Anda di halaman 1dari 25

JURNAL OBSERVASI

ADAT PERNIKAHAN SUKU BUGIS

Diajukan Sebagai PemenuhanTugas


Pada Mata Kulia
Fiqih munakahat
Jurusan Syari’ah
Prodi Akhwalul Syakhsiyah Semester 3 (Tiga)

Dosen Pengampu:
Pak Sudirman, MH.I

Disusun Oleh Kelompok 2 (Dua) :


1. Rudi Salam Sopalatu
2. Khuzainah Annizah
3. Een Iriana

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SORONG


TAHUN AKADEMIK 2018/2019
ABSTRAK
Observasi ini bertujuan untuk mengetahui Suku Adat Bugis yang terdapat di kota
papua, disini metode yang kami gunakandalam pelaksaan observasi yang kami siapkan
adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan secara langsung ke narasumber
yang ada di tempat tersebut,hasil observasi menunjukan bahwa Secara garis besar,
pelaksanaan upacara adat ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra pernikahan, pesta
pernikahan, dan pasca pernikahan. Dengan hal ini kita bisa menjabarkan apa-apa sajakah
yang terdapat didalam suku adat bugis. Suku bugis memiliki ciri khas yang sampai saat ini
masi di budayakan sehingga dengan adanya sebuah perkawinan maka adat dan buadaya itu
tidak bisa terpisahkan dari perkawinan itu,

Kata kunci:Upacara pra pernikahan, pesta pernikahan dan pasca pernikahan.


PENDAHULUAN
1.Latar belakang
Pernikahan adalah sesuatu yang di lakukan setiap insan ketika sudah menginjak usia
dewasa. pernikahan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia
karena pernikahan bukan hanya merupakan peristiwa yang harus ditempuh atau dijalani oleh
dua individu yang berlainan jenis kelamin, tetapi lebih jauh adalah pernikahan sesungguhnya
proses yang melibatkan beban dantanggung jawab dari banyak orang, baik itu tanggung
jawab keluarga, kaum kerabat, bahkan kesaksian dari seluruh masyarakat yang ada di
lingkungannya. Prosesi pernikahanpun berbeda satu sama lain pada setiap daerah. Ada
yang melakukan prosesi pernikahan secara glamour dan adapula yang melakukannya
dengan sangat sederhana. Tidak terkecuali suku-suku pedalaman yang ada di seluruh penjuru
dunia ,termasuk suku-suku yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah suku bugis. Suku
Bugis adalah masyarakat asli dari Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis tersebar di
beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Pinrang,
Barru, dan Sidenreng Rappang. Seperti suku – suku yang lainnya yang ada di nusantara ,
masyarakat bugis juga memiliki tradisi dalam proses pernikahan. Mulai dari lamaran, pra
akad nikah, akad nikah, sampai dengan pasca akad nikah. Semuanya terangkai dalam suatu
proses yang cukup unik dan kompleks.Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap prosesi adat pernikahan suku Bugis.

2. Rumusan Masalah
2.1.Bagaimana Proses Pernikahan Adat Bugis di KotaSorong?
2.2. Bagaimana Keterkaitan prosesi suku Bugis dengan Fiqih Munakahat?

3. Tujuan penulisan
3.1. Untuk mengetahui Bagaimana Proses Pernikahan Adat Bugis di Kota Sorong?
3.2. Untuk mengetahui Bagaimana Keterkaitan prosesi suku Bugis dengan Fiqih
Munakahat?
4. Metode Observasi
4.1. Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di kota sorong, Jl.Selat Bangka, lorong 5 dan lorong 4,
belakang GOR. Waktu penelitian akan dilaksanakan dari tanggal 15 Oktober 2018-18
Oktober 2018.
4.2. Populasi dan sample
Populasi dalam penelitian ini adalah warga dari suku bugis yang telah menetap
lama di kota sorong. Tehnik pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan
teknik propotional random sampling mengingat penelitian ini bersifat homogen. Sample
dalam penelitian ini yaitu warga adat suku bugis yang bertempat di kota sorong, Jl.Selat
Bangka, lorong 5 dan lorong 4, belakang GOR.
4.3. Tehnik pengambilan data
Pada penelitian ini pengumpulan data menggunakan method sebagai berikut;
3.1.Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendukung instrument angket dengan
menunjukan data dilapangan yang sudah ada. Dokumentasi dalam penelitian ini
adalah dokumentasi hasil wawancara warga suku adat bugis di kota sorong,
Jl.Selat Bangka, lorong 5 dan lorong 4, belakang GOR. Tempat observasi
berlangsung.
3.2. Angket atau Kuesioner
Instrument angket atau kuesioner dalam penelitian ini menggunakan skala
likert, maka pariable yang diukur, dijabarkan menjadi indicator-indicator yang
dapat diukur. Indicator tersebut digunakan sebagai titik tolak untuk membuat item
instrument yang berupa pertnyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh
responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan
sikap yang diungkapkan dengan memberi jawaban dari sebuah pertanyaan.

5. Hasil Observasi Dan Pembahasan

Mappabotting adalah upacara adat pernikahan orang Bugis di Selawesi Selatan.


Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra
pernikahan, pesta pernikahan, dan pasca pernikahan.
5.1. Bahan-bahan dan Perlengkapan
Bahan-bahan yang digunakan dalam upacara pernikahan orang Bugis di
antaranya adalah:
1.1. Sompa, yaitu mahar atau mas kawin dalam bentuk uang real sebagai syarat sah
peminangan menurut Islam.
1.2. Dui’ ménré atau dui’ balanca, yaitu sejumlah uang belanja dari mempelai pria
sebagai syarat sah peminangan menurut adat. Uang tersebut digunakan membiayai
pesta pernikahan mempelai wanita.
1.3. Cicing passiok, yaitu cincin emas dari mempelai pria untuk mengikat mempelai
wanita.
1.4.Sarung sutera sebagai hadiah untuk kedua belah pihak keluarga mempelai.
1.5. Seperangkat peralatan dalam acara mappacci seperti daun pacar, bantal, pucuk daun
pisang, lilin, bekkeng (tempat daun pacar dari logam), wenno (padi yang disangrai),
dan daun nangka.
1.6. Berbagai macam makanan dan kue-kue tradisional Bugis seperti beppa
puteh, nennu-nennu,palopo, barongko, paloleng, sanggarak, lapisi, cangkueng,
badda-baddang, dan lain-lain sebagainya.
1.7. Bosara, yaitu tempat menyimpan kue-kue tradisional Bugis, dan sebagainya.
5.2. Proses Pelaksanaan Upacara

Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat pernikahan orang Bugis di Sulawesi
Selatan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra pernikahan, resepsi/pesta
pernikahan, dan pasca pernikahan.
2.1.Upacara Pra Pernikahan

Pada tahap pra pernikahan ini, dilaksanakan beberapa kegiatan, yaitu:

1.1. Pemilihan Jodoh

Proses paling awal menuju pernikahan dalam adat Bugis adalah


pemilihan jodoh. Orang Bugis umumnya mempunyai kecenderungan memilih
jodoh dari lingkungan keluarga sendiri karena dianggap sebagai hubungan
pernikahan atau perjodohan yang ideal.Pria yang akan menikah dapat memilih
jodoh dari luar lingkungan kerabat. Adapun perjodohan ideal selain dari kerabat
adalah perjodohan yang didasarkan pada kedudukanassikapukeng, yaitu kedua
mempelai memiliki stratifikasi sosial yang sederajat di dalam masyarakat, baik
dilihat dari segi keturunan (bangsawan atau orang biasa), pendidikan,
kedudukan dalam struktur pemerintahan, maupun harta kekayaan. Setelah jodoh
yang telah dipilih dirasa sudah cocok, maka proses selanjutnya
adalah mammanu’-manu’
1.2. Mammanu’-manu’ (penjajakan)
Mammanu’-manu’ atau biasa juga disebut mappése-pése, mattiro,
atau mabbaja laleng adalah suatu kegiatan penyelidikan yang biasanya
dilakukan secara rahasia oleh seorang perempuan dari pihak laki-laki untuk
memastikan apakah gadis yang telah dipilih sudah ada yang mengikatnya atau
belum. Kegiatan penyelidikan ini juga bertujuan untuk mengenali jati diri gadis
itu dan kedua orang tuanya, terutama hal-hal yang berkaitan dengan
keterampilan rumah tangga, adab sopan-santun, tingkah laku, kecantikan, dan
juga pengetahuan agama gadis tersebut. Jika menurut hasil penyelidikan belum
ada yang mengikat gadis itu, maka pihak keluarga laki-laki memberikan kabar
kepada pihak keluarga gadis bahwa mereka akan datang menyampaikan
pinangan.
1.3. Madduta atau massuro (meminang)
Madduta atau massuro artinya pihak laki-laki mengutus beberapa orang
terpandang, baik dari kalangan keluarga maupun selain keluarga, untuk
menyampaikan lamaran kepada pihak keluarga gadis. Utusan ini disebut To
Madduta sedangkan pihak keluarga gadis yang dikunjungi disebut To
Riaddutai. To Madduta memiliki peranan yang sangat penting dalam
menentukan diterima atau tidaknya suatu pinangan. Oleh karena itu, To
Madduta harus berhati-hati, bijaksana, dan pandai membawa diri agar kedua
orang tua gadis itu tidak tersinggung.
Kegiatan madduta biasa juga disebut dengan istilah mappetu ada, yaitu
pertemuan antara kedua belah pihak keluarga untuk merundingkan dan
memutuskan segala sesuatu yang bertalian dengan upacara pernikahan putra-
putri mereka. Hal-hal yang dibicarakan dalam acara mappettu ada tersebut di
antaranya mahar (meliputi dui’ menré dan sompa)dan tanré esso (penentuan
hari). Pembicaraan harus dimulai dari masalah mahar karena merupakan tahap
yang paling prinsipil dan menjadi penentu diterima atau ditolaknya sebuah
pinangan.
Mahar dalam adat pernikahan orang Bugis dikenal sangat tinggi karena seorang
laki-laki yang akan menikah tidak hanya diwajibkan memberi sompa atau mahar
sebagai kewajiban seorang muslim, tetapi juga diwajibkan memberikan dui’
menré (uang naik) atau dui’ balanca (uang belanja) kepada pihak keluarga
perempuan. dui’ menrémerupakan uang petindih, yaitu uang jemputan kepada
pihak perempuan sebagai salah satu syarat sahnya pinangan atau pertunangan
menurut adat. Dalam pembicaraan ini terjadi tawar-menawar antara To
Madduta dengan To Riaddutai,
Besar kecilnya jumlah dui’ menré dalam pernikahan orang Bugis
sangat dipengaruhi oleh status sosial pihak perempuan. Semakin tinggi status
sosial keluarga perempuan semakin besar pula jumlah dui’ menré yang harus
diserahkan oleh pihak laki-laki. Oleh karena itu, pihak laki-laki yang diwakili
oleh To Madduta harus pandai-pandai melakukan negosiasi kepada pihak
keluarga perempuan. Jika kedua belah pihak telah menuai kesepakatan bersama
masalah jumlah mahar berarti pinangan To Madduta diterima.
Setelah pinangan diterima, acara mappettu ada dilanjutkan dengan
membicarakan masalah tanré esso atau penentuan hari pernikahan. Penentuan
hari pada saat ini biasanya disesuaikan dengan penanggalan Islam. Setelah
penentuan hari pernikahan selesai, selanjutnya ditentukan lagi hari untuk
pertemuan berikutnya guna mengukuhkan kesepakatan-kesepakatan yang telah
dibuat. Acara mappettu ada kemudian ditutup dengan jamuan makan bersama,
di mana rombongan To Madduta disuguhi berbagai hidangan makanan yang
terdiri diri kue-kue khas Bugis yang pada umumnya manis rasanya sebagai
simbol pengharapan agar kehidupan kedua calon mempelai selalu manis
(senang) di kemudian hari.
1.4. Mappasiarekeng (mengukuhkan kesepakatan)
Mappasiarekeng berarti mengukuhkan kembali kesepakatan-
kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Acara ini dilaksanakan di tempat
mempelai perempuan. Pengukuhan kesepakatan ditandai dengan pemberian
hadiah pertunangan dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita
sebagai passio’ atau pengikat berupa sebuah emas dan sejumlah pemberian
simbolis lainnya seperti tebu sebagai simbol kebahagiaan, panasa (buah nangka)
sebagai simbol minasa (pengharapan), sirih pinang, sokko (nasi ketan), dan
berbagai kue-kue tradisional lainnya.
Pada acara mappasiarekeng tersebut pihak laki-laki juga menyerahkan dui’
menré yang jumlahnya berdasarkan kesepakatan kepada pihak perempuan untuk
digunakan dalam pesta pernikahan. Penyerahan dui’ menré dan hadiah-hadiah
lainnya diwakili oleh kerabat atau sahabat terdekat orang tua mempelai laki-laki.
1.5. Mappaisseng dan mattampa (menyebarkan undangan)
Mappaisseng adalah mewartakan berita mengenai pernikahan putra-
putri mereka kepada pihak keluarga yang dekat, para tokoh masyarakat, dan
para tetangga. Pemberitahuan tersebut sekaligus sebagai permohonan bantuan
baik pikiran, tenaga, maupun harta demi kesuksesan seluruh rangkaian upacara
pernikahan tersebut. Pemberian bantuan harta biasanya dilakukan oleh pihak
keluarga dekat.
Sementara itu, mattampa atau mappalettu selleng (mappada) adalah
mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan yang rumahnya jauh,
baik dalam bentuk lisan maupun tertulis. Kegiatan ini biasanya dilakukan sekitar
satu hingga sepuluh hari sebelum resepsi pernikahan dilangsungkan. Tujuan dari
mengundang seluruh sanak keluarga dan handai taulan tentu saja dengan
harapan mereka bersedia memberikan doa restu kepada kedua mempelai.
1.6. Mappatettong sarapo/baruga (mendirikan bangunan)
Mappatettong sarapo atau baruga adalah mendirikan bangunan
tambahan untuk tempat pelaksanaan acara pernikahan. Sarapo adalah bangunan
tambahan yang didirikan di samping kiri/kanan rumah induk
sedangkan baruga adalah bangunan tambahan yang didirikan terpisah dari
rumah induk. Pada kedua bangunan tersebut biasanya diberi dinding yang
terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan wolasuji dan di atasnya
digantung janur kuning. Di dalam kedua bangunan tambahan tersebut juga
dibuatkan pula lamming atau pelaminan sebagai tempat duduk mempelai dan
kedua orang tuanya.
Jika dalam pesta tersebut terdapat pementasan kesenian seperti kecapi
Bugis, musik gambus, atau orkes, biasanya dibuatkan panggung di samping
pelaminan. Pendirian sarapo atau baruga biasanya dilakukan tiga hari sebelum
pesta pernikahan dilangsungkan oleh para kerabat dan tetangga dekat secara
bergotong-royong. Saat ini, sarapo atau baruga sudah jarang digunakan karena
tersedianya persewaan gedung atau tenda-tenda yang lengkap dengan segala
peralatannya.
1.7.Mappassau botting dan cemmé passili’ (merawat dan memandikan pengantin)
Mappasau botting berarti merawat pengantin. Kegiatan ini dilakukan
dalam satu ruangan tertentu selama tiga hari berturut-turut sebelum hari “H”
pernikahan. Perawatan ini dilakukan dengan menggunakan berbagai ramuan
seperti daun sukun,daun coppéng (sejenis anggur),daun pandan, rempah-rempah,
dan akar-akaran yang berbau harum. Sementara itu, cemmé passili’ berarti mandi
tolak balak, yaitu sebagai bentuk permohonan kepada Allah SWT agar kiranya
kedua mempelai dijauhkan dari segalam macam bahaya atau bala. Upacara ini
biasanya dilaksanakan sehari sebelum hari “H” pernikahan, yaitu sekitar pukul
10.00 pagi. Setelah mandi tolak bala, mempelai wanita masih harus
melaksanakan ritual maccéko, yaitu mencukur bulu-bulu halus.
1.8. Mappanré temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji
Sebelum memasuki acara mappaci, terlebih dilakukan acara khatam al-
Quran dan pembacaan barzanji sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah
SWT dan sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya
dilaksanakan pada sore hari atau sesudah shalat ashar dan dipimpin oleh seorang
imam. Setelah itu, dilanjutkan acara makan bersama dan sebelum pulang, para
pembaca barzanji dihadiahi kado, yaitu nasi ketan berwarna kuning yang
dibungkus dengan daun pisang sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah.
1.9. Mappacci atau tudammpenni (mensucikan diri)
Pada malam menjelang hari “H” pernikahan, kedua mempelai melakukan
kegiatan mappaci atau tudammpenni di rumah masing-masing. Acara ini dihadiri
oleh kerabat, pegawai syara’, orang-orang terhormat, dan para tetangga.
Kata mappaci berasal dari kata pacci, yaitu daun pacar(lawsania
alba). Pacci dalam kata bahasa Bugis berarti bersih atau suci sedangkan tudamm
penni secara harfiah berarti duduk malam. Dengan demikian, mappacci dapat
diartikan mensucikan diri pada malam menjelang hari “H” pernikahan.
Tata cara pelaksanaan pacci yaitu mula-mula orang yang telah ditunjuk
mengambil sedikit daun pacci dari dalam bekkeng kemudian meletakkan atau
mengusapkannya pada kedua telapak tangan calon mempelai yang dimulai dari
telapak tangan kanan ke telapak tangan kiri dengan disertai doa semoga calon
mempelai kelak dapat hidup bahagia. Pada saat orang-orang tersebut
meletakkan pacci, sesekali indo’ botting (inang pengantin) yang duduk di
samping mempelai menghamburkan wenno kepada calon mempelai maupun
kepada orang-orang yang melettakkan pacci. Kemudian kepada orang telah
memberikan pacci dihadiahi rokok sebagai penghormatan atau ucapan terima
kasih doa restu yang telah diberikan kepada calon mempelai.
1.10. Ripasau
Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka
diadakan pula persiapan-persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan
pengantin(ripasau/mappasau). Biasanya perawatan ini dilakukan sebelum hari
pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan waktu hanya dilakukan
1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci).
Ripasau atau mappasau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang
terlebih dahulu dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang
terdiri dari daun sukun, daun coppeng, daun pandan, rampa para’pulo dan akar-
akaran yang harum dalam belanga yang besar. Namun sebelum kegiatan ini,
terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang terdir atas
beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-
akaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian
dilulurkan ke seluruh permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan
selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali
sebelum acara tudampenni atau mappacci.
1.11. Cemme passili’, Mappassili’
Disebut juga cemme tula’ bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar
kiranya dijauhkan dari segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa
khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah
dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk ke dalam
rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar.
Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu
laki-laki maupun perempuan disilakan mandi seperti biasa.
1.12. Macceko
Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan
di belakang telinga, agar supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dahi yang
akan dipakai pada calon mempelai perempuan pada waktu dirias dapat melekat
dengan baik. Acara macceko ini hanya diperuntukkan bagi calon mempelai
perempuan. Dahulu kala model dadasa ini berbeda antara perempuan yang
bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.
6. Resepsi atau Pesta Pernikahan
Secara garis besar, upacara atau resepsi pernikahan dibagi menjadi dua tahap
yaitu mappénré bottingdan marola.
6.1.Mappénré Botting (mengantar pengantin)
Mappénré botting adalah mengantar mempelai pria ke rumah mempelai
wanita untuk melaksanakan beberapa serangkaian kegiatan seperti madduppa
botting, akad nikah, danmappasiluka. Mempelai pria diantar oleh iring-iringan tanpa
kehadiran kedua orang tuanya. Adapun orang-orang yang ikut dalam iring-iringan
tersebut di antaranya indo’ botting, dua orangpasseppi (pendamping mempelai) yang
terdiri dari anak laki-laki, beberapa kerabat atau orang-orang tua sebagai saksi-saksi
pada acara akad nikah, pembawa mas kawin, dan pembawa hadiah-hadiah lainnya.
6.2.Madduppa botting (menyambut kedatangan pengantin.
Madduppa botting berarti menyambut kedatangan mempelai pria di rumah
mempelai wanita. Acara penyambutan tersebut dilakukan oleh beberapa orang yaitu
dua orang paddupa atau penyambut (satu remaja pria dan satu wanita remaja), dua
orang pakkusu-kusu (perempuan yang sudah menikah), dua orang pallipa
sabbé (orang tua pria dan wanita setengah baya mengenakan sarung sutra sebagai
wakil orang tua mempelai wanita), seorang wanita pangampo
wenno (penebar wenno), serta satu atau dua orang paddupa botting yang bertugas
menjemput dan menuntun mempelai pria turun dari mobil menuju ke dalam rumah.
Sementara itu, seluruh rombongan mempelai pria dipersilakan duduk pada tempat
yang telah disediakan untuk menyaksikan pelaksanaan acara akad nikah.
6.3. Akad nikah
Orang Bugis di Sulawesi Selatan umumnya beragama Islam. Oleh karena itu,
acara akad nikah dilangsungkan menurut tuntunan ajaran Islam dan dipimpin oleh
imam kampung atau seorang penghulu dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
Sebelum akad nikah atau ijab qabul dilaksanakan, mempelai laki-laki, orang tua laki-
laki (ayah) atau wali mempelai wanita, dan dua saksi dari kedua belah pihak
dihadirkan di tempat pelaksanaan akad nikah yang telah disiapkan. Setelah semuanya
siap, acara akad nikah segera dimulai.
Seperti halnya adat pernikahan suku bangsa lain yang menganut ajaran Islam,
pelaksanaan akad nikah dilangsungkan berdasarkan urutan acara seperti berikut yaitu
dimulai dari pembacaan ayat suci al-Quran, kemudian dilanjutkan pemeriksaan
berkas pernikahan oleh penghulu, dan penanda tanganan berkas oleh kedua
mempelai, wali, dan saksi-saksi. Khusus untuk mempelai wanita, penanda tanganan
berkas dilakukan di dalam kamar karena ia tidak boleh keluar kamar selama proses
akad nikah berlangsung.
Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penyerahan perwalian dari orang tua atau
wali mempelai wanita kepada imam atau penghulu untuk proses ijab kabul.
Ijab kabul dimulai dengan khutbah nikah oleh imam atau penghulu. Kemudian
mempelai pria duduk berhadap-hadapan dengan imam atau penghulu sambil
berpegangan ibu jari (jempol) tangan kanan. Dengan bimbingan imam, mempelai
pria mulai mengucapkan beberapa bacaan seperti istigfar, dua kalimat syahadat,
shalawat, dan ijab kabul. Sighat atau kalimat ijab kabul yang disampaikan oleh
mempelai pria harus jelas kedengaran oleh para saksi untuk sahnya akad nikah. Oleh
karena itu, tak jarang mempelai pria harus mengulanginya hingga dua tiga kali.
6.4.Mappasikarawa atau mappasiluka (persentuhan pertama)
Setelah proses akad nikah selesai, mempelai pria dituntun oleh orang yang
dituakan menuju ke dalam kamar mempelai wanita untuk ipasikarawa
(dipersentuhkan). Kegiatan ini disebut dengan mappasikarawa, mappasiluka atau
ma’dusa’ jenne, yaitu mempelai pria harus menyentuh salah satu anggota tubuh
mempelai wanita. Kegiatan ini dianggap penting karena menurut anggapan sebagian
masyarakat Bugis bahwa keberhasilan kehidupan rumah tangga kedua mempelai
tergantung pada sentuhan pertama mempelai kemudian melakukan acara menyembah
kepada kedua orang tua mempelai wanita dan keluarga-keluarga lainnya.
6.5. Nasehat pernikahan dan perjamuan.
Setelah kedua mempelai duduk bersanding di pelaminan, selanjutnya diadakan
acara nasehat pernikahan. Tujuan dari acara ini adalah untuk menyampaikan petuah,
pesan, dan nasehat kepada kedua mempelai agar mereka mampu membangun rumah
tangga yang sejahtera, rukun, dan damai. Nasehat pernikahan biasanya disampaikan
oleh seorang ustadz yang telah mempraktekkan cara membangun rumah tangga yang
sejahtera dan bahagia sehingga dapat dijadikan teladan bagi kedua mempelai.
Selanjutnya upacara mappénré botting ditutup dengan upacara jamuan santap
bersama. Pada zaman dahulu, upacara perjamuan dilakukan dengan cara melantai
atau lesehan. Hidangan nasi dengan berbagai lauk-pauknya serta kue-kue tradisional
khas Bugis digelar di lantai yang diberi alas kain panjang berwarna-warni. Namun,
sejak adanya persewaan gedung dan tenda dengan segala perlengkapannya,
perjamuan dilakukan dengan cara prasmanan. Dengan selesainya upacara perjamuan,
maka seluruh rangkaian acara mappénré botting telah selesai. Rombongan mempelai
pria berpamitan kepada pihak keluarga mempelai wanita. Sementara itu, pengantin
pria tidak ikut serta dalam rombongannya karena ia harus melakukan
acara mapparola bersama mempelai wanita.
6.6.Marola atau mapparola.
Marola atau mapparola adalah kunjungan balasan dari pihak mempelai
wanita ke rumah mempelai pria. Pengantin wanita diantar oleh iring-iringan yang
biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya. Setelah mempelai
wanita dan pengiringnya tiba di rumah mempelai pria, mereka langsung disambut
oleh seksi padduppa (penyambut) untuk kemudian dibawa ke pelaminan. Kedua
orang tua mempelai pria segera menemui menantunya untuk memberikan
hadiah paddupa berupa perhiasan, pakaian, dan sebagainya sebagai tanda
kegembiraan. Biasanya, beberapa kerabat dekat turut memberikan hadiah berupa
cincin atau kain sutera kepada mempelai wanita, kemudian disusul oleh tamu
undangan memberikan passolo (kado).
Setelah pemberian hadiah selesai, acara dilanjutkan dengan nasehat
pernikahan oleh seorang ustadz yang tujuannya sama seperti nasehat pernikahan di
tempat mempelai wanita. Selanjutnya, upacara mapparola ditutup dengan perjamuan
kepada rombongan mempelai wanita dan para tamu undangan. Mereka disuguhi
berbagai macam hidangan makanan dan kue-kue tradisional Bugis. Usai acara
perjamuan, kedua mempelai bersama rombongannya massimang (mohon diri)
kepada kedua orang tua mempelai pria untuk kembali ke rumah mempelai wanita.
7. Upacara Pasca Pernikahan

Setelah upacara pernikahan dilangsungkan, masih terdapat sejumlah kegiatan yang


juga perlu dilakukan sebagai bagian dari adat pernikahan Bugis, di antaranya
adalah mallukka, ziarah kubur, dan massita béseng.
7.1. Mallukka botting (melepas pakaian pengantin)
Setelah tiba di rumah mempelai wanita, busana adat pengantin dan segala
aksesoris yang dikenakan oleh kedua mempelai dilepaskan. Pengantin pria kemudian
mengenakan celana panjang berwarna hitam, kemeja panjang berwarna putih, dan
kopiah. Sementara pengantin wanita mengenakan rok atau celana panjang, kebaya,
dan kudung. Setelah itu, pengantin pria dilingkari tubuhnya dengan tujuh lembar
sarung sutera untuk kemudian dilepas satu persatu dan dilemparkan ke arah bujang
atau gadis-gadis yang ada di sekelilingnya. Menurut kepercayaan orang Bugis,
bujang atau gadis yang terkena lemparan sarung tersebut diharapkan segera
mendapat jodoh.

7.2. Marola wekka dua.


Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya bermalam
satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai kembali ke rumah
mempelai perempuan.
7.3. Ziarah kubur.
Sehari setelah pernikahan berlangsung, kedua pengantin baru tersebut bersama
keluarga sang istri melakukan ziarah ke makam-makam leluhur. Kegiatan ini
dimaksudkan sebagai penghormatan dan rasa syukur bahwa keluarga mereka telah
melaksanakan pesta pernikahan.
7.4. Massita béseng (bertemu besan).
Massita béseng adalah kunjungan kedua orang tua pengantin laki-laki bersama
beberapa kerabat dekat ke rumah pengantin wanita untuk bertemu
dengan besannya (orang tua pengantin wanita). Kegiatan ini biasanya dilaksanakan
pada malam harinya yakni seusai acara mallukka atau satu hari setelah pesta
pernikahan selesai. Tujuannya adalah untuk bersilaturrahmi dan saling mengenal
antarkedua keluarga secara lebih dekat. Dalam kunjungan tersebut rombongan orang
tua pengantin pria membawa lisek rantang (isi rantang) yang terdiri dari dua belas
macam lauk-pauk dan kue-kue tradisional Bugis untuk keluarga pengantin wanita.
Acara silaturrahmi biasanya ditutup dengan jamuan santap siang/malam bersama
antara kedua belah pihak keluarga sebagai tanda syukur kepada Allah SWT atas
terselenggaranya upacara pernikahan dengan sukses. Acara santap bersama ini
menandai berakhirnya seluruh rangkaian upacara pernikahan.
7.5. Cemme-cemme atau mandi-mandi.
Sudah menjadi tradisi bagi suku Bugis bahwa setelah upacara pernikahan yang
banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari kedua belah pihak
pergi mandi-mandi di suatu tempat.
8. Nilai-Nilai

Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adapt pernikahan orang Bugis di antaranya
adalah:
8.1. Sakralitas.
Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus
seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya.
Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis dan bertujuan untuk
memohon keselamatan kepada Allah SWT.
8.2. Penghargaan terhadap kaum perempuan.
Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan
oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargaikaum
perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan
terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas
kawin dan dui’ balanca yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda
kemuliaan perempuan.
8.3. Kekerabatan.
Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang
berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua
keluarga besar. Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk
menjalin dan mengeratkan hubungan kekerabatan.
8.4. Gotong-royong.
Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta pernikahan yang melibatkan kaum
kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan
bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
8.5. Status sosial.
Pesta pernikahan bagi orang Bugis bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi
lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin
maka semakin tinggi status sosial seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah
keluarga menjadikan pesta pernikahan sebagai ajang untuk meningkatkan status
sosial mereka.
9. Keterkaitan pernikahan adat suku Bugis dengan Fiqih Munakahat.

9.1. Tahap pertama Madduta atau massuro (meminang) atau Khitbah

seperti penjelasan di atas Khitbah atau biasa di sebut dengan peminangan


adalah proses meminta atau bisa disebut melamar yang dilakukan oleh keluarga laki-
laki terhadap keluarga perempuan yang akan ia nikahi nanti. Hal ini dimaksudkan
sebagai penegasan bahwa sang perempuan telah resmi menjadi calon istri dari
seorang laki-laki yang artinya jika pinangan lelaki tersebut diterima oleh pihak
keluarga perempuan maka perempuan tersebut tidak boleh dipinang atau menerima
pinangan dari laki-laki lain, kecuali pinangan dari laki-laki pertama dibatalkan secara
baik-baik dan telah diterima oleh kedua belah pihak keluarga. (Baca juga: Wanita
yang Baik Dinikahi Menurut Islam; Hukum Menikah Muda Menurut Islam)

Sebuah hadis menjelaskan tentang hal ini dimana Umar radhiyallaahu ‘anhuma
menceritakan bahwa:

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang


sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang
wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya
atau mengizinkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam proses khitbah sendiri pihak sang peminang (calon suami) disunahkan
untuk melihat wajah wanita yang akan dipinang bahkan ia boleh melihat atau
bertanya apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu, dengan
catatan apa yang dilihat masih dalam batasan-batasannya sesuai dengan syariat
Islam.

Sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diceritakan oleh


Jabir bin ‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhuma bahwa:

“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa
melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”
(HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)
Kemudian dalam hadis lain juga diceritakan tentang bagaimna Al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu yang meminang seorang wanita, kala itu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta
kasih) antara kalian berdua.” (at-Tirmidzi, an-Nasa-i, ad-Darimi dan lainnya)

Dalam perkara meminang seseorang, laki-laki shalih sangat dianjurkan untuk


mencari wanita muslimah yang baik agamanya. Demikian pula dengan orangtua atau
wali dari kaum wanita, mereka berkewajiban untuk mencari laki-laki shalih untuk
dinikahkan dengan anak wanitanya tersebut.

Abu Hatim al-Muzani radhiyallaahu ‘anhu menceritakan bahwa:

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika datang kepada kalian


seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia (dengan
anak kalian). Jika tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.”
(HR at-Tirmidzi)

Kemudian orangtua atau wal dari seorang wanita juga diperbolehkan untuk
menawarkan putri atau saudara perempuannya kepada laki-laki shalih untuk
dijadikan seorang istri dengan cara yang halal. (Baca juga: Menikah Tanpa Izin
dengan Orangtua Dalam Islam; Hukum Orang Tua Melarang Anaknya Menikah
Dalam Islam)

Hal ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:

“Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang
bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi
yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi
‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku
pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan
berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan,
‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku
akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan
tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada
kepada ‘Utsman. Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah.
Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku
tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’
‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang
menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa
Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan
rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya,
niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” (HR al-Bukhari dan an-Nasa-i)

9.2. Tahap kedua Shalat Istikharah

Setelah pihak laki-laki dan wanita telah saling melihat satu sama lain dalam
proses khitbah atau peminangan, maka sebelum memberikan jawaban untuk
menerima atau melanjutkan lamaran tersebut ke tahap selanjutnya sangat dianjurkan
untuk melakukan shalat istikharah bagi keduanya memohon petunjuk kepada Allah
subhana hua ta’ala.

Perihal anjuran dari shalat istikharah ini dikisahkan dalam hadis dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:

“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat Istikharah untuk


memutuskan segala sesuatu sebagaimana mengajari surat Al-Qur’an. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Apabila seseorang di antara kalian
mempunyai rencana untuk mengerjakan sesuatu, hendaknya melakukan shalat
sunnah (Istikharah) dua raka’at, kemudian membaca do’a: Ya Allah, sesungguhnya
aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu-Mu dan aku memohon
kekuatan kepada-Mu (untuk mengatasi persoalanku) dengan ke-Mahakuasaan-Mu.
Aku mohon kepada-Mu sesuatu dari anugerah-Mu yang Mahaagung, sungguh
Engkau Mahakuasa sedang aku tidak kuasa, Engkau Maha Mengetahui sedang aku
tidak mengetahui dan Engkaulah yang Maha Mengetahui yang ghaib. Ya Allah,
apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini (orang yang mempunyai hajat
hendaknya menyebut persoalannya) lebih baik dalam agamaku, penghidupanku, dan
akibatnya terhadap diriku (atau Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘..di
dunia atau akhirat) takdirkan (tetapkan)lah untukku, mudahkanlah jalannya,
kemudian berilah berkah atasnya. Akan tetapi, apabila Engkau mengetahui bahwa
persoalan ini membawa keburukan bagiku dalam agamaku, penghidupanku, dan
akibatnya kepada diriku ‘…di dunia atau akhirat’) maka singkirkanlah persoalan
tersebut, dan jauhkanlah aku darinya, dan takdirkan (tetapkan)lah kebaikan untukku
di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berikanlah keridhaan-Mu kepadaku.”
(HR. al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad, al-
Baihaqi)

Kemudian Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu juga mengisahkan bahwa:

“Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan
meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata,
‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan
meminangmu. Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku
meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. Lalu
turunlah ayat Al-Qur’an Qs. Al-Ahzaab:37 dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)

9.3. Tahap ketiga Aqad Nikah

Jika prosesi khitbah telah mendapatkan jawaban maka langkah selanjutnya


adalah akad nikah yakni prosesi tersakral dan terinti yang membuat sepasang
manusia yang tadinya asing menjadi satu, menjadi sah dalam ikatan pernikahan yang
halal dimana mempelai pria akan mengucapkan ijab qabul terhadap wali dari
mempelai wanita dan akan ditentukan dengan pengesahan dari seluruh saksi serta
diakhiri dengan doa ataupun makan-makan bersama sebagai bentuk syukur atas
keberhasilan aqad nikah. Sebelum prosesi akad tentunya perlu diadakan rapat atau
musyawarah kedua belah pihak keluarga untuk mempersiapkan dan menyesuaikan
adat dan teknis dari aqad nikah. (Baca juga: Mahar Pernikahan dalam Islam; Rukun
Nikah Dalam Islam)
9.4. Tahap keempat Walimah

Walimatul ‘urus adalah sebuah resepsi atau pesta pernikahan yang dilakukan
sebagai bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan dengan mengundang saudara dan
teman lainnya. Meskipun begitu cara dan kemewahan dari resepsi ini disesuaikan
dengan kemampuan keluarga dari kedua mempelai.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing”


(HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ahmad, ath-Thayalisi
dan lainnya)

9.5. Tahap kelimah Malam Pertama / Bersenggama

Setelah sah menjadi sepasang suami istri maka diwajibkan bagi mereka untuk
melakukan hubungan suami istri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
agama Islam. (Baca juga: Kewajiban Laki-Laki Setelah Menikah dalam
Islam; Kewajiban Wanita Setelah Menikah Menurut Al-Quran dan Hadist)

9.6. Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.

Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar


mahar.“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS A1-Nisa’ [4]: 4).Suami berkewajiban
menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon istrinya.

Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi
nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat
lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan:“Sebaik-baik mas kawin adalah
seringan-ringannya.”Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang
untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa’ [4]: 20). Ini karena
pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut
Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri
merelakannya.
“Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) telah melapangkan
(rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka
(para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh.” (QS Al-Nisa’
[4]: 20-2l).
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat
materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk
menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu
dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.“Carilah walau
cincin dari besi.”Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang
perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa
mengajarkan beberapa ayat Al-Quran. Rasulullah pernah bersabda,“Telah saya
kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa’ad).
Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari
calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata,
guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari
kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti: atau paling
tidak “mewujudkan suatu kewajiban” yakni berusaha sekuat kemampuan untuk
membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul
(penerimaan) dari calon suami.
Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam
Syafi’i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi Saw.
dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya:“Hubungan seks kalian menjadi halal
atas dasar kalimat Allah.”Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata)
nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkan
juga kata “memberi” sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung
pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang
mengandung “kepemilikan”, “penganugerahan”, dan sebagainya, karena kata-kata
tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan
suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan
kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang
kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz
mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut
adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti
pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi
kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel
kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak dapat berjalan.
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah
perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan
menggunakan kata “menikah” yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan
pada pendahuluan adalah “menghimpun”. Bahwa Al-Quran menggunakan kata
wahabat khusus kepada Nabi SAW. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena
siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi
SAW.
“Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna) sampai patuh keinginan hati
kalian terhadap apa yang kusampaikan.”Demikian sabda Nabi SAW. Dalam
kesempatan yang lain Nabi bersabda:“Salah seorang di antara kamu tidak beriman,
sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang tuanya, anaknya dan
seluruh manusia.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
Malik).
Makna ini sejalan dengan firman Allah,“Nabi (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang Mukmin dari pada diri mereka sendiri.” (QS Al-Ahzab [33]: 6).Itulah
Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu sendiri menurut Al-
Quran:“Telah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan tidak ada yang
dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.” (QS Al-An’am [6]: 115).
“Dia penuh kebajikan” (QS Al-A’raf [7]: 137), lagi “Dan kalimat Allah itulah yang
Mahatinggi” (QS Al-Tawbah [9): 40). Dengan kalimat itulah Allah
menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya
mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri,
serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan
Isa a.s. tanpa ayah, dan diakuinya sebagai “seorang terkemuka di dunia dan di
akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah” (QS Ali ‘Imran
[3]: 45).
Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya
demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang
mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan
kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu:
kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai
anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang
terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
KESIMPULAN
Mappabotting merupakan upacara adat pernikahan orang Bugis di Sulawesi Selatan.
Pernikahan menurut orang Bugis bukanlah sekedar untuk menyatukan kedua mempelai pria
dan wanita, tetapi lebih daripada itu adalah menyatukan dua keluarga besar sehingga terjalin
hubungan kekerabatan yang semakin erat. Untuk itulah, budaya pernikahan orang Bugis perlu
tetap dipertahankan karena dapat memperat hubungan silaturrahmi antarkerabat.
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pemberian mahar
dalam salah satu prosesi adat bugis sebenarnya tidak dilarang oleh agama islam seperti yang
dikatakan Allah SWT dalam Al-Quran “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS A1-Nisa’ [4]: 4). Adalah
penegasannya, tetapi sangat tidak dianjurkan apabila mahar tersebut disalahgunakan menjadi
ajang membeli derajat sosial di masyarakat karena Mas kawin / mahar adalah lambang
kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya,
dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan:“Sebaik-baik
mas kawin adalah seringan-ringannya.”Begitu sabda Nabi Saw. Apalagi dalam keadaan
seperti sekarang yang serba kesulitan ekonomi hal tersebut sangat tidak relevan untuk
dilakukan pada saat sekarang karena menjamin kehidupan suami istri nantinya ketika telah
hidup berumah tangga tidak dibebani hutang yang menumpuk untuk membiayai prosesi
pernikahannya itu sendiri.
Saran
1. Karena suku Bugis mempunyai adat pernikahan yang sangat unik dan sangat
kompleks, maka masyarakat Bugis khususnya dan masyarakat di Indonesia umumnya
harus bangga dan menjaga adat istiadat tersebut supaya tidak punah.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, Masyarakat suku adat bugis dikota sorong jln selat Bangka, belakang gor
H. Fatimah Padelang, masyarakat suku bugis, kota sorong jln selat Bangka, belakang gor
lorong 5
H. Darma Wasiah Abdullah, Masyarakat suku bugis, kota sorong jln selat Bangka, belakang
gor lorong 4
H. Danial Abdullah, Masyarakat suku bugis, kota sorong jln selat Bangka, belakang gor
lorong 5
Fadelput 2010, Nikah, Scribd, hlm 1,
Badawi, El Said M: Haleem ,M.A 2008
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan islam diindonesia antara fiqih munakahat dan
Undang-undang perkawinan, Jakarta: prenada Media, 2006.

Anda mungkin juga menyukai