Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Kearifan Lokal

Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan
Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan.
Secara umum local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan
setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Local Genius sebagai Local Wisdom
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan
istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara
panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati
Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian
budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah
kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19).
Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur
budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya
untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1.
2.
3.
4.
5.

mampu bertahan terhadap budaya luar


memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalambudaya asli
mempunyai kemampuan mengendalikan
mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun
temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut
sebagai kebudayaan (budaya). Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah
mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal atau sering disebut
local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya
(kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi
dalam ruang tertentu (Ridwan, 2007). Kearifan (wisdom) secara etimologi berarti
kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu
kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa
atau situasi tersebut terjadi.
Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan norma yang berlaku
dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan
berperilaku sehari-hari. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007).
S. Swarsi Geriya dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali, mengatakan
bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan
manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang

melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar
sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena
kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan
(reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak
akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara
sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya
terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh
secara alamiah tetapi dipaksakan.
B. Contoh dan Fungsi Kearifan Lokal
Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali
dalam http://www.balipos.co.id, bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat
berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.
Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat
maka fungsinya menjadi bermacam-macam.
Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan Pola Perilaku Orang Bali
Merujuk Unsur Tradisi, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan
makna kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara
daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara
saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben danpenyucian roh leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaanpatron client
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah keraifan lokal, mulai
dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Elly Burhainy
Faizal mencontohkan beberapa kekayaan budaya, kearifan lokal di Nusantara yang terkait
dengan pemanfaatan alam yang pantas digali lebih lanjut makna dan fungsinya serta
kondisinya sekarang dan yang akan datang. Kearifan lokal terdapat di beberapa daerah:
1. Papua, terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Gunung Erstberg dan
Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia.
Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam secara hati-hati.
2. Serawai, Bengkulu, terdapat keyakinan celako kumali. Kelestarianlingkungan terwujud dari
kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.
3. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana ulen. Kawasan hutan dikuasai dan
menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat.

4. Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan


lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan
memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera,dan
mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian
sederhana dan ramah lingkungan.
5. Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal
upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hati-hati. Tidak diperbolehkan
eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat,
tumbuh dan berkembang secara terus-menerus dalam kesadaran masyarakat, berfungsi dalam
mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral
sampai yang profan.
Contoh Kearifan Lokal yang ada di Indonesia
Kearifan-kearifan lokal di Indoensia ini sangat kaya, beragam, dan menyebar di
keseluruhan kawasan di Indonesia. Kearifan lokal ini umumnya dapat dijumpai dalam adat.
Istilah inilah yang menjadi dasar dari kearifan lokal bangsa Indonesia. Adat dijumpai dalam
kebudayaan etnik di seluruh Indonesia. Adat masyarakat Nusantara ini, memiliki konsepkonsepnya sendiri pula. Di Aceh adatnya disebut dengan adat bak petumeuruhom hukom bak
syiah kuala. Dalam kebudayaan Minangkabau adat dikonsepkan sebagai adat basandikan
syarak, syarak basandikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Berikut dideskripsikan
konsep kearifan lokal (adat) Melayu.
Menurut Lah Husni adat pada etnik Melayu tercakup dalam empat ragam, iaitu: (1)
adat yang sebenar adat; (2) adat yang diadatkan; (3) adat yang teradat, dan (4) adat
istiadat. (1) Adat yang sebenar adat adalah apabila menurut waktu dan keadaan, jika
dikurangi akan merusak, jika dilebihi akan mubazir (sia-sia). Proses ini berdasar
kepada: (a) hati nurani manusia budiman, yang tercermin dalam ajaran adat: Pisang emas
bawa belayar; Masak sebiji di dalam peti; Hutang emas dapat dibayar; Hutang budi dibawa
mati. (b) kebenaran yang sungguh ikhlas, dengan berdasar pada: berbuat karena Allah
bukan karena ulah; (c) keputusan yang berpadan, dengan berdasar kepada: hidup sandarmenyandar, pisang seikat digulai sebelanga, dimakan bersama-sama. yang benar itu
harus dibenarkan, yang salah disalahkan. Adat murai
berkicau, tak mungkin
menguak. Adat lembu menguak, tak
mungkin berkicau. Adat
sebenar
adat ini menurut konsep etnosains Melayu adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak
kurang, yang besar dibesarkan, yang tua dihormati, yang kecil disayangi, yang sakit
diobati, yang bodoh diajari, yang benar diberi hak, yang kuat tidak melanda, yang tinggi
tidak menghimpit, yang pintar tidak menipu, hidup
berpatutan, makan
berpadanan. Jadi
ringkasnya, hidup itu
seharusnya harmonis, baik
mencakup
diri sendiri, seluruh negara, dan lingkungan hidupnya. Tidak ada hidup yang bernafsinafsi. Inilah adat yang tidak boleh berubah (Lah Husni, 1986:51).
(2) Adat
yang
diadatkan
adalah
adat
itu bekerja pada
suatu landasan tertentu, menurut mufakat dari penduduk
daerah tersebut--

kemudian pelaksanaannya diserahkan oleh rakyat kepada yang dipercayai mereka. Sebagai
pemangku
adat
adalah seorang raja
atau
penghulu. Pelaksanaan adat ini
wujudnya adalah untuk kebahagiaan penduduk, baik lahir ataupun batin, dunia dan
akhirat, pada saat itu dan saat yang akan datang. Tiap-tiap negeri itu
mempunyai situasi yang
berbeda dengan negeri-negeri lainnya, lain lubuk lain
ikannya lain padang lain belalangnya. Perbedaan keadaan, tempat, dan kemajuan sesuatu
negeri itu membawa resam dan adatnya sendiri, yang sesuai dengan kehendak rakyatnya,
yang diwarisi dari leluhurnya. Perbedaan itu hanyalah dalam lahirnya saja, tidak dalam
hakikinya. Adat yang diadatkan ini adalah sesuatu yang telah diterima untuk menjadi
kebiasaan atau peraturan yang diperbuat bersama atas mufakat menurut ukuran yang patut
dan benar, yang dapat dimodifikasi sedemikian rupa secara fleksibel. Dasar dari adat yang
diadatkan ini adalah: penuh tidak melimpah, berisi tidak kurang, terapung tidak hanyut,
terendam tidak basah (Lah Husni, 1986:62).
(3) Adat yang teradat adalah kebiasaan-kebiasaan yang secara berangsurangsur atau
cepat
menjadi adat. Sesuai
dengan pepatah: sekali air
bah, sekali tepian berpindah, sekali zaman beredar, sekali adat berkisar. walau terjadi
perubahan adat itu, inti adat tidak akan lenyap: adat pasang turunnaik, adat api panas, dalam gerak berseimbangan,
di
antara
akhlak
dan
pengetahuan. Perubahan itu hanya terjadi dalam bentuk ragam, bukan dalam hakiki
dan tujuan semula. Umpamanya jika dahulu orang memakai tengkuluk atau ikat kepala
dalam suatu majelis, kemudian sekarang memakai kopiah itu menjadi pakaian yang
teradat. Jika dahulu berjalan berkeris atau disertai pengiring, sekarang tidak lagi.
Jika dahulu warna kuning hanya raja yang boleh memakainya, sekarang siapa pun boleh
memakainya (Lah Husni, 1986:62).
(4) Adat istiadat adalah kumpulan dari berbagai
kebiasaan, yang lebih banyak diartikan tertuju kepada upacara khusus seperti adat:
perkawinan, penobatan raja, dan pemakaman raja. Jika hanya adat saja maka kecenderungan
pengertiannya adalah sebagai himpunan hukum, misalnya: hukum ulayat, hak asasi dan
sbagainya. Dalam konteks kebudayaan Melayu, adat istiadat ini mencakup daur hidup
manusia Melayu, yang tercermin dalam upacara melenggang perut saat perempuan Melayu
hamil. Kemudian upacara kelahiran, akikah, manabalkan nama, bercukur, dan memijak tanah.
Seterusnya upacara khitanan pada saat akil baligh. Kemudian ada pula upacara perkawinan
adat Melayu, yang mencakup tahapan-tahapan seperti merisik kecil, meminang, jamu sukut,
akad nikah, hempang pintu, hempang batang, hempang kipas, duduk di pelaminan, mandi
bedimbar, meminjam pengantin, dan setersnya. Selanjutnya ada pula upacara kematian,
membaca Yassin, kirim doa, dan seterusnya. Dalam kebudayaan Melayu terdapat juga
upacara-upacara yang bersifat menyatu dengan alam (kosmologi) seperti mulaka nukah,
mulaka ngerbah, jamu laut, mandi Syafar, dan lain-lainnya. Yang jelas adat istiadat Melayu
lahir karena respins terhadap alam.
Dalam adat Melayu kearifan-kearifan lokal dalam konteks membentuk kepribadian
dan kebangsaan, sangat lekat dengan konsep adat yang diadatkan. Bahwa orang Melayu
sangatlah menghargai pemimpin seperti sultan, raja, perdana menteri, menteri, panglima,

penghulu, ketua mukim, dan lain-lainnya. Orang Melayu perlu memiliki pemimpin yang adil,
bijaksana, bisa diperaya (amanah), selalu berusaha untuk benar dalam hidup, dan lainlainnya. Pemimpin menjadi sebuah kewajiban dalam tata pemerintahan dan politik dalam
kebudayaan Melayu. Seperti tercermin dalam ajaran adat: Apa tanda Melayu jati/ mengangkat
pemimpin bijak bestari/ Apa tanda Melayu jati/ Pemimpin dan ulama mesti bersebati. Dengan
adanya pemimpin dan rakyat yang dipimpin menjadikan umat Melayu memiliki tata
pemerintahnya dan selanjutnya ketika nasionalisme muncul mereka membentuk negara
bangsa. Ini salah satu karakter kepemimpinan yang bisa diterapkan dalam konteks menuju
karakter bangsa.
Dalam adat Melayu juga dikenal kearifan lokal, bahwa hidup dikandung adat, biar
mati anak asal jangan mati adat. Artinya bahwa orang Melayu sangatlah memperhatikan
kesinambungan dan pendidikkan kebudayaan. Bila adat itu lestari maka akan lestarilah
kebudayaan Melayu. Jika keturunan kita berbuat salah maka kita jangan segan memberikan
hukuman atau sangsi sosial sebagaimana yang berlaku. Bukan saja kearifan lokal Melayu,
beberapa kelompok etnik di Nusantara ini juga memiliki kearifan lokal yang berkaitan
dengan pembentukan karakter bangsa. Misalnya pada etnik Nias, sistem penggolongan
derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan, dimulai dari janin sampai kehidupan
akhirat. Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan. Dalam konteks ini, bosi
nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia
mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi anaa (sorga). Adapun pembagian bosi
itu adalah: fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi
nama); famoto (sirkumsisi); falowa (kawin); famadadao omo (membangun rumah); faaniha
banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi anggota adat); fangai toi (mengambil
gelar); faamokho (kekayaan); mamee go banua (menjamu orang se desa) dan mamee go
nori (menjamu orang satu ori, beberapa desa (Dasa Manao et al. 1998:195-196). Inti dari
kearifan lokal itu adalah, bahwa sebagai sebuah suku dan juga bangsa setiap orang Nias
selalu berinteraksi dan menjadi bahagian komunitas sosial. Dalam hal ini seorang pemimpin
sosial mestilah mampu memberikan rezekinya kepada orang lain. Seorang pemimpin adalah
tangan di atas bukan di bawah.
Selain itu kearifan lokal dalam konteks pembangunan karakter bangsa juga terdapat
dalam kebudayaan Batak Toba. Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba
mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang disebut dengan Batak Toba. Mereka
disebut orang Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal beberapa
kesatuan tempat yaitu: (1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan
kosong di tengah-tengahnya, (2) huta, republik kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan,
daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4) homban (mata air), (5) huta parserahan,
kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Inti ajaran kearifan lokal seperti
terurai di atas adalah bahwa kita hidup adalah sebagai makhluk sosial yang nemerlukan dan
diperrlukan oleh orang lain baik di peringkat kelompok sosial kecil sampai yang besar,
termasuk bernegara.
Dari contoh-contoh di atas tergambar dengan jelas bahwa kearifan lokal masyarakat
Nusantara terkodifikasi dalam adat. Adat masyarakat Nusantara ini memiliki konsep-

konsepnya tersendiri di setiap kelompok etnik. Dalam kearifan lokal Nusantara terdapat nilainilai untuk membentuk karakter bangsa. Nilai-nilai tersebut mencakup: sistem
kepemimpinan, hubungan sosial, hidup secara berkelompok, pentingnya berbagi materi dan
pengalaman kepada orang lain, belajar terus dari alam, nilai-nilai gotong royong, bagaimana
menghadapi perubahan dan globalisasi, sadar akan makhluk yang mulai dari kecil, dewasa,
sampai meninggal, hidup tidak boleh sombong, dan seterusnya.
Sebagai sebuah bangsa yakni bangsa Indonesia kita berkarakter positif yang dapat
digali nilai karakter berbangsa itu dari kearifan lokal (etnik). Di antara karakter bangsa itu
adalah: bersama secara sosial dan bergotong royong, menerapkan nilai-nilai kebenaran
berdasarkan agama dan adat, memiliki pemimpin, menghormati pemimpin, bertindak secara
benar, amanah, menjaga persatuan, tidak menghujat, dan seterusnya. Dengan demikian, maka
kearifan lokal ini perlu terus digali dalam rangka menumbuhkan karakter berbangsa dan
bernegara.
Masih banyak lagi kearifan lokal yang masih dapat bertahan dan melekat di
kehidupan masyarakat. Sistem pertanian subak di Bali, sistem pelestarian hutan oleh sukusuku pedalaman, sistem pengaturan mencari ikan di pedalaman Papua, sistem penetasan telur
ayam dengan menggunakan gabah dan gerabah di Nusa Tenggara, sistem pengelolaan tanah
ulayat yang berkelanjutan dan lain-lain terbukti dapat diterapkan sejalan dengan kehidupan
modern. Manusia modern seharusnya menyadari bahwa kearifan lokal itu bukanlah
merupakan suatu yang ditemukan dan dikembangkan oleh para nenek moyang kita secara
instan. Kearifan lokal ini dikembangkan dalam waktu lama dan selaras dengan pelestarian
lingkungan.
Tradisi subak di Bali yang menyalurkan air untuk pertanian, sasi di Maluku dan Papua
yang mencegah penangkapan ikan secara berlebihan (Salim, dalam Rohadi,
2007:35), zoning di Papua dan karuhun di tanah Sunda yang mengatur pengelolaan
lahan/hutan, dan air (Hadi, 2009: 28-30), serta leuweung di tanah Sunda untuk pengelolaan
dan tata guna hutan dan lahan (Abdilah, 2007:2) adalah sebagian contoh kearifan lokal yang
sangat ramah lingkungan dan berdampak positif bagi kehidupan warga masyarakat di
sekitarnya. Hal tersebut sebenarnya menunjukkan realitas social yang tidak saja
membuktikan bentuk-bentuk tanggung jawab etik dan moral, wujud dari keserasian dan
keselarasan hubungan antara manusia dengan alam, akan tetapi juga menunjukkan bahwa
secara naluriah manusia memiliki kecenderungan untuk selalu memahami lingkungannya,
menjalin ikatan yang sedemikian dekat dengan alam; juga merupakan cermin dari masyarakat
yang mandiri.
C. Jenis-Jenis Kearifan Lokal
Jenis kearifan lokal meliputi tata kelola, nilai-nilai adat, serta tata cara dan
prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
1. Tata Kelola
Di setiap daerah pada umumnya terdapat suatu sistem kemasyarakatan yang mengatur
tentang struktur sosial dan keterkaitan antara kelompok komunitas yang ada, seperti Dalian
Natolu di Sumatera Utara, Nagari di Sumatera Barat, Kesultanan dan Kasunanan di Jawa dan
Banjar di Bali. Sebagai contoh, masyarakat Toraja memiliki lembaga dan organisasi sosial

yang mengelola kehidupan di lingkungan perdesaan. Pada setiap daerah yang memiliki adat
besar pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok adat yang dikuasai satu badan
musyawarah adat yang disebut Kombongan Ada. SetiapKombongan Ada memiliki beberapa
penguasa adat kecil yang disebut Lembang. Di daerah lembang juga masih terdapat penguasa
adat wilayah yang disebut Bua (Buletin Tata Ruang, 2009).
Selain itu, terdapat pula pembagian tugas dan fungsi dalam suatu
kelompok masyarakat adat misalnya Kepatihan (patih), Kauman (santri) di perkampungan
sekitar Keraton di Jawa. Kewenangan dalam struktur hirarki sosial juga menjadi bagian dari
tata kelola, seperti kewenangan ketua adat dalam pengambilan keputusan, dan aturan sanksi
serta denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat tertentu.
2. Sistem Nilai
Sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu
komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta
benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang
mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan,
alamsemesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati,
mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang
mengaturnya.
3. Tata Cara atau Prosedur
Beberapa aturan adat di daerah memiliki ketentuan mengenai waktu yang tepat untuk
bercocok tanam serta sistem penanggalan tradisional yang dapat memperkirakan kesesuaian
musim untuk berbagai kegiatan pertanian, seperti: Pranoto Mongso (jadwal dan ketentuan
waktu bercocok tanam berdasarkan kalender tradisional Jawa) di masyarakat Jawa atau
sistem Subak di Bali.
Selain itu, di beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali,Kalimantan, Sulawesi,
dan Papua umumnya memiliki aturan mengenai penggunaan ruang adat termasuk batas
teritori wilayah, penempatan hunian, penyimpanan logistik, aturan pemanfaatan air untuk
persawahan atau pertanian hingga bentuk-bentuk rumah tinggal tradisional. Di Tasikmalaya
Jawa Barat misalnya, terdapat sebuah kampung budaya yaitu Kampung Naga, yang
masyarakatnya sangat teguh memegang tradisi serta falsafah hidupnya, mencakup tata
wilayah (pengaturan pemanfaatan lahan), tata wayah (pengaturan waktu pemanfaatan), dan
tata lampah (pengaturan perilaku/perbuatan).
4. Ketentuan Khusus (Kawasan Sensitif, Suci, Bangunan)
Mengenai pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sensitif, seperti di Sumatera
Barat, terdapat beberapa jenis kearifan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tanah,
dan air seperti Rimbo Larangan (hutan adat/hutan larangan), Banda Larangan (sungai, anak
sungai / kali larangan), Parak (suatu lahan tempat masyarakat berusaha tani dimana terdapat
keberagaman jenis tanaman yang dapat dipanen sepanjang waktu secara bergiliran), serta
Goro Basamo (kegiatan kerja bersama secara gotong royong untuk kepentingan masyarakat

D.

1.
a)

b)

c)

banyak seperti membuat jalan baru, bangunanrumah ibadah, membersihkan tali bandar
(sungai), dan menanam tanaman keras).
Terkait dengan bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim,
bencana atau ancaman lainnya, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan berbagai
bentuk arsitektur rumah tradisional seperti rumah adat batak, rumah gadang, rumah joglo,
rumahpanjang, rumah toraja, dan rumah adat lainnya yang dapat memberikan perlindungan
dan ramah terhadap lingkungan.
Bentuk Kearifan Lokal
Bentuk kearifan lokal dapat dikategorikan ke dalam dua aspek, yaitu kearifan lokal
yang berwujud nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible).
Kearifan Lokal yang Berwujud Nyata (Tangible)
Bentuk kearifan lokal yang berwujud nyata meliputi beberapa aspek berikut:
Tekstual
Beberapa jenis kearifan lokal seperti sistem nilai, tata cara, ketentuan khusus yang
dituangkan ke dalam bentuk catatan tertulis seperti yang ditemui dalam kitab tradisional
primbon, kalender dan prasi (budaya tulis di atas lembaran daun lontar). Sebagai contoh,
prasi, secara fisik, terdiri atas bagian tulisan (naskah cerita) dan gambar (gambar ilustrasi)
(Suryana, 2010). Tulisan yang digunakan dalam prasi adalah huruf Bali. Gambar yang
melengkapi tulisan dibuat dengan gaya wayang dan menggunakan alat tulis/gambar khusus,
yaitu sejenis pisau.
Seiring dengan pergantian zaman, fungsi prasi sudah banyak beralih dari
fungsi awalnya, yaitu awalnya sebagai naskah cerita yang beralih fungsi menjadi
benda koleksi semata. Sekalipun perubahan fungsi lebih mengemuka dalam keberadaan prasi
masa kini, penghargaannya sebagai bagian dari bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat Bali
tetap dianggap penting.
Bangunan/Arsitektural
Banyak bangunan-bangunan tradisional yang merupakan cerminan dari
bentuk kearifan lokal, seperti bangunan rumah rakyat di Bengkulu. Bangunan rumah
rakyatini merupakan bangunan rumah tinggal yang dibangun dan digunakan oleh
sebagian besar masyarakat dengan mengacu pada rumah ketua adat. Bangunan vernakular
ini mempunyai keunikan karena proses pembangunan yang mengikuti para leluhur, baik dari
segi pengetahuan maupun metodenya (Triyadi dkk., 2010). Bangunan vernakular ini terlihat
tidak sepenuhnya didukung oleh prinsip dan teori bangunan yang memadai, namun secara
teori terbukti mempunyai potensi-potensi lokal karena dibangun melalui proses trial & error,
termasuk dalam menyikapi kondisi lingkungannya.
Benda Cagar Budaya/Tradisional (Karya Seni)
Banyak benda-benda cagar budaya yang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal,
contohnya, keris. Keris merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang sangat penting.
Meskipun pada saat ini keris sedang menghadapi berbagai dilema dalam pengembangan serta
dalam menyumbangkan kebaikan-kebaikan yang terkandung di dalamnya kepada nilai-nilai
kemanusiaan di muka Bumi ini, organisasi bidang pendidikan dan kebudayaan atau UNESCO
Badan Perserikatan Bangsa Bangsa, mengukuhkan keris Indonesia sebagai karya agung

warisan kebudayaan milik seluruh bangsa di dunia. Setidaknya sejak abad ke-9, sebagai
sebuah dimensi budaya, Keris tidak hanya berfungsi sebagai alat beladiri, namun sering kali
merupakan media ekspresi berkesenian dalam hal konsep, bentuk, dekorasi hingga makna
yang terkandung dalam aspek seni dan tradisi teknologi arkeometalurgi. Keris memiliki
fungsi sebagai seni simbol jika dilihat dari aspek seni dan merupakan perlambang dari pesan
sang empu penciptanya.
Ilustrasi lainnya adalah batik, sebagai salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni
tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama. Terdapat
berbagai macam motif batik yang setiap motif tersebut mempunyai makna tersendiri.
Sentuhan seni budaya yang terlukiskan pada batik tersebut bukan hanya lukisan gambar
semata, namun memiliki makna dari leluhur terdahulu, seperti pencerminan agama (Hindu
atau Budha), nilai-nilai sosial dan budaya yang melekat pada kehidupan masyarakat.
2. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud (Intangible)
Selain bentuk kearifan lokal yang berwujud, ada juga bentuk kearifan lokal yang
tidak berwujud seperti petuah yang disampaikan secara verbal dan turun temurun yang
dapat berupa nyanyian dan kidung yang mengandung nilai-nilai ajaran tradisional. Melalui
petuahatau bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud lainnya, nilai sosial disampaikan
secara oral/verbal dari generasi ke generasi.
E. Peran Kearifan Lokal dalam Tatanan Nasional
Berbicara tentang kearifan lokal, maka kita akan diseret ke sebuah mainstream yang
sangat erat hubungannya dengan kebudayaan. Pada sisi ini menjadi varian utama dalam
membentuk apa yang dicitakan, yakni penciptaan sebuah tatanan masyarakat yang
demokratis yang kemudian membentuk Negara demokrasi yang merupakan konsep (teknis)
Negara pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang disampaikan oleh
Abraham Lincoln dalam pidato kenegaraan, karena masyarakat sudah terbisaa dengan
perbedaan dan bersikap toleran terhadap adanya perbedaan tersebut dan di bangunnya asas
kedemokrasian dalam sebuah pemerintahan itu dilatarbelakangi salah satunya keragaman.
Kearifan lokal (Local wisdom) di Indonesia memang sudah menjadi bagian tidak
terpisahkan dari masyarakat pribumi mulai sebelum Indonesia merdeka dan berbentuk
Negara kesatuan. Hal ini menunjukkan, bahwa kemerdekaan yang sekarang kita rasakan tidak
lepas dari kearifan yang sudah hidup sebelumnya contoh di Islam ada Tahlil, para penjajah
sangat ketakutan ketika masyarakat pribumi melakukan kegiatan tahlil, srakalan, acara
maulid Nabi dan acara-acara keagamaan yang bersifat jamiyah, karena melalui acara-acara
tersebut selain pembacaan kalimah thayibah, juga musyawarah atau sekedar diskusi yang itu
akan memunculkan ide-ide kemerdekaan (Hadiwijaya, 2010) .
Upaya Nasional dalam Menjaga Kearifan Lokal
Sebagaimana dalam pendahuluan di atas, bahwa merupakan tugas Negara dalam hal
ini yang paling terpenting adalah peran pemerintah dalam menjaga keharmonisan masyarakat
yang berkebudayaan yang beragam sehingga keragaman-keberagaman tersebut tidak menjadi
alasan untuk menimbulkan perpecahan dalam suatu Negara dan dapat terjaga sekaligus
dilestarikan sebagaimana mestinya. Setidaknya ada beberapa upaya Negara dalam menjaga

kearifan local, yakni salah satunya dengan membangun museum-museum dan


melalui pendidikan, dalam artian, bagaimana pendidikan menjadikan kekuatan kebudayaan
itu melalui kerifan lokal masing-masing suku bangsa dapat eksis dan mengalami dinamisasi
yang produktif.
Produktifitas kebudayaan yang dimaksudkan adalah transformasi kearifan lokal dalam
kanca Internasional, hal ini memungkinkan jika ditopang oleh peran pendidikan dan aktor
intelektualnya. Sehingga menjadi tindakan yang keliru kemudian memisahkan antara proses
pendidikan dan kebudayaan, karena pada praktisnya pendidikan mempunyai tiga pilan dalam
menjalankan kependidikan yakni, sekolah, keluarga dan masyarakat yang ketiganya
merupakan wilayah strategis dalam mengembangkan kebudayaan.
Yang Mulai Terlupakan dan terabaikan
Para intelektual dan para cendekiawan kita mulai melupakan mungkin akibat
pengaruh modernisasi kearifan lokal yang dinilainya kuno banyak para pemuda Indonesia
menganggap hal-hal yang mistis seperti keris, wiridan-wiridan, kejawen dan lain sebagainya
sudah dianggap hal yang kurang atau bahkan tidak rasional, padahal sebelum Albert Einstein,
seorang ilmuwan terhebat abad ke-20. Cendekiawan yang katanya tak ada tandingannya
sepanjang jaman termasuk karena teori "relativitas"-nya belum lahir di dunia pengetahuan,
kearifan kejawen sudah memberikan teori, tentang asas pertama alam, dengan ungkapan ana
manuk bango buthak, ngendog ing ngenthak-ngenthak yakni sebelum dunia dan seisinya
mengisi alam semesta ini, jagad masih berupa susunan tata surya yang kosong. di sana
terdapat sekumpulan awan putih yang pijar dan berputar. Awan putih itu jika dilihat tampak
seperti burung bangau putih polos. Sekumpulan awan itu memercikkan gumpalan-gumpalan
putih kecil, seperti burung bangau yang bertelur dan telurnya tercerai berai, telur-telur itulah
yang menjadi bumi, mars, yupiter, dan planet-planet yang lain, sedangkan inti dari gumpalan
awan itu manjadi matahari (Hadiwijaya, 2010), itu salah satu contoh saja dari kearifan lokal
yang ada di Indonesia yang serat dengan pengetahuan. Hal ini bisa kita lihat berapa
persenkah para pelajar muda (jawa) yang bisa menulis dengan tulisan jawa atau bahkan
hampir tidak ada?, padahal di tahun 2005 di Belanda sudah membuka fakultas ilmu jawa,
mungkin ini menjadi bahan koreksi diri (muhasabah) bagi para pemuda Indonesia . Lebih
ironisnya lagi Presiden Indonesia Sosilo Bambang Yudhoyono akan membubarkan Daerah
Istemewa Yogyakarta serta menghapus system monarkhi yang menjadi salah satu pusat
kearifan lokal di Indonesia .
F. Kearifan Lokal Dalam Konteks Pembentukan Karakter Bangsa Indonesia
Kearifan atau kebijaksanaan adalah sesuatu yang didambakan umat manusia di dunia
ini. Kearifan dimulai dari gagasan-gagasan dari individu yang kemudian bertemu dengan
gagasan individu lainnya, seterusnya berupa gagasan kolektif. Kearifan lokal ini biasanya
dicipta dan dipraktikkan untuk kebaikan komunitas yang menggunakannya. Ada kalanya
kearifan lokal itu hanya diketahui dan diamalkan oleh beberapa orang dalam jumlah yang
kecil, misalnya desa. Namun ada pula kearifan lokal yang digunakan oleh sekelompok besar
masyarakat, misalnya kearifan lokal etnik.

Kearifan lokal ini juga tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan masyarakat yang
mendukungnya. Kearifan lokal, biasanya mencakup semua unsur kebudayaan manusia, yang
mencakup: sistem religi, bahasa, ekonomi, teknologi, pendidikan, organisasi sosial, dan
kesenian. Kearifan lokal bermula dari ide atau gagasan, yang kemudian diaplikasikan dalam
tahapan praktik, dan penciptaan material kebudayaan. Ia akan terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman, intensitas pergaulan sosial, dan enkulturasi sosiobudaya.
Apalagi dalam dunia yang tidak mengenal batas seperti sekarang ini, kearifan lokal sangat
diwarnai oleh wawasan manusia yang memikirkan dan menggunakannya.
Kearifan lokal di peringkat etnik juga bisa bermacam-macam bidang. Misalnya untuk
merespons alam sekitar manusia membuat rumah sekalian dengan aspek-aspek spiritual untuk
menjaganya. Begitu juga dengan sistem perkawinan, ada yang mendasarkan kepada
perkawinan di luar klen (eksogamus), perkawinan untuk kepentingan politik kekuasaan,
perkawinan perempuan melamar lelaki atau sebaliknya. Selain itu, kearifan lokal juga
tercermina dalam filsafat atau pandangan hidup manusia yang memikirkan dan
menggunakannya. Sebagai contoh dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan
filsafat dalihan na tolu (DNT), dalam masyarakat Aceh dikenal adat bak petumeuruhom
hukom bak syaiah kuala, dalam kebudayaan Minangkabau ada filsafat alam nan takambang
menjadi guru, dalam kebudayaan Jawa terdapat filsafat alon-alon waton kelakon dan sederek,
dalam masyarakat Sulawesi ada filsafat persaudaraan universal pelagandong, dan lainlainnya.
Kearifan lokal juga dapat mendukung kepada keberadaan negara bangsa (nation state)
tertentu. Bahkan dalam merumuskan sebuah negara bangsa, selalunya diwarnai oleh kearifankearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat yang membentuk dan mencita-citakan negara
bangsa tersebut. Misalnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai
dasar negara Pancasila, sebenarnya adalah proses pemikiran para pendiri bangsa ini untuk
membuat dasar negara yang diambil dan digali dari nilai-nilai kearifan lokal Nusantara.
Kearifan-kearifan lokal ini kemudian dirumuskan menjadi lima sila yang berdasar kepada
bentuk ikatan sosial budaya biar berbeda-beda tetapi tetap satu (bhinneka tunggal ika).
Kearifan lokal yang dimaksud bisa saja berasal dari kebudayaan etnik, atau pemikiran
kebangsaan dari masyarakat Indonesia, dari rentangan masa ke masa. Selanjutnya
menjelaskan bagaimana kearifan lokal ini dapat memebentuk karakter bangsa Indoensia,
yang seperti kita ketahui memiliki ciri-ciri seperti: suka bergotong royong, religius, nasionalis
dan menghargai segala perbedaan dalam konteks persatuan dan kesatuan, pekerja keras, tidak
bergaya hidup mewah, dan seterusnya, sebagai karakter yang dicita-citakan bersama, dalam
rangka membangun negara bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai