Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

Pneutmothorax adalah keadaan dimana terdapat udara di dalam rongga


pleura. Pneumothorax dapat terjadi kerana trauma seperti trauma tembus atau
tumpul di dada terutama trauma traumatik. Terdapat juga pneumothorax yang
terjurus komplikasi dari riwayat paru-paru (Corwin, 2009).
Penumothorax merupakan kasus kegawatan paru. di Inggris laki-laki 24
per 100.000 penduduk dan perempuan 9,8 per 100.00 penduduk per tahun.
Beberapa penelitian mengatakan bahawa penumothorax terjadi lebih banyak pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Sebagai contoh penelitian dari Khan
mengatakan bahwa di Pakistan angka kejadian penumothorax pada laki-laki
64,10% dan perempuan 35,90% dengan rerata umur 49,13 tahun (Khan, 2009).
Sebuah survey yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di Menosta
angka kejadian pneumothorax tidak terlalu tinggi. Jumlah kasus ini pada pria lebih
tinggi dibandingkan pada wanita pada pria kejadian kasus pneumothorax sekitar
7/100000 sedangkan pada penduduk wanita diperkirakan sekitar 1/100000 (Lim,
2012). Hasil dari beberapa penelitian maka menunujukkan bahwa julah
pneumothorax pada laik-laki lebih banyak.
Penumothorax jika tidak segera mendapatkan maka akan menyebabkan
keadaan yang mengancam manusia dengan cara pembuluh darah kolaps sehingga
pengisian jantung menurun yang menyebabkan tekanan darah menurun . Selain
itu pneumothoraks juga dapat menyebabkan hipoksia dan dispnea berat dan dapat
menyebabkan kematian. Melihat bahaya dan angka kejadian dari
penunmtothoraks yang cukup besar maka kelompok kami bermaksud menyusun
sebuah refrat dengan masalah yang diangkat yaitu penumothorax(Corwin,2009).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pneumothorax didefinisikan sebagai adanya udara atau gas di dalam
rongga pleura. Pada keadaan normal, rongga pleura tidak terisi udara maupun
gas sehingga paru bebas mengembang di rongga dada (Sudoyo, 2009).

B. Etiologi
Pneumothorax dapat diklasifikasikan menurut penyebabnya, yaitu
(Sudoyo, 2009) :
1. Pneumothorax Spontan
Pneumothorax spontan adalah pneumothorax yang terjadi secara tiba-
tiba. Pneumothorax spontan dapat diklasifikasikan lagi dalam dua jenis
yaitu Pneumothorax spontan primer dan sekunder. Pneumothorax spontan
primer terjadi secara tiba-tiba dan tidak diketahui penyebabnya atau tanpa
didahului penyakit dasar yang jelas. Sedangkan Pneumothorax spontan
sekunder terjadi dengan didahului adanya riwayat penyakit paru
sebelumnya. Penyakit yang paling sering mendasari adanya Pneumothorax
spontan sekunder adalah bronchitis dan emfisema paru yang mengalami
ruptur, selain itu Tb paru, pneumonia, kanker paru, dan lain-lain.
2. Pneumothorax Traumatik
Pneumothorax traumatik adalah Pneumothorax yang terjadi akibat
adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun trauma tumpul.
Trauma tersebut kemudian mengakibatkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru sehingga udara atau gas dapat mengisi rongga pleura.

C. Faktor Resiko
Faktor resiko pneumothorax terjadi pada laki laki dan orang yang
mempunyai kebiasaan merokok mempunyai faktor resiko lebih besar terkena
Pneumothorax dibandingkan wanita dan orang yang tidak merokok (Noppen,
2008).

2
D. Manifestasi Klinis
Pneumothorax menimbulkan beberapa gejala yang bisa diamati dan dapat
mengerucutkan diagnosis serta menyingkirkan diagnosis banding, antara lain
(Noppen, 2008) :
1. Sesak napas berat
2. Takipneu, napas dangkal dan menggunakan otot napas tambahan
3. Nyeri dada unilateral
4. Dada mengembang dengan tidak simetris
5. Sianosis
E. Patofisiologi
1. Pneumothorax simple
Simple pneumothorax terjadi bila udara berada di rongga pleura,
namun tidak terjadi desakan pada mediastinum dan tidak ada mekanisme
ventil. Akibatnya keadaan klinis penderita tetap stabil. Pneumothorax
spontan primer seringkali didapati sebagai simpel pneumothorax. Karena
tidak ada desakan mediastinum dan udara sedikit, fungsi paru-paru tidak
terganggu, terutama pada penderita muda dengan pulmonary reserve
yang masih baik(Henry, 2003).
2. Pneumothorax terbuka
Pneumothorax terbuka terjadi bila terdapat luka yang cukup lebar
pada rongga dada, defeknya melebihi 2/3 diameter trakhea sehingga
udara memilih memasuki rongga thoraks melalui defek tersebut. Udara
yang keluar-masuk rongga thoraks menimbulkan bunyi seperti mengisap
disebut sebagai sucking chest wound. Terjadi insufisiensi ventilasi,
karena udara yang keluar masuk rongga thoraks tidak ikut proses
ventilasi di alveoli. Meskipun tidak ada desakan mediastinum,
berkurangnya ventilasi mengakibatkan hipoksia, hiperkarbi dan
mengancam jiwa penderita. Open pneumothorax memerlukan tindakan
segera untuk mengubahnya menjadi Pneumothorax tertutup tetapi tidak
boleh menjadi tension pneumothorax(Henry, 2003).

3
3. Tension pneumothorax
Tension pneumothorax merupakan keadaan emergensi yang
mengancam jiwa penderita. Dapat disebabkan oleh trauma yang
menyebabkan luka pada parenkhim paru, spontan akibat pecahnya bulla
paru atau iatrogenik yang membentuk mekanisme ventil, yaitu udara
dapat memasuki rongga pleura tetapi tidak dapat keluar. Tidak jarang
pneumothorax simpel pada trauma dapat berubah menjadi tension
pneumothorax. Akibat makin bertumpuknya udara dalam rongga pleura,
parenkhim paru terdesak, kolaps, mediastinum bergeser kearah dada
yang sehat. Tekanan tinggi pada thoraks dan bergesernya mediastinum
yang berisi jantung dan pembuluh darah besar mengakibatkan venous
return berkurang. Penderita mengalami syok, vena-vena leher melebar
dan trakhea terdorong kearah yang sehat. Tension pneumothorax adalah
keadaan darurat yang mengancam nyawa dan diagnosisnya ditegakkan
secara klinis dengan menemukan adanya tekanan rongga thoraks yang
besar. Tidak diperlukan pemeriksaan radiologis, segera diambil tindakan
untuk mengubah tension menjadi pneumothorax simpel(Henry, 2003).
F. Penegakkan Diagnosis
Pneumothorax spontan primer didiagnosa dengan karakteristik serangan
akut nyeri dada dan dipsnea dan gambaran radiografi pneumothorax.
Radiografi dada menampilkan udara pleura dan 1 mm garis putih halus yang
menggambarkan pleura viseral berpindah dari dinding dada. Walaupun tidak
direkomendasikan, pada praktis rutin, radiografi dada yang dibuat selama
ekspirasi dapat membantu mendeteksi pneumothorax atipical (Crapo et al,
2004).
Pneumothorax spontan sekunder lebih sukar didiagnosa karena gejala
pernafasan kadang salah diartikan sebagai penyakit paru. Gambaran
radiografi pasien dengan penyakit paru interstisial biasanya tampak bersih
dari tanda pneumothorax karenalingkaran udara dalam ruang pleura kontras
dengan peningkatan densitas pada penyakit paru. Pneumothorax spontan
sekunder dapat lebih sukar didiagnosa dengan gambaran radiografi penyakit
paru obstruksi kronik karena densitas hiperlusen, paru empisematus seperti

4
udara pleura. Lebih lagi, bullae subpleura yang besar menyerupai
pneumothorax pada pasien ini. CT dada dapat membantu membedakan antara
bullae yang besar dan pneumothorax(Crapo et al, 2004).
1) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik thorax ditemukan (Hariadi, 2010).:
a. Inspeksi :
i. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit
ii. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannnya tertinggal
iii. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat.
b. Palpasi :
i. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
ii. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat.
iii. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit.
c. Perkusi :
i. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
ii. Batas jantung ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
d. Auskultasi :
i. Pada auskultasi dada dengan menggunakan ketokan dua uang
logam Coin Test yang satu ditempelkan di dada dan yang lain
diketokkan pada uang logam yang pertama daat terdengar bunyi
metalik yang dapat didengar dengan telinga yang ditempelkan di
punggung. Jika pneumothorax tadi sebenarnya suatu bula, maka
suara metalik tidak akan terdengar(Alsagaff and Wibisono,
2004).
ii. Pada bagian yang sakit, suara nafas melemah sampai
menghilang
iii. Suara nafas terdengar amforik bila ada fistel bronkopleura yang
cukup besar pada pneumothorax terbuka.
iv. Suara fokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif.

5
2) Pemeriksaan Penunjang
Foto Thorax
i. Bagian pneumothorax akan tampak hitam, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
akan kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
yang sesuai dengan lobus paru.
ii. Adakalanya rongga ini sangat sempit sehingga hampir tidak tampak
seperti massa yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak berkaitan dengan
berat ringan sesak nafas yang dikeluhkan.
iii. Perlu diamati ada tidaknya pendorongan. Apabila ada pandorongan
jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar
telah terjadi pneumothorax ventil dengan tekanan intrapleura yang
tinggi.

Gambar 1. Foto Polos Pneumothorax


Pada Gambar 1 tampak pasien mengalami pneumothorax pada
sisi sebelah kiri dengan kolaps sebagian pada paru kiri. Lapangan
paru terlihat hitam. Tampak ujung paru yang berwarna hitam.

6
G. Terapi
1. Water Sealed Drainage (WSD)
Pemasangan WSD atau tube thoracostomy masih merupakan tindakan
pertama sebelum penderita diajukan untuk tindakan yang lebih invasif
seperti torakoskopi atau torakotomi. Pemasangan tube thoracostomy pada
pneumotoraks teutama ditujukan pada penderita PSP yang gagal dengan
tindakan aspirasi dan penderita PSS, sebelum menjalani tindakan
torakoskopi atau torakotomi. Pada penderita PSP angka keberhasilan
pemasangan tube thoracostomy lebih tinggi dibandingkan dengan
PSS(Punarbawa & Suarjaya, 2009).
Penggunaan suction pada sistem drinase tidak banyak memberikan
keuntunagn dalam mempercepat pengemabnagan paru, sehingga pada
awal pemasangan biasanya dihubungkan dengan katup satu arah atau
dengan perangkat WSD tanpa suction, namun bila terjadi kebocoran udara
tube thoracostomy dihubungkan dengan suction. Pada WSD penanganan
dengan jarum dekompresi yang dilakukan pada intercostal 2 pada garis
midklavikula, ini merupakan metode konvensional. Pada literatur
American College Of Chest Physician(ACCP) dan British Thoracic
Society (BTS) dekompersi dapat dilakukan pada intercosta 5 pada garis
anterior aksila. WSD mempunyai 2 komponen dasar yaitu, ruang water
seal yang berfungsi sebagai katup satu arah berisi pipa yang
ditenggelamkan dibawah air, untuk mencegah air masuk kedalam pipa
pada tekanan negatif rongga pleura. dan ruang pengendali
suction(Punarbawa & Suarjaya, 2009).
Setelah daerah penusukan yang terpilih dibersihkan, selanjutnya
dilakukan anestesi lokal dengan lidokain 1%. Untuk mendapatkan efek
anestesi lokal yang memadai biasanya diperlukan waktu sekitar 5-10
menit. Insisi kulit dilakukan secara transversal selebar kurang lebih 2 cm
sampai subkutis dan kemudian dibuka secara tumpul dengan kiem sampai
mendapatkan pleura parietalis. Pleura ditembus dengan gunting tajam
yang ujungnya melengkung sampai terdengar suara aliran udara (tanda
pleura parietalis telah terbuka). Selang dimasukkan ke dalam trokar dan

7
kemudian dimasukkan bersama-sama melalui lubang pada kulit ke dalam
rongga pleura. Apabila dipakai selang tanpa trokar, maka ujung selang
dijepit dengan klem tumpul untuk mempermudah masuk nya selang ke
dalam rongga pleura. Jika posisi selang sudah benar, kulit di sekitar selang
dijahit dengan jahitan sarung guling dan sisa benang dililitkan pada selang.
Apabila setelah pemasangan WSD paru tidak dapat mengembang dengan
baik, maka dapat dilakukan penghisapan secara berkala atau terus
menerus. Tekanan yang biasanya digunakan berkisar antara -12 sampai -
20 cm air (Punarbawa & Suarjaya, 2009).
Setelah paru mengembang, yang ditandai terdengarnya kembali suara
nafas dan dipastikan dengan foto toraks, maka selang WSD diklem selama
13 hari. Pengembangan paru secara sempurna selain dapat dilihat pada
foto toraks biasanyadapat diperkirakan jika sudah tidak terdapat undulasi
lagi pada selang WSD. Apabila setelah diklem selama 13 hari paru tetap
mengembang, maka WSD dapat dicabut. Pencabutan selang WSD
dilakukan dalam keadaan ekspirasi maksimal(Punarbawa & Suarjaya,
2009).
2. Pleurodesis
Pleurodesis adalah tindakan melekatkan pleura panietalis dengan
pleura viseralis untuk mencegah kekambuhan pneumotoraks. Tindakan ini
dilakukan dengan memasukkan bahan kimia tertentu, seperti glukosa 40%
sebanyak 20 ml atau tetrasiklin HCl 500 mg dilarutkan dalam 2550 ml
garam faal. Karena tetrasiklin dapat menimbulkan rasa sakit yang hebat,
maka pemberian bahan ini sebaiknya didahului dengan pemberian
analgesik(Punarbawa & Suarjaya, 2009).
3. Torakotomi
Torakotomi adalah operasi pembukaan rongga toraks kemudian
dilanjutkan dengan penjahitan fistel pada pleura. Operasi ini diindikasikan
pada kasus pneumotoraks kronik, pneumotoraks yang berulang 3 kali atau
lebih, pneumotoraks bilateral, serta jika pemasangan WSD mengalami
kegagalan (paru tidak mengembang atau terjadi kebocoran udara yang
menetap(Punarbawa & Suarjaya, 2009).

8
H. Prognosis
Prognosis tergantung dari banyak faktor. Antara lain umur penderita,
etiologi, penyakit penyerta atau juga underlying disease-nya, kecepatan
therapy, luasnya dan tipe dari pneumothorax. Spontaneous pneumothorax
umumnya akan hilang dengan sendirinya tanpa perawatan. Secondary
pneumothorax yang berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya,
bahkan ketika kecil, adalah jauh lebih serius dan membawa angka kematian
sebesar 15%. Secondary pneumothorax memerlukan perawatan darurat dan
segera. Angka kekambuhan untuk keduanya primary dan secondary
pneumothorax adalah kira-kira 40%; kebanyakan kekambuhan terjadi dalam
waktu 1.5 sampai dua tahun. Prognosis Pneumothorax adalah Dubia et
bonam. Hampir 50% mengalami kekambuhan setelah pemasangan tube
torakostomi tapi kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien yang
dilakukan torakotomi terbuka(Sudoyo, 2009).
I. Komplikasi
1) Gagal napas akut (3-5%)
2) Komplikasi tube torakostomi karena lesi pada nervus interkostales
3) Henti jantung-paru
4) Infeksi sekunder dari penggunaan WSD
5) Kematian
6) Timbul cairan intra pleura, misalnya.- Pneumothoraks disertai efusi
pleura : eksudat, pus. Pneumothoraks disertai darah : hemathotoraks.
7) Pneumotoraks tension
8) Pio-pneuomotoraks,
9) Hiro-pneumotoraks/hemo-pneumotoraks,
10) Pneumumodiastinum
11) Emisefima subkutan
12) Pneumothorax simultan bilateral
13) Pneumothorax kronik
14) Syok
15) Henti jantung paru dan kematian (sangat jarang terjadi)
(Sudoyo, 2009)

9
BAB III
PEMBAHASAN

A. Teori baru
Tujuan dalam penatalaksanaan pneumothorax adalah untuk
mengeluarkan udara dari cavum pleura dengan tatalaksana sebagai
berikut (Sudoyo, 2009):
1. Primary Survey
Airway
Assesment :
a) Perhatikan jalan nafas
b) Dengar suara nafas
c) Perhatkan bila ada retraksi otot pernafasan dan dinding dada
Management :
a) Setelah diinspeksi dengan cepat, lakukan chin lift dan jaw thrust,
hilangkan benda penghambat jalan nafas
b) Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan cavum pleura
sudah menutup, maka udara yang berada dalam cavum pleura
tersebut akan direabsorbsi yang akan meningkat bila ditambahkan
O2 (Sudoyo, 2006). Kemudian, Observasi dalam beberapa hari
dengan foto thorax selama 12-24jam selama 2 hari, terutama pada
pneumothorax terbuka (Alsagaf, 2009).
c) Reposisi kepala dan pasang collar neck.
d) Lakukan Cricothyroidotomy atau tracheostomi atau intubasi
oral/nasal.
Breathing
Assesment :
a) Periksa frekuensi nafas
b) Perhatikan gerakan pernafasan
c) Palpasi dan Auskultasi thorax

10
Management:
a) Pasang ventilator bila perlu
b) Lakukan tindakan bedah yang sesuai jenis dari pneumothorax.
Circulation
Assesment :
a) Periksa denyut jantung dan denyut nadi
b) Periksa tekanan darah
c) Pemeriksaan pulse oxymetri
d) Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)
Management :
a) Resusitasi cairan dengan 2 IV lines
b) Thoracotomi emergensi bila perlu
c) Operasi Eksplorasi vascular emergensi (Alsagaf, 2009).
2. Tindakan Bedah Emergency
a) Krikotiroidotomi
b) Trakheostomi
c) Tube Torakostomi
d) Torakotomi
e) Eksplorasi vascular (Alsagaf, 2009).
3. Penatalaksanaan WSD
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari
cavum pleura (ronggapleura) (Prabowo, 2010).Tujuannya:
a) Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut
b) Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif
dan hanya terisi sedikit cairan pleura / lubrican.
c) Perubahan Tekanan Rongga Pleura.
Tekanan Istirahat Inspirasi Ekspirasi
a) Atmosfir 760 760 760
b) Intrapulmoner 760 757 763
c) Intrapleural 756 750 756

11
Indikasi pemasangan WSD :
a) Hemotoraks, efusi pleura
b) Pneumotoraks ( > 25 % )
c) Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
d) Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
Kontraindikasi pemasangan WSD :
a) Infeksi pada tempat pemasangan
b) Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol (Prabowo,
2010).
4. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada
kasuspneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan
inibertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan
membuathubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan
cara (Sudoyo, 2009) :
a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga
pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar
melalui jarum tersebut (Alsagaf, 2009).
b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
i. Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada
sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang
telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke
botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan
tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set
yang berada di dalam botol (Alsagaf, 2009).
ii. Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri
dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan
pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke
rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang

12
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (Alsagaf, 2009).
iii. Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks
kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan
perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit.
Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah
dibuatdengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada
lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selainitu
dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udaradapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (Alsagaf, 2009). Penghisapan
dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap
positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan
negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat
mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan
tekanan intra pleura sudah negative kembali, maka sebelum
dicabut dapat dilakukuan ujicoba terlebih dahulu dengan cara
pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan
dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa
belum bias dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat
pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal (Sudoyo, 2009).

13
5. Pengobatan Tambahan
a) Pengobatan terhadap penyakit yang menyertai terhadap
penyebabnya
b) Bed rest
c) Pemberian antibiotik profilaksis setelah tindakan bedah dapat
dipertimbangkan untuk mengurangi insidensi komplikasi,
misalnya emfisema (Alsagaf, 2009).
6. Rehabilitasi
a) Pasien yang telah sembuh, harus dilakukan pengobatan secara
tepat untuk penyakit dasarnya.
b) Untuk sementara waktu pasien dianjurkan untuk tidak mengejan
dan bersin atau batuk yang terlalu keras (Alsagaf, 2009)
c) Bila kesulitan defekasi karena antitusif, berikan laksan.
d) Monitoring penderita terutama bila ada keluhan pernafasan.
B. Kekurangan dan kelebihan teori baru
1. Kelebihan:
a) Lebih cepat dalam penanganan secara emergensi
b) Lebih efisien secara medik
c) Lebih cenderung tidak menimbulkan efek rekurensi
d) Penanganan dan assesment lebih menyeluruh
2. Kekurangan
a) Beberapa bagian bersifat invasi
b) Pada thoracostomy dapat beresiko menyebabkan banyak
komplikasi
c) Membutuhkan peralatan yang benar-benar steril

C. Harapan penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan pneumothorax diharapkan pasien dapat
sembuh sempurna dan dapat menjalankan fungsinya dimasyarakat dan
tidak mengalami rekurensi atau kekambuhan dan kecacatan. Oleh karena
itu penatalaksanaan harus dilakukan oleh tenaga medis yang berkompeten
dalam bidang masing-masing dan dilaksanakan secara adekuat terutama

14
saat pelaksanaan tindakan emergensi. Penatalaksanaan juga diharapkan
memiliki persiapan yang matang, terutama dalam penanganan yang secara
invasif.

15
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pneumothorax didefinisikan sebagai adanya udara atau gas di dalam rongga


pleura.
2. Beberapa tanda gejala pneumothorax yang dapat diamati antara lain sesak
napas berat, takipneu, nyeri dada unilateral, sianosis.
3. Pneumothorax dapat ditegakkan melalui pemeriksaan fisik meliputi inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi. Selain itu dilakukan pemeriksaan penunjang,
yaitu foto thorax.
4. Pilihan terapi pneumothorax adalah terapi oksigen, observasi, aspirasi
sederhana dengan kateter vena, pemasangan tube, pleurodesis, torakoskopi
single port, VAST dan torakotomi.
5. Prognosis pneumothorax adalah dubia et bonam. Hampir 50% kambuh setelah
pemasangan tube torakostomi tapi jarang terjadi pada pasien-pasien yang
dilakukan torakotomi terbuka.

16

Anda mungkin juga menyukai