Anda di halaman 1dari 19

KAJIAN DAYA DUKUNG KAPASITAS PERAIRAN DAN STATUS

KEBERLANJUTAN DIMENSI EKOLOGI PADA KAWASAN SUB ZONA


PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT SISTEM KARAMBA JARING APUNG
(KJA) DI PERAIRAN TELUK EKAS KABUPATEN LOMBOK TIMUR-NTB

Cocon 1),) Muh. Yusuf2), Sutrisno Anggoro3


1)
Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro - Semarang
2)
Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas
Diponegoro - Semarang
3)
Program Doktor Manajemen Sumberdaya Pantai, Universitas Diponegoro - Semarang

ABSTRAK

Kawasan perairan Teluk Ekas Kabupaten Lombok Timur telah ditetapkan


sebagai salah satu sentral pengembangan budidaya laut nasional sebagaimana yang
diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau Kecil (RZWP3K)
Provinsi NTB. Kegiatan budidaya laut di perairan Teluk Ekas telah secara langsung
memberikan kontribusi cukup besar terhadap capaian produksi perikanan budidaya
secara nasional. Fenomena penurunan kualitas lingkungan perairan baik yang
disebabkan oleh faktor internal yaitu aktivitas budidaya laut yang tak terkendali,
maupun faktor eksternal yang berkaitan dengan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya dan
aktivitas di inland (daratan) dikhawatirkan justru akan menjadi ancaman serius bagi
keberlanjutan kegiatan usaha budidaya laut maupun ekosistem perairan secara umum.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menghitung daya dukung melalui pendekatan
kapasitas perairan dan menganalisis status keberlanjutan kawasan sub zona
pengembangan budidaya laut sistem KJA ditinjau dari dimensi ekologi.
Penentuan lokasi penelitian mengacu pada Rencana Zonasi Wilayah Pesisir,
Laut dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi NTB, dimana lokasi penelitian
difokuskan di Dusun Ekas, Desa Ekas Buana, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok
Timur. Penelitian ini bertipe deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan titik
sampling kualitas air dilakukan secara purposive sampling pada 12 (dua belas) titik
stasiun yang mewakili keseluruhan kawasan sub zona budidaya laut. Analisis
kesesuaian lahan perairan dilakukan melalui pendekatan analisis Sistem Informasi
Geografis (SIG) menggunakan perangkat lunak ArcGIS yang selanjutnya digunakan
dalam menghitung daya dukung kapasitas perairan untuk pengembangan budidaya laut
sistem KJA. Pengukuran status keberlanjutan dilakukan melalui pendekatan dengan
metode Multidimensional Scalling dengan teknik ordinasi Rapfish untuk melakukan
analisa status keberlanjutan. Sedangkan penentuan faktor/atribut sensitif dimensi
ekologi dilakukan melalui analisis laverage dan pareto.
Hasil analisis kesesuaian perairan menunjukan bahwa secara umum karakteristik
perairan Teluk Ekas telah memenuhi persyaratan bioteknis untuk budidaya laut. Total
luas area untuk budidaya sistem KJA yang bisa dimanfaatkan pada sub zona
pengembangan budidaya laut sistem KJA adalah seluas 58,44 ha atau sekitar 20 % dari
total luas perairan yang sesuai pada kawasan sub zona pengembangan budidaya laut
yang mencapai 292,2 ha. Berdasarkan nilai tersebut, didapatkan jumlah kapasitas unit
KJA yang mampu ditampung pada kawasan sub zona pengembangan budidaya laut
sistem KJA sebanyak 16.222 unit KJA atau rata-rata 278 unit KJA per ha, dengan
potensi volume produksi optimum untuk budidaya ikan kerapu sebanyak 8.111
ton/siklus dan sebanyak 2.433 ton/siklus untuk budidaya lobster. Hasil analisis status
keberlanjutan dimensi ekologi menyimpulkan bahwa kawasan sub zona pengembangan
budidaya laut sisitem KJA berada pada kategori kurang berkelanjutan dengan nilai
indeks keberlanjutan sebesar 44,62. Sedangkan faktor-faktor sensitif yang berpengaruh
terhadap keberlanjutan dimensi ekologi masing-masing berturut-turut yaitu (a) Tingkat
daya dukung kapasitas perairan; (b) Penggunaan sumber benih; (c) Penggunaan obat
ikan, bahan kimia dan bahan biologis (OIKB); (d) Jenis dan ketelusuran pakan; (e)
Tingkat efesiensi pakan atau FCR (Food Conversion ratio); (f) Pemenuhan sertifikasi
lingkungan; (g) Ketelusuran benih; (h) Ketersediaan benih berkualitas; (i) Perubahan
iklim (climate change); dan (j) Kejadian hama penyakit ikan (HPI) dan phatogen
transfer.
Sebagai upaya dalam memperbaiki kinerja pengelolaan kawasan budidaya laut
secara berkelanjutan, maka diperlukan strategi konkrit khususnya perbaikan kinerja
terhadap faktor-faktor sensitif dimensi ekologi.

Kata Kunci : budidaya laut, daya duukung, karamba jaring apung, kesesuaian perairan,
status keberlanjutan.

Pendahuluan

Pengembangan budidaya laut di satu sisi menjadi sangat penting sebagai bagian
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi
masyarakat yang kian meningkat dari tahun ke tahun, namun disisi lain harus
dihadapkan pada suatu kondisi, dimana telah terjadi degradasi kualitas sumberdaya
alam dan lingkungan yang meningkat secara signifikan. Ancaman terhadap ekosistem
perairan menjadi sangat mengkhawatirkan manakala tidak ada antisipasi dini dalam
memperbaiki pola pengelolaan yang saat ini dilakukan. Beberapa potensi ancaman
tersebut yaitu berkaitan dengan land conversion, biodiversity, emisi, limbah, konflik
pemanfaatan ruang, potensi cemaran dari inland, dan potensi acaman dari aktivitas
sosial yang bersifat detruktif. Pengembangan budidaya laut di KJA yang tidak
memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan akan menyebabkan terjadinya
penurunan kualitas lingkungan perairan hingga kerusakan ekosistem perairan di
sekitarnya.
Dari pertimbangan di atas, maka strategi pengelolaan budidaya laut harus
dilakukan secara komprehensif, dan terpadu dalam kerangka prinsip pembangunan
berkelanjutan. Prinsip berkelanjutan harus diarahkan melalui pola pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat menyeimbangkan pemanfaatan sumberdaya
ekonomi yang ada dengan tidak mengabaikan kelestarian sumberdaya alam dan
lingkungan. Perencanaan dan pengembangan budidaya laut berkelanjutan mensyaratkan
informasi yang komfrehensif didukung oleh data kondisi biofisik perairan yang sesuai
dengan daya dukung perairan, kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar,
ketersediaan sarana dan prasarana, serta akses pasar untuk menopang produksi
komoditas budidaya secara optimal (Khoram et al,.2006).
Implimentasi pengelolaan budidaya laut keberlanjutan ialah kebijakan
pemanfaatan yang berbasis daya dukung perairan dan didasarkan pada aspek
keterpaduan wilayah dan dimensi. Keterpaduan antara wilayah perairan teluk dengan
daerah daratan (upland), antara stakeholder dalam sistem tersebut dan antara berbagai
dimensi seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan harus menjadi
dasar dalam pengelolaan. Dengan demikian melalui desain pengelolaan yang dibangun
atas dasar landasan tersebut maka pengelolaan budidaya laut diyakini dapat memberikan
manfaat untuk kesejahteraan masyarakatnya secara berkelanjutan.

Metode Penelitian

Penelitian ini bertipe deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilaksanakan


pada Kawasan perairan Teluk Ekas yang secara administratif difokuskan di Desa Ekas
Buana, Kecamatan Jerowaru Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pertimbangan penentuan lokasi penelitian yaitu mengacu pada Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Nusa Tenggara Barat
dan masterplan minapolitan perikanan budidaya Kabupaten Lombok Timur.
Pengukuran kesesuaian perairan dilakukan untuk melakukan pendugaan terhadap
daya dukung melalui pendekatan kapsitas perairan. Penentuan titik sampling dilakukan
berdasarkan sistem informasi geografis (SIG). Titik pengambilan sampel dilakukan
secara purposive sampling (Nasution, 2001), yang mengacu pada fisiografi lokasi,
interpretasi peta batimetri, peta sebaran terumbu karang dan lamun, dan kondisi
eksisting budidaya laut sehingga sedapat mungkin bisa mewakili atau menggambarkan
keadaan perairan tersebut. Koordinat pengambilan sampel dicatat dengan bantuan
Global Positioning System (GPS) tipe Garmin 76csx dengan format UTM (Universal
Transverse Mercator). Sampling dilakukan pada 12 (dua belas) stasiun pengamatan
yang diharapkan dapat mewakili seluruh karakteristik kawasan perairan pada sub zona
pengembangan budidaya laut sistem KJA (Tabel 1).

Tabel 4. Lokasi titik pengambilan sampel

Sandi
No Lokasi Jenis Sampel Koordinat
Lokasi
1 Ekas Buana STA-01 Air Laut 50 L 0439517 UTM 9018385

2 Ekas Buana STA- 02 Air Laut 50 L 0439238 UTM 9018196

3 Ekas Buana STA-03 Air Laut 50 L 0439424 UTM 9019290

4 Ekas Buana STA-04 Air Laut 50 L 0439406 UTM 9019578

5 Ekas Buana STA-05 Air Laut 50 L 0439587 UTM 9020166

6 Ekas Buana STA-06 Air Laut 50 L 0439463 UTM 9017628


7 Ekas Buana STA-07 Air Laut 50 L 0439088 UTM 9017586

8 Ekas Buana STA-08 Air Laut 50 L 0438859 UTM 9018057

9 Ekas Buana STA-09 Air Laut 50 L 0438836 UTM 9018942

10 Ekas Buana STA-10 Air Laut 50 L 0440335 UTM 9020470

11 Ekas Buana STA-11 Air Laut 50 L 0440356 UTM 9020198

12 Ekas Buana STA-12 Air Laut 50 L 0440039 UTM 9019437

Secara lebih rinci jenis data, sumber data primer dan sekunder yang dikumpulkan
untuk analisis kesesuaian perairan disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Parameter, alat, dan metode pengukuran fisika kimia perairan

No Parameter Satuan Alat Metode

Parameter Fisika

1 Kedalaman meter Meteran In-situ


2 Kecerahan meter Secci disk In-situ
3 Kekeruhan NTU multiparameter water In-situ
quality type Horiba/AP
200
4 Kecepatan Arus cm/detik curren meter In-situ
o
5 Suhu C Multiparameter water In-situ
quality type Horiba/AP
200
6 Substrat Dasar - - In-situ

Parameter Kimia

1 Oksigen terlarut Ppm multiparameter water In-situ


(DO) quality type Horiba/AP
200
2 Salinitas Ppt multiparameter water In-situ
quality type Horiba/AP
200
3 pH - multiparameter water In-situ
quality type Horiba/AP
200
4 Nitrat mg/l water Quality Analysis Analisa laboratorium
type Photo meter PF-12
5 Nitrit mg/l water Quality Analysis Analisa laboratorium
type Photo meter PF-12
6 Posfat mg/l water Quality Analysis Analisa laboratorium
type Photo meter PF-12
7 Amonia mg/l water Quality Analysis Analisa laboratorium
type Photo meter PF-12
8 BOD mg/l water Quality Analysis Analisa laboratorium
type Photo meter PF-12

Tabel 3. Jenis data, sumber data dan metode pengumpulan data sekunder

Metode
No Jenis Data Sumber Data
Pengumpulan Data

1 Peta Bathimeteri Dishidros TNI AL Survey institusional


2 Peta Zonasi Wilayah Pesisir,Dinas Kelautan dan Studi dokumen
laut dan pulau-pulau kecil Perikanan NTB
3 Peta adminsitrasi BPS Kabupaten Survey institusional
Lombok Timur
4 Peta sebaran substrat dasar Dinas Kelautan dan Survey institusional
perairan Perikanan NTB
5 Peta sebaran arus Dinas Kelautan dan Survey institusional
Perikanan NTB
5 Peta sebaran eksosistem Dinas Kelautan dan Survey institusional
Perikanan NTB

Penentuan kesesuaian perairan untuk kegiatan budidaya laut sistem KJA di


kawasan sub zona pengembangan budidaya laut Teluk ekas dilakukan dengan analisis
pembobotan spasial SIG (Sistim Informasi Geografis), yang menggunakan alat bantu
(tool) perangkat lunak (software) Sistem Informasi Geospasial (SIG) versi ArcGIS 9.3.
Guna memperoleh kelas kesesuaian dilakukan dengan penyusunan matrik kesesuaian
perairan melalui skoring dan pembobotan. Analisis spasial dilakukan dengan melakukan
interpolasi terhadap titik-titik stasiun pengamatan yang merupakan suatu metode
pengelolaan data titik menjadi area (polygon). Hasil interpolasi dari masing-masing data
kualitas air dan data sekunder disusun menjadi sebuah peta tematik. Luasan perairan
yang sesuai / layak bagi kegiatan budidaya laut dengan sistem keramba jaring apung
yang dihasilkan setelah seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta
tematik dilakukan overlay (tumpang susun).
Matrik kesesuaian perairan disusun melalui kajian pustaka. Variabel yang
dianggap penting dan dominan menjadi dasar pertimbangan pemberian bobot yang lebih
besar. Penentuan skor didasarkan pada rentang nilai hasil pengukuran lapangan terhadap
14 (empat belas) parameter kemampuan perairan (site capability) dan 5 (lima)
parameter kesesuaian perairan (site suitability). Kemampuan perairan (site capability)
merupakan segala parameter yang terkait dengan parameter fisika kimia perairan,
sedangkan kesesuaian lokasi (site suitability) adalah aspek ekstrinsik dari lingkungan
sekitar perairan. Untuk memperoleh nilai kelayakan atau kesesuaian setiap parameter,
maka nilai bobot dikalikan dengan skor untuk masing-masing parameter pada setiap
stasiun yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan.
Interval kelas kesesuaian perairan diperoleh berdasarkan metode Equal Interval,
yaitu selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot
dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang kemudian dibagi dengan
jumlah kelas (Prahasta, 2013). Kelas kesesuaian dibagi menjadi tiga kelas, yaitu sangat
sesuai (S1), sesuai (S2) dan tidak sesuai (N).
Penentuan skor masing-masing kelas kesesuaian sebagai berikut :
Kelas Sangat Sesuai (S1) = >(maks x)
Kelas Sesuai (S2) = (maks 2x) (maks x)
Kelas Tidak Sesuai (N) = < (maks 2x)

Parameter yang menjadi acuan dalam penentuan daya dukung berdasarkan


kapasitas perairan adalah luas perairan yang sangat sesuai dan sesuai (S dan S1) untuk
budidaya laut dengan sistem keramba jaring apung berdasarkan analisis SIG, kapasitas
perairan, luas unit budidaya dan daya dukung perairan untuk budidaya (Rauf, 2007).
Proses dalam penentuan analisis daya dukung berdasarkan pendekatan kapasitas
perairan untuk budidaya laut dengan sistem keramba jaring apung mengacu pada
penelitian sebelumnya.
Dalam menentukan daya dukung budidaya laut dengan sistem keramba jaring
apung berdasarkan kapasitas perairan ditentukan berdasarkan luas perairan yang sesuai
untuk budidaya laut dengan sistem keramba jaring apung dikalikan dengan persentase
kapasitas perairan. Persentase kapasitas perairan yang disarankan adalah 20% dari
luasan perairan yang optimal yang dapat digunakan sebagai daerah penyangga (DKP,
2002a). Daya dukung kapasitas perairan merupakan hasil perkalian antara luas perairan
yang sesuai denganpersentase kapsitas perairan.
Analisis keberlanjutan dilakukan untuk mengetahui nilai indeks dan status
keberlanjutan dimensi ekologi sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA di
wilayah penelitian. Penggunaan Rap-Fish untuk mengevaluasi sustainability atau
keberlanjutan dari perikanan secara multidisipliner didasarkan pada teknik ordinasi
(menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan menggunakan
pendekatan Multidimensional Scalling (MDS). Adapun pendekatan ini merupakan
modifikasi dari program Rap-Fish (Rapid Appraissal for Fisheries) yang
dikembangkan oleh Fisheries Center, University of British Columbia (Kavanagh and
Pitcher, 2004; Pitcher and Preikshot, 2001), menjadi pendekatan Rap-Insus-Mariculture
(Rapid Appraissal Index Sustainability of Mariculture).
Indikator keberlanjutan sistem yang dikaji pada setiap dimensi diturunkan dari
gabungan antara konsep perikanan budidaya yang bertanggungjawab dan berkelanjutan
yang diperoleh dari berbagai sumber, antara lain: FAO-Code of Conduct for Fisheries
Responsibility (1997); GFCM-Indicator to Sustainable Development Finfish
Aquaculture (FAO 2011), IUCN (International Union for Conservation of Nature and
Natural Resource), Indo-GAP (Indonesian Good Aquaculture Practices), Pedoman
Zonasi Kawasan Budidaya Laut, Juknis Budidaya Laut serta mengacu hasil review dari
beberapa literatur untuk masing-masing dimensi keberlanjutan yang relevan dengan
penelitian ini (Alder et al., 2000; Marzuki, 2013; Pitcher and Preikshot, 2001; Sitorus,
2013; Tesfamichael and Pitcher, 2006).
Nilai indeks dan status keberlanjutan dikelompokkan ke dalam 4 kategori,
seperti ditunjukkan sebagaimana pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai indeks dan kategori keberlanjutan

Nilai Indeks Kategori Berkelanjutan

00,00 25,00 Buruk; Tidak Berkelanjutan


25,01 50,00 Kurang; Kurang Berkelanjutan
50,01 75,00 Cukup; Cukup Berkelanjutan
75,01 100,00 Baik; Sangat Berkelanjutan

Hasil dan Pembahasan

1) Pengukuran parameter site capability (fisika-fimia)


Hasil pengamatan terhadap parameter site capability (fisika,kimia) pada
kawasan sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA di perairan Teluk Ekas
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi rerata nilai parameter kesesuaian perairan (site capability)

Arus

Keterangan : P = Pasir ; PB = Pasir Berlumpur, PK = Pecahan Karang

a. Kecepatan arus
Hasil pengukuran kecepatan arus pada 12 (dua belas) titik sampling dengan
menggunakan alat pengukur arus (floating drought) menunjukkan bahwa kecepatan arus
perairan pada lokasi penelitian berkisar antara 19,00 22,00 cm/dtk dengan rata-rata
mencapai 21,00 cm/dtk 0,981.

Gambar 1. Grafik sebaran kecepatan arus di lokasi penelitian

Menurut Rachmansyah (2004) bahwa kecapatan arus untuk pengembangan


budidaya laut di KJA berkisar antara 20,00 40,00 cm/dtk. Sedangkan menurut Gufron
(2005) dan DKP (2002) menyebutkan bahwa kecepatan arus yanag layak untuk
budidaya ikan kerapu di KJA berkisar antara 20,00 50,00 cm/detik. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kecepatan arus di kawasan sub zona pengembangan budidaya
laut sistem KJA memiliki kisaran nilai yang layak untuk mendukung pengembangan
budidaya laut.

b. Kecerahan

Berdasarkan hasil pengukuran lapangan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa


kecerahan perairan berkisar antara 7,3 meter 7,8 meter, dengan rata-rata mencapai 7,5
meter 0,187.

Gambar 2. Grafik sebaran kecerahan di lokasi penelitian


Berdasarkan nilai parameter kesesuaian kualitas perairan, menyebutkan bahwa
kisaran kecerahan perairan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan biota laut
yaitu 5 meter (Buitrago et al, 2005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai
parameter kecerahan perairan pada sub zona budidaya laut di KJA berada pada kisaran
layak untuk pertumbuhan kultivan yang dibudidayakan.

c. Kekeruhan (Turbiditas)

Hasil pengukuran selama penelitian pada 12 (dua belas) titik sampling


menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan kawasan perairan sub zona pengembangan
budidaya laut sistem KJA berkisar antara 2,38 2,46 NTU, dengan rata-rata mencapai
2,40 NTU 0,032.

Gambar 3. Grafik sebaran kekeruhan di lokasi penelitian

Merujuk pada nilai parameter kesesuaian perairan untuk budidaya laut yang
dikeluarkan oleh Kepmen LH No. 51 tahun 2004, dapat disimpulkan bahwa kisaran
nilai kekeruhan pada lokasi penelitian masih berada pada kisaran optimun untuk
kegiatan budidaya laut yaitu 5 NTU.

d. Suhu

Hasil pengukuran suhu pada lokasi sampling menunjukkan bahwa suhu perairan
berada pada kisaran 31,97oC 32,42oC, dengan rata-rata mencapai 32,24oC0,124.

Gambar 4. Grafik sebaran suhu di lokasi penelitian


Berdasarkan nilai parameter kesesuaian parameter kualitas air menyebutkan
bahwa kisaran suhu optimal untuk mendukung kehidupan budidaya laut berada pada
kisaran 28oC 30oC dengan batas toleransi antara 31oC 33oC (KKP, 2013b).
Sedangkan untuk pertumbuhan optimal budidaya ikan kerapu di KJA membutuhkan
suhu berkisar 28oC 30C (DKP, 2003). Dari hasil pengukuran di atas, dapat
disimpulkan bahwa suhu perairan pada lokasi penelitian walaupun belum dikatakan
optimal bagi pertumbuhan ikan, namun masih berada pada batas nilai toleransi untuk
kehidupan kultivan yang dibudidayakan.

e. Derajat keasaman (pH)


Hasil pengukuran di lokasi penelitian menunjukkan bahwa nilah pH perairan
berkisar antara 7,38 8,24, dengan rata-rata sebesar 7,97 0,297.

Gambar 5. Grafik sebaran pH di lokasi penelitian

Merujuk pada nilai baku mutu pH yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51
tahun 2004 dan SNI 01-6487.4-2014, maka dapat disimpulkan bahwa nilai pH di
perairan sub zona budidaya laut di KJA masih berada dalam kisaran yang sesuai untuk
kegiatan budidaya laut. Menurut Romomihtarto (2003) menyebutkkan bahwa kisaran
pH bagi pertumbuhan optimal ikan kerapu di KJA berkisar antara 6,5-8,5.

f. Oksigen terlarut (DO)


Hasil pengukuran oksigen terlarut pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa
konsentrasi oksigen terlarut dalam air berkisar antara 6,59 ppm 7,03 ppm, dengan
angka rata-rata mencapai 6,72 ppm 0,134.

Gambar 6. Grafik sebaran DO di lokasi penelitian


Jika merujuk pada nilai baku mutu oksigen terlarut untuk kehidupan optiimum
biota laut yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 tahun 2004, maka dapat
disimpulkan kisaran nilai oksigen terlarut pada lokasi penelitian masih dalam kisaran
yang layak untuk mendukung pengembangan budidaya laut di KJA, yaitu masih pada
kisaran 5 ppm. Sedangkan menurut Wibisono (2005) menyatakan bahwa
pertumbuhan optimal budidaya ikan kerapu di KJA memerlukan kadar oksigen terlarut
> 6 ppm.

g. Nitrit
Hasil pengukuran di lokasi penelitian menunjukkan bahwa kadar nitrit berada
pada kisaran 0,011 mg/l 0,015 mg/l dengan rata-rata sebesar 0,012 mg/l 0,002.

Gambar 7. Grafik sebaran nitrit di lokasi penelitian

Berdasarkan nilai baku mutu parameter nitrit untuk kehidupan biota laut,
menyatakan bahwa kisaran yang diperbolehkan adalah <0,1 mg/l. Dengan begitu
konsentrasi nitrit pada kawasan pengembangan zona budidaya laut sistem KJA berada
pada batas toleransi yang diperbolehkan.
h. Nitrat
Hasil pengukuran kadar nitrat pada lokasi penelitian menunjukkan bahwa kadar
nitrat berada pada kisaran 0,115 mg/l 0,153 mg/l, dengan kadar rata-rata mencapai
0,142 mg/l 0,016.

Gambar 8. Grafik sebaran nitrat di lokasi penelitian


Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Krisanti
(2006) di perairan sekitar Batu Nampar Teluk Ekas, dimana kisaran kadar nitrat pada
lokasi sebesar 0,522 mg/l 0,936 mg/l. Tingkat kesuburan perairan Teluk Ekas
berdasarkan kadar nitrat yang mengacu pada kriteria yang ditetapkan oleh Hakanson
and Bryhn (2008) berada pada kisaran <1,1 mg/l sehingga dikategorikan dalam perairan
oligotrofik. Merujuk pada nilai baku mutu optimal kadar nitrat untuk kehidupan laut
sebagaimana dalam Kepmen LH no. 51 tahun 2004, dapat disimpulkan bahwa kadar
nitrat pada perairan kawasan pengembangan zona budidaya laut melebihi baku mutu
optimal yang seharusnya sebesar 0,008 mg/l
i. Amonia
Hasil analisa laboratorium terhadap parameter amonia total (NH3-N) di lokasi
penelitian menunjukkan bahwa kadar amonia berkisar antara 0,040 mg/l 0,045 mg/l
dengan rata-rata sebesar 0,042 mg/l 0,001.

Gambar 9. Grafik sebaran Amonia di lokasi penelitian

Konsentrasi amonia-nitrogen di perairan Teluk Ekas masih berada di bawah


baku mutu yang ditetapkan oleh Kepmen LH No 51 Tahun 2004 yaitu sebesar <0,3
mg/l.

j. Ortofosfat

Hasil pengukuran di lokasi penelitian terhadap konsentrasi fosfat menunjukkan


bahwa konsentrasi fosfat berada pada kisaran 0,230 mg/l 0,470 mg/l dengan kadar
rata-rata sebesar 0,400 mg/l 0,065. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian
yang dilakukan Ramdhan (2015), dimana konsentrasi fosfat pada perairan Teluk Ekas
mencapai rata-rata 0,41 mg/l. Sebaran nilai fosfat di perairan Teluk Ekas yaitu pada
kawasan sub zona pengembangan budidaya laut di KJA menunjukkan nilai yang masih
sesuai untuk budidaya laut yaitu 0,8 mg/l, meskipun nilai ini di atas nilai optimum
yang diharapkan sesuai baku mutu untuk biota laut dalam Kepmen LH No 51 tahun
2004 yaitu 0,015 mg/l.
Gambar 10. Grafik sebaran ortofosfat di lokasi penelitian

k. Biologycal Oxigen Demand (BOD)


Konsentrasi parameter BOD di lokasi penelitian berkisar antara 0,953 mg/l
1,040 mg/l, dengan rata-rata sebesar 0,987 mg/l 0,023. Merujuk pada baku mutu air
laut untuk biota laut yang tertuang dalam Kepmen LH No. 51 tahun 2004, maka nilai
konsentrasi BOD pada kawasan pengembangan zona budidaya laut di KJA masih
berada di bawah Baku Mutu yang ditetapkan dalam peraturan tersebut yaitu < 20 mg/l.

Gambar 11. Grafik sebaran BOD di lokasi penelitian

Parameter BOD menggambarkan keberadaan bahan organik di suatu perairan,


termasuk menjadi indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Semakin tinggi
nilai BOD memberikan gambaran semakin besarnya bahan organik yang akan
terdekomposisi dengan menggunakan jumlah oksigen di perairan.

2) Kesesuaian perairan dan daya dukung kapasitas perairan


Hasil analisis secara spasial terhadap kesesuaian lahan kawasan sub zona
pengembangan budidaya laut dengan sistem KJA dibagi menjadi tiga tingkatan
kelayakan yaitu sangat sesuai (S1), sesuai (S2), dan tidak sesuai (N). Berdasarkan
perhitungan menggunakan metode SIG diperoleh total luas lahan perairan kawasan sub
zona pengembangan budidaya laut sistem KJA seluas 350,78 ha. Dari luas tersebut
kemudian dilakukan penghitungan luas lahan berdasarkan tingkat kesesuaian perairan
masing-masing untuk kategori tidak sesuai (N) seluas 58,59 ha; kategori sesuai (S1)
seluas 272,58 ha; dan kategori sangat sesuai (S1) seluas 19,62 ha. Adapun sebaran
tingkat kesesuaian perairan pada masing-masing stasiun pengamatan dapat di lihat pada
Gambar 12 dan Tabel 6.

Gambar 12. Peta tingkat kesesuaian perairan pada tiap stasiun

Tabel 6. Tingkat kelayakan/kesesuaian pada masing-masing stasiun pengamatan


Tingkat Kelayakan/Kesesuaiann
Stasiun Pengamatan
Tidak Sesuai (N) Sesuai (S1) Sangat Sesuai (S2)
Stasiun 1 **
Stasiun 2 *
Stasiun 3 **
Stasiun 4 **
Stasiun 5 **
Stasiun 6 **
Stasiun 7 ***
Stasiun 8 ***
Stasiun 9 *
Stasiun 10 **
Stasiun 11 *
Stasiun 12 **
Keterangan : (*) = N; (**) = S1; (***) = S2
Kebutuhan ruang untuk kegiatan budidaya laut diperoleh melalui analisa
terhadap kesesuaian lokasi budidaya berdasarkan analisis Geospatial Information
System (GIS). Hasil analisis GIS pada perairan kawasan sub zona pengembangan
budidaya laut sisitem menghasilkan luasan perairan yang sesuai untuk budidaya seluas
292,2 ha (kategori sesuai dan sangat sesuai) atau 83,3% dari keseluruhan total luas
perairan kawasan sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA yang mencapai
350,78 ha. Jika mengacu pada rekomendasi pemanfaatan lahan sebesar 20% dari luasan
yang sesuai (DKP, 2002), maka luas lahan budidaya optimum yang dapat
dikembangkan pada sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA adalah seluas
58,44 ha.
Berdasarkan analisa daya dukung dengan pendekatan kapasitas perairan dapat
dijelaskan bahwa potensi efektif luas lahan yang direkomendasikan untuk
pengembangan KJA seluas 58,44 ha. Berdasarkan pengukuran di lapangan luas lahan
KJA per petak 9 m2 (3 x 3 meter) , atau dengan kata lain luas lahan per unit KJA (4
petak) seluas 36 m2, maka didapatkan jumlah unit KJA yang dapat ditampung dan
direkomendasikan pada sub zona pengembangan budidaya laut khususnya untuk
komoditas ikan kerapu dan lobster adalah sebanyak 16.222 unit KJA atau 64.888 petak
KJA, dengan kapsitas per ha sebanyak 278 unit KJA. Adapun total potensi volume
produksi optimum sebanyak 8.111 ton per siklus (jika semua dibudidayakan ikan kerapu
hybrid), dan 2.433 ton per siklus (jika semua dibudidayakan untuk komoditas lobster).

3) Indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi


Hasil analisis multidimension scalling dengan teknik ordinasi Rapfish untuk status
keberlanjutan pada dimensi ekologi terhadap 17 (tujuh belas) atribut yang berpengaruh
menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sebesar 44,62. Berdasarkan kategori nilai
indeks status keberlanjutan, menunjukkan bahwa nilai tersebut berada pada kisaran nilai
25,00 50,00 yang menyimpulkan bahwa status keberlanjutan dimensi ekologi
memiliki kategori Kurang Berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan pengelolaan
kawasan sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA disajikan sebagaimana
Gambar 13..

Gambar 13. Nilai indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi


pengelolaan kawasan sub zona pengembangan budidaya laut
sistem KJA di Teluk Ekas
Nilai indeks tersebut menggambarkan bahwa pengelolaan kawasan sub zona
pengembangan budidaya laut sistem KJA di perairan Teluk Ekas kurang optimal dalam
memenuhi syarat secara ekologi. Beberapa pertimbangan kepentingan ekologi diduga
belum menjadi fokus perhatian dalam pengelolaan budidaya, disamping tentunya
adanya faktor eksternal yaitu faktor alami dan dampak dari kegiatan di luar on farm
yang kurang terkendali, sehingga berpotensi menggangu terhadap kegiatan budidaya,
maupun pada ekosistem secara umum. Hal ini berkaitan dengan karaketeristik wilayah
pesisir dan laut yang cenderung tidak bisa terlepas dari pengaruh multi sektor dalam
pemanfaatan ruang yang ada.
Analisis untuk menghasilkan atribut-atribut sensistif status keberlanjutan pada
dimensi ekologi dilakukan dengan metode Analisis leverage (pengungkit) terhadap 17
(tujuh belas) atribut. Atribut sensitif dimensi ekologi merupakan faktor yang
diperkirakan mempunyai pengaruh signifikan terhadap status keberlanjutan dimensi
ekologi pada pengelolaan kawasan sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA
di perairan Teluk Ekas. Disamping itu, guna menentukan atribut pengungkit yang
paling sensitif pada setiap dimensi dilakukan analisis pareto, yaitu mengurutkan atribut
dengan nilai RMS (Root Mean Square) terbesar hingga terkecil dan dilakukan
pembobotan dalam bentuk persentase dan diakumulasikan.
Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) untuk dimensi ekologi
terlihat dalam Gambar 14.

Gambar 14. Hasil analisis atribut pengungkit (Leverage atributes)


dimensi ekologi.

Sedangkan hasil analisis pareto terhadap atribut-atribut dalam dimensi ekologi,


menunjukkan bahwa terdapat 10 atribut sensitif yang berpengaruh terhadap indeks dan
status keberlanjutan dimensi ekologi, masing-masing yaitu : (a) Tingkat daya dukung
kapsitas perairan dengan nilai 3,91; (b) Penggunaan sumber benih dengan nilai indeks
3,91; (c) Penggunaan obat ikan, bahan kimia dan bahan biologis (OIKB) dengan nilai
indeks 3,76; (d) Jenis dan ketelusuran pakan dengan nilai indeks 3,21; (e) Tingkat
efesiensi pakan atau FCR (Food Conversion ratio) dengan nilai indeks 3,21; (f)
Pemenuhan sertifikasi lingkungan dengann nilai 2,76 indeks ; (g) Ketelusuran benih
dengan nilai indeks 2,76 ; (h) Ketersediaan benih berkualitas dengan nilai indeks 2,35;
(i) Perubahan iklim (climate change) dengan nilai indeks 1,85; dan (j) Kejadian hama
penyakit ikan (HPI) dan phatogen transfer dengan nilai indeks 1,63.

Gambar 15. Hasil analisis pareto terhadap atribut pengungkit pada


dimensi ekologi

Kesimpulan

1. Secara umum kawasan sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA di
Perairan Teluk Ekas memiliki karakteristik biofisik maupun kemampuan lokasi
(site suitability) yang masih layak untuk pengembangan budidaya laut sistem
KJA, dengan indikator kesesuaian parameter utama lebih dari 80%.
2. Berdasarkan pendugaan daya dukung melalui pendekatan kapasitas perairan
diperoleh total luas area budidaya yang dapat ditampung pada kawasan sub zona
pengembangan budidaya laut sistem KJA yaitu seluas 58,44 ha (20% dari total
luas perairan yang sesuai) dengan jumlah optimal kapasitas unit KJA yang
dapat dikembangkan sebanyak 16.222 unit KJA atau 64.888 petak KJA
3. Hasil analisis terhadap indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi
pengelolaan kawasan sub zona pengembangan budidaya laut sistem KJA dapat
disimpulkan bahwa dimensi ekologi berada pada kategori Kurang
Berkelanjutan dengan indeks keberlanjutan 44,62.
4. Sedangkan hasil analisis laverage dan pareto terhadap atribut-atribut dalam
dimensi ekologi, menunjukkan bahwa terdapat 10 atribut sensitif yang
berpengaruh terhadap indeks dan status keberlanjutan dimensi ekologi, masing-
masing yaitu : (a) Tingkat daya dukung kapsitas perairan dengan nilai 3,91; (b)
Penggunaan sumber benih dengan nilai indeks 3,91; (c) Penggunaan obat ikan,
bahan kimia dan bahan biologis (OIKB) dengan nilai indeks 3,76; (d) Jenis dan
ketelusuran pakan dengan nilai indeks 3,21; (e) Tingkat efesiensi pakan atau
FCR (Food Conversion ratio) dengan nilai indeks 3,21; (f) Pemenuhan
sertifikasi lingkungan dengann nilai 2,76 indeks ; (g) Ketelusuran benih dengan
nilai indeks 2,76 ; (h) Ketersediaan benih berkualitas dengan nilai indeks 2,35;
(i) Perubahan iklim (climate change) dengan nilai indeks 1,85; dan (j) Kejadian
hama penyakit ikan (HPI) dan phatogen transfer dengan nilai indeks 1,63.

Daftar Pustaka

Alder, J., Tony J. Pitcher, D. Preikshot., K. Kaschner., and B. Feriss. 2000. How Good
is Good? : A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status
of Fisheries of The North Atlantic. Sea Around Us Methodology Review. Fisheries
Center. University of British Columbia. Vencouver Canada. 132-182
Buitrago, J., Rada, M., Hernandez, H., Buitrago, E., 2005. A Single-Use Site Selection
Technique , Using GIS , for Aquaculture Planning: Choosing Locations for
Mangrove Oyster Raft Culture in Margarita Island , Venezuela. Environmental
Management 35 (5), 544556. doi:10.1007/s00267-004-0087-9
DKP, 2002a. Profil Perikanan Budidaya Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
DKP Ambon, 2003. Data dan Informasi serta Profil Potensi Perikanan dan Kelautan
Kota Ambon. Kerjasama Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpatti dengan
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, Ambon. p 19.
Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO). 1997. Aquaculture
development. FAO Tech. Guidel. Responsible Fisheries, (5):40 pp.
General Fisheries Commission for the Mediterranean. 2013. Indicators for Sustainable
Development of Aquaculture and Guidelines for their use in the Mediterranean
Background information. Regional Workshops on The Identification of Reference
Points for Economic, Enviromental, Social and Governance Indicators on
Aquaculture. Izmir 9-19 December 2013
Hakanson, L., Bryhn, A.C., 2008. Eutrophication in the Baltic Sea, Nutrien Transport
Processes, Remedial Strategies., 1st ed. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin.
261 p.
International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). 2007.
Guide for the Sustainable Development of Mediterranean Aquaculture. Interaction
between Aquaculture and the Environment. IUCN, Gland, Switzerland and Malaga,
Spain. 107 pages.
Khorram O, Helliwell JP, Katz S, Bonpane CM, Jaramillo L. Two weeks of metformin
improves clomiphene citrate-induced ovulation and metabolic profiles in women
with polycystic ovary syndrome. Fertil Steril. 2006; 85 :14481451.
Kristanti et al.,2006. Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Ekas Untuk
Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu di KJA. Jakarta. JII.Pert.Indon.Vol.11(2).
KKP, 2013b. Pedoman Teknis Penyusunan Peta Rencana Zonasi WP3K Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Diektorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Jakarta.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan
Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004, Tanggal 8 April 2004 tentang Baku Mutu
Air Laut. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta, 11 hlm.
Marzuki, M.,2013. Desain Pengelolaan Budidaya Laut Berkelanjutan di Teluk Saleh
Kabupaten Sumbawa. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.p281.
Nasution. M.N. (2001). Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta : Ghalia Indonesia
Prahasta. 2009. Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika. Bandung
Rachmansyah, R., 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam
Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. p 274.
Sitorus, S.W., 2013. Analisis Keberlanjutan Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus
vannamei) Dalam Pengembangan Kawasan Minapolitan di Beberapa Desa
Kecamatan Pantai Cermin Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara.
Tesis. Program Pascasarjana, Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro.
Semarang. p 171.
Ramdhan. 2015. Studi Kualitas Perairan Teluk Ekas Berdasarkan Parameter Fisika-
Kimia. Balitbang KP. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Romimohtarto, K. Dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta
Tesfamichael, D. and Pitcher, T.J. (2006) Multidisciplinary Evaluation of the
Sustainability Of Red Sea Fisheries Using Rapfish. Fisheries Research 78: 227-235
Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai