Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang1,2


Dari seluruh kunjungan emergensi, 1% di antaranya adalah kasus
kejang. Kejang merupakan tanda awal penyakit yang serius dan dapat
berkembang menjadi status epileptikus. Hampir 10-12% status epileptikus
merupakan kejang yang pertama kali dialami oleh bayi dan anak. Status
epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat
akhir-akhir ini terutama di negara Amerika Serikat dengan mortalitas yang
tinggi pada 152.000 kasus yang terjadi tiap tahunnya. Apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar
dapat terjadi kerusakan otak permanen dan kematian. Jika kejang tidak
berespons terhadap pengobatan anti kejang, maka disebut kejang refrakter.
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman
Mycobacterium tuberculosis yang bersifat sistemik sehingga dapat
mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru
yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. TB merupakan penyakit
infeksi yang sudah sangat lama dikenal manusia, setua peradaban manusia.
Pada awal penemuan obat antituberkulosis (OAT), timbul harapan
penyakit ini akan dapat ditanggulangi. Namun dengan perjalanan waktu
terbukti penyakit ini tetap menjadi masalah kesehatan yang sangat serius,
baik dari aspek gangguan tumbuh-kembang, morbiditas, mortalitas, dan
kecacatan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang Demam Kompleks

1
2.1.1 Definisi
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus menerus
lebih dari 30 menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit
tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan kejang. 1,2,3 Hampir 10-
12% status epileptikus merupakan kejang yang pertama kali dialami
bayi dan anak. 1
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
1. Kejang lama > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum
didahului kejang parsial
3. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.
Shinnar S. Febrile seizures Dalam: Swaiman KS, Ashwal S,
eds. Pediatric Neurology principles and practice.
St Lois: Mosby 1999. h. 676-82.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi
pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam.
Shinnar S. Febrile seizures Dalam: Swaiman KS, Ashwal S,
eds. Pediatric Neurology principles and practice.
St Lois: Mosby 1999. h. 676-82.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan labora-
torium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit
dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).
Gerber dan Berliner. The child with a simple febrile seizure. Ap-
propriate diagnostic evaluation.
Arch Dis Child 1981; 135:431-3.
AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first
simple febrile seizures.
Pediatr 1996; 97:769-95.
Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk me-
4 Konsensus Kejang Demam
negakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau meny-
ingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya
tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilaku-

2
kan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan
pungsi lumbal.
AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child
with a first simple febrile seizures.
Pediatr 1996;97:769-95
Baumer JH. Evidence based guideline for post-seizure manage-
ment in children presenting acutely to secondary care. Arch Dis
Child 2004; 89:278-280.
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat mem
prediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan ke-
mungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh
karenanya tidak direkomendasikan (level II-2, rekomendasi
E).
AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first
simple febrile seizures.
Pediatr 1996; 97:769-95.
Millichap JG. Management of febrile seizures: current concepts
and recommendations for Phenobarbital and electroencephalo-
gram. Clin Electroencephalogr 1991; 22:5-10.
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang
demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks
5 UKK Neurologi
pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.
Kesepakatan Saraf Anak 2005
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography
scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang
sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemipare-
sis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
Wong V, dkk. Clinical Guideline on
Management of Febrile Convulsion.
HK J Paediatr 2002;7:143-151
Prognosis
Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan
neurologis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak
pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal.
Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neu-
rologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya
terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang

3
baik umum atau fokal.
Ellenberg JH dan Nelson KB. Febrile seizures
and later intellectual performance.
Arch Neurol 1978; 35:17-21.
Maytal dan Shinnar S. Febrile status epilepticus.
Pediatr 1990; 86:611-7.
Kemungkinan mengalami kematian
6 Konsensus Kejang Demam
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan
National Institutes of Health. Febrile seizure: consensus devel-
opment conference Summary. Vol. 3, no. 2, Bethesda.
Kemungkinan berulangnya kejang demam
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus.
Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah :
1. Riwayat kejang demam dalam keluarga
2. Usia kurang dari 12 bulan
3. Temperatur yang rendah saat kejang
4. Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya
kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat fak-
tor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya
10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling
besar pada tahun pertama.
Berg AT, dkk. Predictors of recurrent febrile seizure: a prospec-
tive study of the circumstances surrounding
the initial febrile seizure,
NEJM 1992; 327:1122-7.
Annegers JF, dkk. Reccurrence of febrile convulsion
in a population based cohort.
Epilepsy Res 1990; 66:1009-14.
Knudsen FU. Recurrence risk after first febrile seizure and ef-
fect short term diazepam prophylaxis
Arch Dis Child 1996; 17:33-8.
Faktor risiko terjadinya epilepsi
Faktor risiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari.
7 UKK Neurologi
Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :
1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas
sebelum kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kand-
ung
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan
kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko
tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-
49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam
Nelson KB dan Ellenberg JH. Prognosis in children

4
with febrile seizure.
Pediatr 1978; 61:720-7.
Annegers JF, dkk. Factor prognotic of unprovoked seizures after
febrile convulsions.
NEJM 1987; 316:493-8.
Md: National Institute of Health 1980
Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu
pasien datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Do-
sis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan
dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit,
dengan dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di
rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomen-
dasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang
dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau
diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia
8 Konsensus Kejang Demam
3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat
bagan penatalaksanaan kejang demam).
Knudsen FU. Rectal administration of diazepamin solution in
the acute treatment of convulsion In infants and children.
Arch Dis Child 1979; 54:855-7.
Dieckman J. Rectal diazepam for prehospital status epilepticus.
An Emerg Med 1994; 23:216-24
Knudsen FU. Practical management approaches
to simple and complex febrile seizures.
Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds, Febrile seizures.
San Diego: Academic Press 2002. h. 1-20.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti,
dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan
interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap ke-
jang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberi-
kan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intra-
vena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan
1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12
jam setelah dosis awal.
Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif.
Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak.1999
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelines for physician
in the management of febrile seizures.

5
Brain Dev 1996; 18:479-484.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergan-
tung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana
atau kompleks dan faktor risikonya.
9 UKK Neurologi
Pemberian obat pada saat demam
Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengu-
rangi risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D),
namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap
dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol
yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali
sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/
kg/kali ,3-4 kali sehari
Camfield PR, dkk. The first febrile seizures-Antipyretic instruc-
tion plus either phenobarbital or Placebo
to prevent recurrence.
J Pediatr 1980; 97:16-21.
Uhari M, dkk. Effect of acetaminophen and of low intermittent
doses of diazepam on Prevention of recurrences
of febrile seizures.
J Pediatr 1995; 126:991-5.
Van Esch A, dkk. Antipyretic efficacy of ibuprofen and ac-
etaminophen in children with febrile seizures. Arch Pediatr
Adolesc Med. 1995; 149:632-5.
Kesepakatan Saraf Anak, 2005
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan
sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, seh-
ingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level
III, rekomendasi E).
Kesepakatan Saraf Anak, 2005
Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada
saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-
60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/
kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0 C (level I, rekomendasi A).
10 Konsensus Kejang Demam
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel
dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Rosman NP dkk. A controlled trial of diazepam administered
during febrile illneses to prevent Recurrence of febrile seizures.
NEJM 1993;329:79-84
Knudsen FU. Intermitten diazepam prophylaxis
in febrile convulsions: Pros and cos.
Acta Neurol Scand 1991; 83(suppl.135):1-24.
Uhari M, dkk. Effect of acetaminophen and low dose intermitten
diazepam on prevention of recurrences of febrile seizures.
J Pediatr. 1995; 126:991-5.

6
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam
tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II reko-
mendasi E)
Knudsen FU. Practical management approaches to simple and
complex febrile seizures. Dalam: Baram TZ, Shinnar S, eds,
Febrile seizures. San Diego: Academic Press 2002. h. 1-20.
Pemberian obat rumat
Indikasi pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menun-
jukkan ciri sebagai berikut (salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau
sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd,
cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12
11 UKK Neurologi
bulan.
kejang demam > 4 kali per tahun
AAP. Practice parameter: Longterm treatment
of the child with simple febrile seizures
Pediatr 1999; 103:1307-9.
Kesepakatan Saraf Anak, 2005
Penjelasan:
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam >
15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat
Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlam
batan perkembangan ringan bukan meru pakan in-
dikasi pengobatan rumat
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan
bahwa anak mempunyai fokus organik.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari
efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level
I).
Mamelle C, dkk. Prevention of recurrent febrile convulsion
a randomized therapeutic assay:
Sodium valproate, Phenobarbital and placebo.
Neuropediatrics 1984; 15:37-42.
Farwell JR, dkk. Phenobarbital for febrile seizures-effects on intel-
ligence and on seizure recurrence.
NEJM 1990; 322:364-9.
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berba-
haya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samp-
ing, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus
selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).

7
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gang-
guan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil
12 Konsensus Kejang Demam
kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam val-
proat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam
valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital
3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.
AAP. Committee on drugs. Behavioral and cognitive
effects of anticonvulsant theraopy.
Pediatr 1995; 96:538-40.
AAP. Practice parameter: Longterm treatment
of the child with simple febrile seizures
Pediatr 1999; 103:1307-9.
Knudsen FU. Febrile seizures-treatment and outcome. Epilep-
sia 2000; 41:2-9.
Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak 1999
Knudsen FU. Febrile seizures: treatment and outcome.
Brain Dev 1996; 18:438-49.
Edukasi pada orang tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua berang-
gapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya:
1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mem-
punyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang
kembali
4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang
efektif tetapi harus diingat adanya efek samping
13 UKK Neurologi
obat.
Wong V, dkk. Clinical Guideline on
Management of Febrile Convulsion.
HK J Paediatr 2002; 7:143-151.
Beberapa hal yang harus dikerjakan bila
kembali kejang
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar le-
her
3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan
kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mu-
lut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.

8
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk ke-
jang.
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila
kejang telah berhenti.
7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlang-
sung 5 menit atau lebih
Fukuyama Y, dkk. Practical guidelaines for physician in the
management of febrile seizures.
Brain Dev 1996; 18:479-484.

2.1.2 Epidemiologi Kejang Demam Kompleks Berulang4


Studi berbasis populasi DeLorenzo memperkirakan bahwa 50,000-
200,000 kasus status epileptikus terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas
karena status epileptikus juga berhubungan dengan epilepsi yang
sampai saat ini masih belum ada penelitian secara epidemiologi.
Sedangkan data secara global sendiri menunjukkan bahwa status
epilepsi terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan
paling sering terjadi pada anak-anak.

2.1.3 Etiologi Kejang Demam Kompleks Berulang,5


Infeksi dengan demam (52%) seperti kejang demam, ensefalitis,
meningitis.
Kelainan susunan saraf pusat (SSP) kronik (39%) seperti
ensefalopati hipoksik iskemik dan serebral palsi.
Penghentian obat anti kejang (21%).
Lain lain (<10%).2

2.1.4 Faktor resiko3


Faktor risiko epileptikus adalah satu per tiga kasus terjadi pada
epilepsi berulang, satu per tiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur
meminum obat antikonvulsan, pada usia kebanyakan tipe sekunder
karena adanya demensia, penyakit serebrovaskular, dan disfungsi
jantung.

2.1.5 Klasifikasi6,7
Klasifikasi status epileptikus sebagai berikut:
1. Generalized Convulsive SE

9
Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya. Generalized
mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan
convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.
2. Subtle SE
Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang be rtahan saat
tidak ada respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan,
karena subtle SE seperti tipe NCSE (Non-convulsive Status
Epilepticus). Walaupun secara definisi subtle SE merupakan
nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE
merupakan keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai
prognosis yang buruk.
3. Nonconvulsive SE (NCSE)
NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan
complex partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam
tatalaksana, etiologi, dan prognosis; fokal motor SE mempunyai
prognosis lebih buruk.
4. Simple Partial SE
Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang
terlokalisasi pada area korteks serebri dan tidak menyebabkan
perubahan kesadaran. Berbeda dengan convulsive SE, simple
partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas
yang tinggi.

Secara tradisional, SE dapat diklasifikasikan menjadi convulsive


dan nonconvulsive, namun istilah ini dapat tidak tepat. Skema baru
klasifikasi ILAE (International League Against Epilepsy) telah
menolak penggunaan istilah nonconvulsive, karena dapat merupakan
suatu keadaan yang beragam seperti kejang fokal pada limbic SE
ataupun generalized seperti absence SE. Di samping itu, keadaan
convulsive, khususnya kejang myoclonic, dapat terlihat pada
nonconvulsive SE, misalnya kejang di kelopak mata atau perioral.
Skema ILAE 2001 mendefinisikan SE sebagai aktivitas kejang
yang terus-menerus dan mengklasifi kasikan SE menjadi dua kategori,
yaitu generalized dan focal SE. Laporan ILAE Core Group (2006)

10
mengklasifikasikan bermacam-macam tipe SE (Tabel 1), serta
berusaha menghindari istilah generalized dan focal.

2.1.6 Patofisiologi6,7
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk
mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang
(Neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine)
melebihi kemampuan hambatan intrinsic (GABA) atau mekanisme
hambatan intrinsik tidak efektif. Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase,
yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi.
Pada fase ini terjadi:
- Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
- Peningkatan cerebral blood flow dan metabolism
- Hipertensi, hiperpireksia
- Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak
terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
- Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
- Depresi pernafasan
- Disritmia jantung, hipotensi
- Hipoglikemia, hiponatremia
- Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi,
hipoglikemia, hipoksemia, trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui
(30%).

2.1.7 Gambaran klinik6,7,8


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium
untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum
(Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang
paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74
persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic
Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang
didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat

11
berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang
terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh
hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan
darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH
serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum
mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode
kedua.
Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.

12
Status Epileptikus Mioklonik.
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.

Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia
pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status
presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang
lambat seperti menyerupai slow motion movie dan mungkin bertahan
dalam waktu periode yang lama.
Mungkin ada riwayat kejang umum primer atau kejang absens pada masa
anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status
epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
Status Epileptikus Non Konvulsif

13
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial
kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus
nonkonvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma. Ketika sadar,
dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor
dan pada beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan
generalized spike wave discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges
dari status absens.
Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan
jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada
satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari
tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak
terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(PLED), dimana seringberhubungan dengan proses destruktif yang
pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan
adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala
sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian
march.
Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi
yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi
otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi
mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.

2.1.8 Diagnosis dan pemeriksaan penunjang1,3,8,9

14
Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 10 menit. Hal yang
pertama kita lakukan adalah:
Anamnesis
Riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol,
penyakit serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan
lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat
kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang
dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, dan
penyakit yang sedang diderita.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran
penglihatan dan pendengaran refleks fisiologis dan patologi,
lateralisasi, papil edema akibat peningkatan intrakranial akibat tumor,
perdarahan, dan lain-lainnya. Sistem motorik yaitu parestesia,
hipestesia, anestesia.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi
ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi,
maka dilakukan kultur darah.
Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural
di otak.
EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat
mungkin jika pasien mengalami gangguan mental
Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS
atau perdarahan subarachnoid.

2.1.9 Komplikasi status epileptikus10


Otak
Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Edema serebri
Trombosis arteri dan vena otak
Disfungsi kognitif
Gagal Ginjal
Myoglobinuria, rhabdomiolisis
Gagal Nafas
Apnoe
Pneumonia

15
Hipoksia, hiperkapni
Gagal nafas
Pelepasan Katekolamin
Hipertensi
Oedema paru
Aritmia
Glikosuria, dilatasi pupil
Hipersekresi, hiperpireksia

Jantung
Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme
Metabolik dan Sistemik
Dehidrasi
Asidosis
Hiper/hipoglikemia
Hiperkalemia, hiponatremia
Kegagalan multiorgan
Idiopatik
Fraktur, tromboplebitis, DIC

2.1.10 Status Epileptikus Refrakter8,9


Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60
menit. Walaupun dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang
berlanjut dengan alasan yang cukup banyak seperti, dosisnya di bawah
kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.

2.1.11 Penatalaksanaan1,4,5,8,9
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang
membutuhkan anamnesa yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur
diagnostik, dan penanganan segera.
Medikamentosa
Tujuan utama pengobatan status epileptikus:
- Mempertahankan fungsi vital (ABC)
- Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
- Menghentikan aktivitas kejang

Tata laksana penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut:

16
- Di rumah/prehospital
Penanganan kejang dirumah dapat dilakukan oleh orangtua dengan
diazepam per rektal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara sederhana
bila berat badan < 10 kg (5 mg) sedangkan berat badan > 10 mg; 10
mg. pemberian di rumah maksimum 2 kali dengan interval 5 menit.
Bila kejang masih berlangsung bawalah pasien ke klinik/ rumah sakit
terdekat.

- Di rumah sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, bila belum terpasang cairan
intravena, dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali sambil
mencari akses vena. Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya
dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit,
dan gula darah sesuai indikasi.
Bila terpasang cairan intravena, berikan fenitoin IV dengan dosis 20
mg/kgBB dilarutkan dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan-lahan
dengan kecepatan pemberian 50 mg/menit. Bila kejang belkum
teratasi, lanjutkan pemerian fenitoin IV setelah 12 jam kemudian
dengan rumatan 5-7 mg/kgBB.
Bila kejang belum teratasi, berikan fenobarbital IV dengan dosis
maksimum 15-20 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 10
mg.kgBB. awasi dan atasi kelaianan metaboliki yang ada. Bila kejang
berhenti, lanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV rumatan 4-5
mg/kgBB setelah 12 jam kemudian.

- Perawatan intensif rumah sakit


Bila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di
ruang intensif. Dapat diberikan salah satu dibawah ini:
Midazolam 0,2 mg/kgBB diberikan bolus perlahan-lahan, diikuti
infus midazolam 0,01-0,02 mg/kgBB/menit selama 12-24 jam.
Propofol 1 mg/kgBB selama 5 menit, dilanjutkan dengan 1-5
mg/kgBB/jam dan diturunkan setelah 12-24 jam
Pentobarbital 5-15 mg/kgBB dalam 1 jam, dilanjutkan dengan
0,5-5 mg/kgBB/jam.

- Terapi rumatan

17
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan
diazepam, tergantung dari etiologi. Jika penyebab kejang suatu
hal yang dapat dikoreksi secara cepat (hipoglikemia, kelainan
elektrolit, hipoksia) mungkin tidak diperlukan terapi rumatan
selama pasien dirawat.
Jika penyebab infeksi SSP (ensefalopati, meningitis), perdarahan
intracranial, mungkin diperlukan terapi rumat selama perawatan.
Dapat dierikan fenobarbital dengan dosis awal 8-10
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, dilanjutkan
dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari sampai resiko untuk berulangnya
kejang tidak ada.
Jika etiologi adalah epilepsi, lanjutkan obat antiepilepsi dengan
menaikkan dosisnya.
Jika pada tatalaksana kejang akut kejang berhenti dengan fenitoin,
lanjutkan rumatan dengan dosis 5-7 mg.kgBB.hari dibagi dalam 2
dosis.
Jika pada tatalaksana kejang akut, kejang berhenti dengan
fenobarbital, lanjutkan rumatan dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis.

Cara pemberian obat antikonvulsan pada tatalaksana kejang akut


1. Diazepam
- Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg., dapat
dierikan 2 kali dengan interval 5-10 menit.
- Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian
10 mg dengan kecepatan maksimum 2mg/menit, dapat diberikan
2-3 kali dengan interval 5 menit.

2. Fenitoin
- Dosis inisial maksimum adalah 100 mg (30 mg/kgBB)
- Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9%, 10 mg/1cc NaCl 0,9%
- Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dextrose,
karena akan menggumpal
- Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah
pemberian
- Dosis rumatan: 12-24 jam setelah dosis inisial

18
- Efek samping aritmia, hipotensi, kolaps kardiovaskuler pada
pemberian IV yang terlalu cepat

3. Fenobarbital
- Sudah ada sediaan IV, sediaan IM tidak boleh diberikan IV
- Dosis inisial maksimum 600 mg (20 mg/kgBB)
- Kecepatan pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 100mg/menit
- Dosis rumat: 12-24 jam setelah dosis inisial
- Efek samping: hipotensi dan depresi napas, terutama jika
diberikan setelah obat golongan benzodiazepine

Protocol penggunaan midazolam pada kejang refrakter


Rawat di ICU, intubasi, dan diberikan ventilasi. Midazolam bolus 0,2
mg/kgBB (perlahan), kemudian drip 0,02-0,4 mg/kgBB/jam. Rumatan
fenitoin dan fenobarbital tetap diberikan.
Dosis midazolam diturunkan jika terdapat gangguan kardiovaskuler. Infus
midazolam diturunkan secara bertahap juka dalam 12 jam tidak terdapat
kejang.

Tatalaksana umum
- Pemantauan tekanan darah/laju napas/laju nadi/suhu elektrokardiografi
- Pemantauan tekanan intracranial: kesadaran, Dolls eye movement, pupil, pola
pernapasana, dan edema papil.
- Analisis gas darah, darah tepi, pembekuan darah, elektrolit, fungsi hati dan
ginjal, bila dijumpai kelainan lakukan koreksi
- Balans cairan input-output
- Tatalaksana etiologi
- Edema serebri dapat diberikan manitol 0,5-q,0 mg/kgBB/ 8 jam
- Pemantauan dan prognosis
- Mati batang otak angka kematian 5%
- Pemantauan: CT scan, MRI kepala, elektroensefalografi, Brainstem Auditory
Evoked Potential , Visual Evoked Potential.
- Gejala sisa: delayed motoric, sindrom ekstrapiramidal, retardasi mental dan
epilepsi.

2.2 TB paru
2.2.1 Defenisi11,12

19
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB anak
adalah TB yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun.
Meningitis tuberkulosis adalah peradangan selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Meningitis tuberkulosis merupakan hasil dari penyebaran hematogen dan
limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer pada
paru.

2.2.2 Epidemiologi11
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara-negara
berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-
50% dari jumlah seluruh populasi. Sekurang-kurangnya 500.000 anak
menderita TB setiap tahun dan 200 anak di dunia meninggal setiap hari
akibat TB serta 70.000 anak meniggal setiap tahun akibat TB.
Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan ketentuan strategi
DOTS. Kondisi ini memberikan peningkatan dampak negatif pada
morbiditas dan mortalitas anak.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak
di antara semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian
menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat
data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%.
Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi
pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok
umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur
5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA
positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,
sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.
Di Amerika Serikat yang bukan merupakan negara endemis
tuberkulosis, meningitis tuberkulosis meliputi 1:100 dari semua kasus
tuberkulosis. Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak
ditemukan karena morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi.

20
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil.
Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan
4 atau 6 tahun.
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita
tuberculosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis
tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala
sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologis dan
intelektual.

2.2.3 Patogenesis11,12
Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB.
Kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat
kecil (<5 m), akan terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian
kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis
spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat
dihancurkan. Pada individu yang tidak dapa menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di
tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran
limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang
mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di
lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara
fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer
(primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa

21
inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses
infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejal penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 212
minggu, biasanya langsung selama 48 minggu. Selama masa inkubasi
tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10 3104 , yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular Pada saat
terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah jadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji
tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem
imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk,
kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan
oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis
atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar
limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun
dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di
paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut,
sehingga bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat
tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui
mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat

22
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus,
sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa
kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular,
dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran
limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk
kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat
juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam
sirkulasi darah dan ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread).
Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi
sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian
akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan
kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain
seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di
sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan focus
Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa. atogenik generalisata akut (acute generalized
hematogenic spread).
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran
hematogenik generalisata akut. Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang
disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
26 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya

23
penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
anak bawah lima tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus
perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh,
sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat
dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

2.2.4 Diagnosis1,12
Diagnosis TB paru dan meningitis TB didasarkan pada:
1. Anamnesa
Gejala umum dari penyakit TB pada anak tidak khas, namun dapat
diperhatikan beberapa tandanya seperti:
- Nafsu makan berkurang
- Berat badan sulit naik, menetap, atau malah turun (kemungkinan
masalah gizi sebagai penyebab harus disingkirkan dulu dengan tata
laksana yang adekuat selama minimal 1 bulan).
- Demam subfebris berkepanjangan (etiologi demam yang lain perlu
disingkirkan dahulu, seperti infeksi saluran kemih, tifus atau
malaria).
- Pembesaran kelenjar superfisial di daerah leher, aksila, inguinal atau
tempat lain
- Keluhan respiratorik berupa batuk kronik lebih dari 3 minggu atau
nyeri dada.
- Gejala gastrointestinal seperti diare persisten yang tidak sembuh
dengan pengobatan baku atau perut membesar karena cairan atau
teraba massa dalam perut.

Keluhan spesifik orang dapat terjadi bila mengenai orang


ekstrapulmonal, seperti:
- Benjolan di punggung (gibbus), sulit membungkuk, pincang, atau
pembengkakan sendi
- Bila mengenai susunan saraf pusat (SSP), dapat terjadi gejala
iritabel, leher kaku, muntah-muntah dan penurunan kesadaran.
- Gambaran kelaianan kulit yang khas yaitu skrofuloderma

24
-Lemfodenopati multiple di daerah colli, aksila atau inguinal.
-Lesi flikten di mata
2. Pemeriksaaan fisis
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas.
- Antropometri: gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi
badan pada posisi di daerah bawah atau di bawah P5
- Suhu subfebris dapat ditemukan pada sebagian pasien
- Kelainan pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai
organ tertentu seperti:
TB vertebra: gibbus, kifosis, paraparesis atau paraplegia
TB koksae atau TB genu: jalan pincang, nyeri pada pangkal
paha atau lutut
Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multiple, tidak nyeri
tekan, dan konfluens (saling menyatu
Meningitis TB: kaku kuduk dan tanda rangsang meningeal
lainnya
Skrofuloderma: ulkus kulit dengan skinbridge biasanya terjadi
didaerah leher, aksila atau inguinal
Konjungtivitis fliktenularis yaitu bintik putih di limbus kornea
yang sangat nyeri.

3. Pemeriksaan penunjang
- Uji tuberculin dengan cara mantoux. Reaksi diukur 48-72 jam setelah
penyuntikan. Indurasi transversal diukur dan dilaporkan dalam mm
berapapun ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada
indurasi sama sekali. Indurasi >10 mm dinyatakan positif. Indurasi <
5 mm dinyatakan negative, sedangkan indurasi 5-9 mm meragukan
dan perlu diulang dengan jarak waktu minimal 2 minggu. Uji
tuberculin positif menunjukkan adanya infeksi TB dan kemungkinan
TB aktif pada anak.
- Foto toraks. Gambaran radiologis yang sugestif TB diantaranya:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi segemen/lobus
paru, milier, kavitas, efusi pleura, atelectasis atau kalsifikasi.
- Pemeriksaan mikrobiologik. Dari bahan bilasan lambung atau sputum
- Pemeriksaan patologi. Dari biopsi kelenjar, kulit, atau jaringan lain
yang dicurigai TB.
- Funduskopi. Pada TB milier dan meningitis TB

25
- Pungsi lumbal. Harus dilakukan pada TB milier untuk mengetahui
adanya meningitis TB
- Foto ulang dan pungsi pleura atasi indikasi
- Pemeriksaan darah tepi, laju endap darah, urin dan feses rutin sebagai
pelengkap data namun tidak berperan penting dalam diagnostic TB.

4. Skoring TB
Sistem skoring diagnosis tuberkulosis anak
No Parameter 0 1 2 3
1. Kontak TB Tidak jelas Laporan keluarga, Kavitas (+) BTA (+)
BTA (-) atau tidak BTA tidak jelas
tahu
2. Uji Tuberkulin Negatif Positif (>10
mm atau
>5mm pada
imunosupresi)
3. Berat Badan BB/TB < 90 % Klinis gizi

atau BB/U < 80 buruk atau


BB/TB <70%
%
atau BB/U <
60%
4. Demam tanpa > 2 minggu
sebab jelas
5. Batuk > 3 minggu
6. Pembesaran > 1 cm,
kelenjar limfe jumlah > 1,
kolli, aksilla,
tidak nyeri
inguinal
7. Pembengkakan ada
tulang/ sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
8. Foto Rontgen normal/ tidak Infiltrat Kalsifikasi +
toraks jelas Pembesaran Infiltrat

26
kelenjar Pembesaran
Konsolidasi kelenjar +
segmental/ infiltrat
lobar
Atelektasis

CATATAN :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
Jika dijumpai skrofuloderma langsung didiagnosis Tuberkulosis
Berat badan dinilai saat datang (moment opname)
Demam dan batuk tidak ada respon terhadap terapi sesuai baku
Foto Rontgen toraks bukan alat diagnosis utama pada Tuberkulosis anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak
Didiagnosis Tuberkulosis jika jumlah skor > 6 (skor maks 14). Cut of
point ini masih bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil
penelitian yang sedang dilaksanakan.

2.2.5 Penatalaksanaan11
2.2.5.1 Pengobatan

27
2.2.5.2 Pencegahan Meningitis
a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya
faktor resiko meningitis bagi individu yang belum mempunyai
faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi
meningitis pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh.
Vaksin yang dapat diberikan seperti Haemophilus influenzae type b
(Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7), Pneumococcal
polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib
Conjugate vaccine (Hb-OC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2
bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan jadwal imunisasi lain
seperti DPT, Polio dan MMR.
Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan
terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin
Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan
sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di
berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun
cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan

28
diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat
membentuk antibodi.
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan
pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak
dekat atau hidup serumah dengan penderita. Vaksin yang
dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.
meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem
kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan
pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat
kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m 2/orang),
ventilasi 10 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak
langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah,
tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara
meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit
sejak awal, saat masih tanpa gejala (asimptomatik) dan saat
pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan
mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala
awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan
laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray
(rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat
terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan
kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita secara dini.
Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis yaitu:
Meningitis Purulenta

29
- Haemophilus influenzae b: ampisilin, kloramfenikol,
setofaksim, seftriakson.
- Streptococcus pneumonia: kloramfenikol , sefuroksim,
penisilin, seftriakson.
- Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim
dan seftriakson.
- Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa): Kombinasi INH,
rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat
ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid
berupa prednisone digunakan sebagai anti inflamasi yang dapat
menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak.

c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang
mencegah kerusakan lanjut atau mengurangi komplikasi setelah
penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan untuk
menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap
kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang
misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan
rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi
kecacatan.

BAB III
LAPORAN KASUS

III.1 Identitas Pasien


Nama : An. Boanerges Arabo
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 1 tahun 4 bulan (TL: 29 Nov 2014)
Berat badan : 7 kg
Hari perawatan : I
Alamat : Sentani
Suku : Nduga
Anak ke : II

30
Nama Ayah : Ny. Merina Pahabol
Nama Ibu : Tn. Pilus Arabo

III.2 Anamnesis (Heteroanamnesis: Ibu


Pasien)
III.2.1 Keluhan Utama: Kejang
III.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang diantar oleh kedua orangtuanya dengan keluhan
kejang yang dialami di rumah sebanyak 1 kali selama kurang dari 3
menit kurang lebih 3 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Saat kejang
bola mata pasien mengarah keatas, tangan dan tungkai bergerak
melipat dan menutup secara berulang dengan bagian kaki dan tangan
tampak kaku dan melipat kearah luar. Kejang disertai dengan
demam. Demam dirasakan terus menerus hingga dibawa ke Rumah
Sakit. Saat di IGD diberikan paracetamol drip, demam turun 2-3
jam kemudian demam timbul kembali disertai kejang dengan
gerakan yang sama dengan durasi kurang dari 3 menit dan frekuensi
yang terjadi 2 kali lalu diberikan diazepam melalui anus, kejang
kemudian berhenti. Namun saat pindah ke ruang perawatan kanak-
kanak, kejang timbul lagi sebanyak 1 kali dan tidak disertai demam.
Setelah kejadian kejang, pasien hanya mempertahankan posisi
tangan dan kaki seperti saat kejang dan terlihat mengantuk.
Dalam 1 hari sebelum masuk rumah sakit ibu pasien juga
mengatakan pasien sempat muntah 3 kali berisi air dan makanan, 1
kali muntah kira-kira gelas kemasan air mineral 250 ml sehingga
pasien di bawa ke IGD Rumah Sakit Dian Harapan karena napsu
makan berkurang, diberikan obat minum kemudian pasien
dipulangkan. Obat-obatan dihabiskan, mual dan muntah teratasi.
Keluhan lainnya ialah batuk berlendir sejak 2 bulan yang lalu
disertai sesak napas, keringat malam hari walau tidak sedang
beraktivitas, dan penurunan berat badan dalam 2 bulan berjalan. Saat
ini pasien sedang menjalani pengobatan TB Lini I bulan ke-2 yang
diberikan setelah pemeriksaan di Rumah Sakit Mitra Masyarakat
Timika.

31
Makan/minum baik tetapi mulai menurun. BAB/BAK lancar,
warna kekuningan.

III.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Menurut ibu pasien, kejang pertama kali dialami pada tanggal
17 Januari 2016 lalu. Kejang hanya 1 kali dalam 1 hari saat demam
dengan posisi tubuh yang sama seperti kejang saat ini. Dan setelah
kejang, kedua kaki pasien menjadi susah ditekuk (kaku) namun
pasien tidak dibawa ke pusat kesehatan untuk mendapat pengobatan.
Pasien mempunyai riwayat TB pada bulan Maret 2015 lalu dan
telah mendapat pengobatan di Puskesmas Imbi. Pada bulan I, pasien
dan keluarga berangkat ke Timika namun tidak membawa surat
rujukan pengobatan sehingga tidak control dan putus obat.
Riwayat sakit lainnya disangkal

III.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Ibu pasien menjalani terapi OAT pada awal tahun 2014 tetapi
putus obat setelah kurang lebih 3 minggu minum obat, belum pernah
periksa dahak lagi. Sebelumnya periksa dahak hasil positif. Adik dari
ayah pasien (tante pasien) juga dalam terapi OAT bulan-I.

III.2.5 Riwayat Kehamilan


Selama hamil ibu pasien mengaku sudah mengalami batuk-
batuk yang lama +- 2 tahun. Sakit lainnya disangkal. ANC mulai usia
hamil 5 bulan lebih dari 5 kali di bidan dan dokter. USG (+)
dikatakan janin dalam keadaan baik dan TP 19 Nov 2014.

III.2.6 Riwayat Kelahiran


Pasien lahir di RS Yowari pada tanggal 19 Nov 2014/Spontan/ di
tolong bidan/ langsung menangis, kulit kemerahan dan gerakan
aktif/BB (lupa) dikatakan berat badan cukup/baik/sesuai.

III.2.7 Riwayat ASI dan Imunisasi


Pasien minum ASI hingga usia 1 bulan. Setelah itu dicampur
dengan PASI. Makan 3-4 kali/hari. Imunisasi hanya saat lahir,
setelah itu ibu pasien tidak pernah membawa pasien untuk imunisasi.

III.2.8 Riwayat Tumbuh Kembang-Gizi


7 bulan: gigi mulai tumbuh, melempar mainan

32
8 bulan: merangkak
9 bulan: berdiri pegangan, bicara 1 kata (papa/mama)
1 tahun: jalan pegangan

III.2.9 Status Gizi


Gizi kurang

III.3 Pemeriksaan Fisik


III.3.1 Status Generalis
KU : TSS Kes: somnolen
TTV : HR 115 x/m RR 50 x/m SB 38C SpO2 99%
Kepala/Leher:
Normocephali (LK 47 cm), UUB datar, mata cowong (-/-), edema
palpebral (-/-), pupil bulat isokor 2-3 mm, refleks cahaya (+), reflex
kornea (+), Konjungtiva Pucat (-/-), Sklera Ikterik (-/-), Pernapasan
Cuping Hidung (-), Oral Candidiasis (-),Tonsil T1-T1, Faring tidak
hiperemis, pembesaran Kelenjar Getah Bening
Colli/Subklavikula/Aksila (-), peningkatan JVP (-),

Thorax
- Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas, retraksi
epigastrium minimal
- Palpasi : Taktil fremitus D=S
- Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
- Auskultasi : SN vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing(-/-), Thrill jantung (-), BJ I-II reguler,
Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : Tampak datar, jejas (-)
- Auskultasi : BU 4 x/m
- Palpasi : supel, hepar/lien tak teraba pembesaran
- Perkusi : Timpani

Ekstremitas
Akral teraba hangat, tidak terdapat edema pada ekstremitas atas dan
bawah, CRT < 3

Kulit
Tampak pucat

III.3.2 Status Neurologis

33
Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk (+), brudzinsky I-III (-), laseque (-), kernig (-)

Pemeriksaan Refleks Patologis


Babinski (+), chadock (+), Oppenheim (+), Gordon (+), Gonda (+)

Pemeriksaan R. Fisiologis
BPR (+), TPR (+), KPR (+), APR (+)

III.4 Daftar Masalah


1. Imunisasi Tidak Lengkap
2. Kejang berulang
3. Putus OAT

III.5 Pemeriksaan penunjang


III.5.1 Pemeriksaan laboratorium (tanggal 01/04/2016)
- DDR : Negatif
- HB : 9,9 g/dL
- HCT : 32,9 %
- WBC : 12.360
- PLT : 481.000
- LED : 35-62
- GDS : 88 (tanggal 01/04/2016)

III.5.2 Pemeriksaan radiologi

34
SKORING TB :
1 Batuk > 3 minggu = 1
2 Demam > 2 minggu= 0
3 Kontak TB = 3
4 Berat badan/keadaan gizi = 1
5 Uji tuberkulin = 0
6 Pembesaran kelenjar limfa = 0
7 Foto thoraks = 1
Total skoring TB = 6

III.6 Diagnosis
- Kejang Demam Kompleks Berulang Et Causa Meningitis TB
- TB Paru Putus Obat
III.7 Terapi
- O2 nasal kanul 1-2 lpm
- IVFD D5 NS 15 tpm mikro
- Inj Ceftriaxon 2 x 350 mg
- Inj gentamisin 2 x 17,5 mg
- Inj paracetamol 3 x 70 mg
- Inj dexametason 2 x 2mg
- Inj fenitoin 2 x 35mg dalam NaCl 5 cc
- Nebulisasi NS 2,5cc + combiven fl 3x/hari

35
- OAT RHZE

III.8 Resume
Seorang pasien anak laki-laki berumur 1 tahun 4 bulan masuk dengan
keluhan kejang sebanyak 3 kali dalam sehari yang diawali demam tinggi
dengan posisi bola mata pasien mengarah keatas, tangan dan tungkai
bergerak melipat dan menutup secara berulang dengan bagian kaki dan
tangan tampak kaku dan melipat kearah luar.
Pada pemeriksaan fisik, didapati status generalis dan tanda vital dalam
batas normal, namun pada pemeriksaan neurologis didapatkan kaku kuduk
(+), reflex patologis seperti Babinski (+), chadock (+), Oppenheim (+),
Gordon (+), Gonda (+), reflex fisiologis dalam batas normal.
Dari hasil laboratorium tanggal 01/04/2016 ditemukan DDR negatif,
Hemoglobin 9,9 g/dL, Hematokrit 32,9 %, Leukosit 12.360, Trombosit
481.000, Laju Endap Darah I-II 35-62, Gula Darah Sewaktu 88 mg/dL.
Pemeriksaan Thorax menunjukkan gambaran infiltrate yang mengarah ke
gambaran milier. Pemeriksaan anjuran ialah Pungsi Lumbal namun tidak
dilaksanakan oleh karena tidak tersedianya reagen di RSUD Abepura.
Saat demam, pasien diberikan paracetamol drip 70 mg dan saat kejang,
pasien diberikan Diazepam rektal 5 mg. Keluhan lain seperti batuk
berlendir dan sesak napas selama 2 bulan diskoring TB dengan hasil 6
didiagnosis dengan TB paru maka diberikan OAT RHZE selama 12 bulan
dan nebulisasi dengan combiven fl 3x sehari. Makan/minum mulai
menurun sedangkan BAB/BAK lancar.
Pasien didiagnosis dengan kejang demam kompleks berulang et causa
meningitis TB dan TB paru putus obat

36
BAB IV
PEMBAHASAN

Status epileptikus adalah satu kejang berkepanjangan (>30 menit) atau


kejang berulang tanpa pemulihan kesadaran. Status epilepsikus tonik klonik
umum merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada
status tonik klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik
umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien
menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.
Meningitis tuberkulosis merupakan salah satu komplikasi TB primer.
Morbiditas dan mortalitas masih tinggi dan prognosisnya buruk. Penyakit ini
dapat menyerang semua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan
yang masih rendah. Jarang ditemukan pada usia dibawah 6 bulan dan hampir tidak
pernah ditemukan pada usia dibawah 3 bulan.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan
droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port dentree utama pada
penularan penyakit ini. Bakteri bakteri ini disebarkanpada orang lain melalui

37
pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi sekresi tenggorokan yang masuk
secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput
otak dan otak.
Dari anamnesa didapatkan kejang demam 3 kali disertai penurunan
kesadaran serta 1 kali kejang tanpa demam dan adanya penurunan kesadaran.
Saat kejang bola mata pasien mengarah keatas, tangan dan tungkai bergerak
melipat dan menutup secara berulang dengan bagian kaki dan tangan tampak
kaku dan melipat kearah luar, maka pasien ini didiagnosa kejang demam
kompleks dan berulang. Pasien tidak didiagnosa sebagai status epileptikus
walaupun kejang demam lebih dari 1x dalam 24 jam serta tipe kejangnya tonik
klonik umum dikarenakan waktu kejang yang singkat (tidak mencapai 30 menit
atau lebih).
Pasien juga mengeluhkan batuk 2 bulan, ada riwayat kontak dengan
penderita tuberkulosis, dan skoring TB didapatkan totalnya 6. Pada pemeriksaan
neurologis didapatkan rangsang meningeal kaku kuduk (+) Maka pasien ini
didiagnosa meningitis TB. Etiologi kejang demam kompleks dan berulang
termasuk salah satunya adalah infeksi sistem saraf pusat yang termasuk
didalamnya adalah meningitis tuberculosis. Sehingga pasien didiagnosa Kejang
Demam Kompleks dan Berulang et causa Meningitis Tuberculosis.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh
karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada:
1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
Pada kasus ini, umur pasien adalah 16 bulan, yang termasuk dalam kategori
yang dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal agar dapat
menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis namun pada pasien ini

38
tidak dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal oleh karena tidak adanya reagen
yang tersedia di laboratorium RSUD Abepura.
Pada kasus ini, diperlukan juga pemeriksaan gula darah, karena penyebab
kejang bisa terjadi karena hipoglikemia. Pada pemeriksaan gula darah sewaktu
didapatkan gula darah sewaktu pada pasien ini adalah 88 mg/dl. Sehingga
kecurigaan kejang disebabkan oleh karena hipoglikemia dapat disingkirkan.
Kejang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan gerakan otot, bisa
menyebabkan hipoksia , menyebabkan gangguan metabolisme, terjadi edema otak
dan kongesti vena, yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak.
Selain itu meningitis juga dapat menyebabkan edema otak. Maka pada pasien ini
diberikan dexamethasone golongan obat kortikosteroid yang berfungsi untuk
mencegah terjadinya edema otak. Manitol sebagai obat golongan diuretic
osmotik dapat juga diberikan namun pemberian manitol ini harus disertai
pemantauan kadar osmolalitas serum. Osmolalitas darah yang terlalu tinggi
akan meningkatkan risiko gagal ginjal.
Prognosis kejang demam kompleks dan berulang adalah tergantung pada
penyebab yang mendasarinya. Pasien dengan kejang demam kompleks dan
berulang akibat penggunaan antikonvulsan atau akibat alkohol biasanya
prognosisnya lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan dengan tepat dan
dilakukan pencegahan terjadi komplikasi. Pasien dengan meningitis sebagai
etiologi maka prognosis tergantung dari meningitis tersebut.
Pada pasien ini dicurigai meningitis tuberculosis sebagai etiologi dari
kejang demam kompleks dan berulang. Sehingga prognosis tergantung dari
pengobatan meningitis tersebut. Namun, pada pasien ini, didapatkan bahwa
pasien sempat berobat TB namun putus pada bulan pertama oleh karena itu
direncanakan pengobatan TB pasien ini berlangsung selama 12 bulan. Edukasi
mengenai pentingnya keteraturan minum obat dan kontrol tiap bulan akan
mengurangi resiko resistensi obat, putus obat selanjutnya dan prognosis pasien
ini bisa lebih baik lagi. Sedangkan untuk pengobatan kejang post kejang demam
kompleks dan berulang akan dilakukan pemantauan terapi kejang dengan Asam
Valproat dosis 15 mg/kgBB selama 2 tahun bebas kejang.

39
Selain itu, perlu diedukasi kepada keluarga pasien mengenai imunisasi dan
manfaatnya yang dapat bisa didapatkan di fasilitas kesehatan terdekat.

BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Status epileptikus adalah kejang yang berlangsung terus menerus
lebih dari 30 menit atau kejang berulang selama lebih dari 30 menit tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan kejang. Status epileptikus tonik
klonik umum merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Status
Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus
ditangani segera dan secepat mungkin karena melibatkan proses fisiologis
pada sistem homeostasis tubuh, kerusakan saraf dan otak yang dapat
mengakibatkan kematian.

40
Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang
berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari kejang
demam kompleks dan berulang tersebut seperti TB paru/meningitis TB.
TB paru adalah penyakit menular yang bisa menyerang semua
umur termasuk bayi dan anak dengan imunitas yang rendah. Bila tidak
segera ditangani, TB dapat menyerang ke semua organ tubuh termasuk
selaput otak (meningen) dan dapat berakibat kecacatan bahkan kematian.
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sangat
diperlukan dalam menegakkan diagnosis kejang demam kompleks dan
berulang serta meningitis TB.
Edukasi petugas kesehatan kepada pasien dan keluarga pasien
mengenai cara minum obat, lama pengobatan, efek samping obat, waktu
kontrol, dan prognosis dari penyakit ini sangat diperlukan guna mencegah
kekambuhan, putus obat, dan resistensi obat-obatan tersebut.

41

Anda mungkin juga menyukai