Anda di halaman 1dari 34

Presentasi Soal

Abses Peritonsiler
• Stem:
Seorang pria datang ke puskesmas dengan keluhan nyeri saat menyelan.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan palatum mole membengkak dan daerah
tonsil berwarna merah, bengkak, dan ada bercak putih. Didapatkan suhu
38 derajat Celcius, tekanan darah 110/80, nadi 80 kali per menit, dan laju
pernafasan 18 kali per menit.
• Lead-in:
Selain karena tonsilitis akut, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
A. Tuberkulosis vertebralis servikal bagian atas
B. Infeksi kelenjar limfa submandibula
C. Infeksi pada kelenjar Weber
D. Trauma dinding belakang faring
E. Infeksi melalui duktus Stenson
• Jawaban: C
Etiologi
PEMBAHASAN
• Abses peritonsiler adalah terbentuknya abses purulen pada daerah
peritonsiler yang terletak diantara capsula tonsilla palatina dan
musculus constrictor pharyingis superior.
• Tonsilla palatina sendiri ada dua dan terletak pada dinding lateral
oropharynx di antara pillar anterior dan posterior. Pada permukaan
lateral tonsil terdapat capsul fibrosa. Diantara kapsul ini dan dasar
tonsil terdapat jaringan areolar yang renggang dan mudah terjadi
pengumpulan pus pada jaringan ini. Tonsilla palatina berfungsi
sebagai organ imunitas lokal pada bagian mulut.
Pembahasan
Pembahasan
• Terjadi sebagai komplikasi dari tonsilitis akut namun juga bisa terjadi
tiba-tiba tanpa riwayat nyeri tenggorokan.
• Penyebab dari tonsilitis ini dapat dikarenakan infeksi bakteria maupun
virus dengan penyebab tersering adalah infeksi streptococcus grup A.
• Abses peritoneal juga dapat terjadi karena adanya infeksi pada
kelenjar Weber
Pembahasan
• Abses retrofaring: infeksi saluran napas atas yang menyebabkan
limfadenitis retrofaring, trauma dinding belakang faring oleh benda
asing, serta tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas
• Abses submandbula: Infeksi kelenjar limfa submandibula
• Abses parotis: Infeksi pada kavitas oris yang merambat ke kelenjar
parotis melalui duktus Stenson
Referensi:
• Dhingra, P. L. and Dhingra, S. (2013) Diseases of Ear, Nose, and Throat
& Head and Neck Surgery. 6th edn. Elsevier.
• Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2007) Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edited by E. A.
Soepardi et al.
• Klug, T. E. (2016) ‘Peritonsillar abscess : clinical aspects of
microbiology , risk factors , and the association with parapharyngeal
abscess’, pp. 1–39. doi: 10.1086/644616.II.
Patofisiologi
STEM
Pasien wanita usia 30 tahun datang dengan keluhan nyeri ketika menelan. Nyeri
dirasakan di seluruh tenggorokan, mengganggu makan dan minum, suara pasien
berubah menjadi menggumam, mulut pasien terasa bau tidak sedap, pasien
terkadang sukar membuka mulut. Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD
130/80 mmHg, nadi 100 x/menit, RR 22 x/menit, suhu 38,30c. Pada status lokalis
tenggorok didapatkan tonsil membesar, ukuran tonsil T3-T2, tonsil hiperemis (+),
pus (+), uvula hiperemis (+) dan deviasi kearah sinistra. Dokter mencurigai terdapat
abses di leher dalam pasien.
LEAD IN
Jika pasien tersebut di diagnosis abses peritonsil, maka manakah patofisiologi
utama yang mungkin terjadi pada pasien?
OPTIONS
a. Paralisis otot-otot laring pada pasien sehingga meyebabkan disfonia (gangguan
suara) dan salah satu komplikasi beratnya adalah abses peritonsil.
b. Pasien pernah didiagnosis rhinitis atrofi sehingga menimbulkan infeksi pada
faring dan hal ini yang menyebabkan mulut berbau.
c. Infeksi pada daerah kepala leher terutama karies gigi pada pasien sehingga
dapat terbentuk abses pada jaringan sekitar.
d. Sumbatan di ruang supra tonsil sehingga jaringan sekitarnya mengalami
inflamasi dan terbentuk pus pada pasien.
e. Gangguan persarafan motorik dan sensorik pada pasien terutama daerah faring
cabang dari n.vagus sehingga pasien mengeluh nyeri menelan.
JAWABAN
d. Sumbatan di ruang supra tonsil sehingga jaringan sekitarnya
mengalami inflamasi dan terbentuk pus pada pasien.

PEMBAHASAN
Abses peritonsil sebagai kelanjutan dari infeksi yang bersumber dari
kelenjar mukus weber. Pada fossa tonsil ditemukan kelenjar di ruang
supra tonsil yang disebut kelenjar weber. Fungsi kelenjar ini adalah
membantu untuk menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang
terperangkap di dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi
infeksi berulang, dapat terjadi gangguan pada proses tersebut lalu
timbul sumbatan terhadap sekresi kelenjar weber yang mengakibatkan
terjadinya pembesaran kelenjar.
Diagnosis
Seorang wanita usia 25 tahun datang ke IGD RSUP NTB dengan keluhan nyeri di tenggorokan sejak
seminggu yang lalu dan memberat sejak dua hari terakhir. Nyeri juga dirasakan pasien di bagian atas
mulut sebelah kanan. Pasien kesulitan untuk membuka mulut secara lebar, mulutnya berbau, banyak
mengeluarkan saliva dan terdengar suara bergumam saat berbicara. Dokter melakukan pemeriksaan fisik
dan didapatkan keadaan pasien kompos mentis, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 90x/menit, respirasi
20x/menit dan suhu 37,80C. Pada pemeriksaan paru tidak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
tenggorokan ditemukan pembesaran tonsil, hiperemis, dan uvula tidak berada di tengah melainkan
terdorong ke arah kiri. Dokter mencurigai pasien mengalami abses peritonsil, dan mengajukan
pemeriksaan penunjang untuk memastikan diagnosis tersebut.

Pemeriksaan penunjang apa yang menjadi gold standar dalam penegakan diagnosis untuk kasus di
atas?

A. MRI
B. Kultur
C. CT Scan Jawaban: C. Aspirasi abses
D. Aspirasi abses
E. Pewarnaan gram
Gejala dan Tanda1,3,4

• Odinofagia (nyeri menelan) • Deviasi kontralateral dari uvula karena


• Nyeri telinga (otalgia) pembesaran tonsil
• Muntah (regurgitasi) • Palatum mole tampak membengkak
dan menonjol
• Mulut berbau (foetor ex ore)
• Uvula membengkak Dan terdorong ke
• Banyak ludah (hipersalivasi) sisi kontralateral
• Suara gumam (hot potato voice) • Tonsil bengkak dan hiperemis
• Sukar membuka mulut (trismus)
• Disfagia
Tabel 1. Gejala dan manifestasi klinis abses peritonsiler.2
Gambar 1. Deviasi kontralateral dari uvula karena pembesaran tonsil.5
Diagnosis1,2,3,4,5,6
Diagnosis abses peritonsiler dapat ditegakkan dengan melihat beberapa hal,
diantaranya:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Aspirasi abses, merupakan gold standard untuk menegakkan diagnosis abses
peritonsil
4. Pemeriksaan laboratorium, Pus yang didapat dari tindakan aspirasi dikirim ke
laboratorium untuk dilakukan pewarnaan gram dan kultur untuk menentukan
regimen terapi yang sesuai
5. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosis abses
peritonsil adalah CT Scan dan MRI
Gambar 2. Aspirasi jarum (aspirasi abses) pada abses peritonsiler.5
Tabel 2. Organisme umum yang terkait dengan abses peritonsiler.2
Daftar Pustaka
• Agus, Fandi., dan Eka, DA. 2013. ABSES PERITONSIL. Vol.44. No.3. Bagian /SMF Ilmu Kesehatan
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar.
MEDICINA.
• Galioto, Nicholas. 2017. Peritonsillar Abscess. Vol.95. No.8. American Family Physician.
• Rahman, Sukri. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang,
Sumatra Barat.
• Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher. 7th ed. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
• Steyer, Terrence. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis and Treatment. Vol.65. No.1. American
Family Physician.
• Universitas Sumatra Utara. Tinjauan Kepustakaan Infeksi Leher Dalam. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/49733/Chapter%20II.pdf?sequence=4&
isAllowed=y
Seorang perempuan berusia 20 tahun datang ke rumah sakit dengan
keluhan nyeri pada tenggorokan, terutama saat menelan. Pasien juga
mengeluh kesulitan membuka mulut, demam ringan, dan banyak
bersaliva. Dari anamnesis, diketahui pasien memiliki riwayat faringitis
berulang dan pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80,
suhu 38oc, respirasi 2l0x/menit. Pada pemeriksaan mulut, tonsil tampak
kemerahan, pembengkakan peritonsilaris yang luas mendorong uvula
melewati garis tengah, ditemukan bercak putih dan edema pada palatum
mole. Dokter menduga pasien mengalami abses peritonsilar.
• LEAD-IN

Tatalaksana yang paling sesuai dengan keadaan pasien pada


kasus diatas adalah….
• OPTIONS
a. Tonsilektomi
b. Aspirasi Pasien
c. Insisi dan drainase
d. Pemberian antibiotic
e. Pengobatan mandls pada faring
Jawaban A
Drainase

Landasan
Terapi antibiotik
pengobatan terapi suportif
untuk
mempertahankan
abses hidrasi

peritonsiler

Kontrol nyeri
• Stadium infiltrasi (permulaan, tanpa abses), terapi yang diberikan
adalah antibiotika golongan penisilin atau klindamisin, dan obat
simtomatik.
• Jika sudah terbentuk abses, tindakan yang dilakukan adalah prosedur
drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum, insisi dan drainase atau
tonsilektomi langsung saat itu juga atau segera sesudahnya.
Jika ditemukan pus teknik aspirasi
sudah cukup dengan diikuti
pemberian antibiotik.
Reevaluasi setelah teknik aspirasi
dilakukan dalam 24 jam untuk
menilai perlunya dilakukan aspirasi
berulang atau insisi dan drainase.
Jika pus yang ditemukan banyak
maka taknik aspirasi tidaklah cukup,
insisi lebih jauh dan drainase bisa
dilakukan.
• Tonsilektomi langsung harus dipertimbangkan pada pasien yang
memiliki indikasi kuat untuk itu, terutama mereka yang memiliki
riwayat tonsilitis berulang, karena ada tingkat kekambuhan hingga
40% pada pasien ini dibandingkan dengan 10% hingga 15% untuk
pasien rata-rata.
Terapi antibiotik

• Abses peritonsier merupakan penyakit yang disebabkan oleh campuran


polimikroba dari bakteri aerob dan anaerob sehingga diberikan terapi antibiotik.
Grup A streptococcus dan Streptococcus milleri grup (subkelompok viridans
streptococci) adalah aerob yang paling umum ditemukan saat kultur, sedangkan
Fusobacterium necrophorum adalah anaerob yang dominan,. Terapi antibiotik
empiris awal harus mencakup antimikroba yang efektif melawan streptokokus
dan anaerob oral
Daftar pustaka
1. Adams, Boies and Higler (1997) BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta:EGC.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2007) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & leher. Edited by E.A. Soepardi et al.
3. Galioto NJ (2017) Peritonsillar Abscess. American Academy of Family Physicians.
4. Gupta G and McDowell RH (2018) Peritonsillar Abscess. Dalam StatPearls. Treasure
Island:StatPearls Publisabse
5. Rahman S (2013) Diagnosis dan Tatalaksana Abses Leher Dalam. Available from
https;//www.researchgate.net/publication
Stem
Seorang wanita, 23 thn datang ke RS dengan keluhan nyeri didaerah
tenggorokan selama 3 hari yang lalu, biasanya susah dan sakit ketika
menelan baik itu makanan maupun menelan ludah. Dari hasil pemerikaan
fisik keadaan umum dalam batas normal, kesadaran kompos mentis, nadi
90x/menit, respirasi 24x/menit, dan suhu aksila 36,5℃. Pemeriksaan
penunjang di temukan adanya Streptococcus pyogene (Group A
betahemolitic streptococcus). Dokter mendiagnosis pasien tersebut
mengalami abses peritonsiler.

Lead In
Apakah komplikasi awal yang mungkin muncul dari keluhan yang dirasakan
pasien ?
Options
a. nefritis
b. dehidrasi
c. perdarahan
d. endokarditis
e. trobus sinus kavemosus

Jawaban : b. dehidrasi
Pembahasan
• Komplikasi segera yang dapat terjadi berupa dehidrasi karena asupan makanan
dan minuman yang kurang masuk kedalam tubuh akibat sulit menelan yang
dirasakan. Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru
atau pyemia, penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring, penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus
kavemosus, meningitis dan abses otak (Marbun et al., 2016)
• Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan menghasilkan gejala sisa
neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang mungkin timbul akibat penyebaran
abses adalah endokarditis, nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.
Pembengkakan yang timbul didaerah supraglotis dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas yang memerlukan tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang
faringomaksilaris dalam komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan
drainase dari luar melalui segitiga submandibular (Marbun et al., 2016).

Anda mungkin juga menyukai