Anda di halaman 1dari 16

SUSURGALUR:

Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik


Islam: Kajian terhadap Hikayat Raja Khaibar,
Hikayat Saif Zulyazan, serta Hikayat Mariam
Zanariah dan Nurdin Masri

E. Kosasih

Ikhtisar: Sastra klasik merupakan salah satu sumber kultural yang sangat penting. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Oleh sebab itu, untuk sampai
pada pengertian yang sesunggunya, penulis membatasi pada persolan struktur sastra
Melayu klasik Islam yang meliputi alur, tokoh, latar dan tema, kategori-kategori moral, dan
karakteristik umumnya pada tiga karya sastra yang terpilih, yakni: Hikayat Raja Khaibar,
Hikayat Saif Zulyazan, serta Hikayat Mariam Zanariah dan Nurdin Masri. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-kualitatif. Penelitian ini juga memusatkan perhatian pada
penginferensian suatu teks, maka proses pengumpulan data dilakukan melalui teknik
analiss isi. Dengan menggunakan metode tersebut sampailah pada kesimpulan bahwa
karya sastra Melayu klasik Islam sarat dengan muatan moral. Nilai-nilai moral tersebut
dapat dijumpai dalam alur, penokohan, latar, dan tema ceritanya. Kaidah moral yang
dinyatakan di dalamnya merupakan sesuatu yang ideal, yang sangat dipengaruhi oleh
sistem normatif yang berlaku dalam masyarakat kala karya tersebut tercipta.
Kata kunci: Nilai-nilai moral, sastra klasik, hikayat, Melayu Islam, unsur intrinsik, analisis
isi, dan tokoh ideal.

Abstract: Classical literature is one of the most important cultural resources. It contained
human values universally. Therefore, to come to terms with the realistic matter, the author
restricted the issue of Malay Islamic literature structure which includes the plot, characters,
setting and theme, moral categories, and general characteristics of the three selected literary
works, namely: the Tale of Khaibar King, Tale of Saif Zulyazan, and Tale of Mariam
Zanariah and Nurdin Masri. This study used a descriptive as well as qualitative method.
This study also focused on inferensiting a text, then, the process of data collection is done
through content analysis techniques. By using these methods came to the conclusion that
the classical Malay literature laden the Islamic morals. Moral values can be found in the plot,
characterizations, setting, and theme of the story. Moral rules are stated in it is an ideal,
which is strongly influenced by normative system which applies in the community when the
work is created.
Key word: Moral values, classical literature, tales, Islamic Malay, intrinsic element, content
analysis, and ideal figure.

Pendahuluan sastra klasik yang amat beragam dan


Pada dasarnya, sastra klasik kaya. Wilayah-wilayah kultur dan etnik
merupakan karya sastra kultur dan itu masing-masing memiliki sastra
etnik (daerah). Bangsa-bangsa di klasik, yang semuanya memiliki sifat-
kawasan Asia Tenggara sangatlah sifat yang khas. Karya sastra ini timbul
beruntung karena memiliki khasanah dan berkembang pada zaman yang

Dr. H.E. Kosasih adalah Dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Seni UPI (Universitas Pendidikan Indonesia), Jalan Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154, Jawa Barat,
Indonesia. Alamat emel: ekos_kosasih@yahoo.com

11
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

belum mengenal istilah demokrasi, HAM disiplin ilmu lain (antropologi, sosiologi,
(Hak Azasi Manusia), industrialisasi, dan sebagainya). Hasilnya, mereka
globalisasi, dan anasir-anasir modern mengakui bahwa karya-karya sastra
lainnya. klasik ternyata sarat nilai. Dalam karya-
Sastra klasik sebagian besar berakar karya klasik banyak terkandung pesan-
dari sikap hidup tradisional yang feodal. pesan moral, didaktis, dan adat-istiadat
Adalah wajar apabila kemudian muncul (Djamaris, 1990; Fang, 1991; dan
pertanyaan: nilai apa lagi yang masih Danandjaja, 1994). Temuan-temuan
dianggap relevan dan bermanfaat dari tersebut tentunya bukan sesuatu
penelitian sastra klasik dalam konteks yang final. Yang selama ini dilakukan
kehidupan yang serba modern seperti umumnya masih terpisah-pisah, hanya
sekarang? berfokus pada karya sastra itu sendiri.
Dalam karya-karya klasik memang Jenis sastra Melayu Islam
terkandung pemikiran-pemikiran merupakan karya klasik yang belum
yang dekaden, penuh takhayul, dan mendapat perhatian sebagaimana
menidurkan. Hal itu sulit dipungkiri. mestinya. Padahal karya-karya ini
Cerita-cerita masa lampau mengandung lebih dominan dalam khasanah
banyak unsur yang tidak relevan perkembangan sastra Nusantara.
lagi dengan nafas modernisme dan Penulis menemukan kajian-kajian
semangat demokratisasi. Karya dan terhadap masalah ini baru sampai pada
kehidupan klasik (tradisional) sulit sajian-sajian makalah. Karena itulah
dipisahkan dari unsur feodalisme dan penulis berpendapat bahwa kajian yang
mistisisme. Namun demikian, hal lain lebih mendalam terhadap masalah ini
yang tidak boleh dilupakan adalah amatlah penting untuk dilakukan.
bahwa sastra klasik merupakan catatan Tujuan umum penelitian ini adalah
hidup dan kehidupan manusia masa untuk memaparkan kandungan nilai-
lampau, sebagai bagian dari karya- nilai moral yang terdapat di dalam
karya kemanusiaan. Itu artinya, karya- karya sastra Melayu klasik yang
karya sastra klasik pun tidak mungkin tercakup dalam unsur alur, tokoh,
lepas dari nilai-nilai kemanusiaan yang latar, dan tema. Penelitian tersebut
universal. penting dilakukan dalam rangka
Bahwa masa lampau dan masa kini menggali kembali khazanah budaya
adalah merupakan sebuah jurang. Melayu klasik. Dekadensi moral yang
Antara keduanya memerlukan sebuah terjadi di tengah-tengah masyarakat
jembatan. Pertemuan antara keduanya Indonesia pada zaman kekinian
sangatlah penting untuk membangun diharapkan dapat tersegarkan kembali
satu bentuk konvergensi kultural yang dengan menghidupkan keluhuran
berkepribadian, tanpa harus kehilangan budaya masyarakat Melayu melalui
identitas dan esensi kebangsaannya. pembelajaran sastra-sastra klasik
Penggalian terhadap sastra klasik di sekolah. Temuan-temuan penting
diharapkan dapat memperoleh nilai yang diperoleh melalui penelitian
pengalaman, perasaan, dan pemikiran ini diharapkan menjadi bagian dari
esensial kemasyarakatan. Pemerolehan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah
akan nilai-nilai tersebut sangat sehingga lebih mengefektifkan di dalam
bermanfaat untuk menambah kearifan proses internalisasinya.
dan kebijakan hidup, baik di masa
sekarang maupun pada masa yang Sastra: Antara Seni dan Kaidah
akan datang (Alfian et al., 1992). Kebenaran
Penggalian-penggalian terhadap hal- Para sastrawan mencipta dunia
hal di atas telah banyak dilakukan, baik mereka dalam aneka keniscayaan.
oleh para filolog maupun ahli-ahli dari Karya sastra mencipta dunia

12
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

kemungkinan yang di dalamnya dalamnya adalah kebenaran-kebenaran


kebenaran itu dapat kembali dikenal moral. Sastra tidak hanya berurusan
dan dihargai. Karena dunia sastra, dengan ungkapan verbal, tidak hanya
atau pun dunia rekaan itu, dibangun berkutat antara rasa dan imajinasi.
atas dasar unsur-unsur dalam dunia Foulcher mengungkapkan bahwa
nyata, sehingga dengan demikian kegiatan sastra merupakan tindakan
rekaan penyair itu merupakan suatu pengalaman ideologi yang sedikit
penerangan terhadap suatu aspek banyak berdampak pada sosial dan
dunia seperti nyata dalam konteks budaya. Dalam sastra terkandung
kebudayaan yang berlaku dalam suatu kekuatan plus-minus, bergantung
masyarakat. Aristoteles mengemukakan pada siapa yang berbicara, bagaimana
teori katarsisnya bahwa karya seni bicaranya, kapan, dan di mana (dalam
itu menyucikan, memurnikan, dan Heryanto, 1985). Pada wilayah inilah
karenanya menumbuhkan dalam diri sastra mulai bersentuhan dengan
manusia rasa kasihan, takut, dan yang disebut masyarakat, kebenaran-
sebagainya. Dengan demikian, karya kebenaran moral, dan aneka masalah
seni (sastra), menurut Aristoteles, tidak lain yang mengitarinya. Lebih-lebih bagi
seperti apa yang dikatakan oleh Plato, karya sastra klasik, atau tradisional,
mendorong nafsu rendahan; tetapi kelahirannya itu tidak bisa dilepaskan
sebaliknya, justru menghilangkan nafsu dari identitas kultural masyarakatnya.
dan memberikan aneka pengobatan Sastra itu beredar di masyarakat dan
(dalam Sutrisno, 1983). menjadi miliknya selama berpuluh, atau
Adalah benar bahwa sastra bahkan beratus-ratus tahun, sehingga
merupakan produk budaya dengan ciri melegenda.
keindahan yang melekat di dalamnya. A. Teeuw (1984) mengatakan bahwa
Oleh karena itu, menurut Ariel Heryanto suatu karya cipta itu adalah sastra,
(1985), sastra merupakan bagian dari tidak cukup dilihat dari ia bernilai
seni yang keberadaannya tidak lain estetis atau tidak, atau konvensi
adalah untuk dinikmati. Menyoroti bahasanya yang unik, melainkan perlu
ihwal keindahan dalam sastra bahwa pula dilihat dari fungsi lainnya, seperti
yang dimaksudkannya tentu tidak fungsi imajiner dan fungsi sosial-
dalam pengertian formal. Berbicara budaya. Meminjam istilah dari Horatius,
tentang konsep keindahan itu sendiri, A. Teeuw mengistilahkan fungsi sastra
Mangun Wijaya menyatakan bahwa itu sebagai docere-delectare-movere,
keindahan yang estetis bukanlah suatu yakni: pemberi ajaran dan kenikmatan,
penikmatan yang otonom, yang hanya serta berfungsi sebagai penggerak
diserap oleh panca-indra, melainkan kepada kegiatan yang bertanggung
pula oleh kemampuan intelektual. jawab (Teeuw, 1984: 510). Sastra
Keindahan merupakan aspek dari berbeda dengan bentuk komunikasi
kehidupan secara total. Sesuatu itu lainnya. Sastra, sebagaimana yang
indah, bukan karena dapat memuaskan dikemukakan oleh Aristoteles, berada di
kebutuhan harmoni dari panca-indra antara sentuhan keniscayaan dan dunia
atau dari keinginan intelektual saja, nyata. Sebagai produk budaya, sastra
tetapi karena dia merupakan kebenaran merupakan perwujudan sekaligus
hidup, pulchruum scelendor est veritas sebagai tanggapan atas kenyataan
(dalam Heryanto, 1985). sosial dari tempat sastra itu diciptakan
Penciptaan sastra tidak berhenti (dalam Teeuw, 1984).
pada sekedar penikmatan estetis, Berkenaan dengan sastra Melayu
melainkan berujung sampai pada sebagai produk masa lalu, merujuk
penggalian-penggalian atas kebenaran- pada asumsi yang dikemukakan
kebenaran hidup, termasuk di oleh T. Ibrahim Alfian (1985), bahwa

13
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

kesadaran diri terhadap budaya dan pada bangsa itu bangunan budaya yang
sejarah akan mengubah keadaan tumbuh dari dalam bangsa itu sendiri
bangsa yang jumud dan terbelakang, (dalam Mihardja ed., 1994).
dekadensi moral dan intelektualnya Penulis tidak bermaksud berpihak
menjadi keadaan yang dinamik dalam pada salah satu di antaranya.
membangun serta mencipta menjadi Memberdayakan nilai-nilai budaya
keadaan yang penuh kreativitas, baik yang terkandung dalam sastra Melayu
moral, intelektual, maupun sosialnya. Islam pada dasarnya mengadopsi
Dengan kata lain, budaya dan sejarah unsur-unsur dari luar juga, walaupun
itu bukanlah sesuatu yang tidak memang secara tidak disadari unsur
berguna. Sejarah dan budaya masa lalu budaya Islam tersebut sudah dianggap
adalah energi yang perlu terus digali sebagai milik asli bangsa Indonesia.
untuk menjembatani kehidupan agar Seperti yang dikemukakan pada bagian
tidak kehilangan jati diri (Poesponegoro terdahulu bahwa ketika masyarakat
& Notosusasto eds., 1994). Melayu telah menerima agama Islam
Memang tidak menjamin bahwa sebagai pedoman hidup dunia-akhirat,
dengan memberdayakan warisan mereka juga mengganti orientasi
masa lalu, kehidupan kekinian akan kegiatan sastranya. Sastra Melayu
terdongkrak-melesat. Kemungkinan telah banyak diwarnai oleh agama
lain, kehidupan itu akan malah Islam, sehingga juga dipandang sebagai
luluh-lantak dalam fatamorgana sastra Islam. Kuatnya nafas Islam
ke masa laluannya. Perlu penulis dalam tubuh sastra Melayu mempunyai
kemukakan bahwa perdebatan antara sangkut-paut dengan budaya Islam
kedua kemungkinan tersebut, yang sendiri. Kebudayaan Islam bisa
dalam hal ini diwakili oleh Sutan dikatakan berdasarkan budaya sastra,
Takdir Alisyahbana (STA) dan Ki sehingga tidak heranlah ke mana saja
Hajar Dewantara (KHD). Perdebatan ia pergi akan membawa khazanah
berlangsung pada tahun 1930-an, kesusastraannya (Hasjmy, 1980; dan
berkisar pada sikap hidup yang harus Beg, 1981).
dianut untuk mencapai kehidupan
yang maju, sejahtera lahir-batin, serta Kedudukan Sastra dalam Islam
berkeadilan (dalam Badudu, 1981; Sebelum mengulas lebih jauh,
Esten, 1984; dan Mihardja ed., 1994). perlu dikemukakan kembali
STA berpendapat bahwa untuk masalah kedudukan sastra yang
mencapai kemajuan dan kesejahteraan, sesungguhnya dalam Islam. Sebab,
maka harus membongkar dan ternyata tidak sedikit pihak-pihak
menanggalkan unsur dan bentuk- yang tidak memahami tentang Islam
bentuk kebudayaan masa lalu. Bangsa sehingga kehadiran agama ini sering
ini perlu menguasai peradaban kali dipandang telah menurunkan
mutakhir, yang notabene berasal dari kreativitas berkarya suatu masyarakat
Barat. Di pihak lain, KHD berpendapat yang menerima Islam. Apa yang
yang sebaliknya. Ia melihat kehidupan diancamkan oleh Allah SWT (Subhanahu
sebagai proses budaya. Kehidupan Wa-Taala) melalui firman-Nya dalam
suatu bangsa yang tidak didasarkan surat Asy-Syuara, ayat 221-227, yang
nilai-nilai budaya, yang secara intrinsik jika diterjemahkan kira-kira akan
dipunyai bangsa itu, tidak akan berbunyi sebagai berikut:
mungkin mencapai kemajuan dan
kesejahteraan lahir dan batin. Hal- Ayat 221: Apakah akan Aku beritakan
kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan
hal yang datang dari luar hanya dapat
itu turun?
diambil secara bermanfaat apabila Ayat 222: Mereka turun kepada tiap-tiap
sudah ada terbentuk dan tertanam pendusta lagi yang banyak dosa.

14
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

Ayat 223: Mereka menghadapkan Mereka mendapat kemenangan


pendengaran (pada syaitan) itu dan Setelah hidup dalam ancaman (Hamidy,
kebanyakan mereka adalah orang-orang 1983).
pendusta.
Ayat 224: Dan penyair-penyair itu
Dengan sikap yang terbuka dan
diikuti oleh orang-orang yang sesat.
Ayat 225: Tidakkah kamu melihat jujur, puisi di atas juga memandang
bahwasanya mereka mengembara di tiap- bahwa penyair sebagaimana halnya
tiap lembah? manusia biasa. Dari kebiasaannya,
Ayat 226: Dan bahwasanya mereka suka mereka ada yang baik ada pula yang
mengatakan apa yang mereka sendiri tidak
mengerjakannya?
tidak baik; ada yang menjadi petualang,
Ayat 227: Kecuali orang-orang (tentu tetapi ada pula yang menjadi orang yang
juga sebagian penyair) yang beriman dan rajin bekerja (beramal saleh); ada yang
beramal saleh dan banyak menyebut menjadi pendusta, pengikut syaitan,
Allah dan mendapat kemenangan sesudah
tetapi ada pula yang menjadi manusia
menderita kezaliman. Dan orang-orang
yang zalim itu kelak akan mengetahui beriman dan tahu bersyukur kepada
ke tempat mana mereka akan kembali Tuhannya. Jadi, tidaklah dengan ayat di
(dalam Arifin, 1971). atas diancam semua penyair, sehingga
tidak ada tempat bagi penyair atau
Ayat-ayat suci dalam Al-Quran sastrawan dalam kebudayaan Islam.
di atas, yang sering diperalat untuk Peninggalan masa lalu, seperti karya
menjadi bukti betapa Islam memberi sastra Melayu Islam sebagaimana
ancaman yang keras kepada para yang dikemukakan U.U. Hamidy (1983),
sastrawan (penyair), semestinya Edwar Djamaris (1990), Liau Yock Fang
diperiksa lagi dengan seksama. Jika (1991), J.J. de Hollander (1994), serta
kita mau memperhatikan ayat-ayat ahli lain sarat dengan aktualisasi nilai
di atas, jelas sekali ayat-ayat tersebut sebagaimana yang terkandung dalam
menunjukkan sasarannya kepada para Al-Quran dan Al-Hadist. Karenanya,
penyair yang suka mempermainkan kajian terhadapnya tidak akan memadai
kata-kata begitu saja, sementara dia jika tidak melibatkan Islam dan
tidak mempunyai pendirian sehingga kebudayaannya. Sastra Melayu tidak
dia menjadi alat dari syaitan. Oleh mungkin dinilai dengan kaidah-kaidah
karena itu, menurut U.U. Hamidy sastra yang berlaku di dunia Barat,
(1983), firman Allah SWT itu sebenarnya yang kreativitasnya dipandang kebal
lebih tepat dipandang sebagai suatu akan pengendalian moral dan agama
pedoman yang mencoba membuat (Hamidy, 1983). Sastra Melayu (Islam)
kategori antara penyair yang beriman adalah karya sastra yang menghargai
dengan penyair yang tidak beriman. wahyu. Bagi sastra Melayu, kegiatan
Dengan demikian, atas ketajaman sastra tak mungkin terwujud tanpa
seperti itulah penyair muslim A. Hasjmy sandaran kepada moral Islam, sebab
(1980), sebagaimana juga dikutip oleh sastra yang lahir tanpa kaidah moral
U.U. Hamidy (1983), telah membuat (aqidah) akan menjadi sastra yang liar
terjemahan tafsir akan surat Asy- dan dapat membahayakan akal-budi
Syuara itu dalam bentuk puisi, sebagai manusia (Hamka, 1963; dan Hamid,
berikut: 1984).
Berdasarkan identitas karya
Para Sastrawan sastra Melayu yang demikian, kajian
Pengikut mereka bandit petualang
terhadapnya tidak dapat dilakukan
Berdiwana dari lembah ke lembah sekedar pembahasan dari berbagai
Bicara tanpa kerja ilmu saja. Dia memerlukan suatu cara
Kecuali sastrawan beriman tinjauan, yang mana kategori Islam dan
Yang beramal bakti
kebudayaannya hendaklah merupakan
Senantiasa ingat kan Ilahi

15
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

bagian-bagian yang dipakai sebagai alat dan berasal dari masayarakt Melayu
timbangan terhadap semua kajian itu. Islam; (2) Berbentuk prosa atau liris;
Oleh karenanya, dalam kepentingan dan (3) Naskah-naskahnya telah di-
serupa itulah, kita memandang perlu Indonesiakan.
kehadiran para intelektual yang
memiliki kadar yang cukup memadai Hasil dan Pembahasan Penelitian:
dalam masalah Islam dan budayanya Struktur Karya Sastra Melayu
untuk mengadakan kajian terhadap Klasik Islam. Menyoal tentang struktur
sastra Melayu tersebut sebagai satu sastra berarti membicarakan wujud
ranting kajian sastra Islam. fisik (unsur intrinsik) sastra itu, antara
lain di dalamnya meliputi unsur alur,
Metode Penelitian penokohan, latar, dan tema (Ikram,
Penelitian ini menggunakan metode 1997). Pada bagian ini, pembahasan
deskriptif-kualitatif, dengan masalah akan berfokus pada keempat unsur
yang dipecahkan melalui penggambaran tersebut. Tujuannya adalah untuk
objek faktual secara naturalistik. menggambarkan keberadaan ciri-ciri
Pengumpulan dan pengolahan data khas yang mendandani wujud fisik
dilakukan sesuai dengan fakta yang sastra Melayu klasik Islam itu sendiri.
tampak dengan memperhatikan aspek- Yang menjadi sumber utama kajian
aspek kesejarahan, dan tanpa usaha- adalah Hikayat Raja Khaibar, Hikayat
usaha eksperimentasi. Penelitian Saif Zulyazan, serta Hikayat Mariam
ini memusatkan perhatian pada Zanariah dan Nurdin Masri (Djamaris,
penginferensian suatu teks (dokumen), 1980; Jusuf, 1991; dan Umberan et al.,
maka proses pengumpulan datanya 1994).
dilakukan melalui teknik analiss isi Alur: Adanya Campur Tangan
atau content analysis (Krippendorff, Eksternal. Masing-masing alur yang
1991). mendandani ketiga hikayat di atas
Secara singkat dirumuskan bahwa dapat diskemakan sebagai berikut:
penelitian ini dilakukan berdasarkan Pertama, Hikayat Raja Khaibar.
langkah-langkah sebagai berikut: Alur ceritanya adalah: (1) Orang Islam
(1) Pembentukan data yang meliputi diganggu oleh orang-orang Khaibar; (2)
proses unitisasi dan pencatatan dari Nabi Muhammad sebagai pemimpin
tiga karya sastra Melayu kasik Islam, Islam meminta petunjuk pada Allah;
yaitu: Hikayat Raja Khaibar, Hikayat (3) Muhammad dan pasukannya
Saif Zulyazan, dan Hikayat Mariam melakukan penyerangan terhadap
Zanariah dan Nurdin Masri; (2) Reduksi kerajaan Khaibar; (4) Raja Khaibar
data sesuai dengan tujuan penelitian; tewas; (5) Rakyat Negeri Khaibar
(3) Penarikan inferensi; dan (4) masuk Islam; dan (6) Nabi Muhammad
Pembahasan-pembahasan. beserta pasukannya pulang dengan
Analisis isi, sebagai teknik utama kemenangan (Djamaris, 1980).
di dalam pengumpulan data di dalam Kedua, Hikayat Saif Zulyazan. Alur
penelitian ini, berguna untuk menjawab ceritanya adalah: (1) Saiful Yazan, atau
persoalan-persoalan dari tujuan Wahsya al-Falah, dibuang oleh ibu
penelitian yang pertama sampai dengan kandungnya; (2) Saiful Yazan dipelihara
tujuan penelitian (Baried, 1985; dan oleh keluarga Raja Malikul Afrah; (3)
Krippendorff, 1991). Sebagaimana Saiful Yazan jatuh hati kepada Siti
yang telah dikemukakan di atas bahwa Syahmah, putri Raja Malikul Afrah;
sumber data penelitian ini berupa (4) Saiful Yazan menikah dengan Siti
naskah atau dokumen tertulis dengan Syahmah; (5) Saiful Yazan berjumpa
kriteria pemilihannya sebagai berikut: dengan ibu kandungnya; (5) Ibu
(1) Karya tersebut benar-benar dikenal kandungnya dibunuh oleh kawan Saiful

16
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

Yazan dalam suatu peperangan; dan bisa diperoleh dengan begitu saja;
(6) Saiful Yazan menggantikan ibunya, (3) Proses pencapaian kebahagiaan
menjadi penguasa kerajaan Ahmarah tidak akan terlepas dari gangguan dan
(Jusuf, 1991). cobaan; (4) Untuk mengatasi segala
Ketiga, Hikayat Mariam Zanariah dan gangguan dan cobaan itu diperlukan
Nurdin Masri. Alur ceritanya adalah: perjuangan, baik itu berupa kerja keras,
(1) Nurdin melakukan pelanggaran keberanian, kesungguhan, maupun
agama; (2) Nurdin mengembara kesabaran; serta (5) Keberhasilan dalam
untuk menghindari hukuman atas perjuangan tidak terlepas dari adanya
perbuatannya; (3) Mariam dirampok; campur tangan dan kehendak Allah,
(4) Mariam mengalami kesengsaraan; karena itu manusia harus berdoa dan
(5) Nurdin dan Mariam bertemu berpasrah diri kepada-Nya (Djamaris,
dalam pengembaraan dan hidup 1980; Jusuf, 1991; dan Umberan et al.,
berkeluarga; (6) Rumah tangga Nurdin- 1994).
Mariam mengalami gangguan; (7) Ketiga hikayat di atas tergolong
Nurdin-Mariam berjuang mengatasi ke dalam karya klasik Islam.
gangguan; (8) Persoalan rumah tangga Dalam klasifikasi J.J. de Hollander
Nurdin-Mariam mereda; serta (9) (1994:274), Hikayat Raja Khaibar
Nurdin membawa Mariam kepada dapat dikelompokkan ke dalam legenda
orang tuanya, keduanya menemukan yang bernafaskan Islam. Sedangkan
kebahagiaan (Umberan et al., 1994). R. Roolvink, mengklasifikasikannya
Tokoh-tokoh utama pada ketiga ke dalam cerita Nabi Muhammad
hikayat tersebut digambarkan sebagai atau cerita sahabat Nabi (dalam Fang,
orang-orang yang beriman dan 1991:205). Sementara itu, Hikayat
bertakwa. Keluh-kesah yang mereka Saif Zulyazan pun termasuk ke dalam
alami dinyatakan lewat pengaduan legenda bernafaskan Islam, menurut
kepada Tuhan. Hal ini tidak terkecuali klasifikasi J.J. de Hollander (1994).
pula pada tokoh yang bukan beragama Sedangkan menurut klasifikasi R.
Islam. Mariam, misalnya, sebagai tokoh Roolvink, hikayat ini termasuk ke dalam
yang beragama Kristen dalam Hikayat hikayat pahlawan-pahlawan Islam
Mariam Zanariah dan Nurdin Masri (dalam Fang, 1991).
juga digambarkan sebagai tokoh yang Kategori yang sama terdapat pula
bertakwa. Dalam menghadapi berbagai dalam Hikayat Mariam Zanariah dan
konflik, ia tidak lepas dari doa kepada- Nurdin Masri, yang dalam klasifikasi
Nya. Tokoh Nurdin dalam hikayat ini J.J. de Hollander (1994), hikayat ini
menghadapi persoalan-persoalan yang tergolong ke dalam legenda-legenda
pelik, yang mengancam keselamatan Islam. Sedangkan dalam klasifikasi R.
jiwanya. Tokoh ini seharusnya sudah Roolvink, hikayat ini tidak termasuk
tewas ketika menghadapi ancaman ke kelompok yang mana pun (dalam
itu, tetapi kemudian ia terbebas dan Fang, 1991). Namun, apabila mengikuti
selamat. Pertolongan datang secara sistem klasifikasi dari Edwar Djamaris
tiba-tiba, setelah ia menyatakan (1990:109), cerita dalam Hikayat
kepasrahan dan memanjatkan doa Mariam Zanariah dan Nurdin Masri
kepada-Nya (Djamaris et al., 1985; dan tersebut diklasifikasikan ke dalam cerita
Umberan et al., 1994). Islam fiktif.
Oleh sebab itu, terdapat lima pesan Dalam Hikayat Raja Khaibar,
moral yang terkandung dalam alur dan istilah-istilah seperti Wahyu dan
cara penyelesaian konflik pada ketiga Malaikat Jibril disebutkan secara jelas
hikayat di atas, yaitu: (1) Kemenangan (Djamaris, 1980). Sebelum mengadakan
dan kebahagiaan akan berpihak pada penyerbuan terhadap Negeri Khaibar,
yang benar; (2) Kebahagiaan itu tidak misalnya, Nabi Muhammad menunggu

17
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

turunnya Wahyu, meminta petunjuk Hikayat ini banyak mengambil


kepada Allah. Kemudian Allah memberi sumber nilai dari tradisi ke-Islaman.
petunjuk melalui Malaikat Jibril. Nabi Secara langsung, pengarangnya
Muhammad sendiri menyatakan bahwa menyebut-nyebut nama Islam bagi
penyerbuan ke Negeri Khaibar tidak agama yang dianut oleh tokoh-
untuk balas dendam dan bukan pula tokohnya. Walaupun kejadian dari
untuk memperoleh kekuasaan, tetapi hikayat ini mengambil latar dari zaman
untuk menegakkan agama Allah, Nabi Ibrahim, pengarang tidak bisa
untuk menyebarkan agama Islam. menyembunyikan ajaran-ajaran ke-
Setelah takluk dan masyarakatnya Islaman, sebagaimana yang berlaku
menyuarakan Islam, oleh Nabi pada zaman kerasulan Muhammad.
Muhammad dan para sahabatnya Hal itu antara lain tampak pada cara
negeri itu diperbaiki kembali dan mereka bersyahadat, cara mereka
diserahkan kepada bangsa Khaibar melakukan shalat, atau pun kalimat-
sendiri. Setiap melakukan pertempuran, kalimat doa yang mereka ucapkan,
Nabi Muhammad beserta para sahabat yang semuanya sama dengan cara yang
mengawalinya dengan shalat dan doa berlaku pada umat Nabi Muhammad
(Djamaris, 1980). sekarang (Jusuf, 1991).
Dari nama-nama tokoh dan waktu Berbeda dengan dua hikayat
berlangsungnya cerita, ketiga hikayat sebelumnya, Hikayat Mariam Zanariah
tersebut memang memiliki perbedaan. dan Nurdin Masri merupakan hikayat
Hikayat Raja Khaibar, tokohnya yang murni fiktif, diperkirakan
adalah Nabi Muhammad dan Saidina kejadiannya setelah agama Islam lahir.
Ali. Waktu berlangsungnya ketika Bila dilihat dari nama tokoh, tempat
Nabi Muhammad memerintah Negeri kejadian, dan kebiasaan yang mereka
Madinah (Djamaris, 1980). Peristiwa lakukan, memang banyak diwarnai
peperangan antara Nabi Muhammad oleh pengaruh-pengaruh ke-Islaman.
dengan Raja Khaibar diabadikan dalam Pengarangnya sendiri sering menyebut
Al-Quran, antara lain, seperti dalam istilah, seperti Hadist dan Rabbul Izati.
surat Al-Fath ayat 18 (Arifin, 1971). Oleh karena itu, walaupun hikayat ini
Oleh karena itu, Hikayat Raja Khaibar merupakan hikayat fiktif yang romantis
memiliki latar belakang yang jelas, di (keseharian), pengarangnya berusaha
samping tokoh-tokohnya yang pernah untuk memasukkan nilai-nilai Islam
menjadi pelaku sejarah. Terlepas dari tersebut ke dalamnya (Umberan et al.,
banyaknya mitos dan kisah-kisah 1994).
fiktif, hikayat ini memiliki rujukan dan Dijadikannya nilai-nilai ke-Islaman
sumber yang tegas, yakni dari kisah sebagai pembentuk alur terciptanya
hidup Nabi Muhammad SAW (Salallahu ketiga hikayat tersebut sudah jelas,
Alaihi Wassalam) dan para sahabatnya. tetapi tidak berarti bahwa karya-
Latar belakang sejarah terdapat karya tersebut betul-betul merupakan
pula dalam Hikayat Saif Zulyazan. pengejawantahan dari nilai-nilai Islam
Peperangan antara Raja Saif Raad (Al-Quran dan Al-Hadist). Tidak sedikit
dengan Raja Habsyi (Abessinia) pula perilaku para tokohnya yang
adalah kejadian yang benar-benar bertentangan dengan Islam. Hal ini
terjadi (Jusuf, 1991). Namun cerita termasuk di dalamnya adalah perilaku-
kelanjutannya, yakni petualangan perilaku para tokoh utama (protagonis)
Saiful Yazan dalam mencari syarat sebagai tokoh ideal (Winstedt, 1969;
pernikahannya dengan Siti Syahmah Baried, 1986; dan Teeuw, 1992).
dan kisah lainnya, semata merupakan Gambaran Moralitas para Tokoh.
cerita fiktif (Djamaris, 1990; dan Fang, Karakteristik tokoh memiliki kedudukan
1991). yang sangat penting dalam hikayat.

18
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

Sebab itu, pengarang memerlukan melalui tindakan pelaku lain; (4) melalui
banyak lahan untuk menggambarkan percakapan dialog dan monolog; serta
sosok para tokohnya. Penggambaran (5) melalui penyajian tingkah-laku tokoh
tersebut umumnya dilakukan melalui (Baried et al., 1982; Esten, 1984; dan
penuturan langsung. Para tokoh Teeuw, 1992). Sedangkan karakteristik
diperkenalkan terlebih dahulu, baru yang digambarkannya bisa aspek fisikal,
kemudian dia bergerak sesuai dengan sosial, psikologis, dan aspek moral
karakter yang telah diperkenalkan lainnya.
oleh pengarang (Abu Bakar, 1984; dan Penggambaran tokoh secara fisikal
Kurtines & Gerwitz, 1992). merupakan cara karakterisasi yang
Untuk mengetahui karakter paling sederhana (Firth et al., 1960).
tokoh Nurdin Masri dalam Hikayat Dalam hikayat, penggambaran ini
Mariam Zanariah dan Nurdin Masri, berkorelasi dengan karakter tokoh pada
misalnya, dengan mudah para aspek lainnya. Tokoh yang memiliki fisik
pembaca dapat memperolehnya di yang rupawan akan memiliki karakter
awal cerita. Dituturkan langsung oleh sosial dan moral yang baik pula; dan
pengarangnya bahwa Nurdin Masri sebaliknya, tokoh yang fisiknya cacat
adalah lelaki yang rupawan, memiliki atau buruk maka tokoh itu dapat
keimanan yang teguh, dan berbakti dipastikan akan memiliki karakter
pada orang tua (Umberan et al., 1994). moral yang buruk pula (Robson, 1969;
Demikian pula dengan karakter tokoh Brakel, 1975; dan Djahiri, 1992).
Nabi Muhammad, dalam Hikayat Rumus pertentangan baik-buruk
Raja Khaibar, terdapat satu halaman berlaku juga pada ketiga hikayat
khusus yang menceritakan sosok di atas. Pola-pola pertentangan itu
Nabi Muhammad, baik secara fisik, meliputi aspek-aspek sebagi berikut:
relasi sosial, maupun kerohaniannya Pertama, Arif versus Licik = Arif.
(Djamaris, 1980). Kearifan merupakan keutamaan dari
Yang agak berbeda adalah cara jiwa berpikir dan mengetahui. Kearifan,
penggambaran tokoh dalam Hikayat antara lain, meliputi elemen kejernihan
Saif Zulyazan. Pada hikayat ini memang dalam berpikir serta ketajaman dan
tidak dijumpai penggambaran para kekuatan otak (Miskawaih, 1994:45-
tokoh secara khusus, sebagaimana 46). Dalam Hikayat Raja Khaibar,
yang dapat dijumpai dalam Hikayat Nabi Muhammad merupakan contoh
Raja Khaibar atau pun Hikayat ketauladanan yang arif dan bijaksana.
Mariam Zanariah dan Nurdin Masri. Rencana penyerangannya ke Negeri
Penggambaran tokoh Saiful Yazan Khaibar adalah hasil pertimbangan
tersebar dalam banyak peristiwa. secara masak. Ia memusyawarahkan
Namun demikian, hal ini pun masih dengan para sahabat, ia pun
sangat mudah diketahui oleh para memohon petunjuk kepada Tuhan.
pembacanya. Pengarang lebih Penyerangannya itu tidak disertai
menggambarkan tokoh-tokohnya nafsu dan amarah. Ia kabarkan
dengan secara langsung, kalau tidak kedatangannya itu kepada Raja
menitipkannya pada penuturan tokoh Khaibar. Ia memberikan ajakan dan
lain (Jusuf, 1991). peringatan untuk berdamai.
Pemahaman karakter tokoh Nabi Muhammad mengajak Raja
seutuhnya tetap saja memerlukan Khaibar untuk masuk Islam secara
pengamatan menyeluruh pada setiap baik-baik. Raja Khaibar menolak dan
bagian cerita. Terdapat lima cara bahkan berusaha untuk menangkap
penyajian karakteristik tokoh, yakni: (1) utusan Nabi. Raja Khaibar menghadapi
melalui penamaan; (2) melalui pemerian pasukan Nabi Muhammad dengan
dan pernyataan oleh pelaku lain; (3) marah dan angkuh. Raja Khaibar

19
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

akhirnya kalah. Kearifan Nabi pas-pasan, tetapi dengan keuletan dan


Muhammad, sikap kehati-hatian, dan ketegarannya, Nurdin Masri dalam
tindakannya yang penuh perhitungan Hikayat Mariam Zanariah dan Nurdin
berhasil mengalahkan Raja Khaibar Masri, dapat bersatu lagi dengan
yang penuh dengan nafsu, kelicikan, istrinya, Mariam (Umberan et al., 1994).
dan keangkuhan (Djamaris, 1980). Keempat, Adil versus Zalim = Adil.
Kedua, Sederhana versus Serakah = Bersikap adil tercakup di dalamnya
Sederhana. Kesederhanaan, antara lain, semangat persahabatan, bekerja sama,
meliputi sikap sabar dan dermawan jiwa sosial, dan ketakwaan kepada
(Miskawaih, 1994:47). Sikap ini dimiliki Allah (Miskawaih, 1994:50). Ketakwaan
oleh tokoh Nabi Muhammad dalam yang ditunjukkan oleh tokoh Nabi
Hikayat Raja Khaibar dan tokoh Saiful Muhammad beserta para sahabatnya
Yazan dalam Hikayat Saif Zulyazan. dapat mengalahkan kezaliman Raja
Kedermawanan ditunjukkan oleh Nabi Khaibar. Di situ pertolongan Allah
Muhammad. Ia membagi-bagikan harta datang kepada para hamba-Nya yang
rampasan perang, tidak terkecuali pada beriman dan bertakwa (Djamaris,
rakyat Negeri Khaibar yang semula 1980). Tokoh Saiful Yazan juga tidak
memusuhinya. Mereka terpesona melupakan Tuhan. Pertolongan Allah
oleh kesederhanaan (kezuhudan) Nabi selalu muncul ketika ia menghadapi
Muhammad. Akhirnya, berbondong- masalah berat. Pertolongan-pertolongan
bondong mereka menyatakan masuk itu didapatkan ketika ia menghadapi
Islam (Djamaris, 1980). musuh-musuhnya. Ia dapatkan
Saiful Yazan, dalam Hikayat pertolongan itu, perantaraannya lewat
Saif Zulyazan, sangat sabar ketika manusia dan golongan jin. Dalam
menghadapi tuntutan-tuntutan hidupnya, ternyata ia tidak lepas
Wazir Sakardiwan. Atas nama Raja dari persahabatan dan banyaknya
Malikul Afrah, ia meminta Saiful pertolongan yang ia berikan kepada
Yazan untuk memenuhi syarat- tokoh lain (Jusuf, 1991).
syarat pernikahannya, yang ternyata Unsur Latar: Tempat dan Waktu.
sangatlah berat. Berkat kesabaran dan Karya sastra Islam klasik sangat
kesungguhannya, Saiful Yazan dapat terikat pada waktu dan tempat.
memperoleh persyaratan-persyaratan Nama-nama tempat yang digunakan
itu. Ia berhasil menikah dengan Siti mudah dikenal. Tempat-tempat itu
Syahmah, perempuan yang dicintainya dapat dijumpai dalam geografi yang
(Jusuf, 1991). sesungguhnya (Winstedt, 1969; dan
Ketiga, Berani versus Pengecut Mulyadi, 1994). Hikayat Raja Khaibar,
= Berani. Keberanian meliputi misalnya, merupakan hikayat yang
keuletan, ketegaran, dan keperkasaan paling realis dibandingkan dengan dua
(Miskawaih, 1994:48) dalam hikayat lainnya. Baik tempat, waktu,
menghadapi perjuangan hidup. maupun pelakunya dapat dibuktikan
Digambarkan tentang Saidina Ali dalam kebenarannya (Djamaris, 1980).
Hikayat Raja Khaibar bahwa dengan Pengarangnya dalam hal ini berusaha
segala keberanian yang dimilikinya, untuk memberi kesan benar-benar
ia mampu mengalahkan musuh- terjadi. Pada Hikayat Saif Zulyazan,
musuhnya (Djamaris, 1980). Demikian pengarang menjadikan peperangan
halnya dengan tokoh Saiful Yazan antara Raja Hymarite dan Raja
dalam Hikayat Saif Zulyazan, berkat Abessinia, yang terjadi dalam sejarah,
keuletan dan ketegarannya maka sebagai latar belakang penyusunan
apa yang dicarinya dapat diperoleh karya tersebut. Dengan demikian,
dengan memuaskan (Jusuf, 1991). kejadian-kejadian berikutnya yang
Sekalipun kemampuan bela diri yang diciptakan pengarang sedikit-banyak

20
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

akan mengajak para pembaca untuk 1953; Bryson et al., 1980; dan
menghayati cerita tersebut sebagai Koentjaraningrat, 1980).
sesuatu yang benar-benar terjadi. Terdapat tiga latar waktu pada
Sungai Nil, Negeri Habsyi, Medinah, ketiga hikayat di atas, yakni zaman
dan Yatsrib adalah nama-nama tempat sebelum Nabi Muhammad lahir, zaman
yang digunakan dalam hikayat ini, yang Nabi Muhammad itu sendiri, dan
kesemuanya dikenal dalam sejarah dan zaman setelah Nabi Muhammad wafat.
dapat dijumpai dalam kenyataan yang Zaman sebelum Nabi Muhammad lahir
sesungguhnya (Jusuf, 1991). merupakan latar bagi Hikayat Saif
Tidak terkecuali pula dengan Hikayat Zulyazan. Digambarkan bahwa tokoh-
Mariam Zanariah dan Nurdin Masri. tokoh dalam hikayat ini merupakan
Walaupun hikayat ini adalah fiktif, umatnya Nabi Ibrahim. Mereka
pengarang berusaha untuk membentuk mengucapkan syahadat sebagaimana
kesan objektif. Kisah cinta antara umat Islam sekarang, hanya berbeda
Mariam, seorang anak Raja Pranja, dalam menyebut nama rasulnya.
dengan Nurdin, putra saudagar kaya Asyhadu an la ilaha ila Allah, wa
dari Mesir, tidak dikenal dalam legenda asyhadu anna Ibrahim khalilullah,
maupun sejarah. Namun demikian, demikian ikrar seorang tokoh ketika ia
para pembacan tidak akan asing lagi memeluk agama Islam (Jusuf, 1991).
dengan nama-nama tempat seperti Unsur waktu sangat berpengaruh
Mesir dan Iskandariah yang digunakan pada perilaku para tokoh. Keyakinan
dalam hikayat ini. Hubungan antara terhadap kekuatan-kekuatan gaib
suasana tempat yang sesungguhnya dan makhluk jin sangat kuat. Benda
dengan yang tergambar dalam hikmah (ajimat) dianggap syarat mutlak
cerita dicoba untuk direlevansikan. untuk kejayaan hidup seseorang. Bisa
Kota Iskandariah, oleh pengarang, menikahnya Saiful Yazan dengan Siti
digambarkan sebagai kota pelabuhan Syahmah, syaratnya tidak lain adalah
dan kota dagang, sebagaimana yang benda hikmah yang disebut Surat al-
ada dalam kenyataan (pada waktu itu). Nil. Saiful Yazan keliling negeri untuk
Demikian pula dengan negeri Mesir, mendapatkan benda hikmah itu.
digambarkan sebagai negeri orang- Dalam hikayat ini diceritakan pula
orang Islam yang kaya (Umberan et al., tentang bagaimana tokoh Saiful Yazan
1994). bersahabat dengan para jin, tentang
Dijadikannya kawasan Arab sebagai kisah anak jin mencintai manusia,
latar cerita berpengaruh pada karakter tentang bidadari, dan sejenisnya (Jusuf,
moral para tokoh (Koentjaraningrat, 1991).
1980:246). Perbudakan, barbarisme, Waktu berlangsungnya kejadian
dan mistisisme merupakan beberapa dalam Hikayat Raja Khaibar sangat
perilaku moral bangsa Arab pada mudah ditentukan, yakni pada zaman
waktu itu yang dijumpai dalam ketiga Nabi Muhammad mengemban tugas
hikayat (Djamaris, 1980; Jusuf, kerasulannya. Adanya tokoh Nabi
1991; dan Umberan et al., 1994). Muhammad, Saidina Ali, dan Perang
Namun demikian, tidak berarti apa Khaibar merupakan bukti-bukti yang
yang digambarkan atas perilaku para sulit untuk dibantah lagi bahwa hikayat
tokoh itu murni merupakan kultur ini berlatar belakang kehidupan Nabi
Arab. Dimungkinkan pula bahwa Muhammad. Aspek religiusitasnya
dalam perilaku tokoh-tokoh itu sudah sangat tinggi. Hal ini terlihat dari
ada adaptasi dan penyesuaian oleh perilaku para tokoh dalam menjalankan
para penerjemah Melayu. Kultur praktek keagamaan. Shalat, zikir, dan
Melayu tidak tertutup kemungkinan doa merupakan kegiatan-kegiatan
mewarnai perilaku para tokoh (Fisher, sahabat Nabi yang banyak digambarkan

21
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

dalam hikayat ini (Djamaris, 1980). keberhasilan atas sesuatu yang mereka
Latar waktu yang digunakan dalam inginkan (Umberan et al., 1994).
Hikayat Mariam Zanariah dan Nurdin Bentuk Tema. Tema adalah pokok
Masri lebih maju dibandingkan dengan pembicaraan, perilaku, atau gerakan
dua hikayat sebelumnya. Tidak yang mendasar. Yang berkenaan
ditemukan petunjuk pasti tentang dengan pokok tersebut adalah cerita
waktu berlangsungnya cerita itu. yang bersangkutan sebagai ilustrasinya
Namun bila dilihat dari perilaku dan (Ali, 1989). Tomashevsky menyatakan
ucapan para tokohnya, jelas bahwa bahwa tema yang merupakan dasar dan
latar kejadian ini jauh setelah Nabi mempersatukan dalam struktur fiksi
Muhammad meninggal. Di dalamnya adalah pikiran umum (dalam Ali, 1989).
ditemukan istilah Hadist, sabda-sabda Dalam ketiga hikayat terdapat
Nabi Muhammad yang fungsinya pokok perbincangan yang mendasari
sebagai sumber hukum, di samping peristiwa-peristiwa yang terjadi dan
Al-Quran (Ali, 1983; Arkoun, 1996; mempersatukan peristiwa-peristiwa
dan Asad, 1996). Dari perilaku para itu dalam susunan keseluruhan. Tema
tokohnya telah dijumpai juga unsur- dapat dibedakan atas tema utama
unsur peradaban Barat, seperti dan tema sampingan. Tema utama
dikenalnya istilah Brendi dan Air mendasari dan menjalin dalam alur,
Belanda (Umberan et al., 1994). sedangkan tema sampingan menjadi
Jarak waktu berlangsungnya kisah tema sesuatu bagian dan tidak terjalin
tersebut sangat jauh. Namun demikian, dalam keseluruhan alur. Sebab itu,
ada satu persamaan umum bahwa dalam sebuah hikayat sangat mungkin
peristiwa-peristiwa yang terjadi di bila dijumpai beberapa tema, yang
hikayat-hikayat itu berlangsung ketika dimaksudkan adalah tema utama dan
para tokohnya telah mengenal Islam. tema-tema sampingan (Badudu, 1981;
Shalat (sembahyang), zikir, dan tawakal Esten, 1984; dan Teeuw, 1984).
(kepasrahan secara total kepada Allah) Tema utama Hikayat Raja Khaibar
merupakan pola hidup yang sama-sama adalah peperangan antara pasukan
telah mereka kenal. Para tokohnya Islam dengan kaum kafirin pimpinan
memiliki keseimbangan antara unsur Raja Khaibar. Di samping itu dijumpai
jasmaniah dan rohaniah, antara pula tema tentang pengejaran Harun
semangat keduniaan dan keakhiratan. oleh Saidina Ali, ikan pari mencintai
Saiful Yazan, misalnya, ketika untuk anak raja, kejahatan ilmu sihir, dan
dapat lolos dari penjara mengalami beberapa tema kecil lainnya (Djamaris,
usaha buntu, ia lantas berdoa dan 1980). Hal yang tidak jauh beda
menyerahkan diri sepenuhnya terdapat pula dalam Hikayat Saif
kepada Allah (Jusuf, 1991). Sebelum Zulyazan dan Hikayat Mariam Zanariah
mengalami perang, tidak henti- dan Nurdin Masri. Hikayat-hikayat
hentinya Nabi Muhammad beserta tersebut dibentuk oleh satu tema utama
para sahabat menunaikan shalat, dan beberapa tema sampingan (Jusuf,
baik yang wajib maupun yang sunat. 1991; dan Umberan et al., 1994).
Mereka pun selalu berzikir dan Tema dapat dibagi menjadi tema
berdoa (Djamaris, 1980). Pengaduan kekuatan alam, tema jasmaniah, tema
dan kepasrahan juga disampaikan egois, tema sosial, dan tema kekuatan
Mariam dan Nurdin tatkala keduanya langit (Badudu, 1981; Esten, 1984; dan
mengalami ketakberdayaan dalam Teeuw, 1984). Dalam hikayat Melayu
usaha meloloskan diri dari ancaman Islam terdapat tema-tema sebagai
dan maut. Zikir dan ikhtiar merupakan berikut:
perilaku yang digambarkan oleh para Pertama, Tema Sosial. Tema ini
tokoh utama (ideal) dalam rangka dijumpai pada ketiga hikayat. Hanya

22
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

saja, tema ini lebih berperan sebagai sepenggal kecil dari keseluruhan
tema sampingan. Tema-tema sosial yang kisah tentang ambisi jasmaniah tokoh
ada, terutama tentang keadilan dan lain dalam memperoleh kesenangan
tolong-menolong. Tema keadilan dapat hidup. Padahal, dengan tolong-
dirumuskan sebagai berikut: sikap adil menolong (dan saling membuka diri)
berarti memberikan sesuatu kepada akan memudahkan manusia dalam
pihak-pihak yang berhak menerimanya mengatasi berbagai masalah secara
secara proporsional. Keadilan lebih baik dan bijaksana (Umberan et
merupakan kebutuhan setiap manusia, al., 1994).
karena itu barang siapa yang mampu Kedua, Tema Ketuhanan. Jenis tema
bersikap adil maka manusia lain akan ini disebut sebagai tema kekuatan langit
berbondong-bondong datang kepada dan tema spiritual (Badudu, 1981;
orang itu untuk turut menikmati Esten, 1984; dan Teeuw, 1984). Tema
keadilannya. Tema keadilan dapat ini merupakan dasar terbentuknya
dijumpai dalam Hikayat Raja Khaibar. Hikayat Raja Khaibar. Walaupun
Di dalamnya diceritakan tentang sikap banyak bercerita tentang peperangan,
adil Rasulullah dalam membagikan spirit ketuhanan sesungguhnya
harta peninggalan Raja Khaibar, antara merupakan dasar bergulirnya cerita
ahli warisnya, rakyat negeri Khaibar, dalam hikayat ini. Nabi Muhammad
dengan para sahabat Rasulullah mendatangi Negeri Khaibar tidak untuk
sendiri. Dengan sikap keadilannya itu, acara balas dendam dan memperoleh
maka orang-orang yang semula kafir kekuasaan. Nabi Muhammad beserta
kemudian menyatakan kekaguman para sahabat menuju Negeri Khaibar
kepada ketinggian akhlak Rasulullah, untuk menyampaikan kebenaran
dan tanpa diminta mereka menyatakan agama Islam. Raja Khaibar menolak
diri masuk Islam (Djamaris, 1980). mentah-mentah. Ia malah melontarkan
Persahabatan yang tulus antara penghinaan (Djamaris, 1980).
Saiful Yazan dengan tokoh Saadun Tema ketuhanan dijumpai pula
Zanji merupakan salah satu bentuk dalam dua hikayat lainnya. Para tokoh
tema sosial dalam Hikayat Saiful Yazan. dalam kedua hikayat itu memandang
Dalam hikayat ini digambarkan tentang adanya Yang Maha Mutlak, yang
sikap saling tolong-menolong dan sikap menentukan hidup dan kehidupan.
saling memperhatikan antara kedua Zikir dan doa merupakan bentuk-
tokoh. Tema-tema sosial dalam hikayat bentuk aktualisasi keyakinan mereka.
ini memang lebih kaya. Kisah saling Khususnya dalam Hikayat Saif
menolong itu tidak hanya antara tokoh Zulyazan, tersimpul satu prinsip bahwa
Saiful Yazan dengan Saadun Zanji, ketuhanan adalah sebuah tanggung
sikap-sikap semacam itu juga terjalin jawab rohaniah manusia. Tokoh Saiful
antara beberapa tokoh lainnya (Jusuf, Yazan berprinsip bahwa memilih
1991). sesuatu adalah hak pribadi. Namun
Tema sosial yang cukup menonjol dalam pemilihan itu tidak boleh lepas
juga dijumpai dalam Hikayat Mariam dari tanggung jawab terhadap Allah dan
Zanariah dan Nurdin Masri. Nurdin masyarakat (Jusuf, 1991).
Masri terlunta-lunta begitu ia Ketiga, Tema Jasmaniah. Tema
meninggalkan negerinya. Ia tidak jasmaniah berupa percintaan terdapat
tahu ke mana ia harus menuju. dalam Hikayat Mariam Zanariah
Untunglah dalam kebingungannya dan Nurdin Masri. Tema ini dapat
itu, tokoh Mansur dengan tangan dirumuskan sebagai berikut: cinta itu
terbuka mengajak Nurdin untuk tumbuh dengan tidak memandang
tinggal bersama. Sayangnya, kisah perbedaan-perbedaan. Cinta yang tulus
sosial yang mengharukan itu hanya tidak akan lepas dari rintangan dan

23
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

cobaan. Cinta memerlukan ketulusan, untuk menjadi raja-diraja merupakan


perjuangan, dan pengorbanan. Dengan biang timbulnya ketegangan dengan
kesetiaan, kejujuran, dan kesungguhan, raja-raja lainnya. Demikian halnya
maka segala rintangan dan cobaan akan dengan kesengsaraan yang dialami oleh
teratasi. Hikayat ini berkisah tentang Saiful Yazan, secara tidak langsung
percintaan antara tokoh Mariam dan dilantarankan oleh kecemburuan Wazir
Nurdin. Keduanya memiliki latar Sakardiwan. Ia khawatir kedudukannya
belakang yang berbeda. Mariam adalah tersisihkan oleh keberadaan Saiful
putri seorang raja. Ia berasal dari Negeri Yazan (Jusuf, 1991).
Pranja yang Kristen. Sedangkan Nurdin Egoisme tidak selalu bernilai negatif.
adalah seorang putra saudagar kaya Sikap ini mempunyai sisi positif.
dari Mesir. Keluarganya merupakan Egoisme, sebagai supremasi harga
penganut agama Islam yang taat. diri, mendorong manusia untuk selalu
Cobaan datang silih berganti. Mariam berbuat kemuliaan dan menghindari
diculik dan dibawa ke tempat yang praktek-praktek kotor. Melarikan diri
tidak jelas di mana adanya. Nurdin merupakan cara mudah dan murah
sangat pedih menghadapi kenyataan yang dapat dilakukan oleh Saiful Yazan
itu. Namun ia tidak begitu menyerah. untuk memperoleh kebahagiaan dengan
Ia terus-menerus menelusuri keadaan Siti Syahmah, kekasihnya. Tetapi,
istrinya. Perjuangannya menemukan ajakan Siti Syahmah itu ia tolak. Ia
hasil. Ia menemukan Mariam dan memilih secara syariat, sekalipun cara
Mariam pun ternyata masih setia itu baginya sangat beresiko (Jusuf,
menantikannya (Umberan et al., 1994). 1991).
Tema ini dijumpai pula dalam
Hikayat Raja Khaibar dan dalam Kesimpulan
Hikayat Saif Zulyazan. Gambaran cinta Karya sastra Melayu klasik Islam
yang dimaksudkan dalam Hikayat sarat dengan muatan moral. Hal
Raja Khaibar adalah bahwa cinta itu ini didasarkan atas hasil telaahan
tumbuh tidak hanya karena keindahan terhadap tiga karya sastra yang terpilih,
fisik, tetapi juga dari kemuliaan jiwa. yakni: Hikayat Raja Khaibar, Hikayat
Cinta juga merupakan anugrah Allah, Saif Zulyazan, serta Hikayat Mariam
maka dalam menyikapinya tidak bisa Zanariah dan Nurdin Masri. Nilai-nilai
lepas dari ketentuan-ketentuan-Nya moral tersebut dapat dijumpai dalam
(Djamaris, 1980). Dalam Hikayat Saif alur, penokohan, latar, dan tema cerita.
Zulyazan dinyatakan bahwa untuk Setiap unsur menyimpan kaidah moral
meluluskan cinta bisa saja mengambil yang satu sama lain saling berkaitan
jalan pintas, tetapi hal itu merupakan dan saling menjelaskan. Sedemikian
tindakan yang tidak bernyali. Cinta sarat pesan moral itu, hikayat-hikayat
adalah anugrah Tuhan dan lahir dari tersebut terkesan menggurui. Baik
keberadaan manusia sebagai makhluk pola alur maupun karakteristik para
bermasyarakat. Dalam menyikapi cinta tokoh berlaku rumus hitam-putih, baik
tidak boleh lepas dari tuntutan Tuhan dan buruk. Kebaikan akan mengalami
dan tuntutan masyarakat (Jusuf, 1991). happy ending, sedangkan keburukan
Keempat, Tema Egois. Tema pasti akan kalah dan hancur. Rumus
ini mewarnai aneka konflik yang tersebut tampak pula pada karaktertik
muncul dalam Hikayat Raja Khaibar. para tokoh. Tokoh baik akan memiliki
Dinyatakan di dalamnya bahwa konflik sifat keparipurnaan. Sebaliknya, tokoh
itu tidak lepas dari hasrat manusia jahat akan memiliki karakter yang serba
untuk memperoleh kepuasan ego dan buruk, baik itu dalam hal fisik, sosial,
kehormatan diri (Djamaris, 1980). atapun moral.
Sikap ambisius Raja Tubaa Zulyazan Pola alur benar-menang dan salah-

24
SUSURGALUR:
Jurnal Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah, No.1, Vol.1, Maret 2013

kalah memang tidak berlaku pada total kepada Allah SWT (Subhanahu
setiap konflik atau peristiwa. Suatu Wa-Taala). Ikhtiar dan kesungguhan
saat pihak yang benar bisa dikalahkan dalam berjuang merupakan syarat
oleh pihak yang salah; atau sebaliknya, lain tercapainya kebahagiaan. Kaidah
yang salah akan mengungguli pihak moral yang dinyatakan di dalamnya
yang benar. Dalam proses menuju merupakan sesuatu yang ideal, yang
kemenangan, pihak yang benar sering sangat dipengaruhi oleh sistem normatif
dihadapkan pada aneka kesulitan yang berlaku dalam masyarakat kala
dan ancaman. Ada kaidah moral yang karya tersebut tercipta. Kalaupun
tersembunyi di balik itu. Pengarang karya-karya itu berasal dari ratusan
seolah-olah hendak menyampaikan tahun silam, kaidah moral yang
pesan bahwa kebenaran tidak akan disampaikan di dalamnya dipandang
lepas dari rongrongan kejahatan, sangat berguna sebagai salah satu
bahwa untuk menegakkan kebenaran rujukan bagi kesinambungan kaidah
diperlukan perjuangan. Walapun pada moral tersebut pada masa kini.
ujungnya pengarang memberikan
kebahagiaan kepada yang benar, pihak
yang benar itu terlebih dahulu akan Bibliografi
dihadapkan pada berbagai ujian dan
cobaan. Abu Bakar, Shafie. (1984). Falsafah Pemikiran
Kandungan moral juga kental Melayu Ditinjau dari Perkembangan Bahasa
dalam unsur tema. Tema-tema hikayat dan Sastranya dalam Bahasa dan Sastra
Nusantara: Sejarah dan Masa Depannya.
berkenaan dengan kerajaan dan konflik Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
peperangan. Tema-tema tersebut dan KPM [Kementerian Pelajaran Malaysia].
tidak terlepas dari kehadiran sosok- Alfian, T. Ibrahim. (1985). Persepsi Masyarakat
sosok pemberani di dalamnya. Ketiga tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia.
Alfian, T. Ibrahim et al. (1992). Dari Babad dan
hikayat yang menjadi objek penelitian
Hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta:
ini berbicara tentang tokoh-tokoh elite, Gadjah Mada University Press.
yang di dalamnya tergambar perilaku Ali, Lukman. (1989). Kebijaksanaan
ulet, tegar, dan perkasa. Para tokoh Pengembangan Sastra Indonesia dalam
yang memiliki tiga watak tersebut Budaya Jaya, No.VIII.
Ali, Mukti. (1983). Agama sebagai Sasaran
berhak menjadi pemenang. Selain itu, Penelaahan dan Penelitian di Indonesia
kasih sayang, persahabatan, dan takwa dalam Buletin Yaperna, No.12.
merupakan bentuk-bentuk kejadian Arifin, Bey. (1971). Rangkaian Tjerita dalam
yang kerap dijumpai di dalam ketiga Alquran. Bandung: Penerbit Almaarif.
Arkoun, Mohammed. (1996). Rethinking Islam.
hikayat itu.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Terjemahan.
Dijumpai tiga latar waktu dari Asad, Muhammad. (1996). Islam di Simpangan
ketiga hikayat itu, yakni sebelum Jalan. Bandung: Penerbit Pustaka,
Nabi Muhammad lahir, zaman Nabi Terjemahan.
Muhammad, dan setelah wafat Nabi Badudu, J.S. (1981). Sari Kesusastraan
Indonesia. Bandung: Pustaka Prima.
Muhammad. Jauhnya jarak waktu Baried, Siti Baroroh et al. (1982). Panji: Cerita
tidak sampai membedakan karakter Pahlawan Nusantara. Jakarta: Pusat
moral para tokohnya. Mereka manusia- Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
manusia beragama dan tokoh ideal Baried, Siti Baroroh. (1985). Pengantar Teori
Filologi. Jakarta: Depdikbud RI [Departemen
adalah tokoh yang bertakwa. Islam
Pendidikan dan Kebudayaan Republik
merupakan rujukan utama yang Indonesia].
digunakan oleh pengarang dalam Baried, Siti Baroroh. (1986). Memahami Hikayat
menggambarkan perilaku ideal mereka. dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud
Kebahagiaan akan diraih bila mereka RI [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia].
memiliki ketakwaan, yakni menunaikan Beg, M. Abdul Jabbar [ed]. (1981). Seni di dalam
shalat, berzikir, berdoa, dan kepasrahan Peradaban Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.

25
E. KOSASIH,
Nilai-nilai Moral dalam Karya Sastra Melayu Klasik Islam

Brakel, L.F. (1975). The Hikayat Muhammad Hamka. (1963). Dari Perbendaharaan Lama.
Hanafiah. The Hague: Martinus Nijhoff. Medan: Penerbit Madju.
Bryson, L. et al. (1980) Islamisation of the Hasjmy, A. (1980). Sastra dan Agama. Aceh:
Malays: A Transformation of Culture dalam Badan Harta Agama.
Mohd Taib Osman [ed]. Tamadun Islam di Heryanto, Ariel. (1985). Perdebatan Sastra
Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit PSM Kontekstual. Jakarta: Penerbit Rajawali Pers.
[Persatuan Sejarah Malaysia]. Ikram, Achadiati. (1997). Filologi Nusantara.
Danandjaja, James. (1994). Folklor Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya.
Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain. Jakarta: Jusuf, Jumsari. (1991). Hikayat Saif Zulyazan.
Pustaka Utama Grafiti. Jakarta: Depdikbud RI [Departemen
de Hollander, J.J. (1994). Pedoman Bahasa dan Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Sastra Melayu. Jakarta: Penerbit ILDEP. Indonesia].
Djahiri, A. Kosasih. (1992). Menelusuri Dunia Koentjaraningrat. (1980). Pengantar Antropologi.
Apektif, Nilai-Moral, dan Pendidikan Nilai- Jakarta: Aksara Baru.
Moral. Bandung: Laboratorium Pengajaran Krippendorff, Klaus. (1991). Analisis Isi:
PMP IKIP (Pendidikan Moral Pancasila, Pengantar Teori dan Metodologi. Jakarta:
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan] Penerbit Rajawali Pers, Terjemahan.
Bandung. Kurtines, William M. & Jacob L. Gerwitz.
Djamaris, Edwar. (1980). Hikayat Raja Khaibar. (1992). Moralitas, Perilaku Moral, dan
Jakarta: Depdikbud RI [Departemen Perkembangannya. Jakarta: UI [Universitas
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia] Press, Terjemahan.
Indonesia]. Mihardja, Achdiat K. [ed]. (1994). Polemik
Djamaris, Edwar et al. (1985). Antologi Sastra Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Pustaka Jaya.
Indonesia Lama Pengaruh Islam. Jakarta: Miskawaih, Ibn. (1994). Menuju Kesempurnaan
Depdikbud RI [Departemen Pendidikan dan Ahlak. Bandung: Penerbit Mizan, Terjemahan.
Kebudayaan Republik Indonesia]. Mulyadi, Sri Wulan Rudjiati. (1994). Kodikologi
Djamaris, Edwar. (1990). Menggali Khazanah Sastra Melayu Indonesia. Jakarta: FSUI
Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). [Fakultas Sastra, Universitas Indonesia].
Jakarta: Balai Pustaka. Poesponegoro, Marwati Djoened & Nugroho
Esten, Mursal. (1984). Sastra Indonesia dan Notosusasto [eds]. (1994). Sejarah Nasional
Tradisi Sub Kultur. Bandung: Penerbit Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Depdikbud RI
Angkasa. [Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Fang, Liau Yock. (1991). Sejarah Kesusastraan Republik Indonesia] dan PN Balai Pustaka.
Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Robson, S.O. (1969). Hikayat Andakan Penurat.
Firth, R. et al. (1960). Tjiri-tjiri Alam Hidup The Hague: Martinus Nijhoff.
Manusia: Suatu Pengantar Antropologi Sutrisno, Sulastin. (1983). Hikayat Hang Tuah:
Budaja. Bandung: Penerbit Sumur Bandung, Analisa Struktur dan Fungsi. Yogyakarta:
Terdjemahan. Gadjah Mada University Press.
Fisher, H. (1953). Pengantar Antropologi Teeuw, A. (1984). Sastra dan Ilmu Sastra:
Kebudajaan Indonesia. Djakarta: Penerbit Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Penerbit
Pembangunan, Terdjemahan. Pustaka Jaya.
Hamid, Ismail. (1984). Peranan Nabi Muhammad Teeuw, A. (1992). Khazanah Sastra Indonesia.
dalam Pembinaan Kesusastraan Nusantara Jakarta: Balai Pustaka.
dalam Bahasa dan Sastra Nusantara: Sejarah Umberan, Musni et al. (1994). Hikayat Mariam
dan Masa Depannya. Kuala Lumpur: Dewan Zanariah dan Nurdin Masri. Jakarta:
Bahasa dan Pustaka dan KPM [Kementrian Depdikbud RI [Departemen Pendidikan dan
Pelajaran Malaysia]. Kebudayaan Republik Indonesia].
Hamidy, U.U. (1983). Agama dan Kehidupan Winstedt, Sir Richard. (1969). A History of
dalam Cerita Rakyat. Pekanbaru: Bumi Classical Malay Literature. Kuala Lumpur:
Pustaka. Oxford University Press.

26

Anda mungkin juga menyukai