Anda di halaman 1dari 7

BAB V

PEMBAHASAN

Mencuci tangan merupakan salah satu upaya efektif untuk mencegah

terjadinya penyebaran bakteri, virus, dan kuman patogen karena dengan mencuci

tangan dapat memutus mata rantai penyebaran bakeri dan kuman penyebab

penyakit seperti diare. Mencuci tangan dengan menggunakan sabun yang

dilakukan pada waktu-waktu penting, terutama setelah buang air besar (BAB),

sebelum makan dan sebelum menyuapi anak, dapat secara signifikan mengurangi

terjadinya penyakit infeksi pada anak. Menurut Centers for Disease Control and

Prevention (2013), kebiasaan mencuci tangan dengan benar dapat mengurangi

angka kesakitan diare hingga 31% dan hingga 58% pada orang dengan sistem

imun yang lemah.

Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji Chi Square yaitu nilai

p = 0,003 (p<0,05) dengan derajat kepercayaan 0,05. Hasil ini menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan kejadian diare pada ibu dengan perilaku cuci tangan

yang benar dan ibu dengan perilaku cuci tangan yang tidak benar, sehingga dapat

disimpulkan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara perilaku

cuci tangan yang benar dengan kejadian diare pada balita. Pada kelompok ibu

dengan perilaku cuci tangan yang benar yang berjumlah 47 orang, didapatkan 18

balita (38%) mengalami diare dan 29 balita (62%) tidak pernah mengalami diare.

Sedangkan pada 53 ibu yang memiliki perilaku cuci tangan tidak benar, balita

yang pernah mengalami diare berjumlah lebih banyak yaitu 36 balita (68%) dan

36
37

sisanya sebanyak 17 balita (32%) tidak pernah mengalami diare. Dari penelitian

ini terlihat bahwa kejadian diare pada balita lebih banyak terjadi pada ibu yang

memiliki perilaku cuci tangan yang tidak benar yaitu risiko diare meningkat dua

kali lebih besar pada ibu yang memiliki perilaku cuci tangan yang tidak benar.

Perilaku cuci tangan yang benar utamanya dilakukan pada 5 waktu penting.

Hasil penelitian ini menunjukkan paling banyak responden (ibu) selalu mencuci

tangan dengan benar setelah membasuh anak yang BAB sebesar 75%, sedangkan

pada saat setelah BAB hanya 47% saja. Alasan ibu tidak selalu melakukan

kebiasaan cuci tangan yang benar adalah karena ibu merasa sudah cukup bersih

mencuci tangannya hanya dengan menggunakan air saja. Pada waktu penting

lainnya, hanya sebagian saja ibu yang selalu mencuci tangan dengan benar yaitu

saat sebelum menyuapi anak (51%) dan sebelum makan (50%), sebagian lainnya

mengatakan hanya mencuci tangan dengan air saja, malas, makan menggunakan

sendok, dan merasa tangannya tidak terlalu kotor sehingga mereka tidak selalu

melakukan kebiasaan cuci tangan yang benar. Untuk ibu yang selalu mencuci

tangan dengan benar setelah memegang hewan sebesar 67%, sisanya tidak selalu

mencuci tangan dengan alasan jarang memegang hewan, takut, dan tidak memiliki

hewan.

Karakteristik responden yang ikut mendukung adanya hubungan antara

perilaku cuci tangan yang benar dengan kejadian diare yaitu umur, tingkat

pendidikan, pekerjaan, kemudahan untuk mendapatkan air bersih, dan sumber

informasi. Karakteristik pertama yaitu umur. Sebagian besar responden berada

pada umur 21-35 tahun dengan persentase 75%. Umur seseorang akan
38

berpengaruh pada pengetahuan dan sikap hingga akhirnya mempengaruhi dalam

perilaku cuci tangan. Menurut Utami (2010) tentang Faktor-faktor yang

Berhubungan dengan Kebiasaan Cuci Tangan Pakai Sabun pada Masyarakat di

Desa Cikoneng Kecamatan Ganeas Kabupaten Sumedang Tahun 2010, orang

yang berusia 30-35 tahun akan memiliki pengetahuan tentang cuci tangan pakai

sabun (CTPS) yang lebih baik sehingga orang tersebut akan memiliki sikap dan

kebiasaan yang mengarah kepada perilaku CTPS yang lebih baik.

Berdasarkan tingkat pendidikan responden, jumlah terbanyak ibu balita

berpendidikan terakhir SMA/SMK (50%). Menurut Nuraeni (2012) tentang

Hubungan Penerapan PHBS Keluarga dengan Kejadian Diare Balita di Kelurahan

Tawangmas Kota Semarang, tingkat pendidikan menengah (termasuk SMA/SMK)

mempengaruhi pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu dalam mengakses informasi

tentang penerapan PHBS untuk mencegah diare. Jika dibandingkan dengan orang

yang berpendidikan SD atau SMP, orang yang berpendidikan terakhir SMA/SMK

akan lebih terbuka terhadap semua informasi yang ada, termasuk juga informasi

tentang pentingnya kebiasaan mencuci tangan yang benar sehingga akan

berpengaruh pada peningkatan kebiasaan mencuci tangan. Seseorang dengan

tingkat pendidikan yang rendah cenderung untuk tidak berperilaku higienis

termasuk tidak cuci tangan sebelum makan (Firdous, 2005).

Berdasarkan pekerjaan responden, 65% ibu balita adalah sebagai ibu rumah

tangga. Ibu rumah tangga memiliki waktu yang lebih banyak untuk

memperhatikan kesehatan dan pertumbuhan anaknya dibandingkan ibu-ibu yang

bekerja (Triwahyudianingsih, 2009). Ibu rumah tangga juga dapat memberikan


39

pengasuhan terhadap anaknya dengan lebih optimal karena waktunya akan lebih

banyak di rumah sehingga ibu dapat memberi contoh dan membiasakan cuci

tangan yang benar baik terhadap dirinya maupun terhadap anaknya.

Berdasarkan kemudahan dalam mendapatkan air bersih, seluruh responden

mengatakan mudah dalam mendapatkan air bersih untuk memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari. Fasilitas MCK umum yang tersedia di wilayah Lingkungan II

Sangkrah cukup banyak dan letaknya mudah dijangkau oleh pemukiman warga

serta air yang tersedia pun bersih. Ibu balita yang dapat memperoleh air dengan

mudah maka akan mempunyai kebiasaan cuci tangan yang baik. Kondisi suatu

wilayah yang memiliki ketersediaan air bersih yang cukup baik secara jumlah

maupun kualitas maka hal ini akan mendukung praktik cuci tangan (Firdous,

2005).

Berdasarkan keterpaparan sumber informasi, 89% responden mendapatkan

informasi mengenai pentingnya perilaku cuci tangan yang benar melalui media

televisi. Pada era globalisasi ini, berbagai informasi dapat dengan mudah kita

dapatkan termasuk informasi mengenai kesehatan. Informasi dapat mempengaruhi

seseorang dalam berperilaku. Semakin banyak informasi yang didapat oleh

seseorang maka akan semakin besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang

terutama jika informasi tersebut disampaikan dengan benar karena penyampaian

informasi yang benar dapat merubah perilaku seseorang yang tadinya tidak

melakukan sesuatu menjadi melakukan sesuatu (Utami, 2010).

Persentase sumber informasi mengenai perilaku cuci tangan yang benar

yang didapatkan dari penyuluhan petugas menunjukkan angka yang kecil (3%).
40

Hal ini disebabkan program promosi kesehatan seperti penyuluhan program

PHBS, termasuk penyuluhan mengenai pentingnya kebiasaan cuci tangan yang

benar, belum banyak digalakkan oleh pihak Puskesmas. Edukasi terhadap anak

dan keluarga tentang pentingnya menjaga kebersihan tangan masih sangat kurang

dilakukan oleh petugas-petugas kesehatan, padahal pihak Puskesmas memiliki

kebebasan dalam memilih mitra yang bisa diajak bekerja sama untuk

mensukseskan program-program yang mendukung kebiasaan cuci tangan yang

benar agar kebiasaan ini bisa lebih membudaya di masyarakat.

Angka kematian balita akibat penyakit diare di Indonesia masih tinggi yaitu

16,7% (Kemenkes, 2011). Salah satu hal yang penting sebagai upaya pencegahan

adalah peran orang tua agar anak tidak terkena penyakit infeksi seperti penyakit

diare dengan melaksanakan berbagai upaya pencegahan yaitu dengan

membiasakan mencuci tangan dengan benar. Tidak hanya dengan menggunakan

air tetapi mencuci tangan yang benar adalah dengan menggunakan sabun dan air

mengalir disertai dengan menggunakan teknik mencuci tangan yang benar.

Sejalan dengan penelitian Sukoco (2012) tentang Faktor Risiko Kejadian Diare

pada Balita di Kabupaten Sidenreng Rappang Propinsi Sulawesi Selatan, fungsi

dari sabun saat mencuci tangan adalah mencegah terjadinya kontaminasi kuman

penyebab diare, sabun membunuh kuman di tangan yang terkontaminasi tinja

sehingga setelah mencuci tangan dengan sabun pada saat setelah menceboki anak

dan sebelum menyuapi anak, akan membunuh kuman yang kemungkinan akan

masuk ke sistem pencernaan.


41

Hasil penelitian ini tidak banyak berbeda dengan hasil penelitian yang

pernah dilakukan Sagala (2010) tentang Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan

dengan Kejadian Diare Akut pada Anak Usia 0-5 Tahun di Kota Pematang Siantar

menunjukkan bahwa kebiasaan ibu tidak mencuci tangan dengan sabun setelah

buang air besar, sebelum menyuapi anak, dan sebelum menyiapkan makanan

merupakan faktor risiko terjadinya diare akut pada anak usia 0-5 tahun.

Hingga saat ini banyak sekali program-program yang diadakan baik oleh

pemerintah pusat maupun pihak swasta untuk mendorong masyarakat dalam

meningkatkan perilaku cuci tangan yang benar. Salah satu program tersebut

adalah program Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS). Sejak tahun 2008, WHO

menyerukan perlunya peningkatan praktik higienitas dan sanitasi di seluruh dunia

dan sejak saat itu Hari CTPS Sedunia diperingati setiap tanggal 15 Oktober.

Indonesia pun termasuk negara yang ikut berkontribusi dalam program CTPS ini

dengan mengadakan berbagai program diantaranya program peringatan Hari

CTPS, penyuluhan CTPS di sekolah-sekolah dasar, program pendampingan UKS,

penyuluhan oleh Puskesmas, serta pemasangan iklan dan spanduk yang berisi

pentingnya CTPS dan teknik cuci tangan yang benar di berbagai tempat maupun

melalui siaran televisi (Kemenkes, 2010).

Penelitian Sinthamurniwaty (2006) tentang Faktor-faktor Risiko Kejadian

Diare Akut pada Balita menyebutkan anak-anak yang berasal dari keluarga yang

mengikuti program bantuan sabun gratis dilaporkan mengalami penurunan

penyakit gangguan pencernaan sebanyak 39 persen. Penurunan angka kejadian

diare juga terjadi pada anak balita yang mengikuti program bantuan sabun gratis
42

ini jika dibandingkan dengan anak balita dari kelompok yang tidak terkena

program ini.

Meskipun penelitian ini sudah dilaksanakan dengan maksimal, peneliti

menyadari masih banyak keterbatasan dan kelemahan dalam penelitian ini,

diantaranya desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional sehingga

sulit untuk menetapkan mekanisme sebab akibat dikarenakan pengukuran

dilakukan pada saat yang sama (mengingat keterbatasan waktu). Keterbatasan

lainnya adalah peneliti tidak mempertimbangkan penyebab diare sehingga

kemungkinan bias ada serta peneliti hanya menggunakan alat ukur kuesioner saja

tanpa diikuti observasi sehingga pendekatan yang dilakukan kurang mendalam.

Dengan hasil penelitian ini dan penelitian-penelitian sebelumnya yang

relevan, maka dapat dinyatakan terdapat hubungan antara perilaku cuci tangan

yang benar dengan kejadian diare pada balita. Perubahan kebiasaan dan perilaku

hidup bersih dan sehat, khususnya perilaku atau kebiasaan cuci tangan yang

benar, sangat diperlukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat

penyakit diare pada balita.

Anda mungkin juga menyukai