Di Balik Perpecahan
SukarnoHatta
***
10
11
12
13
14
15
16
17
18
kibar, lengkap
dengan tangan-
tangan bangsa
Indonesia
mengepal pe
nuh luapan se
mangat.
Pada catatan
cover story yang
ditulis oleh
Robert Sherood
itu, Sukarno
digambarkan
sebagai seorang
pria Indonesia
dengan tinggi badan 5 kaki 8 inci ( 1,72 meter).
Berwajah tampandan pandai berpidato. Ia juga
mendapat julukan si Kamus Indonesia. Topik
yang diangkat majalah Time ketika itu, selain
mengungkap sosokSukarno,juga mengulas
tentang situasi Indonesia yang sedang bergolak.
Situasi yang melatarbelakangi penerbitan majalah
Time tadi, adalah situasi di mana Sukarno atas nama
bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan
bangsanya di saat Jepang bertekuk lutut kepada
Sekutu. Tahun 1946, tahun pendaratan Sekutu, dan
19
20
21
22
23
Pidato PertamaSukarno
24
25
26
27
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
dan menjadi
kendaraan
politik
Sukarno.
Akan tetapi,
sebagai
seorang
Presiden, ia
kemudian
tidak lagi
berpartai. Ia
menaungi
seluruh partai
politik. Ia
menjadi bapak
bangsa. Ini yang tidak pernah ditiru oleh para
penerusnya, baik Soeharto (Golkar), Habibie
(Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDI-P),
Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat).
Mereka tidak pernah melepaskan diri dari
partainya, karenanya, tidak ada satu presiden pun
(setelah Bung Karno) yang benar-benar berdiri
di atas semua golongan, menjadi pengayom bagi
seluruh rakyatnya.
***
43
44
45
para personel
pengawal.
Mereka,
di bawah
komando
Mangil,
kebetulan
memang bisa
memainkan
beragam alat
musik. Maka,
dalam tugas
mengawal
BK bertugas
ke mana
pun, anggota DKP tidak pernah lupa membawa
peralatan musik. Mereka harus siap seandainya
di luar jadwal resmi, tiba-tiba Presidennya
menghendaki ada acara ramah-tamah ditambah
selingan melantai lenso. Itu salah satu kegemaran
Bung Karno. Dia bisa dua-tiga jam nonstop
melantai lenso dengan berganti-ganti pasangan
wanita.
Sempat, para pengiring mencoba mengubah irama
musik, karena merasa bosan memainkan jenis
musik dan lagu yang sama berjam-jam bahkan
46
bertahun-
tahun
selama
mereka
menjadi
pengawal
pribadi
Bung
Karno.
Irama
yang baru itu, menurut para pemusik, tetap enak
jika dipakai melantai dan berlenso. Apa yang
terjadi? Seketika Bung Karno membentak tidak
setuju, dan memerintahkan kembali ke irama
semula.
Beberapa saat berlalu, upaya mengganti irama
masih dilakukan, sekali-dua. Betapa tidak, mereka
benar-benar merasa bosan memainkan irama
musik dan lagu yang itu-itu saja. Respons Bung
Karno? Sama, ia tetap melotot dan emerintahkan
kembali ke irama cha-cha. Sejak itu, mereka tak
pernah lagi berani mengubah irama musik setiap
mengiringi Bung Karno menari lenso.
Menurut ajudan Bung Karno, Bambang
Widjanarko, hobinya menari lenso, pernah
ditunjukkan secara ekstrem di Roma, Italia.
47
48
49
50
Perjalanan
sepasang
merpati
penuh cinta
ini, akhirnya
dikaruniai lima
orang putra-
putri: Guntur,
Mega, Rachma,
Sukma, dan
Guruh. Belum
genap mereka
mengarungi
bahtera
rumah tangga,
Sukarno tak
kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain
bernama Hartini.Inilah pangkal sebab terjadinya
perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan
Fatmawati.
Bagaimana Bung Karno menjelaskan ihwal
perpisahan itu? Adalah sebuah misteri, sampai
ketika salah seorang ajudan dekatnya, Bambang
Widjanarko, pada suatu sore di tahun 1962,
memberanikan diri mempertanyakan hal itu.
Bambang adalah salah satu ajudan yang diketahui
51
52
53
54
55
56
57
desukarnoisasi.
Contoh nyata, ideologi Pancasila yang dicetuskan
Sukarno pada 1 Juni 1945, berusaha dilupakan,
diganti dengan proyek BP-7 melalui penataran-
penataran P-4 (Pedoman Penghayatan, dan
Pengamalan Pancasila). Jangankan memperingati
lahirnya Pancasila tiap 1 Juni, menyebut nama
Sukarno saja seperti dianggap tabu.
Rezim Soeharto, rezim Orde Baru pengganti Orde
Lama pun mengubur nama besar Sukarno berikut
semua jasanya bagi bangsa dan negara Indonesia.
Para pengikutnya yang setia pun dikerangkeng,
dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan.
Ironisnya, anak bangsa yang termasuk kategori
Sukarnois diidentikkan sebagai penganut paham
komunis, karenanya harus distempel manusia
terlarang dengan berbagai kategori dan tingkatan.
Jasad Bung Karno, dimakamkan di Blitar oleh
Soeharto dengan alasan supaya dekat dengan
ibunya. Padahal, Sukarno sendiri berkehendak
dimakamkan di antara bukit yang berombak,
di bawah pohon rindang, di samping sebuah
sungai dengan udara segar impian yang bahkan
dituliskannya dalam sebuah testamen.
Ya, permintaan terakhir Sukarno agar dikubur
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
sekelilingnya.
Ihwal mengapa
Bung Karno
begitu mudah
dicintai wanita,
itu karena
terhadap
setiap wanita
yang sedang
dihadapinya,
ia selalu dapat
mencurahkan
perhatiannya,
yang seolah-
olah hanya
tertuju kepada
wanita itu. Tentu saja, wanita tadi akan merasa
dia sajalah wanita yang paling dihargai dan paling
dicintai oleh Bung Karno.
Hal lain yang secara alami melekat pada pesona
Bung Karno adalah taraf intelektualitasnya yang
tinggi, serta sikap gallant setiap menghadapi
wanita, tak peduli tua atau muda. Gallantry Bung
Karno inilah yang pertama-tama akan membuat
wanita senang, merasa dihargai oleh Bung Karno.
Seperti ditunjukkan dalam banyak peristiwa,
74
75
itu.
Beberapa
komen
Bung
Karno
misalnya,
Lipstick-
mu tidak
cocok
dengan
kebaya
yang kau
kenakan.
Atau, Nyonya kelihatan jauh lebih muda dengan
tatanan rambut yang baru. Itu hanya beberapa
komentar spontan Bung Karno terhadap wanita-
wanita yang dijumpainya. Termasuk para istri duta
besar yang dikenal baik.
Bahkan, pernah dalam suatu acara yang dihadiri
para wanita sosialis di Istana Merdeka, Bung
Karno menunjukkan sikapnya yang begitu
spontan. Pada saat para tamu yang kebanyakan
wanita itu kesulitan mencari tempat duduk, karena
saking banyaknya yang datang, tiba-tiba Bung
Karno berteriak, Hei wanita-wanita cantik,
mari ke sini! Duduk dekat saya.
76
Mendengar
Bapak
berteriak
begitu,
spontan
para wanita
yang
memang
tidak
kebagian
kursi,
berhambu-
ran ke
depan,
mendekati Bung Karno. Bahkan, para wanita yang
sudah mendapat kursi, rela meninggalkan kursinya
dan ikut menyerbu mendekati Bung Karno. Semua
berebut untuk mendekat. Begitu kuat daya tarik
Bung Karno.
Hal lain yang membuat Bung Karno begitu mudah
disenangi lawan bicara, termasuk para perempuan,
adalah sikapnya yang terbuka. Terhadap orang
yang baru dikenalnya sekalipun, Bung Karno
tak segan-segan memberi perhatian khusus,
seolah sudah mengenal lama. Ini membawa
kesan mendalam kepada siapa pun yang pernah
77
78
79
80
81
82
83
84
85
seorang
seniman sejati.
Di Ende, ia
membentuk
grup kesenian
tonil, sejenis
kelompok
sandiwara yang
diberi nama
Kelimutu. Nah,
Riwu adalah
salah satu aktor
di kelompok
kesenian tonil
itu.
Nama Kelimutu diambil Bung Karno sebagai
salah satu bentuk pemujaan dia terhadap Gunung
Kelimutu. Gunung itu terletak di Desa Pemo,
Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau
Flores, Nusa Tenggara Timur. Gunung ini
memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya.
Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna
karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu
merah, biru, dan putih. Walaupun begitu, warna-
warna tersebut selalu berubah-ubah seiring dengan
perjalanan waktu.
86
Bung Karno
sendiri orang
yang sangat
mengagumi alam
beserta isi dan
keindahannya.
Tidak heran jika
ia mengabadikan
nama Gunung
Kelimutu
sebagai nama
grup tonil yang
dibentuknya
selama ia hidup
di pengasingan
Ende. Nah, kita kembali ke sosok Riwu Ga.
Sosok Riwu Ga, diungkap cukup tuntas oleh
wartawan senior, sekaligus sahabat saya, Peter A.
Rohi dalam sebuah buku yang berjudul Riwu
Ga, 14 Tahun Mengenal Bung Karno, Kako
Lami Angalai?. Pada salah satu bagian buku,
yang mengisahkan kesenimanan Bung Karno,
juga memuat naskah asli karya Bung Karno yang
tersimpan rapi di tangan Rachmawati. Dan, atas
seizin Rachmawati pula, lakon-lakon tonil karya
Bung Karno di-publish oleh Peter A. Rohi.
87
88
89
90
91
Bung Karno.
Katanya, selama
delapan tahun
menjadi ajudan
Bung Karno,
belum pernah
sekalipun
ia melihat
Bung Karno
mengenakan
pakaian
adat. Hal ini
tentu saja
mendatangkan
pertanyaan
banyak pihak, termasuk Bambang. Karenanya,
pada saat santai di tahun 1964, Bambang melihat
satu kesempatan yang baik untuk menanyakan hal
itu. Dan, ... Bung Karno pun memberi penjelasan
.
Sejak dulu sampai sekarang dan untuk
seterusnya, yang amat aku dambakan adalah
kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
Karena aku ditakdirkan menjadi pemimpin,
dan sekarang menjadi Presiden Indonesia, aku
harus mengorbankan kesukuan Jawaku, untuk
92
93
Gubernur Bali
berpakaian
adat Bali, itu
baik sekali;
mereka itu
memang
kepala dari
daerah yang
dipimpinnya.
Sedangkan
untuk presiden
atau menteri,
seyogianya
tidak
berpakaian
daerah, karena
mereka adalah pemimpin seluruh Indonesia. Nanti
bila ia tidak menjabat lagi, barulah bebas dan boleh
berpakaian apa saja yang ia senangi.
Itulah pendapat Bung Karno tentang pakaian
adat. Tidak heran, kalau Bung Karno begitu
dicintai seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang
sampai Merauke. Cinta rakyat yang tulus
sebagai balasan atas ketulusan Sukarno yang rela
melepas segala atribut kedaerahan, kepartaian, dan
kepentingan pribadinya untuk bangsa dan negara
94
95
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
benar
tak
ingin,
sahabat-
nya
bermu-
ram
durja.
Alhasil,
Bung Karno pun membalas senyum Hatta sambil
melanjutkan sapaan lemahnya, Hoe at het met jou
(Bagaimana keadaanmu?)
Jebol juga pertahanan hati Hatta. Gejolak antara
rasa haru, iba, sejuta tanya, bercampur menjadi
satu demi melihat kondisi Karno yang begitu
memprihatinkan. Hatta benar-benar tak kuasa
lagi merekayasa raut teduh. Hatta benar-benar
tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi
mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa
Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa
penuh nostalgia. Apalagi, usai berkata-kata lemah,
Sukarno menangis terisak-isak.
Lelaki perkasa yang ketika muda sering menulis
artikel dengan nama samaran Bima itu menangis
di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta
pun tak kuasa membendung air mata. Kedua
114
sahabat
yang lama
berpisah,
saling
berpegang
tangan
seolah
takut
terpisah.
Keduanya
bertangis-tangisan.
No.
Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan,
sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh
memilukan, menyayat hati siapa saja yang
mendengarnya. Bibirnya bergetar menahan
kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya
terguncang-guncang karena ledakan emosi yang
menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata.
Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan,
sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan
kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas.
Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata
keduanya bertatapan mereka berbicara melalui
bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang
tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu.
115
116
117
memberinya
duvadilin
(mencegah
kontraksi ginjal),
metadone (peng
hilang rasa
sakit), royal jeli,
suntikan vitamin
B1 dan B12, serta
testoteron. Selain
itu, Sukarno
tiap malam juga
minum valium.
Tiap malam minum valium selama tahunan,
tentu saja membuat tidurnya tak lagi terkontrol.
Akibatnya Sukarno mulai sering merasakan
pusing. Setiap itu pula, perawat memberinya obat
pengurang rasa sakit, novalgin.
Perawatan yang sembrono juga sering terjadi,
ketika Bung Karno terbangun tengah malam dan
muntah darah, dokter Soeroyo hanya memberinya
vitamin. Sementara, dokter Mahar Mardjono yang
disebut-sebut sebagai ketua tim, sama sekali tidak
pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap
dalam dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan
oleh Siti Khadijah, yang tak lain adalah istri dokter
118
Soeroyo.
Ihwal Siti Khadijah ini sendiri, menemukan
dokumen itu secara tidak sengaja. Ketika suaminya
meninggal, dan sedang melakukan bersih-bersih
ruangan, ia menemukan dokumen tersebut.
Ia sempat bingung, mengingat eranya belum
memungkinkan ia membeberkan ke publik.
Terlebih, kekuatan Soeharto dan pemerintahan
Orde Baru-nya masih begitu dominan.
Kegusarannya timbul manakala Ratna Sari Dewi
Soekarno sempat mengeluarkan pernyataan yang
kontroversial seputar kematian Bung Karno. Ia
spontan teringat
dokumen
tersebut,
yang bisa
menjernihkan
keadaan. Maka,
ia pun berusaha
sekuat tenaga
menghubungi
putra-putri
Bung Karno.
Yang pertama
kali ia datangi
adalah Mega-
119
wati
Soe-
karno-
putri.
Sayang,
ia tidak
bisa
berte-
mu,
lantaran
Mega
tengah berada di luar kota. Petugas yang berada
di rumah, tidak bisa meyakinkan Siti Khadijah,
sehingga ia tidak jadi menitipkan dokumen
tersebut.
Ia pun beralih menjumpai Guntur Soekarnoputra.
Sayang, usaha ini pun gagal. Sampailah saatnya ia
bertemu seorang wartawan, yang mengantarnya
ke Rachmawati Soekarnoputri. Dokumen itu
pun beralih tangan ke Rachma, hingga akhirnya
Rachma pula yang berbicara di media massa,
sekaligus mengklarifikasi simpang-siur kematian
ayahnya.
Benar adanya, bahwa sejarah pada akhirnya akan
mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.
Benar pula, bahwa ada kecenderungan yang seolah
120
121
122
123
Sejurus
kemu-
dian,
jenazah
Bung
Karno
sudah
melun-
cur
membelah jalanan ibu kota dibawa ke Wisma
Yaso, rumah Dewi Sukarno (sekarang Museum
Satria Mandala) di Jl. Gatot Subroto. Wisma yang
tak berpenghuni beberapa hari terakhir, sangat
menyedihkan keadaannya. Kotor, berdebu, senyap
dan singup.
Sementara itu, masyarakat ibu kota yang sudah
mendengar berita kematian Bung Karno, tanpa
adanya komando, langsung menyebarkan berita itu
dari mulut
ke mulut.
Tidak
sedikit
yang
secara
atraktif
dan atas
124
inisiatif
sendiri
menyebar
berita itu
melalui
berbagai
cara. Tak
heran bila
dalam
waktu
sekejap saja, masyarakat ibu kota sudah berjejal
merangsek ke arah Wisma Yaso, hendak memberi
penghormatan terakhir kepada tokoh yang
dikagumi dan dicintai.
Berbagai unsur masyarakat berduyun-duyun ke
Wisma Yaso, baik tokoh politik, tokoh militer,
tokoh sipil, hingga rakyat jelata tanpa pangkat dan
kedudukan. Tak terkecuali, Presiden Soeharto dan
Ibu Tien juga hadir di sana, setelah sebelumnya
petugas Paspampres melakukan pembersihan
lokasi.
Diketahui pula, pada pukul 07.30, atau 30 menit
setelah berpulangnya Bung Karno ke Rahmatullah,
Soeharto dan Ibu Tien datang ke RSPAD. Dalam
otobiografinya, Soeharto mengatakan, Waktu
saya mendengar beliau meninggal pada 21 Juni
125
1970,
cepat
saya
menje
nguknya
di rumah
sakit.
Setelah
itu barulah aku berpikir mengenai
pemakamannya. Dan hari itu, menjadi pertemuan
terakhir setelah Soeharto menjatuhkan Bung
Karno, dan tidak menemuinya lagi sejak 1967.
Sebelumnya, Soeharto hanya menyadap berita
tentang Sukarno dari para petugas yang dipasang
sejak di Wisma Yaso hingga di RSPAD Gatot
Subroto. Termasuk, berita kematian Sukarno
pun didapat dari hasil laporan cepat petugas yang
dipasang di sekitar Sang Proklamator yang sedang
sakaratul maut.
Dalam beberapa kesempatan, sikap Soeharto
terhadap Sukarno dikatakannya sebagai mikul
dhuwur, mendem jero. Falsafah Jawa itu sejatinya
mulia, karena mengandung makna menghormati
setinggi-tingginya, dan menyimpan atau mengubur
aib sedalam-dalamnya. Falsafah itu oleh Soeharto
diartikan dengan mengasingkan Sukarno, dan
126
mem
bunuh
nya
pelan-
pelan
dalam
kerang
kengan
kejam di
Wisma Yaso hingga menjelang ajal.
Tanggal 22 Juni, atau sehari setelah kematiannya,
jenazah Sukarno dibawa ke Blitar, Jawa
Timur lewat penerbangan dari bandara Halim
Perdanakusuma ke Malang. Shalat jenazah sudah
dilakukan malam harinya, dengan imam Menteri
Agama K.H. Achmad Dahlan, sedang shalat
jenazah yang diikuti pula oleh rakyat, diimami
Buya Hamka.
Masih menurut buku TRAGEDI SUKARNO
tulisan Reni Nuryanti, ada catatan menarik lain
tentang makam Sukarno, yang ternyata hanya
dimakamkan di bekas Taman Makam Pahlawan
Bahagia Sentul, Blitar. Nah, ihwal dimakamkannya
jenazah Sukarno di Blitar, Soeharto berdalih,
adanya dua kehendak, antara permintaan
almarhum Bung Karno agar dimakamkan di Bogor,
127
128
129
130
131
Jakarta,
ditemani putri
angkatnya,
Ratna Juami.
Dalam batin,
ia harus
memberi
penghormatan
kepada
mantan suami
yang telah
ia antar ke
pintu gerbang
kemerdekaan.
Setiba di Wisma Yaso, di tengah lautan massa
yang berjubel, berbaris, antre hendak memberi
penghormatan terakhir, Inggit tentu saja
mendapat keistimewaan untuk segera diantar
mendekati peti jenazah. Di dekat tubuh tak
bernyawa di hadapannya, Inggit berucap, Ngkus,
geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun
(Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit
doakan .). Sampai di situ, suaranya terputus,
kerongkongan terasa tersumbat.
Dari kejauhan, tampak badan Inggit yang sudah
renta dan lemah, terhuyung diguncang perasaan
132
sedih. Para
pelayat,
dalam hati
tentu saja
mengkha
watirkan
Ibu Inggit
pingsan.
Sontak,
Ibu
Wardoyo,
kakak kandung Bung Karno (nama aslinya
Sukarmini) memapah tubuh tua Inggit, dan
mengajaknya menjauh selangkah demi selangkah
dari peti jenazah.
Lain lagi reaksi dan sikap Fatmawati, istri ketiga
Bung Karno yang pergi meninggalkan Istana
setelah Bung Karno menikahi Hartini. Ia adalah
sosok perempuan yang teguh pendirian. Fat
sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma
Yaso. Karenanya, begitu mengetahui ayah dari
lima putra-putrinya telah meninggal, ia segera
memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah
suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl.
Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan meski
sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan
133
134
135
136
137
138
139
Wisma Yaso
yang sejak
siang sudah
dijejali
kerumunan
rakyat yang
hendak
melayat,
tidak juga
surut hingga
malam hari.
Bambang
pun masuk dalam antrean pelayat, yang berjalan
menuju ruang tengah Wisma Yaso setapak demi
setapak. Suasana ketika itu dilukiskan sebagai
sangat mengharukan. Tidak terdengar percakapan,
kecuali isak tangis, dan bisik-bisik pelayat. Di
sudut ruang, masih tampak kerabat dan pelayat
yang tak kuasa menahan jeritan hati yang
mendesak di rongga dada, hingga tampak tersedu-
sedu.
Tiba di dekat peti jenazah, Bambang melantunkan
doa, Ya Tuhan, Engkau telah berkenan memanggil
kembali putra terbaik negeri ini, Bung Karno.
Terimalah kiranya arwah beliau di sisi-Mu. Sudilah
Engkau mengampuni segala dosa-dosanya dan
140
141
142
143
144
145
baktikan.
Terima kasih, ya Tuhan, Engkau telah memberi
kami seorang manusia Sukarno yang telah lahir
dalam permulaan abad ke-20, dan membebaskan
bangsa ini dari penjajahan tiga setengah abad.
***
146
147
148
bangunan
rusak akibat
perang
saudara
antara
rezim yang
berkuasa
dengan para
gerilyawan
pimpinan
Osvaldo
Dorticos,
Fidel Castro, Che Guevara, dan lain-lain. Dalam
keadaan seperti itu, Bung Karno diundang ke sana
oleh Fidel Castro yang waktu itu masih menjabat
Perdana Menteri, sedang Presidennya Osvaldo
Dorticos.
Nah, suatu ketika, Bung Karno dan rombongan
dibawa dalam iring-iringan mobil yang meluncur
di jalan-jalan raya kota Havana yang mulus.
Tiga sepeda motor membuka jalan sebagai kawal
depan konvoi, atau yang kita kenal dengan istilah
vooridjer. Raungan sirine yang membawa tamu
negara dari Republik Indonesia itu, tentu saja juga
disambut rakyat Kuba pada umumnya.
Dalam perjalanan tersebut, tiba-tiba pimpi
149
150
dikemba
likan
kepada si
pengemudi
mobil
kepresi
denan.
Setelah
korek
berpindah
tangan, tangan kanannya langsung memberi
hormat kepada Bung Karno, dan tancap gas
meluncur ke depan lagi, sambil seperti cowboy
memberi tanda agar konvoi bergerak maju,
melanjutkan perjalanan. Dengan gagahnya, ia
meneruskan tugas pemimpin konvoi sambil
mengisap cerutu Kuba dengan nikmatnya.
Melihat kejadian tadi, Bung Karno spontan
tertawa terbahak-bahak . Rupanya ia cukup
mengerti tentang kejadian yang baru saja terjadi,
bahwa Kuba masih dalam euforia revolusi.
***
151
152
153
154