Epistaksis
OLEH: SGD 2
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2015
Kasus 4: (kelompok 1 & 2)
An. Dina, 7 tahun dibawa ke IRD karena perdarahan dari hidung dan nyeri pada kepala. Riwayat
jatuh tidak ada, Ibu pasien mengatakan anaknya sering bersin bersin dan pilek tapi hanya pada
pagi hari. Saat dibawa ke IRD, hidung ditutup menggunakan tisyu, namun perdarahan masih
keluar dari hidung pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien didiagnosa Epistaksis.
Pertanyaan :
1. Uraikan yang Anda ketahui mengenai Epistaksis (definisi, etiologi, manifestasi
klinis, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis)!
2. Uraikan patofisiologi terjadinya Epistaksis dan buatlah pathwaynya!
3. Buatlah analisa data, rumusan diagnosa keperawatan, dan perencanaan sesuai
dengan kasus di atas (pedoman Nanda, NOC, NIC)!
4. Apa sajakah pendidikan kesehatan yang perlu diberikan pada pasien dengan
Epistaksis?
PEMBAHASAN
1. Uraikan yang Anda ketahui mengenai Epistaksis (definisi, etiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan prognosis)!
a. Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu
penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti
sendiri (Agung Santoso, 2007)
Epitaksis atau sering disebut juga mimisan yaitu, satu keadaan pendarahan dari hidung
yang keluar melalui lubang hidung akibat adanya kelainan lokal pada rongga hidung
ataupun karena kelainan yang terjadi di tempat lain dari tubuh. Mimisan terjadi pada
hidung karena hidung punya banyak pembuluh darah, terutama di balik lapisan tipis
cupingnya. Mimisan sendiri bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan gejala
dari suatu penyakit, itu artinya mimisan bisa terjadi karena bermacam sebab dari yang
ringan sampai yang berat. Pada umumnya ini terjadi pada anak-anak karena pembuluh
darahnya masih tipis dan sensitive.
Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.Kebanyakan
epistaksis ini dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis. Pada epistaksis
yang tidak dapat berhenti sendiri, walaupun tidak banyak dijumpai merupakan masalah
kedaruratan yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani (Endang
Mangunkusumo dan Retno Wardani, 2007)
Jadi , Epistaksis merupakan perdarahan dari hidung yang dapat terjadi akibat sebab lokal
atau sebab umum (kelainan sistemik). Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala
suatu kelainan dan hampir sebagian besar dapat berhenti sendiri
b. Etiologi
Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu Lokal dan Sistemik
Lokal
Penyebab lokal terutama trauma, sering karena kecelakaan lalulintas, olah raga,
(seperti karena pukulan pada hidung) yang disertai patah tulang hidung (seperti pada
gambar di halaman ini), mengorek hidung yang terlalu keras sehingga luka pada
mukosa hidung, adanya tumor di hidung, ada benda asing (sesuatu yang masuk ke
hidung) biasanya pada anak-anak, atau lintah yang masuk ke hidung, dan infeksi atau
peradangan hidung dan sinus (rinitis dan sinusitis)
Sistemik
Penyebab sistemik artinya penyakit yang tidak hanya terbatas pada hidung, yang
sering meyebabkan mimisan adalah hipertensi, infeksi sistemik seperti penyakit
demam berdarah dengue atau cikunguya, kelainan darah seperti hemofili, autoimun
trombositipenic purpura. Selain itu ada juga penyebab lainnya, diantaranya:
- Trauma
Perdarahan hidung dapat terjadi setelah trauma ringan, misalnya mengeluarkan
ingus secara tiba-tiba dan kuat, mengorek hidung, dan trauma yang hebat seperti
terpukul, jatuh atau kecelakaan. Selain itu juga dapat disebabkan oleh iritasi gas
yang merangsang, benda asing di hidung dan trauma pada pembedahan.
- Infeksi
Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis juga dapat
menyebabkan perdarahan hidung.
- Neoplasma
Hemangioma dan karsinoma adalah yang paling sering menimbulkan gejala
epistaksis.
- Penyakit kardiovaskular
Hipertensi dan kelainan pada pembuluh darah di hidung seperti arteriosklerosis,
sirosis, sifilis dan penyakit gula dapat menyebabkan terjadinya epistaksis karena
pecahnya pembuluh darah.
c. Epidemiologi
Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada orang dewasa
muda, Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum.
Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia
<10 tahun dan >50 tahun. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80
tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian
epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara laki-
laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa
muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit
hipertensi atau arteriosklerosis.
Sebuah survey Skandinavia dari 1974 dari 410 orang menemukan kejadian 60%
darisetidaknya satu episode epistaksis selama satu kali seumur hidup, kejadian 6%
membutuhkan perhatian medis, dan kejadian tahunan sebesar 15% untuk pria dan 9%
untuk wanita. Sebuahstudi Finlandia dari 1974 dari 1.724 pasien dengan epistaksis
mengungkapkan kejadian laki-laki lebih tinggi 58% dibandingkan 42% bagi perempuan;
keseluruhan, 71% dari pasien lebihdari 50 tahun. Di Wales, rasio laki-perempuan adalah
2:1 pada pasien berusia 20 sampai 49tahun tetapi 1:1 terhadap pasien 50 dan yang lebih
tua.
d. Manifestasi Klinis
Perdarahan dari hidung, gejala yang lain sesuai dengan etiologi yang bersangkutan.
Epistaksis berat, walaupun jarang merupakan kegawatdaruratan yang dapat mengancam
keselamatan jiwa pasien, bahkan dapat berakibat fatal jika tidak cepat ditolong. Sumber
perdarahan dapat berasal dari depan hidung maupun belakang hidung.
- Epistaksis anterior (depan) dapat berasal dari pleksus kiesselbach atau dari a. etmoid
anterior. Pleksus kieselbach ini sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak-
anak dan biasanya dapat sembuh sendiri.
- Epistaksis posterior (belakang) dapat berasal dari a. sfenopalatina dan a. etmoid
posterior. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti sendiri. Sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit jantung.
Pemeriksaan yang diperlukan adalah darah Lengkap dan fungsi hemostasis
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal berupa visualisasi langsung yang dilengkapi sumber cahaya yang baik,
spekulum nasal, dan penyedot nasal seharusnya sudah cukup pada sebagian besar pasien
sehingga pada sebagian besar kasus, pemeriksaan penunjang tidak diperlukan atau tidak
membantu pada epistaksis untuk yang pertama kalinya atau jarang berulang dan disertai dengan
riwayat mengorek hidung atau trauma terhadap hidung. Tetapi, pemeriksaan penunjang
diperlukan bila terjadi pendarahan hebat atau dicurigai terdapat koagulopati. Pemeriksaan
penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat
cepat dan untuk mencari etiologi pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan antara
lain :
- Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap,
fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai kondisi pasien dan masalah medis
penyebab epistaksis, biasanya tidak dilakukan bila pendarahan bersifat minor dan tidak
berulang. Bila terdapat riwayat pendarahan berat yang berulang, kelainan platelet, atau
neoplasia, dilakukan pemeriksaan darah lengkap. Bleeding time adalah pemeriksaan skrining
yang baik untuk kecurigaan terdapatnya kelainan pendarahan. Pemeriksaan International
Normalized Ratio (INR)atau prothrombin time (PT) dilakukan bila pasien dicurigai
mengkonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver.
- Nasofaringoskopi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab pendarahan.
- EKG
- Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring
- Pemeriksaan CT scan (Computed Tomography Scanning) atau MRI (Magnetic Resonance
Imaging) diindikasikan untuk menilai anatomi dan menentukan kehadiran dan perluasan dari
rinosinusitis, benda asing, dan neoplasma.
f. Penatalaksanaan
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah
1) Menjaga ABC
A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk
B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan
darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
C : circulation :
- pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan
pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulas
- posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk
di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas
2) Hentikan perdarahan :
a. Metode Trotter
- Tekan pada bagian depan hidung selama 10 menit. Tekan hidung antara ibu
jari dan jari telunjuk .
- jika perdarahan berhenti tetap tenang dan coba cari tahu apa faktor pencetus
epistaksis dan hindari
- jika perdarahan berlanjut dapat akibat penekanan yang kurang kuat
- diberikan vasokonstriktor (adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-semprot hidung)
ke daerah perdarahan
- apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak
nitrat) atau pemasangan tampon hidung
b. Pembedahan
Ligasi arteri etmoid anterior dilakukan bila dengan tampon anterior perdarahan
masih terus berlangsung. Ligasi dilakukan dengan membuat sayatan mulai dari
bagian medial alis mata,lalu melengkung ke bawah melalui pertengahan antara
pangkal hidung dan daerah kantus media. Insisi langsung diteruskan ke tulang,
dimana periosteum diangkat dengan hari-hari dan periorbita dilepaskan, lalu bola
mata ditarik ke lateral, arteri etmoid anterior merupakan cabang arteri optalmika
terletak pada sutura frontomaksilolaksimal. Pembuluh ini dijepit dengan suatu
klip hemostatik, atau suatu ligasi tunggal.
c. Perdarahan anterior
Dapat coba dihentikan dengan cara menekan hidung luar 10-15 menit. Jika tidak
berhasil lakukan pemasangan tampon anterior menggunakan kasa yang diberi
pelumas vaselin atau antibiotic. Tampon dimasukan 2-4 buah dan diusahakan
menekan daerah perdarahan. Tampon dipertahankan 2x24 jam. Jika pasien dengan
hipertensi lakukan pengobatan sesuai stadium hipertensi. Selama 2x24 jam
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari penyebab perdarahan.
d. Perdarahan Posterior
Dilakukan pemasangan tampon posterior (bellocq). Tampon bellocq terbuat dari
kasa padat berbentuk kubus atau bulat dengan terikat 3 buah benang, dua benang
di satu sisi dan satu utas benang disisi yang berlawanan. Untuk memasang
perdarahan posterior satu lubang bisa menggunakan bantuan kateter yang
dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring. Kemudian tarik keluar
dari mulut, ikatkan dua benang tampon bellocq kateter tarik keluar hidung sampai
benang keluar. Tampon didorong dengan telunjuk sampai melewati palatum mole
masuk ke nasofaring. Kedua benang di hidung diikat pada sebuah kain kas
didepan. Benang yang keluar dari mulut dapat di gunting atau dikaitkan ke salah
satu pipi pasien, yang berguna untuk menarik tampon setelah 2-3 hari
g. Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis dapat berhenti sediri.pada pasien hipertensi
dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh, dan
prognosisnya buruk. Prognosis epistaksis bagus tetapi bervariasi. Dengan terapi yang
adekuat dan control penyakit yang teratur, sebagian besar pasien tidak mengalami
perdarahan ulang. Pada beberapa penderita, epistaksis dapat sembuh spontan tanpa
pengobatan. Hanya sedikit penderita yang memerlukan pengobatan yang lebih agresif
h. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik serta pemeriksaan
penunjang. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik ;
- Umur
- Keadaan umum
- Tensi dan nadi
- Trauma
- Tumor
- Deviasi septum/spina septum
- Infeksi
- Kelainan congenital
- Hipertensi
Pada Pasien dengan hipertensi yang lama memilki kerusakan pembuluh darah yang
kronis, hal ini beresiko terjadi epistaksis terutama pada kenaikan tekanan darah yang
abnormal. Pasien epistaksis dengan hipertensi cenderung mengalami perdarahan berulang
pada bagian hidung yang kaya dengan persyarafan autonom yaitu bagian pertengahan
posterior dan bagian diantara konka media dan konka inferiorKeterkaitan antara
epistaksis dan hipertensi masih menjadi suatu hal yang controversial. Beberapa penelitian
menyebutkan bahwa perubahan endotel pembuluh darah pada orang hipertensi dapat
menjadi faktor resiko epistkasis. Hipertensi dapat menjadi pemberat epistaksis jika
sebelumnya ditemukan lesi lokal di hidung yang menyebabkan stagnasi aliran pembuluh
darah seperti infeksi, atau penyebab lain yang menyebabkan rapuhnya dinding endotel
pembuluh darah. Penelitian yang dilakukan herkner dari 213 orang pasien yang datang ke
unit gawat darurat dengan epistaksis mempunyai tekanan darah sistolik rata-rata 161
(157-165)mmHg, dan diastolic 84 (82-86)mmHg.
i. Diagnosis Banding
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior
dalam cavitas nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat
memasukkan objek (lazim suatu jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin,
akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban, maka membrana hidung menjadi
kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat mengelilingi
perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung
abnormal dan bisa timbul perdarahan. Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan
alergi menjadi sebab lazim epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura
pembuluh darah septum yang membesar yang muncul dari lantai hidung. Perdarahan juga
dapat terjadi pada trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang kemudian masuk ke
hidung melalui sinus sphenoid atau tuba eustachius
j. Komplikasi
Mencegah komplikasi, sebagai akibat dari perdarahan yang berlebihan, dapat terjadi syok
atau anemia, turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan infark serebri,
insufisiensi koroner, atau infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam
hal ini harus segera diberi pemasangan infus untuk membantu cairan masuk lebih cepat.
Pemberian antibiotika juga dapat membantu mencegah timbulnya sinusitis, otitis media
akibat pemasangan tampon
Kematian akibat pendarahan hidung adalah sesuatu yang jarang. Namun, jika disebabkan
kerusakan pada arteri maksillaris dapat mengakibatkan pendarahan hebat melalui hidung
dan sulit untuk disembuhkan. Tindakan pemberian tekanan, vasokonstriktor kurang
efektif. Dimungkinkan penyembuhan struktur arteri maksillaris (yang dapat merusak
saraf wajah) adalah solusi satu-satunya.
Komplikasi yang dapat timbul:
- Sinusitis
- Septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)
- Deformitas (kelainan bentuk) hidung
- Aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah
- Kerusakan jaringan hidung infeksi
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Pasien
Nama : An. D
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pelajar
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Hindu
Suku : Bali
Alamat : Jl. Cendrawasih, No.17 Denpasar Bali
Tanggal masuk ` : 20 April 2015
Tanggal pengkajian: 20 April 2015
Sumber Informasi : Keluarga pasien
Diagnosa masuk : Epistaksis
Orangtua/wali
Nama Ayah/Ibu/Wali : Ny. E
Pekerjaan Ayah/Ibu/Wali : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SMA
Alamat Ayah/Ibu/Wali : Jl. Cendrawasih, No.17 Denpasar Bali
2. Status kesehatan
a. Status Kesehatan Saat Ini
Keluhan utama:
Hidung berdarah dan nyeri kepala.
5. Data Subjektif :
Pada pengkajian pasien yang mengalami epistaksis,
a. Ibu pasien mengatakan pasien keluar darah dari hidung disertai dengan pasien
mengeluh nyeri atau sakit kepala.
b. Ibu pasien mengatakan pasien tidak memiliki riwayat terjatuh sebelumnya.
c. Ibu pasien mengatakan pasien sering bersin bersin dan pilek tapi hanya pada pagi
hari.
Data Obyektif :
Pada pengkajian pasien yang mengalami epistaksis, umumnya mengalami :
a. Perdarahan pada hidung yang mengucur banyak
b. Gelisah dan cemas
c. Penurunan tekanan darah
d. Peningkatan denyut nadi
e. Anemia
Pada pengkajian berdasarkan kasus pasien mengalami :
a. Perdarahan pada hidung
b. Gelisah dan cemas
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Pasien tampak lemas
b. Tingkat kesadaran : compos mentis, GCS 15
c. Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 370C
Respirasi : 24 x/menit
d. Head to toe
1) Kulit dan rambut
Inspeksi :
Warna kulit : putih, kulit terlihat agak kering, tidak ditemukan adanya luka dan
bengkak
Warna rambut : hitam, distribusi rambut merata
2) Kepala
Inspeksi : bentuk simetris antara kanan dan kiri, tidak ditemukan adanya
lesi
Palpasi : tidak ada benjolan.
3) Mata
Inspeksi : sklera warna putih bersih, konjungtiva anemis, tidak ada sekret,
tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
4) Telinga
Inspeksi : simetris kanan dan kiri, tidak ditemukan peradangan pada telinga,
tidak terdapat lesi, kemampuan mendengar masih baik, tidak ada
gangguan dalam indra pendengaran, tidak ada sekret, tidak ada
pembengkakan, tidak menggunakan alat bantu dengar.
Palpasi :tidak terdapat benjolan dan nyeri tekan pada telinga.
5) Hidung
Inspeksi :simetris, terdapat perdarahan pada hidung, dan mukosa hidung
merah.
Palpasi :terdapat pembengkakan pada mukosa hidung.
6) Mulut
Inspeksi : selaput mukosa kering, gigi dan gusi bersih, tidak ada lesi,
tidak ada bau mulut, bibir kering.
7) Leher
Inspeksi : bentuk leher simetris, posisi trakea simetris, tidak ada nyeri waktu
menelan, tidak ada pembesaran vena jugularis.
Palpasi : tidak terdapat benjolan pada leher.
8) Dada
Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri, terlihat adanya kemerahan dan
bengkak
Palpasi : getaran lokal fremitus sama antara kanan dan kiri, ekspansi dada
simetris antara kiri dan kanan, tidak ditemukan adanya benjolan
Auskultasi : normal (sonor)
Perkusi : resonan
9) Abdomen
Inspeksi : perut datar simetris, tidak ada penonjolan pada abdomen
Palpasi : tidak teraba adannya massa (benjolan), tidak ada nyeri tekan
Perkusi : resonan
c. Pola eliminasi:
Tanyakan bagaimana pola BAB dan BAK, warna dan karakteristiknya? Adakah
masalah dalam proses miksi dan defekasi pasien ?
Pada pengkajian pola eliminasi,
1) Sebelum sakit :
Ibu pasien mengatakan pasien biasa BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak,
warna kecoklatan. BAK 3x/hari dengan warna kuning jernih.
2) Saat dikaji :
Ibu pasien mengatakan BAB 1 kali sehari dengan konsistensi lunak, warna kuning
kecoklatan, berbau khas feses. BAK 3x sehari dengan warna kuning jernih.
d. Pola aktivitas dan latihan
Tanyakan kepada pasien mengenai perubahan aktivitas yang berhubungan dengan
gangguan pada pernapasan khususnya pada hidung?
Pada anamnesa pola aktivitas dan latihan,
1) Sebelum sakit :
Ibu pasien mengatakan pasien dapat melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari
seperti bermain dengan teman maupun keluarganya
2) Saat dikaji :
Ibu pasien mengatakan pasien menangis ketika melihat darah keluar dari
hidungnya dan ekspresi wajah pasien meringis diakibatkan nyeri pada kepala
yang dialaminya.
e. Pola tidur dan istirahat:
Tanyakan apakah pasien terjadi masalah istirahat atau tidur yang berhubungan
dengan gangguan pada kulit ? tanyakan berapa lama, kebiasaan dan kualitas tidur
pasien ?
Pada anamnesa pola tidur dan istirahat,
1) Sebelum sakit :
Ibu pasien mengatakan pasien bisa tidur 7-8 jam/hari tanpa ada gangguan. Pasien
jarang tidur siang.
2) Saat dikaji :
Ibu pasien mengatakan pasien bisa tidur 7-8 jam/hari tanpa ada gangguan sama
seperti sebelum sakit.
f. Pola kognitif-perseptual
Kaji nyeri : nyeri pada kepala
Kaji status mental pasien
Pada pengkajian pola persepsi dan kognitif, ibu pasien mengatakan percaya bahwa
penyakit yang dialami oleh pasien murni penyakit medis. Ibu pasien juga
mengatakan pasien mengeluh nyeri pada kepala dan terlihat adanya perdarahan pada
hidung pasien. Pasien juga terlihat meringis, dengan intensitas nyeri skala 4
berdasarkan Wong-Baker faces scale nyeri (0-10). Lokasi nyeri terdapat pada kepala.
Ibu pasien mengatakan pasien tampak meiringis (nyeri) pada waktu terjadi
perdarahan di hidung.
g. Pola persepsi diri/konsep diri
Citra diri : pasien mengatakan menyukai semua bagian tubuh pasien.
Ideal diri : pasien sempat bercerita bahwa ia bercita-cita menjadi guru setelah
dewasa nanti. Namun, untuk saat ini, salah satu keinginan pasien
adalah sembuh dari penyakitnya dan kembali bermain dengan
temannya.
Harga diri : pasien mengatakan tidak mengatakan malu, pasien hanya ingin cepat
sembuh.
ANALISA DATA
MASALAH
NO DATA INTERPRETASI
KEPERAWATAN
1. DS : - PK Perdarahan
Lepasnya lapisan mukosa
DO :
hidung yang mengandung
Terdapat perdarahan yang banyak pembuluh darah
mengalir deras melalui
lubang hidung.
Epistaksis Anterior
Hidung terlihat ditutup
Perdarahan yang bersumber
dengan tisyu namun tidak dari pleksus kiesselbach
berhasil menghentikan (little area)/ arteri etmoidalis
perdarahan. anterior
PK Perdarahan
2. DS : Ketidakefektifan
Lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung banyak pembuluh darah
Pasien mengatakan sulit Bersihan Jalan Napas
untuk bernapas.
Ibu pasien mengatakan
pasien sering mengalami
pilek saat pagi hari. Epistaksis Anterior
DO : yang
Perdarahan Terdapat darah pada dari pleksus kiesselbach (little area)/ arteri etmoidalis anterior
bersumber
rongga hidung yang
menyumbat jalan napas
pasien.
Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas
Nyeri Akut
4. DS : - Ansietas
Lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung banyak pembuluh darah
DO :
Ekspresi wajah ibu pasien
tampak cemas dan gelisah
melihat kondisi pasien.
Pasien rewel dan Epistaksis Anterior
meringis.
Perdarahan yang bersumber dari pleksus kiesselbach (little area)/ arteri etmoidalis anterior
Timbulnya perasaan tidak nyaman,
khawatir serta takut akibat
timbulnya darah pada hidung
Ansietas
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. PK Perdarahan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan obstruksi jalan napas
(perdarahan pada hidung) yang ditandai dengan gelisah dan perubahan frekuensi napas.
3. Nyeri Akut berhubungan dengan agens cedera fisik yang ditandai dengan sikap
melindungi area nyeri dan mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek, menangis,
waspada, iritabilitas, mendesah)
4. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan yang ditandai dengan
khawatir dan ketakutan
Rencana Asuhan Keperawatan
Ansietas
berhubungan dengan
perubahan dalam NIC label : Anxiety reduction
status kesehatan
1. Menggunakan pendekatan
yang ditandai
yang tenang dan
dengan khawatir dan
meyakinkan
ketakutan 2. Menilai tanda-tanda verbal
dan nonverbal dari
kecemasan
Setelah dilakukan asuhan 3. Dorong keluarga untuk
keperawatan selama x 24 tetap bersama pasien
4. Mengidentifikasi ketika
jam, rasa cemas klien dan terjadi perubahan tingkat
keluarga dapat diatasi dengan kecemasan NIC label
5. Anjurkan kepada pasien
kriteria hasil: reduction
NOC label : Anxiety level untuk menggunakan teknik
1. Menguran
- Kegelisahan pasien berkurang
relaksasi
kepanikan
(skala 4) 6. Jelaskan semua prosedur,
- Klien tidak mengalami merasa te
termasuk sensasi yang
2. Mengetah
ketegangan wajah (skala 3)
mungkin dialami selama
- Tanda- tanda vital stabil (skala kecemasa
prosedur 3. Membuat
4)
7. Berusaha untuk memahami
- Kepanikan pasien berkurang tenang d
4. sudut pandang pasien dari
(skala 3) didampin
situasi stress 4. Mengeva
8. Memberikan informasi
berkelanju
faktual tentang diagnosis,
kecemasa
dan prognosis 5. Membuat
rileks.
6. Memberit
pasien
prosedur
lebih tena
terlalu ce
prosedur
dilakukan
7. Mengetah
stress ata
pasien.
8. Dengan
informasi
pasien
akan
mengetah
benar
tentang ko
4.Apa sajakah pendidikan kesehatan yang perlu diberikan pada pasien dengan Epistaksis?
DAFTAR PUSTAKA
Abelson TI. Epistaksis dalam: Scaefer, SD. Rhinology and Sinus Disease Aproblem-Oriented
Aproach. St. Louis, Mosby Inc, 1998: 43 9.
Ballenger JJ. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Alih bahasa staf ahli bagian
THT FK UI. Jilid 1. Edisi 13. Jakarta, Binarupa Aksara,1994: 1 27, 112 6.
Doctherman JMC, Bulecheck GN. 2008. Nursing Intervention Classification. USA : Mosby
Elsevier
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20688/1/mkn-sep2006-%20sup%20(15).pdf
Diakses pada tanggal 24 April 2015
Moorhead S, Jonson M, Mass ML et al. 2008. Nursing Outcome Classfication. USA :Mosby
Elsevier.
NANDA International. 2013.Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-
2014.Jakarta:EGC Nuty WN, Endang M. Perdarahan hidung dan gangguan penghidu,
Epistaksis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi 3. Jakarta,
Balai Penerbit FK UI, 1998: 127 31
Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Prof. Dr. Jenny
Bashiruddin, Sp.THT, and DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.