Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH SISTEM INTEGUMEN

PENATALAKSANAAN PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN INFEKSI SISTEM INTEGUMEN

Disusun oleh :

1. Alfian Arif M (010114a007)


2. Alfiatur Rohmah (010114a008)
3. Ana Fitriyati (010114a009)
4. Khamsidi (010114a052)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

STIKES NGUDI WALUYO

UNGARAN

2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat-Nya kami bisa
menyelesaikan makalah yang membahas tentang Penatalaksanaan pada klien pada
gangguan infeksi sistem integumen. Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah
Sistem Integumen. Makalah ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini agar menjadi
lebih baik lagi.
Semoga makalah ini bisa berguna untuk pengembangan wawasan dan peningkatan
ilmu Sistem Integumen bagi kita semua.

Ungaran, 19 Mei 2016

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalah
sebuah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta
terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah
dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium,
dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
tahan asam.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga
faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat
terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan
pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian
berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari kusta ?
2. Apa etiologi dari kusta ?
3. Apa manifestasi klinis dari kusta ?
4. Apa saja klasifikasi dari kusta ?
5. Bagaimana patofisiologi dan WOC dari kusta ?
6. Bagaimana penatalaksanaan klien dengan kusta ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien kusta ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi dari kusta.
2. Mengetahui etiologi kusta.
3. Mengetahui manifestasi klinis kusta.
4. Mengetahui klasifikasi kusta.
5. Mengetahui patofisiologi dan WOC kusta.
6. Mengetahui penatalaksanaan pada klien kusta.
7. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien kusta.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998).

Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium


leprae. (Mansjoer Arif, 2000).
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh mycobacterium
lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat
menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem endotelial, mata,
otot, tulang, dan testis (djuanda, 4.1997).
Kusta adalah penykit menular pada umunya mempengaruhi ulit dan saraf
perifer, tetapi mempunyai cakupan maifestasi klinis yang luas ( COC, 2003).
B. Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri
mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman
kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

C. Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut:
1) Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas. Lesi kulit dapat
tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi
kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa: makula, papul,
nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan
sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
2) BTA (Bakteri Tahan Asam) positif, Pada beberapa kasus ditemukan BTA
dikerokan jaringan kulit. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

D. Klasifikasi

Kelainan kulit & hasil


No. Pause Basiler Multiple Basiler
pemeriksaan
1. Bercak (makula) 1-5 Banyak
jumlah Kecil dan besar Kecil-kecil
ukuran Unilateral atau Bilateral, simetris
distribusi Halus, berkilat
bilateral asimetris
konsistensi Kering dan kasar Kurang tegas
batas Tegas Biasanya tidak jelas,
kehilangan rasa pada Selalu ada dan jelas jika ada terjadi pada
bercak yang sudah lanjut
kehilangan Bercak masih
Bercak tidak
berkemampuan berkeringat, bulu
berkeringat, ada bulu
berkeringat,berbulu tidak rontok
rontok pada bercak
rontok pada bercak
2. Infiltrat Tidak ada Ada,kadang-kadang
kulit Tidak pernah ada tidak ada
membrana mukosa Ada,kadang-kadang
tersumbat perdarahan tidak ada
dihidung
3. Ciri hidung central healing a. punched out lession
penyembuhan ditengah b. medarosis
c. ginecomastia
d. hidung pelana
e. suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf tepi Lebih sering terjadi dini, Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari 1
dan simetris
6. Deformitas cacat Biasanya asimetris Terjadi pada stadium
terjadi dini lanjut
7. Apusan BTA negatif BTA positif

Dibagi menjadi 2 :
Untuk para petugas kesehatan di lapangan, bentuk klinis penyakit kusta cukup
dibedakan atas dua jenis yaitu:
1 Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular.Kelainan kulit berupa bercak keputihan
sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi,
punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama
sekali, kadang-kadang tepinya meninggi.Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan
urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih
jelas.Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal
dari pada bentuk basah.Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak
ditemukan adanya kuman penyebab.Bentuk ini merupakan yang paling banyak
didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap
kuman kusta cukup tinggi
2 Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput
lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta
bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam
menghadapi kuman kusta.Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil
dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang
tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolan-benjolan merah sebesar
biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga.Sering disertai rontoknya alis
mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena
rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase
lanjut dari perjalanan penyakit.Pada bentuk yang parah bisa terjadi muka singa (facies
leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan
(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini
dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.

E. Patofisiologi.
Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan
bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.

Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Bakteriologis.
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
a Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
b Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
c Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
d Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
1) Cuping telinga kiri atau kanan.
2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
1) Tidak menyenangkan pasien.
2) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
3) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidung apabila sedian apus kulit negatif.
4) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
f Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
1 Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
2 Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta.
3 Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangka
kuman resisten terhadap obat.
4 Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
g Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehl neelsen atau kinyoun gabett.
h Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yang mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented), granula (granulates), globus dan clumps.
2. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus.
IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 :bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 :bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 :bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 :bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 :bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 :bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
3. Indeks Morfologi (IM)
Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil
pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.

G. Penatalaksanaan
1. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan
pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain
untuk menurunkan insiden penyakit.

Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,


klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO


1995 sebagai berikut:

a) Tipe PB ( PAUSE BASILER)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :

Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas.


DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah


selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif.

b) Tipe MB ( MULTI BASILER)


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas.
Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah.
DDS 100 mg/hari diminum dirumah.

Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan


sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara
klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.

c) Dosis untuk anak


Klofazimin:

1) Umur dibawah 10 tahun :


Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/2kali/minggu
2) Umur 11-14 tahun :
Bulanan 100mg/bln
Harian 50mg/3kali/minggu

d) Pengobatan MDT terbaru


Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup
diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan
minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan
untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan
sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4
dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari
yang seharusnya.

2. Perawatan umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah
kecacatan. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi
saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu
keadaan reaksi netral.

a) Perawatan mata dengan lagophthalmos


Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan
atau kotoran.
Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat.
Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu.

b) Perawatan tangan yang mati rasa


Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda-
tanda luka, melepuh.
Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih
kurang setengah jam.
Keadaan basah diolesi minyak.
Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus.
Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku.
Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka
c) Perawatan kaki yang mati rasa
Penderita memeriksa kaki tiap hari.
Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang jam.
Masih basah diolesi minyak.
Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus.
Jari-jari bengkok diurut lurus.
Kaki mati rasa dilindungi
d) Perawatan luka
Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam.
Luka dibalut agar bersih.
Bagian luka diistirahatkan dari tekanan.
Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas.

ASUHAN KEPERWATAN
1. Pengkajian
a Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-
anak dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat
menentukan tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena
pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah.

b Riwayat penyakit sekarang


Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-
kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya
komplikasi pada organ tubuh.

c Riwayat kesehatan masa lalu


Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d Riwayat kesehatan keluarga


Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya
diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai
penyakit morbus hansen akan tertular.

e Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi
yang diderita.

f Pola aktivitas sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan
kaki maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain
dalam perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

g Pemeriksaan fisik
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea
mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan
kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika
ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi
peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan
pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana


dan terdapat gangguan pada tenggorokan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen cidera biologi.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi ditandai
dengan perubahan integritas kulit.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas ditandai kelemahan umum.
4. Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh ditandai dengan perubahan citra tubuh.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen cidera biologi
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi hilang dan
berangsur-angsur hilang.
Kriteria hasil :
Pasien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri).
Nyeri berkurang dan berangsur-angsur hilang.
Intervensi :
Observasi lokasi, intensitas, dan penjalaran nyeri.
Observasi tanda-tanda vital.
Ajarkan dan anjurkan melakukan teknil relaksasi nafas dalam.
Atur posisi senyaman mungkin.
Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.

b. Diagnosa 2 : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses


inflamasi ditandai dengan perubahan integritas kulit.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi hilang dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
Menunjukan regenerasi jaringan.
Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi.
Intervensi :
Kaji/catat warna lesi. Perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka.
Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.
Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan
apakah ada penybaran pada jaringan sekitar.
Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.

c. Diagnosa 3 : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas ditandai kelemahan


umum.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi
dan aktivitas dapt dilakukan.
Kriteria hasil :
Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Kekuatan otot penuh.
Intervensi :
Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.
Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.
Lakukan latihan rentang gerak yang konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif.
Jadwalkan pengobatan dan aktivitas perawatan untukmemberikan
periode istirahat.
Dorong dukungan dan bantuan keluarga/orang yang terdekat pada saat
latihan.

d. Diagnosa 4 : Gangguan konsep diri (citra diri) berhubungan dengan ketidakmampuan


dan kehilangan fungsi tubuh ditandai dengan perubahan citra tubuh.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi
secara optimal dan konsep diri meningkat.
Kriteria hasil :
Pasien menyatakan penerimaan situasi diri.
Memasukan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif.
Intervensi :
Kaji makna perubahan pada pasien.
Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
Perhatikan perilaku menarik diri.
Berikan harapan dan parameter situasi individ, jangan memberika
keyakinan yang salah.
Berikan penguatan positif.
Berikan kolompok pendukung untuk orang terdekat.
DAFTAR PUSTAKA

Blackwell, Wiley. 2015. Diagnosa Keperawatan Definisi&Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10.


Jakarta: EGC

Bulechet, Glona M.et al. Nursing Intervension Classification (NIC) sixth edition. USA.
ELSEVIER

Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan Edisi II, EGC.
Jakarta, 1995

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.

Moorhead, Sue. Et. Al. Nursing Outcomes Classification (NOC) fifth edition. USA.
ELSEVIER

Anda mungkin juga menyukai