Anda di halaman 1dari 29

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HEMOPTISIS
Definisi
Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah,
atau sputum yang berdarah. Setiap proses yang mengakibatkan terganggunya
kontinuitas aliran pembuluh darah paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk
darah merupakan suatu gejala yang serius dan merupakan manifestasi yang paling
dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis adalah karsinoma
bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru. Hemoptisis harus dibedakan dengan
hematemesis. Hematemesis disebabkan oleh lesi pada saluran cerna, sedangkan
hemoptisis disebabkan oleh lesi pada paru atau bronkus/bronkiolus.

Klasifikasi
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darah yang lebih besar.
Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis. Kriteria
hemoptisis masif berdasarkan Busroh :
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam
Bila perdarahan kurang dari 600 cc dan lebih dari 250 cc / 24 jam,
akan tetapi Hb kurang dari 10 g%.
Bila perdarahan lebih dari 600 cc / 24 jam dan Hb kurang dari 10 g
%, tetapi dalam pengamatan 48 jam ternyata darah tidak berhenti.

4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas
laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan
buatan (factitious).

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya


Batuk darah idiopatik atau esensial
Penyebabnya tidak diketahui. Angka kejadian batuk darah idiopatik
sekitar 15% tergantung fasilitas penegakan diagnosis. Epidemiologi pada
pria dua kali lebih banyak daripada wanita, berumur sekitar 30 tahun,
biasanya perdarahan dapat berhenti sendiri sehingga prognosis baik. Teori
perdarahan ini adalah sebagai berikut :
a. Adanya ulserasi mukosa yang tidak dapat dicapai oleh
bronkoskopi.
b. Bronkiektasis yang tidak dapat ditemukan.
c. Infark paru yang minimal.
d. Menstruasi vikariensis.
e. Hipertensi pulmonal.
Batuk darah sekunder, penyebabnya dapat dipastikan. Pada prinsipnya
berasal dari :
Saluran napas
Penyebab yang sering ialah tuberkulosis, bronkiektasis, tumor paru,
pneumonia dan abses paru. Menurut Bannet, 82 86% batuk darah
disebabkan oleh tuberkulosis paru, karsinoma paru dan
bronkiektasis. Penyebab yang jarang dijumpai adalah penyakit
jamur (aspergilosis), silikosis, penyakit oleh karena cacing.
Sistem kardiovaskuler
Penyebab yang sering adalah stenosis mitral, hipertensi. Penyebab
yang jarang adalah kegagalan jantung, infark paru, aneurisma aorta.
Lain-lain
Disebabkan oleh benda asing, ruda paksa, penyakit darah seperti
hemofilia, hemosiderosis, sindrom Goodpasture, eritematosus lupus
sistemik, diatesis hemoragik dan pengobatan dengan obat-obat
antikoagulan

Klasifikasi menurut Pusel


Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif
empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif.

Etiologi Hemoptisis
Penyebab hemoptoe banyak, tapi secara sederhana dapat dibagi dalam 3
kelompok yaitu : infeksi, tumor dan kelainan kardiovaskular. Infeksi merupakan
penyebab yang sering didapatkan antara lain : tuberkulosis, bronkiektasis dan
abses paru. Pada dewasa muda, tuberkulosis paru, stenosis mitral, dan
bronkiektasis merupakan penyebab yang sering didapat. Pada usia diatas 40 tahun
karsinoma bronkus merupakan penyebab yang sering didapatkan, diikuti
tuberkulsosis dan bronkiektasis. Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat
dibagi atas :
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne
oleh karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis
bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah :


1. Infark Paru
2. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
3. Tumor :
a. Karsinoma.
b. Adenoma.
c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal.
4. Infeksi
a. Aspergilloma.
b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas).
c. Tuberkulosis paru.
5. Perdarahan paru
a. Sistemic Lupus Eritematosus
b. Goodpastures syndrome.
c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis.
d. Bechets syndrome.
6. Cedera pada dada/trauma
a. Kontusio pulmonal.
b. Transbronkial biopsi.
c. Transtorakal biopsi memakai jarum.
7. Kelainan pembuluh darah
a. Malformasi arteriovena.
b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis.

Patofisiologi Hemoptisis
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperanan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis
dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma
Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada
hemoptoe masih diragukan.

Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini


telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa
terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri
bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe.
Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah
menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk
menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar
seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpastures syndrome.
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal
dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari
cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis
disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini
terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan
pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan
hemoptisis masif.
6. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.
7. Invasi tumor ganas

Diagnosis
Hal utama yang penting adalah memastikan apakah darah benar- benar
bukan dari muntahan dan tidak berlangsung saat perdarahan hidung. Hemoptisis
sering mudah dilacak dari riwayat. Dapat ditemukan bahwa pada hematemesis
darah berwarna kecoklatan atau kehitaman dan sifatnya asam. Darah dari
epistaksis dapat tertelan kembali melalui faring dan terbatukkan yang disadari
penderita serta adanya darah yang memancar dari hidung.
Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan
urutan urutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun
penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan.
Anamnesis
Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap harus didapatkan data-data :
Jumlah dan warna darah
Lamanya perdarahan
Batuknya produktif atau tidak
Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan
Sakit dada, substernal atau pleuritik
Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi
badan dan batuk
Wheezing
Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah
Perokok berat dan telah berlangsung lama
Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan
petunjuk sebagai berikut :
Tanda-tanda batuk darah:
1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan.
2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di
dalam saluran napas.
3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan.
4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari
kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman.
5. pH alkalis.
6. Bisa berlangsung beberapa hari
7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah :


1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah.
2. Suara napas tidak ada gangguan.
3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium.
4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa
makanan. pH asam. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe.
5. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat
mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan
opening snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis, teleangiektasi.
Pemeriksaan penunjang
Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat
perdarahannya.

Pemeriksaan bronkoskopi
Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan
demikian sumber perdarahan dapat diketahui. Adapun indikasi bronkoskopi pada
batuk darah adalah :
1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2. Batuk darah yang berulang ulang
3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis,
lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk
melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa
selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih
impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk
fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai
bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan.
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat
optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam
membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing,
disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat
terjadinya perdarahan.

Penanganan
Pada umumnya hemoptoe ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan
biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang
masif. Tujuan pokok terapi ialah :
1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku
2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi
3. Menghentikan perdarahan
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan
mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab
utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif. Masalah utama dalam
hemoptoe adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan
asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptoe paling tinggi dan
menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil
dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah
banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik.

Terapi konservatif
Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral
decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk
mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat.
Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan.
Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran
saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi.
Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan penderita.
Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang
terjadi.
Pemberian oksigen
Tindakan selanjutnya bila mungkin :
Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi
Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah
dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber
perdarahan.
Terapi pembedahan
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan :
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka
kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi
18% dengan tindakan operasi.
c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptoe yang berulang dapat dicegah.
Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut :
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan
dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan
konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti.
Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan
dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari
segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti.
Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode
yang mungkin digunakan adalah :
Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan
bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang
berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4C
sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian
dihisap dengan suction.
Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm
penampang 8,5 mm.

Komplikasi
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptoe, yaitu
ditentukan oleh tiga faktor :
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam
saluran pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptoe dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa
makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.

Prognosis
Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptoe yang rekuren. Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis :
1. Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan
untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan
penderita

2.2 TUBERKULOSIS
Definisi
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi bakteri menahun pada paru yang
disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam yang
ditularkan melalui udara yang ditandai dengan pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi. Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman aerob
yang dapat hidup terutama diparu atau bagian organ tubuh lainnya yang
bertekanan parsial tinggi. Penyakit tuberculosis ini biasanya menyerang paru
tetapi dapat menyebar keseluruh bagian tubuh termasuk meninges, ginjal, tulang,
nodus limfe. Infeksi awalnya biasanya terjadi 2-10 minggu setelah pemajanan.
Individu kemudian dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau
ketidakefektifan respon imun.

Cara penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis
biasanya secara inhalasi sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang
paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit sebagian besar melalui
inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari
pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil
tahan asam (BTA). Cara penularan lainnya:
1. Melalui mulut : misalnya minum susu sapi
2. Kontak langsung : luka di kulit
3. Kongenital : jarang

Patogenesis dan Perjalanan Ilmiah


Paru merupakam port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (< 5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet
nuclei) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB
dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga
tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus
lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang
tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan
akhirnya akan menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya kuman TB membentuk
lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Hon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfedengitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus
primer, limfangitis, dan limfadengitis dinamakan kompleks primer (primary
complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut dengan masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbul gejala penyakit. Mas inkubasi
TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3-104,
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang imunitas selular.
Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB
terbentuk, yang dapat diketahui dengan adanya hipersenritifitas terhadap
tuberkulpprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Setelah masa inkubasi, uji tuberkulin
masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi
baik, pada saat sistem imun selular berkembang proliferasi kuman TB terhenti.
Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat hidup dalam granuloma. Bila
imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke alveoli akan
segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI). Setelah imunitas sellular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau klasifikasi
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulai, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional (dapat
dilihat di gambar). Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan
rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau para trakeal yang
mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi
inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial
pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal
paru melalui mekanisme ventil(ball-valbe mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endotrakeal atau membentuk fistula.masa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gangguan
pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk komples primer, atau berlanjut
menyebar secara limfohematogen. Dapat juga tejadi penyebaran hematogen
langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut
sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar ( occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi yang baik,
paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar lemfe superfisialis. Selain itu,
dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain.
Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut fokus
Simon, yang kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan menjadi TB apeks
paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini
sejumlah kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh.
Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut,
yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6
bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar dan frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena adekuatnya sistem imun penjamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke sluruh
tubuh, dalam perjalannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung
kapiler, dan membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran kurang lebih sama. Istilah
milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang mnyerupai butir padi-padian
(milled seed). Secara patologik anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran
1-3 mm, sedangkan secara histologik merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di
dinding vascular pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar
kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat
penyebaran ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic
spread.

PERJALANAN ALAMIAH
Manifestasi klinis Tb di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi wallgen dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
tejadinya TB di berbagai organ.
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin
biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Pada
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodusum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkulosis sistem skleletal terjadi tahun pertama, walaupun dapat terjadi pada
tahun kedua dan ketiga. Tuberkukosis ginjal biasanya terjadi lebih lama, yaitu 5-
25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis TB terjadi pada
5 tahun pertama, terutama pada 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena TB
terjadi pada tahun pertama setelah diagnosis TB. 6,7

Klasifikasi TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu
definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah :


1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai
2. Registrasi kasus secara benar
3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:


1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter.
2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuK
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan,
sekurangkurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


1) Tuberkulosis paru.
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar
pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru.


Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin,
dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada
TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi
pengobatan.

c. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


1) TB paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau
keadaan umum pasien buruk.
2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu:
a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis
eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi,
dan kelenjar adrenal.
b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier,
perikarditis,peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB
tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.2

II. Deteksi dini TB paru


Diagnosis TB secara teoritis didasarkan atas:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Tes Tuberkulin
4. Foto Rontgen Paru
5. Pemeriksaan bakteriologik

Anamnesis
Keluhan penderita TB sangat bervariasi mulai dari sama sekali tidak ada keluhan
sampai dengan adanya keluhan yang serba lengkap.
a. Keluhan Umum : Malaise, anorexia, mengurus, cepat lelah
b. Keluhan karena infeksi kronik
Panas badan yang tidak tinggi (sub febris) dan keringat malam /
berkeringat pada waktu subuh pada jam-jam 02.30 05.00 yaitu saat orang
sehat tak akan berkeringat.
c. Keluhan karena ada proses patologik di paru / pleura:
Batuk dengan atau tanpa dahak, batuk darah, sesak dan nyeri dada.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam pemberantasan TB di


Indonesia menentukan anamnesis resmi lima keluhan utama yaitu:
a. Batuk-batuk lama (lebih dari 2 minggu)
b. Batuk darah
c. Sesak
d. Panas badan
e. Nyeri dada

Pemeriksaan Fisik
Pada orang dewasa biasanya penyakit ini dimulai di daerah paru atas,
kanan atau kiri yang disebut fruh infiltrate. Pada auskultasi hanya akan
ditemukan ronki basah halus sebagai satu-satunya kelainan pemeriksaan jasmani.
Bila proses infitratif ini makin meluas dan menebal, juga akan didapatkan
fremitus yang menguat dengan redup pada perkusi, suara nafas bronkeal, serta
bronkoponi yang menguat.
Bila sudah terjadi kavitas akan ditemukan gejala-gejala kavitas,berupa timpani
pada perkusi disertai suara nafas amforis. Bila terjadi atelektasis (pada destroyed
lung), suara nafas setempat akan melemah sampai hilang sama sekali.

Tes tuberculin
Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat
antigenik yang kuat. Jika disuntikkan secara intrakutan kepada seseorang yang
telah terinfeksi TB (telah ada kompleks primer dalam tubuhnya dan telah
terbentuk imunitas selular terhadap TB), maka akan terjadi reaksi berupa
induransi di lokasi suntikan. Indurasi ini terjadi karena vasodilatasi lokal, edema,
endapan fibrin dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran
indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukkan tingkat aktivitas
dan beratnya proses penyakit.
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah sangat lama
dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnositik yang tinggi
terutama pada anak, dengan spesifitas dan sensitifitas lebih dari 90%. Tuberkulin
yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU (tuberculin unit)
buatan statens Serum Institute Denmark, dan PPD (puriefied protein derivative)
dari biofarma.
Uji tuberkuin cara mantoux dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml PPD
RT-23 2TU atau PPD S 5TU secara intrakutan di bagian volar lengan bawah.
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikkan. Pengukuran dilakukan
terhadap indurasi yang timbul, bukan heperemi /eritemanya. Indurasi diperiksa
dengan cara palpasi untuk menentukkan tepi indurasi, ditandai dengan pulpen,
kemudia diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparans,
dan hasilnya dinyatakkan dalam milimeter. Jika tidak timbul indurasi sama sekali,
hasilnya dilaporkan sebgai 0 mm, jangan hanya dilaporkan sebagai negatif. Selain
ukuran indurasi, perlu dinilai tebal tipisnya indurasi dan perlu dicatat jika
ditemukan vesikel hingga bula.
Secara umum hasil uji tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm
dinyatakan positif tanpa menghiraukan penyebabnya. Hasil positif ini sebagian
besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi mungkin disebabkan oleh
imunisasi BCG atau infeksi M. Atipik.
Apabila diameter indurasi 0-4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif.
Diameter 5-9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleh
kesalahan teknis (trauma dan lain-lain), keadaan anergi, atau reaksi silang dengan
M. Atipik. Nila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang.
Untuk menghindari efek boostertuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu
kemudian dan penyuntikkan diakukan di lokasi yang lain, minimal berjarak 2 cm.
Pada keadaan tertentu, yaitu tertekannya sistem imun (imunokompromais),
maka cut off point hasil positif yang digunakan adalah 5 mm. Pada anak yang
mengalami kontak erat dengan pasien TB dewasa aktif disertai BTA positif, juga
digunakan batas 5 mm. Uji tuberkulin sebaikknya tidak dilakukan dalam kurun
waktu 6 minggu setelah imunisasi MMR dan varisela, karena dapat terjadi anergi.

Pemeriksaan foto thoraks


Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan radiologis pada TB
dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto thoraks yang normal
(tidak terdeteksi secara radiologis) tidak dapat menyingkirkan diagnosis TB jika
klinis dan pemeriksaan penunjang lain mendukung. Dengan demekian,
pemeriksaan foto thoraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB,
kecuali untuk gambaran milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut:
Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat
Konsolidasi segmental/lobar
Milier
Kalsifikasi dengan infiltrat
Atelektasis
Kavitas
Efusi pleura
Tuberkuloma.
Foto thoraks tidak cukup hanya dibuat secara antero-posterior (AP), tetapi
harus disertai dengan foto lateral, mengingat perbesaran KGB di daerah hilus
biasanya lebih jelas pada foto lateral. Sebagai pegangan umum, jika dijumpai
ketidaksesuaian antara gambaran radiologi yang berat dan gambaran klinis yang
ringan, maka harus dicurigai TB. Pada keadaan foto thoraks tidak jelas, bila perlu
dilakukan pemeriksaan pencitraan lain seperti CT-scan thoraks.

Pemeriksaan bakteriologik
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu, pemeriksaan
sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah
diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di
lapangan (puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapatkan
sputum, pasien dianjurkan untuk minum air sebanyak 2 liter dan diajarkan
melakukan refleks batuk. Dapat juga diberi tambahan obat-obat mukolitik
ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit.
Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan
brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari
sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan
pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan
diperiksa hendaknya sesegar mungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit
ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat proses
penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum mengandung kuman BTA mudah
keluar. Diperkirakan di indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi tidak
ditemukan dalam sputum mereka.
Kriteria sputum BTA positif adalah sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang
kuman BTA dalam satu sediaan. Dengan kata lain, diperlukan 5000 kuman dalam
1 ml sputum.
Tatalaksana TB paru
Tujuan pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan
langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu fase intensif dan fase
lanjutan.

Tahap Awal (Intensif)


- Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
ecara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1: 2 (HRZE) / 4(HR)3
o Kategori 2: 2 (HRZE)S/ (HRZE)/ 5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
o Kategori Anak: 2HRZ/4HR
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT KDT), sedangkan kategori anak
sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu
tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket kombipak.
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan
program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.

Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas)
pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa
pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntuntungan dalam pengobatan TB:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat
menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

1. KATEGORI 1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru TB paru BTA (+)
- Pasien TB paru BTA (-), foto toraks (+)
- Pasien TB ekstra paru

3 .OAT Sisipan (RHZE)


Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari). 2
DARTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2011
2. Sudoyo W, Aru. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid II Edisi
IV. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam FKUI:
Jakarta, 2006
3. Price, Sylvia A. Patofisiologi, volume 2. Edisi 6. Jakarta :
EGC.2006.
4. Jacob L. Bidwell, Robert W. Pachner. Hemoptysis: Diagnosis
And Management. University Of Wisconsin Medical School,
Milwaukee, Wisconsin.
5. Fitriah Sherly Marleen, Boedi Swidarmoko, Rita Rogayah
dan Jacub, Pandelaki. Embolisasi Arteri Bronkial pada
Hemoptisis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI-SMF Paru RSUP Persahabatan, Jakarta.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
2011
7. Mary Elizabeth Kreider, Milton D. Rossman. Mycobacterial
Infection: Clinical Presentation and Treatment of
Tuberculosis in Fishmans Pulmonary Diseases and
Disorders. 4thEdition. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.
2008. p. 2467-73.
8. Katzung, Betram G. Basic and Clinical Pharmacology. Ed 10.
Lange.
9. Mahan, Katleen L, Sylvia Escott. Krause Food and Nutrition
Therapy. Ed 12. Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai