Anda di halaman 1dari 27

KARAKTERISASI HIDROGEL YANG DISINTESIS DARI CAMPURAN

POLISAKARIDA ALAMI
DICANGKOKKAN DENGAN AKRILAMIDA MENGGUNAKAN TEKNIK
MIKROWAVE (MW) DAN ULTRAVIOLET (UV)

Diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah polimer

Oleh :

Eva Majidah Nugrahani (101810301001)

Dian Fatmawati (101810301042)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2013
Abstract
Grafting merupakan salah satu metode untuk memodifikasi polimer
sehingga menghasilkan substansi material polisakarida dengan sifat yang lebih
baik dan dapat dimanfaatkan secara luas. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi kondisi yang sesuai untuk proses grafting
(mencangkokkan) monomer sintetis akrilamida ke dalam campuran
polisakarida (PsB) yang terdiri atas pati, kitosan, dan alginat. Proses
pencangkokan dimulai dari pemberian inisiator kalium persulfat dengan
konsentrasi rendah dan crosslink metilenabisakarilamida dengan teknik
penyinaran menggunakan microwave (MW) atau ultraviolet (UV). Perbedaan
perbandingan berat antara Am/PsB sebanyak 0,6-0,96 telah dilakukan. Hidrogel
yang dihasilkan kemudian dikarakterisasi menggunakan Spektroskopi Fourier
Transform Infrared (FTIR), dan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan
beberapa % gas nitrogen. Penelitian ini difokuskan pada perbandingan sampel
hidrogel dalam hal persentase grafting (%G), Efisiensi grafting (%GE), dan %
add-on. UV graft PsB (PsB-g-Am) memberikan hasil tertinggi (157,8%), %GE
(84%), % add-on (61,95%), dan % N (8,79%). Perbandingan swelling antara air
(SWR) yang dicangkokkan dengan air suling (DW) serta larutan dengan variasi
pH 3-13 telah dipelajari. Penggunaan UV untuk pencangkokan hidrogel
memberikan SWR maksimum sebesar 39 g/g. Perbedaan berat Am/PsB ketika
disinari pada sumber memiliki efek langsung pada SWR dari hidrogel yang
dihasilkan.
BAB 1. PENDAHULUAN

Pencangkokan monomer sintetis ke polimer alam merupakan hal yang


menarik karena penerapannya dapat bermanfaat dalam biomedis dan bahan
biodegradable. Kombinasi dari bahan kimia ini akan menghasilkan senyawa atau
bahan-bahan baru yang memiliki sifat baru pula seperti yang diinginkan termasuk
biodegradabilitas. Metode grafting telah terbukti sebagai metode yang cukup kuat
untuk memproduksi substansi yang termodifikasi dalam sifat polisakarida alami.
Polimerisasi pencangkokan dapat disiapkan secara konvensional (secara kimiawi)
atau menggunakan proses radiasi-induksi misalnya sinar gamma, berkas elektron,
MW dan radiasi sinar UV. Secara konvensional, monomer vinil yang
dicangkokkan pada polisakarida alami biasanya menggunakan berbagai inisiator
seperti kalium persulfat (KSP), ammonium persulfat (APS), dan ceric amonium
nitrat (CAN). CAN telah digunakan untuk pencangkokan akrilamida (Am) ke pati
(St) dan memberikan swelling yakni 13 g/g, sementara hasil yang beda
ditunjukkan pada St-g-Am sebesar 5000 g/g dengan menggunakan inisiator yang
sama. Penggunaan inisiator APS juga telah digunakan untuk pencangkokan asam
akrilat (AA) dan campuran Am ke kitosan (Ch) dan menghasilkan SWR 704 g/g
untuk hidrogel yang terhidrolisis. Beberapa penelitian telah mencoba
pencangkokan monomer pada alginat (Alg). Serangkain hidrogel telah disiapkan
melalui pencangkokan asam akrilat ke Alg menggunakan inisiator CAN dan
memberikan SWR sebesar 16 g/g.
Pencangkokan menggunakan teknik radiasi memberikan beberapa
keuntungan jika dibandingkan dengan metode konvensional, seperti
1. Reaktan dapat dipanaskan secara langsung
2. Lajunya cepat dalam suhu ruang
3. Proses polimerisasi dapat dikontrol
Sinar gamma dan elektron dapat digunakan untuk proses pencangkokan pada
berbagai macam monomer dengan perbedaan polimer backbone. Teknik MW
telah digunakan pada penelitian sebelumnya dengan menggunakan inisiator APS
dalam proses pencangkokan Am pada St dan memberikan hasil %G 160% dan
%GE 89%. Pada penelitian yang lain, pencangkokan Am ke kitosan menggunakan
teknik MW tanpa menggunakan inisiator menghasilkan %G sebesar 169%. Am
juga pernah dicangkokkan pada xanthan menggunakan teknik MW dengan
inisiator APS (ammonium persulfat) dan didapatkan hasil %G sebesar 190% serta
%GE 67%. Akrilonitril (AN) dengan inisiator APS jika dibandingkan
menggunakan teknik MW dengan metode konvensional menghasilkan %GE
sebesar 67% selama 0,22 menit untuk MW dan %GE 49% selama 90 menit untuk
hasil dari metode konvensional. Penelitian yang lain juga telah menyebutkan
bahwa pencangkokan AN ke pati menggunakan metode konvensional dan MW
menghasilkan nilai yang lebih besar yakni dengan metode MW %G dan %GE
masing-masing 225% dan 98%, sedangkan dengan metode konvensional %G dan
%GE masing-masing 10 dan 4%. Secara umum, penggunaan teknik radiasi MW
untuk proses pencangkokan monomer vinil pada pati memberikan nilai %GE yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode konvensional.
Perbedaan peralatan antara MW dan UV telah dipatenkan untuk kegunaan
industri. Radiasi UV telah digunakan untuk pencangkokan AA ke pati.
Pencangkokan Am ke kapas juga telah dilakukan menggunakan inisiasi UV yang
digabungkan dengan struktur benzofenon. Data mengenai proses pencangkokan
polimer alami dengan monomer vinil masih terbatas. Maka dari itu, perlu adanya
investigasi mengenai penelitian yang berhubungan dengan prosedur grafting yang
tepat. Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan adalah radiasi MW dan UV
untuk kopolimerisasi cangkok akrilamida ke campuran polisakarida (PsB) dari St,
Ch, dan Alg untuk membentuk produk kopolimer cangkok dengan perbedaan
berat pada Am/St. Produk hasil pencangkokan dikarakterisasi menggunakan
Fourier Transform Infrared (FTIR) Spektroskopi dan Electron Microscope (SEM)
dan dihitung nilai %N, %G, %GE dan SWR.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Grafting
Pencangkokan atau okulasi kopolimerisasi dari selulosa adalah proses
penggabungan polimer sintetik dengan selulosa, untuk menghasilkan materi yang
memiliki sifat-sifat terbaik dari kedua senyawa tersebut, seperti:
Karakter hidrofilik dan hidrofibik
Memperbaiki keelastisitasnya
Penyerapan air, dan
Kemampuan pertukaran ion dan tahan terhadap panas
Ada tiga metode grafting yakni :
1. Grafting from yaitu polimer backbone membawa site aktif yang digunakan
untuk menginisiasi polimerisasi monomer
2. Grafting to yaitu polimer backbone membawa gugus fungsional X reaktif
yang terdistribusi secara random, bereaksi dengan polimer lain yang
membawa gugus fungsi Y
3. Grafting through yaitu adanya makromer dengan BM rendah dan site yang
tidak jenuh, polimer yang sedang tumbuh dapat bereaksi pada site yang tidak
jenuh menghasilkan kopolimer graf
(Kumar, A., Gupta, R.K, 1998).
Diperlukan 3 komponen untuk berlangsungnya grafting lewat transfer rantai :
polimer, monomer, inisiator. Fungsi inisiator adalah untuk mempolimerisasi
monomer sehingga membantu radikal, ion atau kompleks koordinasi polimerik
yang kemudian bisa menyerang polimer asal atau biasa, rasio reaktivitas
monomer-monomer juga perlu dipertimbangkan untuk memastikan grafting akan
terjadi. Juga perlu untuk memperhatikan frekuensi transfer untuk menetapkan
jumlah grafting. Biasanya, campuran homopolimerhomopolimer terjadi
bersamaan dengan kopolimer grafting.

2.2 Hidrogel
Jika terjadi ikatan silang pada polimer yang terdiri atas molekul rantai
panjang dalam jumlah yang cukup, maka akan terbentuk bangunan tiga dimensi
yang berkelanjutan sehingga molekul pelarut akan terjebak diantaranya, terjadi
immobilisasi molekul pelarut, dan terbentuk struktur yang kaku dan tegar yang
tahan terhadap gaya maupun tekanan tertentu (Fadiaz, 1989). Gel yang dapat
menahan air di dalam strukturnya disebut hidrogel (Wang et al., 2004). Air yang
terdapat dalam gel ini merupakan tipe air imbibisi, yaitu air yang masuk ke dalam
suatu bahan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air ini bukan
komponen penyusun bahan tersebut (Winarno, 1997). Hidrogel kimia dibentuk
dari rekasi tidak dapat balik karena melibatkan pembentukan ikatan silang secara
kovalen (Stevens, 2001).
Hidrogel adalah salah satu jenis makromolekul polimer hidrofilik yang
berbentuk jaringan berikatan silang, mempunyai kemampuan mengembang dalam
air (swelling), dan memiliki difusi air yang tinggi (Erizal et al., 2009). Gugus
fungsi hidrofilik yang terdapat pada hidrogel diantaranya OH, -COOH, -
CONH2, dan SO3H, yang dapat menyerap air tanpa larut (Bajpai, A.K. & Giri,
A., 2002). Hal ini karena molekul-molekulnya terikat silang secara kimia maupun
fisika dari rantai polimer hidrofilik (Schacht, E., 1996). Hidrogel memiliki
biokompatibilitas yang sangat baik. Ini karena hidrogel memiliki beberapa sifat
unik yang membuat mereka sangat biokompatibel.
1. Hidrogel memiliki tegangan antarmuka yang rendah dengan cairan
biologis dan jaringan disekitarnya. Ini menurunkan gaya yang digunakan
untuk adsorpsi pelarut dan gaya adhesi sel.
2. Kandungan airnya sangat tinggi karena permukaan hidrogel sangat
hidrofilik dan mampu menstimulasi beberapa sifat jaringan dari alam
dengan kadar air yang tinggi. Hal ini membuatnya sangat biokompatibel.
3. Sifatnya yang lunak dapat meminimalkan iritasi mekanik dan gesekan
pada jaringan disekitarnya (Abdel-Mohsen, A.M., et al. 2004).
Ikatan utama gugus hidrofilik terdiri dari gugus asam karboksilat (-COOH)
yang mudah menyerap air sehingga ketika ada air atau pelarut yang bersentuhan
dengan hidrogel akan terjadi interaksi antara polimer dengan molekul air yang
disebut hidrasi. Mekanisme hidrasi yang terjadi adalah ion dari zat terlarut dalam
polimer seperti COO- dan Na+ akan tertarik dengan molekul polar air seperti pada
Gambar berikut :

Gambar 1.
Mekanisme Hidrasi Polimer Superabsorben
Hidrogel merupakan mempunyai kemampuan mengembang (swelling) dalam air,
tetapi tidak larut dalam air, serta mempunyai kemampuan mempertahankan
bentuk asalnya.

2.3 Swelling
Rasio perbandingan berat hidrogel dalam keadaan menyerap air (swelling)
terhadap berat keringnya atau rasio swelling merupakan salah satu parameter
utama dari hidrogel khususnya untuk pengujian suatu bahan kandidat sebagai
absorben. Fenomena swelling akan jelas terlihat ketika suatu hidrogel tersebut
mampu mengabsorb air. Seperti pada gambar ilustrasi dibawah ini

Gambar 2. Ilustrasi Swelling

Awalnya hidrogel akan kempis pada gambar kiri, dan akan mengembang setelah
mampu mengabsorb air menjadi mengembang pada gambar kanan. Seberapa
banyak air yang terabsorb dalam hidrogel dapat diketahui dengan cara
penimbangan lalu menghitungnya dengan cara berat hidrogel setelah terjadi
swelling dikurangi dengan hidrogel sebelum swelling.

2.4 Polisakarida
Polisakarida adalah polimer yang tersusun dari ratusan hingga ribuan
satuan monosakarida yang dihubungkan dengan ikatan glikosidik. Polisakarida
adalah karbohidrat, sehingga tersusun hanya dari atom karbon (C), hidrogen (H),
dan oksigen (O). Contoh polisakarida adalah pati, glikogen, agarosa, dan selulosa.
Beberapa polisakarida kompleks dapat juga memiliki atom tambahan
misalnya nitrogen, seperti pektin, kitin, dan lignin.

Polisakarida memiliki ukuran molekul yang besar sehingga mudah sekali


ditemukan variasi-variasi di dalamnya. Variasi ini sering dapat dilihat
perbedaannya melalui sifat-sifat fisiknya. Menurut strukturnya, dikenal
polisakarida lurus dan bercabang. Semakin banyak cabang yang dimiliki suatu
molekul membuat polisakarida tersebut cenderung lengket (Anonim, 2013).

2.5 Pati

Pati atau amilum adalah karbohidrat kompleks yang tidak larut dalam air,
berwujud bubuk putih, tawar dan tidak berbau. Pati merupakan bahan utama yang
dihasilkan oleh tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa (sebagai produk
fotosintesis) dalam jangka panjang. Hewan dan manusia juga menjadikan pati
sebagai sumber energi yang penting.

Monomer-monomer glukosa penyusunnya dihubungkan dengan ikatan alfa


1-4. Bentuk pati yang paling sederhana adalah amilosa, yang hanya memiliki
rantai lurus. Bentuk pati yang lebih kompleks adalah amilopektin yang merupakan
polimer bercabang dengan ikatan alfa 1-6 pada titik percabangan. Struktur
monomer amilum ditunjukkan pada gambar 1 (Anonim, 2013).
OH

O
HO
HO H
OH
OH

Gambar 3. Struktur monomer amilum

2.6 Kitosan
Kitosan adalah produk alami turunan dari kitin, polisakarida yang
ditemukan dalam eksoskleton krustacea seperti udang, rajungan, dan kepiting.
Secara kimiawi, kitosan adalah sellulosa seperti serat tanaman yang mempunyai
sifat-sifat sebagai serat tetapi memiliki kemampuan untuk mengikat lemak seperti
busa penyerap lemak dalam saluran pencernaan. Kitosan dapat difungsikan
sebagai penyerap dan pengikat lemak sehingga menimbulkan turunnya berat
badan, mencegah dan menghambat LDL dan meningkatkan HDL (Suptijah 2006).
Kitosan pada umumnya tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut asam
dengan pH di bawah 6 seperti asam asetat, asam format dan asam laktat yang
digunakan sebagai pelarut kitosan dan yang sering digunakan adalah pelarut asam
asetat 1% (Nadarajah 2005).
Kitosan mempunyai sifat mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak
beracun, mempunyai berat molekul yang tinggi, tidak larut pada pH 6,5, dan berat
molekul rata-rata 120.000 Dalton (Protan Laboratories 1987). Menurut Knorr
(1982), kitosan mempunyai gugus amino bebas sebagai polikationik, pengkelat
dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Ornum (1992), menambahkan
bahwa gugus amino bebas inilah yang banyak memberikan kegunaan pada
kitosan. Bila dilarutkan dalam asam, kitosan akan menjadi polimer kationik
dengan struktur linier sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi,
pembentuk film atau imobilisasi dalam beberapa agen biologi termasuk enzim.
Struktur kitosan ditunjukkan pada gambar 2.

Gambar 4. Struktur polimer kitosan

2.7 Alginat
Alginat merupakan suatu kopolimer linear yang terdiri dari dua unit
monomerik, yaitu asam D-mannuronat dan asam L-guloronat. Alginat terdapat
dalam semua jenis algae coklat (Phaeophyta) yang merupakan salah satu
komponen utama penyusun dinding sel. Alginat yang ditemukan dalam dinding
sel algae coklat tersebut terdiri atas garam-garam kalsium, magnesium, natrium,
dan kalium alginat (Kirk dan Othmer 1994). Sifat-sifat fisikokimia seperti
viskositas dan rasio monomer penting artinya dalam pemanfaatan alginat pada
berbagai industri misalnya industri makanan, minuman, kosmetik, cat, tekstil dan
pemanfaatan lainnya. Viskositas dan gel strength merupakan dua karakteristik
kunci dalam kualitas alginat. Rasio monomer yang menyusun alginat juga penting
dalam pemanfaatan terutama dalam kaitan sifat bioaktifnya maupun sifat struktur
dari gelnya. Viskositas maupun rasio monomer alginat juga dipengaruhi oleh
spesies, asal dan proses ekstraksi dari alginatnya. Rasio monomer penyusun
alginat berbeda-beda ditentukan oleh spesies alginofit yang menghasilkannya, dan
tempat tumbuh alginofitnya (Rachmat dan Rasyid 2002).
Sifat-sifat alginat sebagian besar tergantung pada tingkat polimerisasi dan
perbandingan komposisi guluronat dan mannuronat dalam molekul. Asam alginat
tidak larut dalam air dan mengendap pada pH < 3,5 sedangkan garam alginat
dapat larut dalam air dingin atau air panas dan mampu membentuk larutan yang
stabil. Natrium Alginat tidak dapat larut dalam pelarut organik tetapi dapat
mengendap dengan alkohol. Alginat sangat stabil pada pH 5 10, sedangkan pada
pH yang lebih tinggi viskositasnya sangat kecil akibat adanya degradasi -
eliminatif. Ikatan glikosidik antara asam mannuronat dan guluronat kurang stabil
terhadap hidrolisis asam dibandingkan ikatan dua asam mannuronat atau dua asam
guluronat. Kemampuan alginat membentuk gel terutama berkaitan dengan
proporsi L-guluronat (An Ullmans 1998 diacu dalam Maharani dan Widyayanti
2009). Struktur kitosan ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Struktur Monomer D-mannuronat dan asam L-guloronat Penyusun


Kitosan

2.8 Akrilamida
Akrilamida adalah suatu senyawa kimia yang secara alamiah terdapat
dalam produk makanan dan bukan merupakan zat aditif yang sengaja
ditambahkan dalam produk makanan. Senyawa ini terbentuk karena proses
pengolahan tertentu misalnya dengan adanya pemanasan pada suhu tinggi
(Harahap, 2006). Akrilamida sering digunakan dalam penjernihan air minum atau
untuk analisa biomolekul di laboratorium. Sejak tahun 1950, akrilamida
diproduksi dengan cara hidrasi akrilonitril dalam bentuk monomer sedang
poliakrilamida ada dalam bentuk polimer dengan rumus kimia (CH2CHCONH2).
Akrilamida merupakan senyawa kimia berwarna putih, tidak berbau,
berbentuk kristal padat yang sangat mudah larut dalam air dan mudah bereaksi
melalui reaksi amida atau ikatan rangkapnya. Monomernya cepat berpolimerisasi
pada titik leburnya atau di bawah sinar ultraviolet. Akrilamida dalam larutan
bersifat stabil pada suhu kamar dan tidak berpolimerisasi secara spontan (FDA,
2004).
Ditinjau dari struktur kimianya, akrilamida (AAM) yang merupakan
monomer dengan berat molekul yang relatif kecil dibandingkan karaginan serta
adanya gugus ikatan rangkap yang peka terhadap radiasi yang dapat membentuk
ikatan silang, maka AAM pada kompetisi kepekaan terhadap radiasi akan lebih
dahulu mengalami reaksi dibanding karaginan. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengaruh iradiasi menyebabkan AAm berubah menjadi PAAM berikatan silang
membentuk struktur jaringan semi IPN (interpenerating network) dan karaginan
berinterpenetrasi ke dalam jaringan PAAM bertautan satu dengan lainnya saling
menganyam (entanglement) membentuk chain interlocking. Bentuk
pengungkungan semi IPN karaginan dalam struktur jaringan PAAM berikatan
silang dapat diramalkan bentuknya sama seperti bentuk semi IPN. Hal ini
disebabkan dengan naiknya dosis iradiasi, kerapatan ikatan silang dalam hidrogel
meningkat. Sehingga daya difusi air ke dalam jaringan hidrogel berkurang dan
menyebabkan rasio swelling hidrogel relatif turun (Erizal et al., 2009).

Gambar 6. Struktur Molekul Akrilamida

2.9 Kalsium persulfat

Gambar 7. Struktur Molekul Kalsium persulfat


2.10 Metilenbisakarilamida
Untuk mengubah keadaan polimer sehingga tak dapat larut dalam air,
rantai-rantai harus tersambung-silang. Akan tetapi, kemampuan polimer untuk
menggembung (swelling) turun selagi derajat sambung-silang meningkat. Untuk
itu, yang diharapkan bahwa setiap rantai sepanjang mungkin dan tersambung-
silang hanya di beberapa tempat. Salah satu contoh penyambung-silang yang
diperlukan sangat sedikit (sekitar 0,08 mol % relatif terhadap asam akrilat) adalah
N,N-metilenbisakrilamida atau MBA. Zat ini mengandung dua ikatan rangkap
yang reaktif, sehingga dapat tergabung ke dalam dua rantai yang berbeda selagi
polimerisasi berlangsung, sehingga menghasilkan ikatan sambung-silang.
Meskipun MBA memiliki gugus fungsional amina, nampaknya sangat tahan
terhadap hidrolisis (Garner, C.M., et al., 1997 : 95 99).

Gambar 8. Struktur Molekul Metilenbisakarilamida

2.11 MW (microwave)
Gelombang mikro adalah gelombang elektromagnetis dalam cakupan
frekuensi 300-300.000 MHz. Gelombang mikro dapat digunakan sebagai sumber
tenaga untuk memanaskan dan mengeringkan suatu bahan, dan mengkatalisis
reaksi kimia. Salah satu penggunaannya dalam industri kimia adalah oven
microwave. Oven microwave merupakan alat pemanas yang menggunakan
gelombang mikro sebagai pemacu panas. Radiasi gelombang mikro diserap oleh
molekul polar seperti air, lemak, gula serta zat lain pada makanan yang kemudian
mengeksitasi atom-atom zat tersebut dan menghasilkan panas. Pemanasan
berlangsung serentak dan seragam karena semua atom akan tereksitasi dan
menghasilkan panas pada waktu yang bersamaan. Beberapa keuntungan yang bisa
diperoleh dengan menggunakan gelombang mikro antara lain waktu startup yang
cepat, pemanasan yang lebih cepat, efisiensi energi dan biaya proses, pengawasan
proses yang mudah dan tepat, pemanasan yang selektif dan mutu produk akhir
yang lebih baik (Sumnu, 2001). Berikut adalah gambar oven microwave

Gambar 9. Microwave
Prinsip pemanasan menggunakan gelombang mikro adalah bedasarkan
tumbukan langsung dengan material polar atau solvent dan diatur oleh dua
fenomena yaitu konduksi ionik dan rotasi dipol. Dalam sebagian besar kasus,
kedua fenomena tersebut berjalan secara simultan. Konduksi ionik mengacu pada

migrasi elektroforetik ion dalam pengaruh perubahan medan listrik. Resistansi


yang ditimbulkan oleh larutan terhadap proses migrasi ion menghasilkan friksi
yang akan memanaskan larutan. (Husnil, 2009).
Radiasi gelombang mikro berbeda dengan metode pemanasan
konvensional. Radiasi gelombang mikro memberikan pemanasan yang merata
pada campuran reaksi. Pada pemanasan konvensional dinding oil bath atau
heating mantle dipanaskan terlebih dahulu, kemudian pelarutnya. Akibat distribusi
panas seperti ini selalu terjadi perbedaan suhu antara dinding dan pelarut (Taylor,
2005).

2.12 UV
Grafting biasanya terjadi pada letak-letak yang bisa menerima
reaksireaksi transfer, seperti pada karbon-karbon yang bersebelahan dengan
ikatan rangkap dua dalam polidiena atau karbon-karbon yang bersebelahan
dengan gugus karbonil. Radiasi adalah yang paling banyak dipakai untuk
memberikan letak-letak aktif untuk kopolimerisasi grafting. Proses ini dikerjakan
dengan radiasi ultraviolet atau cahaya tampak, dengan atau tanpa potosensitizer
tambahan atau dengan radiasi ionisasi.
Pencangkokkan dengan bantuan sinar UV ( > 300 nm) yang lebih umum
dikenal dengan istilah photografting, diketahui merupakan suatu metode yang
efektif untuk fungsionalisasi berbagai polimer material. Berbagai gugus fungsi
dapat dimasukkan ke dalam suatu polimer (fungsionalisasi) dengan metode
photografting dengan memilih jenis atau sifat yang dimiliki oleh monomer yang
akan dicangkok. Dalam penelitian sebelumnya telah dipelajari photografting
beberapa monomer vinil seperti asam metakrilat, asam akrilat, glisidil metakrilat,
dan N isopropilakrilamida pada film polietilen dengan menggunakan xanthone
(XT) sebagai fotoinisiator. Jumlah monomer vinil yang tercangkok pada film PE
sangat dipengaruhi oleh sistem dan kondisi polimerisasi yang digunakan.

BAB 3. MATERIAL DAN METODE

3.1 Material
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
1. pati jagung
2. kitosan dengan berat molekul sedang
3. asam alginat
4. akrilamida (Am) yang telah dikristalisasi dengan aseton dibawah
suhu 10oC dan disimpan dalam desikator
5. Potasium persulfat (KPS) inisiator
6. metilenbisakarilamida (MBA) crosslink
7. asam asetat
8. etanol
9. NaOH
10. air destilat (DW)
Peralatan yang digunakan selama proses penelitian antara lain :
1. domestic microwave dengan unit temperatur yang terkontrol
2. sistem penyinaran ultaviolet yang terdiri dari balok kayu berisi 6
lampu ultraviolet masing-masing 15 watt dan di set panjang
gelombangnya 254 nm

3.2 Metode
Diagram Alir Penelitian

3 gram Pati 1 gram Kitosan 1 gram Alginat


- Disuspensi dalam 20 mL - dilarutkan dalam 70 mL DW - Dilarutkan dalam 70
DW yang berisi 1wt% as.asetat mL DW
- Distirer 30 menit pada suhu - Distirer 5jam pada suhu kamar - Distirer 4 jam pada
80oC suhu kamar

Hasil Hasil Hasil

- Diaduk 10 menit
PsB

- Ditambahkan KPS 0,6 gram


- Ditambahkan Am
- Ditambahkan 0,1 gram MBA
- dikarakterisasi menggunakan metode penyinaran UV
selama 60 menit dan MW suhu 35oC selama 10
menit
- Didinginkan pada suhu ruang

Hasil
- Ditambahkan 1N NaOH dan 70% etanol
- Distirer 50 menit
- Disaring
- Dicuci 2 kali dengan etanol segar
- Dikeringkan pada suku 70oC
- Ditimbang hingga beratnya konstan
Hasil

Keterangan :
Berat Am divariasikan 3, 3.45, 3.9, 4.35, dan 4.48 gram
Konsentrasi Am 0.2, 0.23, 0.26, 0.29, dan 0.3 mol/L
Perbandingan Am/Psb 0.6, 0.69, 0.78, 0.87 dan 0.96 g/g

3.2.1 Preparasi Campuran Polisakarida (PsB)


Tiga gram pati disuspensikan dalam 70 mL DW dan distirer selama 30
menit pada suhu 80oC. Satu gram kitosan dilarutkan dalam 70 mL DW yang berisi
1 wt% asam asetat dan distirer selama 5 jam pada suhu kamar. Satu gram alginat
dilarutkan dalam 70 mL DW dan distrirer selama 4 jam pada suhu kamar. Koloid
pati yang yang sudah disiapkan sebelumnya ditambahkan dengan larutan kitosan
dan alginat lalu dicampur diaduk selama 10 menit hingga menghasilkan PsB.
3.2.2 Pencangkokan Akrilamida pada PsB
KPS sebanyak 0,6 gram dan Am ditambahkan pada larutan PsB yang telah
dibuat sebelumnya. Berat Am divariasikan yakni 3, 3.45, 3.9, 4.35, dan 4.48 gram
dan konsentrasinya 0.2, 0.23, 0.26, 0.29, dan 0.3 mol/L, lalu ditambahkan Am/Psb
dengan perbandingan 0.6, 0.69, 0.78, 0.87 dan 0.96 g/g. Setelah itu sebanyak 0,1
gram MBA ditambahkan pada masing-masing larutan PsB yang telah disiapkan
sebelumnya. Ketika proses pencangkokan telah selesai, selanjutnya masing-
masing larutan dikarakterisasi menggunakan metode penyinaran UV dan MW
yang dikondisikan secara berbeda yakni pada suhu 35 oC selama 10 menit untuk
MW dan selama 60 menit dengan menggunakan metode penyinaran UV. Produk
yang dihasilkan selanjutnya didinginkan pada suhu ruang.
3.2.3 Tempat Perlakuan
Pencangkokan hidrogel biasanya berada pada pH 8 dan pada penelitian ini
digunakan 1 N NaOH dan larutan etanol 70% yang ditambahkan pada gel dan
distirer selama 150 menit untuk menghilangkan pembentukan homopolimer pada
produk yang dihasilkan. Produk yang telah didapatkan, selanjutnya disaring,
dicuci dua kali dengan etanol segar dan dikeringkan pada suhu 70 oC dan
ditimbang hingga beratnya konstan.

3.3 Karakterisasi dan Analisis


3.3.1 FTIR
FT/IR-6100 tipe A Jasco Japan TGS digunakan sebagai detektor dengan
range absorbansi 500-4000 cm-1 dan kecepatan scanning 2 mm/s.
3.3.2 SEM
Analisis SEM digunakan model JEOL: JXA-840A electron probe micro-
analyzer coupled with energy dispersive analysis by X-ray (EDEX). Sampel
hidrogel dihidrat dengan menggunakan de-ionized (DI) lalu didinginkan dalam
larutan nitrogen sepanjang malam. Sampel yang sudah kering dilapisi dengaan
emas 40 nm. Semua sampel yang telah dilapisi dengan emas sebelumnya, siap
untuk dilakukan pengukuran.

3.3.3 Kandungan Nitrogen (%N)


Kandungan nitrogen dalam sampel hasil pencangkokan diidentifikasi
menggunakan metode Kjeldahl.
3.3.4 %G, %GR, dan % add-on
Perhitungan mengenai %G, %GR, dan % add-on dapat diperoleh dari persamaan
dibawah ini

Dimana W1 adalah produk pencangkokan,W0 merupakan polimer asli dan W2


adalah monomer yang digunakan.
3.3.5 Swelling Water Ratio (SWR)
SWR biasanya digunakan untuk mendiskripsikan tingkah laku swelling
pada pembuatan hidrogel. Hodrogel kering direndam dalam DW dengan
perbedaan pH larutan 3, 5, 7, 9, 11, dan 13 selama lebih dari 48 jam pada suhu
ruangan. Pembengkakan sampel dapat dikurangi dengan menggunakan plastik
saringan selama 10 menit lalu ditimbang. Perhitungan SWR mengukuti persamaan
dibawah ini

SWR ( gg )= WsWdx Wd
Dimana Ws dan Wd dilambangkan pada berat basah dan berat kering dari
hidrogel.

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.1 Karakterisasi psB-g-Am


4.1.1 FTIR
Pencangkokan akrilamida pada PsB dalam penelitian ini diukur
menggunakan 2 metode yakni MW dan UV. Hasil pencangkokan diukur
menggunakan spektra FTIR. Hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Hasil spektra pada gambar A diatas merupakan PsB tanpa pencangkokan dan
diperoleh spektra untuk karakterisasi pati yakni 1157, 1080, 1016, dan 927 cm -1
untuk C=O stretching, 3390 cm-1 pada O-H stretching, serta C-H stretching pada
pita 2926 cm-1. Sedangkan karakterisasi pada kitosan ditunjukkan pada pita 1600
cm-1 yang merupakan keadaan campuran N-H, 1327 cm-1 untuk C-N stretching,
dan 1155 cm-1 untuk jembatan O stretch, serta dua puncak yang muncul pada pita
1618 dan 1440 cm-1 yang menunjukkan adanya -COO- stretching. Karakterisasi
untuk alginat pada hasil spektra FTIR menunjukkan pada pita 819 cm -1 adanya
adanya ikatan Na-O yang terjadi. Untuk PsB yang telah dicangkok, didapatkan
hasil yakni sama pada saat sebelum pencangkokan namun ada penambahan
puncak baru yang terekam pada pita baik menggunakan teknik MW yang
ditunjukkan pada gambar B dan menggunakan teknik UV untuk gambar C. Hal
tersebut dapat diperkuat dengan munculnya ikatan N-H dan C=O stretching pada
hidrogel yang terbentuk yang membuktikan bahwa proses grafting telah terjadi.

4.1.2 SEM
Pengukuran menggunakan SEM untuk sampel murni, sampel yang telah
dicangkokkan menggunakan metode MW maupun UV dapat dilihat pada gambar
dibawah ini
Pada gambar a, b, c, dan d merupakan bahan dasar dari polisakarida yang murni.
Hasil secara fisik untuk gambar (a) yang merupakan pati yakni bentuk oval yang
tidak teratur, permukaan yang relatif lembut. Gambar (b) yang merupakan kitosan
memiliki struktur bersisik, bentuk yang tidak beraturan, dan permukaan yang
berpori. Sifat algian yang ditunjukkan pada gambar (c) memiliki bentuk yang
bulat dan permukaan yang relatif lembut. Untuk gambar (d) merupakan bentuk
kristal dari akrilamida. Bentuk kristal dari hasil pencangkokan akrilamida pada
PsB dengan metode UV dan MW dapat terlihat pada gambar diatas, dapat terlihat
bahwa ada perbedaan permukaan morfologi yang dihasilkan. Pada metode MW
didapatkan hasil permukaan partikel yang berbentuk oval atau bulat berpori dan
pada metode penyinaran UV hasilnya seperti jaringan yang luas dan berpori
banyak.
4.1.3 Nitrogen Percent
Persen nitrogen (%N) yang dihasilkan dari proses pencangkokan
divariasikan perbedaan berat Am/PsB yakni antara 0.6-0,96 dan diukur
menggunakan metode MW dan UV. Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada
gambar dibawah ini
%N maksimum yang didapatkan dengan menggunakan metode penyinaran UV
adalah 8.4% pada berat 0.96. Hal ini juga berlaku pada metode MW yang
didapatkan. Jadi dengan menggunakan kedua metode ini, kenaikan %N semakin
meningkat seiring dengan peningkatan perbedaan berat Am/PsB yang
ditambahkan.

4.1.4 %G, %GE, dan % add-on


Hasil yang diperoleh untuk perhitungan %G, %GE, dan % add-on,
ditunjukkan pada gambar dibawah ini
Pada gambar diatas menunjukkan aktivitas yang hampir sama antara hasil %G,
%GE, dan % add-on. %G, %GE, dan % add-on semakin meningkat dengan
bertambahnya perbandingan berat dari Am/PbS. Keadaan ini dihasilkan karena
kemungkinan pembentukan radikal makro yang dapat menghasilkan beberapa sisi
grafting pada polimer dengan pemindahan pada atom H. Hasil maksimum yang
diperoleh %G, %GE, dan % add-on masing-masing adalah 148%, 67%, dan 51%.
Untuk hasil perhitungan dengan menggunkan metode UV dan MW adalah 208%,
80%, dan 56%.

4.2 SWR (Swelling Water Ratio)


4.2.1 SWR in DW
SWR in DW setelah 48 jam dipelajari untuk persiapan pencangkokan
hidrogel menggunakan metode MW dan UV dan hasilnya dapat dilihat pada
gambar dibawah ini :
Kedua metode yang digunakan dalam pencangkokan hidrogel PsB menghasilkan
peningkatan dengan semakin meningkatnya perbedaan berat Am/PsB dan hasil
maksimum SWR yang didapatkan adalah 32 g/g untuk metode UV dan 25 g/g
untuk hasil pengukuran menggunakan MW. Peningkatan awal pada SWR berasal
dari besarnya ketersediaan monomer disekitar sisi rantai mikroradikal PsB dalam
tahap propagasi dan tingginya kandungan monomer yang dapat meningkatkan
hidrofilisitas dari hidrogel PsB-g-Am, yang nantinya dapat memperkuat afinitas
dalam penyerapan air. Selanjutnya, peningkatan perbandingan Am/Psb
menyebabkan penurunan penyerapan air. Hal ini dapat terjadi karena
1. Pembentukan homopolimer lebih sulit terjadi dan lebih membentuk graft
kopolimer
2. Peningkatan viskositas medium yang menghambat pergerakan radikal
bebas dari molekul monomer
3. Tingginya kesempatan untuk mentransfer rantai ke molekul monomer

4.2.2 Pengaruh pH pada SWR


SWR yang dalam prosesnya dibuat dari pencangkokan Psb menggunakan
2 metode yakni UV dan MW diberi perlakuan keadaan yakni pH yang divariasi
mulai pH 3-13, dan setelah 48 jam hasil yang ditunjukkan dapat dilihat pada
gambar dibawah ini
Keadaan yang paling
maksimum dengan
menggunakan ke dua metode ini adalah pada pH 9 dan nilai SWR maksimum
untuk PsB-g-Am adalah 28 dan 22 g/g masing-masing pada UV dan MW. Hasil
ini mungkin disebabkan karena pembengkakan yang luar biasa terjadi akibat
adanya perbedaan interaksi antar spesies yang dipengaruhi juga oleh pH. Pada
suasana asam dari pH 3-6, perbedaan tekanan osmotik antara larutan internal dan
larutan eksternal dalam jaringan sebanding dengan pembengkakan gel yang
terjadi. Sedangkan pada pH 7-9, gugus asam karboksilat akan terionisasi sehingga
timbul gaya tolak-menolak elektrostatik antara sisi COO yang dapat menyebabkan
peningkatan pembengkakan. Pada pH lebih dari 9, efek perisai dari ion counter
(Na) terbatas pada pH 9-13. Pada pH yang rendah dan tinggi, keberadaan
konsentrasi tinggi dari ion menghasilkan kekuatan ion yang tinggi pula. Ketika
kekuatan ion meningkat, perbedaan tekanan osmotik antara hidrogel dan medium
menurun. Dengan demikian, kapasitas swelling dari hidrogel juga menurun. Kasus
tersebut diperkuat oleh penelitian-penelitian sebelumnya dengan hasil yang sama.
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan
bahwa :
1. PsB yang tersusun atas pati, kitosan dan algian dapat dijadikan sebagai
backbone untuk pencangkokan akrilamida menggunakan metode MW dan
penyinaran sinar UV
2. Swelling hidrogel dipengaruhi oleh pH karena tolakan ionik antar spesies yang
tergabung dalam matriks gel akibat pH eksternal
3. SWR in DW beratnya 8-38 g/g
4. Nilai maksimum %G, %GE dan % add-on untuk metode UV adalah 208%,
80% dan 56%
5. Nilai maksimum %G, %GE dan % add-on untuk metode MW adalah 148%,
67% dan 51%

Daftar Pustaka
Erizal, Dewi, dan Sudrajat, A. 2009. Sintesis Hidrogel Polietilen Oksida Berikatan
Silang dan Imobilisasi Antibiotik dengan Cara Induksi Radiasi Gamma
untuk Aplikasi Pembalut Luka. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi.
ISSN 1907-0322. Vol. 5. No.2.

Erizal. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Hidrogel Superabsorben Poliakrilamida


(PAAM) Berikatan Silang Karaginan Hasil Iradiasi Gamma. Indo. J.
Chem. 10 (1), 12-19.

Anonim. 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Amilum. [9 Desember 2013]

Anonim. 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Polisakarida. [9 Desember 2013]

Suptijah P. 2006. Deskripsi Karakteristik Fungsional dan Aplikasi Kitin dan


Kitosan. Prosiding Seminar Nasional Kitin dan Kitosan

Naradajah K. 2005. Development and Characterization of Antimicrobial Edibel


Film from Crawfish Chitosan. Departement Ilmu Pangan : Universitas
Peradeniya

Knorr D. 1982. Functional Properties Chitin and Chitosan. Journal of food


Science. 47. 593-595

AN ULLMANS ENCYCLOPEDIA. 1998. Industrial Organic Chemicals. Vol.7.

Wiley-VCH, New York : 3993-4002.

Harahap Yahdiana. 2006. Pembentukan Akrilamida Dalam Makanan Dan


Analisisnya.

Anonim. 2013. http://jurnal.farmasi.ui.ac.id/pdf/2006/v03n03/a. [9 Desember


2013]

U.S. Food and Drug Administration (FDA). 2004. Exploratory Data on


Acrylamide in Food.U.S. FDA, CFSAN/Office of Plant & Dairy Foods.

Taylor, M. 2005. Developments in Microwave Chemistry. Evalueserve. All Right


Reserved.

Suka, Irwan Ginting . Kopolimerisasi Cangkok (Graft


2010.
Copolymerization) N-Isopropilakrilamida Pada Film Selulosa
Yang Diinduksi Oleh Sinar Ultraviolet Dan Karakterisasinya.
MAKARA, SAINS, VOL. 14, NO. 1, APRIL 2010: 1-6

Anda mungkin juga menyukai