Anda di halaman 1dari 13

Abses Peritonsil Sinistra

IP Ady Putra Astawan


102011141
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : adyputraastawan@yahoo.com

Pendahuluan

Abses atau secara luas dikenal sebagai benjolan merupakan suatu masa akibat
penumpukan nanah pada suatu area tubuh. Leher merupakan salah satu area tubuh yang dapat
terpapar abses. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial diantara fasia leher
dalam, sebagai akibat terpaparnya suatu infeksi dari berbagai sumber misalnya, gigi mulut,
tenggorok, sinus paranasal, telinga luar dan leher eksterna.1 Abses leher dalam dapat berupa
abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina
Ludovici.2
Abses peritonsil atau dikenal sebagai Quinny merupakan kumpulan nanah yang
terdapat pada jaringan ikat longgar diantara fossa tonsilaris faring dan muskulus konstriktor
faring. Penyakit ini sebenarnya sudah ada sejak abad XIV pada masyarakat Inggris, tetapi
saat itu belum dikenal dengan istilah abses peritonsil..Berdasarkan hal ini penulis merasa
penting untuk membahas lebih lanjut hal-hal yang terkait dengan abses peritonsil.1

Anamnesis

Anamnesis merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri yang disebut Auto Anamnesa apabila pasien
dalam kondisi sadar dan baik, bisa juga melalui keluarga terdekat atau orang yang bersama
pasien selama ia sakit apabila pasien dalam kondisi tidak sadar atau kesulitan berbicara
disebut dengan Allo Anamnesa.3

Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan


30% sisanya didapatkan dari pemeriksaan fisik dan penunjang. Hal yang perlu ditanyakan
dokter pada saat anamnesis antara lain :3

1
Identitas pasien yakni data diri dari pasien tersebut seperti nama, alamat, pekerjaan,
umur, dan lain sebagainya.
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan penderita
sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta
menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Hal ini merupakan dasar untuk memulai
evaluasi pasien.
Pada riwayat penyakit sekarang dapat ditanyakan mengenai:
o Sejak kapan muncul gangguan atau gejala-gejala tersebut
o Frekuensi serangan atau kualitas penyakit
o Sifat serangan atau kuantitas penyakit
o Lamanya penyakit tersebut diderita
o Perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
o Lokasi sakitnya
o Akibat yang timbul
o Gejala-gejala yang berhubungan
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita pasien
pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami sekarang.
Riwayat keluarga meliputi segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter dan
kontak antara anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.

Keluhan yang sering ditemukan terkait daerah faring umumnya adalah nyeri
tenggorokan, nyeri menelan (odinofagia), rasa banyak dahak di tenggorokan, sulit menelan
(disfagia) dan rasa ada sesuatu yang menyumbat atau mengganjal.2
Nyeri tenggorok bersifat dapat menetap maupun hilang timbul. Terkait keluhan ini perlu
ditanyakan apakah disertai dengan gejala sistemik lainnya seperti demam, batuk, suara serak
dan tenggorokan terasa kering. Selain itu tanyakan juga mengenai riwayat sosial, apakah
seorang perokok aktif ataukah pasif, serta frekuensi merokok jika pasien adalah perokok
aktif.2
Nyeri menelan (odinofagi) merupakan rasa nyeri yang dirasakan pada tenggorokan saat
gerakan menelan. Jika benar terdapat keluhan tersebut, tanyakan apakah nyeri tersebut
dirasakan hingga di telinga.2
Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering ditemukan akibat adanya inflamasi
di hidung dan faring. Tanyakan mengenai karakteristik dahak tersebut, apakah lendir, pus,
darah, dapat keluar jika dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.2

2
Sulit menelan (disfagia) juga dapat dikeluhkan oleh pasien. Jika terdapat keluhan ini
tanyakan sudah berapa lama dan apakah jenis makanan cair atau padat yang tidak dapat
ditelan serta bagaimana dengan nafsu makan dan berat badan pasien, menetap ataukah
mengalami penurunan.2
Rasa sumbatan di leher tanyakan onset, lokasi, faktor pencetus dsb.2
Hasil anamnesis yang didapat dari skenario adalah pasien laki-laki berusia 38 tahun
mengeluh kesulitan dalam menelan dan sulit membuka mulut sejak 2 hari yang lalu, serta
mengeluh demam dan banyak air liur.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan tonsil, ada pembengkakan unilateral, karena jarang kedua tonsil
terinfeksi pada waktu bersamaan. Bila keduanya terinfeksi maka yang kedua akan
membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Bila terjadi pembengkakan secara
bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan nafas akan lebih berat. Pada pemeriksaan
fisik inspeksi dan palapsi penderita dapat menunjukkan tanda-tanda dehidrasi dan
pembengkakan serta nyeri kelenjar servikal/ servikal adenopati. Disaat abses sudah timbul,
biasanya akan tampak pembengkakan pada daerah peritonsilar yang terlibat disertai
pembesaran pilar-pilar tonsil atau palatum molle yang terkena.
Pada pemeriksaan biasanya akan sukar memeriksa keseluruhan faring, karena trimus.
Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi. Uvula
bengkak ke sisi kontralateral. Tonsil teraba bengkak dan hiperemis, dan mungkin banyak
detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Abses peritonsil yang terjadi pada kutub inferior tidak menunjukkan gejala yang sama
dengan pada kutub superior. Umumnya uvula tampak normal dan tidak bergeser, tonsil dan
daerah peritonsil superior tampak berukuran normal hanya ditandai dengan kemerahan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan trismus 2 jari, palatum mole membengkak
menonjol ke depan, uvula terdorong ke sisi kanan, tonsil hiperemis dan bengkak. Dan hasil
pemeriksaan tanda-tanda vital terdapat kenaikan suhu subfebris 37,5oC, denyut nadi
85x/menit, frekuensi pernapasan 100x/menit.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah aspirasi pus , dimana pemeriksaan dapat dilakukan
untuk mengetahui adanya abses sekaligus untuk memeriksakan resistensi bakteri. Prosedur

3
diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration) yaitu; pertama tempat
aspirasi dibius/ dianestesi menggunakan lidocain sprai dengan epinephrine dan jarum besar
(berukuran 16-18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi yang
bernanah (purulent) merupakan tanda khas dan kemudian dapat dikirim untuk dibiakkan.

Selain itu juga dapat diakukan pemeriksaan lainnya untuk membantu dalam penegakkan
diagnosis yaitu;

a.
Ultrasonografi transkutaneus atau intraoral bisa sangat membantu dalam membedakan
abses peritonsil dan selulitis peritonsil. Ct-Scan dapat digunakan untuk mengetahui
komplikasi dari abses peritonsiler di bagian leher dalam lainnya dan komplikasi pada
vena jugularis interna yang menyebabkan trombosis atau jika sudah terjadi erosi abses
yang mengenai arteri karotis.
b.
Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar
elektrolit, dan kultur darah. Pemeriksaan tersebut diperlukan karena
pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam keadaan sepsis dan
menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi akibat tidak
tercukupinya asupan makanan.
c.
Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien
dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya
positif, penderita memerlukan evaluasi atau penilaian
hepatosplenomegali. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegali.
d. Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasil kulutur dapat digunakan
untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah
timbulnya resistensi antibiotik.
e. Plain radiographs: gambaran jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue
views) dari nasofarynx dan orofarynx dapat membantu dokter dalam
menyingkirkan diagnosis abses retrofaryngeal.
f. Ct-Scan dapat digunakan untuk mengetahui komplikasi dari abses peritonsiler di bagian
leher dalam lainnya dan komplikasi pada vena jugularis interna yang menyebabkan
trombosis atau jika sudah terjadi erosi abses yang mengenai arteri karotis. Pada hasil
gambaran ct-scan, biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang
terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral rim enhancement 4

4
Working Diagnosis

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi


pada bagian kepala dan leher dalam. Gabungan dari bakteri aerobik dan
anaerobik sering ditemukan di daerah peritonsilar yang diduga sebagai
penyebab abses. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah
didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum
superior. Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan pus (nanah) yang
terlokalisir atau terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk
sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. 4
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi
di spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil
dengan m. kontriktor superior biasanya unilateral dan didahului oleh
infeksi tonsilofaringitis akut 5-7 hari sebelumnya. 4 selain itu perluasan
abses bisa hingga mencapai m. Masseter serta ke selubung karotis.
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut atau
perluasan dari infeksi mukus Weber di superior tonsil.

Differential Diagnosis
Abses Parafaring Kiri
Merupakan kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
parafaring karena suatu mekanisme infeksi. Gejala klinis yang biasanya
tampak abses adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga akan menjonjol ke arah medial.2
Seperti yang sudah dikatakan bahwa abses ini terjadi karna
mekanisme infeksi, dimana infeksi dapat terjadi secara langsung akibat
tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia,
dimana jarum tersebut menembus lapisan tipis otot m. Konstriktor faring
superior. Dapat juga terjadi karena proses supurasi kelenjar limfa leher
bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan
vertebra servikal. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring dan
submandibula juga dapat menjadi penyebab abses parafaring. Komplikasi
yang dapat terjadi adalah kerusakan pada dinding pembuluh darah

5
sehingga dapat terjadi nekrosis lalu ruptur yang kemudian menyebabkan
pendarahan hebat.

Tonsilitis Akut
Tonsilitis adalah mekanisme peradangan pada tonsil palatina yang
merupakan bagian dari cincin waldeyer. Penyebaran penyakit ini dapat
terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Penyakit ini
dapat terjadi pada semua kalangan umur, terutama pada anak anak.
Tonsilitis dengan onset yang terbilang cepat disebut akut. Tonsilitis akut
dapat terbagi berdasarkan etiologinya; tonsilitis viral dan tonsilitis
bakterial.2
Pada tonsilitis viral, gejala yang tampak akan menyerupai common
cold yang disertai rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang tersering adalah
virus Epstein Barr, Hemofilus influenzae yang akan menyebabkan tonsilitis
viral supuratif. Jika terjadi akibat infeksi virus coxschakie, maka akan
muncul pada pemeriksaan fisik tampak luka-luka kecil pada paalatum dan
tonsil terasa sangat nyeri.2
Berbeda dengan tonsilitis viral, tonsilitis bakterial disebabkan oleh
bakteri grup A streptokokus beta hemolitikus; streptokokus virdan dan
streptokokus piogenes akan menyebabkan detritus yaitu kumpulan
leukosit, bakteri mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis detritus akan
mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Gejala yang
biasanya tampak adalah nyeri tenggorok dan nyeri saat menelan, dema
tinggi, rasa lesu, nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan nyeri telinga
karena nyeri alih melalui saraf n.glosofaringeus (N. IX).2
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak-anak adalah otitis media
akut, sinusitis, abses peritonsil, abses parafaring, bronkitis, dan lainnya.
Dan komplikasi karena hipertrofi tonsil adalalah pasien bernapas melalui
mulut, tidur mendengkur dan gangguan tidur apneu atau dikenal dengan
Obstructive Sleep Apneu Syndrome (OSAS).

Manifestasi Klinis

6
Manifestasi klinis yang ditimbulkan pada abses peritonsil biasanya
berupa tanda tonsilitis akut dan juga terdapat odinofagia yang sangat
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi otaklgia dan mungkin
terdapat juga muntah, mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah, suara
gumam (hot potato voice) dan kadang sukar membuka mulut (trismus)
serta pembengkakan pada kelenjar submandibula dengan disertai nyeri
2
tekan.
Gejala klinis lainnya adalah air liur tampak keluar (drooling) akibat
nyeri saat menelan, dan teraba pembesaran kelenjar getah bening
submandibula dan servikal dengan disertai nyeri tekan.5

Etiologi
Penyebab dari abses peritonsil adalah kuman atau bakteri baik
aerob maupun anaerob. Kuman aerob yang tersering sebagai agen
penyebab adalah streptokokus piogenes, streptokokus aureus, Haemofilus
influenza dan kelompok bakteri Neisseria. Sedangkan kuman anaerob
yang umum ditemukan adalah Fusobacterium, Peptostreptococcus,
Prevotella dan Bacteroides sp.5

Epidemiologi
Abses peritonsil umumnya terjadi pada umur 10-60 tahun, namun
paling sering terjadi pada umur 15-35 tahun. 1 Pada anak-anak jarang
terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem immunnya. Infeksi bisa
menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak.
Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di
Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000
1
orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
Patofisiologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Namun teori yang paling
banyak diterima adalah perkembangan dari episode tonsillitis eksudatif ke peritonsilitis dan
kemudian terjadi proses pembentukan abses.
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini.

7
Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), terjadi proses pembengkakan dan tampak
permukaan peritonsil hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral (arah yang sehat). Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di
sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m. pterigoid interna sehingga timbul trismus.
Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru.
Teori lain menyatakan abses peritonsil di kelenjar Weber. Kelenjar ludah minor ini
ditemukan di ruang peritonsil dan diperkirakan berfungsi membantu pembersihan debris dari
amandel. Kemungkinan, obstruksi kelenjar Weber akibat infeksi, nekrosis jaringan dan proses
pembentukan abses, mengakibatkan terjadinya abses peritonsil.2

Pentalaksanaan
Meskipun fakta menunjukkan bahwa abses peritonsil merupakan komplikasi tersering
dari tonsillitis akut, penatalaksanaan dari abses peritonsil masih controversial.
Penatalaksanaan yang umum dikenal untuk abses peritonsil adalah insisi, drainase dan terapi
antibiotika, diikuti oleh tonsilektomi beberapa minggu kemudian.2.

a. Terapi antibiotika
Salah satu faktor yang masih merupakan kontroversi dalam penanganan abses
peritonsil adalah pemilihan terapi antibiotika sebelum dan sesudah pembedahan.
Antibiotika pada gejala awal diberikan dalam dosis tinggi disertai obat simptomatik,
kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher (mengendurkan
tegangan otot).2

Dengan mengutamakan pemeriksaan kultur dan sensitifitas, pemberian terapi


antibiotika ditunjukkan pada jenis bakteri mana yang lebih banyak muncul. Penisilin
dan sefalosporin (generasi pertama, kedua, atau ketiga) biasanya merupakan obat
pilihan. Penisilin dalam dosis tinggi sebagai obat pilihan diberikan dengan
mempertimbangkan kontra indikasi seperti alergi atau timbulnya kemungkinan
adanya reaksi koagulasi organismee.

Penisilin dapat digunakan pada penderita abses peritonsil yang diperkirakan


disebabkan oleh kuman Staphylococcus. Metronidazol merupakan antimikroba yang
sangat baik untuk infeksi anaerob. Klindamisin saat ini dipertimbangkan sebagai
antibiotik pilihan untuk menangani bakteri yang memproduksi beta laktamase.

8
Penting untuk dicatat bahwa memberikan antibiotika intravena pada penderita abses
peritonsil yang dirawat inap belakangan ini sudah kurang umum digunakan.7

b. Insisi dan drainase


Abses peritonsil merupakan suatu indikasi tindakan yang juga disebut
intraoral drainase. Tujuan utama tindakan ini adalah mendapatkan drainase abses
yang adekuat dan terlokalisir secara cepat. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi
pada pembengkakan di daerah pilar-pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah paling
berfluktuasi.

Teknik insisi, pada penderita yang memerlukan anastesi umum, posisi


penderita saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan ETT
(Endotrakeal tube). Anestesi topical dapat berupa xylocaine spray atau menggunakan
lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah keterlibatan jaringan tonsil yang
lain. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada pembengkakan di daerah pilar-
pilar tonsil atau dipalpasi pada daerah yang paling fluktuatif dan lunak, atau
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Dan kedalaman insisi tidak boleh melebihi dari 1 inchi serta harus melewati titik
aspirasi.

Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung dihisap dengan
menggunakan alat penghisap. Tindakan ini (menghisap pus) penting dilakukan untuk
mencegah aspirasi yang dapat mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila
insisi yang dibuat tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah
cukup banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita
kemudian disuruh berkumur dengan antiseptic dan diberi terapi antibiotika.7

Drainase dengan aspirasi jarum, model terapi abses peritonsil yang


digunakan sampai saat ini, pertama insisi dan drainase serta yang kedua tonsilektomi.
Saat ini ada beberapa penelitian yang mendiskusikan tentang aspirasi menggunakan
jarum sebagai salah satu terapi bedah pada abses peritonsil. Beberapa keuntungan dari
evaluasi penatalaksanaan aspirasi jarum dibanding insisi dan drainase adalah:

Mudah untuk dilakukan, sederhana, aman, dan murah


Dapat digunakan untuk konfirmasi diagnosis dengan trauma minimal (yang
biasanya dapat dilakukan sebelum insisi dan drainase)

9
Dapat ditoleransi (ditahan) oleh penderita/ tidak menakutkan
Tidak/ kurang mencederai struktur jaringan sekitar
Lebih memudahkan untuk mengumpulkan spesimen/ pus guna pemeriksaan
mikroskopis dan tes kultur/ sensitifitas
Memberikan penyembuhan segera, mengurangi kesakitan
Mencegah prosedur bedah dan anestesi umum
Merupakan prosedur yang dapat dipercaya untuk abses peritonsil
Kerugian terapi dengan drainase dengan aspirasi jarum adalah:

Bila pus terkumpul kembali dapat menyebabkan infeksi yang berulang


Tidak dapat melakukan pembersihan kantung pus secara maksimal
Pus yang tersisa tidak maksimal keluar sehingga dapat menyebabkan proses
penyembuhan lama.6
c. Tonsilektomi
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang
kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi pada abses
peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa kekambuhan pada penderita
abses peritonsil terjadi cukup banyak sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini
dilakukan untuk memastikan tidak terjadinya kekambuhan.

Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses peritonsil, bervariasi:

Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera/ bersamaan dengan drainase abses


Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase
Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu setelah drainase
Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah rekurensi
abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi harus dilakukan 2-3
minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setalah 2-3 minggu, menimbulkan
bekas luka yang terdapat pada kapsul tonsil, sehingga tindakan operasi sulit dan
menimbulkan perdarahan serta sisa tonsil.

Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses peritonsil


dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara diseksi dan dalam

10
perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi yang memberikan resiko yang
sama dengan tonsilektomi abses pada fase tenang (cold tonsillectomy).

Beberapa keuntungan dari tonsilektomi segera pada abses peritonsil adalah:

Penanganan penderita dilakukan dalam satu tahap pada saat sakit


Memberikan drainase pus yang lengkap
Mengurangi kesulitan tonsilektomi selang waktu yang kadang-kadang
timbul
Mengurangi waktu perawatan (bila penderita dirawat inap di rumah sakit)
Mengurangi rasa sakit dengan segera dan menghilangkan perasaan tidak
enak mengalami prosedur yang lain (insisi dan drainase)
Beberapa kerugian tindakan tonsilektomi segera pada abses peritonsi adalah:

Dapat terjadinya perdarahan pada saat tindakan tonsilektomi


Dapat terjadi thrombosis, sinus kavernosus, aspirasi paru, dan meningitis
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:

Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus atau
abses yang berlokasi di kutub bawah
Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring, dengan
resiko meluas ke daerah leher dalam
Penderita dengan DM yang memerlukan toleransi terhadap terapi berbagai
antibiotika
Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat karena abses
akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam.7

Komplikasi

Komplikasi abses peritonsil dapat berupa edema laring akibat


tertutupnya rima glotis atau edema glotis akibat proses perluasan radang
ke bawah. Keadaan ini membahayakan karena bisa menyebabkan
obstruksi jalan napas.

11
Abses yang pecah secara spontan terutama waktu tidur dapat
mengakibatkan aspirasi pneumonia dan piemia. Abses yang ruptur
spontan biasanya pecah dari pilar anterior. Penjalaran infeksi dan abses ke
daerah parafaring, sehingga dapat terjadi abses parafaring. Kemudian
dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis yang
dapat menyebabkan kematian.
Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Kematian,
walaupun jarang dapat terjadi akibat perdarahan atau nekrosis septik ke
selubung karotis atau carotid sheath2

Prognosis

Abses peritonsil merupakan penyakit yang jarang menyebabkan kematian kecuali jika
terjadi komplikasi berupa abses pecah spontan dan menyebabkan aspirasi ke paru. Selain itu
komplikasi ke intracranial juga dapat membahayakan nyawa pasien. Abses peritonsil hampir
selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi, maka perlu dilakukan tonsilektomi
pada pasien abses peritonsil. Tonsilektomi sebaiknya dilakukan pada saat peradangan telah
mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada saat operasi.8

Kesimpulan

Abses peritonsil merupakan timbunan nanah (pus) yang terlokalisir/ terbatas pada
jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai hasil penjalaran dari tonsilitis supuratif atau
karena suatu mekanisme infeksi. Gejala klinis yang tampak meliputi, odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, nyeri telinga (otalgia) yang adalah nyeri alih (referred pain), muntah
(regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau/serak, dan kadang-
kadang sukar membuka mulut (trismus), Abses peritonsil biasanya selalu berulang bila tidak
diikuti dengan tonsilektomi.

Daftar Pustaka

1. Fandi Agus, Dewa artha Eka. Abses Peritonsil. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Jurnal Ilmiah Kedokteran. 2014.

12
2. Efendi H: Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring. Dalam: Boies,
Buku Ajar Penyakit THT Edisi VII, EGC, Jakarta, 2012. Hal 333-34.
3. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2003. h.150-1.
4. Fachruddin, Darnila. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan Edisi V, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta, 2006. Hal. 185
5. Christanto dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. II. Media Aesculapius: Jakarta;
2014.h.1070-71.
6. Braude DA, Shalit M. A novel approach to enchance visualization during drainage of
peritonsillar abscess. The Journal of Emergency Medicine; 2007

7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga,
hidung, tenggorok, dan kepala. Jakarta: FKUI; 2007

13

Anda mungkin juga menyukai