Skizofrenia
Skizofrenia
PENDAHULUAN
Orang dengan skizofrenia dapat melihat dunia dengan cara yang berbeda dari
orang di sekitar mereka. Mereka bisa mendengar, melihat, menghidu, merasakan hal
yang tidak dialami oleh orang lain (halusinasi), misalnya mendengar suara (yang
cenderung menjadi halusinasi yang paling umum). Mereka mungkin memiliki
keyakinan yang tak tergoyahkan dalam hal yang tidak benar (delusi), misalnya bahwa
orang membaca pikiran mereka, mengendalikan pikiran mereka atau berencana
menyakiti mereka. Ketika dunia mereka kadang-kadang tampak menyimpang akibat
halusinasi dan delusi, orang dengan skizofrenia dapat merasa takut, cemas dan
bingung. Mereka bisa menjadi begitu kacau sehingga mereka dapat merasa takut
sendiri dan juga dapat membuat orang di sekitar mereka takut.1
Skizofrenia terjadi sama pada pria dan perempuan, meskipun biasanya muncul
lebih awal pada pria. Usia puncak onset adalah 20-28 tahun untuk laki-laki dan 26-32
tahun untuk perempuan. Onset pada masa kanak-kanak jauh lebih jarang, dibanding
pada dewasa atau usia tua. Prevalensi skizofrenia seumur hidup, proporsi individu
diperkirakan akan mengalami penyakit tersebut pada setiap saat dalam kehidupan
mereka, umumnya diberikan pada 1%. Namun, tinjauan sistematis studi 2002 banyak
ditemukan prevalensi seumur hidup pada angka 0,55%. Meskipun kebijaksanaan
menerima bahwa skizofrenia terjadi pada tingkat yang sama di seluruh dunia, tetapi
prevalensinya bervariasi di seluruh dunia, dalam masing-masing negara, dan pada
tingkat lokal dan lingkungan. Salah satu penelitian telah menemukan hubungan antara
yang hidup di lingkungan perkotaan dengan diagnosis skizofrenia. Skizofrenia dikenal
menjadi penyebab utama kecacatan. Dalam sebuah penelitian pada tahun 1999, dari
14 negara, psikosis aktif menduduki peringkat ketiga kondisi paling menonaktifkan
setelah quadriplegia dan demensia.2
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk
berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi pasien telah
tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru ini dikenal sebagai
antipsikotik atipikal, antipsikotik novel atau antipsikotik generasi kedua. Obat ini
tampaknya memiliki lingkup efek yang lebih luas untuk gejala skizofrenia. Obat ini
efektif untuk mengobati gejala positif, seperti halusinasi dan delusi, dan juga dapat
1
membantu dalam mengobati gejala negatif seperti berkurangnya motivasi atau emosi
datar. Obat baru juga tersedia dalam bentuk tablet, cairan dan suntikan jangka pendek
dan jangka panjang (tergantung masing-masing obat).1
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
lainnya mengalami neurosa, epilepsi, gangguan afektif, parafrenia, retardasi
mental, sindrom ketergantungan obat dan lainnya.5
4
peningkatan sensitisasi masukan sensorik.
3. Hipotesis GABA
Penurunan aktifitas GABA menyebabkan peningkatan aktifitas
dopamine.
4. Hipotesis Serotonin
Metabolisme serotonin tampaknya tidak normal pada beberapa
pasien skizofrenia, dengan dilaporkannya hiperserotoninemia ataupun
hiposerotoninemia. Secara spesifik, antagonis dari reseptor serotonin 5-
HT2 ditegaskan memiliki peran penting dalam mengurangi gejala psikotik
dan dalam melawan perkembangan dari gangguan gerak yang
berhubungan dengan antagonis D2.
5. Halusinogen
Diperkirakan beberapa endogenous amines bertindak bertindak
sebagai substrat untuk abnormalitas methylation, yang dihasilkan dalam
endogenous hallucinogens. Hipotesis ini tidak didukung oleh data yang
akurat.
6. Hipotesis Glutamat
Penurunan fungsi dari glutamat reseptor N-methyl-D-aspartate
(NMDA) diteorikan dalam menyebabkan gejala positif ataupun negatif
dari skizofrenia.
7. Teori Neurodevelopmental dan Neurodegeneratif
Angka kejadian untuk abnormalitas migrasi neuronal terjadi selama
trimester ke dua dari perkembangan janin. Teori dari abnormalitas fungsi
neuron pada orang dewasa merujuk kepada gejala-gejala emergency.
Reseptor glutamat yang memediasi kematian sel mungkin terjadi. Semua
ini dapat menjelaskan kematian sel tanpa gliosis yang terlihat pada
skizofrenia, dan perjalanan progresif penyakit ini pada beberapa pasien.
2.3.3 Faktor Psikososial
Skizofrenia ditinjau dari factor psikososial sangat dipengaruhi oleh
faktor keluarga dan stressor psikososial. Pasien yang keluarganya memiliki
emosi ekspresi yang tinggi memiliki angka relaps lebih tinggi daripada pasien
yang berasal dari keluarga berkspresi yang rendah. EE didefinisikan sebagai
perilaku yang intrusive, terlihat berlebihan, kejam dan kritis. Disamping itu,
stress psikologik dan lingkungan paling mungkin mencetuskan dekompensasi
5
psikotik yang lebih terkontrol. Di Negara industri sejumlah pasien skizofrenia
berada dalam kelompok sosio ekonomi rendah. Pengamatan tersebut telah
dijelaskan oleh hipotesis pergeseran ke bawah (Downward drift hypothesis),
yang menyatakan bahwa orang yang terkena bergeser ke kelompok
sosioekonomi rendah karena penyakitnya. Suatu penjelasan alternative adalah
hipotesis akibat sosial,yang menyatakan stress yang dialami oleh anggota
kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa penyebab sosial dari
skizofenia di setiap kultur berbeda tergantung dari bagaim ana penyakit mental
diterima di dalam kultur, sifat peranan pasien, tersedianya sistem pendukung
sosial dan keluarga, dan kompleksitas komunikasi sosial.
2.3.4 Teori Infeksi
Angka kejadian dari penyebab virus meliputi perubahan neuropatologi
karena infeksi: gliosis, glial scaring, dan antivirus antibody dalam CSF serum
pada beberapa pasien skizofrenia.
6
adalah halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif).
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala ini disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri
khas atau fungsi normal seseorang. Yang termasuk dalam gejala-gejala ini
antara lain adalah kurang atau tidak mampu menampakkan/
mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan
untuk beraktivitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi
dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita Skizofrenia atau
penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan Skizofrenia pada kelompok ini
sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom
Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan Post Traumatic
Stress Dissorder. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau Skizofrenia
pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater
atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan
faktor predisposisi skizofrenia, yaitu:
- Gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap
semua orang sebagai musuh.
- Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap
hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri.
- Gangguan skizotipal yaitu perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek
sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada
perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak
terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet
atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan
inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti
berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk
munculnya gejala skizofrenia, misalnya tekanan (stresor) lingkungan dan
faktor genetik ataupun penggunaan yang salah pada beberapa jenis obat-
obatan terlarang.
Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 (tiga) fase
7
berikut ini:
1. Fase Prodromal
Pada fase ini biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya
bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun sebelum onset psikotik
menjadi jelas. Gejala pada fase ini meliputi: hendaya fungsi pekerjaan, fungsi
sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri. Perubahan-
perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah keluarga dan
teman, mereka akan mengatakan orang ini tidak seperti yang dulu. Semakin
lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya.
2. Fase Aktif
Pada fase ini, gejala positif/psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku
katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir
semua individu datang berobat pada fase ini. Bila tidak mendapat pengobatan,
gejala-gejala tersebut dapat hilang secara spontan tetapi suatu saat mengalami
eksaserbasi (terus bertahan dan tidak dapat disembuhkan). Fase aktif akan
diikuti oleh fase residual.
3. Fase Residual
Fase ini memiliki gejala-gejala yang sama dengan Fase Prodromal
tetapi gejala positif/psikotiknya sudah berkurang. Di samping gejala-gejala
yang terjadi pada ketiga fase di atas, penderita skizofrenia juga mengalami
gangguan kognitif berupa gangguan berbicara spontan, mengurutkan
peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi, konsentrasi, hubungan sosial).
8
(b) - delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya: secara jelas merujuk ke
pergerakan tubuh/anggota gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan
khusus);
- delusional perception: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
(c) Halusinasi auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain).
2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole hide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus;
(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan, atau neologisme;
(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis
tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor;
(h) Gejala-gejala negative seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
9
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan menurunnya kinerja
social; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai (personal
behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude),
dan penarikan diri secara sosial.
Perjalanan gangguan skizofrenik dapat diklasifikasikan menggunakan
kode lima karakter berikut:
F20.x0 Berkelanjutan
F20.x1 Episodik dengan kemunduran progresif
F20.x2 Episodik dengan kemunduran stabil
F20.x3 Episodik berulang
F20.x4 Remisi tak sempurna
F20.x5 Remisi sempurna
F20.x8 Lainnya
F20.x9 Periode pengamatan kurang dari satu tahun
10
Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga,
berhati-hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan
atau agresif. Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat
menempatkan diri mereka secara adekuat didalam situasi social.
Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi oleh kecenderungan psikosis
mereka dan tetap intak.
Pedoman Diagnostik
Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia
Sebagai tambahan :
Halusinasi dan atau waham harus menonjol :
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal
berupa bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual
mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau Passivity (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas.
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.
2.6.2 Skizofrenia Hebefrenik (F20.1)
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga disorganised,
permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja
atau antara 1525 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan
proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi.
Gangguan psikomotor seperti perilaku kekanak-kanakan sering
terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak sekali.
Pedoman Diagnostik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
11
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk
menentukan diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk
memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar
bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa
perasaan;
- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri
(self-satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);
- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak
menentu (rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses
pikir umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada
tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions
and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang
bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu
perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of
purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat
dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya,
makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
2.6.3 Skizofrenia Katatonik (F20.2)
Skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia, timbulnya
pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
12
katatonik atau stupor katatonik.
Stupor Katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian
sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal.
Secara tiba-tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan
stupor ini dan mulai berbicara dan bergerak.
Gaduh Gelisah Katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik,
tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi
oleh rangsangan dari luar.
Pedoman Diagnostik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :
(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara):
(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)
(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau
aneh);
(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif
terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau
pergerakkan kearah yang berlawanan);
(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan
upaya menggerakkan dirinya);
(f) Fleksibilitas cerea / waxy flexibility (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
(g) Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan
secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata
serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
13
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala
lain.
Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan
petunjuk diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat
dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan
obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
2.6.4 Skizofrenia Tak Terinci (F20.3)
Seringkali pasien skizofrenik tidak dapat dengan mudah
dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan
pasien tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut
PPDGJ III yaitu:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
2.6.5 Depresi Pasca-skizofrenia (F20.4)
Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :
(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria
diagnosis umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan
(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis
menjadi episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas
dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia
yang sesuai.
2.6.6 Skizofrenia Residual (F20.5)
Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang
terus menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan
lengkap gejala aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain
skizofrenia. Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku
14
eksentrik, pikiran yang tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan
adalah sering ditemukan pada tipe residual. Jika waham atau halusinasi
ditemukan maka hal tersebut tidak menonjol dan tidak disertai afek
yang kuat.
Pedoman Diagnostik
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini
harus dipenuhi semua :
(a) Gejala negative dari skizofrenia yang menonjol misalnya
perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan
posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom negative dari skizofrenia;
(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik
lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negative tersebut.
2.6.7 Skizofrenia Simpleks (F20.6)
Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa
pubertas. Gejala utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi
dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar
ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbulnya perlahan-lahan sekali. Pada permulaan mungkin penderita
mulai kurang memperhatikan keluarganya atau mulai menarik diri dari
pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam pekerjaan atau
pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang
yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur, atau
penjahat.
Pedoman Diagnostik
15
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan
dan progresif dari :
- gejala negative yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik, dan
- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok,
tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.
2.6.8 Skizofrenia Lainnya (F20.8)
2.6.9 Skizofrenia YTT (F20.9)
16
Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika
salah satu orang tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita
skizofrenia, kesulitan pada waktu persalinan yang mungkin menyebabkan
trauma pada otak, terdapat penyimpangan dalam perkembangan
kepribadian, yang terlihat sebagai anak yang sangat pemalu, menarik diri,
tidak mempunyai teman, amat tidak patuh, atau sangat penurut, proses
berpikir idiosinkratik, sensitive dengan perpisahan, mempunyai orang tua
denga sikap paranoid dan gangguan berpikir normal, memiliki gerakan bola
mata yang abnormal, menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin,
kanabis, kokain, Mempunyai riwayat epilepsi, memilki ketidakstabilan
vasomotor, gangguan pola tidur, control suhu tubuh yang jelek dan tonus
otot yang jelek.
17
jangka panjang sangat dibutuhkan terutama untuk mencegah
kekambuhan. Apabila keadaan pasien sudah stabil selama 1 tahun,
maka dosis pemberian obat dapat diturunkan secara perlahan,
sekitar 10-20% per bulan. Selama penurunan dosis, pasien dan
keluarga pasien diberikan edukasi agar melaporkan bisa terjadi
kekambuhan, termasuk insomnia, kecemasan, withdrawal, dan
kebiasaan yang aneh.
4. Obat lainnya
Apabila pengobatan standart dengan antipsikotik tidak berhasil,
beberapa obat lainnya telah dilaporkan dapat meningkatan
keefektifan pengobatan. Penambahan lithium dapat meningkatkan
keefektifan pengobatan pada sebagian besar pasien. propanolol
(Inderal), benzodiazepine, asam valproat (Depakene) atau
divalproex (Depakote), dan carbamazepine (Tegretol) telah
dilaporkan dapat meningkatkan keefektifan pengobatan pada
beberapa kasus.
2.8.2 Terapi Elektrokonvulsif
Terapi Elektrokonvulsif disingkat ECT juga dikenal sebagai
terapi elektroshock. ECT telah menjadi pokok perdebatan dan
keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. Di masa lalu ECT ini
digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa,
termasuk schizophrenia. Namun terapi ini tidak membuahkan hasil
yang bermanfaat. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi
dikembangkan, ECT merupakan pengalaman yang sangat menakutkan
pasien. Pasien seringkali tidak bangun lagi setelah aliran listrik
dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan ketidaksadaran sementara,
serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya ingatan
setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai
serangan otak mengakibatkan berbagai cacat fisik.
Namun, sekarang ECT sudah tidak begitu menyakitkan. Pasien
diberi obat bius ringan dan kemudian disuntik dengan penenang otot.
Aliran listrik yang sangat lemah dialirkan ke otak melalui kedua
pelipisatau pada pelipis yang mengandung belahan otak yang tidak
dominan. Hanya aliran ringan yang dibutuhkan untuk menghasilkan
18
serangan otak yang diberikan, karena serangan itu sendiri yang bersifat
terapis, bukan aliran listriknya. Penenang otot mencegah terjadinya
kekejangan otot tubuh dan kemungkinan luka. Pasien bangun beberapa
menit dan tidak ingat apa-apa tentang pengobatan yang dilakukan.
Kerancuan pikiran dan hilang ingatan tidak terjadi, terutama bila aliran
listrik hanya diberikan kepada belahan otak yang tidak dominan
(nondominan hemisphere).
Indikasi pemberian terapi ini adalah pasien skizofrenia
katatonik dan bagi pasien karena alasan tertentu karena tidak dapat
menggunakan antipsikotik atau tidak adanya perbaikan setelah
pemberian antipsikotik.Kontra indikasi Elektrokonvulsif terapi adalah
Dekompensasio kordis, aneurisma aorta, penyakit tulang dengan
bahaya fraktur tetapi dengan pemberian obat pelemas otot pada pasien
dengan keadaan diatas boleh dilakukan. Kontra indikasi mutlak adalah
tumor otak.
2.8.3 Psikoterapi
Gejala-gejala gangguan schizophrenia yang kronik telah
membuat situasi pengobatan di dalam maupun di luar Rumah Sakit
Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan. Para psikiater dan
petugas kesehatan terkondisi untuk menangani schizophrenia dengan
obat saja selain terapi kejang listrik (ECT). Psikoterapi suportif, terapi
kelompok, maupun terapi perilaku hampir tidak pernah dilakukan,
karena dianggap tidak akan banyak manfaatnya. Wawancara tatap
muka yang rutin dengan pasien jarang dilakukan.
Psikoterapi adalah perawatan dan penyembuhan gangguan jiwa
dengan cara psikologis. beberapa pakar psikoterapi beranggapan
bahwa perubahan perilaku tergantung pada pemahaman individu atas
motif dan konflik yang tidak disadari.
1) Terapi Psikoanalisa
Terapi Psikoanalisa adalah metode terapi berdasarkan konsep
Freud. Tujuan psikoanalisis adalah menyadarkan individu akan konflik
yang tidak disadarinya dan mekanisme pertahanan yang digunakannya
untuk mengendalikan kecemasannya. Hal yang paling penting pada
terapi ini adalah untuk mengatasi hal-hal yang direpress oleh penderita.
19
Metode terapi ini dilakukan pada saat penderita schizophrenia sedang
tidak kambuh. Macam terapi psikoanalisa yang dapat dilakukan,
adalah Asosiasi Bebas. Pada teknik terapi ini, penderita didorong untuk
membebaskan pikiran dan perasaan dan mengucapkan apa saja yang
ada dalam pikirannya tanpa penyuntingan atau penyensoran. Pada
teknik ini, penderita disupport untuk bisa berada dalam kondisi relaks
baik fisik maupun mental dengan cara tidur di sofa. Ketika penderita
dinyatakan sudah berada dalam keadaan relaks, maka pasien harus
mengungkapkan hal yang dipikirkan pada saat itu secara verbal.
Pada saat penderita tidur di sofa dan disuruh menyebutkan
segala macam pikiran dan perasaan yang ada di benaknya dan
penderita mengalami blocking, maka hal itu merupakan manifestasi
dari keadaan over-repressi. Hal yang direpress biasanya berupa
dorongan vital seperti sexual dan agresi. Repressi terhadap dorongan
agresi menyangkut figur otorotas yang selalu diwakili oleh father dan
mother figure. Repressi anger dan hostile merupakan salah satu bentuk
intrapsikis yang biasa menyebabkan blocking pada individu. Akibat
dari blocking tersebut, maka integrasi kepribadian menjadi tidak baik,
karena ada tekanan ego yang sangat besar.
Menurut Freud, apabila terjadi blocking dalam proses asosiasi
bebas, maka penderita akan melakukan analisa. Hasil dari analisanya
dapat menimbulkan insight pada penderita. Analisa pada waktu terjadi
blocking bertujuan agar penderita mampu menempatkan konfliknya
lebih proporsional, sehingga penderita mengalami suatu proses
penurunan ketegangan dan penderita lebih toleran terhadap konflik
yang dialaminya.
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu bahwa penderita
diberi kesempatan untuk dapat mengungkapkan segala traumatic
events dan keinginan-keinginan yang direpressnya. Waktu ini disebut
dengan moment chatarsis. Disini penderita diberi kesempatan untuk
mengeluarkan uneg-uneg yang ia rasakan, sehingga terjadi redusir
terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang
dialaminya. Dalam teknik asosiasi bebas ini, juga terdapat proses
transference, yaitu suatu keadaan dimana pasien menempatkan
20
therapist sebagai figur substitusi dari figur yang sebenarnya
menimbulkan masalah bagi penderita. Terdapat 2 macam transference,
yaitu transference positif, yaitu apabila therapist menggantikan figur
yang disukai oleh penderita, transference negatif, yaitu therapist
menggantikan figur yang dibenci oleh penderita.
2) Terapi Perilaku (Behavioristik)
Pada dasarnya, terapi perilaku menekankan prinsip
pengkondisian klasik dan operan, karena terapi ini berkaitan dengan
perilaku nyata. Para terpist mencoba menentukan stimulus yang
mengawali respon malasuai dan kondisi lingkungan yang menguatkan
atau mempertahankan perilaku itu.
Akhir-akhir ini, pakar terapi perilaku melihat adanya pengaruh
variabel kognitif pada perilaku (misalnya, pemikiran individu tentang
situasi menimbulkan kecemasan tentang akibat dari tindakan tertentu)
dan telah mencakupkan upaya untuk mengubah variabel semacam itu
dengan prosedur yang khusus ditujukan pada perilaku tersebut. Pada
kongres psikiatri di Malaysia tahun 2000 ini, cognitif behavior therapy
untuk pasien schizophrenia ditampilkan pakar psikiatri dari Amerika
maupun dari Malaysia sendiri. Ternyata, terdapat hasil yang cukup
baik, terutama untuk kasus-kasus baru, dengan menggunakan cognitif
behavior therapy tersebut. Rupanya ada gelombang besar optimisme
akan kesembuhan schizophrenia di dunia dengan terapi yang lebih
komprehensif ini.
Selain itu, secara umum terapi ini juga bermaksud secara
langsung membentuk dan mengembangkan perilaku penderita
schizophrenia yang lebih sesuai, sebagai persiapan penderita untuk
kembali berperan dalam masyarakat. Paul dan Lentz menggunakan dua
bentuk program psikososial untuk meningkatkan fungsi kemandirian.
a. Social Learning Program
Social learning program menolong penderita skizofrenia
untuk mempelajari perilaku-perilaku yang sesuai. Program ini
menggunakan token economy, yakni suatu cara untuk
menguatkan perilaku dengan memberikan tanda tertentu
(token) bila penderita berhasil melakukan suatu perilaku
21
tertentu. Tanda tersebut dapat ditukar dengan hadiah (reward),
seperti makanan atau hak-hak tertentu.Program lainnya adalah
millieu program atau terapi komunitas. Dalam program ini,
penderita dibagi dalam kelompok-kelompok kecil yang
mempunyai tanggung jawab untuk tugas-tugas tertentu. Mereka
dianjurkan meluangkan waktu untuk bersama-sama dan saling
membantu dalam penyesuaian perilaku serta membicarakan
masalah-masalah bersama dengan pendamping. Terapi ini
berusaha memasukkan penderita schizophrenia dalam proses
perkembangan untuk mempersiapkan mereka dalam peran
sosial yang bertanggung jawab dengan melibatkan seluruh
penderitan dan staf pembimbing.Dalam penelitian, social
learning program mempunyai hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan perawatan dalam rumah sakit jiwa dan
millieu program. Persoalan yang muncul dalam terapi ini
adalah identifikasi tentang unsur-unsur mana yang efektif.
Tidak jelas apakah penguatan dengan tanda (token) ataukan
faktor-faktor lain yang menyebabkan perubahan perilaku; dan
apakah program penguatan dengan tanda tersebut membantu
perubahan perilaku hanya selama tanda diberikan atau hanya
dalam lingkungan perawatan.
b. Social Skills Training
Terapi ini melatih penderita mengenai ketrampilan atau
keahlian sosial, seperti kemampuan percakapan, yang dapat
membantu dalam beradaptasi dengan masyarakat. Social Skills
Training menggunakan latihan bermainsandiwara. Para
penderita diberi tugas untuk bermain peran dalam situasi-situasi
tertentu agar mereka dapat menerapkannya dalam situasi yang
sebenarnya. Bentuk terapi seperti ini sering digunakan dalam
panti-panti rehabilitasin psikososial untuk membantu penderita
agar bisa kembali berperan dalam masyarakat. Mereka dibantu
dan didukung untuk melaksanakan tugas-tugas harian seperti
memasak, berbelanja, ataupun utnuk berkomunikasi,
bersahabat, dan sebagainya.Meskipun terapi ini cukup berhasil,
22
namun tetap ada persoalan bagaimana mempertahankan
perilaku bila suatu program telah selesai, dan bagaimana
dengan situasi-situasi yang tidak diajarkan secara langsung.
3) Terapi Humanistik
a. Terapi Kelompok.
Banyak masalah emosional menyangkut kesulitan
seseorang dalam berhubungan dengan orang lain, yang dapat
menyebabkan seseorang berusaha menghindari relasinya dengan
orang lain, mengisolasi diri, sehingga menyebabkan pola
penyelesaian masalah yang dilakukannya tidak tepat dan tidak
sesuai dengan dunia empiris. Dalam menangani kasus tersebut,
terapi kelompok akan sangat bermanfaat bagi proses penyembuhan
klien, khususnya klien skizofrenia.
Terapi kelompok ini termasuk salah satu jenis terapi
humanistik. Pada terapi ini, beberapa klien berkumpul dan saling
berkomunikasi dan terapist berperan sebagai fasilitator dan sebagai
pemberi arah di dalamnya. Di antara peserta terapi tersebut saling
memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami
oleh mereka.Klien dihadapkan pada setting sosial yang
mengajaknya untuk berkomunikasi, sehingga terapi ini dapat
memperkaya pengalaman mereka dalam kemampuan
berkomunikasi. Di rumah sakit jiwa, terapi ini sering dilakukan.
Melalui terapi kelompok ini iklim interpersonal relationship yang
konkrit akan tercipta, sehingga klien selalu diajak untuk berpikir
secara realistis dan menilai pikiran dan perasaannya yang tidak
realistis.
b. Terapi Keluarga.
Terapi keluarga ini merupakan suatu bentuk khusus dari
terapi kelompok. Kelompoknya terdiri atas suami istri atau orang
tua serta anaknya yang bertemu dengan satu atau dua terapist.
Terapi ini digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah
sakit jiwa dan tinggal bersama keluarganya. Ungkapan-ungkapan
emosi dalam keluarga yang bisa mengakibatkan penyakit penderita
kambuh kembali diusahakan kembali. Keluarga diberi informasi
23
tentang cara-cara untuk mengekspresikan perasaan-perasaan, baik
yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan jelas, dan
untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama.
Keluarga diberi pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-
cara untuk menghadapinya. Keluarga juga diberi penjelasan
tentang cara untuk mendampingi, mengajari, dan melatih penderita
dengan sikap penuh penghargaan. Perlakuan-perlakuan dan
pengungkapan emosi anggota keluarga diatu dan disusun
sedemikian rupa serta dievaluasi.
Dari beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh
Fallon ternyata campur tangan keluarga sangan membantu dalam
proses penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah
kambuhnya penyakit penderita, dibandingkan dengan terapi-terapi
secara individual.
2.9 Prognosis11
Untuk waktu pendek (1 tahun), prognosis skizofrenia berhubungan erat
dengan bagaimana penderita menjalani pengobatan. Tanpa pengobatan, 70
hingga 80 persen penderita yang penah menderita skizofrenia akan mengalami
kekambuhan setelah 2 bulan berikutnya dari masa sakit yang lalu. Pemberian
obat terus menerus dapat mengurangi tingkat kekambuhan hingga 30 persen.
Untuk jangka panjang, prognosis penderita skizofrenia bervariasi. Pada
umumnya, sepertiga penderita mengalami kesembuhan yang berarti dan tetap,
sepertiga penderita mengalami sedikit perbaikan yang diselingi dengan
kekambuhan, dan sepertiga penderita kondisinya menjadi buruk dan
permanen.
Factor yang mempengaruhi prognosis yang baik meliputi mulai
munculnya penyakit yang mendadak, menderita pada usia lanjut, mempunyai
tingkat kemampuan yang baik dan berprestasi sebelum sakit, penyakit dengan
jenis paranoid atau nondefisit. Factor yang mempengaruhi prognosis yang
buruk meliputi menderita pada waktu muda, tingkat social dan kemampuan
yang rendah sebelum sakit, dari keluarga penderita skizofrenia, dan penyakit
dengan hebefrenik atau defisit.
Sepuluh persen kasus bunuh diri ada kaitannya dengan skizofrenia.
24
Rata-rata skizofrenia mengurangi masa hidup penderita 10 tahun.
BAB III
KESIMPULAN
25
Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum
diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang
luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, fisik,
dan sosial budaya. Etiologi skizofrenia meliputi genetic, biologis, psikososial, dan
infeksi. Terdapat beberapa klasifikasi pada skizofrenia, yaitu: skizofrenia paranoid,
skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci
(undifferentiated), depresi pasca skizofrenia, skizofrenia residual, skizofrenia
simpleks, skizofrenia lainnya, dan skizofrenia YTT.
Gejala karakteristik skizofrenia meliputi gejala positif, gejala negatif, dan juga
gejala-gejala karakteristik lainnya. Diagnosis banding skizofrenia adalah: gangguan
mood, gangguan kepribadian, gangguan psikotik lainnya, dan gangguan psikotik
sekunder dan akibat obat.Penatalaksanaan skizofrenia meliputi medikamentosa,
elektrokonvulsif terapi, dan psikoterapi.
Obat-obatan yang digunakan merupakan obat antipsikotik tipikal dan atipikal.
Antipsikotik tipikal efektif untuk mengatasi gejala positif, sedangkan antipsikotik
atipikal efektif untuk mengatasi gejala negatif. Prognosis untuk penyakit skizofrenia
tergantung dari berbagai factor, antara lain onset, factor pencetus, riwayat keluarga,
system pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual, dan lain-lain.
Daftar pustaka
26
1. Anonim. Mengenal Skizofrenia. [Online]
http://www.skizofrenia.co.id/content/mengenai-skizofrenia (diunduh pada
tanggal 2 Agustus 2012).
12. Maslim. R. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik, edisi
3. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.
27