Anda di halaman 1dari 17

LOGAM FERRO

DAN
PROSES-PROSES PERLAKUAN LOGAM

A. Logam Ferro

Logam ferro adalah logam besi (Fe). Besi merupakan logam yang penting dalam
bidang teknik, tetapi besi murni terlalu lunak dan rapuh sebagai bahan kerja, bahan
konstruksi dll. Oleh karena itu besi selalu bercampur dengan unsur lain, terutama zat
arang/karbon (C). Sebutan besi dapat berarti :

Besi murni dengan simbol kimia Fe yang hanya dapat diperoleh dengan jalan
reaksi kimia.

Besi teknik adalah yang sudah atau selalu bercampur dengan unsur lain.

Besi teknik terbagi atas tiga macam yaitu :

Besi mentah atau besi kasar yang kadar karbonnya lebih besar dari 3,7%.

Besi tuang yang kadar karbonnya antara 2,3 sampai 3,6 % dan tidak dapat
ditempa. Disebut besi tuang kelabu karena karbon tidak bersenyawa secara kimia
dengan besi melainkan sebagai karbon yang lepas yang memberikan warna
abu-abu kehitaman, dan disebut besi tuang putih karena karbon mampu
bersenyawa dengan besi.

Baja atau besi tempa yaitu kadar karbonnya kurang dari 1,7 % dan dapat
ditempa.

Logam ferro juga disebut besi karbon atau baja karbon. Bahan dasarnya adalah
unsur besi (Fe) dan karbon (C) , tetapi sebenarnya juga mengandung unsur lain seperti :
silisium, mangan, fosfor, belerang dan sebagainya yang kadarnya relatif rendah. Unsur-
unsur dalam campuran itulah yang mempengaruhi sifat- sifat besi atau baja pada
umumnya, tetapi unsur zat arang

(karbon) yang paling besar pengaruhnya terhadap besi atau baja terutama
kekerasannya.
Pembuatan besi atau baja dilakukan dengan mengolah bijih besi di dalam dapur tinggi
yang akan menghasilkan besi kasar atau besi mentah. Besi kasar belum dapat digunakan
sebagai bahan untuk membuat benda jadi maupun setengah jadi, oleh karena itu, besi
kasar itu masih harus diolah kembali di dalam dapur-dapur baja. Logam yang dihasilkan
oleh dapur baja itulah yang dikatakan sebagai besi atau baja karbon, yaitu bahan untuk
membuat benda jadi maupun setengah jadi.

Tabel 1. Logam Ferro dan Pemakaiannya

B. Baja Karbon

Baja adalah logam paduan, dimana logam besi adalah unsur dasarnya yang diikuti
dengan beberapa elemen lainnya termasuk karbon. Kandungan unsur karbon dalam baja
berkisar antara 0.2% hingga 2.1% sesuai jenis baja itu sendiri. Karbon, mangan, fosfor,
sulfur, silikon, adalah elemen-elemen yang ada pada baja karbon. Selain itu, ada elemen
lain yang ditambahkan untuk membedakan karakteristik antara beberapa jenis baja
diantaranya: mangan, nikel, krom, molybdenum, boron, titanium, vanadium dan
niobium Dengan memvariasikan kandungan karbon dan unsur paduan lainnya kita dapat
mendapatkan kualitas baja yang kita inginkan. Fungsi karbon dalam baja adalah
sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi bergeser pada kisi kristal (crystal
lattice) atom besi.

Penambahan kandungan karbon pada baja dapat meningkatkan kekerasan (hardness)


dan kekuatan tariknya (tensile strength), namun di sisi lain membuatnya menjadi getas
(brittle) serta menurunkan keuletannya (ductility).
Sedangkan Mangan dipadukan dalam baja karbon dengan tujuan untuk meningkatkan
kekuatan luluh dengan kandungan tidak lebih dari 0,5 % untuk dapat mencegah
terjadinya kegetasan pada suhu tinggi (hot shortness) dan untuk mempermudah proses
rolling saat pembentukan raw material.

Untuk Poshphor (P) dan Sulfur (S) kedua unsur ini sedapat mungkin diminimalisir dalam
paduan baja karbon, karena pada dasarnya sulit untuk mendapatkan paduan baja karbon
tanpa phosphor dan sulfur. Phosphor menimbulkan sifat getas dan menurunkan
kekuatan baja dalam menahan beban benturan pada suhu rendah. Sedangkan Sulfur
menyebabkan baja menjadi getas pada suhu tinggi. Karena hal itu, batas maksimal
kandungan keduanya tidak boleh melebihi 0,05 %.

C. Pengelompokkan Jenis Baja Karbon

Baja karbon dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu :

1. Baja karbon rendah dengan kadar karbon kurang dari 0,25 %,


Baja karbon rendah merupakan baja dengan kandungan karbon kurang dari 0,25
%, Baja ini memiliki keuletan yang baik namun tidak memiliki kekerasan baik dan
tidak dapat dilakukan perlakuan panas karena jumlah karbonnya yang sedikit
yang mengakibatkan tidak terbentuknya proses martensit pada proses perlakuan
panas. Baja ini biasanya digunakan untuk bahan manufaktur karena baja karbon
rendah memiliki sifat mampu tempa yang baik, mampu mesin tinggi, dan mampu
bentuk yang tinggi karena keuletannya.

2. Baja karbon sedang dengan kadar karbon 0,25 0,6 %


Baja karbon jenis ini mengandung unsur karbon antara 0,25 sampai dengan
0,6 %. Baja ini dapat dinaikkan sifat mekaniknya dengan melalui perlakuan panas
austenitizing, quenching, dan tempering, biasanya baja ini banyak dipakai dalam
kondisi hasil tempering sehingga struktur mikronya martensit. Baja ini memiliki
kekuatan yang baik serta nilai keuletan maupun kekerasannya juga baik, baja
karbon sedang umumnya digunakan sebagai bahan baku alat-alat perkakas,
komponen mesin seperti poros putaran tinggi, roda gigi, cranksaft batang
penghubung piston, pegas dan lainnya.

3. Baja karbon tinggi mengandung 0,6 1,4 % karbon.


Baja karbon tinggi adalah baja karbon yang mengandung karbon antara0,60
sampai dengan 1,4 %. Baja karbon ini mempunyai kekerasan yang tinggi namun
keuletannya yang rendah, biasanya digunakan untuk keperluan yang memerlukan
ketahanan terhadap defleksi, beban gesek dan temperatur tinggi seperti bearing,
mata bor, palu, mata pahat, gergaji, blok silinder, cincin torak dan sebagainya.
[Van,2005]

D. Baja AISI 1045

Baja AISI 1045 termasuk dalam baja karbon sedang . Hal ini dapat diketahui dari
kandungan unsur karbon yang ditunjukkan pada kode penamaannya berdasarkan AISI
yang merupakan badan standarisasi baja American Iron and Steel Institude dengan kode
1045 dimana angka 10xx menyatakan karbon steel dan angka 45 menyatakan kadar
karbon dengan persentase 0,45 %.

Baja AISI 1045 memiliki karakter dengan kemampuan las, mesin, serta menyerap beban
impak yang cukup baik. baja AISI 1045 memiliki cakupan aplikasi yang cukup luas
diantaranya digunakan sebagai roda gigi, pin ram, batang ulir kemudi, baut pengikat
komponen dalam mesin, poros engkol, batang penghubung, bearing, dan lainnya.

Berikut ini adalah sifat-sifat mekanis dari baja karbon AISI 1045

Tabel 2. Sifat-sifat mekanis baja karbon AISI 1045

Sifat Mekanis Baja Karbon AISI 1045

Berat Spesifik (yield) 7.7-8.03 (x1000kg/m3)

Modulus Elastisitas 190-210 Gpa

Kekuatan Geser 505 Mpa

Kekuatan Tarik 585Mpa

Kekerasan 179.8

Elongation 12%

Dan berikut adalah tabel komposisi kimia dari baja AISI 1045

Tabel 3. komposisi kimia AISI 1045


Unsur C Mn P S Fe

% 0.43-0.50 0.6-0.90 0.04 Max 0.050 Max Sisanya

E. Proses Perlakuan Panas (Heat Ttreatment)

Perlakuan panas atau heat treatment adalah kombinasi operasi pemanasan pada
logam di bawah temperatur lebur logam tersebut dan pendinginan terhadap logam atau
paduan dalam keadaan padat dengan waktu tertentu

[Avner, 1974]. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh sifat yang diinginkan dengan
merubah struktur mikronya. Struktur yang terjadi pada akhir suatu proses laku panas,
selain ditentukan oleh komposisi kimia dari material dan proses laku panas yang dialami
juga ditentukan oleh struktur awal material. Paduan dengan komposisi kimia yang sama,
dan mengalami proses laku panas yang sama, mungkin akan menghasilkan struktur
mikro dan sifat yang berbeda bila struktur awal materialnya berbeda. Struktur awal ini
banyak ditentukan oleh pengerjaan dan laku panas yang dialami sebelumnya.
Disamping itu dasar-dasar semua proses laku panas melibatkan transformasi dan
dekomposisi austenit. Langkah pertama dalam proses laku panas baja adalah
memanaskan material sampai temperatur tertentu atau di atas temperatur daerah
kritis untuk membentuk fasa austenit. Kemudian diberi waktu penahanan agar austenit
dapat lebih homogen baru setelah itu dilakukan proses pendinginan. Proses
pendinginan dilakukan dengan cermat agar benda kerja tidak mengalami cacat retak
setelah mangalami proses ini.

Variasi tipe proses perlakuan panas di atas adalah sama karena seluruh proses
perlakuan panas hanya melibatkan proses pemanasan yang membedakannya adalah
temperatur pemanasan dan laju pendinginannya. Proses pemanasan dan kecepatan laju
pendinginan ini sangat mempengaruhi hasil akhir dari proses perlakuan panas. Di dalam
proses perlakuan panas ada tiga tahapan yang paling utama di antaranya tahap
pemanasan, tahap penahanan, dan tahap pendinginan.

1. Hardening
Hardening adalah perlakuan panas terhadap logam dengan sasaran
meningkatkan kekerasan alami logam. Perlakuan panas menuntut pemanasan
benda kerja menuju suhu pengerasan, jangka waktu penghentian yang
memadai pada suhu pengerasan dan pendinginan (pengejutan) berikutnya secara
cepat dengan kecepatan pendinginan kritis. Akibat pengejutan dingin dari daerah
suhu pengerasan ini, dicapailah suatu keadaan paksaan bagi struktur baja yang
merangsang kekerasan, oleh karena itu maka proses pengerasan ini disebut
pengerasan kejut.

Karena logam menjadi keras melalui peralihan wujud struktur, maka perlakuan
panas ini disebut juga pengerasan alih wujud. Kekerasan yang dicapai pada
kecepatan pendinginan kritis (martensit) ini diringi kerapuhan yang besar
dan tegangan pengejutan, karena itu pada umumnya dilakukan pemanasan
kembali menuju suhu tertentu dengan pendinginan lambat. Kekerasan tertinggi
(66-68 HRC) yang dapat dicapai dengan pengerasan kejut suatu baja, pertama
bergantung pada kandungan zat arang, kedua tebal benda kerja mempunya
pengaruh terhadap kekerasan karena dampak kejutan membutuhkan beberapa
waktu untuk menembus ke sebelah dalam, dengan demikian maka kekerasan
menurun kearah inti.

2. Tempering
Perlakuan untuk menghilangkan tegangan dalam dan menguatkan baja dari
kerapuhan disebut dengan memudakan (tempering). Tempering didefinisikan
sebagai proses pemanasan logam setelah dikeraskan pada temperatur tempering
(di bawah suhu kritis), yang dilanjutkan dengan proses pendinginan. Baja yang
telah dikeraskan bersifat rapuh dan tidak cocok untuk digunakan, melalui
proses tempering kekerasan dan kerapuhan dapat diturunkan sampai
memenuhi persyaratan penggunaan.

Kekerasan turun, kekuatan tarik akan turun pula sedang keuletan dan
ketangguhan baja akan meningkat. Meskipun proses ini menghasilkan baja yang
lebih lunak, proses ini berbeda dengan proses anil (annealing) karena sifat-sifat
fisis dapat dikendalikan dengan cermat. Pada suhu 200C sampai 300C laju
difusi lambat hanya sebagian kecil. karbon dibebaskan, hasilnya sebagian struktur
tetap keras tetapi mulai kehilangan kerapuhannya. Di antara suhu 500C dan
600C difusi berlangsung lebih cepat, dan atom karbon yang berdifusi di
antara atom besi dapat membentuk cementit.

Menurut tujuannya proses tempering dibedakan sebagai berikut :


a) Tempering pada suhu rendah ( 150 300C )
Tempering ini hanya untuk mengurangi tegangan-tegangan kerut dan
kerapuhan dari baja, biasanya untuk alat-alat potong, mata bor dan
sebagainya.

b) Tempering pada suhu menengah ( 300 - 550C )


Tempering pada suhu sedang bertujuan untuk menambah keuletan dan
kekerasannya sedikit berkurang. Proses ini digunakan pada alat-alat kerja
yang mengalami beban berat, misalnya palu, pahat, pegas. Suhu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 500C pada proses tempering.

c) Tempering pada suhu tinggi ( 550 - 650C )


Tempering suhu tinggi bertujuan memberikan daya keuletan yang
besar dan sekaligus kekerasannya menjadi agak rendah misalnya pada
roda gigi, poros batang pengggerak dan sebagainya.

3. Anealing
Anealing adalah perlakuan panas logam dengan pendinginan yang lambat
berfungsi untuk memindahkan tekanan internal atau untuk mengurangi dan
menyuling struktur kristal (melibatkan pemanasan di atas temperatur kritis
bagian atas). Logam dipanaskan sekitar 25C di atas temperatur kritis bagian
atas, ditahan dalam beberapa waktu, kemudian didinginkan pelan-pelan di tungku
perapian.

Proses ini digunakan untuk memindahkan tekanan internal penuh sebagai hasil
proses pendinginan. Berikutnya pendinginan logam diatur kembali di dalam sama
benar untuk menurunkan energi bentuk wujud, tegangan yang baru dibebaskan
dibentuk dan pertumbuhan butir dukung. Tujuannya untuk menghilangkan
internal stress pada logam dan untuk menghaluskan grain (batas butir) dari atom
logam, serta mengurangi kekerasan, sehingga menjadi lebih ulet.

Annealing terdiri dari 3 proses yaitu :

a) Fase recovery
Fase recovery adalah hasil dari pelunakan logam melalui pelepasan cacat
kristal (tipe utama dimana cacat linear disebut dislokasi) dan tegangan
dalam.

b) Fase rekristalisasi
Fase rekristalisasi adalah fase dimana butir nucleate baru dan tumbuh
untuk menggantikan cacat- cacat oleh tegangan dalam

c) Fase grain growth (tumbuhnya butir)


Fase grain growth (tumbuhnya butir) adalah fase dimana mikro
struktur mulai menjadi kasar dan menyebabkan logam tidak terlalu
memuaskan untuk proses pemesinan.

4. Normalizing
Normalizing adalah perlakuan panas logam di sekitar 40C di atas batas kritis
logam, kemudian di tahan pada temperatur tersebut untuk masa waktu yang
cukup dan dilanjutkan dengan pendinginan pada udara terbuka. Pada proses
pendinginan ini temperatur logam terjaga untuk sementara waktu sekitar 2
menit per mm dari ketebalan-nya hingga temperatur spesimen sama dengan
temperatur ruangan, dan struktur yang diperoleh dalam proses ini diantaranya
perlit (eutectoid), perlit brown ferrite (hypoeutectoid) atau perlit brown cementite
(hypereutectoid).

Normalizing digunakan untuk menyuling struktur butir dan menciptakan suatu


austenite yang lebih homogen ketika baja dipanaskan kembali.

Gambar 1. Diagram fasa Fe-Fe3C

Dari gambar diatas dapat diterangkan atau dibaca diantaranya


1. Pada kandungan karbon mencapai 6.67% terbentuk struktur mikro dinamakan
Cementit Fe3C (dapat dilihat pada garis vertikal paling kanan). Sifat sifat cementitte
diantaranya sangat keras dan sangat getas

2. Pada sisi kiri diagram dimana pada kandungan karbon yang sangat rendah,
pada suhu kamar terbentuk struktur mikro ferit.

3. Pada baja dengan kadar karbon 0.83%, struktur mikro yang terbentuk adalah Perlit,
kondisi suhu dan kadar karbon ini dinamakan titik Eutectoid.

4. Pada baja dengan kandungan karbon rendah sampai dengan titik eutectoid,
struktur mikro yang terbentuk adalah campuran antara ferit dan perlit.

5. Pada baja dengan kandungan titik eutectoid sampai dengan 6.67%, struktur
mikro yang terbentuk adalah campuran antara perlit dan cementit.

6. Pada saat pendinginan dari suhu leleh baja dengan kadar karbon rendah, akan
terbentuk struktur mikro Ferit Delta lalu menjadi struktur mikro Austenit.

7. Pada baja dengan kadar karbon yang lebih tinggi, suhu leleh turun dengan
naiknya kadar karbon, peralihan bentuk langsung dari leleh menjadi Austenit.

F. Holding Time

Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu bahan pada
proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk memperoleh
pemanasan yang homogen sehingga struktur austenite-nya homogen atau terjadi
kelarutan karbida ke dalam austenite dan difusi karbon dan unsur paduannya. Waktu
penahanan sangat berpengaruh pada saat transformasi karena apabila waktu penahanan
yang diberikan kurang tepat atau terlalu cepat, maka transformasi yang terjadi tidak
sempurna dan tidak homogen selain itu waktu tahan terlalu pendek akan menghasilkan
kekerasan yang rendah hal ini dikarenakan tidak cukupnya jumlah karbida yang larut
dalam larutan. Sedangkan apabila waktu penahanan yang diberikan terlalu lama,
transformasi terjadi namun diikuti dengan pertumbuhan butir yang dapat menurunkan
ketangguhan [Thelning, 1984].

Pedoman untuk menentukkan waktu penahanan dari berbagai jenis baja dapat dilihat
pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Jenis baja dan waktu tahan yang dibutuhkan pada proses perlakuanpanas
[Prayitno.et.al, 1999].

Ketebalan benda uji sangat mempengaruhi pemberian waktu penahanan pada saat
proses austenisasi. Secara matematis pemberian waktu penahanan terhadap
ketebalan benda uji dapat ditulis pada persamaan 1 berikut [Krauss,1986].

T = 1,4 H .(1)

dengan: T = waktu penahanan (menit) H = tebal benda kerja (mm)

G. Quenching

Proses quenching adalah proses heat transfer (perpindahan panas) dengan laju yang
sangat cepat. Pada perlakuan quenching terjadi percepatan pendinginan dari temperatur
akhir perlakuan dan mengalami perubahan dari austenite menjadi bainite dan martensite
untuk menghasilkan kekuatan dan kekerasan yang tinggi. Pengerasan maksimum yang
dapat dicapai baja yang di-quench hampir sepenuhnya ditentukan oleh konsentrasi
karbon dan kecepatan pendinginan yang sama atau lebih tinggi dengan kecepatan
pendinginan kritis untuk paduan tersebut. Media quenching meliputi: air, air garam, oli,
air- polymer, dan beberapa kasus digunakan inert gas. Gambar 2. di bawah
memperlihatkan laju pendinginan panas dari logam sebagai fungsi dari temperatur
permukaan logam. Awal pencelupan (Tahap A), logam akan diselimuti oleh selubung uap,
yang akan pecah saat logam mendingin. Perpindahan panas saat terbentuknya selubung
uap ini buruk, dan logam akan mendingin dengan lambat pada tahap ini. Stabilitas
dan lamanya proses

pendinginan tahap A sangat dipengaruhi oleh agitasi, umumnya waktu pendinginan tahap
ini berkurang dengan peningkatan agitasi [Totten, 1993].
Gambar 2. Mekanisme pendinginan pada spesimen yang di-quench [Totten,1993].

Tahap B dari kurva pendinginan dinamakan tahap didih nukleat dan pada tahap ini terjadi
perpindahan panas yang cepat karena logam langsung bersentuhan dengan air. Pada
tahap ini, logam masih sangat panas dan air akan mendidih dengan hebatnya.
Kecepatan pembentukan uap air menunjukkan sangat tingginya laju perpindahan
panas. Selanjutnya perpindahan panas pada pendinginan tahap ini dapat ditingkatkan
dengan peningkatan agitasi [Totten,1993].

Pada tahap C, merupakan tahap pendinginan konveksi dan konduksi, dimana permukaan
logam telah bertemperatur dibawah titik didih air. Tahap ini hanya mengalami perpindahan
panas melalui konveksi dan konduksi [Totten, 1993]. Perpindahan panas konveksi terdiri
dari konveksi alamiah dan konveksi paksa. Konveksi paksa yang terjadi karena gaya luar
seperti agitasi secara umum perpindahan panasnya lebih cepat dari pada konveksi
alamiah, laju pendinginan meningkat dengan peningkatan agitasi [Totten, 1993].

Gambar 3. Tampilan skematik dari aliran turbulen disekeliling spesimen panas pada
proses quenching [Totten, 1993].
Keseragaman kondisi quenchant penting untuk meminimalisir adanya cracking,
distorsi, dan ketidakseragaman kekerasan, hal ini berarti bahwa selama proses
quenching sebisa mungkin perpindahan panasnya seragam atau dengan kata lain
temperatur larutan pendingin pada bak harus tetap dijaga seragam, sehingga setiap
bagian dari spesimen yang di-quench tetap didinginkan pada temperatur yang sama.
Akibat adanya perpindahan panas dari spesimen baja kelarutan pendingin maka terjadi
pembentukan gelembung- gelembung udara yang kemudian berlanjut dengan
terbentuknya selubung udara pada permukaan spesimen tersebut, selubung udara
tersebut perlu segera disingkirkan agar perpindahan panasnya tetap baik. Permasalahan
selubung udara diatas dapat diatasi dengan dua cara, pertama adalah dengan membuat
larutan pada bak pendingin teragitasi, atau dengan cara membuat spesimen bergerak
berputar-putar di dalam bak larutan pendingin. Membuat spesimen bergerak dalam
larutan pendingin cukup sulit apalagi jika spesimennya besar dan tidak beraturan,
sehingga membuat larutan pada bak quench tersirkulasi merupakan cara yang paling
baik. Pengaruh agitasi pada hasil quench dengan memvariasikan kecepatan aliran
menunjukkan adanya peningkatan kekerasan dengan meningkatnya kecepatan aliran.
Agitasi, atau sirkulasi paksa pada medium quenching, dibutuhkan untuk mempersingkat
waktu pendinginan. Tanpa agitasi, konveksi alamiah dari quenchant dan penguapan
quenchant akan menghambat perpindahan panas terhadap lapisan batas fluida pada
permukaan. Membuat konveksi paksa pada fluida akan mengurangi hambatan aliran
panas pada lapisan batas fluida. Efek dari agitasi pada mekanisme pendinginan dari
sebuah perak yang di-quench dengan medium quench air bertemperatur 60C
ditunjukkan pada aliran air dengan kecepatan vi diinjeksikan dari bagian bawah bak
medium quench dan diarahkan ke logam. Semakin besar laju aliran (agitasi), semakin
besar temperatur yang dapat dilepas dengan mengurangi kemungkinan terjadinya
pembentukan selubung uap namun langsung terjadi didih nukleat karena efektifitas
perpindahan panasnya paling baik. Agitasi yang besar juga akan mempercepat
pendinginan pada tahap didih nukleat dan pendinginan konveksi dan konduksi
[Totten,1993].

H. Pengujian Logam

Proses pengujian logam adalah proses pemeriksaan bahan-bahan untuk diketahui sifat
dan karakteristiknya yang meliputi sifat mekanik, sifat fisik, bentuk struktur, dan
komposisi unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Adapun proses pengujiannya
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok metode pengujian, yaitu :
1. Destructive Test (DT), yaitu proses pengujian logam yang dapat
menimbulkan kerusakan logam yang diuji.

2. Non Destructive Test (NDT), yaitu proses pengujian logam yang tidak dapat
menimbulkan kerusakan logam atau benda yang diuji.

3. Metallography, yaitu proses pemeriksaan logam tentang komposisi kimianya,


unsur-unsur yang terdapat di dalamnya, dan bentuk strukturnya.

I. Uji Kekerasan (Hardness Test)

Proses pengujian kekerasan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu bahan terhadap
pembebanan dalam perubahan yang tetap. Dengan kata lain, ketika gaya tertentu
diberikan pada suatu benda uji yang mendapat pengaruh pembebanan, benda uji akan
mengalami deformasi. Kita dapat menganalisis seberapa besar tingkat kekerasan dari
bahan tersebut melalui besarnya beban yang diberikan terhadap luas bidang yang
menerima pembebanan tersebut. Kita harus mempertimbangkan kekuatan dari benda
kerja ketika memilih bahan benda tersebut. Dengan pertimbangan itu, kita
cenderung memilih bahan benda kerja yang memiliki tingkat kekerasan yang lebih tinggi.
Alasannya, logam keras dianggap lebih kuat apabila dibandingkan dengan logam lunak.
Meskipun demikian, logam yang keras biasanya cenderung lebih rapuh dan sebaliknya,
logam lunak cenderung lebih ulet dan elastis.

J. Dasar-Dasar Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan bahan logam bertujuan mengetahui angka kekerasan logam


tersebut. Dengan kata lain, pengujian kekerasan ini bukan untuk melihat apakah
bahan itu keras atau tidak, melainkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat
kekerasan logam tersebut. tingkat kekerasan logam berdasarkan pada standar satuan
yang baku. Karena itu, prosedur pengujian kekerasan pun diatur dan diakui oleh standar
industri di dunia sebagai satuan yang baku. Satuan yang baku itu disepakati melalui tiga
metode pengujian kekerasan, yaitu penekanan, goresan, dan dinamik .

Pengujian kekerasan dengan cara penekanan banyak digunakan oleh industri


permesinan. Hal ini dikarenakan prosesnya sangat mudah dan cepat dalam memperoleh
angka kekerasan logam tersebut apabila dibandingkan dengan metode pengujian lainnya.
Pengujian kekerasan yang menggunakan cara ini terdiri dari tiga jenis, yaitu pengujian
kekerasan dengan metode Rockwell, Brinell, dan Vickers. Ketiga metode pengujian
tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, serta perbedaan dalam
menentukan angka kekerasannya. Metode Brinell dan Vickers misalnya, memiliki prinsip
dasar yang sama dalam menentukan angka kekerasannya, yaitu menitik beratkan pada
perhitungan kekuatan bahan terhadap setiap daya luas penampang bidang yang
menerima pembebanan tersebut. Sedangkan metode Rockwell menitik beratkan pada
pengukuran kedalaman hasil penekanan atau penekan (indentor) yang membentuk
berkasnya (indentasi) pada benda uji. Perbedaan cara pengujian ini menghasilkan nilai
satuannya juga berbeda. Karena itu, tiap-tiap pengujian memiliki satuannya masing-
masing sesuai dengan proses penekannya, yang mendapat pengakuan standar
internasional. Perbedaan satuan itu ditunjukkan dalam bentuk tulisan angka hasil
pengujiannya. Berikut ini merupakan uraian terperinci mengenai masing-masing metode
pengujian.

K. Metode Pengujian Rockwell

Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell ini diatur berdasarkan standar DIN
50103. Adapun standar kekerasan metode pengujian Rockwell ditunjukkan pada
tabel sebagai berikut :

Tabel 5. Skala Kekerasan Metode Pengujian Rockwell


Tingkatan skala kekerasan menurut metode Rockwell dapat dikelompokkan menurut jenis
indentor yang digunakan pada masing-masing skala. Dalam metode Rockwell ini terdapat
dua macam indentor yang ukurannya bervariasi, yaitu :

1. Kerucut intan dengan besar sudut 120 dan disebut sebagai Rockwell Cone.

2. Bola baja dengan berbagai ukuran dan disebut sebagai Rockwell Ball. Untuk cara
pemakaian skala ini, kita terlebih dahulu menentukan dan memilih

ketentuan angka kekerasan maksimum yang boleh digunakan oleh skala tertentu. Jika
pada skala tertentu tidak tercapai angka kekerasan yang akuran, maka kita dapat
menentukan skala lain yang dapat menunjukkan angka

kekerasan yang jelas. Berdasarkan rumus tertentu, skala ini memiliki standar atau acuan,
dimana acuan dalam menentukan dan memilih skala kekerasan dapat diketahui melalui
tabel sebagai berikut :

Pembebanan dalam proses pengujian kekerasan metode Rockwell diberikan dalam dua
tahap. Tahap pertama disebut beban minor dan tahap kedua (beban utama) disebut
beban mayor. Beban minor besarnya maksimal 10 kg sedangkan beban mayor
bergantung pada skala kekerasan yang digunakan. Berikut ini merupakan cara pengujian
dan penggunaan dengan menggunakan metode pengujian Rockwell, yaitu :

Tabel 6. Skala Kekerasan Dan Pemakaiannya


1. Cara pengujian kekerasan Rockwell
Cara Rockwell ini berdasarkan pada penekanan sebuah indentor dengan suatu
gaya tekan tertentu ke permukaan yang rata dan bersih dari suatu logam yang
diuji kekerasannya. Setelah gaya tekan dikembalikan ke gaya minor, maka yang
akan dijadikan dasar perhitungan untuk nilai kekerasan Rockwell bukanlah hasil
pengukuran diameter atau diagonal bekas lekukan, tetapi justru dalamnya
bekas lekukan yang terjadi itu. Inilah perbedaan metode Rockwell dibandingkan
dengan metode pengujian

kekerasan lainnya. Pengujian Rockwell yang umumnya dipakai ada tiga jenis,
yaitu HRA, HRB, dan HRC. HR itu sendiri merupakan suatu singkatan kekerasan
Rockwell atau Rockwell Hardness Number dan kadang-kadang disingkat
dengan huruf R saja .

2. Cara penggunaan mesin uji kekerasan Rockwell


Sebelum pengujian dimulai, penguji harus memasang indentor terlebih dahulu
sesuai dengan jenis pengujian yang diperlukan, yaitu indentor bola baja atau
kerucut intan. Setelah indentor terpasang, penguji meletakkan specimenyang
akan diuji kekerasannya di tempat yang tersedia dan menyetel beban yang akan
digunakan untuk proses penekanan. Untuk mengetahui nilai kekerasannya,
penguji dapat melihat pada jarum yang terpasang pada alat ukur berupa dial
indicator pointer.
Kesalahan pada pengujian Rockwell dapat disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain :
a. Benda uji.
b. Operator.
c. Mesin uji Rockwell.

Kelebihan dari pengujian logam dengan metode Rockwell, yaitu :

a. Dapat digunakan untuk bahan yang sangat keras.


b. Dapat dipakai untuk batu gerinda sampai plastik.
c. Cocok untuk semua material yang keras dan lunak.

Kekurangan dari pengujian logam dengan metode Rockwell, yaitu :

a. Tingkat ketelitian rendah.


b. Tidak stabil apabila terkena goncangan.
c. Penekanan bebannya tidak praktis.

Anda mungkin juga menyukai