Referat Rhinitis Atrofi
Referat Rhinitis Atrofi
RHINITIS ATROFI
PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
Dalam penyusunan referat ini penulis merasa masih banyak kekurangan, untuk itu
penulis memohon maaf jika ada penulisan yang kurang berkenan dan penulis juga
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat berguna bagi setiap pembaca, dan
memberikan jendela pengetahuan baru bagi semuanya. Atas perhatiannya penulis
mengucapkan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA.
PEMBAHASAN
KESIMPULAN.
SARAN
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA.
PENDAHULUAN
Rhinitis atrofi atau ozaena adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh
adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Salah satu gejala yang
timbul adalah mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Orang di sekitar
penderita yang biasanya tidak tahan dengan bau tersebut, tetapi pasien sendiri
tidak merasakannya karena hiposmia atau anosmia.
Penyakit ini lebih sering mengenai wanita, usia 1-35 tahun terutama pada
usia pubertas. Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi
rendah, di lingkungan yang buruk dan di negara sedang berkembang. Ozaena
lebih umum di negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa Selatan sejak
perang dunia ke II tampaknya timbul bersamaan dengan suatu penurunan tajam
dalam insidens ozaena.
Etiologi dan patogenesisnya hingga saat ini masih belum dapat diterangkan
dengan pasti. Oleh karena itu pengobatannya pun dilakukan untuk mengatasi
etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan yang diberikan dapat bersifat
konservatif, atau jika tidak dapat menolong dapat dilakukan pembedahan.
Maksud dan tujuan pembuatan referat rhinitis atrofi ini supaya dokter dapat
melakukan deteksi dini dari penyakit yang mengenai mukosa hidung ini. Selain
itu penulis juga berharap referat ini dapat memberikan wawasan ilmu
pengetahuan baru bagi para pembacanya.
TINJAUAN PUSTAKA
Pada dinding bagian lateral rongga hidung terdapat empat buah konka.
Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang
lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan
yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Terbagi tiga sesuai letaknya yaitu meatus inferior, media, dan
superior.
Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,
sinus maksila dan sinus ethmoidalis anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara
sinus ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian
berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah
sepertiga atas hidung.
Secara fisiologis, hidung merupakan bagian dari traktus respiratorius, alat
penghidu dan rongga-suara untuk berbicara. Fungsi pernapasan adalah mengatur
kondisi udara yang dihirup dan mengatur tahanan pernapasan. Fungsi mengatur
kondisi udara meliputi pemanasan, kelembaban dan pembersihan. Selain itu,
hidung sebagai alat penghidu merupakan perlindungan terhadap pengaruh yang
merusak dan berbahaya (misalnya, mencium bau pembakaran) dan untuk
hubungan dengan lingkungan. Pada waktu berbicara, hidung juga berperan
sebagai rongga-suara, yaitu rongga-resonansi, apabila nasofaring tidak tertutup
dan sebagian dikeluarkan melalui hidung. Dengan resonansi ini, dapat dihasilkan
suara hidung (m,n,ng).
Hidung merupakan alat reflex yang penting dan kebanyakan terlibat dalam
pengaturan dalamnya pernapasan, lama bernapas dan tahanan hidung. Hidung
juga mempunyai fungsi estetis dan emotif. Bentuk hidung yang menyimpang
sering merupakan beban psikis dan social.
Rhinitis atrofi merupakan infeksi hidung kronik, yang ditandai oleh adanya
atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis mukosa hidung
menghasilkan secret yang kental dan cepat mengering sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk. Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel
torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang,
lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau
atrofi.
FREKUENSIOZAENAEBERDASARKANUMURDAN
JENISKELAMIN
R.S.DR.KARIADISEMARANG, 19751976
Jumlah kasus
Wanita :
8 tahun 1 1
13-20 tahun 11 11 22
20 tahun ke atas 3 6 9
Laki-laki :
15-20 tahun 3 2 5
20 tahun ke atas 3 3 6
Banyak teori yang dikemukakan oleh para ahli mengenai etiologi dari
rhinitis atrofi ini, di antaranya : Infeksi oleh mikroorganisme spesifik. Yang
tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella Ozaena. Kuman lainnya yang
sering ditemukan adalah Stafilokokus, Streptokokus, dan Pseudomonas
Aeruginosa, Trauma, Radiasi, Efek lanjut dari tindakan bedah, Sinusitis kronik,
Defisiensi vitamin A, Defisiensi Fe dan juga Faktor Genetik.
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak
dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga
menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit
ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri
bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal
yang cepat mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala
dan epistaksis.
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :
Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis
atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.
Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi
lokal setempat.
Patofisiologi dari rhinitis atrofi dimulai dari berbagai etiologi seperti
Klebsiella ozaena, trauma, penyebaran infeksi lokal setempat (contoh: sinusitis
maxillaris), efek lanjut dari tindakan bedah, radiasi, dan kemudian akan
menyebabkan terjadinya suatu peradangan pada hidung. Jika peradangan ini
berlangsung lama dan tidak kunjung sembuh, maka disebut inflamasi kronik.
Inflamasi kronik ini akan menyebabkan banyak perubahan anatomi dan fungsi
hidung, seperti : Lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan
silianya. Hal ini akan membuat hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris, kelenjar mukosa mengalami atrofi dan
bahkan bisa menghilang, terbentuknya fibrosis jaringan subepitel yang luas,
fungsi surfaktan akan menjadi abnormal dimana hal ini akan menyebabkan
pengurangan efisiensi klirens mucus, dan mempunyai pengaruh yang kurang
baik terhadap frekuensi gerakan silia sehingga akan membuat bertumpuknya
lender, semakin tipisnya epitel (atrofi konkha) akan membuat rongga hidung
semakin membesar, karena itulah terjadi kekeringan, pembentukan krusta, dan
iritasi mukosa semakin meluas. Lalu jika bloodsupply juga tidak adekuat, maka
akan terjadi nekrosis sel dan jaringan yang bila nanti mengalami proses
pembusukan dan bercampur dengan toxin dari mikroorganisme akan
menghasilkan pus kehijauan yang berbau busuk. Jika krusta terlepas akan
membuat epistaksis. Selain atrofi dari mukosa, juga bisa terjadi atrofi dari
mukosa olfaktoria yang bisa menyebabkan penderita mengalami hiposmia atau
bahkan anosmia.
Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan Anamnesis, lalu pada
Pemeriksaan Hidung didapatkan rongga hidung sangat lapang, konkha inferior
dan media menjadi atrofi, ada sekret purulen dan krusta berwarna hijau,
Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konkha media,
Pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan kuman penyebab, Pemeriksaan
Radiologi sinus paranasalis. Dan juga CT-Scan, dimana pada pemeriksaan ini
ditemukan : Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman
dan kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses
uncinate, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung dengan erosi
dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang dan atrofi mukosa
pada konkha media dan inferior.
Diagnosis banding untuk rhinitis atrofi adalah sebagai berikut : Rhinitis
Kronik Tuberkulosa dan Rhinitis Kronik Sifilis. Rhinitis Kronik Tuberkulosa
merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Tuberkulosis pada
hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum
dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat secret
mukopurulen dan krusta, sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada secret
hidung. Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
Sedangkan Rhinitis Kronik Sifilis penyebabnya ialah kuman Treponema
pallidum. Penyakit ini sudah jarang ditemukan. Pada rhinitis sifilis yang primer
dan sekunder gejalanya serupa dengan rhinitis akut lainnya, hanya mungkin
dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rhinitis sifilis tersier
dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan
sapat mengakibatkan perforasi septum. Pada pemeriksaan klinis didapatkan
secret mukopurulen yang berbau dan krusta. Diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Sebagai pengobatan diberikan penisilin
dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.
Hingga kini pengobatan medis terbaik rhinitis atrofi hanya bersifat paliatif.
Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi
sistemik dan lokal dengan endokrin, steroid dan antibiotik; vasodilator;
pemakaian iritan jaringan lokal ringan seperti alkohol; dan salep pelumas.
Penekanan terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung
mengecilkan rongga hidung, dan dengan demikian juga memperbaiki suplai
darah mukosa hidung. Tujuan pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/
penyebab dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara
konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.
Yang termasuk pengobatan konservatif seperti: Antibiotik spektrum luas
sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi
hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan
Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu. Selain itu, dapat
digunakan juga obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari
krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : Betadin solution dalam
100 ml air hangat atau campuran: NaCl, NH4Cl , NaHCO3 aaa 9, Aqua ad 300
cc. Larutan tersebut harus diencerkan dengan perbandingan 1 sendok makan
larutan dicampur 9 sendok makan air hangat. Larutan dihirup ke dalam rongga
hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk
ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian
obat simptomatik pada rhinitis atrofi (Ozaena) biasanya dengan pemberian
preparat Fe. Setelah krusta diangkat, diberi antara lain: glukosa 25% dalam
gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U /
ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml diberikan
tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. Dapat juga diberikan Vitamin A 3 x
10.000 U selama 2 minggu dan Preparat Fe.
Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas . Sinha, Sardana dan
Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80%
perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal
memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu
regenerasi epitel dan jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan :
trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung
dengan NaCl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali
untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu
sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil
yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.
Disamping itu pengobatan operatif pada rhinitis atrofi (ozaena) bertujuan
untuk : menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan
dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya regenerasi.2 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama
yaitu Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan Operasi, seperti
penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke arah dalam.
SARAN
PENUTUP
Demikian refarat ini kami buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, G. L. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
2. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004.
3. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from : http://www.kalbe.co.id.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin Dunia Kedokteran No. 9, 1977.
4. Mangunkusumo, E. & Wardani, R. S. 2007. Rinorea, Infeksi Hidung dan
Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala
& Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
5. Van den Broek, P. & Feenstra, L. 2009. Buku Saku Ilmu Kesehatan
Tenggorok, Hidung&Telinga. Ed. Ke-12. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
6. Mansjoer, A., et al. 2005. Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III. Media
Aesculapius. Jakarta.