Anda di halaman 1dari 8

BAB III

TEORI DASAR

III.1. Biostratigrafi

Biostratigrafi merupakan cabang dari ilmu stratigrafi yang berkaitan dengan


studi paleontologi pada batuan sedimen. Berbagai macam fosil dapat ditemukan
dalam batuan sedimen yang diendapkan pada lingkungan yang berbeda. Tujuan
dari analisis biostratigrafi adalah penentuan umur relatif pada batuan sedimen,
penentuan lingkungan pengendapan, paleoekologi, paleotemperatur,
paleomorfologi, analisis cekungan, dan sebagai penunjuk dalam penentuan
horizon marker untuk korelasi stratigrafi.

Biostratigrafi dapat berperan dalam menginterpretasi stratigrafi sekuen,


karena dalam menginterpretasi sebuah sekuen diperlukan pemahaman akan
hubungan stratigrafi, umur, dan fasies. Dimana fasies sendiri merupakan suatu
tubuh batuan yang memiliki karakteristik litologi yang sama secara fisik, biologi,
maupun kimia.

Satuan dasar dalam biostratigrafi adalah zona (biozona), yang merupakan


suatu lapisan tubuh batuan yang dicirikan oleh kandungan fosilnya yang terdiri
dari satu takson atau lebih dan dapat dibagi lagi menjadi menjadi satuan yang
lebih kecil disebut dengan sub-zona. Batas-batas dari suatu zona (biozona) tidak
ditentukan oleh tebal atau luas penyebaran tubuh batuan, namun berdasarkan
kandungan fosilnya. Mikro dan makfro fosil yang umum digunakan untuk analisis
biostratigrafi antara lain foraminifera, nannofossil, spora, polen, ostracoda,
diatom, radiolaria, moluska, dinoflagelata, koral, alga, dan porifera. Zona sendiri
dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) tipe, yaitu:

Zona Kumpulan (Assemblage Zone)


Lapisan batuan yang dicirikan oleh kumpulan fosil yang khas yang dapat
dibedakan dalam sifat biostratigrafinya dengan lapisan yang berbatasan.

Zona Kisaran (Range Zone)

III-1
Lapisan batuan yang dicirikan oleh kisaran total dari setiap unsur yang
terpilih dari keseluruhan kumpulan fosil dalam urutan stratigrafi.

Zona Puncak (Abundant Zone)


Lapisan batuan yang dicirikan oleh adanya perkembangan maksimum suatu
takson tertentu.

Zona Selang (Interval Zone)


Selang stratigrafi antara dua horizon biostratigrafi yang berupa kemunculan
awal atau kemunculan akhir dari suatu takson-takson penciri.

III.1.1. Foraminifera

Foraminifera diklasifikasikan ke dalam Kerajaan Protista, yaitu kerajaan


organisme bersel tunggal dan masuk kedalam Filum Protozoa yang hidup secara
akuatik (terutama hidup di laut), memiliki satu atau lebih kamar yang terpisah satu
sama lain oleh sekat (septa) yang ditembus oleh banyak lubang halus atau
foramen (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Foraminifera biasanya terdapat pada
batuan sedimen dan jumlahnya sangat melimpah dan memiliki peranan penting
dalam analisis mikropaleontologi dan paleokologi.

Foraminifera memiliki perkembangbiakan secara seksual maupun aseksual,


hal ini dilihat dengan adanya dua bentuk yang berbeda dalam satu spesies
foraminifera (dimorfisme) antara lain megalosferik dan mikrosferik. Berdasarkan
ukurannya foraminifera dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
foraminifera besar dan kelompok foraminifera kecil. Namun berdasarkan cara
hidupnya foraminifera dibagi menjadi dua bagian, yaitu foraminifera planktonik
dan foraminifera bentonik. Kelompok foraminifera besar pada umumnya termasuk
dalam foraminifera bentonik.

Dalam analisis mikrofosil, cangkang foraminifera merupakan bagian yang


terpenting. Determinasi foraminifera dilakukan berdasarkan kenampakan fisik
atau morfologi cangkang serta struktur dalam cangkang. Cangkang foraminifera
memiliki karakteristik tertentu yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam
identifikasi dan analisis foraminifera itu sendiri. Cangkang foraminifera bisa

III-2
terdiri dari sebuah kamar atau beberapa kamar. Batas antar kamar disebut sutura
dan biasanya mempunyai satu atau lebih lubang bukaan yang di sebut apertur.
Pada umumnya ukuran cangkang foraminifera kurang dari 1 mm kecuali
foraminifera dari beberapa kelompok Rotaliina dan Fusulina. Selain susunan
kamar masih terdapat beberapa karakteristik yang dapat diamati dari cangkang
foraminifera antara lain bahan penyusun dinding cangkang, bentuk cangkang,
jenis putaran cangkang, apertur, dan ornamentasi.
a. Foraminifera Planktonik
Foraminifera planktonik dapat digunakan dalam aplikasi
mikropaleontologi dan rekonstruksi paleooseanografi. Dalam menentukan
paleoekologi kegunaan foraminifera planktonik sangat terbatas, hal ini
dikarenakan terdapat banyak spesies dari fosil foraminifera planktonik yang
masih hidup sampai saat ini dan kemungkinan telah mengalami evolusi
sehingga menghasilkam keragaman fauna yang tinggi dengan morfologi yang
lebih kompleks. Selain itu foraminifera planktonik juga memiliki cara hidup
dengan melayang-layang pada kolom air. Maka dari itu foraminifera
planktonik lebih baik digunakan untuk penentukan paleotemperatur.
Foraminifera planktonik terkadang digunakan untuk penentuan paleobatimetri
yaitu dibandingkan dengan foraminifera bentonik dan melakukan perhitungan
pelagik rasio dengan perhitungan:

Adapun pembagian kedalaman berdasarkan pelagik rasio adalah sebagai


berikut:

Lingkungan Kedalaman (m) Pelagik rasio (%)


Neritik dalam 0 20 0 20
Neritik tengah 20 100 20 50
Neritik luar 100 200 20 50
Upper slope 200 1000 30 50
Lower slope 1000 2000 50 100
Tabel 1. Pelagik rasio (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000)

Dalam aplikasi mikropaleontologi foraminifera planktonik sangat


penting dalam penentuan umur relatif suatu tubuh batuan. Penentun umur

III-3
relatif suatu tubuh batuan dengan menggunakan foraminifera planktonik telah
banyak dilakukan karena cukup mudah dan murah. Penentuan umur relatif
batuan dapat kita lakukan dengan mengamati pemunculan awal dan akhir dari
suatu takson yang merupakan takson indeks dari suatu umur tertentu.
b. Foraminifera Bentonik
Foraminifera bentonik terdistribusi pada hampir semua lingkungan laut
dan transisi. Foraminifera bentonik merupakan indikator penting suatu
lingkungan. Fosil dari foraminifera bentonik dapat kita gunakan untuk
interpretasi lingkungan pengendapan purba dan paleobatimetri. Dalam
penentuan paleobatimetri digunakan hubungan seperti pola fauna dalam
keragaman dan kelimpahan spesies, kehadiran spesies porselen, aglutinan,
serta hyalin, rasio planktonik-bentonik, kemudian kisaran kedalaman
biofasies dan batas atas kedalaman dari spesies pada kedalaman yang sama
(isobathyal). Penentuan paleobatimetri ini merupakan deskriptor penting
dalam rekonstruksi lingkungan pengendapan bagi seorang ahli geologi
(Gambar 3.1.).

Gambar 3.1. Klasifikasi lingkungan pengendapan laut (Tipsword, et al., 1966,


dalam Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).

Beberapa spesies dari foraminifera bentonik dapat kita gunakan untuk


penentuan umur relatif sautau tubuh batuan. Karena tidak semua batuan sedimen

III-4
dapat mengandung foraminifera planktonik, seperti pada batuan sedimen yang
diendapkan di tepi pantai atau di daerah litoral. Sedangkan pada daerah darat
hingga transisisi kita dapat menggunakan data fosil lainnya, antara lain polen dan
mikromoluska. Nannoplankton juga umum digunakan untuk penentuan umur
relatif suatu tubuh batuan yang terdapat pada lingkungan laut.

Mikrofosil merupakan sisa-sisa dari mikroorganisme yang pernah hidup.


Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme
(Pringgoprawiro dan Kapid, 2000), yaitu:
Temperatur air dengan nilai rata-rata -2oC hingga 27oC untuk lingkungan laut
terbuka dan 35oC untuk lingkungan laut tertutup.
Kadar garam atau salinitas dengan salinitas normal 33 hingga 37 .
Kekeruhan air.
Kedalaman.
Asal sedimen, ukuran butir, dan kecepatan sedimentasi.
Kejadian geologi tertentu seperti volkanisme, dsb.

Selain faktor-faktor yang telah disebutkan, faktor biologis juga


mempengaruhi kehidupan mikroorganisme, antara lain:

Jumlah makanan yang tersedia akan mempengaruhi jumlah total


mikroorganisme yang hidup dan terkadang jenis yang lebih kuat akan
memakan organisme yang lebih lemah.
Dominasi jenis-jenis yang kuat akan mempengaruhi perbandingan
mikroorganisme di suatu tempat, sehingga memungkinkan kita menemukan
kandungan mikrososil pada batuan sedimen dengan jenis yang kurang
beragam.

III.2. Stratigrafi Sekuen

Stratigrafi sekuen merupakan studi mengenai hubungan antar batuan dalam


suatu kerangka kronostratigrafi yang berulang dan tersusun oleh satuan batuan
stratigrafi yang berhubungan secara genetis dengan dibatasi oleh suatu bidang
erosi atau bidang nondeposisi atau bidang keseluruhan yang korelatif (van

III-5
Wagoner dkk., 1988). Unit dasar dari sekuen stratigrafi adalah sekuen, yang
dibatasi oleh ketidakselarasan dan keselarasan korelatifnya. Suatu sekuen dapat
dibagi ke dalam system tracts.

Selain dalam penentuan batas sekuen dalam pengertian sekuen stratigrafi


yang berlaku, dasar pemikiran dan analisis dalam penelitian ini adalah
accommodation space dan relative sea level change. Accommodation space atau
ruang akomodasi merupakan ruang atau volume yang tersedia dan memungkinkan
bagi terakumulasinya sedimen (Jervey, 1988 dalam Allen dan Posamentier, 1993).
Ruang akomodasi pada lingkungan laut terletak diantara muka laut dan dasar laut
dimana pembentukan dan perubahan ruang itu merupakan fungsi langsung dari
relative sea level change. Relative sea level change merupakan fungsi dari
perubahan muka laut akibat eustatic dan tektonik.

Satu sekuen pengendapan akan membentuk sebuah siklus stratigrafi, yang


dapat dibagi menjadi tiga stacking pattern yang mewakili fasa yang berbeda dari
regresi dan transgresi dalam siklus tersebut. Stacking pattern tersebut disebut
sebagai system tracts (Posamentier dan Vail, 1988). Ketiga system tracts tersebut
antara lain (Gambar 3.2.):

1. Lowstand Sytems Tract (LST), dimana systems tract ini diendapkan pada
periode antara penurunan muka air laut relatif pada offlap break dengan
kenaikan muka air laut relatif yang terjadi kemudian.
2. Transgressive Systems Tract (TST), terdiri atas sedimen yang diendapkan
saat kenaikan relatif muka air laut lebih cepat daripada kecepatan suplai
sedimen. Batas atas dari TST, dicirikan oleh Maximum Flooding Surface,
yang menandai batas paling atas dari transgresi (Posamentier dan Vail,
1988).

3. Highstand Systems Tract (HST), terdiri atas urutan-urutan regresif yang


diendapkan saat kenaikan muka air laut berkurang sampai lebih kecil
daripada kecepatan suplai sedimen. HST dibatasi pada bagian bawahnya
oleh MFS, dan pada bagian atas oleh batas sekuen (SB) berikutnya.
(Posamentier dan Vail, 1988).

III-6
Gambar 3.2. Eustacy dan System tract (Posamentier dan Vail, 1988).

Terminologi dalam sekuen untuk penamaan orde dan waktu yang


dibutuhkan untuk pembentukannya dibagi menjadi enam, antara lain (Smith dkk.,
1989):

Sekuen orde ke-1, sekuen yang muncul dengan siklus lebih dari 50 juta
tahun lalu, umumnya sekitar 300 juta tahun. Sekuen ini dikenal sebagai
megasequence atau megasequence sets, yang terdiri dari akhir
Proterozoikum hingga akhir Perm dan dari dasar Trias hingga sekarang.
Megasequence ini diinterpretasikan berdasarkan hasil dari siklus
continental flooding yang cukup besar.

Sekuen orde ke-2, sekuen yang muncul antara 5 hingga 50 juta tahun lalu.
Sekuen ini dikenal dengan supersequence atau supersequence sets. Setiap
megasequence di Mesozoikum dan Kenozoikum dibagi menjadi tujuh
supersequence set, yang pada awalnya dibagi menjadi 27 supersequence
set yang semuanya diakhiri oleh batas sekuen.

Sekuen orde ke-3, sekuen ini muncul antara 0,5 hingga 5 juta tahun lalu.
Sekuen ini merupakan unit dasar dari satuan stratigrafi dan dapat diketahui
melalui data seismik. Sekuen orde ke-3 dibedakan dari stratal sequence
dan stacking pattern. Dari dasar Trias hingga sekarang 120 sekuen orde
ketiga telah diketahui.

III-7
Sekuen orde ke-4, sekuen ini muncul antara 100.000 hingga 500.000 tahun
lalu. Sekuen ini memiliki atribut stratal yang sama dengan sekuen orde ke-
3. Sekuen orde ke-4 dikenal sebagai parasequence set. Kelompok sekuen
orde ke-4 menumpuk dan membentuk lowstand, transgressive, atau
highstand system tract yang terendapkan di antara batas orde ke-3.

Sekuen orde ke-5, sekuen ini muncul antara 10.000 hingga 100.000 lalu.
Sekuen ini dikenal sebagai parasequence dan diperkirakan dikendalikan
oleh elemen-elemen putaran bumi.

III-8

Anda mungkin juga menyukai