Anda di halaman 1dari 24

LEARNING OBJECTIVE

Nama : I Made Fajar Sutrisna Himawan

NIM : 41150079

Tutor : Tutorial I

LEUKEMIA

I. DEFINISI
Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang berasal dari sumsum
tulang, disebabkan oleh beberapa faktor resiko selama kehamilan dan pasca natal seperti
kecacatan genetik, radiasi, infeksi dan paparan lainnya, ditandai oleh adanya akumulasi
proliferasi leukosit dan sel abnormal dalam sumsum tulang dan darah.
II. KLASIFIKASI
Secara umum pembagian leukemia adalah akut, kronik dan kongenital. Leukemia akut
dan kronik dibedakan berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas yang berproliferasi
mengarah pada leukemia akut dan bila terdapat lebih banyak sel matur maka diklasifikasikan
leukemia kronik, sedangkan kongenital bila leukemia terdiagnosa selama 4 minggu pertama
setelah kelahiran.
Berdasarkan morfologinya leukemia akut dibedakan menjadi:
1. Leukemia Limfoblastik Akut
L1 : sel sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak tampak dengan
kromatin homogen
L2 : Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih kasar, satu
atau lebih anak inti
L3 : Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti banyak, kromatin
berbercak.
Berdasarkan antibody monoclonal yang dapat mengenali antigen pada limfoid, dihasilkan
klasifikasi imunofenotip dari LLA yaitu sel T, sel B, transisional pre-B, sel pre-B dan sel pre-
B muda. Klasifikasi ini berguna untuk menentukan leukemia sesuai tahap maturasi normal.
2. Leukemia Myeloid Akut
M0 : Diferensiasi minimal dari myeloid
M1 : Myeloblas berdiferensiasi buruk tanpa maturasi, dapat ditemukan Auer rods

1
M2 : Diferensiasi myeloblas dengan maturasi, lebih banyak ditemukan Auer rods
M3 : Sel promyelositik dengan hipergranuler dan penuh dengan Auer rods
M4 : Myelomonoblastik
M5 : Monoblastik
M6 : Eritroleukemik atau eritroblastik
M7 : Megakaryoblastik
Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak anak, meskipun begitu leukemia
kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang insidensinya pada orang dewasa
berusia 60 80 tahun, dan Leukemia Myeloid Kronik dimana berkisar 1 2% dari leukemia
pada anak anak.
III. ETIOLOGI
Pada umumnya penyebab leukemia tidak dapat diketahui secara pasti, namun terdapat
beberapa faktor predisposisi yang diduga berkaitan dengan leukemia pada anak termasuk
genetik, lingkungan dan keadaan imunodefisiensi. Anak anak dengan cacat genetik seperti
sindrom Down dan keadaan ketidakstabilan kromosom lebih beresiko menderita leukemia.
Paparan radiasi X-ray pada janin maupun anak menunjukkan peningkatan insidensi LLA
meskipun kasusnya sangat sedikit. Pada beberapa negara berkembang terdapat hubungan
antara anak yang terkena leukemia dengan infeksi virus Epstein-Barr dimana terjadi mutasi
dari sel progenitor limfoid. Resiko memiliki keturunan leukemia pada ibu hamil ditentukan
dari pola hidupnya selama hamil seperti mengkonsumsi alkohol, obat terlarang maupun
paparan kimiawi lainnya.
IV. EPIDEMIOLOGI
Insidensi puncak leukemia pada anak adalah ketika berusia 2 6 tahun, terutama sekitar
usia 5 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki laki daripada anak perempuan.
Umumnya leukemia pada anak anak dengan keadaan kromosom yang abnormal. Pada anak
kembar, bila salah satu anak menderita leukemia maka resiko dari kembarannya jauh lebih
besar daripada anak pada umumnya yaitu lebih dari 70% bila anak yang pertama terdiagnosa
kurang dari 1 tahun dan merupakan kembar monokorionik. LLA adalah bentuk leukemia
yang paling lazim dijumpai pada anak yaitu sekitar 85% dari seluruh leukemia pada anak,
prevalensi menurun ketika berusia lebih dari 10 tahun. Sedangkan AML hanya 17%, maka

2
dapat disimpulkan pada anak lebih sering terjadi leukemia akut yaitu 97% dari seluruh
leukemia pada anak dimana leukemia kronik hanya 3%.
V. PATOGENESIS
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia adalah asal mula gugus selnya (clonal),
kelainan proliferasi, kelainan sitogenetik dan morfologi, kegagalan diferensiasi petanda sel
dan perbedaan biokimiawi terhadap sel normal. Leukemia akut dimulai dari sel tunggal yang
berproliferasi secara klonal sampai mencapai jumlah sel yang dapat terdeteksi. Meskipun
etiologinya belum diketahui, namun pada penelitian ditemukan bahwa penyebab (agent) nya
dapat melakukan modifikasi nukelus DNA dan kemampuan ini meningkat bila terdapat
kelainan genetic tertentu seperti translokasi, amplifikasi dan mutasi onkogen seluler sehingga
terbentuklah gugus (clone) yang abnormal.
Transformasi sel pada LMA dapat terjadi pada berbagai jalur perkembangan sel induk
sehingga ekspresinya berupa perkembangan gugus sel tertentu dengan akibat dapat terjadi
berbagai jenis sel leukemia. Misalnya transformasi leukemia terjadi pada sel induk
pluripotent yang akan mengenai eritrosit dan trombosit, atau pada sel induk yang dijuruskan
untuk granulositopoisis atau monositopoisis.
Abnormalitas kromosom yang berkaitan dengan jumlah kromosom, translokasi atau
delesi, yang menunjukkan prognosis dari pasien, dapat dijumpai pada hampir semua
penderita LLA. Dari semua kasus LLA, 85% berasal dari progenitor sel B, 15% berasal dari
progenitor sel T, sedangkan sekitar 1% berasal dari sel B.
VI. MANIFESTASI KLINIS
1. Leukemia Limfoblastik Akut

Secara klinis presentasi dar LLA sangat bervariasi, tidak spesifik dan singkat
bahkan terkadang ada yang bersifat asimtomatik dan terdeteksi ketika melakukan
pemeriksaan rutin. Kebanyakan pasien mendapati keluhan seperti demam selama 3 4
minggu sebelum terdiagnosa, bersifat intermiten. Selain itu juga disertai keluhan karena
kegagalan sumsum tulang seperti :

a. Anemia : pucat, letargi, dyspnea


b. Neutropenia : malaise, ISPA dan infeksi lainnya
c. Trombositopenia : memar spontan, purpura, gusi berdarah dan menoragia.

3
Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa nyeri pada
tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen dan sindrom meningeal
(sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur dan diplopia).

Pada umumnya pemeriksaan fisik dijumpai adanya memar, petekie, limfadenopati


dan hepatosplenomegali. Pada inspeksi pasien akan tampak pucat dan lesu, perdarahan
kulit dapat pula berupa purpura ataupun ekimosis, perdarahan pada mukosa. Keluhan
nyeri tulang dan sendi dapat ditemukan adanya pembengkakan sendi dan efusi terutama
pada ekstremitas bawah. Keterlibatan leukemia terhadap susunan saraf pusat jarang
terjadi, meskipun ada dapat berupa papil edema, perdarahan retina, kelumpuhan saraf
kranial, paraplegia dan paraparese. Tanda lainnya akibat infiltrasi leukosit ke organ lain
berupa pembesaran kelenjar saliva, pembesaran testis, pada ginjal menyebabkan renal
insufisiensi yang ditandai dengan nefromegali. Gangguan pernafasan dapat disebabkan
karena anemia ataupun terdapat massa di mediastinum anterior berupa pembesaran
thymus, biasanya terjadi pada remaja dengan LLA tipe sel T.

2. Leukemia Mieloid Akut

Timbulnya gejala dan tanda pada LMA adalah sama seperti pada ALL yaitu
karena penumpukan sumsum tulang akan sel sel ganas yang menyebabkan kegagalan
sumsum tulang. Maka dari itu, pasien LMA akan mempunyai gejala gejala yang
ditemukan pada kegagalan sumsum tulang ALL juga. Terdapat beberapa gejala pada
LMA yang tidak muncul pada LLA yaitu nodul subkutan, hipertrofi gusi karena infiltrasi
leukosit dan pada LMA dapat terjadi disseminated intravascular coagulation (DIC)
dengan perdarahan yang serius, dapat juga ditemukan tumor local atau kloroma.

3. Leukemia Mieloid Kronik

Meskipun insidensi tertinggi terjadi pada orang dewasa, namun LMK dapat juga
terjadi pada anak anak dan neonatus. Etiologi dan faktor predisposisi tidak diketahui,
pasien sering asimtomatik dengan splenomegali masif pada pemeriksaan rutin anak sehat.
Tetapi dapat juga terjadi gejala seperti demam, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun, nyeri abdomen atau nyeri tulang dan hepatomegali. Ada 3 fase LMK : fase
kronis, fase akselerasi, dan krisis blas. Fase kronis dapat berlangsung selama bertahun

4
tahun, hiperproliferasi elemen myeloid matur, yang nantinya akan masuk ke fase
akselerasi dan fase blas, mengalami leukemia yang nyata dimana secara morfologis
ditemukan mieloblas namun dapat juga terjadi transformasi limfoblas. Saat dimulai fase
blas, jumlah darah meningkat tajam dan tidak terkontrol dengan obat lagi, biasanya
pasien akan meninggal pada usia 3 4 tahun setelah onset.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Untuk membantu menegakkan diagnosa leukemia serta menentukan sudah sejauh mana
progresivitas atau perjalanan dari penyakitnya, diperlukan beberapa pemeriksaan seperti :
1. Pemeriksaan hematologis

Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi


trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung meningkat
meskipun bisa normal atau menurun. Jumlah leukosit adalah hasil yang paling bermakna
pada leukemia dimana terjadi peningkatan massif hingga lebih dari 200.000/mm3 pada
keadaan tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC dan leukostasis. Biasanya
jumlah leukosit berkisar antara 10.000 50.000/mm3 pada LLA dan CML, pada AML
tanpa DIC biasanya dapat sampai diatas 100.000/mm3. Untuk mengetahui keadaan DIC
pada kasus AML juga perlu dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.

2. Pemeriksaan sediaan apus darah tepi

Anemia normositik normokrom umumnya terjadi pada kasus leukemia dimana


terjadi penurunan jumlah ertirosit yang dibentuk tanpa disertai adanya kelainan struktur
atau komponennya. Hasil pemeriksaan SADT menunjukkan ditemukannya sel blas
dengan jumlah yang bervariasi. Khusus pada LMK didapatkan jumlah basophil yang
meningkat dan sel blas tidak banyak dijumpai, namun ketika masuk fase krisis blas secara
morfologis ditemukan mieloblas meningkat, tetapi dapat juga terjadi transformasi
limfoblas.

3. Pemeriksaan sumsum tulang

Diagnosis pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang akan
memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari 30%.

5
Pada LMK yang jarang ditemukan sel blas, hasil pemeriksaan sumsum tulang akan
menunjukkan hiperseluler dengan maturasi mieloid yang normal.

4. Pungsi lumbal

Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat merupakan
tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya dapat menunjukkan bahwa
tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel leukemia.

5. Radiologis

Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi


osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran thymus
dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.

6. Fungsi hati dan ginjal

Uji fungsi hati dan ginjal dilakukan sebagai dasar sebelum memulai pengobatan.

7. Pemeriksaan biokimia darah

Hasilnya dapat memperlihatkan adanya kadar asam urat dan laktat dehydrogenase
serum yang meningkat, dan lebih jarang, hiperkalsemia. Keadaaan hiperurisemia dapat
mengarah kepada gagal ginjal akut.

8. Analisis sitogenetik darah

Pada kira kira 90% kasus, tanda sitogenik yang khas pada leukemia myeloid
kronik yang terlihat adalah kromosom Philadelphia. Kromosom ini berkaitan dengan
t(9;22) klasik. Pemeriksaan sitogenetik untuk leukemia akut bertujuan untuk menentukan
klasifikasi leukemia.

VIII. DIAGNOSIS
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Untuk diagnosis pasti harus dilakukan aspirasi sumsum
tulang, dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan penunjang yang telah
disebutkan sebelumnya. Anemia dan trombositopenia sering tampak pada sebagian besar

6
pasien. Sel leukemia sering tidak tampak pada darah perifer dalam pemeriksaan laboratorium
rutin, meskipun terlihat, sel leukemia tersebut sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal.
Bila hasil analisis darah perifer mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum
tulang harus dilakukan dengan tepat untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan LCS dapat
menentukan derajat LLA. Bila ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS maka disebut
leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat yang berat dan memerlukan terapi SSP dan
sistemik. Dengan ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit > 50.000/mm3, massa
mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1 minggu terapi, maka pasien
disebut LLA dengan resiko tinggi.
Diagnosis LMA dapat diawali sebagai prolonged preleukemia, yaitu kekurangan
produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter, neutropenia dan
trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan leukemia tetapi ada
perubahan morfologis yang jelas, biasanya hiperseluler, kadang hiposeluler yang akan
menjadi leukemia akut. Kondisi ini sering mengarah pada sindrom mielodiplastik dan
mempunyai klasifikasi FAB sendiri.
IX. PENATALAKSANAAN
Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase, diantaranya ialah :
1. Fase remisi induksi
2. Fase intensif
3. Terapi susunan saraf pusat
4. Rumatan
Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari sumsum
tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak lagi tampak secara
morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin setiap minggu, kortikosteroid
(dexamethasone, prednisone) dan L-asparginase. Hasilnya 98% penderita akan mengalami
remisi komplit. Pasien dengan resiko tinggi juga diberikan daunomycin setiap minggu.
Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas < 5% pada
pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12 g/dl tanpa transfusi,
leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS normal. Tujuan pada fase ini ialah
menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat sebelum timbul resisten hingga pasien mencapai
kondisi sembuh. Fase induksi remisi dan intensif dilakukan sampai 4 minggu.

7
Terapi SSP bertujuan untuk mencegah relaps karena seringnya relaps leukemia terjadi di
saraf pusat, selain itu juga dilakukan pada pasien yang ditemukan sel leukemia pada
pemeriksaan lumbal pungsi. Diberikan kemoterapi injeksi metotreksat intratekal pada lumbal
pungsi dan kemoterapi sistemik. Injeksi intratekal metotreksat sering dikombinasi dengan
infus berulang metotreksat dosis sedang (500mg/m2) atau dosis tinggi (3-5 g/mm2). Pada
pasien dengan tanda klinis leukemia SSP perlu pengobatan dengan radiasi otak dan medula
spinalis.
Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per minggu secara
parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun.
Transplantasi sumsum tulang menjadi pengobatan leukemia yang paling efektif, terutama
pada kasus leukemia relaps yang tidak berespons dengan pengobatan konvensional. Beberapa
pendapat mengatakan lebih efektif dilakukan transplantasi pada remisi pertama tetapi masih
diperdebatkan. Meskipun sangat efektif perlu diwaspadai reaksi graft-versus-host atau
bahkan graft-versus-leukemia.
Terapi LMA menggunakan obat cytosine arabinoside (ara-C) 100 200 mg/m2/hari IV
selama 7 hari dan daunorubicin 45 mg/m2/hari selama 3 hari. Pada LMA jarang diberikan
terapi SSP karena jarang relaps pada saraf pusat. Pada LMA tipe M3 pengobatan dengan
asam retinoat yang dikombinasikan dengan antracycline dilaporkan sangat responsive
sehingga tidak diperlukan transplantasi sumsum tulang pada remisi pertama.
Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70% pasien dewasa,
sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat menurunkan leukosit secara
bertahap sementara menunggu respons imatinib. Mengingat bahaya dari krisis blas,
transplantasi sumsum tulang adalah satu satunya pengobatan yang dapat meradikasi sel
leukemia.
Selain pengobatan kuratif, juga diperlukan pengobatan suportif seperti hidrasi,
alkalinisasi dan allopurinol untuk mencegah hiperuisemia akibat kemoterapi yang dapat
membahayakan ginjal. Kemoterapi juga sering menyebabkan mielosupresi sehingga kadang
transfuse eritrosit dan trombosit juga diperlukan. Antibiotik dapat diberikan bila terdapat
infeksi, namun profilaksis harus diberikan untuk mencegah infeksi sekunder khususnya
pneumonia hingga beberapa bulan setelah pengobatan selesai.

8
X. PROGNOSIS
Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa berdasarkan faktor
prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA semakin baik bila responsive terhadap
pengobatan dimana dalam pengobatan 1 minggu sel blas sudah tidak tampak pada darah
tepid an sumsum tulang.Faktor lain yang mempengaruhi peningkatan prognosis LLA adalah
jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia diantara 1 15 tahun, leukemia sel pre-B, jenis
kelamin perempuan dan LLA hyperploid (>50 kromosom). Faktor prognostic yang
memperburuk prognosis pada LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi, sebanding dengan
ukuran splenomegaly, adanya koagulopati, induksi remisi yang lambat, usia < 2 tahun dan >
4 tahun dan leukemia monoblastik.

SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS (SLE)

I. DEFINISI

Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit otoimun yang mengakibatkan


kerusakan organ, jaringan, dan sel yang dimediasi karena kompleks imun dan autoantibodi yang
berikatan dengan antigen jaringan.
II. EPIDEMIOLOGI

Sistemik lupus eritematosus terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak
pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita: laki-laki 5:1. Dalam 30
tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia. Prevalensi SLE di
berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi antara 2,9/100.000
400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, China, dan
mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Prevalensi SLE di Amerika 15-50 per
100.000 penduduk dengan etnis terbanyak yakni Amerika Afrika. Faktor ekonomi dan geografi
tidak mempengaruhi distribusi penyakit.

Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus pada tahun 1998-1990. Di
Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad sendiri belum ada data mengenai prevalensi SLE.

9
III. ETIOPATOGENESIS

Etiologi dan pathogenesis SLE belum diketahui dengan jelas. Meskipun demikian,
terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh
faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik memegang
peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE
mempunya kerabat dekat yang juga menderita SLE. Angka terdapatnya SLE pada kembar
identik 24-69% lebih tinggi dari saudara kembar non identik 2-9%.
Penelitian terakhir yang menunjukkan beberapa gen berikut HLA_DR 2 dan HLA-DR 3
berperan dalam mengkode unsur sistem imun. Gen lain yang ikut berperan seperti gen yang
mengkode sel reseptor T, imunoglobulin, dan sitokin. Sistem neuroendokrin ikut berperan
melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Penelitian menunjukkan bahwa sistem
neuroendokrin dengan sistem imun saling mempunyai hubungan timbal balik. Beberapa
penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu pada individu yang mempunyai predisposisi
genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal pada sel CD4 mengakibatkan hilangnya
toleransi sel T terhadap self antigen. Akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang menyebabkan
induksi dan ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel
memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian diduga hormon seks, sinar UV, infeksi.
Pada SLE autoantibodi terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada
nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di
antaranya adalah dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan kompleks
protein RNA. Ciri khas autoantigen ini mereka tidak tissue spesific dan merupakan komponen
integrasi dari semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti nuclear antibodi). Dengan antigen
spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar di sirkulasi. Klirens kompleks imun
menurun, meningkatnya kelarutan kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam
hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa terjadi pada SLE. Sehingga kompleks
imun tersebut deposit ke luar sistem fagosit mononuklear. Endapannya di berbagai organ
mengakibatkan aktivasi komplemen sehingga terjadi peradangan. Organ tersebut bisa berupa
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dll.

10
IV. MANIFESTASI KLINIS

Gejala konstitusi. Seperti fatigue, penurunan berat badan, demam yang sifatnya tidak
mengancam jiwa. Penurunan berat badan yang terjadi dapat dibarengi dengan gejala
gastrointestinal. Demam dapat lebih dari 400C tanpa leukositosis. Menggigil (-).
Manifestasi renal. Komplikasi ini mengancam jiwa dan terjadi pada 30% pasien dengan
SLE. Nefritis terjadi pada beberapa tahun awal SLE. Gejala awal bisa asimtomatik, sehingga
pemeriksaan urinalisis dan tekanan darah penting. Karakteristik manifestasi renal berupa
proteinuria >500 mg/urin 24 jam, sedimen eritrosit. Klasifikasi glomerulonefritis akibat SLE
terdiri dari beberapa kelas.
1. Minimal mesangial lupus nefritis
2. Mesangial proliferatif lupus nefritis
3. Fokal lupus nefritis
4. Difus lupus nefritis
5. Membranosa lupus nefritis
6. Sklerosis lupus nefritis
Manifestasi neuropsikiatrik. Terdapat 19 manifestasi lupus neuropsikiatrik yang bisa
dibuktikan hanya dengan biopsi. Gejala yang dirasakan berupa nyeri kepala, kejang, depresi,
psikosis, neuropati perifer. Manifestasi sistem saraf pusat berupa aseptik meningitis, penyakit
serebrovaskuler, sindrom demielinasi, nyeri kepala, gangguan gerakan, mielopati, kejang,
penurunan kesadaran akut, kecemasan, disfungsi kognitif, gangguan mood, psikosis. Manifestasi
sistem saraf perifer berupa polineuropati perifer akut, gejala autonom, mononeuropati, miastenia
gravis, neuropati kranial, pleksopati.
Manifestasi muskuloskeletal. Manifestasi yang satu ini merupakan manifestasi yang
paling sering mengungkap terjadi SLE pada pasien. Atralgia dan mialgia merupakan gejala
tersering. Keluhan ini sering kali dianggap mirip dengan artritis reumatoid dan bisa disertai
dengan faktor reumatoid positif. Perbedaannya SLE biasanya tidak menyebabkan deformitas,
durasi kejadian hanya beberapa menit.
Manifestasi kulit. Gejala yang terjadi berikut berupa rash malar dan diskoid. Sering
dicetuskan oleh fotosensitivitas. Bisa terjadi alopesia. Manifestasi oral berupa terbentuknya ulkus
atau kandidiasis, mata dan vagina kering. Perhatikan gambar 1 berikut malar rash dan gambar 2
alopesia berat akibat SLE.

11
Manifestasi hematologi. Berupa anemia normokrom normositer,trombositopenia,
leukopenia. Anemia yang terjadi bisa terjadi akibat SLE maupun akibat manifestasi renal pada
SLE sehingga mengakibatkan terjadinya anemia. Limfopenia < 1500/uL terjadi pada 80% kasus.
Manifestasi paru. berupa pneumositis, emboli paru, hipertensi pul,onal, perdarahan paru,
pleuritis. Pleuritis memiliki gejala nyeri dada, batuk, sesak napas. Efusi pleura juga bisa terjadi
dengan hasil cairan berupa eksudat. Shrinking lung syndrome merupakan sistemik yang terjadi
akibat atelektasis paru basal yang terjadi akibat disfungsi diafragma.
Manifestasi gastrointestinal. Gejala tersering berupa dispepsia, yang bisa terjadi baik
akibat penyakit SLE itu sendiri atau efek samping pengobatannya. Hepatosplenomegali (+).
Terjadinya vaskulitis mesenterika merupakan komplikasi paling mengancam nyawa karena dapat
menyebabkan terjadinya perforasi sehingga memerlukan penatalaksanaan berupa laparotomy.
Manifestasi vaskuler. Fenomena raynaud, livedo reticularis yang merupakan abnormalitas
mikrovaskuler pada ekstremitas, trombosis merupakan komplikasi yang terjadi. Gambar berikut
3 menunjukkan livedo reticularis.
Manifestasi kardiovaskuler. SLE dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada
akhirnya dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris,
valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya.
V. DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997
yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria yang
ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.
1. Rash malar
Eritema, datar atau timbul di atas eminensia malar dan bisa meluas ke lipatan nasolabial
2. Discoid rash
Bercak kemerahan dengan keratosis bersisik dan sumbatan folikel. Pada SLE lanjut
ditemukan parut atrofi
3. Fotosensitivitas
Ruam kulit akibat reaksi abnormal terhadap sinar matahari
4. Ulkus oral
Ulserasi oral atau nasofaring yang tidak nyeri
5. Artritis nonerosif

12
Melibatkan 2 atau lebih sendi perifer dengan karakteristik efusi, nyeri, dan bengkak
6. Pleuritis atau perikarditis
a. Pleuritis: nyeri pleuritik, ditemukannya pleuritik rub atau efusi pleura
b. Perikarditis: EKG dan pericardial friction rub
7. Gangguan renal
a. Proteinuria persisten > 0,5 gr per hari atau kualifikasi >+++
b. Sedimen eritrosit, granular, tubular atau campuran
8. Gangguan neurologis
a. Kejang- tidak disebabkan oleh gangguan metabolik maupun obat-obatan seperti uremia,
ketoasidosis, ketidakseimbangan elektrolit
b. Psikosis- tanpa disebabkan obat maupun kelainan metabolik di atas
9. Gangguan hematologi
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis
b. Leukopenia < 4000/uL
c. Limfopenia < 1500/uL
d. Trombositopenia< 100,000/uL
10. Gangguan imunologi
a. antiDNA meningkat
b. anti Sm meningkat
c. antibodi antifosfolipid: IgG IgM antikardiolipin meningkat, tes koagulasi lupus (+)
dengan metode standar, hasil (+) palsu dan dibuktikan dengan pemeriksaan imobilisasi
T.pallidum 6 bulan kemudian atau fluoresensi absorsi antibodi
11. Antibodi antinuklear (ANA)
Titer ANA meningkat dari normal
VI. PENATALAKSANAAN

Tidak ada kata sembuh untuk SLE, remisi komplit pun jarang terjadi. Oleh karena itu
perlu diperhatikan untuk mengendalikan serangan akut dan mengatur stratefi sehingga dapat
mensupresi terjadinya kerusakan target organ. Tatalaksana diberikan sesuai manifestasi klinis
yang terjadi dan dibagi dalam kelompok yang mengancam nyawa dan tidak mengancam nyawa.
1. Terapi non farmakologis

13
Penyuluhan dan edukasi penting diberikan pada pasien dengan SLE yang baru
terdiagnosis. Berikut adalah beberapa hal penting dalam edukasi SLE.
Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya
Masalah terkait fisik misalnya penggunaan kortikosteroid untuk tatalaksana SLE bisa
menyebabkan osteoporosis sehingga perlu dibarengi dengan latihan jasmani, istirahat, diet,
dan mengatasi infeksi secepatnya serta menggunakan kontrasepsi
Menggunakan payung, lengan panjang atau krem sinar matahari jika terpapar matahari
Memberikan edukasi mengenai terapi yang akan diberikan. Pasien dengan SLE mengancam
nyawa diberikan terapi agresif yakni imunosupresan dan kortikosteroid dosis tinggi,
sedangkan yang tidak mengancam nyawa diberikan terapi konservatif.
2. Terapi farmakologi
1) Sistemik lupus eritematosus ringan
Artritis, artalgia, mialgia. Keluhan ringan diberikan analgetik atau NSAID. Jika tidak
membaik dipertimbangkan pemberian hidroksiklorokuin 400mg/hari. Jika dalam 6 bulan tidak
berefek juga maka stop. Dapat diberikan kortikosteroid dosis rendah 15mg tiap pagi. Atau
metrotreksat 7,5-15 mg/minggu. Atau bisa dipertimbangkan pemberian cox-2 inhibitor.
Lupus kutaneus. Menggunakan sunscreen untuk melindungi tubuh sehingga mengurangi
gejala fotosensitivitas. Sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung
PABA, ester, benzofenon, salisilat dan sinamat. Sunscreen dipakai ulang setelah mandi atau
berkeringat. Dermatitis lupus diberikan kortikosteroid topikal krem, salep atau injeksi.
Antimalaria juga dapat digunakan karena memiliki efek sunblock dan sunscreen.
Fatiq dan keluhan sistemik. Tidak memerlukan terapi spesifik. Cukup menambah waktu
istirahat dan menunjukkan empati.
Serositis. Nyeri dada dan abdomen merupakan tanda serositis. Keadaan ini diatasi dengan
NSAID, antimalaria atau glukokortikoid dosis 15 mg/hari. Pada keadaan berat memerlukan
kostikosteroid sistemik.
2) Sistemik lupus eritematosus yang mengancam jiwa
Keterlibatan organ dapat menyebabkan kerusakan yang ireversibel. Contohnya pasien
dengan lupus nefritis dapat menjadi gagal ginjal kronik. Pasien dengan manifestasi kardiak bisa
menyebabkan gagal jantung, insufisiensi katup jantung, atau tamponade perikardial. Anemia

14
berat atau trombositopenia bisa mengancam nyawa. Keadaan yang demikian memerlukan
campur tangan spesialisasi SLE.
Berikut ini adalah contoh manifestasi yang mengancam nyawa dari SLE
Jantung: vaskulitis/ vaskulopati koroner, endokarditis, miokarditis, perikardial
tamponade, hipertensi maligna
Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia < 1000/uL, trombositopenia < 50000/uL,
trombotik trombositopenia purpura, trombosis vena atau arterial
Neurologis: kejang, penurunan kesadaran akut-koma, stroke, mielopati tranversal,
mononeuritis, polineuritis, optik neuritis, psikosis, sindrom demielinasi
Otot: miositis
Pulmo: hipertensi pulmonal, perdarahan pulmo, pneumositis, emboli/infark paru,
shringking lung, fibrosis interstisial
Gastrointestinal: vaskulitis mesenterika, pankreatitis
Renal: nefritis persisten, glomerulonefritis progresif, sindroma nefrotik
Kulit: vaskulitis, ruam dengan ulserasi difus
Konstitusional: demam tinggi tanpa infeksi yang jelas
Glukokortikoid. Prednison oral 1-1,5 mg/kg/hari atau metilprednisolon bolus 1gram
selama 3-5 hari yang dilanjutkan dengan prednison oral. Respon terapi dilihat selama 6 minggu
pertama, jika respon baik maka dosis steroid diturunkan 5-10% tiap minggu. Setelah sampai
dosis 30 mg/hari diberikan penurunan 2,5 mg/minggu, jika sudah sampai dosis 10-15 mg/hari,
turunkan dosis 1mg/minggu. Jika terjadi eksaserbasi berikan dosis efektif, lalu turunkan lagi.
Imunosupresan. Imunosupresan ini diberikan jika hanya tidak respon dengan terapi
steroid, setelah 4 minggu pemberian. Contoh imunosupresan yang bisa diberikan berupa
siklofosfamid, azatioprin, metotreksat, klorambusil, siklosporin. Pilihan obat tergantung keadaan.
Untuk artritis berat pilihannya adalah metotreksat. Nefritis lupus diberikan siklofosfamid atau
azatioprin. Siklofosfamid bolus 0,5-1 gr/m2 dalam 250 cc NS selama 1 jam diikuti pemberian
cairan 2-3 L/24 jam. Jika ada nefritis, dosis siklofosfamid hanya 500-750 mg/m2. Pemberiannya
selama 6 bulan, kemudian dalam 3 bulan selama 2 tahun. Azatioprin oral 1-3 mg/kg/hari selama
6-12 bulan. Siklosporin 3-6 mg/kg/hari untuk nefritis SLE. Metotreksat 7,5-20 mg/minggu
terbagi 3 dosis oral atau injeksi.

15
Terapi lain seperti imunoglobulin 300-400 mg/kg/hari selama 5 hari berturut-turut untuk
mencegah kekambuhan masih dalam proses penelitian. Selain itu, plasmaferesis juga masih
dalam penelitian.
VII. PROGNOSIS

Studi di Eropa pada 1000 pasien SLE menunjukkan 92% dengan terapi optimal memiliki
survival rate 10 tahun, dan menurun 88% pada pasien dengan nefropati. Usia rata-rata kematian
44 tahun, dan usia tertua untuk kematian 81 tahun. Penyebab kematian terbesar adalah lupus
nefritis.

DEMAM REUMATIK

I. DEFINISI

Demam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai faringitis yang
disebabkan oleh Streptococcus beta hemolyticus grup A.
II. ETIOLOGI

Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi individu,
penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A pada
tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun
serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangan demam reumatik, Streptokokus grup A harus
menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Berbeda dengan
glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit maupun di saluran
napas, demam reumatik agaknya tidak berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik diketahui dari data
sebagai berikut:
a. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi terhadap
Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus hemolyticus grup A, atau
keduanya.
b. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh beta-
Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya sekitar 3% dari

16
individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini
setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak diobati.
c. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat pencegahan
yang teratur dengan antibiotika.
III. FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor Individu
a. Faktor Genetik
b. Jenis Kelamin
c. Golongan Etnik dan Ras
d. Umur
e. Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain

Faktor-faktor Lingkungan

a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk


b. Iklim dan Geografi
c. Cuaca
IV. PATOGENESIS

Meskipun pengetahuan serta penelitian sudah berkembang pesat, namun mekanisme


terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat
bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk ekstrasel; yang
terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase, streptokinase,
disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococcal erythrogenic toxin. Produk-
produk tersebut merangsang timbulnya antibodi.
Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap
beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibodi
terhadap Streptococcus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen
streptococcus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.
ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan paling sering
digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih kurang 80% penderita

17
demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan kenaikan titer ASTO ini; bila
dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap Streptococcus, maka pada 95% kasus demam
reumatik/penyakit jantung reumatik didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap
Streptococcus
Penelitian menunjukkan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas
bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat
streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma streptokokus dan jaringan
saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago artikular.
Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan organ multiple
pada demam reumatik.
Peran antibodi sebagai mediator cedera jaringan belum sepenuhnya diterima. Adanya
antibodi bereaksi silang yang serupa pada serum pasien tanpa demam reumatik mendorong
penelitian mediator imun lain. Data muthakir menunjukkan pada sitotoksitas yang ditengahi oleh
sel sebagai mekanisme alternatife untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa limfosit
darah perifer pasien dengan karditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium
yang dibiak in vitro, dan bahwa serum penderita demam reumatik menghapuskan pengaruh
sitotoksik tersebut. Ini memberi kesan bahwa antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai
pengaruh protektif dalam pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya
adalah bahwa mekanisme imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera jaringan pada
demam reumatik.
V. MANIFESTASI KLINIS
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi
dalam 4 stadium:
a. Stadium I

Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit
waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi
diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-
tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar.
Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.

18
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari
sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

b. Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus
dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu,
kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
c. Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik
(gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik.
VI. PENATALAKSAAN
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A
Pengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera
dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil
dan faring sama dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian
penisilin benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat
badan > 30 kg atau 600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg.
Penisilin oral, 400 000 unit (250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat
digunakan sebagai alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang
sama dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien
yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama
10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang
berdaya lama lebih disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk
profilaksis infeksi streptokokus.
2. Obat analgesik dan anti-inflamasi
Pengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut
demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap
salisitas dapat membantu diagnosis.

19
Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total
100 mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75
mg/kgBB/ hari selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar.
Harus diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan
hiperpne.
Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin
seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia,
kecuali dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan
steroid; prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan
dosis terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi
harus dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison
oral. Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis
harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75
mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison
dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insidens rebound klinis
pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan,
atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan
untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik,
demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat.
Pada sekitar 5-10% pasien demam reumatik, kenaikan LED bertahan selama
berbulan-bulan sesudah penghentian terapi. Keadaan ini tidak berat, tidak dapat
dijelaskan sebabnya, dan tidak perlu mengubah tata laksana medik. Sebaliknya kadar
PCR yang tetap tinggi menandakan perjalanan penyakit yang berlarut-larut; pasien
tersebut harus diamati dengan seksama. Apabila demam reumatik inaktif dan tetap tenang
lebih dari dua bulan setelah penghentian antiradang, maka demam reumatik tidak akan
timbul lagi kecuali apabila terjadi infeksi streptokokus baru.
3. Diet
Bentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian
besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin
dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal
jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi.

20
4. Tirah Baring dan mobilisasi
Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah
sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai
pengobatan dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3
minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama
masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan
pedoman umum; tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini.
Hal penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit,
sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari.
Selama terdapat tanda-tanda radang akut, penderita harus istirahat di tempat tidur.
Untuk artritis cukup dalam waktu lebih kurang 2 minggu, sedangkan untuk karditis berat
dengan gagal jantung dapat sampai 6 bulan. Mobilisasi dilakukan secara bertahap.
Istirahat mutlak yang berkepanjangan tidak diperlukan mengingat efek psikologis
serta keperluan sekolah. Penderita demam reumatik tanpa karditis atau penderita karditis
tanpa gejala sisa atau penderita karditis dengan gejala sisa kelainan katup tanpa
kardiomegali, setelah sembuh tidak perlu pembatasan aktivitas. Penderita dengan demam
kardiomegali menetap perlu dibatasi aktivitasnya dan tidak diperkenankan melakukan
olahraga yang bersifat kompetisi fisis.
VII. PROGNOSIS
Morbiditas demam reumatik akut berhubungan erat dengan derajat keterlibatan
jantung. Mortalitas sebagian besar juga akibat karditis berat, komplikasi yang sekarang
sudah jarang terlihat di negara maju (hampir 0%) namun masih sering ditemukan di
negara berkembang (1-10%). Selain menurunkan mortalitas, perkembangan penisilin juga
mempengaruhi kemungkinan berkembangnya menjadi penyakit valvular kronik setelah
serangan demam reumatik aku. Sebelum penisilin, persentase pasien berkembang
menjadi penyakit valvular yaitu sebesar 60-70% dibandingkan dengan setelah penisilin
yaitu hanya sebesar 9-39%.
Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut
hingga mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka
penyembuhan yang tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur.

21
Informasi ini harus disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan
prognosis yang baik, bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.

POLIMIALGIA REUMATIKA

I. DEFINISI

Penyakit ini merupakan suatu sindrom yang terdiri dari rasa nyeri dan kekakuan yang
terutama mengenai otot ekstremitas proksimal, leher, bahu, dan panggul. Terutama mengenai
usia pertengahan atau lanjut usia. Dapat timbul sebagai prodromal atau manifestasi dari berbagai
penyakit, mungkin pula timbul tanpa penyakit penyebab, disebut polimialgia reumatik primer.

II. ETIOPATOGENESIS

Penyebab Polimialgia Reumatika tidak diketahui. Penyakit ini terutama terdapat diantara
orang kulit putih (kaukasia). Endapan immunoglobulin dalam dinding arteri temporalis yang
mengalami inflamasi juga menunjukkan suatu proses autoimun.

III. MANIFESTASI KLINIS

Polimialgia Reumatika ditandai oleh:

gangguan rasa nyaman yang hebat pada otot-otot proksimal disertai pembengkakan
ringan sendi.
Keluhan rasa pegal yang hebat pada otot-otot leher, bahu, dan pelvis.
Kekakuan pada pagi hari dan sesudah periode tanpa aktivitas
Demam ringan,
Penurunan berat badan
Malaise
Anoreksia
Depresi

Arteritis sel raksasa kadang-kadang menyertai Polimialgia Reumatika dan dapat


menyebabkan sakit kepala, perubahan penglihatan serta klaudikasio rahang.

22
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dari hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan anemia normokrom normositik ringan,


leukositosis ringan, peninggian LED dan factor reuma yang negative. Pada pemeriksaan
radiology, foto sendi umumnya normal, demikian pula dengan elektromiografi.

V. EVALUASI DIAGNOSTIC

Diagnosis Polimialgia Reumatika sulit ditegakkan karena kurangnya spesifisitas hasil tes.
Laju endap darah yang sangat tinggi merupakan tes skrining tetapi tidak pasti. Penegakan
diagnosis Polimialgia Reumatika sangat bergantung pada keterampilan serta pengalaman dokter
yang mendiagnosisnya.

VI. PENATALAKSANAAN

Polimialgia reumatika (tanpa arteritis sel raksasa) diobati dengan kortikostroid dosis
sedang. Preparat NSAID kadang-kadang digunakan untuk penyakit yang ringan. Bagi penderita
arteritis sel raksasa, terapi yang segera dimulai dan kepatuhan yang ketat pada program
kortikosteroid sangat penting untuk menghindari komplikasi kebutaan.

Polimialgia reumatik tanpa arteritis menunjukan respons cepat dan dramatis dalam 1-5
hari dengan dosis kecil prednisone 10-15 mg sehari. Jika terdapat gejala-gejala yang mungkin
disebabkan arteritis cranial, maka dianjurkan pemberian prednisone 600 mg/hari sebagai dosis
awal, diikuti biopsy arteri temporal 1-2 minggu sesudahnya. Prednisone diberikan selama 1-2
bulan sebelum dilakukan tapering off.

VII. PROGNOSIS

Nyeri pada otot dengan gerakan yang baik umumnya sembuh sendiri dalam 6 bulan,
tetapi mungkin sampai 2-3 tahun

23
DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology. Systemic lupus erythematosus research. Education.


Atlanta:Rheumatology; 2012.
Abbas, A. K., Aster, J. C., Kumar, V., & Robbins, S. L. 1. 2013. Robbins basic pathology (Ninth
edition.). Philadelphia, PA: Elsevier Saunders.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, Hauser S, Longo D, Jameson JL. Harrisons principles of
internal medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill;2005.

24

Anda mungkin juga menyukai