Oleh:
Mulyana Hasan (P1806216004)
Muhammad Fajrin Wijaya (P1806216005)
A.Dhini Alfiandari (P1806216008)
Dwinda Aulia Aslam (P1806216029)
2. Tujuan kebijakan
Tujuan yang diusahakan tercapai berdasarkan pasal yang dikaji dalam Bagian
ketiga Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 yang diautur dalam Permenkes No. 147 Tahun
2010 tentang perizinan rumah sakit adalah tersedia dan berfungsinya sarana dan prasarana
pada rawat jalan, rawat inap, gawat darurat, operasi/bedah, tenaga kesehatan, radiologi,
ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan, ruang
kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan kesehatan
masyarakat rumah sakit; ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur, laundry, kamar
jenazah, taman, pengolahan sampah, dan pelataran parker yang mencukupi sesuai dengan
jenis dan klasifikasinya.
Rumah sakit yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal
7, pasal 8, pasal, 9 pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, pasal 15, dan pasal 16
tidak diberikan izin mendirikan, dicabut atau tidak diperpanjang izin operazional rumah
sakit.
Penentuan kebijakan dibidang kesehatan merupakan sistem yang tidak terlepas dari
keadaan sekitar meliputi faktor ideologi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan
suatu negara. Komponen proses, alokasi, sumber daya, aktor, dan kekuasaan merupakan
faktor yang berperan pada penetapan kebijakan sebagai sistem. Maka, kebijakan yang
dihasilkan merupakan interaksi elit kunci dalam setiap detail proses pembuatan kebijakan
termasuk tarik-menarik kepentingan antara aktor, interaksi kekuasaan, alokasi sumber daya,
dan bargaining position diantara elit yang terlibat.
7. Prediksi Keberhasilan
Semua pasal dengan tujuannya yang mulia tersebut InshaAllah akan berhasil jika
kerjasama setiap orang dengan tenaga kesehatan dimaksimalkan dengan memberikan
pelayanan yang dibutuhkan. Kiranya dalam mengembangkan suatu sistem harus bersama-
sama antara pihak pengembang dengan dinas kesehatan, yang dalam hal ini sebagai
pengguna dari sistem yang akan dipergunakan nantinya, dengan harapan dapat menjamin
keberlangsungan sistem, aksesibilitas yang tinggi, mempunyai manfaat serta keamanaan.
Bukan dinas kesehatan kabupaten/kota, tetapi bersama-sama dengan mitranya
nantinya mengembangkan sistem yang sesuai rencana. Dalam mengembangkan fungsi
rumah sakit yang optimal sekaligus dapat memelihara keseluruhan dari sistem apabila dalam
implementasinya di lapangan pasca pelaksanaan, jadi dengan kata lain seluruh masalah
teknis.
Berbicara tentang prediksi keberhasilan, Undang-Undang Kesehatan No. 44 Tahun
2009 ini belum menunjukkan keberhasilan sepenuhnya. Petugas kesehatan merupakan
payung hukum untuk menyelenggarakan pembangunan kesehatan. Tidak diperuntukkan
untuk masyarakat sebagai pemilik kesehatan, pemilik partisipatif, pemilik investasi
kesehatan, pemilik hak asasi kesehatan, dan sebagai subjek pembangunan kesehatan.
Indonesia sebagai negara berkembang masih dihadapkan pada masalah rendahnya akses
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Oleh karena itu,
diperlukan penyelenggaraan jaminan kesehatan yang optimal.
B. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan kajian pasal ini adalah upaya
pembangunan merupakan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah maupun
masyarakat, oleh karena itu penting memperjelas batasan mengenai kesehatan
masyarakat dalam setiap peraturan perundangan yang menjadi aturan pelaksanaan dari
undang-undang kesehatan ini. Perlunya dilakukan sosialisasi yang menyeluruh tentang
undang-undang kesehatan ini sehingga pemerintah dapat bersinergi dengan berbagai
komponen masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
BAB I
KAJIAN KEBIJAKAN
Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Bahwa setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip non
diskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya
manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi
pembangunan nasional; bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
bagi negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti
investasi bagi pembangunan negara.
Dewasa ini, masalah kesehatan telah menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat.
Semua orang menginginkan kesehatan, karena kesehatan dinilai sangat berharga dan
mahal. Untuk itu, dalam rangka mendukung kesehatan bagi semua orang, harus ada upaya
yang dilakukan, salah satunya adalah pemerintah memberikan sarana kesehatan bagi
masyarakatnya. Salah satu sarana tersebut adalah rumah sakit (Griselda dan Tagor, 2007).
Rumah sakit merupakan tempat penyediaan layanan kesehatan untuk masyarakat.
Menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia Nomor 983.MENKES/SK/1992,
mengenai pedoman rumah sakit umum dinyatakan bahwa: Rumah sakit umum adalah
rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar, spesialistik,
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan. Menurut WHO, rumah sakit adalah
keseluruhan dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan
lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya
menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat
pelatihan tenaga kesehatan, serta untuk penelitian biososial.
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, dijelaskan masyarakat
berhak mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan
(pasal 18). Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tahun 2003,
pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagai penyedia jasa untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat,
sarana dan prasarana yang lengkap bukan segalanya dalam memenangkan persaingan
untuk merebut pangsa pasar, namun juga harus bisa memberikan kinerja yang baik
terhadap pasien. Dalam hal ini perlu dilakukan pengukuran antara kinerja dan harapan
konsumen serta pengidentifikasian terhadap kebutuhan konsumen. Kualitas pelayanan
rumah sakit terhadap para konsumennya merupakan suatu hal yang sangat penting, yang
pada akhirnya akan mampu memberikan kepuasan kepada konsumennya sehingga
diharapkan fungsi dan tujuan rumah sakit tersebut dapat tercapai.
Untuk itu, sudah saatnya melihat persoalan dan mengoptimalkan prosedur sesuai
UU rumah sakit bab 5 tentang persyaratan pada pasal 9 mengenai persayaratan bangunan
gedung pada umumnya maupun bangunan rumah sakit sesuai fungsi, demi kenyamanan,
kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan keselamatan bagi semua
orang termasuk penyandang cacat, anak-anak, dan orang usia lanjut.
B. Tipe pendekatan
Tipe pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah pendekatan protektif
(perlindungan) dan distributif, dimana masyarakat harus memperoleh sarana dan
prasarana pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat kesehatannya, serta
memiliki sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dibidangnya masing-
masing.
2.2 Resistensi
Resistennya penyelenggaran pelayanan kesehatan mengakibatkan UU No. 44
Tahun 2009 tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Namun, sebagian kalangan menilai
resistensi muncul karena, tidak meratanya sistem pendanaan pada tiap-tiap kabupaten/kota,
anggaran dan kesadaran pihak-pihak terkait dalam mengembangkan sistem pelayanan
kesehatan yang berkualitas yang masih dinilai kurang, sehingga menyebabkan pelayanan
kesehatan tidak sepenuhnya berjanan optimal.
Ada sejumlah faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan sistem yang dimaksud.
Setianingsih (1998), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
perubahan sistem informasi, antara lain adalah partisipasi pemakai, dan keterlibatan
pemakai.
1. Aktor
Aktor yang resistensi terhadap pasal ini adalah pihak rumah sakit, dalam hal ini
adalah:
a) Pemerintah
b) Masyarakat
c) Tenaga Kesehatan
2. Sumber
Resistensi merupakan masalah inheren dari penerapan SI yang baru. Kotter (1995),
menyatakan bahwa perubahan besar tidak akan terjadi, kecuali bila perubahan tersebut
mendapat dukungan aktif dari organisasi. Karena perubahan tersebut memerlukan
"biaya" yang besar, maka wajar bila ada organisasi yang menghindari atau tidak mau
sama sekali melakukan perubahan (Quinn,1996).
Pendapat ini diperkuat oleh adanya kenyataan bahwa struktur-struktur dan proses-
proses didalam organisasi itu akan mendorong keseimbangan, bukannya perubahan. Di
satu sisi, kenyataan ini menurut Robbins (1994) adalah positif, sebab bila dalam suatu
organisasi tidak ada resistensi terhadap perubahan, karakteristik perilaku organisasional
akan menjadi random, tidak bisa diperkirakan. Disini, resistensi berfungsi
mempertahankan derajat stabilitas dan kemampu-prakiraan perilaku. Disamping itu,
resistensi terhadap perubahan juga dapat menjadi salah satu sumber konflik fungsional
(konflik yang positif).
Contoh, resistensi terhadap perubahan akibat adanya reorganisasi atau perubahan
dalam sistem informasi dapat memunculkan perdebatan berkenaan dengan masalah
perawatan kesehatan pasien yang distimulasi oleh adanya value-value atau ide-ide
tentang perawatan kesehatan yang baru atau hasil dari keputusan yang lebih baik.
Namun demikian, resistensi juga mengandung sisi gelap, yaitu berkenaan dengan
potensinya dalam menghalangi adaptasi dan perkembangan organisasi atau bisnis.
Robbins (1994), mengatakan bahwa sumber resistensi itu ada dua, yaitu sumber
individual dan sumber organisasional. Sumber-sumber individual antara lain berupa
keengganan merubah kebiasaan, terancamnya rasa aman, faktor-faktor ekonomis,
ketakutan tentang sesuatu yang tidak diketahui, dan proses informasi selektif.
Sementara itu, resistensi organisasional antara lain disebabkan oleh adanya inertia
struktural, terbatasnya fokus terhadap perubahan inertia kelompok, ancaman berkenaan
dengan keahlian, ancaman terhadap kemapanan hubungan kekuasaan, dan ancaman
terhadap kemapanan alokasi sumber-sumber.
3. Intensitas
Bahwa pasien atau keluarga memiliki hak untuk mendapatkan instansi pelayanan
yang berkualitas sesuai dengan fungsi rumah sakit yang menyediakan pelayanan pasien
dan mendapatkan pelayanan kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan
serta perlindungan dan keselamatan.