Dokter Internsip
Pembimbing
dr. Retno Wahyuningsih, Sp.M
Disusun Oleh
dr. Bella Syahnarissa Aziza
Ambarawa,
Pembimbing dokter internship,
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata
yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf
mata dan rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga
mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan
salah satu penyebab yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak
dan dewasa muda, karena kelompok usia inilah yang sering mengalami
trauma okuli yang parah. Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan
kelompok yang paling sering mengalami trauma okuli.
Secara umum trauma okuli dibagi menjadi dua yaitu trauma okuli
perforans dan trauma okuli non perforans. Sedangkan klasifikasi trauma okuli
berdasarkan mekanisme trauma terbagi atas trauma mekanik (trauma tumpul
dan trauma tajam), trauma radiasi (sinar inframerah, sinar ultraviolet, dan
sinar X) dan trauma kimia (bahan asam dan basa). Trauma semburan bisa ular
merupakan bagian dari trauma kimia.
Bisa digunakan oleh ular untuk membunuh mangsa dan
mempertahankan diri. Bisa ini umumnya dimasukkan lewat gigitan ular,
namun beberapa jenis ular kobra mengembangkan kemampuan untuk
menyemburkan untuk mempertahankan diri. Semburan pertahanan diri ini
dapat mengeluarkan bulir bisa dan mengenai mata hewan atau manusia yang
mengancam ular dengan akurasi tinggi. Bulir bisa ini dapat menyebar dan
meluas menjadi semburan yang lebih halus dengan jarak yang lebih jauh
sehingga memperlebar area kontak dengan target.
Kerusakan yang ditimbulkan pada trauma mata akibat semburan bisa
ular beragam tergantung dari volume bisa yang masuk ke mata, waktu dari
terpapar bisa dengan penanganan, dan penangan pertama. Walaupun jarang
mengancam nyawa tapi kerusakan yang timbul jika tidak ditangani secara
tepat akan menimbulkan beberapa kompikasi dari keratitis hingga dapat
menimbulkan kebutaan. Trauma mata akibat bisa ular ini sedikit mendapat
1
perhatian. Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitnya laporan klinis dan literatur
yang menjelaskan efek bisa ular pada mata. Namun meski sedikit yang
terdokumentasi, trauma mata akibat bisa ular ini menjadi masalah medis pada
beberapa negara tropis.
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai trauma mata akibat
semburan bisa ular pada laki-laki usia 39 tahun.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui manajemen pasien dengan trauma semburan bisa ular pada
mata.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui penanganan awal pasien dengan trauma semburan bisa ular
pada mata.
b. Mengetahui penanganan lanjut untuk pasien dengan trauma semburan
bisa ular pada mata.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TRAUMA AKIBAT SEMBURAN BISA ULAR PADA MATA
1. Definisi
Semburan bisa ular diketahui sebagai metode pertahanan ular dan
trauma pada mata akibat bisa ular belum banyak dilaporkan. Terdapat 2 jenis
famili dari ular berbisa yaitu Viperine dan Colubrine. Untuk jenis Viperine
contohnya seperti viper/ular tanah yang memiliki taring yang dapat bergerak
juga mengeluarkan racun yang bersifat hemolitik hingga neurotoksik.
Sedangkan untuk jenis Colubrine contohnya adalah ular cobra yang memiliki
taring yang kuat dan memiliki racun bersifat neurotoksik.
Mekanisme semburan ular telah dipelajari sebelumnya. Dalam
sepersekian detik saat rahang terbuka, dengan didahului desisan, bisa ular
memancar keluar hingga jarak 2 kaki dan selanjutnya menyebar menjadi
semburan. Racun dari semua ular dan kalajengking bersifat iritan kuat pada
mata. Absorbsinya pada konjuntiva cukup sedikit. Untuk penatalaksanaan awal
terhadap trauma pada mata adalah irigasi sesegera mungkin. Dari penelitian
diketahui semakin cepat irigasi dilakukan prognosisnya semakin baik. Dari
beberapa kasus lain, kebutaan dapat terjadi akibat kekeruhan kornea yang
diperberat oleh infeksi sekunder.
Toksisitas luar biasa pada bisa ular disebabkan oleh reaksi enzim.
Cairan ini terdiri dari banyak kandungan yang terbesar adalah air dan garam
sebesar 65-80%. Zat-zat beracun terdiri dari kolinesterasi yang bersifat
neurotoksin dan lesitinase yang bersifat bersifat sitolitik dan pembentuk
pembekuan darah. Bisa cobra berupa cairan kuning yang bersifat asam lemah.
Toksisitasnya dapat berkurang apabila dididihkan selama beberapa jam.
Trauma semburan bisa ular merupakan bagian dari trauma kimia.
Trauma kimia pada mata merupakan salah satu keadaan kedaruratan
oftalmologi karena dapat menyebabkan cedera pada mata, baik ringan, berat
bahkan sampai kehilangan penglihatan. Trauma ini terjadi akibat terpaparnya
bahan kimia baik yang bersifat asam atau basa yang dapat merusak struktur
3
bola mata. Trauma kimia diakibatkan oleh zat asam dengan pH < 7 ataupun
zat basa pH > 7. Tingkat keparahan trauma dikaitkan dengan jenis, volume,
konsentrasi, durasi pajanan, dan derajat penetrasi dari zat kimia tersebut.
Mekanisme cedera antara asam dan basa sedikit berbeda. Trauma bahan
kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi dalam laboratorium, industri,
pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian, dan peperangan
memakai bahan kimia serta paparan bahan kimia dari alat-alat rumah tangga.
Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah
yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang harus segera dilakukan.
2. Epidemiologi
Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika
Serikat mengalami gangguan penglihatan akibat trauma. 75% dari kelompok
tersebut buta pada satu mata, dan sekitar 50.000 menderita cedera serius yang
mengancam penglihatan setiap tahunnya. Setiap hari lebih dari 2000 pekerja
di amerika Serikat menerima pengobatan medis karena trauma mata pada saat
bekerja. Lebih dari 800.000 kasus trauma mata yang berhubungan dengan
pekerjaan terjadi setiap tahunnya, dibandingkan dengan wanita, laki-laki
memiliki rasio terkena trauma mata 4 kali lebih besar. Dari data WHO tahun
1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral sebanyak 19 juta orang, 2,3
juta mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta mengalami kebutaan
bilateral akibat cedera mata. Sebagian besar (84%) merupaka trauma kimia.
Kejadian trauma sembur bisa ular di Amerika Serikat cukup jarang.
Umumnya terjadi pada orang yang memiliki pekerjaan dengan lingkungan
alam liar yang memungkinkan adanya paparan dengan ular seperti penjaga
kebun binatang. Trauma semburan bisa ular dapat menyebabkan trauma
kimia dengan manifestasi yang beragam, dari konjungtivitis ringan dan
inflamasi kornea, ulkus kornea hingga perforasi dan yang paling berat adalah
kebutaan.
4
3. Anatomi Mata
Mata merupakan alat indra yang terdapat pada manusia. Secara konstan
mata menyesuaikan jumlah cahaya yang masuk, memusatkan perhatian pada
objek yang dekat dan jauh serta menghasilkan gambaran yang kontinu yang
dengan segera dihantarkan ke otak.
6
memendek, ukuran pupil meningkat yang terjadi pada cahaya temaram untuk
meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood, 2001).
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus
dipergunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan
menyesuaikan kekuatan lensa sehingga baik sumber cahaya dekat maupun
jauh dapat difokuskan di retina dikenal sebagai akomodasi. Kekuatan lensa
bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris adalah
bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah
anterior. Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk
penglihatan jauh, tetapi otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa
menjadi lebih cembung dan lebih kuat untuk penglihatan dekat. Serat-serat
saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk penglihatan jauh,
sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untuk
penglihatan dekat.
7
Penelitian di Afrika Barat, telah diidentifikasi ular yang dapat
menyemburkan bisa yaitu Naja nigricollis dan Naja Mosambica dari famili
elapids. Ular ini dapat menyemburkan bisa hingga 5 meter dan tepat
mengenai mata pemangsanya. Ini disebabkan kekuatan dari kontraksi otot
masseter dan racunnya dikeluarkan melalui celah pada taringnya.
Bisa dari ular kobra mengandung cytotoxin, cardiotoxin, beberapa enzim
termasuk phospholipase A2 (PLA2) dan three-finger fold neurotoxin
(64%) . Yang sering disebut faktor lisis langsung, racun racun tersebut
merupakan faktor hemolisis yang relatif lemah. Namun dari data yang ada
menunjukkan racun bisa ular dapat merusak membran yang menyebabkan
kemosis.
Kardiotoksin adalah kandungan yang dapat melisiskan membran
diketahui bertanggung jawab dapat menyebabkan erosi kornea dan kemosis
konjungtiva. Toksin lain yaitu phospholipase A2, bekerja secara sinergi
dengan kardiotoksin, namun bila sendiri phospholipase A2 tidak berefek pada
okular. Selain inflamasi pada konjungtiva dan kelopak mata, racun bisa ular
dapat menyebabkan cidera kornea yang perlu diperhatikan karena potensinya
pada gangguan visual. Edema kornea disebabkan kombinasi dari hambatan
pompa natrium dan kalium oleh kardiotoksin dan keluarnya histamin dan
asetilkolin akibat bisa ular, sehingga menghasilkan influks cairan,
vasodilatasi dan absorbsi airmata yang hipotonik secara berlebihan. Progresi
edema kornea menjadi keruh dan cair ini disebabkan adanya kandungan
kolegenase dan proteinase pada bisa ular.
Pada penelitian terhadap N. nigricollis kerusakan yang diakibatkan racun
pada bisa ular disebabkan dua hal yaitu efek vesikular dan nekrotisnya dan
akibat timbulnya mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien.
Selain itu kandungan bisa ular yang mengandung protein bioaktif dapat
memberikan efek destruktif lokal. Efek paparan dari bisa ular pada
permukaan mata menimbulkan manifestasi edema jaringan lunak periokular,
konjungtivitis dan erosi epitel kornea. Ini memungkinkan cidera okular dapat
progresif ke struktur yang lebih dalam dengan kerusakan visual yang lebih
signifikan apabila tidak langsung mendapat penanganan. Variasi toksin dan
8
fraksi protein dari bisa ular pada spesies kobra yang berbeda menentukan
besarnya perbedaan toksisitas pada mata. Contohnya pada penelitian ular
Naja atra dilaporkan menyebabkan keratokonjungtivitis, sedangkan pada Naja
nigricollis dapat menyebabkan ulserasi kornea dan uveitis anterior.
Efek okular akibat bisa ular bergantung pada durasi paparan permukaan
okular dengan bisa ular. Efek langsung adalah nyeri berat pada mata dan mata
berair. Lesi yang memungkinkan pada mata adalah edema korna, kemosis,
konjungtivitis, epifora, blefarospasme, dan ulkus kornea. Efek sistemik pada
manusia akibat semburan bisa ular belum dilaporkan.
6. Diagnosis
Bisa ular kobra disemburkan pada saat mempertahankan diri, melalui bagian
atas depan taring dan kekuatan kontraksi kuat otot maseter. Kobra menyemburkan
bisa dengan agresif melalui gerakan kepala yang cepat, selanjutnya menyerang
setidaknya 1 mata. Meskipun banyak spasies kobra dapat menyemburkan bisa dan
sebagian pawang ular telah menggunakan pelindung mata pada saat bekerja, namun
laporan toksisitas akibat semburan bisa ular pada mata oleh spesies penyembur
tetap ada seperti spesies Naja nigricollis, Naja mossambica, dan Hemachatus
haemachatus di Afrika juga Naja sumatrana dan Naja atra di Asia.
Untuk menegakkan diagnosis trauma okuli sama dengan penegakan diagnosis
pada umumnya, yaitu dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum
dan segera sesudah cedera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat
progresif lambat atau timbul mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing
intraokular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah, atau ledakan.
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi
trauma, benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda
yang mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan
bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar
benda yang mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi
atau bahan lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah
penurunan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan juga
kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan rasa
sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya.
9
Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum terlebih dahulu diperiksa, karena 1/3
hingga kejadian trauma mata bersamaan dengan cedera lain selain mata. Untuk itu
perlu pemeriksaan neurologis dan sistemik mencakup tanda-tanda vital, status
mental, fungsi, jantung dan paru serta ekstremitas. Selanjutnya pemeriksaan mata
dapat dimulai dengan:
1. Menilai tajam penglihatan, bila parah: diperiksa proyeksi cahaya,
diskriminasi dua titik dan defek pupil aferen.
2. Pemeriksan motilitas mata dan sensasi kulit periorbita. Lakukan palpasi
untuk mencari defek pada tepi tulang orbita.
3. Pemeriksaan permukaan kornea : benda asing, luka dan abrasi
4. Inspeksi konjungtiva: perdarahan/tidak
5. Kamera okuli anterior: kedalaman, kejernihan, perdarahan
6. Pupil: ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya (dibandingkan dengan
mata yang lain)
Dari anamnesis bisa kita dapatkan dari pasien. Kasus terbanyak diketahui
penyebabnya adalah pasien memiliki pekerjaan yang memungkinkan paparan
dengan ular, sehingga umumnya genusnya diketahui. Waktu terjadinya serangan
juga perlu diketahui. Untuk mengobservasi kemungkinan adanya proses lokal atau
sistemik yang berkembang.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Deskripsi dari ular atau bila memungkinkan mengambil gambar dari
ular, sehingga dapat menentukan kandungan bisa.
10
Menilai waktu terjadinya dan onset dari gejala yang tampak.
Edema, nyeri dan parestesi lokal mungkin ditemukan.
Gejala sistemik seperti mual, pingsan dan gangguan menelan hingga
bernafas.
Menanyakan adanya riwayat alergi obat maupun antibiotik untuk
menentukan tatalaksana yang diberikan.
11
7. Penatalaksanaan
Trauma akibat semburan bisa ular tergolong dalam kasus trauma kimia
mata yang merupakan kegawat daruratan mata. Penanganan pertama memegang
peranan penting karena semakin lama mata terpapar bisa ular maka semakin luas
kerusakan yang terjadi, semakin banyak komplikasi, dan meningkatkan resiko
kebutaan.
Pertolongan pertama yang terpenting dalam kasus ini adalah irigasi mata
sedini mungkin selama 15 30 menit, kelopak mata atas dan bawah juga tidak
lupa untuk dibalik untuk menghilangkan partikel yang terperangkap pada fornik.
Irigasi yang diberikan dapat mengencerkan dan mengeluarkan bisa ular yang
terpapar pada mata. Hal ini menentukan dalam meminimalisir kerusakan yang
dapat terjadi. Telah diketahui bahwa bisa ular mengandung gabungan dari
bahan kimia, yang harus dibilas melalui irigasi. Irigasi dapat menggunakan
normal saline (0,9% NaCl) yang merupakan standart untuk irigasi. Pasien
berbaring dengan posisi supine dan infus set telah disiapkan untuk irigasi
langsung mata setelah sebelumnya mata telah diteteskan tetes mata anestesi
topikal, dan juga diletakkan cawan ginjal untuk menampung air yang telah
terkontaminasi.
Selain irigasi mata dapat pula diberikan analgesik dengan vasokontriktor
dengan aktifitas midriasis yang lemah (seperti epinephrine) dan anastesi topikal
terbatas (seperti tetracaine), eksklusi abrasi kornea dengan pewarnaan flouresin
dengan pemeriksaan slitlamp dan pemberian antibiotik topikal profilaksis. Antibiotik
topikal (contohnya kloramfenikol) dapat digunakan pada pasien dengan erosi kornea
ekstensif untuk mencegah infeksi sekunder.
Pemberian sikloplegik topikal ditujukan untuk mencegah sinekia posterior,
spasme silier dan mengurangi nyeri. Antihistamin dapat di berikan jika terdapat
keratokonjungtivitis alergi. Bebrapa dokter spesialis mata merekomendasikan untuk
menutup mata dengan kasa setelah penanganan awal.
Heparin telah digunakan untuk tatalaksana trauma semburan bisa ular pada
mata. Penggunaannya berdasarkan fakta kardiotoksin pada bisa ular dapat berikatan
dengan molekul heparin dan sehingga menyebabkan inaktifnya kardiotoksin. Topikal
vasokonstriktor dan penutup mata juga dapat mengurangi nyeri. Bila menganut
pedoman WHO yang diterbitkan pada 2010 menyarankan untuk tidak menggunakan
SABU topikal maupun IV dan juga kortikosteroid topikal. Aktivitas kolegenase
12
kornea meningkat pada penggunaan steroid topikal dan bila disertai adanya defek
epitel dapat menyebabkan pencairan kornea. Pada penelitian lain steroid topikal
diberikan setelah pemulihan permukaan epitel untuk mencegah terjadinya
symblepharon, namun pengguanaanya masih kontroversial. Penggunaan SABU
menurut penilitian tidak memberikan manfaat.
Untuk pencegahan dapat diberikan edukasi pada pekerjaan yang
memungkinkan terpapar dengan ular seperti pawang ular untuk dapat menggunakan
kacamata google, selanjutnya juga selalu mencuci tangan dengan menggunakan air
dan sabun setelah terpapar dengan bisa ular.
13
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS
Nama : Tn. T
Umur : 39 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Genting 4/1 Jambu
Pekerjaan : Petani
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 19 Maret 2017
Ruang : IGD
B. DATA DASAR
1. Anamnesis
(Autoanamnesis dengan pasien tanggal 19 Maret 2017 pada jam 15.28 di IGD
RSUD Ambarawa)
Keluhan Utama
Kedua mata nyeri
15
Toraks : bentuk normal, simetris saat statis dan dinamis,
retraksi (-), sela iga melebar (-), iga mendatar (-)
Cor : I : ictus cordis tidak tampak
Pa : ictus cordis teraba di SIC V, 2 cm medial linea
midclavicularis sinistra
Pe : konfigurasi jantung normal
Aus : BJ I & II murni, gallop (-), bising (-)
Pulmo : I : simetris saat statis maupun dinamis
Pa : stem fremitus kanan = kiri
Pe : sonor di semua lapangan paru
Aus : suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Superior Inferior
- Oedem -/- -/-
- Sianosis -/- -/-
- Cap.refill <2/<2 <2/<2
- Akral dingin -/- -/-
Status Oftalmologi
16
OD OS
Visus >3/60 >3/60
Bola mata Gerak bebas kesegala arah Gerak bebas kesegala arah
Palpebra blepharospasme blepharospasme
injeksi (+), sekret (+) injeksi (+) sekret (+)
Konjungtiva
chemosis (+) chemosis (+)
Kornea Jernih jernih
Iris Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Bundar, sentral, reguler, Bundar, sentral, reguler,
Pupil
3mm, RP (+) N 3mm, RP (+) N
Lensa Jernih Jernih
3. Diagnosis Kerja
Trauma sembur bisa ular pada mata.
4. Rencana Awal
Ip Tx :
- Medikamentosa :
Topikal = Cendo xitrol 6x1 ODS
Midriatil 1% 2x1 OD
Oral = Paracetamol 3x500 mg bila nyeri
17
5. Catatan Kemajuan
Diagnosis:
- Trauma semburan bisa ular
18
BAB IV
PEMBAHASAN
Penderita yang dilaporkan diatas pada saat masuk didiagnosis Trauma Mata
Semburan Bisa Ular. Dari anamnesis, keluhan mata terasa nyeri setelah terkena
semburan bisa ular sejak 10 menit sebelum masuk rumah sakit. Sesaat setelah
terkena semburan bisa ular tersebut pasien mengeluh mata terasa nyeri, panas,
berair dan susah untuk dibuka. Hasil pemeriksaan mata yang didapatkan adalah
mata kanan kiri terdapat blefarospasme.
Tanda dan gejala di atas mengarah ke diagnosis Trauma Semburan Bisa Ular,
di mana biasanya ditemukan blefarospasme, injeksi konjungtiva, chemosis dan
terdapat sekret yang timbulnya mendadak setelah terdapat riwayat trauma mata
semburan ular.
Penatalaksanaan awal pada saat penderita datang di IGD yang terpenting
dalam kasus ini adalah irigasi mata sedini mungkin selama 15 30 menit, kelopak
mata atas dan bawah juga tidak lupa untuk dibalik untuk menghilangkan partikel
yang terperangkap pada fornik. Irigasi yang diberikan dapat mengencerkan dan
mengeluarkan bisa ular yang terpapar pada mata. Hal ini menentukan dalam
meminimalisir kerusakan yang dapat terjadi. Irigasi dapat menggunakan normal
saline (0,9% NaCl) yang merupakan standart untuk irigasi. Pasien berbaring
dengan posisi supine dan infus set telah disiapkan untuk irigasi langsung mata
setelah sebelumnya mata telah diteteskan tetes mata anestesi topikal, dan juga
diletakkan cawan ginjal untuk menampung air yang telah terkontaminasi.
Pemberian sikloplegik topikal ditujukan untuk mencegah sinekia posterior,
spasme silier dan mengurangi nyeri. Bila menganut pedoman WHO yang
diterbitkan pada 2010 menyarankan untuk tidak menggunakan SABU topikal
maupun IV. Pada kasus ini diberikan steroid topikal juga antibiotik untuk
mengurangi inflamasi dan mencegah terjadinya infeksi sekunder,
Dalam perjalanan penyakitnya, kondisi penderita relatif membaik selama
kontrol di poli mata di RSUD Ambarawa. Keluhan penderita seperti nyeri pada
mata, pandangan kabur sudah berkurang.
19
DAFTAR PUSTAKA
20