Anda di halaman 1dari 14

I.

PENDAHULUAN

Diare yaitu buang air besar dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair, kandungan
air tinja lebih banyak dari biasanya yaitu lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam.
Definisi lain memakai kriteria frekuensi yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali
per hari. Buang air besar encer atau air ini dapat atau tanpa disertai lendir dan darah
(Donowitz, 1995).

Diare kronik yaitu diare lebih dari 4 minggu. Batasan waktu ini penting untuk
mempercepat pemastian diagnosis dan pengobatan. Dibanding dengan diare akut yang
sudah jelas permasalahannya, diare kronik lebih rumit dalam menegakkan diagnosis
dan penobatannya (Thomas, 2003).

Prevalensi diare kronik di negara barat 7-14% pada populasi tua (Thomas, 2003), di
subbagian Gastroenterologi FKUI/RSUPNCM Jakarta sebesar 15% selama 2 tahun
(1995-1996), sedangkan angka morbiditas diare kronik di antara semua pasien diare
yang dirawat di RSCM sekitar 1% (Kolopaking, 2003).

Diare kronik merupakan suatu sindrom yang penyebab dan patogenesisnya sangat
multikompleks. Mengingat banyaknya penyakit yang dapat menyebabkan diare
kronik dan banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan, sangat penting bagi dokter
untuk memilih yang benar-benar cost effective (Kolopaking, 2003).

II. ETIOLOGI
Etiologi diare kronik sangat beragam dan tidak selalu hanya disebabkan kelainan pada
usus. Kelainan yang dapat menimbulkan diare kronis antara lain kelainan usus,
kelainan hati, kelainan pancreas, endokrin, dan lain-lain. Walaupun telah diusahakan
secara maksimal, diperkirakan sekitar 10-15% pasien diare kronik tidak diketahui
etiologinya. Donowitz membagi etiologi diare berdasarkan penyebab tersering dan
penyebab yang jarang seperti pada lampiran I (Donowitz, 1995; Kolopaking, 2003).
III. KLASIFIKASI
Klasifikasi diare kronis berdasarkan patofisiologi dibagi menjadi 4 macam yaitu (1)
diare osmotik, (2) diare sekretorik, (3) eksudasi, (7) gangguan motilitas. Pembagian
diare kronis berdasarkan etiologi infeksi atau tidak, diare kronik dapat dibagi atas
infektif dan non-infektif. Berdasarkan ada tidaknya kelainan organik, diare kronik
dapat dibagi atas organik dan fungsional. Pembagian lain diare kronik dapat dilihat
pada lampiran III (Avunduk, 2002; Kolopaking, 2003).
Diare osmotik disebabkan makanan yang tidak bisa diabsorbsi seperti karbohidrat,
sorbitol, manitol, laktulosa atau ion divalen seperti magnesium, sulfat / pospat.
Osmolalitas bahan tersebut tinggi sehingga menarik air dan Na dari plasma agar
terjadi isotonik, sedangkan epitel ileum dan colon tidak mampu mengabsorbsi
kembali sehingga terjadi diare osmotik. Diare jenis ini akan berhenti jika penderita
puasa. Diare sekretorik ditandai dengan diare > 1L/hari, disebabkan sekresi ileum dan
hambatan absorbsi, diare jenis ini akan berlanjut walaupun puasa 24-48 jam.
Penyebab diare sekretorik antara lain infeksi (vibrio cholera, E colli, staphylococus
aureus), sekresi hormon oleh tumor (VIPoma), hipersekresi gaster (Ellison Zollinger
Syndrom), Laxan, malabsorbsi bile acid, dan malabsorbsi lemak (kelainan pankreas /
mukosa ileum). Diare exudatif terjadi karena mukosa usus mengalami infeksi /
inflamasi / ulserasi, yang ditandai dengan diare bercampur mukosa, darah dan pus.
Penyebab diare jenis ini antara lain infeksi (shigela, salmonela, campylobacter,
yersinia, tuberkolosis, amuba, klostridium difficile), inflamasi (kolitis ulseratif,
chron), abses (divertikulosis, ca), radiasi, iskemia, dan vaskulitis. Diare akibat
gangguan motilitas usus, dapat terjadi karena peningkatan motilitas ileum (hipertiroid,
post gastrectomy dumping syndrom), penurunan motilitas ileum (DM, hiperthyroid,
skleroderma, amiloidosis, post vagotomi), peningkatan motilitas kolon pada IBS, dan
disfungsi sphinter anal (Avunduk, 2002).

Back To
Top

IV. LANGKAH-LANGKAH PENDEKATAN DIAGNOSIS

Mengingat etiologi yang begitu beragam dan banyak, pemeriksaan harus


mempertimbangkan cost effective dalam membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan dapat dibagi menjadi pemeriksaan tahap awal dan lanjutan. Pemeriksaan
awal meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana.
Tujuan pemeriksaan awal yaitu membedakan pasien menjadi diare organik atau
fungsional. Jika pemeriksaan awal belum dapat menegakkan dignosis, perlu dilakukan
pemeriksaan lanjutan seperti bagan pada lampiran (Kolopaking, 2003; Thomas,
2003).

IV.A. ANAMNESIS
Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis etiologi. Dalam
melakukan anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sbb (Dupont, 1993; Jones, 2000;
Wistrom, 2001; Kolopaking, 2003; Mertz, 2003; Thomas, 2003; Keating, 2005):

Waktu dan frekuensi diare, misalnya lama diare kurang dari 3 bulan,
sepanjang hari / mendadak mengarah ke penyakit organik; diare yang tidak
bisa ditahan mengarah ke penyakit inflamatorik; sedangkan diare pagi hari
mengarah ke penyakit IBS; dan diare dengan riwayat bepergian pada turis
mengingatkan pada travellers diarrhea atau tropical spru.

Bentuk tinja, misalnya steatorea menunjukkan kelainan pankreas /


ileosekal; diare seperi air kemungkinan kelainan dari usus halus; diare
bercampur makanan menunjukkan waktu transit usus yang cepat; tinja berbau
asam menunjukkan gangguan penyerapan karbohidrat; pada perdarahan yang
disertai diare menunjukkan kolitis infektif / kolitis ulserosa; sedangkan diare
yang diikuti darah yang menetes menunjukkan hemoroid; dan perdarahan
yang menyertai tinja normal menunjukkan hemoroid / fisura ani, polip,
keganasan.

Nyeri abdomen, misalnya nyeri dengan lokasi menetap menunjukkan


kelainan organik; sedangkan nyari abdomen dengan lokasi yang berubah-ubah
menunjukkan diare fungsional (psikogenik); nyeri di sekitar pusat
menunjukkan kelainan usus halus; sedangkan nyeri di suprapubik, kanan atau
kiri bawah menunjukkan kelainan usus besar; nyeri yang terus menerus
menunjukkan ulserasi berat / abses / keganasan yang menginfiltrasi saraf;
sedangkan kram dengan tinja kemerahan sering pada giardiasis.

Demam, sering menyertai infeksi atau keganasan.

Mual muntah, sering pada infeksi.

Penurunan berat badan dengan riwayat dehirasi / hipokalemia


menunjukkan penyakit organik.

Penggunaan obat, seperti laksans, antibiotika (neomisisn), antikanker,


antidepresan, antikonvulsan, antihipertensi, penurun kolesterol, antasida,
kolkisin, diuretika, teofilin, dan prostigmin dapat menimbulkan diare.

Makanan / minuman, misalnya makanan dengan osmotik berlebihan,


pemanis dari sorbitol / sirup jagung yang mengandung fruktosa terlebih yang
disertai kembung, flatus, kram menunjukkan gangguan absorbsi karbohidrat;
diare setelah minum susu menunjukkan intolerasi laktose atau sindroma usus
iritatif; selain itu alkohol juga merupakan penyebab diare; perlu juga
dipikirkan adanya alergi makanan pada penderita dengan riwayat atopi.

Lain-lain, diare terutama pagi hari disertai keluhan nyeri perut, nyeri di
daerah anus setelah defikasi, mual, sendawa menunjukkan IBS; diare post
reseksi ileum terminal / kolon kanan yang panjang dapat menimbulkan
penurunan waktu transit, malabsorbsi lemak dan karbohidrat, gangguan
absorbsi bile acid / berkurangnya pool bile acid, atau bakteri overgrowth; diare
post reseksi yang lebih pendek pada ileum terminal menunjukkan gangguan
absorbsi bile acid yang sering terjadi setelah makan dan membaik setelah
puasa / terapi cholestyramin; diare setelah cholesistektomi menunjukkan
peningkatan waktu transit, peningkatan siklus bile acid enterohepatik, dan
malabsorbsi bile acid; diare setelah radioterapi menunjukkan kolitis radiasi
atau malabsorbsi, anemia kronik yang menyertai diare kronis menunjukkan
penyakit seliak / penyakit inflamasi usus nonspesifik, diare berupa cair yang
sangat hebat tanpa infeksi dapat menunjukkan tumor endokrin; selain itu
perlu dipikirkan adanya penyakit sistemik seperti hipertiroid dan diabetes
melitus.

IV.B. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik / manifestasi klinis kebanyakan tidak spesifik dan sering


menunjukkan adanya malabsorbsi nutrisi dan defisiensi vitamin / elekrtolit. Gejala
klinis biasanya mengikuti malabsorbsi karbohidrat dan lemak. Malabsorbsi protein
dapat tidak terlihat secara klinis kecuali jika berat sekali. Pada IBS keluhan tidak
sesuai dengan keadaan umum yang biasanya baik. Diare juga dapat merupakan gejala
utama tirotoksikosis (Kolopaking, 2003).

Back To
Top

IV.C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Secara ringkas Donowitz memberikan langkah-langkah praktis menjadi 2 bagian yaitu


evaluasi rawat jalan dan evaluasi rawat inap. Evaluasi rawat inap diperlukan karena
banyak kasus yang tidak dapat terdiagnosis dengan evaluasi rawat jalan seperti
pengumpulan tinja yang tidak adekuat (Donowitz, 1995; Kolopaking, 2003).

IV.C.1. PEMERIKSAAN RAWAT JALAN

(a) Pemeriksaan tinja:


Pemeriksaan awal, harus diperhatikan benar apakah tinja berbentuk cair, lembek,
berlemak / bercampur darah. Diare dengan volume banyak dan berbau busuk
menunjukkan infeksi dan perlu dilanjutkan dengan pewarnaan gram dan kultur tinja.
Diare cair / air atau berdarah disertai adanya lekosit dapat disebabkan amuba.
Selanjutnya dievaluasi adanya telur cacing/cacing. Perlu juga dipikirkan adanya
infeksi HIV karena infeksi jarang menyerang pada imunokompeten, dan perlu
diperiksa organisme yang jarang seperti cryptosporidium. Adanya eritrosit dalam
tinja menunjukkan adanya luka, kolitis ulserosa, polip atau keganasan / infeksi.
Pemeriksaan darah tersamar, dapat menunjukkan keganasan. Adanya amilum yang
banyak menunjukkan maldigesti karbohidrat, yang perlu dilanjutkan pemeriksaan pH.
Pada pH < 6 dengan reduksi (+) menunjukkan intoleransi glukosa. Adanya
gelembung lemak menunjukkan malabsorbsi lemak, perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan tinja 72 jam dengan konsumsi 75-100 g lemak/24 jam. Kelainan lemak
dan test phenolftalein tinja yang positif selain malabsorbsi juga menunjukkan IBD
atau factitious. Tidak ada satu pun pemeriksaan yang dapat mengidentifikasikasi
kasus IBS, sehingga diagnosis IBS ditunjang setelah hasil semua pemeriksaan negatif
(Grohmann, 1993; Donowitz, 1995; Scully, 2001; Chen, 2002; Kolopaking, 2003;
Pietzak, 2003; Thomas, 2003; Jones, 2003; Keating, 2005).
Pemeriksaan tinja lanjutan meliputi pemeriksaan ELISA untuk antigen
giardia, assay alkalinisasi untuk phenolphthalein, pengukuran Na, K, sulfat, pospat,
dan pengukuran osmotic gap (Donowitz, 1995; Scully, 2001; Pietzak, 2003; Jones,
2004).

(b) Pemeriksaan darah


Pemeriksaan darah dilakukan setelah pemeriksaan tinja saja belum mengarah
pada diagnosis. Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis, LED dillakukan untuk
melihat adanya inflamasi atau infeksi di usus. LED yang tinggi, kadar Hb dan
albumin yang rendah menunjukkan kelainan organik. Jika didapatkan anemia, perlu
dilanjutkkan pemeriksaan defisiensi Fe, asam folat dan vitamin B12 karena
gangguan absorbsi. Kadar asam folat yang rendah menunjukkan penyakit seliak.
Kadar B12 yang rendah menunjukkan overgrowth bacteria dalam usus.
Hipoalbuminemia menunjukkan tanda kehilangan protein karena radang di jejunum,
ileum, colon atau sindroma malabsorbsi. Eosinofil meningkat didapatkan pada alergi
makanan atau parasit usus. Pemeriksaan serologi amuba atau IgG terhadap
campylobacter jejuni juga perlu dilakukan. Selanjutnya bila ada kecurigaan, perlu
dilakukan skrening infeksi HIV, fungsi tiroid, diabetes, fungsi hati, fungsi ginjal dan
pemeriksaan elektrolit (Pietzak, 2003; Thomas, 2003; Jones, 2004; Keating, 2005).

(c) Pemeriksaan urine


Pemeriksaan thin-layer chromatography untuk pengguna laksan (Thomas, 2003).

(d) Pemeriksaan Endoskopi


Pemeriksaan awal antara lain sigmoideskopi fleksibel dan biopsi (sebelum
barium dan tanpa persiapan) untuk menilai sigmoid dan kolon desenden. Biopsi kolon
distal dapat mendiagnosis colitis mikroskopis, kolitis ulseratif, Crohn atau melanosis
(Thomas, 2003).

Pemeriksaan lanjutan antara lain (Stein, 2001; Pietzak, 2003; Thomas, 2003; Jones,
2004; Keating, 2005):

Kolonoskopi dan ileoskopi, yang merupakan pemeriksaan gold standard


dalam menyingkirkan penyakit inflamasi seperti kolitis mikroskopis
collagenous dan crohns. Adanya darah dapat menyingkirkan diare
fungsional, selain itu dapat ditemukan pula adanya mukus berlebihan dan
spasme sigmoid pada IBS, dan mukosa kolon kehitaman pada pemakai laksan.
Dengan biopsi mukosa usus dapat ditemukan adanya keganasan kolorektal
atau hanya inflamasi, keganasan pada kolitis yang lama.
Endoskopi ( gastroduodeno-jejunoskopi ), dengan biopsi pada mukosa
lambung, duodenum, jejunum proksimal sering diindikasikan pada steatorea
dan biopsi jejunum penting untuk diagnosis giardia, selanjutnya biopsi bagian
usus yang lebih bawah dilakukan laparotomi.

Enteroskopi untuk menilai usus kecil setelah pemeriksaan barium follow


trough / enteroclysis nomal karena 31,5% dapat mendiagnosis kasus
malabsorbsi dan menyingkirkan penyakit inflamasi pada penderita dengan
barium follow trough / enteroclysis yang normal.

Laparatomi, perlu dipertimbangkan jika masih ada kecurigaan


penyempitan atau massa dan dengan enteroklisis hasilnya normal.

(e) Pemeriksaan Radiologi


Pemeriksaan radiologi awal meliputi: BOF untuk pemeriksaan kalsifikasi
pankreas dan dilatasi colon; colon in loop untuk melihat kelainan colon dan ileum
terminal tatapi pada polip kecil, keganasan dini dan kolitis tanpa ulkus tidak dapat
terdiagnosis; Barium Upper GI, juga dapat menilai usus kecil; USG abdomen, untuk
melihat kelainan pancreas, hati, limfoma maligna dan TBC usus, keganasan colon
yang besar. Bila dengan USG belum dapat menyokong diagnosis atau kecurigaan
massa abdomen yang belum jelas asalnya dapat dilanjutkan dengan CT-Scan
abdomen (kolopaking, 2003).
Pemeriksaan radiologi lanjutan lain seperti Barium follow through dan atau
enteroclysis perlu dipertimbangkan pada kasus yang masih tidak dapat mendeteksi
kelainan dengan menggunakan kolonoskopi dan ileoskopi. Dikerjakan bila ada
kecurigaan kelainan ileum dan jejunum, seperti Chrohn usus halus dini yang sering
terdiagnosis dengan enteroclysis. (Pietzak, 2003; Thomas PD, 2003).

(f) Pemeriksaan Malabsorbsi


Pemeriksaan malabsorbsi karbohidrat dilakukan dengan menggunakan test
D-Xylose ,untuk menilai integritas dan fungsi absorbsi usus halus. D-xilose
merupakan pentosa yang diabsorpsi di dalam usus halus proksimal tanpa dicernakan,
masuk ke dalam hati kemudian dikeluarkan seluruhnya melalui ginjal. Cara
pemeriksaan test ini yaitu penderita menelan 25 gram D-xilosa, kemudian diukur
ekskresi dalam urine selama 5 jam. Normal didapatkan > 4 gram. Jika hasil uji
abnormal mempunyai 2 kemungkinan yaitu gangguan uptake mukosa atau
pertumbuhan kuman yang selanjutnya perlu konfirmasi dengan breath test. Hasil
pemeriksaan tersebut perlu juga dikonfirmasi dengan endoskopi dan biopsi usus
untuk menyingkirkan celiak (sprue), whipple. Cairan duodenum juga perlu diaspirasi
untuk mencari parasit giardia dan strongilides. Selanjutnya perlu juga dilakukan
konfirmasi dengan pemeriksaan barium usus kecil untuk melihat penebalan lipatan,
dilatasi, perubahan waktu transit. Juga dapat terlihat enteritis radiasi, limfoma, sprue,
crohn, reseksi usus dan divertikulosis usus kecil multipel (Scully, 2001; Stein, 2001).

Back To
Top

Test nafas hidrogen, dengan meminum laktose 25-50 gram dalam 200-500 cc
air setelah puasa malam, kemudian diukur ekspirasi akhir nafas dengan interval
15-30 menit selama 3 jam, hasil dikatakan positif bila didapatkan peningkatan
hidrogen nafas. Hasil negatip tidak menyingkirkan diagnosis sehingga jika
diagnosis masih diduga diperlukan trial diet bebas laktose.

Test toleransi laktose, dengan mengukur glukosa serum setelah beban laktose
oral,

Pemeriksaan Fungsi Pankreas meliputi (Donowitz M, 1995;Stein,


2001; Kolopaking, 2003; Pietzak, 2003):

Test sekretin-kolesistokinin untuk menilai fungsi pankreas pada steatorea,


dengan cara memasukkan pipa oral kecil untuk mengumpulkan ensim pankreas
dan bikarbonat yang disekresi pankreas dengan perangsangan
sekretin/kolesistokinin (IV), atau keduanya.

Test bentitomide / NBT-PABA (N-benzoyl-L-tyrozyl-p-aminobenzoid acid)


untuk menilai eksokrin pankreas. Bentiromide akan diurai oleh ensim
chymotripsin pankreas, diabsorbsi usus secara cepat, dikonjugasi di hati dan
diekskresikan melalui urine. Penderita diberikan bentiromide 500 mg oral,
kemudian dilakukan penampungan urine selama 6 jam. Hasil dikatakan positip
bila konsenrasi bentiromine urine kurang dari 50%, dan jika nilainya intermediate
diperlukan konfirmasi test elastase feses.

Test elastase feses, untuk menilai fungsi eksokrin pankreas. Elastase meupakan
ensim spesifik pankreas yang tidak didegradasi selama transport usus dan
konsentrasi dalam tinja dapat mencapai 5-6 x dibandingkan dalam juice duodenal,
yang digunakan untuk membedakan diare karena pankreas atau bukan.

Test schilling, untuk menentukan penyebab defisiensi vitamin B12 dengan


menggunakan vitamin B12 berlabel secara oral. Dikatakan malabsorbsi bila
ekskresi dalam urine 24 jam < 8% dosis yang dikonsumsi. Test diulang dengan
menambah faktor intrinsik, jika defisiensi faktor intrinsik akan terjadi perbaikan
absorbsi. Beberapa kasus membaik dengan penambahan ensim pankreas. Pada
pasien dengan bakteri overgrowth, absorbsi akan membaik setelah pemberian
antibiotika.

Pemeriksaan struktur Pankreas

ERCP, merupakan gold standard untuk mendiagnosis pankreatitis kronis


kecuali jika BOF sudah menunjukkan kalsifikasi maka ERCP tidak diperlukan,
selanjutnya biopsi papila vateri diperlukan jika curiga keganasan.

MRCP, juga efektif untuk mendeteksi penyakit pankreatitis kronis ataupun


keganasan pankreas.

(f) Pemeriksaan Penyakit Khusus lain,

Penyakit Celiak (sprue nontropikal, enteropati gluten), malabsorbsi semua zat


makanan karena kerusakan mukosa usus difus yang disebabkan gluten. Diagnosis
ditegakkan dengan biopsi usus kecil dan perbaikan klinis setelah diet bebas gluten
(gandum) (Cagno, 2003; Scully, 2001; Stein, 2001; Pietzak, 2003; Keating, 2005).

Penyakit Whipple, merupakan penyakit sistemik yang berkaitan dengan infeksi


aktinobakterium yang menyerang usus kecil dan menimbulkan malabsorbsi.
Diagnosis ditegakkan dengan biopsi untuk mengindentifikasi makrofag besar dengan
PAS positif dalam lamina propia (Swartz, 2000; Stein, 2001; Blinder, 2004).

(h) Pemeriksaan Canggih Lain, meliputi (Kolopaking MS, 2003; Thomas, 2003;
Hopkins, 2004; Keating, 2005):

Arteriografi mesenterika superior dan inferior, untuk menentukan sumbatan


arteri mesenterika yang menimbulkan kolitis iskemia.

Sidik Indium 111leukosit, mengevaluasi daerah inflamasi usus, yang akan


menerima iodium.

Te HMPAO (Technetium Hexamethyl Propyleneamine Oxime), merupakan


imaging dengan tehnik labelling sederhana, yang mempunyai keuntungan yaitu
mengurangi batasan radiasi dibanding Indium. Tehnik ini sering digunakan untuk
mendiagnosis iritabel bowel disease pada anak jika dengan pemeriksaan ileoskopi
hasilnya normal.

Scan 75Se HCAT (75Se Homotaurocholate), menilai integritas fungsi ileum


terminal. Untuk absorbsi asam lemak dan kolesterol oleh ileum terminal secara
aktif diperlukan bile acid. Penderita diperiksa dengan cara menelan asam
taurocholis (sintesis asam empedu terkonjugasi), kemudian setelah 7 hari diukur
75
konsentrasi metabolisme asam empedu serum dengan radiolabel Se
Homotaurocholate. Dikatakan BAM (Bile acid malabsorbsi) bila didapatkan
konsentrasi < 15%. BAM sering terjadi pada post reseksi ileum terminal,
kolesistektomi, infeksi, inflamasi, IBS atau idiopatik yang berespon terhadap
chelating bile acid agent (trial cholestyramin).

Test OCTT (orocaecal transit time), dengan

Scintigraphy radionucleotida, menggunakan solid (telur / roti) / cairan yang


111
dilabel dengan technetium atau Indium diethylene triamine pentacetic acid,
kemudian dicatat waktu yang diperlukan radioaktif untuk mencapai caecum.

Test nafas H2 laktose, test ini positif pada post operasi (vagotomi,
gastrektomi), kondisi endokrin (carsinoid, hipertiroid, DM) atau IBS.

Petanda tumor (CEA dan CA 19-9), untuk keganasan pankreas dan kolon.

Hormon Serum seperti gastrin dan VIP (vasoactive intestinal peptide).


Pemeriksaan gastrin dilakukan bila ditemukan ulcus duodenum disertai diare,
yang mengarah pada gastrinoma (Zollinger Ellison). Nilai normal gastrin serum
adalah 150 pg/ml, sedangkan pada gastrinoma dapat mencapai 1000 pg/ml; Jika
diare > 1L/hari terutama jika hipokalemia, dilanjutkan dengan pengukuran VIP,
substansi P, calsitonin, dan histamin (Kolopaking MS, 2003). Hormon VIP
(vasoactive intestinal peptide) dihasilkan oleh tumor pankreas seperti (VIP)omas,
glukagonomas. Harga normal VIP serum adalah < 50 pg/ml, pada tumor dapat
mencapai 675-965 pg/ml.

Pemeriksaan kadar 5-HIAA urine 24 jam ( 5-hydroxyindoleacetic acid ) dilakukan


untuk menyokong diagnosis tumor carsinoid.
Back To
Top
IV.C.2. EVALUASI RAWAT INAP
Prosedur tambahan evaluasi pasien rawat inap menurut Donowith antara lain, pasien
diberikan diet seperti biasa, lalu diukur berat tinja 24 jam (jika > 0,5 kg mengarah ke
kelainan organik, jika < 0,2 kg berarti tidak diare / IBS / penyakit rektum). Evaluasi
selanjutnya puasa 72 jam, lalu dihitung berat tinja 24 jam untuk membedakan
sekretorik atau osmotik. Pada diare osmotik, diare akan berhenti, yang menunjukkan
penyebab diare adalah makanan yang dimakan / laksan / karbohidrat yang tidak dapat
diabsorbsi, asam empedu atau asam lemak. Penyakit diare sekretorik ditunjukkan
diare yang tetap berlangsung / berhenti parsial setelah puasa 48 jam. Selain itu untuk
membedakan diare osmotik atau sekretorik dapat dilakukan pengukuran stool osmotic
gap (Donowitz, 1995; Kolopaking MS, 2003; Pietzak, 2003).

Hari pertama, memastikan dan mempelajari ulang hasil-hasil evaluasi dignostik


selama rawat jalan, pengukuran berat dan volume tinja pada diet normal, skrening
laksan urine dengan thin-layer chromatography, pemeriksaan alkalinisasi tinja,
pengukuran Na, K, sulfat, pospat, dan stool osmotic gap (Donowitz, 1995;
Kolopaking MS, 2003; Pietzak, 2003).

Hari kedua -keempat, puasa 72 jam dengan hidrasi intravena, berat tinja dipantau 24
jam tiap hari, jika diare berhenti total dalam 24 jam, puasa dihentikan, jika diare
berkurang tapi berlangsung terus dengan tinja > 200 gram per 24 jam sering pada
diare sekretori (Donowitz, 1995; Kolopaking MS, 2003).

Hari kelima-kedelapan, penderita diberikan diet berlemak 75-100 gram dalam 24


jam, dilakukan monitor rerata berat tinja dan kadar lemak tinja dalam 24 jam pada
hari ke-6, ke-7, dan ke-8 (Donowitz, 1995; Kolopaking MS, 2003).

V. RESUME

Chronic diarrhea lasts more than 4 weeks, that the cause and pathogenesis are
multicomplex, and it isnt easy to stand the diagnosis dan treatment. The etiology of
diarrhea are various. Although many examination are done to get the etiology of
diarrhea, aproximally 10-15% patiens are unknown. Remembering that many diseases
can cause chronic diarrhea, dan there are so many examination should be done, it is
important for physician to choice the cost effective. The examination are devided into
the simple examination and continuation examination. The simple examination
include anamnesis, physical examination, and simple laboratory. If it cant found the
diagnosis by simple examination, it is needed the continuation examination.
VI. KEPUSTAKAAN

1. Avunduk C(2002).Diarrhea.In:Manual of Gastroenterology.3thEd.Lippincott


Williams and Wilkins,Boston,pp.181-193.

2. Binder HJ(2004).Disorders of absorption. In:Harrisons Principles Internal


Medicine.Ed:Wilson, Braunwald, Isselbacher, Petersdorf, Martin, Fauci, Root.
15thEd. Mc Graw-Hill, New York,pp. 286-300.

3. Cagno RD(2003).Sourdough Bread Made from Wheat and Nontoxic Flours


and Started with Selected Lactobacilli Is Tolerated in Celiac Sprue
Patients.AEM.70(2),1088.

4. Chen XM(2002).Cryptosporidiosis. N Engl J Med.346(22),1723.

5. Donowitz M (1995).Evaluation of Patients with Chronic Diarrhea.N Engl J


Med.332(11),7.

6. Frye RE(2002).Malabsorption syndromes.eMedicine.August 21,2002.

7. Grohmann GS(1993).Enteric Viruses and Diarrhea in HIV-Infected Patients.


N Engl J Med.329(1),14.

8. Hopkins J(2004).VIPoma.N Engl J Med.351(8),1.

9. Jones AC(2004).Management of infectious Diarrhoea.Gut.53(1).296.

10. Jones J(2000).British Society of Gastroenterology Guideline for the


Management of the Irritable Bowel Syndrome.Gut.47(1),1

11. Keating JP(2005).J Pediatr.20(1),5.

12. Kolopaking MS (2003).Pendekatan Diagnosis Diare Kronik.Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II.Ed:Suyono S.2nd.Balai Penerbit FKUI,Jakarta.PP.179-
191.

13. Liste MB(2000).Enteric Virus Infections and Diarrhea in Healthy and Human
Immunodeficiency Virus-Infected Children.J Clin Microbiol.38(8).2873
14. Mertz HR(2003).Irritable Bowel Syndrome. N Engl J Med.349(27),22.

15. Pietzak MM(2003).Childhood Malabsorption.J Pediatr.24(8).200.

16. Scully RE(2001).Case report of the Massachusetts General Hospital. N Engl J


Med.345(4),276

17. Small DM(1997).Point Mutations in the Ileal Bile Salt Transporter Cause
Leaks in the Enterohepatic Circulation Leading to Severe Chronic Diarrhea and
Malabsorption.J Clin Invest.99(8),1807.

18. Stein JH(2001).Penyakit Gastrointestinsl, Hati, dan Pankreas.Panduan Klinik


Ilmu Penyakit Dalam.Ed:Komala S.1st.Penerbit Buku Kedikteran
EGC,Jakarta.PP.257-265.

19. Swartz MN(2000).Whipples Disease-Past, Present, and Future. N Engl J


Med.342(9),648.

20. Thomas PD(2003).Guideline for the investigation of chronic


diarrhoea.Gut.52(5),1.

21. Vesa TH(2000).Lactose Intolerance.Am J College Nutr.19(2),165S

22. Wistrom J(2001).Frequency of antibiotic-associated diarrhoea in 2462


antibiotic-treated hospitalized patients; a prospective study.J Antimicrob
Chemother.47(1),43.

Back To
Top
Back To
Top

Anda mungkin juga menyukai