Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI, 2015


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PENDEKATAN DIAGNOSIS DIARE KRONIK

OLEH

RIZKA DAMAYANTI

PEMBIMBING

dr. WANGI, Sp.PD

DISUSUN SEBAGAI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2015

1
BAB I

PENDAHULUAN

Diare didefinisikan sebagai buang air besar yang tidak berbentuk atau

dalam konsistensi cair dengan frekuensi yang meningkat, umumnya frekwensi > 3

kali/ hari, atau dengan perkiraan volume tinja > 200 gr/hari. Durasi diare sangat

menentukan diagnosis, diare akut jika durasinya kurang dari 2 minggu, diare

persistent jika durasinya antara 2-4 minggu, dan diare kronis jika durasi lebih dari

4 minggu.1,2,3

Diare merupakan permasalahan yang umum diseluruh dunia, dengan

insiden yang tinggi baik di negara industri maupun di negara berkembang.

Biasanya ringan dan sembuh sendiri, tetapi diantaranya ada yang berkembang

menjadi penyakit yang mengancam nyawa. Diare juga dikatakan penyebab

morbiditas, penurunan produktifitas kerja, serta pemakaian sarana kesehatan yang

umum.1,2,3

Di seluruh dunia lebih dari 1 milyar penduduk mengalami satu atau lebih

episode diare akut pertahun. Di USA 100 juta orang mengalami episode diare akut

pertahun. Statistik populasi untuk kejadian diare kronis belum pasti, kemungkinan

berkaitan dengan variasi definisi dan sistem pelaporan, tetapi frekuensinya juga

cukup tinggi. Di USA prevalensinya berkisar antara 2-7%. Sedangkan dinegara

Barat, frekwensinya berkisar antara 4-5%. Pada populasi usia tua, termasuk pasien

dengan gangguan motilitas, didapatkan prevalensi yang jauh lebih tinggi yaitu 7-

14%.2,3

Diare akut jelas masalahnya baik dari segi patofisiologi maupun terapi.

Hal ini berbeda dengan diare kronis yang diagnosis maupun terapinya lebih rumit

dari diare akut. Bahkan dilaporkan sekitar 20% diare kronik tetap tidak dapat

1
diketahui penyebabnya walaupun telah dilakukan pemeriksaan intensif selama 2-6

tahun. Diare kronik bukan suatu kesatuan penyakit, melainkan suatu sindrom yang

penyebab dan patogenesisnya multikompleks. Mengingat banyaknya

kemungkinan penyakit yang dapat mengakibatkan diare kronik dan banyaknya

pemeriksaan yang harus dikerjakan maka dibuat tinjauan pustaka ini untuk dapat

melakukan pemeriksaan lebih terarah.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Diare yaitu buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair,

kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200

ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi yaitu buang air besar encer

lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer atau air ini dapat atau tanpa

disertai lendir dan darah.1,2

Diare kronik yaitu diare lebih dari 4 minggu. Batasan waktu ini penting

untuk mempercepat pemastian diagnosis dan pengobatan. Dibanding dengan diare

akut yang sudah jelas permasalahannya, diare kronik lebih rumit dalam

menegakkan diagnosis dan penobatannya.1,3 Prevalensi diare kronik di negara

barat 7-14% pada populasi tua (Thomas, 2003), di subbagian Gastroenterologi

FKUI/RSUPNCM Jakarta sebesar 15% selama 2 tahun (1995-1996), sedangkan

angka morbiditas diare kronik di antara semua pasien diare yang dirawat di

RSCM sekitar 1%.1,2

Diare kronik merupakan suatu sindrom yang penyebab dan patogenesisnya

sangat multikompleks. Mengingat banyaknya penyakit yang dapat menyebabkan

diare kronik dan banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan, sangat penting

bagi dokter untuk memilih yang benar-benar cost effective.1,3

3
B. ETIOLOGI

Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan

kelainan pada usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronis antara lain

kelainan usus, kelainan hati, kelainan pancreas, endokrin, dan lain-lain. Walaupun

telah diusahakan secara maksimal, diperkirakan sekitar 10-15% pasien diare

kronik tidak diketahui etiologinya. Di negara maju, sindrom usus iritatif dan

penyakit radang usus non spesifik (inflamatory bowel disease) merupakan

penyebab utama diare kronik. Di negara berkembang infeksi dan parasit masih

menjadi penyebab tersering.

C. KLASIFIKASI

Klasifikasi diare kronis berdasarkan patofisiologi dibagi menjadi 4 macam

yaitu (1) diare osmotik, (2) diare sekretorik, (3) eksudasi, (4) gangguan motilitas.

Pembagian diare kronis berdasarkan etiologi infeksi atau tidak, diare kronik dapat

dibagi atas infektif dan non-infektif. Berdasarkan ada tidaknya kelainan organik,

diare kronik dapat dibagi atas organik dan fungsional.1,4,5

Diare osmotik disebabkan makanan yang tidak bisa diabsorbsi seperti

karbohidrat, sorbitol, manitol, laktulosa atau ion divalen seperti magnesium, sulfat

/ pospat. Osmolalitas bahan tersebut tinggi sehingga menarik air dan Na dari

plasma agar terjadi isotonik, sedangkan epitel ileum dan colon tidak mampu

mengabsorbsi kembali sehingga terjadi diare osmotik. Diare jenis ini akan

berhenti jika penderita puasa.

Diare sekretorik ditandai dengan diare > 1L/hari, disebabkan sekresi

ileum dan hambatan absorbsi, diare jenis ini akan berlanjut walaupun puasa 24-

48 jam. Penyebab diare sekretorik antara lain infeksi (vibrio cholera, E colli,

staphylococus aureus), sekresi hormon oleh tumor (VIPoma), hipersekresi gaster

4
(Ellison Zollinger Syndrom), Laxan, malabsorbsi bile acid, dan malabsorbsi

lemak (kelainan pankreas / mukosa ileum).1,3,5

Diare exudatif terjadi karena mukosa usus mengalami infeksi / inflamasi /

ulserasi, yang ditandai dengan diare bercampur mukosa, darah dan pus. Penyebab

diare jenis ini antara lain infeksi (shigela, salmonela, campylobacter, yersinia,

tuberkolosis, amuba, klostridium difficile), inflamasi (kolitis ulseratif, chron),

abses (divertikulosis, ca), radiasi, iskemia, dan vaskulitis. 1,3,5

Diare akibat gangguan motilitas usus, dapat terjadi karena peningkatan

motilitas ileum (hipertiroid, post gastrectomy dumping syndrom), penurunan

motilitas ileum (DM, hiperthyroid, skleroderma, amiloidosis, post vagotomi),

peningkatan motilitas kolon pada IBS, dan disfungsi sphinter anal. 1,3,5

D. LANGKAH-LANGKAH PENDEKATAN DIAGNOSIS DIARE KRONIS

Mengingat etiologi yang begitu beragam dan banyak, pemeriksaan harus

mempertimbangkan cost effective dalam membantu menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan dapat dibagi menjadi pemeriksaan tahap awal dan lanjutan.

Pemeriksaan awal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

laboratorium sederhana. Tujuan pemeriksaan awal yaitu membedakan pasien

menjadi diare organik atau fungsional. Jika pemeriksaan awal belum dapat

menegakkan dignosis, perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan.1,3

1. ANAMNESIS

Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis etiologi. Dalam

melakukan anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut:1,2,5,6

a) Waktu dan frekuensi diare, misalnya lama diare kurang dari 3 bulan,

sepanjang hari / mendadak mengarah ke penyakit organik; diare yang tidak

bisa ditahan mengarah ke penyakit inflamatorik; sedangkan diare pagi hari

5
mengarah ke penyakit IBS; dan diare dengan riwayat bepergian pada turis

mengingatkan pada travellers diarrhea atau tropical spru.

b) Bentuk tinja, misalnya steatorea menunjukkan kelainan pankreas /

ileosekal; diare seperi air kemungkinan kelainan dari usus halus; diare

bercampur makanan menunjukkan waktu transit usus yang cepat; tinja

berbau asam menunjukkan gangguan penyerapan karbohidrat; pada

perdarahan yang disertai diare menunjukkan kolitis infektif / kolitis

ulserosa; sedangkan diare yang diikuti darah yang menetes menunjukkan

hemoroid; dan perdarahan yang menyertai tinja normal menunjukkan

hemoroid / fisura ani, polip, keganasan.


c) Nyeri abdomen, misalnya nyeri dengan lokasi menetap menunjukkan

kelainan organik; sedangkan nyari abdomen dengan lokasi yang berubah-

ubah menunjukkan diare fungsional (psikogenik); nyeri di sekitar pusat

menunjukkan kelainan usus halus; sedangkan nyeri di suprapubik, kanan

atau kiri bawah menunjukkan kelainan usus besar; nyeri yang terus

menerus menunjukkan ulserasi berat / abses / keganasan yang

menginfiltrasi saraf; sedangkan kram dengan tinja kemerahan sering pada

giardiasis.
d) Demam, sering menyertai infeksi atau keganasan.
e) Mual muntah, sering pada infeksi.
f) Penurunan berat badan dengan riwayat dehirasi / hipokalemia

menunjukkan penyakit organik.


g) Penggunaan obat, seperti laksans, antibiotika (neomisisn), antikanker,

antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi, penurun kolesterol, antasida,

kolkisin, diuretika, teofilin, dan prostigmin dapat menimbulkan diare.


h) Makanan / minuman, misalnya makanan dengan osmotik berlebihan,

pemanis dari sorbitol / sirup jagung yang mengandung fruktosa terlebih

6
yang disertai kembung, flatus, kram menunjukkan gangguan absorbsi

karbohidrat; diare setelah minum susu menunjukkan intolerasi laktose atau

sindroma usus iritatif; selain itu alkohol juga merupakan penyebab diare;

perlu juga dipikirkan adanya alergi makanan pada penderita dengan

riwayat atopi.
i) Lain-lain, diare terutama pagi hari disertai keluhan nyeri perut, nyeri di

daerah anus setelah defikasi, mual, sendawa menunjukkan IBS; diare post

reseksi ileum terminal / kolon kanan yang panjang dapat menimbulkan

penurunan waktu transit, malabsorbsi lemak dan karbohidrat, gangguan

absorbsi bile acid / berkurangnya pool bile acid, atau bakteri overgrowth;

diare post reseksi yang lebih pendek pada ileum terminal menunjukkan

gangguan absorbsi bile acid yang sering terjadi setelah makan dan

membaik setelah puasa / terapi cholestyramin; diare setelah

cholesistektomi menunjukkan peningkatan waktu transit, peningkatan

siklus bile acid enterohepatik, dan malabsorbsi bile acid; diare setelah

radioterapi menunjukkan kolitis radiasi atau malabsorbsi, anemia kronik

yang menyertai diare kronis menunjukkan penyakit seliak / penyakit

inflamasi usus nonspesifik, diare berupa cair yang sangat hebat tanpa

infeksi dapat menunjukkan tumor endokrin; selain itu perlu dipikirkan

adanya penyakit sistemik seperti hipertiroid dan diabetes melitus.

2. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik / manifestasi klinis kebanyakan tidak spesifik dan

sering menunjukkan adanya malabsorbsi nutrisi dan defisiensi vitamin /

elekrtolit. Gejala klinis biasanya mengikuti malabsorbsi karbohidrat dan lemak.

Malabsorbsi protein dapat tidak terlihat secara klinis kecuali jika berat sekali.

7
Pada IBS keluhan tidak sesuai dengan keadaan umum yang biasanya baik.

Diare juga dapat merupakan gejala utama tirotoksikosis.1,6,

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Secara ringkas Donowitz memberikan langkah-langkah praktis menjadi

2 bagian yaitu evaluasi rawat jalan dan evaluasi rawat inap. Evaluasi rawat

inap diperlukan karena banyak kasus yang tidak dapat terdiagnosis dengan

evaluasi rawat jalan seperti pengumpulan tinja yang tidak adekuat.1,2,7

a. Pemeriksaan Rawat Jalan


1) Pemeriksaan feses:

Pemeriksaan awal, harus diperhatikan benar apakah tinja berbentuk cair,

lembek, berlemak / bercampur darah. Diare dengan volume banyak dan

berbau busuk menunjukkan infeksi dan perlu dilanjutkan dengan

pewarnaan gram dan kultur tinja. Diare cair/air atau berdarah disertai

adanya lekosit dapat disebabkan amuba. Selanjutnya dievaluasi adanya

telur cacing/cacing. Perlu juga dipikirkan adanya infeksi HIV karena

infeksi jarang menyerang pada imunokompeten, dan perlu diperiksa

organisme yang jarang seperti cryptosporidium. Adanya eritrosit dalam

tinja menunjukkan adanya luka, kolitis ulserosa, polip atau keganasan /

infeksi. Pemeriksaan darah tersamar, dapat menunjukkan keganasan.

Adanya amilum yang banyak menunjukkan maldigesti karbohidrat, yang

perlu dilanjutkan pemeriksaan pH. Pada pH < 6 dengan reduksi (+)

menunjukkan intoleransi glukosa. Adanya gelembung lemak

menunjukkan malabsorbsi lemak, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan

tinja 72 jam dengan konsumsi 75-100 g lemak/24 jam. Kelainan lemak

dan test phenolftalein tinja yang positif selain malabsorbsi juga

8
menunjukkan IBD atau factitious. Tidak ada satu pun pemeriksaan yang

dapat mengidentifikasikasi kasus IBS, sehingga diagnosis IBS ditunjang

setelah hasil semua pemeriksaan negatif.1,2,6

Pemeriksaan tinja lanjutan meliputi pemeriksaan ELISA untuk antigen

giardia, assay alkalinisasi untuk phenolphthalein, pengukuran Na, K,

sulfat, pospat, dan pengukuran osmotic gap.2,4,6

2) Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, LED dillakukan untuk melihat

adanya inflamasi atau infeksi di usus. LED yang tinggi, kadar Hb dan

albumin yang rendah menunjukkan kelainan organik. Jika didapatkan

anemia, perlu dilanjutkkan pemeriksaan defisiensi Fe, asam folat dan

vitamin B12 karena gangguan absorbsi. Kadar asam folat yang rendah

menunjukkan penyakit seliak. Kadar B12 yang rendah menunjukkan

overgrowth bacteria dalam usus. Hipoalbuminemia menunjukkan tanda

kehilangan protein karena radang di jejunum, ileum, colon atau sindroma

malabsorbsi. Eosinofil meningkat didapatkan pada alergi makanan atau

parasit usus. Pemeriksaan serologi amuba atau IgG terhadap

campylobacter jejuni juga perlu dilakukan. Selanjutnya bila ada

kecurigaan, perlu dilakukan skrening infeksi HIV, fungsi tiroid, diabetes,

fungsi hati, fungsi ginjal dan pemeriksaan elektrolit.1,6,9

3) Pemeriksaan urine

Pemeriksaan thin-layer chromatography untuk pengguna laksan

4) Pemeriksaan Endoskopi

Pemeriksaan awal antara lain sigmoideskopi fleksibel dan biopsi

(sebelum barium dan tanpa persiapan) untuk menilai sigmoid dan kolon

9
desenden. Biopsi kolon distal dapat mendiagnosis colitis mikroskopis,

kolitis ulseratif, Crohn atau melanosis. Pemeriksaan lanjutan antara

lain.2,6

- Kolonoskopi dan ileoskopi, yang merupakan pemeriksaan gold

standard dalam menyingkirkan penyakit inflamasi seperti kolitis

mikroskopis collagenous dan crohns. Adanya darah dapat

menyingkirkan diare fungsional, selain itu dapat ditemukan pula

adanya mukus berlebihan dan spasme sigmoid pada IBS, dan mukosa

kolon kehitaman pada pemakai laksan. Dengan biopsi mukosa usus

dapat ditemukan adanya keganasan kolorektal atau hanya inflamasi,

keganasan pada kolitis yang lama.


- Endoskopi ( gastroduodeno-jejunoskopi ), dengan biopsi pada

mukosa lambung, duodenum, jejunum proksimal sering diindikasikan

pada steatorea dan biopsi jejunum penting untuk diagnosis giardia,

selanjutnya biopsi bagian usus yang lebih bawah dilakukan

laparotomi.
- Enteroskopi untuk menilai usus kecil setelah pemeriksaan barium

follow trough / enteroclysis nomal karena 31,5% dapat mendiagnosis

kasus malabsorbsi dan menyingkirkan penyakit inflamasi pada

penderita dengan barium follow trough / enteroclysis yang normal.

- Laparatomi, perlu dipertimbangkan jika masih ada kecurigaan

penyempitan atau massa dan dengan enteroklisis hasilnya normal.

5) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan radiologi awal meliputi: BNO untuk pemeriksaan kalsifikasi

pankreas dan dilatasi colon; colon in loop untuk melihat kelainan colon dan

10
ileum terminal tatapi pada polip kecil, keganasan dini dan kolitis tanpa

ulkus tidak dapat terdiagnosis; Barium Upper GI, juga dapat menilai usus

kecil; USG abdomen, untuk melihat kelainan pancreas, hati, limfoma

maligna dan TBC usus, keganasan colon yang besar. Bila dengan USG

belum dapat menyokong diagnosis atau kecurigaan massa abdomen yang

belum jelas asalnya dapat dilanjutkan dengan CT-Scan abdomen.1,6

Pemeriksaan radiologi lanjutan lain seperti Barium follow through dan atau

enteroclysis perlu dipertimbangkan pada kasus yang masih tidak dapat

mendeteksi kelainan dengan menggunakan kolonoskopi dan ileoskopi.

Dikerjakan bila ada kecurigaan kelainan ileum dan jejunum, seperti Chrohn

usus halus dini yang sering terdiagnosis dengan enteroclysis.6,9

6) Pemeriksaan Malabsorbsi

Pemeriksaan malabsorbsi karbohidrat dilakukan dengan menggunakan test

D-Xylose ,untuk menilai integritas dan fungsi absorbsi usus halus. D-xilose

merupakan pentosa yang diabsorpsi di dalam usus halus proksimal tanpa

dicernakan, masuk ke dalam hati kemudian dikeluarkan seluruhnya melalui

ginjal. Cara pemeriksaan test ini yaitu penderita menelan 25 gram D-xilosa,

kemudian diukur ekskresi dalam urine selama 5 jam. Normal didapatkan > 4

gram. Jika hasil uji abnormal mempunyai 2 kemungkinan yaitu gangguan

uptake mukosa atau pertumbuhan kuman yang selanjutnya perlu konfirmasi

dengan breath test. Hasil pemeriksaan tersebut perlu juga dikonfirmasi

dengan endoskopi dan biopsi usus untuk menyingkirkan celiak (sprue),

whipple. Cairan duodenum juga perlu diaspirasi untuk mencari parasit

giardia dan strongilides. Selanjutnya perlu juga dilakukan konfirmasi

dengan pemeriksaan barium usus kecil untuk melihat penebalan lipatan,

11
dilatasi, perubahan waktu transit. Juga dapat terlihat enteritis radiasi,

limfoma, sprue, crohn, reseksi usus dan divertikulosis usus kecil multipel.1,3

- Test nafas hidrogen, dengan meminum laktose 25-50 gram dalam 200-

500 cc air setelah puasa malam, kemudian diukur ekspirasi akhir nafas

dengan interval 15-30 menit selama 3 jam, hasil dikatakan positif bila

didapatkan peningkatan hidrogen nafas. Hasil negatip tidak

menyingkirkan diagnosis sehingga jika diagnosis masih diduga

diperlukan trial diet bebas laktose.

- Test toleransi laktose, dengan mengukur glukosa serum setelah beban

laktose oral,
- Pemeriksaan Fungsi Pankreas meliputi1,2
Test sekretin-kolesistokinin untuk menilai fungsi pankreas pada

steatorea, dengan cara memasukkan pipa oral kecil untuk

mengumpulkan ensim pankreas dan bikarbonat yang disekresi

pankreas dengan perangsangan sekretin/kolesistokinin (IV), atau

keduanya.
Test bentitomide / NBT-PABA (N-benzoyl-L-tyrozyl-p-aminobenzoid

acid) untuk menilai eksokrin pankreas. Bentiromide akan diurai oleh

ensim chymotripsin pankreas, diabsorbsi usus secara cepat,

dikonjugasi di hati dan diekskresikan melalui urine. Penderita

diberikan bentiromide 500 mg oral, kemudian dilakukan

penampungan urine selama 6 jam. Hasil dikatakan positip bila

konsenrasi bentiromine urine kurang dari 50%, dan jika nilainya

intermediate diperlukan konfirmasi test elastase feses.


Test elastase feses, untuk menilai fungsi eksokrin pankreas. Elastase

meupakan ensim spesifik pankreas yang tidak didegradasi selama

transport usus dan konsentrasi dalam tinja dapat mencapai 5-6 x

12
dibandingkan dalam juice duodenal, yang digunakan untuk

membedakan diare karena pankreas atau bukan.


Test schilling, untuk menentukan penyebab defisiensi vitamin B12

dengan menggunakan vitamin B12 berlabel secara oral. Dikatakan

malabsorbsi bila ekskresi dalam urine 24 jam < 8% dosis yang

dikonsumsi. Test diulang dengan menambah faktor intrinsik, jika

defisiensi faktor intrinsik akan terjadi perbaikan absorbsi. Beberapa

kasus membaik dengan penambahan ensim pankreas. Pada pasien

dengan bakteri overgrowth, absorbsi akan membaik setelah pemberian

antibiotika.
Pemeriksaan struktur Pankreas
a) ERCP, merupakan gold standard untuk mendiagnosis pankreatitis

kronis kecuali jika BOF sudah menunjukkan kalsifikasi maka ERCP

tidak diperlukan, selanjutnya biopsi papila vateri diperlukan jika

curiga keganasan.
b) MRCP, juga efektif untuk mendeteksi penyakit pankreatitis kronis

ataupun keganasan pankreas.


7) Pemeriksaan Lain, meliputi:1,2,6
- Arteriografi mesenterika superior dan inferior, untuk menentukan

sumbatan arteri mesenterika yang menimbulkan kolitis iskemia.


- Sidik Indium leukosit, mengevaluasi daerah inflamasi usus, yang akan

menerima iodium.
- Te HMPAO (Technetium Hexamethyl Propyleneamine Oxime),

merupakan imaging dengan tehnik labelling sederhana, yang mempunyai

keuntungan yaitu mengurangi batasan radiasi dibanding Indium. Tehnik ini

sering digunakan untuk mendiagnosis iritabel bowel disease pada anak

jika dengan pemeriksaan ileoskopi hasilnya normal.


- Scan 75Se HCAT (75Se Homotaurocholate), menilai integritas fungsi ileum

terminal. Untuk absorbsi asam lemak dan kolesterol oleh ileum terminal

secara aktif diperlukan bile acid. Penderita diperiksa dengan cara menelan

13
asam taurocholis (sintesis asam empedu terkonjugasi), kemudian setelah 7

hari diukur konsentrasi metabolisme asam empedu serum dengan


75
radiolabel Se Homotaurocholate. Dikatakan BAM (Bile acid

malabsorbsi) bila didapatkan konsentrasi < 15%. BAM sering terjadi pada

post reseksi ileum terminal, kolesistektomi, infeksi, inflamasi, IBS atau

idiopatik yang berespon terhadap chelating bile acid agent (trial

cholestyramin).
- Test OCTT (orocaecal transit time), dengan
Scintigraphy radionucleotida, menggunakan solid (telur / roti) /

111
cairan yang dilabel dengan technetium atau Indium diethylene

triamine pentacetic acid, kemudian dicatat waktu yang diperlukan

radioaktif untuk mencapai caecum.


Test nafas H2 laktose, test ini positif pada post operasi (vagotomi,

gastrektomi), kondisi endokrin (carsinoid, hipertiroid, DM) atau IBS.

- Petanda tumor (CEA dan CA 19-9), untuk keganasan pankreas dan kolon.
- Hormon Serum seperti gastrin dan VIP (vasoactive intestinal peptide).

Pemeriksaan gastrin dilakukan bila ditemukan ulcus duodenum disertai

diare, yang mengarah pada gastrinoma (Zollinger Ellison). Nilai normal

gastrin serum adalah 150 pg/ml, sedangkan pada gastrinoma dapat

mencapai 1000 pg/ml; Jika diare > 1L/hari terutama jika hipokalemia,

dilanjutkan dengan pengukuran VIP, substansi P, calsitonin, dan histamin.

Hormon VIP (vasoactive intestinal peptide) dihasilkan oleh tumor

pankreas seperti (VIP)omas, glukagonomas. Harga normal VIP serum

adalah < 50 pg/ml, pada tumor dapat mencapai 675-965 pg/ml.

b. Evaluasi Rawat Inap

Prosedur tambahan evaluasi pasien rawat inap menurut Donowith antara

lain, pasien diberikan diet seperti biasa, lalu diukur berat tinja 24 jam (jika >

14
0,5 kg mengarah ke kelainan organik, jika < 0,2 kg berarti tidak diare / IBS /

penyakit rektum). Evaluasi selanjutnya puasa 72 jam, lalu dihitung berat tinja

24 jam untuk membedakan sekretorik atau osmotik. Pada diare osmotik, diare

akan berhenti, yang menunjukkan penyebab diare adalah makanan yang

dimakan / laksan / karbohidrat yang tidak dapat diabsorbsi, asam empedu atau

asam lemak. Penyakit diare sekretorik ditunjukkan diare yang tetap

berlangsung / berhenti parsial setelah puasa 48 jam. Selain itu untuk

membedakan diare osmotik atau sekretorik dapat dilakukan pengukuran stool

osmotic gap .1,2,3

- Hari pertama, memastikan dan mempelajari ulang hasil-hasil evaluasi

dignostik selama rawat jalan, pengukuran berat dan volume tinja pada diet

normal, skrening laksan urine dengan thin-layer chromatography,

pemeriksaan alkalinisasi tinja, pengukuran Na, K, sulfat, pospat, dan stool

osmotic gap
- Hari kedua -keempat, puasa 72 jam dengan hidrasi intravena, berat tinja

dipantau 24 jam tiap hari, jika diare berhenti total dalam 24 jam, puasa

dihentikan, jika diare berkurang tapi berlangsung terus dengan tinja > 200

gram per 24 jam sering pada diare sekretori.


- Hari kelima-kedelapan, penderita diberikan diet berlemak 75-100 gram

dalam 24 jam, dilakukan monitor rerata berat tinja dan kadar lemak tinja

dalam 24 jam pada hari ke-6, ke-7, dan ke-8.

E. PENGOBATAN

Pengobatan untuk diare kronis tergantung etiologi spesifik, mungkin bersifat

kuratif, supressif, atau empiris. Jika penyebabnya dapat ditentukan dapat

dilakukan terapi kuratif, seperti reseksi pada karsinoma kolorektal. Pada penyakit

whipple, pengobatan berupa antibiotik, terutama tetasiklin, trimetoprim

15
sulfamethoxazole dan ampisilin juga berhasil memberikan perbaikan. Pada diare

kerena pertumbuhan bakteri berlebih diusus halus, diterapi dengan antibiotika.

Pilihan adalah tetrasiklin. dapat pula diberikan metronidazole, ciprofloxacin,

neomycin, doxysiklin, atau amoksisilin.3,21,22 Untuk berbagai kondisi klinis,

diare dapat dikontrol dengan supressi terhadap mekanisme yang mendasari.

meliputi eleminasi laktose dari diet pada diare karena defisiensi laktase,

eliminasi gluten pada celiac sprue, adsorvent agent seperti cholestiramin pada

malabsorpsi garam empedu, penghambat pompa proton seperti omeprasole pada

hipersekresi lambung pada kasus gastrinoma, dan substitusi enzim pankreas pada

kasus dengan insufisiensi pankreas.1,4,5,7

Pengobatan penderita IBD pada prinsipnya bertujuan untuk menurunkan

atau menghilangkan gejala, untuk memperbaiki kualitashidup penderita.

Pemilihan obat berdasarkan beratnya gejala dan efek samping obat. Terapi berupa

5 ASA dan kortikosteroid. Khusus pada penyakit Chrons, diberikan antibiotika

berupa metronidazole, ciprofloksasin atau kombinasi keduanya. Pada IBD yang

intractable, pilihan terapi dengan agen immunosupresan berupa azathioprin,

methotrexate, mercaptopurine atau cyclosporin. Terapi yang sedang dicobakan

adalah penghambat sintesis leukotrien, misalnya zileuton terbukti efektif untuk

IBD. Demikian pula antibodi monoklonal terhadap TNF (tumor necrosis factor)

dan beberapa sitokin imflamasi. Pada beberapa studi, tacrolimus juga bermanfaat

dalam pengobatan IBD. Tropical sprue, yang ditandai gejala malabsorpsi pada

penduduk daerah tropis atau pengunjung daerah tropis, dengan dugaan penyebab

defisiensi nutrisi dan penyebaran agen infeksius memberikan respon terhadap

asam folat dan tetrasiklin.1,4.7

Kolitis mikroskopis dan collagenous colitis yang ditandai penebalan

lapisan subepitel kolon, pemberian sulfazalazin atau kortikosteroid dapat

16
memberikan perbaikan gejala, walaupun kadang-kadang masih membutuhkan

terapi simptomatis seperti

loperamide. Jika penyebab spesifik maupun mekanisme yang mendasari tidak

dapat diketahui, terapi dilakukan secara empiris. Pada diare cair yang ringan-

sedang dapat

diberikan golongan opiat ringan seperti diphenoksilat atau loperamide. Agen anti

motilitas dihindarkan pada IBD untuk mencegah terjadinya megakolon toksik.

Golongan @2adrenergik agonis seperti klonidin dapat diberikan untuk

mengontrol diabetik diare1. Untuk semua penderita diare kronis, penggantian

cairan dan elektrolit merupakan komponen penting dalam mangemen. Untuk

kasus dengan steatore kronis diperlukan replacement vitamin larut dalam

lemak.1,4,7

17
BAB III

KESIMPULAN

Diare merupakan kondisi patologis yang dapat berwujud dengan gejala

yang ringan, namun dapat pula berkembang menjadi situasi yang mengancam

nyawa. Diare kronis dikatakan apabila durasi diare lebih dari 4 minggu. Diare

kronis sangat berbeda dengan diare akut, dalam hal etiologi, patofisiologi dan

pendekatan terapi, dan hal ini sering merupakan masalah dalam penanganannya.

Diare kronis dapat terjadi pada berbagai kondisi dasar, tidak hanya merupakan

manifestasi kelainan usus (saluran cerna). Dalam upaya diagnostik, mengingat

penyebab yang sangat beragam, seorang klinisi hendaknya sangat berhati-hati

memilih macam pemeriksaan. Pendekatan pengobatan diare kronis

mungkin bersifat kuratif, supresif atau hanya terapi empiris, tergantung etiologi

spesifik. Penggantian cairan dan elektrolit merupakan komponen penting dalam

penanganan, dan untuk kondisi spesifik dibutuhkan suplementasi spesifik seperti

vitamin.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Kolopaking MS (2003). Pendekatan Diagnosis Diare Kronik. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.Ed:Suyono S.2nd.Balai Penerbit

FKUI,Jakarta.PP.179-191.
2. Donowitz M (1995). Evaluation of Patients with Chronic Diarrhea.N Engl

J Med.332(11),7.
3. G.C. Cook. (2003) Problem Gastroenterologi Daerah Tropis. Editor: Ivo

Novita Salim. Jakarta: EGC


4. Cilik W, I Dewa NW. (2007). Pendekatan Diagnostik dan Terapi Diare

Kronis. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RS Sanglah,

Denpasar
5. Avunduk C (2002). Diarrhea. In:Manual of

Gastroenterology.3thEd.Lippincott Williams and Wilkins,Boston,pp.181-

193.
6. Thomas PD(2003).Guideline for the investigation of chronic

diarrhoea.Gut.52(5),1.
7. Davey, Patrick. At a Glance Medicine. Erlangga Medical Series
8. Stein JH (2001). Penyakit Gastrointestinsl, Hati, dan Pankreas.Panduan

Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Ed:Komala S.1st.Penerbit Buku Kedikteran

EGC, Jakarta.PP.257-265.
9. Jones AC (2004).Management of infectious Diarrhea. Gut.53(1).296.

19

Anda mungkin juga menyukai