Tabel 1.
Gambaran Derajat Desentralisasi Fiskal
Propinsi Bali Tahun 2004-2008
(dalam juta rupiah)
TPD APBD
2004 559,558,657 44,132,414 192,805,720 9,938,965 806,435,756 806,558,657
% terhadap TPD 0.69 0.05 0.24 0.01 -
% terhadap APBD 0.69 0.05 0.24 0.01 -
2005 742,886,075 61,440,427 199,924,000 8,832,000 1,013,082,502 1,013,082,505
% terhadap TPD 0.73 0.06 0.20 0.01 -
% terhadap APBD 0.73 0.06 0.20 0.01 -
2006 729,338,160 68,290,130 353,306,000 - 1,150,934,290 1,150,934,289
% terhadap TPD 0.63 0.06 0.31 - -
% terhadap APBD 0.63 0.06 0.31 - -
2007 834,475,058 88,771,234 436,533,000 8,225,112 1,368,004,404 1,368,004,404
% terhadap TPD 0.61 0.06 0.32 0.01 -
% terhadap APBD 0.61 0.06 0.32 0.01 -
2008 922,656,729 92,320,443 460,129,338 - 1,475,106,510 1,475,120,112
% terhadap TPD 0.63 0.06 0.31 - -
% terhadap APBD 0.63 0.06 0.31 - -
Sumber: Propinsi Bali dalam Angka, Data BPS dari Tahun 2004-2009
Masih rendahnya derajat desentralisasi mengindikasikan beberapa hal
yakni tax effort pemerintah propinsi Bali belum maksimal, daya bayar pajak
1 Lihat Penelitian Azhari A Samudra, 2008, Kinerja Organisasi Dinas Pendapatan Daerah
Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Pendekatan Systems Thinking dan System
Dynamics, Disertasi, FISIP-Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 214, tidak dipublikasikan.
2 Menurut Devas et.all, 1989 (dalam buku Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, Penerbit
UI Press, Jakarta), terdapat tiga tolok ukur di dalam mengukur keberhasilan daerah untuk
meningkatkan penerimaannya yaitu hasil, efektivitas dan efisiensi. Hasil (yield) menyangkut
tentang upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak (tax effort) karena hasil itu
membandingkan antara jumlah pajak yang dipungut dengan produk domestik regional bruto
(PDRB), hal. 61.
Hasil tax effort yang diperoleh oleh Propinsi Bali cukup baik karena
berada di atas 1%. Sebagai perbandingan, Stotsky dan Mariam (1997:1)
dalam studinya tahun 1990-1995 di 43 negara Sub Sahara Afrika
menjelaskan bahwa tax effort negara-negara bagian tersebut sangat rendah,
di bawah 1%. Hal ini disebabkan oleh upaya atau usaha untuk menggali
pajak-pajaknya juga rendah. Upaya optimalisasi pajak negara-negara
tersebut dilakukan dengan upaya meningkatkan tarif pajak, mengkaji ulang
peraturan pajak, insentif petugas pajak dan sebagainya. Tidak satupun ada
upaya pemerintah dalam bentuk sosialisasi dan menggencarkan berbagai
informasi dalam bidang perpajakan dan retribusi.
Inti pokok pada persoalan ini ialah bagaimana pemerintah daerah
harus mampu mengatur penerimaan dan mengurangi ketergantungannya
terhadap pusat dengan memampukan metode yang ada dan
dikombinasikan dengan kearifan lokal dalam rangka menuju social welfare.
Hal ini sejalan dengan pendapat Simanjuntak (2001), yaitu semakin
berkurangnya ketergantungan daerah terhadap bantuan pusat, maka
semakin dicapai derajat desentralisasi fiskal. Dalam hal ini derajat
desentralisasi fiskal tidak hanya memfokuskan pada sisi kewenangan dalam
pengelolaan penerimaan saja, melainkan juga membahas mengenai
kewenangan dalam pengelolaan pengeluaran sehingga lebih berdaya dan
berhasil guna terhadap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan masyarakat.
Sebab itulah, untuk meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor
pajak daerah dan retribusi diperlukan a). perencanaan organisasi yang
matang, b).sistem kelembagaan dan perangkat hukum yang kuat c).
ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten, d). Kemampuan