Dosen Pengampu:
Pak Sudirman, MH.I
2. Rumusan Masalah
2.1.Bagaimana Proses Pernikahan Adat Bugis di KotaSorong?
2.2. Bagaimana Keterkaitan prosesi suku Bugis dengan Fiqih Munakahat?
3. Tujuan penulisan
3.1. Untuk mengetahui Bagaimana Proses Pernikahan Adat Bugis di Kota Sorong?
3.2. Untuk mengetahui Bagaimana Keterkaitan prosesi suku Bugis dengan Fiqih
Munakahat?
4. Metode Observasi
4.1. Tempat dan waktu Penelitian
Penelitian ini bertempat di kota sorong, Jl.Selat Bangka, lorong 5 dan lorong 4,
belakang GOR. Waktu penelitian akan dilaksanakan dari tanggal 15 Oktober 2018-18
Oktober 2018.
4.2. Populasi dan sample
Populasi dalam penelitian ini adalah warga dari suku bugis yang telah menetap
lama di kota sorong. Tehnik pengambilan sample dalam penelitian ini menggunakan
teknik propotional random sampling mengingat penelitian ini bersifat homogen. Sample
dalam penelitian ini yaitu warga adat suku bugis yang bertempat di kota sorong, Jl.Selat
Bangka, lorong 5 dan lorong 4, belakang GOR.
4.3. Tehnik pengambilan data
Pada penelitian ini pengumpulan data menggunakan method sebagai berikut;
3.1.Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendukung instrument angket dengan
menunjukan data dilapangan yang sudah ada. Dokumentasi dalam penelitian ini
adalah dokumentasi hasil wawancara warga suku adat bugis di kota sorong,
Jl.Selat Bangka, lorong 5 dan lorong 4, belakang GOR. Tempat observasi
berlangsung.
3.2. Angket atau Kuesioner
Instrument angket atau kuesioner dalam penelitian ini menggunakan skala
likert, maka pariable yang diukur, dijabarkan menjadi indicator-indicator yang
dapat diukur. Indicator tersebut digunakan sebagai titik tolak untuk membuat item
instrument yang berupa pertnyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh
responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan
sikap yang diungkapkan dengan memberi jawaban dari sebuah pertanyaan.
Secara garis besar, pelaksanaan upacara adat pernikahan orang Bugis di Sulawesi
Selatan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu upacara pra pernikahan, resepsi/pesta
pernikahan, dan pasca pernikahan.
2.1.Upacara Pra Pernikahan
Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adapt pernikahan orang Bugis di antaranya
adalah:
8.1. Sakralitas.
Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritual khusus
seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya.
Ritual-ritual tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis dan bertujuan untuk
memohon keselamatan kepada Allah SWT.
8.2. Penghargaan terhadap kaum perempuan.
Nilai ini terlihat pada keberadaan proses peminangan yang harus dilakukan
oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk menghargaikaum
perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan
terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas
kawin dan dui’ balanca yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda
kemuliaan perempuan.
8.3. Kekerabatan.
Bagi orang Bugis, pernikahan bukan sekedar menyatukan dua insan yang
berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua
keluarga besar. Dengan demikian, pernikahan merupakan salah satu sarana untuk
menjalin dan mengeratkan hubungan kekerabatan.
8.4. Gotong-royong.
Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta pernikahan yang melibatkan kaum
kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan
bantuan berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
8.5. Status sosial.
Pesta pernikahan bagi orang Bugis bukan sekedar upacara perjamuan biasa, tetapi
lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta, semakin
maka semakin tinggi status sosial seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah
keluarga menjadikan pesta pernikahan sebagai ajang untuk meningkatkan status
sosial mereka.
9. Keterkaitan pernikahan adat suku Bugis dengan Fiqih Munakahat.
Sebuah hadis menjelaskan tentang hal ini dimana Umar radhiyallaahu ‘anhuma
menceritakan bahwa:
Dalam proses khitbah sendiri pihak sang peminang (calon suami) disunahkan
untuk melihat wajah wanita yang akan dipinang bahkan ia boleh melihat atau
bertanya apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahi wanita itu, dengan
catatan apa yang dilihat masih dalam batasan-batasannya sesuai dengan syariat
Islam.
“Apabila seseorang di antara kalian ingin meminang seorang wanita, jika ia bisa
melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”
(HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Hakim)
Kemudian dalam hadis lain juga diceritakan tentang bagaimna Al-Mughirah bin
Syu’bah radhiyallaahu ‘anhu yang meminang seorang wanita, kala itu Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:
“Lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan (cinta
kasih) antara kalian berdua.” (at-Tirmidzi, an-Nasa-i, ad-Darimi dan lainnya)
Kemudian orangtua atau wal dari seorang wanita juga diperbolehkan untuk
menawarkan putri atau saudara perempuannya kepada laki-laki shalih untuk
dijadikan seorang istri dengan cara yang halal. (Baca juga: Menikah Tanpa Izin
dengan Orangtua Dalam Islam; Hukum Orang Tua Melarang Anaknya Menikah
Dalam Islam)
“Bahwasanya tatkala Hafshah binti ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang
bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahmi, ia adalah salah seorang Shahabat Nabi
yang meninggal di Madinah. ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi
‘Utsman bin ‘Affan untuk menawarkan Hafshah, maka ia berkata, ‘Akan aku
pertimbangkan dahulu.’ Setelah beberapa hari kemudian ‘Utsman mendatangiku dan
berkata, ‘Aku telah memutuskan untuk tidak menikah saat ini.’’ ‘Umar melanjutkan,
‘Kemudian aku menemui Abu Bakar ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku
akan nikahkan Hafshah binti ‘Umar denganmu.’ Akan tetapi Abu Bakar diam dan
tidak berkomentar apa pun. Saat itu aku lebih kecewa terhadap Abu Bakar daripada
kepada ‘Utsman. Maka berlalulah beberapa hari hingga Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam meminangnya. Maka, aku nikahkan puteriku dengan Rasulullah.
Kemudian Abu Bakar menemuiku dan berkata, ‘Apakah engkau marah kepadaku
tatkala engkau menawarkan Hafshah, akan tetapi aku tidak berkomentar apa pun?’
‘Umar men-jawab, ‘Ya.’ Abu Bakar berkata, ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang
menghalangiku untuk menerima tawaranmu, kecuali aku mengetahui bahwa
Rasulullah telah menyebut-nyebutnya (Hafshah). Aku tidak ingin menyebarkan
rahasia Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Jika beliau meninggalkannya,
niscaya aku akan menerima tawaranmu.’” (HR al-Bukhari dan an-Nasa-i)
Setelah pihak laki-laki dan wanita telah saling melihat satu sama lain dalam
proses khitbah atau peminangan, maka sebelum memberikan jawaban untuk
menerima atau melanjutkan lamaran tersebut ke tahap selanjutnya sangat dianjurkan
untuk melakukan shalat istikharah bagi keduanya memohon petunjuk kepada Allah
subhana hua ta’ala.
Perihal anjuran dari shalat istikharah ini dikisahkan dalam hadis dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata:
“Tatkala masa ‘iddah Zainab binti Jahsy sudah selesai, Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Zaid, ‘Sampaikanlah kepadanya bahwa aku akan
meminangnya.’ Zaid berkata, ‘Lalu aku pergi mendatangi Zainab lalu aku berkata,
‘Wahai Zainab, bergembiralah karena Rasulullah mengutusku bahwa beliau akan
meminangmu. Zainab berkata, ‘Aku tidak akan melakukan sesuatu hingga aku
meminta pilihan yang baik kepada Allah.’ Lalu Zainab pergi ke masjidnya. Lalu
turunlah ayat Al-Qur’an Qs. Al-Ahzaab:37 dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam datang dan langsung masuk menemuinya.” (HR Muslim dan an-Nasa-i)
Walimatul ‘urus adalah sebuah resepsi atau pesta pernikahan yang dilakukan
sebagai bentuk syukur dan berbagi kebahagiaan dengan mengundang saudara dan
teman lainnya. Meskipun begitu cara dan kemewahan dari resepsi ini disesuaikan
dengan kemampuan keluarga dari kedua mempelai.
Setelah sah menjadi sepasang suami istri maka diwajibkan bagi mereka untuk
melakukan hubungan suami istri dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam
agama Islam. (Baca juga: Kewajiban Laki-Laki Setelah Menikah dalam
Islam; Kewajiban Wanita Setelah Menikah Menurut Al-Quran dan Hadist)
Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi
nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin itu bersifat
lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan:“Sebaik-baik mas kawin adalah
seringan-ringannya.”Begitu sabda Nabi Saw., walaupun Al-Quran tidak melarang
untuk memberi sebanyak mungkin mas kawin (QS Al-Nisa’ [4]: 20). Ini karena
pernikahan bukan akad jual beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut
Al-Quran, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri
merelakannya.
“Apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan
yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) telah melapangkan
(rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka
(para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh.” (QS Al-Nisa’
[4]: 20-2l).
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat
materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk
menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu
dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.“Carilah walau
cincin dari besi.”Begitu sabda Nabi Saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang
perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa
mengajarkan beberapa ayat Al-Quran. Rasulullah pernah bersabda,“Telah saya
kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran.”
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa’ad).
Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari
calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata,
guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari
kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti: atau paling
tidak “mewujudkan suatu kewajiban” yakni berusaha sekuat kemampuan untuk
membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul
(penerimaan) dari calon suami.
Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam
Syafi’i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi Saw.
dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya:“Hubungan seks kalian menjadi halal
atas dasar kalimat Allah.”Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata)
nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran. Imam Malik membolehkan
juga kata “memberi” sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung
pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang
mengandung “kepemilikan”, “penganugerahan”, dan sebagainya, karena kata-kata
tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan
suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan
kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang
kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz
mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut
adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti
pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi
kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel
kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak dapat berjalan.
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah
perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan
menggunakan kata “menikah” yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan
pada pendahuluan adalah “menghimpun”. Bahwa Al-Quran menggunakan kata
wahabat khusus kepada Nabi SAW. adalah merupakan satu hal yang wajar, karena
siapa pun dari umatnya wajar untuk melebur keinginannya demi kepentingan Nabi
SAW.
“Demi Allah, kalian tidak beriman (secara sempurna) sampai patuh keinginan hati
kalian terhadap apa yang kusampaikan.”Demikian sabda Nabi SAW. Dalam
kesempatan yang lain Nabi bersabda:“Salah seorang di antara kamu tidak beriman,
sehingga dia mencintai aku lebih dari cintanya terhadap orang tuanya, anaknya dan
seluruh manusia.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
Malik).
Makna ini sejalan dengan firman Allah,“Nabi (hendaknya) lebih utama bagi
orang-orang Mukmin dari pada diri mereka sendiri.” (QS Al-Ahzab [33]: 6).Itulah
Kalimat Allah dalam hal sahnya perkawinan; kalimat itu sendiri menurut Al-
Quran:“Telah sempurna sebagai kalimat yang benar dan adil, dan tidak ada yang
dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.” (QS Al-An’am [6]: 115).
“Dia penuh kebajikan” (QS Al-A’raf [7]: 137), lagi “Dan kalimat Allah itulah yang
Mahatinggi” (QS Al-Tawbah [9): 40). Dengan kalimat itulah Allah
menganugerahkan kepada Nabi Zakaria yang telah berusia lanjut, lagi istrinya
mandul, "seorang anak bernama Yahya yang menjadi panutan, pandai menjaga diri,
serta menjadi Nabi" (QS Ali 'Imran [3]: 39). Dengan kalimat itu Allah menciptakan
Isa a.s. tanpa ayah, dan diakuinya sebagai “seorang terkemuka di dunia dan di
akherat, serta termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah” (QS Ali ‘Imran
[3]: 45).
Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya
demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang
mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan
kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu:
kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai
anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang
terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
KESIMPULAN
Mappabotting merupakan upacara adat pernikahan orang Bugis di Sulawesi Selatan.
Pernikahan menurut orang Bugis bukanlah sekedar untuk menyatukan kedua mempelai pria
dan wanita, tetapi lebih daripada itu adalah menyatukan dua keluarga besar sehingga terjalin
hubungan kekerabatan yang semakin erat. Untuk itulah, budaya pernikahan orang Bugis perlu
tetap dipertahankan karena dapat memperat hubungan silaturrahmi antarkerabat.
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses pemberian mahar
dalam salah satu prosesi adat bugis sebenarnya tidak dilarang oleh agama islam seperti yang
dikatakan Allah SWT dalam Al-Quran “Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS A1-Nisa’ [4]: 4). Adalah
penegasannya, tetapi sangat tidak dianjurkan apabila mahar tersebut disalahgunakan menjadi
ajang membeli derajat sosial di masyarakat karena Mas kawin / mahar adalah lambang
kesiapan dan kesediaan suami untuk memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya,
dan selama mas kawin itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan:“Sebaik-baik
mas kawin adalah seringan-ringannya.”Begitu sabda Nabi Saw. Apalagi dalam keadaan
seperti sekarang yang serba kesulitan ekonomi hal tersebut sangat tidak relevan untuk
dilakukan pada saat sekarang karena menjamin kehidupan suami istri nantinya ketika telah
hidup berumah tangga tidak dibebani hutang yang menumpuk untuk membiayai prosesi
pernikahannya itu sendiri.
Saran
1. Karena suku Bugis mempunyai adat pernikahan yang sangat unik dan sangat
kompleks, maka masyarakat Bugis khususnya dan masyarakat di Indonesia umumnya
harus bangga dan menjaga adat istiadat tersebut supaya tidak punah.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, Masyarakat suku adat bugis dikota sorong jln selat Bangka, belakang gor
H. Fatimah Padelang, masyarakat suku bugis, kota sorong jln selat Bangka, belakang gor
lorong 5
H. Darma Wasiah Abdullah, Masyarakat suku bugis, kota sorong jln selat Bangka, belakang
gor lorong 4
H. Danial Abdullah, Masyarakat suku bugis, kota sorong jln selat Bangka, belakang gor
lorong 5
Fadelput 2010, Nikah, Scribd, hlm 1,
Badawi, El Said M: Haleem ,M.A 2008
Amir Syarifuddin, Hukum perkawinan islam diindonesia antara fiqih munakahat dan
Undang-undang perkawinan, Jakarta: prenada Media, 2006.