Kelompok A-9
Ketua : Deby Tri Widia Lestari (1102013073)
Sekretaris : Claraz Wanisada Erman (1102013066)
Anggota :
Cita Pratiwi (1102013065)
Dara Lalita Darmestari (1102013068)
Dara Mayangsari (1102013069)
Darayani Amalia (1102013070)
Dea Melinda Sabila (1102013072)
Dea Dwi Miranti (1102013071)
Dyah Arum Maharani (1102012072)
UNIVERSITAS YARSI
FAKULTAS KEDOKTERAN
JL. LET. JEND. SUPRAPTO, CEMPAKA PUTIH,
JAKARTA PUSAT, 10510
Skenario 3
PEMBENGKAKAN KELENJAR LEHER
Seorang laki laki, usia 35 tahun datang ke IGD RS mengeluhkan terdapat benjolan
ada leher kanan sejak 1 bulan, semakin lama semakin besar. Demam terutama malam hari,
berat badan berkurang dan terkadang nyeri pada benjolan tersebut. Dari pemeriksaan fisik
didapat pembengkakan Kelenjar Getah Bening di regio Colli Dextra, satu buah, konsistensi
sedikit keras, ukuran 33 cm, tidak ada tanda inflamasi dan nyeri tekan. Ditemukan juga
pembengkakan Kelenjar Getah Bening di kedua Inguinal masing masing satu buah, ukuran
11 cm, konsistensi sedikit keras, tidak ada inflamasi dan nyeri tekan. Dokter meminta pasien
untuk melakukan Biopsi Kelenjar Getah Bening untuk diagnostik dan pasien menyetujuinya.
2
Katakata sulit:
1. Inguinal: daerah yag terletak di pangkal paha / salah satu daerah lateral yang terendah
dari perut.
2. Regio Colli Dextra: daerah leher sebelah kanan dimana letak kelenjar getah bening
berada dan biasanya terjadi pembesaran .
3. Biopsi: Pengambilan dan pemeriksaan (biasanya mikroskopik) jaringan dari tubuh
organisme yang dikerjakan untuk menenggakkan diagnosis pasti.
Pertanyaan :
1. Mengapa demam terjadi pada malam hari ?
2. Apa diagnosis pasien terebut ?
3. Kelenjer Getah Bening selain di regio Colli Dextra , ada dimana lagi ?
4. Mengapa berat badan turun ?
5. Mengapa benjolan bertambah besar dan apa penyebabnya ?
6. Mengapa tidak ditemukan tanda inflamasi pada pasien tersebut ?
7. Apa yang menyebabkan benjolan tersebut tidak terasa nyeri saat tekan ?
Jawaban :
1. Karena metabolisme tubuh meningkat pada malam hari.
2. Limfadenopati.
3. Terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh, misalnya pada daerah submandibular,
supraclavicula, axilla, inguinal, dan lain-lain.
4. Karena terjadi penurunan nafsu makan sehingga berat badan pasien ini menjadi turun.
5. Benjolan bertambah besar karena terjadi penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang
berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri, seperti limfosit, sel plasma, monosit dan
histiosit, terdapat sel-sel peradangan (neutrofil) untuk mengatasi infeksi atau karena
adanya keganasan.
6. Karena kondisi pasien sudah keadaan kronik.
7. Nyeri tekan tersebut umumnya disebabkan oleh peradangan
3
Hipotesa:
Seorang laki laki mempunyai keluhan benjolan pada leher kanan ukuran 3 3 cm,
pada pembengkakan Kelenjar Getah Bening terdapat nyeri tekan, demam pada malam hari.
Ditemukan juga pembengkakan Kelenjar Getah bening pada inguinal ukuran 1 1 cm dan
terjadi penurunan berat badan. Dari gejala tersebut diduga pasien ini menderita limfadenopati
yaitu pembengkakan kelenjar getah bening. Untuk menegakkan diagnosis, maka dilakukan
biopsi pada pembengkakan getah bening tersebut.
4
SASARAN BELAJAR
1.1. Definisi
1.2. Etiologi
1.3. Patofisiologi
1.4. Manifestasi Klinis
1.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding
1.6. Tatalaksana
5
LO 1 Memahami dan Menjelaskan Limfadenopati
1.1 Definisi
Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih besar
dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati sebagai abnormalitas ukuran atau
karakter kelenjar getah bening. Terabanya kelenjar getah bening supraklavikula, iliaka, atau
poplitea dengan ukuran berapa pun dan terabanya kelenjar epitroklear dengan ukuran lebih
besar dari 5 mm merupakan keadaan abnormal.
Dari semua kasus pasien yang berobat ke sarana layanan kesehatan primer, sekitar
penderita datang dengan limfadenopati lokalisata dan 1/4 sisanya datang dengan
limfadenopati generalisata.
1.2 Etiologi
Penyebab yang paling sering limfadenopati adalah:
a. Infeksi
Infeksi virus
Infeksi yang disebabkan oleh virus pada saluran pernapasan bagian atas seperti
Rinovirus, Parainfluenza Virus, influenza Virus, Respiratory Syncytial Virus (RSV),
Coronavirus, Adenovirus ataupun Retrovirus.
Virus lainnya, yaitu Epstein Barr Virus (EBV), Cytomegalovirus (CMV), Rubela,
Rubeola, Varicella-Zooster Virus, Herpes Simpleks Virus, Coxsackievirus, dan Human
Immunodeficiency Virus (HIV).
Infeksi HIV sering menyebabkan limfadenopati serivikalis yang merupakan salah
satu gejala umum infeksi primer HIV. Infeksi primer atau akut adalah penyakit yang
dialami oleh sebagian orang pada beberapa hari atau minggu setelah tertular HIV.
Gejala lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap
penyakit flu (influenza like illness).
Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah.
Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik untuk bersembunyi dan menggandakan diri
dalam sel di KGB, diperkirakan hanya sekitar 2% virus HIV ada dalam darah. Sisanya
ada pada sistem limfatik, termasuk limpa, lapisan usus dan otak. Pada penderita HIV
positif, aspirat KGB dapat mengandung immunoblas yang sangat banyak. Pada
beberapa kasus juga tampak sel-sel imatur yang banyak. Pada fase deplesi, pada aspirat
sedikit dijumpai sel folikel, immunoblas dan tingible body macrophage, tetapi banyak
dijumpai sel-sel plasma.
Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized lymphadenopathy
/ PGL) adalah limfadenopati pada lebih dari dua tempat KGB yang berjauhan, simetris
dan bertahan lama. PGL adalah gejala khusus infeksi HIV yang timbul pada lebih dari
50% Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan PGL ini sering disebabkan oleh infeksi
HIV-nya itu sendiri. PGL biasanya dialami waktu tahap infeksi HIV tanpa gejala,
6
dengan jumlah CD4 di atas 500, dan sering hilang bila kadar CD4 menurun hingga
kadar CD4 200. Kurang lebih 30% orang dengan PGL juga mengalami splenomegali.
Pembengkakan kelenjar getah bening bersifat tidak sakit, simetris dan kebanyakan
terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah rahang bawah, di ketiak serta di
tempat lain, tidak termasuk di inguinal. Biasanya kulit pada kelenjar yang bengkak
karena PGL akibat HIV tidak berwarna merah. Kelenjar yang bengkak kadang kala sulit
dilihat, dan lebih mudah ditemukan dengan cara menyentuhnya. Biasanya kelenjar ini
berukuran sebesar kacang polong sampaisebesar buah anggur.
Infeksi bakteri
b. Keganasan
Keganasan seperti leukemia, neuroblastoma, rhabdomyo-sarkoma dan limfoma juga
dapat menyebabkan limfadenopati. Diagnosis defenitif suatu limfoma membutuhkan
tindakan biopsi eksisi, oleh karena itu diagnosis subtipe limfoma dengan menggunakan
biopsi aspirasi jarum halus masih merupakan kontroversi. Aspirat Limfoma non-Hodgkin
berupa populasi sel yang monoton dengan ukuran sel yang hampir sama. Biasanya tersebar
dan tidak berkelompok.
Diagnostik sitologi Limfoma Hodgkin umumnya dibuat dengan ditemukannya tanda
klasik yaitu sel Reed Sternberg dengan latar belakang limfosit, sel plasma, eosinofil dan
histiosit. Sel Reed Sternberg adalah sel yang besar dengan dua inti atau multinucleated
dengan sitoplasma yang banyak dan pucat.
Metastasis karsinoma merupakan penyebab yang lebih umum dari limfadenopati
dibandingkan dengan limfoma, khususnya pada penderita usia lebih dari 50 tahun. Dengan
teknik biopsi aspirasi jarum halus lebih mudah mendiagnosis suatu metastasis karsinoma
daripada limfoma.
7
c. Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati adalah penyakit
Kawasaki, penyakit Kimura, penyakit Kikuchi, penyakit Kolagen, penyakit Cat-scratch,
penyakit Castleman, Sarcoidosis, Rhematoid arthritis dan Sisestemic lupus erithematosus
(SLE).
1.3 Patofisiologi
Limfadenopati atau hiperplasia limfoid adalah pembesaran kelenjar limfe sebagai respons
terhadap proliferasi limfosit T atau limfosit B. Limfadenopati biasanya terjadi setelah infeksi
suatu mikroorganisme. Limfadenopati regional merupakan indikasi adanya infeksi lokal,
sedangkan limfadenopati generalisata biasanya merupakan indikasi adanya infeksi sistemik
seperti AIDS atau gangguan autoimun seperti artritis reumatoid atau lupus eritematosus
sistemik. Biasanya, limfadenopati dapat mengindikasikan adanya keganasan. (Corwin, 2009).
- Tuberkulosis Demam, ulkus pada tempat PPD, kultur sputum, foto toraks
gigitan
- Tularemia Kultur darah, serologi
Demam, konstipasi, diare, sakit
kepala, nyeri perut, rose spot
- Demam tifoid Ruam, ulkus tanpa nyeri Kultur darah, kultur sumsum tulang
- Hepatitis virus Artritis, nefritis, anemia, ruam, Serologi hepatitis, uji fungsi hati
penurunan berat badan
Autoimun Artitis simetris, kaku pada pagi Klinis, ANA,ds DNA, LED,
- Lupus eritematosus hari, demam hematologi
sistemik
Perubahan kulit, kelemahan otot Klinis, radiologi, faktor reumatoid,
- Artritis reumatoid Proksimal LED,Hematologi
9
- Sindrom Sjogren strawberry Hematologi
Tongue
Lain-lain/kondisi tak-
lazim Kriteria klinis
- Penyakit Kawasaki Perubahan kulit, dispnea,
adenopati
Hilar ACE serum, foto toraks, biopsi paru/
- Sarkoidosis kelenjar hilus
Demam, urtikaria, fatigue
Iatrogenik Klinis, kadar komplemen
- Serum sickness
Limfadenopati asimptomatik Penghentian obat
- Obat
Diagnosis
Diagnosis limfadenopati memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang apabila diperlukan.
a. Anamnesis
Umur penderita dan lamanya limfadenopati
Kemungkinan penyebab keganasan sangat rendah pada anak dan meningkat seiring
bertambahnya usia. Kelenjar getah bening teraba pada periode neonatal dan sebagian
besar anak sehat mempunyai kelenjar getah bening servikal, inguinal, dan aksila yang
teraba. Sebagian besar penyebab limfadenopati pada anak adalah infeksi atau penyebab
yang bersifat jinak.
Berdasarkan sebuah laporan, dari 628 penderita yang menjalani biopsi karena
limfadenopati, penyebab yang jinak dan swasirna (self-limiting) ditemukan pada 79%
penderita berusia kurang dari 30 tahun, 59% penderita antara 31-50 tahun, dan 39%
penderita di atas 50 tahun.
Di sarana layanan kesehatan primer, penderita berusia 40 tahun atau lebih dengan
limfadenopati mempunyai risiko keganasan sekitar 4%. Pada usia di bawah 40 tahun,
risiko keganasan sebagai penyebab limfadenopati sebesar 0,4%.2 Limfadenopati yang
berlangsung kurang dari 2 minggu atau lebih dari 1 tahun tanpa progresivitas ukuran
mempunyai kemungkinan sangat kecil bahwa etiologinya adalah keganasan.
Lokasi
Lokasi pembesaran KGB pada dua sisi leher secara mendadak biasanya disebabkan
oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki
umumnya pembesaran KGB hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik)
dapat disebabkan infeksi oleh Mycobacterium, Toksoplasma, Epstein Barr Virus atau
Citomegalovirus.
Gejala penyerta
Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam, sering menyertai
limfadenopat servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom mononukleosis. Demam,
keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dapat merupakan gejala
limfoma B symptom. Pada limfoma Hodgkin, B symptom didapatkan pada 8% penderita
10
stadium I dan 68% penderita stadium IV. B symptom juga didapatkan pada10%
penderita limfoma non-Hodgkin. Gejala artralgia, kelemahan otot, atau ruam dapat
menunjukkan kemungkinan adanya penyakit autoimun, seperti artritis reumatoid, lupus
eritematosus, atau dermatomiositis. Nyeri pada limfadenopati setelah penggunaan
alkohol merupakan hal yang jarang, tetapi spesifik untuk limfoma Hodgkin.
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi saluran
pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat badan mengarah
kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa
lelah dan nyeri sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit
serum (serum sickness), ditambah adanya riwayat pemakaian obat-obatan atau produk
darah.
Riwayat penyakit
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu seperti adanya peradangan tonsil
sebelumnya, mengarahkan kepada infeksi oleh Streptococcus, luka lecet pada wajah
atau leher atau tanda-tanda infeksi mengarahkan penyebab infeksi Staphylococcus, dan
adanya infeksi gigi dan gusi juga dapat mengarahkan kepada infeksi bakteri anaerob.
Transfusi darah sebelumnya dapat mengarahkan kepada Citomegalovirus, Epstein Barr
Virus atau HIV.
Riwayat pekerjaan
Paparan terhadap infeksi paparan/kontak sebelumnya kepada orang dengan infeksi
saluran napas atas, faringitis oleh Streptococcus, atau tuberculosis turut membantu
mengarahkan penyebab limfadenopati. Riwayat perjalanan atau pekerjaan, misalnya
perjalanan ke daerah-daerah di Afrika dapat mengakibatkan penyakit Tripanosomiasis,
orang yang bekerja dalam hutan dapat terkena Tularemia.
Pajanan
Anamnesis pajanan penting untuk menentukan penyebab limfadenopati. Pajanan
binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak penderita infeksi dan riwayat
infeksi rekuren penting dalam evaluasi limfadenopati persisten. Pajanan setelah
bepergian dan riwayat vaksinasi penting diketahui karena dapat berkaitan dengan
limfadenopati persisten, seperti tuberkulosis, tripanosomiasis, scrub typhus,
leishmaniasis, tularemia, bruselosis, sampar, dan anthrax. Pajanan rokok, alkohol, dan
radiasi ultraviolet dapat berhubungan dengan metastasis karsinoma organ dalam, kanker
kepala dan leher, atau kanker kulit. Pajanan silikon dan berilium dapat menimbulkan
limfadenopati.
Riwayat kontak seksual penting dalam menentukan penyebab limfadenopati inguinal
dan servikal yang ditransmisikan secara seksual. Penderita acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) mempunyai beberapa kemungkinan penyebab limfadenopati, risiko
keganasan, seperti sarkoma Kaposi dan limfoma maligna non-Hodgkin meningkat pada
kelompok ini. Riwayat keganasan pada keluarga, seperti kanker payudara atau familial
11
dysplastic nevus syndrome dan melanoma, dapat membantu menduga penyebab
limfadenopati.
b. Pemeriksaan Fisik
Karakter dan ukuran kelenjar getah bening
Secara umum malnutrisi atau pertumbuhan yang terhambat mengarahkan kepada
penyakit kronik seperti tuberkulosis, keganasan atau gangguan sistem kekebalan tubuh.
Karakteristik dari kelenjar getah bening dan daerah sekitarnya harus diperhatikan.
Kelenjar getah bening harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada
tidaknya nyeri tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau
tidak dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.
- Ukuran: normal bila diameter 0,5 cm dan lipat paha >1,5 cm dikatakan abnormal.
- Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses perdarahan.
- Konsistensi: keras seperti batu mengarah kepada keganasan, padat seperti karet
mengarah kepada limfoma, lunak mengarahkan kepada proses infeksi, fluktuatif
mengarah kepada terjadinya abses/pernanahan.
- Penempelan/bergerombol: beberapa KGB yang menempel dan bergerak bersamaan
bila digerakkan, dapat terjadi akibat tuberkulosis, sarkoidosis atau keganasan.
Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan kemungkinan
penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa. Limfoma Hodgkin tipe sklerosa
nodular mempunyai karakteristik terfiksasi dan terlokalisasi dengan konsistensi kenyal.
Limfadenopati karena virus mempunyai karakteristik bilateral, dapat digerakkan, tidak
nyeri, dan berbatas tegas. Limfadenopati dengan konsistensi lunak dan nyeri biasanya
disebabkan oleh inflamasi karena infeksi. Pada kasus yang jarang, limfadenopati yang
nyeri disebabkan oleh perdarahan pada kelenjar yang nekrotik atau tekanan dari kapsul
kelenjar karena ekspansi tumor yang cepat.
Pada umumnya, kelenjar getah bening normal berukuran sampai diameter 1 cm,
tetapi beberapa penulis menyatakan bahwa kelenjar epitroklear lebih dari 0,5 cm atau
kelenjar getah bening inguinal lebih dari 1,5 cm merupakan hal abnormal. Terdapat
laporan bahwa pada 213 penderita dewasa, tidak ada keganasan pada penderita dengan
ukuran kelenjar dibawah 1 cm, keganasan ditemukan pada 8% penderita dengan ukuran
kelenjar 1-2,25 cm dan pada 38% penderita dengan ukuran kelenjar di atas 2,25 cm.
Pada anak, kelenjar getah bening berukuran lebih besar dari 2 cm disertai gambaran
radiologi toraks abnormal tanpa adanya gejala kelainan telinga, hidung, dan
tenggorokan merupakan gambaran prediktif untuk penyakit granulomatosa
(tuberkulosis, catscratchdisease, atau sarkoidosis) atau kanker (terutama limfoma).
Tidak ada ketentuan pasti mengenai batas ukuran kelenjar yang menjadi tanda
kecurigaan keganasan. Ada laporan bahwa ukuran kelenjar maksimum 2 cm dan 1,5 cm
merupakan batas ukuran yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menentukan ada
tidaknya keganasan dan penyakit granulomatosa
Lokasi limfadenopati
12
sedangkan pada anak, umumnya berupa infeksi virus akut yang swasirna. Pada
infeksi mikobakterium atipikal, cat-scratch disease, toksoplasmosis, limfadenitis
Kikuchi, sarkoidosis, dan penyakit Kawasaki, limfadenopati dapat berlangsung
selama beberapa bulan. Limfadenopati supraklavikula kemungkinan besar (54%-
85%) disebabkan oleh keganasan.
Kelenjar getah bening servikal yang mengalami inflamasi dalam beberapa hari,
kemudian berfluktuasi (terutama pada anak-anak) khas untuk limfadenopati akibat
infeksi Staphylococcus dan Streptococcus. Kelenjar getah bening servikal yang
berfluktuasi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan tanpa tanda-tanda
inflamasi atau nyeri yang signifikan merupakan petunjuk infeksi Mycobacterium,
mikobakterium atipikal atau Bartonella henselae (penyebab cat scratchdisease).
Kelenjar getah bening servikal yang keras, terutama pada orang usia lanjut dan
perokok menunjukkan metastasis keganasan kepala dan leher (orofaring, nasofaring,
laring, tiroid, dan esofagus). Limfadenopati servikal merupakan manifestasi
limfadenitis tuberkulosa yang paling sering (63-77%kasus), disebut skrofula.
Kelainan ini dapatjuga disebabkan oleh mikobakterium nontuberkulosa.
2. Limfadenopati epitroklear
Terabanya kelenjar getah bening epitroklear selalu patologis. Penyebabnya
meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis, tularemia, dan
sifilis sekunder.
3. Limfadenopati aksila
Sebagian besar limfadenopati aksila disebabkan oleh infeksi atau jejas pada
ekstremitas atas. Adenokarsinoma payudara sering bermetastasis ke kelenjar getah
bening aksila anterior dan sentral yang dapat teraba sebelum ditemukannya tumor
primer. Limfoma jarang bermanifestasi sejak awal atau, apabila bermanifestasi,
hanya dikelenjar getah bening aksila. Limfadenopati antekubital atau epitroklear
dapat disebabkan oleh limfoma atau melanoma di ekstremitas, yang bermetastasis ke
kelenjar getah bening ipsilateral.
4. Limfadenopati supraklavikula
Limfadenopati supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan keganasan.
Pada penelitian, keganasan ditemukan pada 34% dan 50% penderita. Risiko paling
tinggi ditemukan pada penderita di atas usia 40 tahun. Limfadenopati supraklavikula
kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum, paru, atau esofagus.
Limfadenopati supraklavikula kiri (nodus Virchow) berhubungan dengan keganasan
abdominal (lambung, kandung empedu, pankreas, testis, ovarium, prostat).
5. Limfadenopati inguinal
Limfadenopati inguinal sering ditemukan dengan ukuran 1-2 cm pada orang
normal, terutama yang bekerja tanpa alas kaki. Limfadenopati reaktif yang jinak dan
infeksi merupakan penyebab tersering limfadenopati inguinal. Limfadenopati
inguinal jarang disebabkan oleh keganasan. Karsinoma sel skuamosa pada penis dan
vulva, limfoma, serta melanoma dapat disertai limfadenopati inguinal. Limfadenopati
inguinal ditemukan pada 58% penderita karsinoma penis atau uretra.
6. Limfadenopati generalisata
Limfadenopati generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius, penyakit
autoimun, dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenopati lokalisata. Penyebab
13
jinak pada anak adalah infeksi adenovirus. Limfadenopati generalisata dapat
disebabkan oleh leukemia, limfoma, atau penyebaran kanker pada stadium lanjut.
Limfadenopati generalisata pada penderita luluh imun (immunocompromised) dan
AIDS dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis,
sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan sarkoma Kaposi. Sarkoma Kaposi dapat
bermanifestasi sebagai limfadenopati generalisata sebelum timbulnya lesi kulit.
Kelompok kelenjar getah bening dan daerah drainasenya dapat dilihat pada gambar
berikut:
14
Kesulitan diagnosis adalah jika anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak mengarah pada
diagnosis tertentu yang dapat dilanjutkan dengan uji spesifik. Tidak ada bukti yang
mendukung manfaat pemberian antibiotik atau steroid pada keadaan ini, bahkan sebaiknya
dihindari karena akan mengaburkan atau memperlambat diagnosis. Belum terdapat
kesepakatan lama observasi yang diperlukan pada keadaan limfadenopati yang tidak
diketahui penyebabnya. Beberapa ahli merekomendasikan perlunya evaluasi lebih spesifik
atau biopsi pada limfadenopati noninguinal yang tidak diketahui penyebabnya dan
berlangsung lebih dari 1 bulan.
c. Biopsi kelenjar
Jika diputuskan tindakan biopsi, idealnya dilakukan pada kelenjar yang paling besar,
paling dicurigai, dan paling mudah diakses dengan pertimbangan nilai diagnostiknya.
Kelenjar getah bening inguinal mempunyai nilai diagnostik paling rendah. Kelenjar getah
bening supraklavikular mempunyai nilai diagnostik paling tinggi. Meskipun teknik
pewarnaan imunohistokimia dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifi sitas biopsi
aspirasi jarum halus, biopsi eksisi tetap merupakan prosedur diagnostik terpilih. Adanya
gambaran arsitektur kelenjar pada biopsi merupakan hal yang penting untuk diagnostik
yang tepat, terutama untuk membedakan limfoma dengan hiperplasia reaktif yang jinak.
d. Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk mendiagnosis
limfadenopati servikalis. Penggunaan USG untuk mengetahui ukuran, bentuk,
echogenicity, gambaran mikronodular, nekrosis intranodal dan ada tidaknya kalsifikasi.
USG dapat dikombinasi dengan biopsi aspirasi jarum halus untuk mendiagnosis
limfadenopati dengan hasil yang lebih memuaskan, dengan nilai sensitivitas 98% dan
spesivisitas 95%.
CT Scan
15
CT scan dapat mendeteksi pembesaran KGB servikalis dengan diameter 5 mm atau
lebih. Satu studi yang dilakukan untuk mendeteksi limfadenopati supraklavikula pada
penderita nonsmall cell lung cancer menunjukkan tidak ada perbedaan sensitivitas yang
signifikan dengan pemeriksaan menggunakan USG atau CT scan.
Gambar 6. Gray-scale sonogram metastasis pada KGB. Tampak adanya hypoechoic, round,
tanpa echogenic hilus (tanda panah). Adanya nekrosis koagulasi (tanda kepala panah).
Diagnosis Banding
Gambaran klinis:
Pembesaran kelenjar limfe tanpa disertai nyeri, terutama di daerah leher dan di bawah
lengan
Dapat timbul demam malam hari dan keringat malam
Penurunan berat badan pada dtadium penyakit
(Corwin, 2009)
16
Penyebab limfoma non-Hodgkin masih belum jelas, tetapi infeksi virus, termasuk infeksi
HIV, tampaknya bertanggung jawab pada beberapa kasus. Secara keseluruhan, limfoma non-
Hodgkin memiliki prognosis yang lebih buruk dari limfoma Hodgkin. (Corwin, 2009)
Gambaran klinis:
Pembesaran kelenjar limfe yang tidak nyeri
Splenomegali
Dapat timbul komplikasi saluran cerna
Demam, keletihan
Penurunan berat badan
Nyeri punggung dan leher disertai hiper-refleksia
(Corwin, 2009)
3. Limfadenitis tuberkulosis
Limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila peradangan terjadi
pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula (Dorland, 1998). Limfadenitis pada
kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah
scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377
S.M.) menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009).
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo Actinomyceales. Basil TB
adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 m dan
tidak berspora. M. tuberculosis merupakan bakteri tahan asam dan mudah mengikat pewarna
Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004).
Gambaran klinis:
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal
maupun multipel.
Benjolan biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu
sampai bulan, paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang
di regio supraklavikular
Menunjukkan gejala sistemik seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan
keringat malam.
17
Penyakit lainnya yang salah satu gejalanya adalah limfadenopati adalah penyakit
Kawasaki, penyakit Kimura, penyakit Kikuchi, penyakit Kolagen, penyakit Cat -
scratch, penyakit Castleman, Rhematoid arthritis dan Sistetmic lupus erithematosus
(SLE).
Obat-obatan dapat menyebabkan limfadenopati generalisata. Limfadenopati dapat
timbul setelah pemakaian obat-obatan seperti fenitoin dan isoniazid.
Obat-obatan lainnya seperti allupurinol, atenolol, captopril, carbamazepine,
cephalosporin, emas, hidralazine, penicillin, pirimetamine, quinidine,
sulfonamida, sulindac.
Makroskopik
1. Kelenjar limfe membesar
2. Dapat digerakan dari jaringan sekitar
3. Berkapsul
4. Konsistensi keras, terutama jika ada fibrosis
Mikroskopik
1. Gambaran jaringan kelenjar limfe dengan sentrum germinativum membesar dan aktif
mengandung limfosit-limfosit muda yang menunjukkan mitosis atau proliferasi sel
retikulum yang sering mengandung kuman atau debris seluler yang telah difagositosis
2. Penambahan sel retikulum dan limfosit dalam sinus disebut sinus catarrh.
3. Fibrosis diantara jaringan limfoid.
4. Kapsul dari nodus limfatikus bisa mengalami periadenitis akan tampak tebal dengan
infiltrasi sel-sel radang kronis.
18
dengan lebih baik oleh pasien dan memiliki komplikasi jangka panjang yang lebih
sedikit.
(Corwin, 2009)
3. Limfadenitis tuberkulosis
Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan
Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena
pembedahan tidak memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi
farmakologis biasa. Namun pembedahan dapat dipertimbangkan seperti prosedur
dibawah ini:
- Biopsy eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh atypical mycobacteria bisa
mengubah nilai kosmetik dengan bedah eksisi.
- Aspirasi
- Insisi dan drainase
Terapi farmakologis
Memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru.
Menurut panduan WHO, regimen pengobatan TB terdiri atas 2 fase, yaitu fase awal dan
fase lanjutan. Regimen ini ditulis dengan kode baku sebagai berikut: angka di depan
satu fase menunjukkan jangka waktu pengobatan fase tersebut dalam bulan. Huruf
menunjukkan obat dan angka di belakang/di samping bawah huruf menunjukkan
frekuensi pemberian obat per minggu. Kalau tidak ada angka di belakang/ di samping
bawah huruf, menunjukkan pemberian obat setiap hari/minggu. Di mana huruf R
artinya Rifampisin, huruf H artinya isoniazid, huruf Z artinya pirazinamid dan huruf E
artinya Etambutol. (Gunawan, 2007)
Berdasarkan beberapa pedoman pengobatan TB, terdapat perbedaan pemberian
regimen. Pedoman internasional dan nasional menurut WHO memasukan limfadenitis
TB dalam kategori III dan merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan dengan
regimen 2HRZ/4RH atau 2HRZ/4H3R3 atau 2HRZ/6HE. American Thoracic society
(ATS) merekomendasikan pengobatan selama 6 bulan sampai 9 bulan, sedangkan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB
kedalam TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society
Research Committee and Campbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama
9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH.
19
Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):
a. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis
berdasarkan sifatnya yaitu:
- Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah isoniazid atau isonikotinil
hidrazid (INH), rifampisin, pirazinamid dan streptomisin.
- Bakteriostatik, yaitu etambutol.
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka
prinsip--prinsip yang dipakai adalah: Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
20
LO 2 Memahami dan Menjelaskan Patologi Anatomi Limfadenopati
Mikroskopik: sentrum germinativum berukuran besar, terdapat dua daerah, yaitu zona
gelap mengandung sel B blast (sentroblast) dan zona terang mengandung sel B berinti
irregular atau cleave / terbelah (sentrosit)
21
Limfadenitis TB dalam mikroskopis tampak kumpulan sel epiteloid dikelilingi oleh
limfosit membentuk tubercle (soft maupun hard tubercle) disertai nekrosis kaseosa pada
daerah tengah dari soft tubercle. Terdapat sel datia langhans (tapal kuda) dan banyak
infiltrasi sel-sel radang mononuklear (MN).
Klinik: limfadenopati lokal atau generalisata yangg tidak nyeri, diikuti splenomegali,
hepatomegali & terjangkitnya organ viseral, konsistensi lunak, abu-abu. Bila sudah lanjut
kelenjar yang terkena akan bersatu & melekat ke jaringan sekitar. Lebih banyak pada
usia lanjut, tetapi dapat ditemukan pada anak-anak.
22
5. Limfoma Hodgkin
Limfoma Hodgkin adalah kondisi medis yang ditandai dengan kanker pada sistem
getah bening (bagian dari sistem kekebalan tubuh yang mengalirkan saluran getah bening
menuju jantung). Kondisi ini berkembang ketika limfosit, biasanya sel B, berubah menjadi
kanker akibat mutasi genetik yang penyebabnya tidak diketahui. Sel-sel B yang mutasi ini
diketahui sebagai sel Reed-Sternberg (R-S), yang terus membelah dan menghasilkan sel-
sel abnormal lebih banyak, yang menyebar melalui sistem getah bening ke kelenjar getah
bening yang berdekatan dan bahkan ke organ di luar sistem getah bening. Penderita
limfoma Hodgkin biasanya menunjukkan gejala tidak nyeri, pembengkakan kelenjar getah
bening di leher, lipat paha atau daerah ketiak.
Perjalanan penyakit:
Mula-mula hanya pembesaran 1 atau lebih KGB tanpa nyeri
Lalu timbul gejala demam, keringat malam, berat badan menurun, gatal
Prognosis ditentukan dari tingkat penyebaran tumor
23
Gambaran Limfoma Hodgkin sklerotik noduler
24
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3 Revisi. Jakarta: EGC
Gunawan, S.G., Setiabudy, R.N. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5. Jakarta: FKUI
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S. 2007. Buku Ajar Patologi, Edisi 7, Volume 2. Jakarta:
EGC
http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_05_209Pendekatan%20Diagnosis
%20Limfadenopati.pdf diakses pada 5 November 2014
Sudiono, J., Budi, K., etc. 2001. Penuntun Pratikum Patologi Anatomi. Jakarta: EGC
25