Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Kelainan tiroid merupakan kelainan endokrin tersering kedua yang


ditemukan selama kehamilan. Berbagai perubahan hormonal dan
metabolik terjadi selama kehamilan, menyebabkan perubahan kompleks
pada fungsi tiroid maternal. Hipertiroid adalah kelainan yang terjadi ketika
kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid yang berlebihan dari
kebutuhan tubuh. (Williams Obstetrics 23rd, 2010)
Disfungsi tiroid autoimun umumnya menyebabkan hipertiroidisme
dan hipotiroidisme pada wanita hamil. Kelainan endokrin ini sering terjadi
pada wanita muda dan dapat mempersulit kehamilan. Sekitar 90% dari
hipertiroidisme disebabkan oleh penyakit Grave, struma nodusa toksik
baik soliter maupun multipel dan adenoma toksik. Penyakit Grave pada
umumnya ditemukan pada usia muda yaitu antara 20 sampai 40 tahun,
sedang hipertiroidisme akibat struma nodusa toksik ditemukan pada usia
yang lebih tua yaitu antara 40 sampai 60 tahun. Oleh karena penyakit
Grave umumnya ditemukan pada masa subur, maka hampir selalu
hipertiroidisme dalam kehamilan adalah hipertiroidisme Grave, walaupun
dapat pula disebabkan karena tumor trofoblas, molahidatidosa, dan struma
ovarii. Prevalensi hipertiroidisme di Indonesia belum diketahui. Di Eropa
berkisar antara 1 sampai 2 % dari semua penduduk dewasa.
Hipertiroidisme lebih sering ditemukan pada wanita daripada laki-laki
dengan ratio 5:1. Kejadiannya diperkirakan 2:1000 dari semua kehamilan,
namun bila tidak terkontrol dapat menimbulkan krisis tiroid, persalinan
prematur, abortus dan kematian janin. Tiroiditis postpartum adalah
penyakit tiroid autoimun yang terjadi selama tahun pertama setelah
melahirkan. Penyakit ini memberikan gejala tirotoksikosis transien yang
diikuti dengan hipotiroidisme yang biasanya terjadi pada 8-10% wanita
setelah bersalin. (Girling, Joanna. 2008, Inoue, Miho, et al. 2009)

1
Pengelolaan penderita hipertiroidisme dalam kehamilan
memerlukan perhatian khusus, oleh karena baik keadaan
hipertiroidismenya maupun pengobatan yang diberikan dapat memberi
pengaruh buruk terhadap ibu dan janin.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fisiologi Tiroid dalam Kehamilan


Hormon tiroid tetraiodotironin (T4) atau tiroksin dan triiodotironin
(T3) disintesis di dalam folikeltiroid. Thyroid-Stimulating Hormone (TSH)
merangsang sintesis dan pelepasan T3 danT4, yang sebelumnya didahului
dengan pengambilan iodide yang penting untuk sintesishormon tiroid.
Walaupun T4 disintesis dalam jumlah yang lebih besar, namun di jaringan
perifer T4 dikonversi menjadi T3 yang lebih poten melalui proses
deiodinasi. Selama kehamilan normal kadarThyroid Binding Globulin
(TBG) dalam sirkulasi meningkat sehingga akhirnya T3 dan T4 ikut
meningkat. (Girling, Joanna, 2008)
Hormon tiroid penting untuk perkembangan otak bayi dan sistem
saraf. Selama trimester pertama kehamilan, fetus bergantung pada ibu
untuk menyediakan hormon tiroid melalui plasenta karena fetus tidak
dapat menghasilkan hormon tiroid sendiri sampai trimester kedua. Pada
minggu ke-10 sampai 12, kelenjar tiroid fetus mulai berfungsi namun fetus
tetap membutuhkan iodin dari ibu untuk menghasilkan hormon tiroid. TSH
dapat dideteksi dalam serum janin mulai usia kehamilan 10 minggu, tetapi
masih dalam kadar yang rendah sampai usia kehamilan 20 minggu yang
mencapai kadar puncak 15 uU per ml dan kemudian turun sampai 7 uU per
ml. Penurunan ini mungkin karena kontrol dari hipofisis yang mulai terjadi
pada usia kehamilan 12 minggu sampai 1 bulan post natal. Selama
trimester kedua dan ketiga, hormon tiroid disediakan oleh ibu dan fetus,
namun lebih banyak oleh ibu. (Inoue, Miho, et al. 2009, Williams
Obstetrics 23rd, 2010)
Selama usia pertengahan kehamilan, didalam cairan amnion dapat
dideteksi adanya T4 yang mencapai puncaknya pada usia kehamilan 25
sampai 30 minggu. Kadar T3 didalam cairan amnion selama awal
kehamilan masih rendah dan berangsur akan meningkat. Tetraiodotironin

3
(T4) didalam tubuh janin terutama dimetabolisir dalam bentuk reverse T3
(rT3), hal ini dapat disebabkan karena sistem enzim belum matang.
Reverse T3 meningkat terus dan mencapai kadar puncak pada usia
kehamilan 17 sampai 20 minggu. Kadar rT3 didalam cairan amnion dapat
dipakai sebagai diagnosis prenatal terhadap kelainan faal kelenjar tiroid
janin. Selama kehamilan, fungsi kelenjar tiroid maternal bergantung pada
tiga faktor independen namun saling terikat, yaitu (a) peningkatan
konsentrasi hCG yang merangsang kelenjar tiroid, (b) peningkatan
ekskresi iodide urin yang signifikan sehingga menurunkan konsentrasi
iodin plasma, dan (c) peningkatan Thyroxine-BindingGlobulin (TBG)
selama trimester pertama, menyebabkan peningkatan ikatan hormone
tiroksin. Pada akhirnya, faktor-faktor di bawah ini bertanggung jawab
terhadap peningkatan kebutuhan tiroid (Girling, Joanna. 2008, Williams
Obstetrics 23rd. 2010):

a. Human Chorionic Gonadotropin (hCG)


Seperti yang disebutkan di atas, Human Chorionic Gonadotropin
(hCG) merupakan hormon peptid yang bertanggung jawab untuk produksi
progesteron dalam konsentrasi yang adekuat pada awal kehamilan, sampai
produksi progesteron diambil alih oleh plasenta yang sedang berkembang.
Konsentrasi hCG meningkat secara dramatis selama trimester pertama
kehamilan dan menurun secara bertahap setelahnya. Secara struktural,
peptide hCG terdiri atas dua rantai, sebuah rantai dan rantai , dimana
rantai dari hCG identik dengan struktur yang membentuk TSH. Struktur
yang homolog ini menjadikan hCG mampu merangsang kelenjar tiroid
untuk menghasilkan hormon tiroid, namun tidak sekuat TSH.
Kadar TSH turun selama kehamilan trimester pertama, berbanding
dengan peningkatan hCG. Walaupun hCG sebagai stimulan kelenjar tiroid,
konsentrasi hormon tiroid bebas (tidak terikat) pada umumnya dalam batas
normal atau hanya sedikit di atas normal selama trimester pertama. Efek
perangsangan dari hCG pada kehamilan normal tidak signifikan dan

4
normalnya ditemukan pada pertengahan awal kehamilan. Pada awal
minggu ke-12 atau pada kondisi patologis tertentu, termasuk hiperemesis
gravidarum dan tumor trofoblastik, konsentrasi hCG mencapai kadar
maksimal yang akan menginduksi keadaan hipertiroid dimana kadar
tiroksin bebas meningkat dan kadar TSH ditekan.

b. Ekskresi Iodin Selama Kehamilan


Konsentrasi iodine plasma mengalami penurunan selama kehamilan,
akibat peningkatan Glomerular Filtration Rate (GFR). Peningkatan GFR
menyebabkan meningkatnya pengeluaran iodine lewat ginjal yang
berlangsung pada awal kehamilan. Ini merupakan faktor penyebab
turunnya konsentrasi iodine dalam plasma selama kehamilan. Kompensasi
dari kelenjar tiroid dengan pembesaran dan peningkatan klirens iodin
plasma menghasilkan hormon tiroid yang cukup untuk mempertahankan
keadaan eutiorid. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembesaran
kelenjar tiroid adalah hal yang fisiologis, merupakan kompensasi adaptasi
terhadap peningkatan kebutuhan iodin yang berhubungan dengan
kehamilan.

c. Thyroxine Binding Globulin


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan TBG
menyebabkan peningkatan ikatan tiroksin, yang merupakan faktor ketiga
yang mempengaruhi fungsi tiroid selama kehamilan. Hormon tiroid dalam
serum diangkut oleh tiga protein, yaitu ThyroxineBinding Globulin (TBG),
albumin, dan Thyroxine Binding Prealbumin (TBPA) atau transtiretin.
Dari ketiga protein tersebut, TBG memiliki afinitas yang lebih tinggi
terhadap tiroksin. Pada pasien tidak hamil, sekitar 2/3 dari hormon tiroksin
diikat oleh TBG. Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan dari
konsentrasi TBG sekitar dua kali lipat dari normal selama kehamilan
sampai 6-12 bulan setelah bersalin. Hal ini menggambarkan peningkatan
kadar hormon tiroksin total (TT4) pada semua wanita hamil, namun kadar

5
tiroksin bebas (FT4) dan indeks tiroksin total (FTI) normal. Untuk
menjamin kestabilan kadar hormon bebas, mekanisme umpan balik
merangsang pelepasan TSH yang bekerja untuk meningkatkan
pengeluaran hormon dan menjaga kestabilan hemostasis kadar hormon
bebas. Peningkatan konsentrasi TBG merupakan efek langsung dari
meningkatnya kadar estrogen selama kehamilan. Estrogen merangsang
peningkatan sintesis TBG, memperpanjang waktu paruh dalam sirkulasi,
dan menyebabkan peningkatan konsentrasi TBG serum. Estrogen juga
merangsang hati untuk mensintesis TBG dan menyebabkan penurunan
kapasitas TBPA. Pada akhirnya, proporsi hormon tiroksin dalam sirkulasi
yang berikatan dengan TBG meningkat selama kehamilan, dan dapat
mencapai 75%. Kadangkala perubahan hormonal ini dapat membuat
pemeriksaan fungsi tiroid selama kehamilan sulit diinterpretasikan.

6
Gambar 1. Perubahan Hormon pada Kehamilan

2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertiroid di Amerika Serikat diperkirakan sebesar 1%.
Penyebab tersering adalah penyakit Grave, yang 5-10 kali lebih sering
dialami wanita dengan puncaknya pada usia reproduktif. Prevalensi
hipertiroid dalam kehamilan 0,1-0,4%, 85% dalam bentuk penyakit Grave.
Sama halnya seperti penyakit autoimun lain, tingkat aktivitas penyakit
Grave dapat berfluktuasi saat trimester pertama dan membaik perlahan

7
setelahnya; dapat mengalami eksaserbasi tidak lama setelah melahirkan.
Walaupun jarang, persalinan, seksio sesarea, dan infeksi dapat memicu
hipertiroid atau bahkan badai tiroid (thyroid storm). (Prawirohardjo, S.
2011)

2.3 Etiologi
Hipertiroid dalam kehamilan dapat berupa penyakit Graves,
hiperemesis gravidarum, tirotoksikosis gestasional sementara, dan
kehamilan mola. Di antara keempat penyebab hipertiroid dalam
kehamilan, penyakit graves paling sering terjadi, sekitar 1 dari 500
kehamilan.(Inoue, Miho, et al. 2009)
Penyakit graves merupakan kelainan autoimun kompleks dengan
tanda tirotoksikosis, oftalmopati (lid lag, lid retraction, dan eksoftalmus),
dan dermopati (miksedema pretibial). Hal ini dimediasi oleh
immunoglobulin yang merangsang tiroid. Pasien dengan riwayat penyakit
graves dimana cenderung terjadi remisi pada kehamilan dan relaps
kembali setelah bersalin. (Garry, Dimitry. 2013)
Selain penyakit graves, hipertiroid dalam kehamilan juga dapat
disebabkan oleh hiperemesis gravidarum. Hiperemesis gravidarum
ditandai dengan ditemukannya gejala muntah berlebihan pada awal
kehamilan yang menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi.
Pemeriksaan biokimia pada pasien ini menunjukkan hipertiroksinemia,
dengan peningkatan konsentrasi T4 serum dan penurunan konsentrasi TSH
serum yang ditemukan pada sebagian besar wanita hamil. Pemeriksaan
TSH serum membantu untuk membedakan hiperemesis yang berhubungan
dengan hipertiroksinemia dan kemungkinan penyebab lainnya.
Hipertiroksinemia ringan biasanya bersifat sementara, menurun pada
kehamilan minggu ke-18 tanpa terapi antitiroid. Namun, hipertiroksinemia
yang signifikan disertai dengan peningkatan T4 bebas dan TSH yang
rendah, dan penemuan klinik hipertiroid, memerlukan terapi obat
antitiroid. (Girling, Joanna. 2008, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

8
2.4 Gejala Klinis
Wanita yang memiliki riwayat keluarga dengan kelainan tiroid atau
penyakit autoimun memiliki resiko yang lebih tinggi mengidap penyakit
hipertiroid. Gejala yang sering timbul biasa adalah intoleransi terhadap
panas, berkeringat lebih banyak, takikardi, dada berdebar, mudah lelah
namun sulit untuk tidur, gangguan saluran cerna, berat badan menurun
meskipun asupan makan cukup, mudah tersinggung, merasa cemas dan
gelisah. Selain itu dapat juga timbul tanda-tanda penyakit graves, seperti
perubahan mata, tremor pada tangan, miksedema pretibial dan pembesaran
kelenjar tiroid. (Rull, Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

2.5 Diagnosis
Diagnosis klinis hipertiroid pada wanita hamil biasanya sulit
ditegakkan. Hal ini dikarenakan wanita dengan hipertiroid memiliki
beberapa tanda-tanda sistem hiperdinamik seperti peningkatan curah
jantung dengan bising sistolik dan takikardi, kulit hangat, dan intoleransi
terhadap panas. Tanda hipertiroid seperti berat badan turun, dapat menjadi
tidak jelas oleh kenaikan berat badan karena kehamilan. Mengingat
kebanyakan kasus disebabkan oleh penyakit Grave, dicari tanda-tanda
oftalmopati Grave (tatapan melotot, kelopak tertinggal saat menutup mata,
eksoftalmos) dan bengkak tungkai bawah (pretibial myxedema). Adanya
onkilosis atau pemisahan kuku distal dari nailbed, dapat juga membantu
dalam menegakkan diagnosis klinis hipertiroid. (Garry, Dimitry. 2013)
Peningkatan kadar T3 serum dapat meningkatkan densitas reseptor
-adrenergik sel miokardium sehingga curah jantung meningkat walaupun
saat istirahatdan terjadi aritmia (fibrilasi atrium). Denyut nadi saat istirahat
biasanya di atas 100 kali per menit dan jika denyut nadi tetap atau tidak
menjadi lambat selama melakukan manuver Valsava, diagnosis
tirotoksikosis menjadi lebih mungkin. (Williams Obstetrics 23rd. 2010)

9
Diagnosis hipertiroid dalam kehamilan dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik dan laboratorium, terutama pemeriksaan fungsi tiroid.
Pada kehamilan, kadar T3 total dan T4 total meningkat seiring
meningkatnya konsentrasi TBG. Kadar FT3 dan FT4 dalam batas normal
tinggi pada kehamilan trimester pertamadan kembali normal pada
trimester kedua. Nilai T4 total tidak bermanfaat pada wanita hamil karena
nilainya yang tinggi merupakan respon terhadap estrogen yang
meningkatkan konsentrasi TBG. FT3 sebaiknya diperiksa ketika nilai TSH
rendah tetapi kadar FT4 normal. Peningkatan kadar T3 menunjukkan
toksikosis T3. Pemeriksaan TSH saja sebaiknya tidak dijadikan acuan
dalam mendiagnosis hipertiroid dalam kehamilan. Pasien dengan penyakit
graves hampir selalu memiliki hasil pemeriksaan TSIs yang positif.
Pemeriksaan TSI ini sebaiknya diukur pada trimester ketiga. Nilai TSI
yang tinggi sering dihubungkan dengan tirotoksikosis fetus. Antibodi
antimikrosomal jika memungkinkan perlu juga diperiksa karena wanita
yang memiliki hasil positif pada kehamilan atau sesaat setelah persalinan
memiliki resiko berlanjut ke penyakit tiroiditis postpartum. (Williams
Obstetrics 23rd. 2010)
Pemeriksaan laboratorium mencakup kadar keton urin, BUN,
kreatinin, alanin aminotransferase, aspartat aminotransferase, elektrolit,
dan tirotropin (termasuk tiroksin T4 bebas jika tirotropin rendah).
Biasanya tirotropin tertekan pada pasien-pasien hamil karena hCG
bereaksi silang dengan tirotropin dan menstimulasi kelenjar tiroid. Kondisi
hipertiroid ini biasanya hilang spontan dan tidak membutuhkan
pengobatan. Kadar T4 dan tirotroponin pada hiperemesis dapat mirip
dengan pasien Grave, akan tetapi pasien hiperemesis tidak memiliki gejala
penyakit Grave ataupun antibodi tiroid. Jika kadar fT4 meningkat tanpa
tanda dan gejala penyakit Grave, pemeriksaan sebaiknya diulang setelah
usia kehamilan 20 minggu. Pemeriksaan USG sebaiknya dilakukan untuk
mendeteksi kehamilan multipel atau mola hidatodosa. (Prawirohardjo, S.
2011)

10
Tabel 1. Hipertiroid Gestasional
HIPERTIROID GESTASIONAL
Penyebab Gejala Tanda Laboratorium Keterangan
Penyakit Intoleran pada Takikardi > 100 T4, FT4 Remisi selama
Graves panas Curah jantung TSH kehamilan
Berat badan Tekanan nadi (+) anti-tiroid Postpartum
Palpitasi Bising sistolik antibody flare
Berkeringat Oftalmopati-
dermopati
Hiperemesis Mual / muntah Keadaan eutiroid T4, FT4 normal Sembuh dalam
Gravidarum yang berlebihan Dehidrasi atau sedikit 18 minggu
Berat badan Tidak jelas tanpa terapi
peningkatan T4
kecuali hCG >
50.000 IU/L
TSH minimal
hCG
Ketonuria,
elektrolit tidak
seimbang,
kelainan hati dan
ginjal
Kehamilan Mual / muntah Toksemia T4, FT4 Evakuasi
Mola Perdarahan Tidak ada TSH (ditekan) Hipertiroid
trimester perkembangan bhCG menghilang
pertama bayi sejalan dengan
normalnya
bhCG

(Sumber :Prawirohardjo, S. 2011)

11
2.6 Penatalaksanaan
Hipertiroid yang ringan (peningkatan kadar hormon tiroid dengan
gejala minimal) sebaiknya diawasi sesering mungkin tanpa terapi
sepanjang ibu dan bayi dalam keadaan baik. Pada hipertiroid yang berat,
membutuhkan terapi, obat anti-tiroid adalah pilihan terapi, dengan PTU
sebagai pilihan pertama. Tujuan dari terapi adalah menjaga kadar T4 dan
T3 bebas dari ibu dalam batas normal-tinggi dengan dosis terendah terapi
anti-tiroid. Target batas kadar hormon bebas ini akan mengurangi resiko
terjadinya hipotiroid pada bayi. Hipotiroid pada ibu sebaiknya dihindari.
Pemberian terapi sebaiknya dipantau sesering mungkin selama kehamilan
dengan melakukan tes fungsi tiroid setiap bulannya. Obat-obat yang
terpenting digunakan untuk mengobati hipertiroid (propiltiourasil dan
metimazol) menghambat sintesis hormon tiroid. Laporan sebelumnya
mengenai hubungan terapi metimazol dengan aplasia kutis,
atresiaoesophagus, dan atresia khoana pada fetus tidak diperkuat pada
penelitian selanjutnya, dan tidak terdapat bukti lain menyangkut obat lain
yang berefek abnormalitas kongenital. Oleh karena itu, PTU sebaiknya
dipertimbangkan sebagai obat pilihan pertama dalam terapi hipertiroid
selama kehamilan dan metimazol sebagai pilihan kedua yang digunakan
jika pasien tidak cocok, alergi, atau gagal mencapai eutiroid dengan terapi
PTU. Kedua obat tersebut jarang menyebabkan neutropenia dan
agranulositosis. Oleh karena itu, pasien sebaiknya waspada terhadap
gejala-gejala infeksi, terutama sakit tenggorokan, dapat dihubungkan
dengan supresi sumsum tulang dan harus diperiksa jumlah neutrofil segera
setelah menderita. (Girling, Joanna. 2008, Marx, Helen, et al. 2009,
Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Propiltiourasil dan metimazol keduanya dapat melewati plasenta.
Namun, PTU menjadi pilihan terapi pada ibu yang hipertiroid karena kadar
transplasentalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan metimazol. TSH
reseptor stimulating antibodi juga melalui plasenta dan dapat
mempengaruhi status tiroid fetus dan neonatus. (Girling, Joanna. 2008)

12
Tabel 2. Terapi Hipertiroid di dalam kehamilan

(Sumber : Marx, Helen, et al. 2008)

Wanita yang sedang dalam terapi antitiroid sebaiknya tidak


berhenti menyusui bayinya karena kedua obat anti tiroid tersebut aman.
Keduanya ada dalam air susu ibu (metimazole kadarnya lebih besar
dibandingkan PTU), tetapi hanya dalam konsentrasi yang lebih rendah.
Jika pasien mengkonsumsi lebih dari 15 mg karbimazol atau 150 mg
propiltiourasil sehari, bayi sebaiknya diperiksa dan mereka sebaiknya tidak
disusui sebelum ibunya mendapatkan terapi dengan dosis terbagi. (Garry,
Dimitry. 2013)
Beta-blocker khususnya propanolol dapat digunakan selama
kehamilan untuk membantu mengobati palpitasi yang signifikan dan
tremor akibat hipertiroid. Untuk mengendalikan tirotoksikosis, propanolol
20 40 mg setiap 6 jam, atau atenolol 50 -100 mg/hari selalu dapat
mengontrol denyut jantung ibu antara 80-90 kali permenit. Esmolol, -
blocker kardio seleketif, efektif pada wanita hamil dengan tirotoksikosis
yang tidak berespon pada propanolol. Obat-obat ini hanya digunakan
sampai hipertiroid terkontrol dengan obat anti tiroid. (Marx, Helen, et al.
2008)

13
Pada pasien yang tidak adekuat diterapi dengan pengobatan anti-
tiroid seperti pada pasien yang alergi terhadap obat-obat, pembedahan
merupakan alternative yang dapat diterima. Pembedahan pengangkatan
kelenjar tiroid sangat jarangdisarankan pada wanita hamil mengingat
resiko pembedahan dan anestesi terhadap ibu dan bayi. Jika tiroidektomi
subtotal direncanakan, pembedahan sering ditunda setelah kehamilan
trimester pertama atau selama trimester kedua. Alasan dari penundaan ini
adalah untuk mengurangi resiko abortus spontan dan juga dapat
memunculkan resiko tambahan lainnya. (Inoue, Miho, et al. 2009,
Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Pembedahan dapat dipikirkan pada pasien hipertiroid apabila
ditemukan satu dari kriteria berikut ini (Girling, Joanna. 2008):
a. Dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan tinggi (PTU > 300 mg, MMI >
20 mg)
b. Hipertiroid secara klinis tidak dapat dikontrol
c. Hipotiroid fetus terjadi pada dosis obat anti tiroid yang dibutuhkan
untuk mengandalikan hipertiroid pada ibu
d. Pasien yang alergi terhadap obat anti tiroid
e. Pasien yang menolak mengkonsumsi obat anti tiroid
f. Jika dicurigai ganas
Terapi radioiodin menjadi kontraindikasi dalam pengobatan
hipertiroid selama kehamilan sejak diketahui bahwa zat tersebut dapat
melewati plasenta dan ditangkap oleh kelenjar tiroid fetus. Hal ini dapat
menyebabkan kehancuran kelenjar dan akhirnya berakibat pada hipotiroid
yang menetap. (Gurvinder. 2010, Williams Obstetrics 23rd. 2010)

14
Tabel 3. Resiko dan komplikasi terapi hipertiroid di dalam kehamilan

(Sumber :Garry, Dimitry. 2013)

2.7 Komplikasi
Hipertiroid yang tidak terkontrol, terutama pada pertengahan masa
hamil, dapat memicu beberapa komplikasi. Komplikasi maternal di
antaranya keguguran, infeksi, preeklamsia, persalinan preterm, gagal
jantung kongesti, badai tiroid, dan lepasnya plasenta. Komplikasi fetus dan
neonatus di antaranya prematur, kecil untuk masa kehamilan, kematian
janin dalam rahim, dan goiter pada fetus atau neonatus dan atau
tirotoksikosis. Pengobatan yang belebihan juga dapat menyebabkan
hipotiroid iatrogenik pada fetus. (Williams Obstetrics 23rd. 2010)
Jika wanita dengan penyakit graves atau yang pernah diobati untuk
penyakit graves sebelumnya, antibodi tiroid-stimulating yang dihasilkan
ibu dapat melewati plasenta sehingga masuk ke dalam aliran darah fetus
dan merangsang tiroid fetus. Jika ibu dengan penyakit graves sedang
diobati dengan obat anti tiroid, hipertiroid pada bayi kurang bermakna
karena obat-obatan tersebut juga dapat melintasi plasenta. Namun, jika
ibunya diobati dengan pembedahan atau radioaktif iodin, kedua metode

15
terapi tersebut dapat menghancurkan seluruh tiroid, namun pasien masih
dapat memiliki antibodi dalam darahnya. (Marx, Helen, et al. 2008)
Pada kebanyakan kasus, bayi tetap eutiroid. Namun, pada sebagian
dapat terjadi hiper- atau hipotiroidisme dengan atau tanpa gondok.
Hipertiroidisme klinis terjadi pada sekitar 1% neonatus yang lahir dari
wanita dengan penyakit Graves. Jika dicurigai terjadi penyakit tiroid pada
janin maka tersedia sonogram untuk mengukur volume tiroid secara
sonogravis. Neonatus yang terpajan ke tiroksin ibu secara berlebihan
memperlihatkan gambaran klinis berikut. (Williams Obstetrics 23rd. 2010):
1. Janin atau neonatus dapat memperlihatkan tirotoksikosis gaitrosa
akibat penyaluran thyroid stimulating immunoglobulin melalui
plasenta. Hidrops non imun dan kematian janin pernah dilaporkan pada
tirotoksikosis janin.
2. Terpajannya janin ke tionamid yang diberikan kepada ibu dapat
menyebabkan hipotiroidisme graitosa. Jika dijumpai hipotiroidisme
maka janin dapat diobati dengan mengurangi obat antitiroid ibu dan
penyuntikan tiroksin intra-amnion jika diperlukan.
3. Janin dapat mengalami hipotiroidisme non-goitrosa akibat penyaluran
antibodi penghambat reseptor tirotropin ibu melalui plasenta.
4. Bahkan setelah ablasi kelenjar tiroid ibu, biasanya dengan iodium
131
radioaktif I, tetap dapat terjadi tirotoksikosis janin akibat penyaluran
antibodi perangsang tiroid melalui plasenta.
Krisis tirotoksik, yang juga disebut badai tiroid, merupakan sebuah
kegawatdaruratan medis yang dapat timbul akibat hipermetabolik yang
berlebihan. Kondisi ini jarang terjadi, hanya 1% dari wanita hamil dengan
hipertiroid, tetapi memiliki resiko gagal jantung. Badai tiroid didiagnosis
melalui kombinasi gejala dan tanda seperti hiperpireksia, takikardi yang
tidak berhubungan dengan demamnya, gagal jantung kongestif, disaritmia,
muntah, diare, dan perubahan mental termasuk cemas, bingung, dan
gelisah. Badai tiroid ini dapat muncul akibat infeksi, penghentian terapi

16
yang tiba-tiba, pembedahan, dan persalinan.(Williams Obstetrics 23rd.
2010)
Pengobatannya meliputi pemberian cairan intravena, hidrokortison,
propanolol, iodin oral, dan karbimazol atau propiltiourasil dalam dosis
tinggi. Terapi badai tiroid terdiri dari rangkaian pengobatan berupa
(Williams Obstetrics 23rd. 2010):
a. Terapi suportif secara umum sebaiknya dilakukan
b. Terapi spesifik :
1. PTU 1000 mg per oral atau melalui nasogastric tube.
Dilanjutkan dengan 200 mg per oral setiap 6 jam. Jika
pemberian melalui oral tidak memungkinkan, dapat digunakan
metimazol suppositoria.
2. 1jam setelah pemberian PTU, diberikan yodium untuk
menghambat pelepasan hormone tiroid. Dapat diberikan dalam
bentuk sodium iodide 5001000 mg secara intravena setiap 8
jam, atau saturated solution of potassiumiodide (SSKI) 5 tetes
per oral setiap 8 jam, atau larutan lugol 10 tetes setiap 8 jam.
3. Dexamethasone 2 mg secara intravena setiap 6 jam untuk 4
dosis, untuk mencegah konversi dari T4 menjadi T3 di jaringan
perifer.
4. Propanolol 20-80 mg per oral setiap 4-6 jam.
5. Phenobarbital 30-60 mg per oral setiap 6-8 jam, diperlukan
pada gelisah yang berlebihan.
6. Fetus sebaiknya dievaluasi dengan tepat dengan USG atau
pemeriksaan nonstress tergantung umur kehamilan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary, Leveno, Kenneth J., Bloom, Steven L., Hauth, John
C., Rouse, Dwight J. & Spong, Catherine Y. eds. (2010) Williams
Obstetrics. 23rd. United States : The McGraw Hill Companies, Inc.
2. Garry, Dimitry. (2013) Penyakit Tiroid pada Kehamilan. CDK-206/ vol.
40 no. 7, th.
3. Girling, Joanna. (2008) Thyroid Disease in Pregnancy. The Obstetrician &
Gynaecologist, 10, pp. 237-243.
4. Inoue, Miho, Arata, Naoko, Koren, Gideon & Ito, Shinya. (2009)
Hyperthyroidism during Pregnancy. Canadian Family Physician, Vol 55
July, pp. 701-703.
5. Marx, Helen, Amin, Pina & Lazarus, John H. (2008) Hyperthyroidism and
Pregnancy. British Medical Journal, Vol 336 March, pp. 663-667.
6. Prawirohardjo, S. 2011. Kehamilan dan Gangguan Endokrin dalam ilmu
kandungan Edisi Ketiga. Jakarta Pusat: Yayasan Bina Pustaka hl; 201-208

18

Anda mungkin juga menyukai