dalam kanal tulang belakang. Ependimoma paling sering
berkembang di ventrikel keempat dan sumsum tulang
belakang, diikuti oleh ventrikel lateral dan ventrikel ketiga.
Pada orang dewasa, ependimoma infratentorial dan tulang
belakang timbul dengan frekuensi yang hampir sama,
sedangkan ependimoma infratentorial jelas mendominasi
anak dan dewasa muda.(Louis et al., 2007). Pada tumor
intrakranial, ependeimoma lebih sering muncul pada
ventrikel keempat (Kumar et al., 2007). Ependimoma
biasanya menempati fossa posterior (sudut
cerebellopontine) (Parker, MacDonald, & Vezina, 2010).
Manifestasi klinis tumor ini tergantung pada lokasi yang
ditempatinya. Gejala utama berupa mulipel defisit saraf
kranial seperti palsi N.VI dan N.VIII, penurunan
pendengaran, dan sulit menelan. Ependimoma infratentorial
mungkin hadir dengan tanda-tanda dan gejala hidrosefalus
dan peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala,
mual, muntah dan pusing. Keterlibatan struktur fossa

24
posterior dapat menyebabkan ataksia serebelar, gangguan
visual, pusing dan paresis. Pasien dengan ependimoma
supratentorial menunjukkan fokus defisit neurologis, kejang
dan gejala hipertensi intrakranial. Pembesaran kepala dapat
ditemui pada anak-anak di bawah usia dua tahun (Louis et
al., 2007; Parker, MacDonald, & Vezina, 2010).
d. Medulloblastoma
Medulloblastoma adalah tumor embrional invasif di otak
kecil dengan manifestasi terutama pada anak-anak, yang
dominan diferensiasi saraf dan memiliki kecenderungan
inheren untuk bermetastasis melalui jalur cairan serebro
spinal (CSS). Peningkatan risiko medulloblastoma
ditemukan pada anak yang lahir prematur (rasio kejadian
standar 3.1). Substitusi folat dalam diet ibu hamil memiliki
fungsi sebagai pelindung terhadap pertumbuhan
medulloblastoma pada anak-anak diklaim pada penelitian
sebelumnya, tapi tidak dikonfirmasi dalam studi yang lebih
baru (Louis et al., 2007). Medulloblastoma terdiri atas sel
kecil primitif dengan sedikit sitoplasma. Sel neoplastik
kadang membentuk rosette kecil, yang disebut rosette
Homer Wright di sekitar inti fibrilar (Kumar et al., 2007).
Kejadian tahunan diperkirakan sebesar 0,5 per 100.000
anak yang berusia kurang dari 15 tahun. Di Amerika
Serikat, ras kulit putih lebih sering terkena dibandingkan
Afrika-Amerika. Puncak usia kejadian tumor ini adalah 7
tahun. Tujuh puluh persen dari medulloblastoma terjadi
pada individu yang berusia kurang dari 16 tahun. Pada
dewasa, 80% dari medulloblastomas muncul di kelompok
usia 21 40 tahun. Tumor ini jarang terjadi melampaui
dekade kelima kehidupan dan sekitar 65% pasien adalah
laki-laki (Louis et al., 2007). Tumor medulloblastoma
primer sering terjadi pada laki-laki usia pertengahan 60 atau
lebih dengan gejala fokal (Pawl et al., 2013). Median

25
survival untuk penderita medulloblastoma sekitar 14,6
bulan dengan kemoradioterapi (Omay & Vogelbaum, 2009).
Setidaknya 75% dari medulloblastoma anak timbul di
daerah vermis, dan terproyeksi ke ventrikel keempat.
Keterlibatan hemisfer serebelum meningkat pada usia
dewasa. Kebanyakan tumor terletak di belahan adalah dari
desmoplastik atau subtipe nodular (Louis et al., 2007).
Manifestasi klinis yang timbul termasuk ataksia trunkal,
gangguan berjalan, hipertensi intrakranial sekunder untuk
gejala obstruksi aliran CSS dan lesu, sakit kepala dan
muntah pada pagi hari (Louis et al., 2007).
2. Neoplasma Neuron
a. Tumor Sel Ganglion
Ganglioglioma merupakan tumor neuroepitel yang
berdiferensiasi baik dan tumbuh perlahan-lahan. Tumor ini
terdiri dari sel neoplastik, sel ganglion matang, baik hanya
terdiri dari sel neuron saja (gangliocytoma) atau kombinasi
dengan sel glial neoplastik (ganglioglioma). Perbedaan
paling sering diamati pada pasien yang mengalami epilepsi
untuk waktu yang lama (Louis et al., 2007).
Berdasarkan data yang tersedia mengindikasikan bahwa
gangliocytoma dan bersama-sama ganglioglioma mewakili
0,4% dari semua tumor sistem saraf pusat (SSP) dan
merupakan 1,3% dari semua tumor otak. Usia pasien
berkisar dari 2 bulan hingga 70 tahun. Mean atau median
usia saat diagnosis adalah dari 8,5 25 tahun. Rasio antara
laki-laki: perempuan bervariasi mulai dari 1,1:1 sampai
1.9:1. Dalam survei neuropatologi Jerman di Reference
Centre for Epilepsy Surgery, rata-rata usia 124 anak dengan
ganglioglioma adalah 10,3 tahun, dengan 44% terjadi pada
pasien wanita (Louis et al., 2007). Tumor ini dapat terjadi
diseluruh SSP, termasuk serebrum, batang otak, serebelum,
sumsum tulang belakang, saraf optik, hipofisis dan kelenjar
pineal. Mayoritas dari ganglioglioma berlokasi di lobus

26
temporal (> 70%) (Louis et al., 2007). Gejala bervariasi
sesuai dengan ukuran dan lokasi tumor. Tumor di serebrum
biasanya dikaitkan dengan riwayat kejang dengan durasi
mulai dari satu bulan sampai 50 tahun sebelum diagnosis,
dengan interval mean atau median durasi 625 tahun.
Untuk tumor yang melibatkan batang otak atau sumsum
tulang belakang, mean durasi gejala sebelum diagnosis
secara berturut-turut adalah 1,25 dan 1,4 tahun.
Ganglioglioma maupun glangliositoma merupakan tumor
yang paling sering berkaitan dengan epilepsi kronik lobus
temporal (Louis et al., 2007).
b. Tumor Neuroepitel Disembrioplastik (DNT)
Tumor neuroepitel disembrioplastik (DNT) merupakan
tumor jinak. Biasanya berupa neoplasma glialneuronal
supratentorial yang terjadi pada anak-anak atau dewasa
muda. DNT biasanya ditemukan di kortikal dan dengan
kejang parsial yang resistan terhadap obat (Louis et al.,
2007). DNT terdiri atas campuran neuron matur, daerah
mirip oligodendroglioma dan astrosit (Kumar et al., 2007).
Dalam operasi epilepsi, kejadian "khas" DNT adalah 12%
pada orang dewasa dan 13,5% di anak. Di antara semua
neuroepithelial tumor yang didiagnosis pada sebuah
institusi tunggal, DNT diidentifikasi dalam 1,2% dari
pasien yang berusia dibawah 20 tahun dan hanya 0,2% dari
mereka yang berusia lebih dari 20 tahun. Usia pasien pada
timbulnya gejala kriteria diagnostik sangat penting. Sekitar
90% dari kasus, kejang pertama terjadi sebelum usia 20
tahun. Pasien sering terdiagnosis pada dekade kedua atau
ketiga kehidupan, tetapi deteksi dari DNT dengan
pencitraan pada anak-anak atau muda orang dewasa dengan
onset kejang menjadi lebih biasa. Pasien laki-laki lebih
sering terkena (Louis et al., 2007). DNT dapat berlokasi di
setiap bagian korteks supratentorial, tetapi paling sering

27
berada di lobus temporal, terutama melibatkan struktur
mesial. DNT juga dapat berada di daerah ventrikel lateral,
septum pelucidum, regio trigonoseptal, otak tengah,
serebelum dan batang otak (Louis et al., 2007). Pasien
dengan DNT supratentorial biasanya datang dengan
keluhan kejang parsial yang resistan terhadap obat, dengan
atau tanpa generalisasi sekunder dan tidak ada defisit
neurologis. Lamanya durasi kejang sebelum bedah
intervensi dapat bervariasi dari hitungan minggu hingga
dasawarsa, yang menyebabkan variabilitas dalam usia dari
pasien di diagnosis patologis (Louis et al., 2007).
3. Neoplasma Intraparenkim Primer
a. Limfoma Sistem Saraf Pusat (SSP) Primer
Limfoma SSP Primer biasanya berupa tumor sel Limfosit B
yang secara mikroskopis mirip dengan neoplasma non-
Hodgkin dengan predominansi sel besar dan lesi agresif
dengan pola pertumbuhan angiosentrik (Kumar et al.,
2007). Insiden tumor ini mengalami peningkatan di seluruh
dunia: dari 0,8-1,5% menjadi 6,6% dari seluruh neoplasma
intrakranial primer, terutama sebagai konsekuensi dari
epidemi AIDS. Limfoma ssp primer dapat mengenai segala
usia, dengan puncak kejadian pada pasien imunokompeten
yaitu pada dekade keenam dan ketujuh hidup. Rasio
penderita laki-laki dan perempuan sekitar 3:2 (Louis et al.,
2007). Sekitar 60% dari limfoma SSP primer terdapat di
ruang supratentorial, termasuk lobus frontal (15%),
temporal (8%), parietal (7%) dan oksipital (3%), ganglia
basalis atau daerah periventrikular (10%) dan corpus
calosum (5%) , fossa posterior (13%) (Louis et al., 2007).
b. Neoplasma Sel Germinativum
Secara mikroskopis neoplasma sel geminativum terdiri atas
sel besar dengan batas jelas, sitoplasma jernih kaya
glikogen dan nukleus bulat dengan nukleolus jelas. Sel
sering tersusun dalam lobulus-lobulus kevil dengan sekat

28
fibrosa diantaranya. Biasanya terdapat serbukan limfosit
dan kadang-kadang menutupi sel neoplastik (Kumar et al.,
2007). Angka kejadian berdasarkan geografis sangat
bervariasi. Tumor ini paling sering ditemukan Asia timur.
Tumor sel germinal SSP menyumbang 23% dari
neoplasma intrakranial primer, dan 8-15% dari kasus pada
pediatrik di Jepang, Taiwan dan Korea. Di barat, neoplasma
ini hanya 0,30,6% dari tumor intrakranial primer dan
sekitar 34% dari dari kasus tersebut yang mempengaruhi
anak-anak. Sekitar 8090 % dari SSP sel germinal tumor
menimpa subyek yang lebih muda dari 25 tahun, kejadian
memuncak pada usia 1014 tahun. Berdasarkan analisis
registri di Jepang, dari total 1.463 pasien, menunjukkan
bahwa 70% kasus terjadi pada 1024 tahun dan 73%
mempengaruhi laki-laki. Hanya 2,9% pasien di bawah 5
tahun dan 6,2% lebih dari 35 tahun (Louis et al., 2007).
Seperti tumor sel germinal extragonadal lainnya, germ cell
tumor SSP terutama mempengaruhi garis tengah: 80% atau
lebih timbul dalam struktur ventrikel ketiga, dengan daerah
dari kelenjar pineal (lokasi asal paling sering), diikuti oleh
kompartemen suprasellar (Louis et al., 2007). Manifestasi
klinis tumor sel germinal SSP dan durasinya bervariasi
tergantung jenis histologis dan lokasi. Tumor wilayah
pineal sering menekan dan menghambat cairan
serebrospinal, sehingga terjadi hidrosefalus progresif
dengan hipertensi intrakranial. Tumor sel germinal
suprasellar biasanya terletak pada Chiasm optik,
menyebabkan gangguan visual dan sering mengganggu
sumbu hipotalamus-hipofisis (Louis et al., 2007).
c. Hemangioblastoma
Hemangioblastoma merupakan tumor yang tumbuh secara
perlahan. Secara mikroskopis tumor ini terdiri atas
campuran pembuluh darah halus dan sel stroma berbusa

29
kaya-lemak yang asal selnya tidak diketahui (Kumar et al.,
2007). Hemangioblastoma merupakan tumor yang jarang
terjadi dan berhubungan dengan penyakit von Hippel-
Lindau (VHL). Hemangioblastoma biasanya terjadi pada
dewasa. Tumor yang berkaitan dengan sindrom VHL dapat
hadir secara signifikan pada pasien muda pasien. Angka
kejadian pada laki-laki dan perempuan hampir sama (Louis
et al., 2007). Hemangioblastoma dapat terjadi pada semua
bagian dari sistem saraf. Tumor yang sporadis terjadi
terutama di serebelum, biasanya di hemisfer, sedangkan
hemangioblastoma yang terkait sindrom VHL dapat tumbuh
multipel dan mempengaruhi batang otak , sumsum tulang
belakang dan saraf lain di otak kecil. Lesi di daerah
supratentorial dan sistem saraf perifer jarang terjadi (Louis
et al., 2007). Gejala umumnya muncul berupa gangguan
aliran CSS karena kista tumor atau massa padat. Hal ini
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan
hidrosefalus. Hemangioblastoma memproduksi
erythropoietin, dan hal ini dapat menyebabkan polisitemia
sekunder (Louis et al., 2007).
4. Meningioma
Meningioma biasanya melekat pada bagian dalam permukaan dura
mater. Kebanyakan meningioma jinak dan sesuai dengan WHO
kelas I. Tertentu subtipe histologis atau meningioma dengan
kombinasi spesifik dari morfologi parameter yang terkait dengan
kurang hasil klinis yang menguntungkan dan sesuai WHO nilai II
(atipikal) dan III (anaplastik atau ganas) (Louis et al., 2007).
Tumor ini berkaitan dengan hilangnya sebagian atau seluruh
kromosom 22 yang menyebabkan delesi gen NF2. Massa tumor
terdiri dari sel-sel bentuk oval sampai lonjong; tumbuh hiperplastis
membentuk struktur kisaran dan pada bagian tengah tampak
pembentukan psammoma bodies (massa kalsifikasi konsentris);
diantara kelompok-kelompokan sel-sel tumor dibatasi jaringan ikat

30
dan proliferasi pembuluh darah (Kumar et al., 2007). Meningioma
mencapai sekitar 2430% tumor intrakranial primer yang terjadi di
Amerika Serikat dengan tingkat kejadian tahunan sampai 13 per
100 000. Di Skandinavia, insiden telah meningkat antara tahun
1968 dan 1997 yaitu 2,64,5 per 100000 pada wanita, dan 1,41,9
pada pria. Pada otopsi, meningioma ditemukan kebetulan di 1,4 %
kasus. Meningioma multipel sering terjadi pada pasien dengan
neurofibromatosis tipe 2 (NF2) dan pada keluarga non-NF2 dengan
faktor predisposisi menderita meningioma herediter. Meningioma
terjadi paling umum pada pasien paruh baya dan lanjut usia,
dengan puncaknya pada dekade keenam dan ketujuh (Louis et al.,
2007). Meningioma paling sering tumbuh araknoid mater di kubah
kranium (supratentorial terutama didaerah parasagital dan
infratentorial, yaitu disamping medial os petosum dekat
sudutserebelopontin) dan medulla spinalis (biasanya terletak di
bagian T.4 sampai T.8) (Kumar et al., 2007). Meningioma
umumnya tumbuh lambat dan menghasilkan tanda dan gejala
neurologis karena kompresi struktur yang berdekatan; defisit
neurologis yang spesifik tergantung pada lokasi tumor. Sakit kepala
dan kejang sering menggambarkan munculnya meningioma (Louis
et al., 2007).

3.6 Manifestasi Klinis


Brain tumor menunjukan gejala dan tanda baik spesifik maupun
nonspesifik.
1. Gejala dan tanda nonspesifik
Meliputi sakit kepala, yang ditemukan pada sekitar separuh pasien,
mual dan muntah yang disebabkan oleh bertambahnya tekanan
intracranial. Karena semakin berkembangnya kemampuan CT Scan
dan MRI, sekarang papiledema dapat dilihat pada kurang dari 10%
pasien, bahkan ketika symptoms tekanan intracranial meningkat.
2. Gejala dan tanda spesifik
Biasanya menunjukan pada keterangan lokasi intracranial tumor.
Tanda-tanda lateral, meliputi hemiparesis, aphasia, dan visual-
field deficits nampak pada sekitar 50% pasien. Kejang, merupakan

31
gejala yang biasa nampak, terjadi pada sekitar 25% pasien dengan
high-grade glioma dan pada sekurangnya 50% dengan low-grade
tumor. Seizure dapat terjadi pada keseluruhan maupun parsial.
Stroke-like presentation, Hemorrhage dalam tumor dapat terlihat
seperti stroke, walaupun sakit kepala dan perubahan kesadaran
yang menyertai biasanya lebih berkesan intracranial hemorrhage.
Hemorrhage biasanya berhubungan dengan high-grade glioma,
terjadi pada 5%-8% pasien penderita glioblastoma. Bagaimanapun
juga oligodendroglioma memiliki kecenderungan untuk berdarah,
dan hemorrhage terjadi pada 7%-14% low-grade neoplasma ini.
Gangguan sensorik dan fatigue secara tiba-tiba dapat dilihat pada
pituitary tumor, disebut juga pituitary apoplexy.

3.7 Diagnosis Tumor Otak


Evaluasi yang baik untuk pasien yang dicurigai menderita tumor otak
memerlukan riwayat yang lengkap, pemeriksaan fisik yang tepat terutama
pemeriksaan neurologi, dan pemeriksaan pencitraan neurologi yang tepat
untuk mendiagnosisnya (Zahhir, Sadrabadi & Dehghani, 2011). Sebagian
besar pasien yang terdiagnosis tumor otak datang ke rumah sakit atau
praktek dokter dengan keluhan perasaan tidak nyaman, sakit kepala,
muntah, dan atau kehilangan kesadaran (OCallaghan, 2011).

Pencitraan memegang peranan sentral dalam diagnosis, karakterisasi,


survailen, dan monitoring terapi tumor intrakranial. Meskipun beberapa
massa intrakranial memiliki fitur radiologi yang cukup khas untuk
memungkinkan diagnosis, pencitraan secara konvensional memiliki
keterbatasan dalam membedakan tumor otak dari penyakit non-neoplastik
lain yang dapat hadir sebagai space occupying lesions (SOL). Untuk
peningkatan massa perifer, diferensial diagnosis utama yaitu high grade
dan tumor otak sekunder, lesi inflamasi atau demielinasi dan abses. Tidak
adanya peningkatan lesi dapat mewakili low grade gliomas (LGGs),
ensefalitis virus dan anomali perkembangan, seperti focal displasia ortical.
(Upadhyay & Waldman, 2011).

32
Metode biomedis konvensional untuk analisis dan diagnosis lesi jaringan
otak adalah untuk mengekstrak sampel jaringan, diikuti dengan
pemeriksaan histopatologi dan analisis berdasarkan morfologi spesimen
biopsi. Meskipun ini telah menjadi prosedur untuk mendeteksi lesi tumor
manusia, histopatologi konvensional memiliki kelemahan: proses ini
invasif, deteksi tidak dilakukan in situ, waktu pemrosesan spesimen yang
lama, dan berbagai tingkat presisi mata patologi dalam membaca dan
analisis spesimen. Selain analisis histokimia, dalam metode in situ untuk
pemeriksaan tumor otak termasuk MRI, x-ray scan, CT scan, dan positron
emission tomography (PET), yang dilakukan sebelum dan setelah operasi
untuk menentukan lokasi dan bentuk lesi. Bagaimanapun, diperlukan
pencitraan yang jelas untuk mengidentifikasi margin tumor, inspeksi visual
dan palpasi jaringan. Dalam diagnosis dini, angka deteksi tumor otak dari
hasil analisis histokimia oleh ahli patologi mencapai 90% (Yan Zhou et al,
2012). Sementara itu CT dan MRI prediktif untuk mengetahui lokasi tumor
intrakranial. Akurasi dari kedua metode pencitraan ini dalam mendiagnosis
tumor otak bervariasi. Namun, MRI memiliki akurasi yang lebih baik
dibandingkan dengan CT scan dalam mendiagnosis tumor otak dan
korelasi dengan biopsi (Zahhir, Sadrabadi & Dehghani, 2011).

Deteksi jaringan tumor aktif dengan teknik CT dan MRI konvensional


tidak dapat dengan pasti membedakan jaringan tumor yang aktif dari
perubahan nonneoplastik yang disebabkan pengobatan, seperti edema,
perubahan pasca operasi atau nekrosis jaringan akibat radiasi (Borgh et al,
2011). Fitur Radiologi saja tidak dapat diandalkan untuk klasifikasi
diagnostik. Biopsi stereotactic dipandu CT scan adalah metode yang aman
sehingga memungkinkan ahli bedah saraf mendapatkan sampel jaringan
untuk diagnosis histopatologi lesi massa intrakranial di hampir semua
wilayah. Sampel ini diperlukan untuk mendapatkan diagnosis jaringan
yang valid, yang sangat diperlukan untuk keputusan pengobatan
( Rachinger et al, 2009; Ersahin et al, 2011).

Di Indonesia sendiri 2% tumor otak didiagnosis secara klinis, 22% dengan


pemeriksaan radiologi, dan 86% didiadnosis menggunakan standar baku

33
emas berupa pemeriksaan mikroskopik. Sedangkan untuk meningioma,
6% didiagnosa secara radiologi dan 94% dikonfirmasi dengan pemeriksaan
mikroskopis (Sinuraya, 2012).

3.8 Pemeriksaan Penunjang


1. MRI
Diagnosis terbaik pada brain tumor adalah dengan
penggunaan cranial MRI. MRI harus menjadi
pemeriksaan pertama pada pasien dengan tanda dan
gejala kelainan pada intracranial. MRI menggunakan
magnetic field bertenaga untuk menentukan nuclear
magnetic spin dan resonansi yang tepat pada sebuah
jaringan bervolume kecil. Jaringan yang berbeda
memiliki nuclear magnetic spin dan resonansi yang
berbeda pula.
2. CT Scan
CT Scan adalah pemeriksaan yang menggunakan
sinar-X dan dengan penggunaan komputer yang akan
menghasilkan gambar organ-organ tubuh manusia.
CT Scan dapat digunakan apabila MRI tidak tersedia.
Namun, low-grade tumor pada posterior fossa dapat
terlewatkan oleh CT Scan.

3.9 Penatalaksanaan
Pengobatan pada brain tumor dapat berupa initial supportive dan
definitive therapy.
1. Supportive Therapy
Supportive treatment berfokus pada meringankan gejala dan
meningkatkan fungsi neuroligik pasien. Supportive treatment yang
utama digunakan adalah anticonvulsants dan corticosteroid.
a. Anticonvulsants
Anticonvulsants diberikan pada pasien yang menunjukan
tanda-tanda seizure. Phenytoin (300-400mg/d) adalah yang
paling umum digunakan, tapi carbamazepine (600-
1000mg/h), Phenobarbital (90-150mg/h), dan valproic acid
(750-1500mg/h) juga dapat digunakan.
b. Corticosteroids

34
Corticosteroid mengurangi edema peritumoral dan
mengurangi tekanan intracranial.Efeknya mengurangi sakit
kepala dengan cepat. Dexamethasone adalah corticosteroid
yang dipilih karena aktivitas mineralocorticoid yang
minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari 16 mg/h,
tetapi dosis ini dapat ditambahkan maupun dikurangi untuk
mencapai dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol gejala
neurologik.
2. Definitive Therapy
Definitive treatment intracranial tumor meliputi pembedahan,
radiotherapy, kemoterapi dan yang sedang dikembangkan yaitu
immunotherapy.
a. Pembedahan
Berbagai pilihan pembedahan telah tersedia, dan
pendekatan pembedahan yang dipilih harus berhati-hati
untuk meminimalisir resiko deficit neurologic setelah
operasi. Tujuan pembedahan : (1) menghasilkan diagnosis
histologic yang akurat, (2) mengurangi tumor pokok, (3)
memberikan jalan untuk CSF mengalir, (4) mencapai
potensial penyembuhan.
b. Terapi Radiasi
Terapi radiasi memainkan peran penting dalam pengobatan
brain tumor pada orang dewasa. Terapi radiasi adalah terapi
nonpembedahan yang paling efektif untuk pasien dengan
malignant glioma dan juga sangat penting bagi pengobatan
pasien dengan low-grade glioma.
c. Kemoterapi
Kemoterapi hanya sedikit bermanfaat dalam treatment
pasien dengan malignant glioma. Kemoterapi tidak
memperpanjang rata-rata pertahanan semua pasien, tetapi
sebuah subgroup tertentu nampaknya bertahan lebih lama
dengan penambahan kemoterapi dan radioterapi.
Kemoterapi juga tidak berperan banyak dalam pengobatan
pasien dengan low grade astrocytoma. Sebaliknya,

35
kemoterapi disarankan untuk pengobatan pasien dengan
oligodendroglioma.
d. Imunoterapi
Imunoterapi merupakan pengobatan baru yang masih perlu
diteliti lebih lanjut. Dasar pemikiran bahwa sistem imun
dapat menolak tumor, khususnya allograft, telah
didemonstrasikan lebih dari 50 tahun yang lalu. Hal itu
hanya sebuah contoh bagaimana sistem imun dapat
mengendalikan pertumbuhan tumor. Tumor umumnya
menghasilkan level protein yang berbeda (dibandingkan
protein normal) disekitar jaringan, dan beberapa protein
mengandung asam amino substitusi atau deletions, atau
mengubah phosphorylation atau glycosylation. Beberapa
perubahan protein oleh tumor sudah mencukupi bagi sistem
imun untuk mengenal protein yang dihasilkan tumor
sebagai antigenik, dan memunculkan imun respon untuk
melawan protein-protein tersebut.

3.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada tipe tumor. Untuk glioblastoma multiforme
yang cepat membesar rata-rata survival time tanpa pengobatan adalah 12
minggu; dengan terapi pembedahan yang optimal dan radiasi, 32 minggu.
Beberapa astrositoma yang tumbuh mungkin menyebabkan gejala-gejala
minimal atau hanya serangan kejang-kejang selama 20 tahun atau lebih.

36
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien datang dengan keluhan kelemahan anggota gerak sebelah kanan beberapa
jam SMRS. Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba saat pasien sedang melakukan
aktivitas. Pasien juga mengeluh sering merasakan sakit kepala yang hilang timbul
dan dirasakan 4 bulan belakangan ini. Sakit kepala dirasakan berdenyut dan
makin memburuk akhir-akhir ini. Namun, pasien rutin mengkonsumsi obat
warung saat sakit kepala mulai timbul. Sebelumnya, pasien pernah dirawat inap
di salah satu RS karena kelemahan anggota gerak kanan sebulan yang lalu.
Keluarga pasien mengatakan bahwa saat itu pasien sempat muntah-muntah dan
mual saat dibawa ke RS, pasien juga sempat mengalami kejang sebanyak 1x dan
tidak pernah mengalami kejang sebelumnya. Sejak saat itu pula pasien
mengalami kesulitan dalam memulai bicara dan mengucapkan kata-kata. Namun,
keluhan tersebut mulai membaik setelah dilakukan pengobatan dan pasien mulai
dapat beraktivitas kembali. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi sebelumnya
dan tidak memiliki riwayat DM maupun penyakit jantung, dll. Dari hasil
pemeriksaan, didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 15 dengan tekanan
darah 150/80 mmHg. Namun, pasien tampak disorientasi (kebingungan) dan sulit
untuk diajak bicara. Dari hasil pemeriksaan N. Cranialis, yaitu N. II didapatkan
penurunan visus yaitu 1/300 pada mata kiri dan kanan pasien. Pasien juga tidak
mampu mengenali warna-warna yang ditunjukkan kepada pasien, dan pasien
melihat setiap warna sebagai warna putih. Dari pemeriksaan N. III, IV, VI,
didapatkan pasien hanya dapat menggerakkan bola mata ke arah lateral
paralisis N. III dan IV. Dari pemeriksaan motorik, dijumpai hemiparesis dekstra,
dan dari pemeriksaan sensibilitas didapatkan hemianestesia dekstra
(ketidakmampuan untuk merasakan sensasi dari sentuhan pada satu sisi tubuh).
Pada pasien ini dilakukan penghitungan dengan siriraj score, karena kecurigaan
awal mengarah pada stroke yang didasarkan pada adanya riwayat stroke
sebelumnya. Berikut hasil penghitungan dengan siriraj score : (2,5x0) + (2x2) +

37
(2x0) + (10%x80) (3x0) 12= 0 CT-Scan. Hasil penghitungan dengan
siriraj score yaitu 0, yang artinya meragukan, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang dengan CT-Scan.
Diagnosis tumor otak pada pasien ini juga didukung oleh beberapa keluhan
pasien meliputi sakit kepala, yang ditemukan pada sekitar separuh pasien,
mual dan muntah yang disebabkan oleh bertambahnya tekanan
intracranial. Adanya tanda-tanda lateral, meliputi hemiparesis, aphasia,
dan visual-field deficits nampak pada sekitar 50% pasien. Kejang,
merupakan gejala yang biasa nampak. Sakit kepala dan kejang fokal yang
dirasakan pada pasien ini akibat dari peningkatan tekanan intrakranial.
Nyeri kepala terus menerus dan semakin bertambah sakit dari sebelumnya
Hal ini didukung dengan adanya pernyataan bahwa gejala-gejala
peningkatan tekanan itrakranial disebabkan oleh tekanan yang berangsur-
angsur terhadap otak akibat pertumbuhan tumor sehingga terjadi nyeri
kepala. Nyeri kepala yang dihubungkan dengan tumor otak disebabkan
oleh traksi dan pergeseran struktur peka nyeri dalam rongga intrakranial.
Semakin hari lengan dan kaki kanannya semakin sulit digerakkan. Keluhan
tidak dapat menggerakkan lengan dan kaki kanan pasien sesuai dengan
gejala lain tumor otak yaitu hemiparese (lumpuh tubuh sebelah) . Keluarga
pasien mengatakan, penglihatan pasien mulai kabur beberapa bulan yang
lalu bersamaan dengan sakit kepala yang muncul. Keluhan pasien ini
memungkinkan lobus occiptal yang terkena, hal ini didukung gejala
spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasi, yaitu menimbulkan
bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan.

Tumor pada lobus parietal-occipital menimbulkanmanisfestasi visual,


kontralateral, sensorik seperti tekanan dan nyeri. Telah dilakukan
pemeriksaan penunjang pada pasien ini yaitu CT scan. Gambaran CT Scan
pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal berupa massa
yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak
dikelilingi jaringan oedem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih
rendah atau tinggi (Harsono, 2008). Pada pasien ini didapatkan hasil CT

38
scan kesan yaitu Suspek massa serebri di lobus temporoparietalis sinistra
dengan perifocal edem luas di temporooccipitoparietalis sinistra,
menyebabkan herniasi subfalxine ke dextra, sehingga pasien ini
didiagnosis dengan brain tumour (tumor otak). Beberapa jenis tumor akan
terlihat lebih nyata bila pada waktu pemeriksaan CT Scan disertai dengan
pemberian zat kontras. Setelah pemberian kontras, akan terlihat kontras
enhancement dimana tumor mungkin terlihat sebagai daerah hiperdens.
namun, untuk jenis tumor belum dapat diketahui, karena memerlukan
pemeriksaan histopatologi jaringan.

Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah pengobatan medikamentosa.


Langkah pertama pada pengobatan tumor otak ialah pemberian
kortikosteroid yang bertujuan untuk memberantas edema otak. Pengaruh
kortikosteroid terutama dapat dilihat pada keadaan-keadaan seperti nyeri
kepala yang hebat, defisit motorik, afasia dan kesadaran yang menurun.
Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas. Beberapa
hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan resorbsi
cairan serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah. Perbaikan sudah
ada dalam 24-48 jam. Jenis kortikosteroid yang dipilih yaitu
glukokortikoid; yang paling banyak dipakai ialah deksametason, selain itu
dapat diberikan prednison atau prednisolon. Dosis deksametason biasa
diberikan 4-20 mg intravena setiap 6 jam untuk mengatasi edema
vasogenik (akibat tumor) yang menyebabkan tekanan tinggi intrakranial.

Selanjutnya, pasien dirujuk ke spesialis bedah saraf untuk medapatkan


terapi dan penanganan lebih lanjut.

39
DAFTAR PUSTAKA

Cook LJ and Freedman J. 2012. Brain Tumors, Understanding Brain Diseases


and Disorders. New York: The Rosen Publishing Group

Ellis, Harold. 2006. Clinical Anatomy: Applied Anatomy for Student & Junior
Doctors. 11th edition. USA: Blackwell Publishing

Ginsberg L. 2011. Lecture Note : Neurologi. Alih bahasa Indah Retno Wardhani.
Jakarta: Penerbit Erlangga. Hlm 117

Hakim, A.A., 2005. Kasus-kasus Tumor Otak di Rumah Sakit H.Adam Malik dan
Rumah Sakit Haji Medan Tahun 20032004. Majalah Kedokteran
Nusantara.vol 38.

Kaal ECA and Vecht CJ. 2004. The management of brain edema in brain tumors.
Department of Neorology Medical Center Haaglanden, Netherland.
Oncology. 16:593600

Kumar, Vinay, Cotran, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Anatomi Edisi 7 Vol. 2.
Jakarta : EGC

Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK. 2007. WHO Classification of
Tumours of the Central Nervous System. 4th Edition. Lyon : International
Agency for Research on Cancer

Moore, K.L. and A.M.R. Agur. 2007. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta

OCallaghan V. 2011. Understanding Brain Tumor. NSW: Cancer Council.

Upadhyay N and Waldman AD. 2011. Conventional MRI evaluation of gliomas.


The British Journal of Radiology. 84 (2011): 107111

40
Zahhir T, Sadrabadi R, and Dehghani. 2011. Evaluation of diagnostic value of CT
scan and MRI in brain tumors and comparison with biopsy. Iranian
Journal of Pediatric Hematology Oncology. 1(4): 121125.

41

Anda mungkin juga menyukai