Disusun oleh :
UNGARAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya kami bisa
menyelesaikan makalah yang membahas tentang Penatalaksanaan pada klien pada
gangguan infeksi sistem integumen. Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah
Sistem Integumen. Makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini agar menjadi
lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bisa berguna untuk pengembangan wawasan dan peningkatan
ilmu Sistem Integumen bagi kita semua.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah
sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta
terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah
dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium,
dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
tahan asam.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga
faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat
terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan
pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian
berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kusta ?
2. Apa etiologi dari kusta ?
3. Apa manifestasi klinis dari kusta ?
4. Apa saja klasifikasi dari kusta ?
5. Bagaimana patofisiologi dan WOC dari kusta ?
6. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan kusta ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien kusta ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari kusta.
2. Mengetahui etiologi kusta.
3. Mengetahui manifestasi klinis kusta.
4. Mengetahui klasifikasi kusta.
5. Mengetahui patofisiologi dan WOC kusta.
6. Mengetahui penatalaksanaan pada klien kusta.
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien kusta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998).
C. Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat
tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul,
nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
2) BTA (Bakteri Tahan Asam) positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA
dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.
D. Klasifikasi
Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
1 Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan
sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,
punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama
sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan
urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas.Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal
dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak
ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan yang paling banyak
didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap
kuman kusta cukup tinggi
2 Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput
lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta
bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam
menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil
dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar
biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga.Sering disertai rontoknya alis
mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena
rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase
lanjut dari perjalanan penyakit.Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies
leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan
(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
E. Patofisiologi.
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan
bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis.
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
a Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
c Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
1) Cuping telinga kiri atau kanan.
2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
1) Tidak menyenangkan pasien.
2) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
3) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidung apabila sedian apus kulit negatif.
4) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
f Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
1 Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
2 Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.
3 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka
kuman resisten terhadap obat.
4 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
h Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
2. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
3. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
G. Penatalaksanaan
1. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.
e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.
2. Perawatan umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu
keadaan reaksi netral.
ASUHAN KEPERWATAN
1. Pengkajian
a Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena
pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah.
e Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita.
g Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea
mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologi.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi ditandai
dengan perubahan integritas kulit.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas ditandai kelemahan umum.
4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh ditandai dengan perubahan citra tubuh.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen cidera biologi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi hilang dan
berangsur-angsur hilang.
Kriteria hasil :
Pasien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri).
Nyeri berkurang dan berangsur-angsur hilang.
Intervensi :
Observasi lokasi, intensitas, dan penjalaran nyeri.
Observasi tanda-tanda vital.
Ajarkan dan anjurkan melakukan teknil relaksasi nafas dalam.
Atur posisi senyaman mungkin.
Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
Bulechet, Glona M.et al. Nursing Intervension Classification (NIC) sixth edition. USA.
ELSEVIER
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC.
Jakarta, 1995
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
Moorhead, Sue. Et. Al. Nursing Outcomes Classification (NOC) fifth edition. USA.
ELSEVIER