Anda di halaman 1dari 15

Tugas Kelompok VIII

Mata Kuliah : Kebijakan dan Manajemen Kesehatan


Dosen : Dr. dr. Noer Bahri Noor, M.Sc

Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 44 Tahun 2009
Tentang
Rumah Sakit (Pasal 29,30,31, dan 32)

Oleh:
Mulyana Hasan (P1806216004)
Muhammad Fajrin Wijaya (P1806216005)
A.Dhini Alfiandari (P1806216008)
Dwinda Aulia Aslam (P1806216029)

MAGISTER ADMINISTRASI RUMAH SAKIT


PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Isu dan Masalah Publik


Isu strategis yang berkembang di masyarakat adalah pembangunan kesehatan tahun
2005-2025 memberikan perhatian khusus kepada penduduk rentan, antara lain : ibu, bayi,
anak, usia lanjut, dan keluarga miskin. Adapun sasaran pembangunan kesehatan pada akhir
tahun 2014 adalah meningkatnya derajad kesehatan masyarakat melalui percepatan
pencapaian pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang antara lain adalah:
1) meningkatnya usia harapan hidup menjadi 72 tahun; 2) menurunnya angka kematian bayi
menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup; 3) menurunnya angka kematian ibu melahirkan
menjadi 118 per 100.000 kelahiran hidup; 4) menurunnya prevalensi gizi kurang dan gizi
buruk pada anak balita menjadi lebih kecil dari 15 %.
Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 ini khususnya yang dikaji oleh penulis
mengandung isi tentang bangunan rumah sakit yang merupakan wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di
atas dan/atau di dalam tanah yang berfungsi sebagai tempat melakukan kegiatan pelayanan.
sesuai dengan fungsi rumah sakit dan memberikan, kenyamanan dan kemudahan dalam
pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk
penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.

2. Tujuan kebijakan
Tujuan yang diusahakan tercapai berdasarkan pasal yang dikaji dalam Bagian
ketiga Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 yang diautur dalam Permenkes No. 147 Tahun
2010 tentang perizinan rumah sakit adalah tersedia dan berfungsinya sarana dan prasarana
pada rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, operasi/bedah, tenaga kesehatan, radiologi,
ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang
kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan
masyarakat rumah sakit; ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar
jenazah, taman, pengolahan sampah, dan pelataran parker yang mencukupi sesuai dengan
jenis dan klasifikasinya.
Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal
7, pasal 8, pasal, 9 pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15, dan pasal 16
tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operazional rumah
sakit.
Penentuan kebijakan dibidang kesehatan merupakan sistem yang tidak terlepas dari
keadaan sekitar meliputi faktor ideologi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan
suatu negara. Komponen proses, alokasi, sumber daya, aktor, dan kekuasaan merupakan
faktor yang berperan pada penetapan kebijakan sebagai sistem. Maka, kebijakan yang
dihasilkan merupakan interaksi elit kunci dalam setiap detail proses pembuatan kebijakan
termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor, interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya,
dan bargaining position diantara elit yang terlibat.

3. Tipe Pendekatan Dalam Setiap Siklus


Prosedur perizinan pendirian rumah sakit itu dituangkan dalam berbagai
keputusan. Berdasarkan pada ketentuan yang berlaku pihak swasta yang akan mendirikan
rumah sakit harus memperoleh izin pendirian dan izin penyelenggaraan. Izin
penyelenggaraan dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu, izin operasional dan izin tetap.
Penjelasan selengkapnya, sebagai berikut:
1. Izin Prinsip/Izin Pendirian/Pembangunan Rumah Sakit: Izin ini diperoleh dari Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Masa berlaku izin ini selama 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang untuk 1 (satu) tahun kedepan.
2. Izin Operasional/Izin Penyelenggaraan Sementara Rumah Sakit: Izin ini diperoleh dari
Dinas Kesehatan Propinsi. Izin ini berlaku selama 2 (dua) tahun yang diberikan secara
pertahun.
3. Izin Tetap/Izin Penyelenggaraan Tetap Rumah Sakit: Izin ini diperoleh dari Menteri
Kesehatan (teknisnya dilakukan oleh Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik). Masa
berlaku izin ini selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang.

4. Substansi Kebijakan Pokok


Berdasarkan kajian pasal dalam undang-undang ini maka yang menjadi substansi
pokok kebijakannya adalah bahwa hak setiap orang untuk mendapatkan hak dan kewajiban
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan, yaitu pemerintah memberikan
kemudahan kepada masyarakat untuk memperoleh akses terhadap layanan kenyamanan dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi setiap
orang dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, diperlukan tempat
pelayanan pasien, dalam hal ini instansi rumah sakit.
5. Masalah Yang Timbul
Salah satu hal yang sangat berpengaruh pada kinerja karyawan atau pekerja rumah
sakit adalah tempat yang nyaman dan kemudahan dalam melakukan pekerjaannya, dalam
hal ini adalah perawat. Kemudahan dalam melakukan pekerjaan yang berkaitan langsung
dengan arsitektur rumah sakit adalah dekatnya antara tempat kerja yang satu dengan tempat
kerja yang lain sehingga dapat mengurangi energi yang terbuang hanya untuk hilir mudik
dari satu tempat ketempat yang lain, untuk itu diperlukan sebuah konsep Lean Hospital
(Mark Graban, 2009). Bangunan rumah sakit dirancang untuk memberikan kemudahan
pelayanan maupun penunjang pemberian akses bagi pasien. Seiring dengan fungsi tersebut
rumah sakit juga harus menawarkan satu desain unik, memadupadankan bangunan
berarsitek budaya. Tujuannya tetap mengedepankan dan melestarikan nilai-nilai budaya
Indonesia.
Layout merupakan susunan departemen-departemen, pusat kerja, dan peralatan
yang lebih ditekankan pada perpindahan proses kerja (pelanggan atau barang) dalam suatu
sistem. Penentuan layout merupakan hal yang penting dengan alasan: (1) membutuhkan
investasi dana dan usaha yang cukup banyak, (2) melibatkan komitmen jangka panjang
sehingga apabila timbul suatu masalah akan sulit untuk diatasi, (3) memiliki dampak yang
signifikan terhadap biaya dan efisiensi operasional. Proses perencanaan layout diperlukan
pada proses perancangan fasilitas baru dan perencanaan ulang fasilitas yang telah ada.
Alasan paling umum dilakukannya perencanaan ulang adalah inefisiensi operasional,
kecelakaan atau bahaya yang mengancam keselamatan pengguna. Desain layout yang buruk
akan sangat mempengaruhi jalannya proses (Stevenson, 2009).

6. Resistensi Terhadap Kebijakan


Resistennya penyelenggaran pelayanan kesehatan mengakibatkan UU Kesehatan
No. 44 Tahun 2009 tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Namun, sebagian kalangan
menilai resistensi muncul karena tidak meratanya sistem pendanaan pada tiap-tiap
kabupaten/kota, anggaran dan kesadaran pihak-pihak terkait dalam mengembangkan sistem
pelayanan kesehatan yang berkualitas yang masih dinilai kurang menyebabkan pelayanan
kesehatan tidak sepenuhnya berjanan optimal.

7. Prediksi Keberhasilan
Semua pasal dengan tujuannya yang mulia tersebut InshaAllah akan berhasil jika
kerjasama setiap orang dengan tenaga kesehatan dimaksimalkan dengan memberikan
pelayanan yang dibutuhkan. Kiranya dalam mengembangkan suatu sistem harus bersama-
sama antara pihak pengembang dengan dinas kesehatan, yang dalam hal ini sebagai
pengguna dari sistem yang akan dipergunakan nantinya, dengan harapan dapat menjamin
keberlangsungan sistem, aksesibilitas yang tinggi, mempunyai manfaat serta keamanaan.
Bukan dinas kesehatan kabupaten/kota, tetapi bersama-sama dengan mitranya
nantinya mengembangkan sistem yang sesuai rencana. Dalam mengembangkan fungsi
rumah sakit yang optimal sekaligus dapat memelihara keseluruhan dari sistem apabila dalam
implementasinya di lapangan pasca pelaksanaan, jadi dengan kata lain seluruh masalah
teknis.
Berbicara tentang prediksi keberhasilan, Undang-Undang Kesehatan No. 44 Tahun
2009 ini belum menunjukkan keberhasilan sepenuhnya. Petugas kesehatan merupakan
payung hukum untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Tidak diperuntukkan
untuk masyarakat sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik investasi
kesehatan, pemilik hak asasi kesehatan, dan sebagai subjek pembangunan kesehatan.
Indonesia sebagai negara berkembang masih dihadapkan pada masalah rendahnya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Oleh karena itu,
diperlukan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang optimal.

8. Kesimpulan Dan Rekomendasi


A. Kesimpulan
Setelah membaca dan memahami maksud dan tujuan dari Undang-Undang No. 44
tahun 2009 tentang rumah sakit, disimpulkan bahwa masih banyaknya isu dan masalah
publik, khususnya masalah teknis bangunan pada umumnya. Sejauh ini, rumah sakit telah
menunjukan eksistensinya dalam pelayanan rumah sakit dibidang teknis bangunan
rumah sakit, dan sejauh ini berjalan dengan cukup baik. Meskipun begitu untuk lebih
menunjang dan mendukung implementasi pelayanan kesehatan masyarakat dibidang
kesehatan masih belum cukup untuk lebih mengoptimalkan dalam implementasinnya.
Sampai saat ini implementasi pelayanan kesehatan rumah sakit dilaksanakan dengan
penunjang operasional yang ada. Disamping itu persepsi kenyamanan dan kemudahan
dalam pelayanan kesehatan serta perlindungan dan keselamatan bagi setiap orang
memiliki persepsi yang berbeda-beda.
Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 ini khususnya yang dikaji oleh penulis,
mengandung isi dan masalah publik tentang pentingnya kenyamanan dan kemudahan
dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang guna
mewujudkan penyelenggaraan upaya kesehatan yang aman, nyaman, sehat, mudah dan
efektif demi mewujudkan pelayanan rumah sakit yang berkualitas.
Peraturan Perundang-Undangan No. 44 Tahun 2009, telah menimbang bahwa
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Namun sifatnya yang
masih law inforcement, terkadang masih belum sesuai dengan hukum tertulis.
Kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan
keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia
lanjut adalah hak bagi setiap pasien, bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak setiap
orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya Oleh karena itu, setiap kegiatan dan upaya untuk meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
non diskriminatif, partisipatif, perlindungan, dan berkelanjutan yang sangat penting
artinya bagi pembentukan sumber daya manusia Indonesia, peningkatan ketahanan dan
daya saing bangsa, serta pembangunan nasional.

B. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan kajian pasal ini adalah upaya
pembangunan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun
masyarakat, oleh karena itu penting memperjelas batasan mengenai kesehatan
masyarakat dalam setiap peraturan perundangan yang menjadi aturan pelaksanaan dari
undang-undang kesehatan ini. Perlunya dilakukan sosialisasi yang menyeluruh tentang
undang-undang kesehatan ini sehingga pemerintah dapat bersinergi dengan berbagai
komponen masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
BAB I

KAJIAN KEBIJAKAN

1.1 Masalah Dasar

Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non
diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya
manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional; bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti
investasi bagi pembangunan negara.
Dewasa ini, masalah kesehatan telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat.
Semua orang menginginkan kesehatan, karena kesehatan dinilai sangat berharga dan
mahal. Untuk itu, dalam rangka mendukung kesehatan bagi semua orang, harus ada upaya
yang dilakukan, salah satunya adalah pemerintah memberikan sarana kesehatan bagi
masyarakatnya. Salah satu sarana tersebut adalah rumah sakit (Griselda dan Tagor, 2007).
Rumah sakit merupakan tempat penyediaan layanan kesehatan untuk masyarakat.
Menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor 983.MENKES/SK/1992,
mengenai pedoman rumah sakit umum dinyatakan bahwa: Rumah sakit umum adalah
rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik,
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan. Menurut WHO, rumah sakit adalah
keseluruhan dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan
lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya
menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat
pelatihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial.
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, dijelaskan masyarakat
berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan
(pasal 18). Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 2003,
pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai penyedia jasa untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
sarana dan prasarana yang lengkap bukan segalanya dalam memenangkan persaingan
untuk merebut pangsa pasar, namun juga harus bisa memberikan kinerja yang baik
terhadap pasien. Dalam hal ini perlu dilakukan pengukuran antara kinerja dan harapan
konsumen serta pengidentifikasian terhadap kebutuhan konsumen. Kualitas pelayanan
rumah sakit terhadap para konsumennya merupakan suatu hal yang sangat penting, yang
pada akhirnya akan mampu memberikan kepuasan kepada konsumennya sehingga
diharapkan fungsi dan tujuan rumah sakit tersebut dapat tercapai.
Untuk itu, sudah saatnya melihat persoalan dan mengoptimalkan prosedur sesuai
UU rumah sakit bab 5 tentang persyaratan pada pasal 9 mengenai persayaratan bangunan
gedung pada umumnya maupun bangunan rumah sakit sesuai fungsi, demi kenyamanan,
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua
orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.

1.2 Tujuan Yang Ingin Dicapai


Dengan adanya Undang- Undang Rumah Sakit, memiliki arti penting bagi
kehidupan bangsa Indonesia. Antara lain, memberikan kesadaran mengenai nilai sebuah
pelayanan kesehatan bagi setiap orang. Kualitas pelayanan dan kepuasan pasien
mempunyai hubungan yang sangat erat. Pelayanan rumah sakit yang berkualitas akan
memberikan kepuasan kepada pasien dan menjadi awal membangun hubungan yang kuat
untuk jangka waktu yang panjang (loyalitas). Dalam jangka waktu yang panjang, ikatan
seperti ini memungkinkan rumah sakit untuk memahami dengan seksama harapan pasien
serta kebutuhan mereka. Ikatan tersebut memberikan keuntungan bagi rumah sakit berupa
finansial dan juga pasien dengan kesembuhannya.

1.3 Substansi Kebijakan


Substansi kebijakan dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 pasal 9, bahwa
rumah sakit harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan
gedung pada umumnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan
persyaratan teknis bangunan rumah sakit, sesuai dengan fungsi, kenyamanan, dan
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua
orang, termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.
Substansi kebijakan dalam pasal 10, adalah penjabaran mengenai ruangan apa saja
yang harus dipenuhi untuk kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan
dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan, bangunan rumah sakit yang dimaksud, paling sedikit terdiri atas ruangan: (1)
rawat jalan, (2) ruangan rawat inap, (3) ruang gawat darurat, (4) ruang operasi, (5) ruang
tenaga kesehatan, (6) ruang radiologi, (7) ruang laboratorium, (8) ruang sterilisasi, (9)
ruang farmasi, (10) ruang pendidikan dan pelatihan, (11) ruang kantor yang administrasi,
(12) ruang ibadah, ruang tunggu, (13) ruang penyuluhan kesehatan masyarakat rumah
sakit, (14) ruang menyusui, (15) ruang mekanik, (16) ruang dapur, (17) laundry, (18)
kamar jenazah, (19) taman, (20) pengolahan sampah, (21) pelataran parkir yang
mencukupi.
Substansi kebijakan pasal 11, mengenai prasarana rumah sakit, seperti: (1) instalasi
air, (2) instalasi mekanikal dan elektrikal, (3) instalasi gas medik, (4) instalasi uap, (5)
instalasi pengelolaan limbah, (6) pencegahan dan penanggulangan kebakaran, (7)
petunjuk, standart, dan sarana evakuasi saat terjadi keadaan darurat, (8) instalasi tata udara,
(9) sistem informasi dan komunikasi, dan (10) ambulan. Prasarana yang dimaksud harus
memenuhi standart pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja
penyelenggaraan rumah sakit, harus dalam keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik.
Pengoperasian dan pemeliharaan prasarana rumah sakit harus dilakukan oleh petugas yang
mempunyai kompetensi dibidangnya, harus didokumentasikan dan dievaluasi secara
berkala dan berkesinambungan.
Substansi kebijakan dalam pasal 12, adalah rumah sakit harus memiliki tenaga
tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga
kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga non kesehatan. Jumlah dan jenis
sumber daya harus sesuai dengan jenis dan klasifikasi rumah sakit, serta rumah sakit harus
memiliki data ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan dalam penyelenggaraan
rumah sakit. Kemudian rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan
sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan.

1.4 Ciri Kebijakan


A. Kriteria kebijakan
Kriteria kebijakan dalam pasal 9 bersifat mendukung, memperjelas, dan
menguatkan kebijakan pada pasal sebelumnya, yakni pasal 7 ayat (1). Pada pasal ini
juga berupaya untuk mewadahi kepentingan publik, khususnya konsumen rumah sakit
dalam pemenuhan kebutuhan akan pelayanan yang nyaman, mudah, dan terlindungi
dari risiko-risiko yang berhubungan dengan bangunan fisik rumah sakit.
Kriteria kebijakan dalam pasal 10 bersifat mendukung dan menegaskan pasal-pasal
sebelumnya yang mengatur tujuan rumah sakit, yakni untuk mempermudah akses
masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan, dan memberikan perlindungan terhadap
keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit, dan sumber daya manusia di
rumah sakit. Bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, rumah sakit perlu memiliki
standart bangunan/ruangan. Pasal ini selanjutnya bersifat terbuka, bahwa standart
mengenai ruangan dalam rumah sakit tersebut akan diatur oleh peraturan menteri yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah kementerian kesehatan.
Kriteria dalam pasal 11 bersifat mendukung serta menegaskan, bahwa rumah sakit
harus memenuhi standart pelayanan, keamanan, serta keselamatan dan kesehatan kerja
penyelenggaraan rumah sakit, serta prasarana yang tersedia di rumah sakit harus dalam
keadaan terpelihara dan berfungsi dengan baik. pengoperasian dan pemeliharaan
prasarana rumah sakitpun harus dilakukan oleh petugas yang mempunyai kompetensi
dibidangnya, kemudia harus didokumentasikan dan dievaluasi secara berkala dan
berkesinambungan. Pasal ini selanjutnya bersifat terbuka, bahwa standart mengenai
ruangan dalam rumah sakit tersebut akan diatur oleh peraturan menteri yang
bersangkutan, dalam hal ini adalah kementerian kesehatan.
Kriteria dalam pasal 12 bersifat mendukung dan menegaskan, bahwa persyaratan
sumber daya manusia sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 ayat (1), yaitu rumah
sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis,
tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen rumah sakit, dan tenaga
non kesehatan. Kemudian jumlah dan jenis sumber daya manusia harus sesuai dengan
jenis dan klasifikasi rumah sakit. Kemudian, rumah sakit juga harus memiliki data
ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan dalam penyelenggaraan rumah
sakit, serta rumah sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan.

B. Tipe pendekatan
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan protektif
(perlindungan) dan distributif, dimana masyarakat harus memperoleh sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatannya, serta
memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dibidangnya masing-
masing.

C. Pasal yang bermasalah


1. Pengawasan mengenai sarana dan prasarana masih dinilai kurang, serta kurang
ketatnya hukuman atas pelanggaran rumah sakit.
2. Masyarakat masih enggan mencari informasi terkait dengan pelayanan kesehatan,
dan masih enggan untuk mengadu tuntutan mereka.
BAB II
KONSEKUENSI DAN RESISTENSI

2.1 Perilaku Yang Muncul (Positif dan Negatif)


Pada bahasan konsekuensi dan resistensi metode yang dipergunakan untuk
melakukan bahasan adalah metode pendekatan prediktif, yaitu untuk menggambarkan akan
adanya serangkaian tindakan yang dilakukan untuk menghadapi konsekuensi dari
diberlakukannya Undang-Undang No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
A. Perilaku Positif
Pemerintah telah berkomitmen menyelenggarakan upaya peningkatan mutu kualitas
pelayanan rumah sakit serta hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang nyaman, mudah, dan kemudahan dalam pemberian
pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua orang.
B. Perilaku Negatif
Standar pelayanan pada pasal ini belum optimal sampai saat ini, pemerataan sarana dan
prasarana di kabupaten atau kota belum sepenuhnya serentak.

2.2 Resistensi
Resistennya penyelenggaran pelayanan kesehatan mengakibatkan UU No. 44
Tahun 2009 tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Namun, sebagian kalangan menilai
resistensi muncul karena, tidak meratanya sistem pendanaan pada tiap-tiap kabupaten/kota,
anggaran dan kesadaran pihak-pihak terkait dalam mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan yang berkualitas yang masih dinilai kurang, sehingga menyebabkan pelayanan
kesehatan tidak sepenuhnya berjanan optimal.
Ada sejumlah faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan sistem yang dimaksud.
Setianingsih (1998), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
perubahan sistem informasi, antara lain adalah partisipasi pemakai, dan keterlibatan
pemakai.
1. Aktor

Aktor yang resistensi terhadap pasal ini adalah pihak rumah sakit, dalam hal ini
adalah:

a) Pemerintah
b) Masyarakat
c) Tenaga Kesehatan

2. Sumber

Resistensi merupakan masalah inheren dari penerapan SI yang baru. Kotter (1995),
menyatakan bahwa perubahan besar tidak akan terjadi, kecuali bila perubahan tersebut
mendapat dukungan aktif dari organisasi. Karena perubahan tersebut memerlukan
"biaya" yang besar, maka wajar bila ada organisasi yang menghindari atau tidak mau
sama sekali melakukan perubahan (Quinn,1996).
Pendapat ini diperkuat oleh adanya kenyataan bahwa struktur-struktur dan proses-
proses didalam organisasi itu akan mendorong keseimbangan, bukannya perubahan. Di
satu sisi, kenyataan ini menurut Robbins (1994) adalah positif, sebab bila dalam suatu
organisasi tidak ada resistensi terhadap perubahan, karakteristik perilaku organisasional
akan menjadi random, tidak bisa diperkirakan. Disini, resistensi berfungsi
mempertahankan derajat stabilitas dan kemampu-prakiraan perilaku. Disamping itu,
resistensi terhadap perubahan juga dapat menjadi salah satu sumber konflik fungsional
(konflik yang positif).
Contoh, resistensi terhadap perubahan akibat adanya reorganisasi atau perubahan
dalam sistem informasi dapat memunculkan perdebatan berkenaan dengan masalah
perawatan kesehatan pasien yang distimulasi oleh adanya value-value atau ide-ide
tentang perawatan kesehatan yang baru atau hasil dari keputusan yang lebih baik.
Namun demikian, resistensi juga mengandung sisi gelap, yaitu berkenaan dengan
potensinya dalam menghalangi adaptasi dan perkembangan organisasi atau bisnis.
Robbins (1994), mengatakan bahwa sumber resistensi itu ada dua, yaitu sumber
individual dan sumber organisasional. Sumber-sumber individual antara lain berupa
keengganan merubah kebiasaan, terancamnya rasa aman, faktor-faktor ekonomis,
ketakutan tentang sesuatu yang tidak diketahui, dan proses informasi selektif.
Sementara itu, resistensi organisasional antara lain disebabkan oleh adanya inertia
struktural, terbatasnya fokus terhadap perubahan inertia kelompok, ancaman berkenaan
dengan keahlian, ancaman terhadap kemapanan hubungan kekuasaan, dan ancaman
terhadap kemapanan alokasi sumber-sumber.
3. Intensitas
Bahwa pasien atau keluarga memiliki hak untuk mendapatkan instansi pelayanan
yang berkualitas sesuai dengan fungsi rumah sakit yang menyediakan pelayanan pasien
dan mendapatkan pelayanan kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan
serta perlindungan dan keselamatan.

2.3 Masalah Baru Yang Muncul


Permasalahan etika dapat muncul pada beberapa permasalahan yaitu:
1. Permasalahan Privasi
Isu etika muncul karena sarana dan prasarana rumah sakit dapat menjajah
privasi dari individual pekerja. Rumah sakit dapat digunakan untuk menyediakan jasa
pelayanan kesehatan demi meningkatkan status kesehatan di Indonesia. Pengembangan
teknologi dalam menyediakan sarana dan prasarana kebutuhan pasien demi
pengoptimalan pada tiap-tiap rumah sakit juga tidak sepenuhnya berjalan dengan baik,
alat-alat yang digunakan pada pasien hanya merupakan alat yang seadanya, padahal
subtitusi barang yang tidak layak perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan
kepuasan pasien.
2. Permasalahan Pemilik Instansi Rumah Sakit
Jika dikaitkan dengan hak kepemilikan, maka akan berkaitan dengan image
pasien terhadap rumah sakit, kebutuhan pasien atas kepuasan pasien kian hari akan
semakin meningkat, karena jika kualitas pelayanan tidak sesuai dengan fungsi rumah
sakit, maka akan menyebabkan penurunan tingkat kepuasan pasien yang berdampak
pada image pasien terhadap kualitas pelayanan yang buruk.
BAB III
PREDIKSI

3.1 Prediksi Trade Off


Penerapan kebijakan dalam Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang rumah
sakit akan memunculkan trade-off, yaitu adanya pihak yang akan merasa diuntungkan dan
pula ada yang akan merasa dirugikan dengan pemberlakuan kebijakan tersebut.
1. Masyarakat: masyarakat mendapat jaminan dari pemerintah atas segala bentuk upaya
kesehatan yang bermutu, aman, efisien dan terjangkau. Dengan adanya jaminan
tersebut maka konsekuensi pemerintah adalah harus mengalokasikan biaya yang sangat
besar untuk pelayanan upaya kesehatan bagi masyarakat.
2. Pasien, Memudahkan setiap pasien untuk melakukan pengobatan dan mendapatkan
pelayanan kesehatan.
3. Aktor, Memudahkan fasilitas kesehatan untuk mendaftar setiap pasien yang berobat.
4. Instansi rumah sakit, menyediakan kebutuhan pelayanan kesehatan di tiap-tiap
rumah sakit dan pengembangan teknologi terbarukan dalam unit rumah sakit.
5. Unit pelayanan rumah sakit, menyediakan fasilitas kenyamanan, dan kemudahan
dalam memberikan perlindungan dan keselamatan bagi setiap pasien yang datang
berobat.

3.2 Prediksi Keberhasilan


Pada dasarnya prediksi keberhasilan dari penerapan kebijakan pada setiap pasal
sangat besar jika para stakeholder memiliki komitmen yang kuat dalam penerapannya. Hal
ini semakin didukung dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
perkembangan sarana teknologi terbarukan serta masuknya nilai-nilai global yang semakin
memperjelas ketertinggalan negara Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya
dalam berbagai aspek kehidupan termasuk aspek kesehatan sehingga akan mendorong
pemerintah dan seluruh stakeholder untuk lebih meningkatkan percepatan ketertinggalan
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai