Anda di halaman 1dari 6

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 983/MENKES/SK/XI/1992

menyatakan Rumah Sakit Umum (RSU) mempunyai tugas melaksanakan upaya kesehatan
secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan
pemulihan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan
pencegahan serta melaksanakan upaya rujukan. Untuk mencapai hal tersebut, RSU
memiliki 7 (tujuh) fungsi sebagai berikut :

1. Menyelenggarakan pelayanan medis;


2. Menyelenggarakan pelayanan penunjang medis dan non medis;
3. Menyelenggarakan pelayanan dan asuhan keperawatan;
4. Menyelenggarakan pelayanan rujukan;
5. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan;
6. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan; dan
7. Menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan.
Dalam rangka melaksanakan ketujuh fungsinya itu, pelayanan rumah sakit berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 436/MENKES/SK/VI/1993 dibagi
menjadi 20 jenis pelayanan di mana salah satunya adalah pelayanan farmasi yang
dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab Bagian Penunjang Medis.

Seluruh jenis pelayanan rumah sakit memiliki 7 (tujuh) standar yang secara berurutan
terdiri dari : falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas
dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan, serta
evaluasi dan pengendalian mutu.

Standar pertama dari pelayanan farmasi menyatakan falsafah dan tujuan pelayanan farmasi
rumah sakit berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu dan
terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Standar kedua menyatakan administrasi dan pengelolaan pelayanan farmasi


diselenggarakan agar pelayanan farmasi efisien dan bermutu berdasarkan fasilitas yang ada
dan standar profesional yang universal.

Standar ketiga menghendaki pelayanan farmasi diselenggarakan dan dikelola oleh apoteker
yang memiliki pengalaman memadai. Apoteker adalah sebagai pimpinan instalasi farmasi,
sedangkan stafnya adalah para asisten apoteker.
Standar keempat menghendaki tersedianya ruangan, peralatan dan fasilitas lain yang dapat
mendukung administrasi, profesionalisme dan fungsi teknik pelayanan farmasi sehingga
menjamin terlaksananya pelayanan farmasi yang fungsional, profesional dan etis.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek telah mensyaratkan apotek harus memiliki : ruang tunggu yang
nyaman bagi pasien, tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien (termasuk penempatan
brosur/materi informasi), ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, keranjang
sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien, dan ruang racikan.

Standar kelima menghendaki semua kebijakan dan prosedur yang ada harus tertulis dan
dicantumkan tanggal dikeluarkannya peraturan tersebut. Peraturan dan prosedur yang ada
harus mencerminkan standar pelayanan farmasi mutakhir, yang sesuai dengan peraturan
dan tujuan dari pelayanan farmasi itu sendiri.

Standar keenam menghendaki setiap staf mempunyai kesempatan meningkatkan


pengetahuan dan keterampilannya. Sedangkan standar ketujuh mengenai evaluasi dan
pengendalian mutu, menyatakan bahwa pelayanan farmasi harus mencerminkan kualitas
pelayanan kefarmasian yang bermutu tinggi, melalui cara pelayanan farmasi rumah sakit
yang baik.

Secara umum, penilaian kinerja rumah sakit dapat dibagi ke dalam penilaian atas 3 (tiga)
kelompok kegiatan, yaitu : kegiatan administratif dan manajerial (ketata-usahaan,
kerumah-tanggaan, keuangan, akuntansi, dan lain-lain), kegiatan pelayanan medis dan
keperawatan, kegiatan pelayanan penunjang (farmasi, gizi, laundry, dan lain-lain).

Untuk memudahkan penilaian kinerja rumah sakit, diperlukan adanya


parameter/indikator/standar yang dapat digunakan sebagai pembanding. Sebagai contoh,
tujuan khusus pemeriksaan kinerja bidang penunjang pelayanan medis adalah menilai
apakah bidang penunjang pelayanan medis mampu memenuhi kebutuhan harian obat-
obatan yang diperlukan oleh bidang pelayanan medis (penilaian efektivitas), untuk tujuan
itu indikator pelayanan farmasi dapat dilihat dari jumlah resep yang dilayani dibandingkan
dengan jumlah pasien (rawat jalan, rawat inap, dan rawat darurat).

Indikator-indikator lainnya untuk penilaian kinerja pelayanan farmasi dalam ruang lingkup
efektivitas pelayanan resep antara lain adalah : Angka Penyerahan Obat Jadi Lebih Dari 15
Menit, Angka Penyerahan Obat Racikan Lebih Dari 30 Menit, dan Angka Kesalahan
Penyerahan Obat.

Angka Penyerahan Obat Jadi Lebih Dari 15 Menit didefinisikan sebagai angka kejadian
keterlambatan penyerahan obat jadi ke pasien di mana waktu yang diperlukan lebih dari 15
menit . Persentasenya diperoleh dari jumlah lembar resep yang penyerahannya melebihi
waktu standar dibagi dengan jumlah seluruh lembar resep yang dilayani. Standar yang
berlaku adalah kurang dari 20 %. Keterlambatan penyerahan obat jadi ke pasien dapat
disebabkan oleh :

1. Persediaan obat di ruang peracikan habis sehingga harus mengambil di gudang farmasi.
A. Salah menghitung dosis, sehingga harus diulang
B. Kesalahan dokter menuliskan dosis, sehingga harus di konsultasikan dulu dengan
dokter yang bersangkutan.
C. Obat yang dimaksud tidak ada, sehingga untuk mengganti obat yang sejenis harus di
konsultasikan dulu dengan dokter yang bersangkutan
Angka Penyerahan Obat Racikan Lebih Dari 30 Menit didefinisikan sebagai angka kejadian
keterlambatan penyerahan obat racikan ke pasien di mana waktu yang diperlukan lebih dari
30 menit. Persentasenya diperoleh dari jumlah lembar resep yang penyerahannya melebihi
waktu standar dibagi dengan jumlah seluruh lembar resep yang dilayani. Standar yang
berlaku adalah kurang dari 20 %.

Angka Kesalahan Penyerahan Obat didefinisikan sebagai angka kejadian kesalahan


penyerahan obat pada pasien. Persentasenya diperoleh dari jumlah lembar resep yang
penyerahan obatnya salah dibagi dengan jumlah seluruh lembar resep yang dilayani
Jumlah seluruh lembar resep yang dilayani. Standar yang berlaku adalah kurang dari 3 %.
Kesalahan penyerahan obat ini dapat disebabkan oleh :

1. Salah membaca resep


2. Salah pemberian etiket pada obat.
Kesalahan memberi etiket pada obat ini dapat menjadi atau merupakan pelanggaran
terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
farmasi dan Alat Kesehatan, pada pasal 26 ayat (1) yang menyatakan : Penandaan dan
informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk melindungi masyarakat
dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak obyektif, tidak lengkap serta
menyesatkan.
Untuk menunjang kinerja pelayanan farmasi, diperlukan pengelolaan yang memadai
terhadap logistik farmasi. Habisnya persediaan obat di ruang peracikan, tidak tersedianya
obat yang diperlukan, dan pemberian etiket yang salah pada obat sebagaimana telah
disebutkan di atas menunjukkan pengelolaan logistik farmasi yang belum memadai
sehingga mengganggu kinerja pelayanan farmasi.

Untuk mengelola logistik farmasi dengan baik, perlu dilaksanakan 4 (empat) fungsi dasar
manajemen obat. Pertama seleksi obat, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Mengevaluasi problem kesehatan yang ada di masyarakat.


Mengidentifikasi pilihan pengobatan
Pemilihan jenis obat dan bentuk sediaan
Menentukan jenis-jenis obat yang harus disediakan masing-masing bagian.
Kedua pengadaan obat, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Menghitung kebutuhan obat


Menentukan metode pengadaan
Melakukan pengadaan
Memastikan barang yang diperoleh bermutu dan proses pengadaan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku
Ketiga distribusi obat, dengan melaksanakan : manajemen penyimpanan obat,

kontrol stok, pencatatan, serta pendistribusian sampai ke depo-depo atau bagian-bagian


yang membutuhkan. Sedangkan keempat adalah penggunaan obat, dengan
memperhatikan : diagnosis, peresepan, dispensing, dan pemberian obat ke pasien dengan
benar.

Tujuan pengelolaan penyimpanan logistik farmasi adalah sebagai berikut :

Mencegah kehilangan
Mencegah over stock
Mencegah out of stock
Mencegah kerusakan
Mencegah pemborosan
Mengelola perbekalan farmasi dari sumber barang sampai ke user dengan seefisien
mungkin.
Pengelolaan yang buruk atas logistik farmasi akan menimbulkan masalah, di antaranya
adalah stock out dan over stock. Stock out dapat berakibat memburuknya kondisi pasien
karena treatment yang tertunda, meningkatnya biaya kesehatan pasien, kerugian
finansial, bahkan meninggalnya pasien karena tidak bisa memperoleh obat penyelamat
(lifesaving drug) tepat waktu. Over stock mengakibatkan terhentinya investasi obat, ruang
penyimpanan menjadi terbatas, kerusakan obat, obat kadaluarsa, risiko kehilangan
meningkat.

Berkaitan dengan pengelolaan logistik farmasi yang efektif dan efisien, ada beberapa
indikator kinerja atas pengendalian persediaan yang sebaiknya diperhatikan yaitu :

1. Inventory Control System

1. Apakah ada sistem kontrol inventory ?


2. Apakah ada kartu stock atau buku stock yang digunakan untuk mencatat setiap keluar
dan masuknya barang dari ruang penyimpanan?
A. Apakah pemesanan obat kembali berdasarkan sistem konsumsi yang ada ?
B. Apakah stock minimum atau safety stock ditentukan berdasarkan frekuensi
pengiriman barang dan konsumsi pemakaian rata-rata ?
C. Apakah dilakukan stock fisik untuk mencocokkan dengan kartu stock secara regular
?
i. Staff training in Inventory management
ii. Apakah petugas yang bertanggung jawab untuk perencanaan, pembelian,
penyimpanan, dan distribusi telah mendapat pelatihan secara formal tentang
pengelolaan inventory ?
iii. Apakah ada prosedur manajemen inventory yang dapat digunakan sebagai
panduan ?
a. Fasilitas Penyimpanan
a. Apakah ruang penyimpanan cukup untuk menampung persediaan ?
b. Apakah ada ruang penerimaan atau pendistribusian ?
c. Apakah ada form laporan kerusakan barang atau kesalahan pengiriman ?
iv. Apakah ruang penyimpanan kering, bersih, ada ventilasi udara, dan suhu 15-
25C?
a. Apakah ada lemari pendingin ? Apakah temperatur dicatat secara teratur ?
3. Pengelolaan di ruang penyimpanan
4. Apakah pendistribusian berdasarkan sistem FIFO (Fisrt In Fisrt Out) atau FEFO (First
Expired First Out)?
A. Selama satu tahun apakah ada perbekalan farmasi yang kadaluarsa ?
B. Apakah perbekalan farmasi disusun menurut ketentuan yang berlaku ?
Pengelolaan persediaan farmasi harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundangan
yang berlaku meliputi : perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Dengan
demikian, pengelolaan logistik farmasi merupakan hal yang tak terpisahkan dari mutu
pelayanan farmasi. Apabila indikator-indikator tersebut di atas ternyata menunjukkan
adanya pengelolaan yang baik terhadap logistik farmasi pada rumah sakit, maka akan
berakibat baik terhadap penilaian kinerja pelayanan farmasi. Sebaliknya, jika indikator-
indikator tersebut menunjukkan pengelolaan yang buruk maka akan berakibat buruk
terhadap penilaian kinerja pelayanan farmasi. (***)

Anda mungkin juga menyukai