Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sperma
2.1.1. Spermatogenesis
Spermatogenesis pada manusia adalah proses perubahan dari
spermatogonia menjadi sperma. Spermatogonia merupakan sel
germinal testis yang terletak didalam lapisan permukaan dalam
tubulus seminiferus. Spermatogonia ini akan membelah secara mitosis
saat pubertas, dan terus berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk
sperma. Spermatogenesis terjadi didalam tubulus seminiferus sebagai
akibat dari rangsangan hormon reproduksi, misalnya hormon
testosteron, LH, FSH, estrogen, dan hormon pertumbuhan. Tahap
pertama spermatogenesis yaitu pada saat spermatogonia bermigrasi
diantara sel-sel sertoli menuju lumen tengah tubulus seminiferus.
Spermatogonia yang telah melewati sel sertoli akan dimodifikasi
secara berangsur-angsur menjadi bentuk yang besar yang disebut
spermatosit primer. Setiap spermatosit selanjutnya mengalami
pembelahan mitosis, dan menghasilkan dua spermatosit sekunder.
Setelah beberapa hari spermatosit sekunder (memiliki 46 kromoson
sperma) ini membelah menjadi spermatid (memiliki 23 kromosom
sperma) yang akhirnya dimodifikasi menjadi sperma. Keseluruhan
proses

spermatogenesis,

dari

spermatogonia

menjadi

sperma,

membutuhkan waktu 74 hari (Guyton, 2008). Sperma adalah sel

germinal jantan matang yang merupakan hasil khusus dari testis


(Dorland, 2005).

Gambar 2.1 Spermatogenesis (Guyton, 2008)


2.1.2. Bentuk dan Bagian-bagian Sperma
Sperma yang bentuknya normal adalah memiliki bagian kepala,
leher dan ekor. Kepala sperma berbentuk lonjong agak gepeng dan
mengandung inti kromosom pembawa sifat keturunan, leher sperma
menghubungkan bagian kepala dan ekor, sedangkan ekornya seperti
cambuk dan dapat bergeter sehingga perma dapat bergetar cepat.
Panjang keseluruhan sperma sekitar 50 mikron (Huliana, 2007)
Fisiologi sperma yang matang mempunyai kecepatan gerak kirakira 1-4 mm/menit melalui medium cairan karena adanya gerakan
flagel. Sperma yang normal cenderung bergerak lurus daripada
gerakan berputar-putar. Sperma tergolong abnormal jika kepalanya

besar, kecil, runcing atau bengkok dan lehernya keriting atau dobel.
Pada morfologi yang normal tidak didapatkan kelainan bentuk.
Namun jika bentuk normal dijumpai kurang dari 30% maka termasuk
teratozoospermia (Hinting, 2004)
Sedangkan menurut (Rohen, 2008), sperma terdiri dari 2 bagian:
2.1.2.1. Kepala
Kepala sperma sangat padat dan berbentuk seperti raket tenis
dengan ujung yang pipih,suatu inti sel(akrosom),post acrosomal shield
(tudung post akrosom) dan suatu membran sel dengan diferensiasi
spesifik.
2.1.2.2 Ekor
Bagian ekor dimulai dari leher yang menampung sentriol
proksimal sampai bagian ujung ekor.
2.1.2.2.1 Leher
Merupakan bagian yang menghubungkan bagian kepala dan
bagian ekor, leher sperma merupakan sebuah sentriol. Bagian distal
sentriol berdiferensiasi menjadi berkas tubulus dengan struktur khas
suatu cambuk, yaitu aksonema. Aksonema ini yang menjadi
karakteristik gerakan kearah depan di uterus dan tuba serta pergerakan
seperti lecutan cambuk yang berputar agar sperma dapat memenetrasi
sel telur.
2.1.2.2.2 Bagian tengah ekor
Pada bagian tengah suatu bentuk cincin anulus menyempit di
seblah distal, dan mitokondria berakhir dalam suatu lilitan yang padat

dan bebentuk seperti sekrup. Di tempat inilah tersimpan energi


pergerakan maju sperma. Bagian tengah tersambung dengan bagian
utama ekor, dengan lapisan serabut cincin yang mengalami penguatan
dan kemudian beralih ke bagian ujung.
2.1.2.2.3 Bagian utama ekor
Merupakan bagian dengan lapisan serabut cincin yang
mengalami penguatan.
2.1.2.2.4 Bagian ujung ekor
Lanjutan dari bagian ekor utama yang isinya aksonema.

Gambar 2.2 Bagian-bagian dari sperma (Rohen, 2008)


Dari kedua bagian tersebut, bagian kepala merupakan bagian
yang paling penting karena tersimpan materi genetik yang nantinya
akan bersatu dengan materi genetic yang terdapat dalam ovum dan
menghasilkan individu baru. Akan tetapi tanpa bagian-bagian yang
lain, sperma tidak dapat membuahi ovum yang terletak pada saluran
reproduksi wanita bagian dalam. Sehinga kesempurnaan sperma

10

merupakan kunci utama keberhailan proses pembuahan (Djuwantono


dkk., 2008). Selain hal tersebut nutrisi yang terkandung dalam sperma
yang merupakan hasil sekresi kelenjar sintem reproduksi pria
merupakan bahan energi untuk kelangsungan hidup serta gerak
sperma (Djuwantono dkk, 2008).
2.1.3. Faktor Hormonal Yang Merangsang Spermatogenesis (Guyton, 2008):
2.1.3.1. Testosteron
Disekresikan oleh sel leydig yang terletak di intersitium testis,
penting untuk pembelahan dan pertumbuhan sel germinal testis, yang
merupakan tahap pertama pembentukan sperma.
2.1.3.2. Luteinizing Hormone (LH)
Disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel
leydig untuk mensekresikan testosteron.
2.1.3.3. Hormon Perangsang Folikel (FSH)
Disekresikan oleh kelenjar hipofisis anterior, merangsang sel
sertoli sehingga mengubah spermatid menjadi sperma.

2.1.3.4. Estrogen
Dibentuk dari testosteron oleh sel sertoli ketika sel sertoli di
rangsang oleh FSH, hormon ini juga penting untuk spermiogenesis.
2.1.3.5 Hormon Pertumbuhan
Diperlukan untuk mengatur pertumbuhan secara spesifik
pembelahan awal spermatogonia.
2.1.4. Analisa sperma

11

Sperma sebaiknya diperoleh dengan cara masturbasi dan


ditampung dalam botol kaca bermulut lebar. Sperma diantar ke
laboratorium dalam waktu satu jam sesudah dikeluarkan. Sperma
dilindungi dari suhu yang ekstrim selama pengangkutan ke
laboratorium

(suhu

antara

2040

C)

(Hermawanto,

2008).

Pengukuran tersebut meliputi:


2.1.4.1 Makroskopis (Demers, 2000; Bhatia, 1999)
2.1.4.1.1. Warna
Warna normal semen adalah putih kelabu. Bila terdapat
infeksi bisa menjadi kekuningan dan apabila ada darah akan
menjadi merah.
2.1.4.1.2. Bau
Bau khas normal semen sperma seperti bunga akasia di
pagi hari. Bila terjadi suatu infeksi maka bau semen akan
menjadi busuk.
2.1.4.1.3. Liquefaction (pencairan semen)
Dalam keadaan normal, semen akan mencair sekitar 1
jam pada suhu kamar. Abnormalitas liquefaction ditemukan
pada gangguan fungsi kelenjar prostat. Maka dari itu
pemeriksaan pencairan semen harus segera dilakukan dalam
waktu kurang dari 1 jam setelah ejakulasi.
2.1.4.1.4. Volume
Volume semen diukur dengan gelas ukur atau dengan
cara menghisap seluruh semen ke dalam suatu pipet ukur.
Nilai normal per ejakulat adalah 2-5 ml. Jika volume semen
terlalu sedikit maka tidaklah cukup untuk menetralkan

12

keasaman suasana rahim, dan sperma akan mati sehingga


kehamilan tidak terjadi.
2.1.4.1.5. PH semen
Ph normal semen berada pada kisaran 7,2-7,8. Jika
lebih dari 7,8 perlu dicurigai adanya infeksi dan bila kurang
dari 7,2 kemungkinan terjadi gangguan pada epididimis, vas
deferen, dan vesika seminalis.
2.1.4.2. Mikroskopis
2.1.4.2.1. Morfologi
Nilai normal untuk morfologi sperma ditemukannya
bentuk normal minimal 4-15% (WHO, 2010).
2.1.4.2.2. Motilitas
Menurut (WHO, 2010) kategori yang dipakai untuk
motilitas sperma adalah
a. Jika sperma bergerak cepat dan lurus ke muka
b. Jika geraknya lambat atau sulit maju lurus atau tidak
lurus.
c. Jika tidak bergerak maju.
d. Jika sperma tidak bergerak
Dikatakan Normal apabila 40% atau lebih kategori (a)
dan (b) atau 32% atau lebih kategori (a) saja.
2.1.4.2.3. Konsentrasi sperma
Jumlah sel sperma normal sekitar 15-20 juta/ml (WHO,
2010)
2.1.4.2.4. Viabilitas sperma
Jumlah sel sperma normal yang hidup adalah sekitar
75% atau lebih (Djuwantono dkk, 2008).
2.1.4.2.5. Adanya sel-sel bukan sperma
Elemen bukan sperma yang dilihat adalah leukosit.
Batas normal sel leukosit adalah 1 juta/ml (Hermawanto,
2008).

13

2.1.4.2.6. Aglutinasi sperma


Aglutinasi sperma berarti bahwa sperma motil saling
melekat kepala dengan kepala, bagian tengah dengan bagian
ekor, atau campuran bagian tengah dengan bagian ekor.
Melekatnya sperma yang tidak motil atau motil pada benang
mukus atau pada sel bukan sperma tidak boleh dicatat sebagai
aglutinasi. Biasanya aglutinasi menunjukan adanya faktor
imunologi. Nilai normal aglutinasi adalah tidak ditemukan (-)
(Hermawanto, 2008).
2.1.4.2.7. Uji Biokimiawi
Uji biokimiawi dilakukan

bila

ada

kelainan

mikroskopik dan makroskopik. Uji biokimia menunjuk


kepada fungsi kelenjar asesori, yaitu asam sitrat, gamma
glutamil transpeptidase, dan fosfatase asam untuk kelenjar
prostat. L karnitin bebas dan alfa glukosidase untuk
epididimis.

Kadar

petanda

khas

yang

rendah

menggambarkan fungsi sekresi yang kurang baik. Suatu


infeksi menyebabkan penurunan sekresi yang besar. Selain
pengukuran

sekresi

prostat,

perlu

juga

dilakukan

pemeriksaan kemampuan sekresi vesika seminalis. Sekret


vesika seminalis ini merupakan komponen yang banyak
sekali digunakan untuk indikator dalam menangani kasus
infertilitas.

Komponen ini pada waktu diejakulasikan

berbentuk kental, kaya akan karbohidrat dan protein.

14

Kemampuan sekresi vesika seminal bisa diketahui dengan


pengukuran fruktosa (Hermawanto, 2008).
2.1.4.3 Uji Mikrobiologi
Uji mikrobiologi dilakukan apabila ada kecurigaan
adanya infeksi untuk mengetahui mikroorganisme penyebab
infeksi. Nilai normalnya adalah 0 (Hermawanto, 2008).
2.1.4.4 Uji Imunologi
Pemeriksaan uji imunologi dilakukan karena kecurigaan
adanya antibodi pelapis sperma pada semen tersebut. Antibodipelapis sperma merupakan tanda khas dan patognomonik untuk
infertilitas yang disebabkan faktor imunologi. Pemeriksaan
dilakukan dengan MAR (Mixed Antislobulin Reaction). Pada
pemeriksaan ini nilai normalnya tidak ditemukan aglutinasi
(Hermawanto, 2008).
2.1.5. Viabilitas Sperma
Viabilitas sperma adalah jumlah sperma yang dapat bertahan
hidup setelah di ejakulasikan.Viabilitas sperma ini dapat ditentukan
dengan mempergunakan satu dari beberapa tehnik pewarnaan
supravital. Satu diantaranya menggunakan 0,5%. Eosin Y dalam
aquadestilita dan diperiksa dengan menggunakan mikroskop fase
kontras negatif.

Metode lainnya ialah dengan cara yaitu pertama

mewarnai sperma dahulu dengan 1% Eosin dalam aquadestilita


dengan kemudian diwarnai lagi dengan 10% Nigrosin dalam
aquadestilita. Preparat ini dapat diamati dibawah mikroskop cahaya

15

biasa. Dihitung seratus sperma dan dengan cara ini dapat dibedakan
antara sperma yang mati dan yang hidup. Di bawah mikroskop fase
kontras negatif, sperma mati berwarna kuning dan sperma hidup
berwarna kebiru-biruan. Di bawah mikroskop cahaya, sperma mati
berwarna merah sedangkan sperma hidup tak berwarna. Pewarnaan
supravital ini dapat dipakai untuk membedakan sperma imotil (tetapi
sperma masih hidup) dengan sperma yang mati. Juga untuk suatu
pengontrolan penilaian motilitas. Oleh karena itu pemeriksaan ini
perlu dilakukan bila motilitas kuantitatif kurang atau sama dengan
40% (Moeloek, 2009).
2.1.6. Faktor yang Mempengaruhi Viabilitas Sperma
2.1.6.1. Faktor ekstrinsik
2.1.6.1.1. Suhu
Sering dinyatakan bahwa alasan testis terletak di dalam
kantung skrotum adalah untuk mempertahankan suhu
kelenjar ini di bawah suhu tubuh, walaupun biasanya hanya
sekitar 2 derajat celcius di bawah suhu central tubuh.
Peningkatan

suhu

pada

testis

dapat

mencegah

spermatogenesis dengan menyebabkan degenerasi sebagian


besar sel-sel tubulus seminiferus (Guyton, 2008).
2.1.6.1.2. Merokok.
Merokok dapat menambah resiko ketidaksuburan dan
disfungsi ereksi pada pria. Sperma dari pria perokok yang
menghabiskan 1 atau 2 bungkus rokok per hari dapat

16

menyebabkan masalah pernafasan pada bayi (Djuwantono


dkk., 2008).
2.1.6.1.3. Hidup sehat
Istirahat cukup dan minimalkan stress. Makan dengan
makanan sehat dan pola makan teratur, istirahat cukup dan
minimalkan stress akan membantu produksi dari hormon
yang mempengaruhi perkembangan sperma dan produksi
testosteron di testis (Djuwantono dkk., 2008).
2.1.6.1.4. Alkohol dan obat bius
Alkohol berpengaruh buruk pada kualitas dan kuantitas
sperma, mengurangi produksi testosteron dan mempunyai
kontribusi pada disfungsi ereksi. Penyalahgunaan obat bius
akan mengurangi kerapatan dan kemampuan gerakan sperma
serta menambah jumlah sperma yang abnormal. Selain itu
menjadi penyebab disfungsi ereksi dan hilangnya libido
(Djuwantono dkk., 2008).
2.1.6.1.5. Keasaman (pH)
Kadar pH dalam semen bersifat basa yang dipengaruhi
oleh kelenjar yang menghasilkan cairan bersifat basa. Kadar
pH yang bersifat basa ini sangat dipengaruhi oleh makanan
yang dikonsumsi. Keadaan basa pada semen, sangat
berpengaruh dalam kelangsungan hidup sperma itu sendiri.
Karena apabila dalam kondisi asam, maka sperma tidak dapat
bertahan hidup (Djuwantono dkk., 2008).
2.1.6.2. Faktor intrinsik
2.1.6.2.1. Substrat (sekresi kelenjar-kelenjar)

17

Sekresi kelenjar-kelenjar yang berupa cairan pada


system reproduksi pria, berisi nutrisi untuk sperma. Pada
system reproduksi pria, terdapat tiga kelenjar penting, yaitu
kelenjar vesika seminalis, kelenjar prostat dan kelenjar
cowper. Nutrisi yang dibutuhkan oleh sperma digunakan
sebagai bahan tenaga untuk hidup dan bergerak. Selain
sebagai nutrisi, kelenjar tersebut juga menghasilkan cairan
yang bersifat basa sehingga sperma memiliki pH 7,2 sampai
dengan 7,7 (Djuwantono dkk., 2008).
2.1.6.2.2. Respirasi
Sistem respirasi atau rantai transport electron yang
terdapat di Krista mitokondria. Dalam proses ATP synthase
memerlukan oksigen sehingga disebut aerobic metabolism.
ATP synthase menggunakan energy dari gradient ion
hydrogen (juga disebut proton) untuk membentuk ATP dari
ADP dan fosfat. Juga menghasilkan air dari hidrogen dan
oksigen (Divinkom, 2008).
2.1.6.2.3 Hormon dan Genetik
Gangguan hormon tertentu

atau

genetik

bisa

menghalangi produksi sperma. Gangguan hormon termasuk


hyperprolactinemia, hypothyroidusm, hypogonadism, dan
gangguan pada kelenjar adrenalin (yang menghasilkan
hormon testosteron dan hormon lain) atau kelenjar pituitari
(yang mengendalikan produksi testosteron). Gangguan

18

genetik meliputi kelainan pada kromosom seks, yang terjadi


pada sindrom Klinefelter (Medicastore, 2009).
2.1.6.2.4 Epididimis
Adanya hambatan dalam epididimis sebagai tempat
pematangan sperma dapat menurunkan viabilitas sperma. Di
dalam epididimis ini disekresi zat yang penting dalam
menunjang proses pematangan sperma seperti ion (Ca, Na, K,
Cl), substrat (protein, asam sialat, glikogen, asam laktat,
fosfolipid) dan enzim (LDH, fosfatase asam dan fosfatase
basa) (Sutyarso, 1994). Apabila ketiga unsur tersebut tidak
terpenuhi

dalam

jumlah

yang

cukup,

maka

proses

pematangan sperma akan terganggu, akibatnya kualitas


sperma akan menurun. Secara fungsional epididimis sangat
tergantung pada hormon testosteron . Sebagaimana diketahui,
testosterone diperlukan untuk daya hidup sperma dalam
epididimis (Arsyad, 1986)
2.1.7. Keadaan yang menyebabkan gangguan viabilitas sperma
Adapun gangguan viabilatas menurut (Handelsman, 2000) pada
pria dapat digolongkan berdasarkan letak gangguan menjadi 3
golongan yakni :
2.1.7.1. Gangguan Pre Testikuler
Gangguan yang terdapat di luar testis dan berpengaruh
terhadap proses spermatogenesis. Mekanisme pretestikuler
menghambat spermatogenesis melalui poros hipotalamus ,

19

hipofisis dan testis. Luteinizing Hormone (LH) yang menurun


dalam serum akan mereduksi testosteron intratestikuler yang
diikuti oleh penurunan Follicle Stimulating Hormone (FSH)
(Igwebuike dkk., 2011). Gangguan ini ditemukan sekitar 2 %
pada pria penderita infertilitas yang dapat disebabkan oleh :
2.1.7.1.1. Hipopituitarisme
2.1.7.1.2. Gangguan kelenjar adrenal
2.1.7.1.3. Hipotiroidisme
2.1.7.1.4. Diabetes mellitus
2.1.7.2. Gangguan Testikuler
Gangguan yang terjadi pada testis, sehingga proses
spermatogenesis akan terganggu. Gangguan testikuler terjadi
di dalam tubulus seminiferus akibat berbagai hal seperti :
2.1.7.2.1. Infeksi
2.1.7.2.2. Trauma
2.1.7.2.3. Varikokel
2.1.7.2.4. Radiasi

2.1.7.3. Gangguan Post Testikuler


Gangguan

yang

terjadi

di

luar

testis

setelah

spermatozoa keluar dari tubulus seminiferus. Gangguan ini


terdapat pada epididimis, vas deferens, kelenjar vesikula
seminalis dan prostat seperti gangguan viabilitas dan
motilitas spermatozoa. Gangguan ini dapat disebabkan oleh:
2.1.7.3.1. Tumor
2.1.7.3.2. Hipospadia
2.1.7.3.3. Penggunaan Obat
2.1.7.3.4. Alkohol
2.1.7.3.5. Merokok
2.2 Eryngium foetidum L

20

2.2.1. Deksripsi Tanaman


Tanaman Eryngium foetidum L. tumbuh secara alami di tanah
yang lembab dekat area pertanian atau daerah hutan. Sedangkan dalam
budidaya, tanaman tumbuh subur dengan penempatan yang baik yaitu
di bawah kondisi yang teduh dengan irigasi yang baik (Ramcharan,
1999).
2.2.2. Morfologi

Gambar 2.3 Ketumbar Jawa (Norsuraya, 2008)


Tanaman ini mempunyai akar berwarna putih kecoklatan yang
panjang dan bercabang. Daunnya tersusun spiral mengelilingi batang

21

utama, dengan panjang sekitar 30 cm dan lebar 4 cm. Tepi daunnya


bergerigi, di setiap gigi-gigi daun terdapat tulangan kecil berwarna
kuning. Tanaman ini menghasilkan sekelompok bunga pada tangkai
bunga yang panjang, dengan bagian-bagian berbentuk paku, mulai
dari pusat hingga daun bunga. Warna bunga kelopak bunga hijau,
sementara warna mahkota bunganya putih (Ramcharan, 1999).
2.2.3. Taksonomi
Nama Umum
Indonesia

: Walangi, walangan, ketumbar jawa

Inggris

: Culantro, titweed, long coriander, wild coriander

Melayu

: Ketumbar jawa

Klasifikasi
Kingdom

: Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom

: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi

: Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi

: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas

: Magnoliopsida (Berkeping dua / dikotil)

Sub Kelas

: Rosidae

Ordo

: Apiales

Famili

: Apiaceae

Genus

: Eryngium

Spesies

: Eryngium foetidum L.

(Hamid, 2009)

22

2.2.4. Manfaat tanaman Eryngeim foetidum L.


Akar dari Eryngeum foetidum L. Dapat merawat batuk, demam,
demam malaria, demam panas, radang paru, influenza, sembelit,
melancarkan buang air kecil, merangsang keringat dan menghentikan
pendarahan rahim dengan cara meminum air rebusan dari akar
tersebut. Air rebusan diminum untuk merawat demam kuning, demam
panas, penyakit usus, tekanan darah tinggi, merangsang menstruasi,
merangsang keringat, penawar racun, dan sebagai afrodisiak
(makanan, minuman, atau obat yang membantu meningkatkan gairah
seksual arau libido ) (Chooi, 2010).

2.2.5. Kandungan akar Eryngeim foetidum L.


Sampai saat ini, setidaknya 127 senyawa, terutama senyawa
fenolik dan terpenoid telah diisolasi dan diidentifikasi dari spesies ini,
termasuk

saponin

triterpenoid,

monoterpene,

ses-quiterpenes,

triterpenoid, flavonoid, kumarin, steroid, acetylenes, dan kelas-kelas


senyawa lainnya (Wang dkk., 2012). Senyawa terbanyak yang
dikandung oleh Eryngium foetidum L. adalah senyawa steroid, yang
terdiri dari 9 komponen yang telah diidentifikasi (Gracia dkk, 1999),
yaitu :
2.2.5.1. Stigmasterol (95%)
Merupakan fitosterol. Zat ini biasanya berguna sebagai
zat aditif makanan, menguragi penyerapan kolesterol di usus,
dan sebagai pencegahan kanker (Yannai, 2004). Merupakan

23

komponen utama dari Eryngium foetidum L. yang dapat


meningkatkan

gairah

seksual

(Kusuma

dkk.,

2005).

Stigmasterol sendiri merupakan sterol tanaman dan diduga


dapat digunakan sebagai bahan awal pembuatan androgen,
salah satunya adalah hormon testosteron (Dorland, 2005).
Selain merupakan komponen utama dalam pembentukan
hormon testosteron, komponen ini juga mengandung vitamin
E yang dapat meningkatkan fertilitas sperma (Rahardjo,
2005).
Sisanya sebesar 5% terdiri dari :
2.2.5.2. 3-cholesterol
Memiliki

nama

lain

epicholesterol

(Echol).

Epicholesterol adalah bentuk epimeric dari kolesterol (Chol).


Echol adalah sebuah dinamika molekul yang sepenuhnya
terhidrasi sebagai DMPC-Echol yang mengandung bilayer
membran (Thomas, 2003).
2.2.5.3. ()-clerosterol
Memiliki nama lain 5,25-Stigmastadieno, merupakan
suatu zat kelas steroid yang berfungsi sebagai komunikasi
antar sel, memberi nutisi untuk energi sel dan digunakan
sebagai anti jamur (Yannai, 2004).
2.2.5.4. Brassicasterol
Memiliki nama lain 5,22-Ergostadienol, merupakan
sterol karbon 28 kelas steroid yang fungsinya hampir sama
dengan (-)-cleosterol (Yannai, 2004).
2.2.5.5. Campesterol

24

Memiliki nama lain Campesterin, merupakan fitosterol.


Zat ini biasanya berguna sebagai zat aditif makanan,
menguragi penyerapan kolesterol di usus, dan sebagai
pencegahan kanker (Yannai, 2004).
2.2.5.6. -sitosterol
Memiliki nama lain b-Sitosterin, merupakan ekstrak
phytoparmacological berisi campuran pitosterol dengan
jumlah kecil dari sterol lain, terikat dengan glukosida. Sterol
ini

digunakan

sebagai

anti

kanker

payudara

karena

menginduksi apoptosis sel kanker payudara (Yannai, 2004).


2.2.5.7. 5-avenosterol
2.2.5.8. 5,24-stigmastadienol
Memiliki nama lain delta-7,25-Stigmastadienol,
merupakan sterol lipid yang didasarkan pada kerangka
stigmastante, yang terdiri dari kolestan bantalan gugus etil
pada atom carbon C24 (Yannai, 2004).
2.2.5.9. 7-avenasterol
Memiliki nama lain 24Z-Ethylidenelathosterol,
merupakan perantara dalam biosintesis steroid, yaitu konversi
dari 24 Ethylidenelophenol ke stigmasterol, kemudian diubah
lagi menjadi 5-dehydroavenasterol oleh enzim lathosterol
oksidase (Yannai, 2004).
2.3. Hubungan Ektrak Akar Eryngium foetidum L

terhadap Viabilitas

Sperma Tikus Jantan Galur Sprague dawley


Eryngium foetidum L mengandung 95% stigmasterol (Gracia dkk,
1999). Stigmasterol merupakan senyawa sterol tanaman yang merupakan
bahan awal pembuatan androgen (Dorland, 2005). Androgen didalam tubuh

25

meliputi testosteron, dihidrotestosteron dan androstenedion disintesis dari


kolesterol atau langsung dari asetil koenzim A, sisanya berasal dari adrenal
(Guyton, 2008).
Dalam proses spermatogenesis ada tiga organ yang berperan Guyton,
2008) :
1. Hipotalamus
2. Hipofisis anterior
3. Testis
Hipotalamus akan mensekresikan gonadotropin releasing hormon
(GnRH) yang merupakan suatu petida dengan 10 asam amino, selanjutnya
GnRH akan mesntimulasi sel gonadrop di kelenjar hipofisis anterior untuk
mensekresi LH dan FSH. Kedua hormon ini mempunyai sel target di dalam
testis yang berbeda, FSH akan berikatan dengan reseptor FSH spesifik yang
melekat pada sel sertoli didalam tubulus seminiferus. Pengikatan ini akan
mengakibatkan sel tumbuh dan mensekresikan berbagai unsur spermatogenik.
Sedangkan LH akan menstimulasi dari intersitial sel Leydig testis untuk
mensekresikan hormon testosteron(Guyton, 2008). Kandungan ekstrak akar
Eringeum foetidum L yaitu stigmasterol melewati 2 jalur dalam meningkatkan
spermatogenesis. Jalur yang pertama yaitu jalur tak langsung hipotalamus.
Cara kerja jalur ini dengan jalan meningkatkan eksitabilitas dan sensitabilitas
aktivitas motorik hipotalamus yang dianggap sebagai sinyal terhadap sistem
saraf pusat (Granner, 2003). Kemudian dari hipotalamus melalui melalui
ujung-ujung serabut sarafnya, GnRH akan dikeluarkan dari Hipotalamus
melalui portal khusus menuju hipotfisis anterior, kemudian mempengaruhi
hipofisis anterior untuk mengeluarkan LH (Greenspan, 1994). LH akan
berikatan dengan reseptor membran plasma sel leydig melalui cAMP dan

26

akan meningkatkan konversi asetilkolin menjadi skualena (prekusor sintesis


kolesterol) kemudian akan menjadi hormon testosteron (Granner, 2003 dan
Shupink,2003). Jalur kedua adalah jalur langsung ke testosteron. Testosteron
ini dibuat dari bahan dasar sterol di sel leydig (Dorland, 2005), kekurangan
bahan dasar ini akan mengakibatkan testosteron tidak akan terbentuk. Maka
dari itu dengan pemberian eskrtak akar Eryngium foetidum L yang
mengandung stigmasterol, yaitu merupakan senyawa sterol tanaman yang
merupakan bahan awal pembuatan androgen salah satunya hormon
testosteron (Dorland, 2005), diharapkan dengan adanya bahan yang cukup,
produksi hormon testosteron dapat berjalan lancar. Dari kedua jalur tersebut
hasil akhirnya adalah produksi hormon testosteron. Kemudian secara
bersamaan, testosteron dan dihidrotestosteron akan berdifusi ke dalam tubulus
seminiferus dari sel leydig kedalam ruang intersitial. Kemudian bersamasama FSH memberikan stimulasi untuk memulai proses spermatogenesis
(Guyton, 2008) . Stanier dan Forsling (1990) mengatakan bahwa hormon
testosteron berperan menjaga kelangsungan hidup spermatozoa , dan jika
produksi hormon testosteron mengalami penurunan akan mengakibatkan
kelangsungan hidup spermatozoa didalam epididimis mengalami penurunan
(Alfriza, 2010) .Adanya senyawa stigmasterol yang mencukupi bahan dasar
pembuatan hormon testosteron akan meningkatkan hormon testosteron, LH
dan FSH sehingga akan berdampak pada kualitas sperma dalam hal ini
viabilitas sperma (Hestianah dkk, 2004)
2.5. Kerangka Teori

27

Eksrak akar Eryngium foetidum L

Hipotalamus

GnRH
Stigmasterol
hipofisis

LH

Faktor ekstrinsik
Suhu
Merokok
Hidup sehat
dan
obat bius
2.6.Alkohol
Kerangka
Konsep
Keasaman (pH)

FSHH

Testosteron

Ekstrak akar Eryngium foetidum L

Viabilitas sperma

2.7. Hipotesis
Spermatogenesis
Ekstrak akar Eryngium foetidum L berpengaruh
terhadap viabilitas
sperma tikus jantan Spargue dawley.
Faktor intrinsik
Substrat
Respirasi
Hormon dan Genetik
Epididimis

Viabilitas sperma

Anda mungkin juga menyukai