Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 2012 Indonesia menempati
peringkat 7 dunia untuk penyakit diabetes mellitus (DM). Dan diprediksi
pendirita DM di Indonesia pada tahun 2030 akan meningkta menjadi sekitar 20
juta jiwa, angka yang cukup tinggi. Peningkatan angka kesakitan DM ini tak lepas
dari gaya hidup masyarakat yang kurang baik, mulai dari mengonsumsi makanan
yang tidak sehat, tinggi lemak, sampai aktivitas fisik yang kurang.
Diabetes mellitus (DM) merupakan kumpulan penyakit metabolik karena
rendahnya sekresi insulin, turunya sensitivitas reseptor pada insulin, atau karena
dua-duanya. DM terbagi menjadi 2 tipe yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2. Dm
merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup. Dalam
pengelolan penyakit ini selain dokter, perawat, ahli gizi, dan tenaga kesehatan
lain, peran pasien dan keluarga sangat penting

1.2 Tujuan dan Manfaat


Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, gejala dan
tanda, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan dan pencegahan dari diabetes
mellitus.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 1


BAB II

ISI

2.1 Skenario

KESEMUTAN YANG MENJENGKELKAN

Pak Joko (58 tahun), direktur perusahaan kepala sawit mengeluh kesemutan di kedua
telapak tangan dan kaki sejak 5 bulan terakhir. Keluhan kesemutan ini dirasakan
makin lama semakin hebat terutama saat malam hari sehingga mengganggu istirahat .
Saat di kantor Pak Joko jadi sering tidak konsentrasi dan mudah tersinggung sehingga
sering marah kepada karyawannya. Pak Joko sudah mencoba berobat ke ahli
akupuntur dan pijat refleksi terkenal di kotanya namun keluhan tidak kunjung
berkurang. Aktivitas sehari-hari pergi ke kantor yang berada di lantai 3, pulang pergi
dengan mobil. Seminggu sekali pak Joko menghadiri jamuan makan malam dengan
kliennya. Pak Joko rajin main golf seminggu sekali. Minum kopi secangkir setiap
pagi dan menghisap rokok kretek 1 bungkus/minggu. 8 tahun yang lalu Pak Joko
pernah mengikuti medical check up di dapatkan hasil GDP 110 mg/dl. Pak Joko
disarankan ke dokter internist namun tidak dilakukan karena merasa tidak ada
keluhan. Atas desakan istrinya Pak Joko akhirnya datang ke praktek spesialis
penyakit dalam, pada pemeriksaan didapatkan TB 165 cm, BB 78 kg. Tes
monofilament Weinstein positif. pemeriksaan lain dalam batas normal. Dari hasil
laboratorium didapatkan GDS 347 mg/dl.

2.2 Step 1 Identifikasi Kata Sulit

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 2


1. Kesemutan : Perasan subyektif bila ditekan seperti
ditusuk-tusuk pada bagian telapak tangan atau
kaki dan terasa tebal dan panas dikarenakan
pasokan darah ke jaringan berkurang
sehingga jaringan kekurangan oksigen dan
saraf yang terjepit.

2. GDP : Gula Darah Puasa yang diukur 8 jam setelah


makan, kadar normalnya < 126 mg/dl.

3. GDS : Gula Darah Sewaktu yang diukur kapan saja


(waktu acak) kadar normalnya < 140 mg/dl.

4. Tes Monofilament Weinstein : Tes skrinning untuk mengetahui ada


tidaknya neuropati diabetes yang beresiko
komplikasi pada ekstremitas bawah.

5. Terapi Akupuntur : Metode pengobatan dengan menusukkan


jarum di titik-titik tertentu yang merupakan
titik-titik saraf yang berkaitan dengan organ
tertentu.

2.3 Step 2 Identifikasi Masalah

1. Mengapa kesemutan lebih dirasakan pada malam hari ?

2. Bagaimana hubungan keluhan dengan kondisi emosional Pak Joko?

3. Mengapa Pak Joko tidak sembuh walaupun sudah terapi akupuntur dan pijat
refleksi?

4. Bagaimana hubungan pola hidup dan keluhan yang dialami Pak Joko?

5. Apa interpretasi dari pemeriksaan Pak Joko :

a. tinggi badan, berat badan

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 3


b. GDS, GDP 8 tahun lalu

c. tes Mikrofilament Weinstein

6. Bagaimana prinsip kerja tes Mikrofilament Weinstein?

7. Apa diagnosis dari penyakit Pak Joko?

8. Bagaimana penatalaksanaannya?

9. Bagaimana pencegahannya?

2.4 Step 3 Brain Storming

1. Kesemutan yang terjadi lebih meningkat pada malam hari karena pada malam
hari terjadi peningkatan aktivitas parasimpatis. Peningkatan aktivitas
parasimpatis ini akan memicu kerja sistem gastrointestinal sehingga oksigen
akan lebih banyak dialirkan ke organ-organ pencernaan dan otak daripada ke
organ lainnya dan jaringan perifer. Selain itu kerja jantung yang lebih santai
akan menurunkun perfusi jaringan perifer, hal ini akan menyebabkan jaringan
perifer kekurangan suplai oksigen dari darah sehingga kesemutan lebih terasa
pada malam hari. Selain itu, kesemutan yang dialami Pak Joko sudah sekitar 5
bulan, kesemutan yang cukup lama ini bisa juga dipicu karena obstruksi
pembuluh darah, obstruksi inilah yang juga memicu penurunan aliran darah ke
perifer. Obstruksi pembuluh darah ini bisa dikarenakan hiperglikemia yang
meningkatkan ROS dan selanjutnya merusak endotel.

2. Kenaikan emosi yang dialami Pak Joko merupakan bentuk subyektif dari Pak
Joko terhadap sakit yang dirasakannya, mungkin saja Pak Joko menjadi lebih
mudah marah karena gejala-gejala yang dirasakannya. Selain itu, perfusi
jaringan perifer yang kurang akan mempengaruhi penyebaran glukosa ke
jaringan-jaringan dan organ lain termasuk otak, akibatnya sistem saraf pusat
akan terganggu kerjanya dan memicu peningkatan emosi Pak joko. Suplai
glukosa yang kurang ini juga mengakibatkan Pak Joko kurang konsentrasi.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 4


Selain itu kebiasaan Pak Joko yang suka merokok merupakan faktor resiko
terjadinya hipertensi yang memicu peningkatan emosi.

3. Karena pengobatan akupuntur dan refleksi kemungkinan hanya mengobati


gejala nya saja yang berupa kesemutan, belum menobati penyebab utama dari
keluhan Pak Joko yakni kurangnya aliran darah ke perifer karena pembuluh
darah.

4. Merokok dan kopi merupakan faktor resiko terjadinya hipertensi. Bila kopinya
manis, bisa memicu peningkatan kadar glukosa darah. Selain itu, aktivitas
jasmani Pak Joko yang kurang bisa menyebabkan obesitas karena kalori yang
dikeluarkan hanya sedikit. Dan kebiasaan jamuan makan malam tiap minggu
amenjadi faktor resiko peningkatan gula darah Pak Joko.

5. a. Tinggi badan 165 cm = 1,65 m; berat badan 78 kg

Indeks Masa Tubuh = BB/(TB)2= 78/(1,65)2= 28,8

Interpretasi dari IMT

< 18,5 = BB kurang


18,5 22,9 = BB normal
23 = BB lebih
23 24,9 = BB dengan resiko
25 29,9 = Obesitas I
30 = Obesitas II
Jadi, interpretasi IMT Pak Joko = Obesitas I

b. GDP 8 tahun lalu = 110 mg/dl normal

GSD = 347 mg/dl hiperglikemia

c. Tes Mikrofilament Weinstein (+) = ada neuropati diabetes

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 5


6. Prinsip kerja Tes Mikrofilament Weinstein (PR dibahas lebih lanjut pada DKK
2)

7. Penegakkan diagnosis :

a. Anamnesis : keluhan utama, pola hidup, anamnesis sistem tubuh, riwayat


penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga.

b. Pemeriksaan fisik : vital sign, respirasi, kardiovaskular.

c. Pemeriksaan laboratorium : GDS, GDP

Diagnosis skenario : Diabetes Mellitus

8. Penatalaksanaan :

a. Sulfonil urea + insulin

b. Metformin + insulin

c. Glinid untuk merangsang sekresi insulin

d. Tiazolinidindion

e. Penghambat glukosidase untuk menghambta absorbsi glukosa

f. Terapi gizi medis : karbohidrat 60%-70%, protein 15%-20%, dan lemak


20%

9. Pencegahan :

a. Primer : mengatur pola hidup

b. Sekunder : menyaring orang-orang yang beresiko

c. Tersier : mencegah komplikasi

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 6


2.5 Peta Konsep

Kesemutan

GDS meningkat
Obesitas
Tes
Monofilament
Weistein (+)
DM dengan penyulit

Diagnosis DM

DM tanpa penyulit

Penatalaksanaan Pencegahan

Primer Sekunder Tersier

2.6. Step V : Learning Objective

Mahasiswa mampu menjelaskan tentang penyakit Diabetes Melitus, yang


meliputi, antara lain:
1. Definisi
2. Etiologi
3. Epidemiologi
4. Patogenesis
5. Manifestasi klinis

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 7


6. Diagnosis
7. Penatalaksanaan
8. Pencegahan
9. Komplikasi

2.1 Step VI: Belajar Mandiri


Pada masa belajar mandiri ini, mahasiswa mencari informasi sehubungan
dengan sarana pembelajaran yang sudah dirumuskan pada step V diatas dari
perpustakaan, internet, kuliah, konsultasi pakar, dan lain sebagainya.

2.2 Step VII: Sintesis

DIABETES MELITUS

DEFINISI

Menurut american diabetes association ( ADA ) tahun 2010. Diabetes millitus


merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin , kerja insulin atau kedua-duanya.
(PERKENI, 2011 : 4)

Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolis yang secara genetis dan


klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat.
Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes mellitus ditandai dengan
hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerosis, penyakit vascular
mikroangiopati, dan neuropati. (Price & Wilson, 2005)

ETIOLOGI

Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari


waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktumunculnya (time
of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile diabetes,

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 8


sedangkan yang baru muncul setelah seseorangberumur di atas 45 tahun disebut
sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi,
sebab banyak sekali kasus-kasusdiabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang
menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.

Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan


rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan istilah-
istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt
Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes Association (BDA)
mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes,
Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan Clinical Diabetes. WHO pun telah
beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.

Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian


diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics, Adult Diabetics dan
Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes
melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group pada tahun 1979
yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin- Dependent Diabetes
Mellitus" (IDDM) disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2.

Pada tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi
menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetapmempertahankan istilah
"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent
Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO
selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul. Disamping dua tipe utama diabetes
melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO jugamenyebutkan 3
kelompok diabetes lain yaituDiabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau
Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational
Diabetes Melitus (GDM).

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 9


Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe
diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related
Diabetes Mellitus (MRDM. Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan
membingungkan sebab banyak kasusNIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat
kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi
penyakitnya. Klasifikasi Diabetes Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada
tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya (ADA, 2003)

1. Diabetes Mellitus Tipe 1: Destruksi sel umumnya menjurus ke arah


defisiensi insulin absolut
a) Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
b) Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2: Bervariasi, mulai yang predominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan
sekresi insulin bersama resistensi insulin
3. Diabetes Mellitus Tipe Lain
a) Defek genetik fungsi sel :
kromosom 12, HNF-1 (dahulu disebut MODY 3),
kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2)
kromosom 20, HNF-4 (dahulu disebut MODY 1)
DNA mitokondria
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrin pankreas:
Pankreatitis
Trauma/Pankreatektomi
Neoplasma

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 10


Cistic Fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus
d) Endokrinopati:
Akromegali
Sindroma Cushing
Feokromositoma
Hipertiroidisme
e) Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam
nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
f) Diabetes karena infeksi
g) Diabetes Imunologi (jarang)
Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner,
Huntington, Chorea, Prader Willi
4. Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,
umumnya bersifat
sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa Puasa
Terganggu)
IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu
EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Indonesia kini


menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes melitus di dunia.
Pada 2006, jumlah penyandang diabetes (diabetasi) di Indonesia mencapai 14 juta
orang. Dari jumlah itu, baru 50% penderita yang sadar mengidap, dan sekitar 30% di
antaranya melakukan pengobatan secara teratur. Menurut beberapa penelitian

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 11


epidemiologi, prevalensi diabetes di Indonesia berkisar 1,5 sampai 2,3, kecuali di
Manado yang cenderung lebih tinggi, yaitu 6,1 %.

Penyakit diabetes di Indonesia adalah DM tipe 2, merupakan jenis penyakit


diabetes yang mencakup lebih dari 90% seluruh populasi diabetes. Data WHO
mengungkapkan, beban global diabetes melitus pada tahun 2000 adalah 135 juta, di
mana beban ini diperkirakan akan meningkat terus menjadi 366 juta orang setelah 25
tahun (tahun 2025). Pada 2025, Asia diperkirakan mempunyai populasi diabetes
terbesar di dunia, yaitu 82 juta orang dan jumlah ini akan meningkat menjadi 366 juta
orang setelah 25 tahun.

Hasil penelitian epidemiologi di Jakarta beberapa waktu lalu membuktikan


adanya peningkatan prevalensi diabetes melitus dari 1,7 % pada 1982 menjadi 5,7%
tahun 1993, yang disusul pada 2001 di Depok (sub-urban Jakarta) menjadi 14,7%.
Peningkatan prevalensi diabetes melitus juga terjadi di Makassar yang meningkat dari
1,5 % pada 1981 menjadi 2,9 % tahun 1998 dan 12,5 pada 2005. Pada 2005, daerah
semi-urban seperti Sumatera Barat melaporkan prevalensi diabetes mellitus sebesar
5,1% dan Pekajangan (Jawa Tengah) 9,2%. Bali telah meneliti prevalensi beberapa
daerah rural dengan hasil antara 3,9-7,2% pada 2004 dan Singaparna tahun 1995
tercatat 1,1%.

WHO memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus tipe 2 akan


meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Indonesia
berada di urutan ke-4 terbanyak kasus diabetes di dunia. Beberapa waktu lalu,
International Diabetes Federation (IDF) menyatakan, tahun 2003 terdapat 194 juta
orang terkena diabetes. Pada 2030 akan terdapat lebih dari 82 juta orang berumur di
atas 64 tahun dengan diabetes di negara sedang berkembang, di negara maju hanya 48
juta orang, dan secara global diperkirakan 333 juta orang menderita diabetes.

Seiring dengan pola pertambahan penduduk, pada 2005 di Indonesia ada 171
juta penduduk berusia di atas 15 tahun dan dengan asumsi prevalensi diabetes melitus
maka terdapat kira- kira 24 juta penyandang diabetes. Tendensi kenaikan kekerapan

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 12


diabetes secara global, terutama dipicu oleh peningkatan kesejahteraan suatu
populasi, sehingga sangat dimungkinkan dalam kurun waktu satu-dua dekade silam,
kekerapan diabetes melitus di Indonesia telah meningkat signifikan.

PATOGENESIS

Diabetes Melitus Tipe I

Pada saat diabetes mellitus tergantung insulin muncul, sebagian sel beta
pancreas sudah rusak. Proses perusakan ini hampir pasti karena proses autoimun,
meski rinciannya masih samar. Pertama, harus ada kerentanan genetik terhadap
penyakit ini. Kedua, keadaan lingkungan biasanya memulai proses ini pada individu
dengan kerentanan genetik. Infeksi virus diyakini merupakan satu mekanisme pemicu
tetapi agen non infeksius juga dapat terlibat. Ketiga, dalam rangkaian respon
peradangan pankreas, disebut insulitis. Sel yang mengifiltrasi sel beta adalah monosit
atau makrofag dan limfosit T teraktivasi. Keempat, adalah perubahan atau
transformasi sel beta sehingga tidak dikenali sebagai sel sendiri, tetapi dilihat oleh
sistem imun sebagai sel. Kelima, perkembangan respon imun karena dianggap sel
asing terbentuk antibodi sitotoksik dan bekerja bersama-sama dengan mekanisme
imun seluler. Hasil akhirnya adalah perusakan sel beta dan penampakan diabetes.

Selain itu, terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-


sel pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari
makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah dan
menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa
dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang
tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria).
Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan,
keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam
berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsi).

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 13


Diabetes Melitus tipe 2

Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:


resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam
sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel,
dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan.

Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan
oleh sel beta kelenjar pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel
beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan
tubuh untuk keperluan regulasi glukosa darah. Resistensi insulin berarti
ketidaksanggupan insulin memberi efek biologik yang normal pada kadar gula darah
tertentu. Dikatakan resisten insulin bila dibutuhkan kadar insulin yang lebih banyak
untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal. Sekresi insulin oleh sel beta
tergantung oleh 3 faktor utama yaitu, kadar glukosa darah, ATP-sensitive K channels
dan Voltage-sensitive Calcium Channels sel beta pankreas.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 14


Mekanisme kerja ketiga faktor ini sebagai berikut : Pada keadaan puasa saat
kadar glukosa darah turun, ATP sensitive K channels di membran sel beta akan
terbuka sehingga ion kalium akan meninggalkan sel beta (K-efflux),dengan demikian
mempertahankan potensial membran dalam keadaan hiperpolar sehingga Ca-channels
tertutup, akibatnya kalsium tidak dapat masuk ke dalam sel beta sehingga
perangsangan sel beta untuk mensekresi insulin menurun. Sebaliknya pada keadaan
setelah makan, kadar glukosa darah yang meningkat akan ditangkap oleh sel beta
melalui glucose transporter 2 (GLUT2) dan dibawa ke dalam sel. Di dalam sel,
glukosa akan mengalami fosforilase menjadi glukosa-6 fosfat (G6P) dengan bantuan
enzim penting, yaitu glukokinase. Glukosa 6 fosfat kemudian akan mengalami
glikolisis dan akhirnya akan menjadi asam piruvat. Dalam proses glikolisis ini akan
dihasilkan 6-8 ATP. Penambahan ATP akan meningkatkan rasio ATP/ADP dan ini
akan menutup terowongan kalium. Dengan demikian kalium akan tertumpuk dalam
sel dan terjadilah depolarisasi membran sel, sehingga membuka terowongan kalsium
dan kalsium akan masuk ke dalam sel. Dengan meningkatnya kalsium intrasel, akan
terjadi translokasi granul insulin ke membran dan insulin akan dilepaskan ke dalam
darah. Mengingat GLUT2 mempunyai sifat mengangkut glukosa ke dalam sel tanpa
batas, agaknya enzim glukokinase bekerja sebagai "pembatas" agar proses fosforilasi
berjalan seimbang sesuai kebutuhan, dengan demikian peristiwa depolarisasi dapat
diatur dan pelepasan insulin dari sel beta ke dalam darah disesuaikan dengan
kebutuhan. Oleh karena itu enzim glukokinase disebut sebagai glucose sensor karena
bertindak sebagai sensor terhadap glukosa.

Sekresi insulin pada orang non diabetes meliputi 2 fase yaitu fase dini (fase 1)
atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan. Insulin yang
disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) dan
fase lanjut (fase 2) adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa.
Pada fase 1, pemberian glukosa akan meningkatkan sekresi insulin untuk mencegah
kenaikan kadar glukosa darah, dan kenaikan glukosa darah selanjutnya akan
merangsang fase 2 untuk meningkatkan produksi insulin. Makin tinggi kadar glukosa

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 15


darah sesudah makan makin banyak pula insulin yang dibutuhkan, akan tetapi
kemampuan ini hanya terbatas pada kadar glukosa darah dalam batas normal. Pada
DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga
merangsang fase 2 untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak
mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan
sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam
darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar
glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk
menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai
dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan
fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta.

Apabila ada gangguan pada mekanisme kerja insulin, menimbulkan hambatan


dalam utilisasi glukosa serta peningkatan kadar glukosa darah.

GEJALA KLINIS
Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
(PERKENI 2011 : 6)

DIAGNOSA
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi glukosa darah.
Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil
dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di
laboratorium klinik yang terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali
mutu secara teratur).

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 16


Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuang untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada
semua individu dewasa dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) 25 kg/m2 dengan faktor
risiko sebagai berikut :

1. Aktivitas fisik kurang


2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pacific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat 4000 gram atau
riwayat Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti
hipertensi)
6. Kolestrol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8. Riwayat torenasi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (misalnya, obesitas)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular

Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu
atau TTGO. Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya
negatif, pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka
yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
setiap 3 tahun atau lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.

Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk


umumnya (mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal,
rencana tindak lanjut bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 17


mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring untuk DM dalam rangkaian
pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaaan konsesntrasi glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti
dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.

PERKENI membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan


ada tidaknya gejala khas DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsi,
polifagia dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak
khas DM diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur,
disfungsi ereksi (pria) dan pruritus vulva (wanita). Apabila ditemukan gejala khas
DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM, maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat
ditegakkan melalui kriteria diagnosis DM.

Kriteria diagnosis DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L).


Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
tanpa memperhatikan waktu makan terakhir Atau

2. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara
dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 18


Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu ( TGT ) atau glukosa darah puasa
terganggu ( GDPT ).
TGT. Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L)
GDPT. Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100-125 mg/d L ( 5,6-6,9 mmol/L) dan pemeriksaan
TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/d L

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 19


Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum
pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang
dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan
diminum dalam waktu 5 menit
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3


yaitu:
< 140 mg/dL : normal
140 140 mg/dL : toleransi glukosa terganggu
200 mg/dL : diabetes
(W.Sudoyo, hal:1881)

PENGOBATAN

Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan morbiditas dan


mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu:
Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes.

Terapi Tanpa Obat

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 20


A. Edukasi
Dalam menjalankan tugasnya, tenaga kesehatan memerlukan landasan empati,
yaitu kemampuan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Prinsip
yang perlu diperhatikan pada proses edukasi diabetes adalah:
Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya
kecemasan
Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang
sederhana
Lakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan
simulasi
Diskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan
pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program
pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil
pemeriksaan laboratorium
Lakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima
Berikan motivasi dengan memberikan penghargaan
Libatkan keluarga/pendamping dalam proses edukasi
Perhatikan kondisi jasmani dan psikologis serta tingkat pendidikan pasien
dan keluarganya
Gunakan alat bantu audio visual

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai
bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari
pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat
awal dan materi edukasi tingkat lanjutan. Edukasi yang diberikan kepada pasien
meliputi pemahaman tentang :

Materi edukasi pada tingkat awal adalah:


Materi tentang perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 21


Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan\
Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat hipoglikemik oral
atau insulin serta obat-obatan lain
Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia
Pentingnya latihan jasmani yang teratur
Masalah khusus yang dihadapi (contoh: hiperglikemia pada kehamilan)
Pentingnya perawatan kaki
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Materi edukasi pada tingkat lanjut adalah :


Mengenal dan mencegah penyulit akut DM
Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM
Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain
Makan di luar rumah
Rencana untuk kegiatan khusus
Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir tentang
DM
Pemeliharaan/perawatan kaki
(PERKENI, 2011: 37-39)
B. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet
yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal
karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:
Karbohidrat : 60-70%
Protein : 10-15%
Lemak : 20-25%

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 22


Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut
dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat
mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel terhadap stimulus
glukosa. Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan
dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu parameter
status DM), dansetiap kilogram penurunan berat badan dihubungkan dengan 3-4
bulan tambahan waktu harapan hidup. (DEPKES RI, 2005)

Selain jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.
Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.
Sumber lemak diupayakan yang berasal dari bahan nabati, yangvmengandung lebih
banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemakjenuh. Sebagai sumber
protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan tempe,
karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat penting bagi penderita
diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari. Disamping akan menolong
menghambat penyerapan lemak, makanan berserat yang tidak dapat dicerna oleh
tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM
tanpa risiko masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat
seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral.
(DEPKES RI, 2005)
Berikut merupakan rekomendasi pemberian karbohidtrat (Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009) :
1. Kandungan total kalori pada makanan yang mengandung karbohidrat, lebih
ditentukan oleh jumlahnya dibandingkan dengan jenis karbohidrat itu sendiri.
2. Dari total kebutuhan kalori per hari, 60-70% diantaranya berasa dari sumber
karbohidrat.
3. Jika ditambah MUFA (monounsaturated fatty acid) sebagai sumber energi,
maka jumlah karbohidrat maksimal 70% dari total kebutuhan kalori per hari.
4. Jumlah serat 35-50 gram per hari.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 23


5. Jumlah sukrosa sebagai sumber energi tidak perlu dibatasi, namun jangan
sampai lebih dari total kalori per hari.
6. Sebagai pemanis dapat digunakan pemanis non kalori seperti sakarin,
aspartame, acesulfam dan sukralosa.
7. Penggunaan alkohol harus dibatasi tidak boleh lebih dari 10 gram/ hari
8. Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gram/ hari.
9. Makanan yang banyak mengandung sukrosa tidak perlu dibatasi.

Rekomendasi pemberian protein (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam


Indonesia, 2009) :
1. Kebutuhan protein 15-20% dari total kebutuhan energi per hari.
2. Pada keadaan kadar glukosa darah yang terkontrol, asupan protein tidak akan
mempengaruhi konsentrasi glukosa darah.
3. Pada keadaan kadar glukosa darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar
0,8-1,0 mg/kg berat badan/hari.
4. Pada gangguan fungsi ginjal, jumlah asupan protein diturunkan sampai 0,85
gram/kg berat badan/hari dan tidak kurang dari 40 gram.
5. Juka terdapat komplikasi kardiovaskular, maka sumber protein nabati lebih
dianjurkan dari protein hewani.

Rekomendasi pemberian lemak (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam


Indonesia, 2009) :
1. Batasi konsumsi makanan yang mengandung lemak jenuh, jumlah maksimal
10% dari total kebutuhan kalori per hari.
2. Jika kadar kolestrol LDL 100 mg/dl, asupan asam lemak jenuh diturunkan
sampai maksimal 7% dari total kalori per hari.
3. Konsumsi kolestrol maksimal 300 mg/hari, jika kadar kolestrol LDL 100
mg/dl, maka maksimal kolestrol yang dapat dikonsumsi 200 mg/hari.
4. Konsumsi ikan seminggu 2-3 kali untuk mencukupi kebutuhan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 24


5. Asupan asam lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal 10% dari asupan
kalori per hari.

Perhitungan Jumlah Kalori


Penentuan status gizi berdasarkan IMT (indeks massa tubuh)
IMT dihitung berdasarkan pembagian berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan
tinggi badan (dalam meter) kuadrat.
Contoh kasus pada skenario :
Tinggi badan 165 cm = 1,65 m; berat badan 78 kg

Indeks Masa Tubuh = BB/(TB)2= 78/(1,65)2= 28,8

Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT :


- Berat badan kurang <18,5%
- BB normal 18,5-22,9
- BB lebih 23,0
Dengan resiko 23- 24,9
Obes I 25 29,9
Obes II 30
Kesimpulan : Pak Joko mengalami obesitas tingkat I

Penentuan status gizi berdasarkan Rumus Brocca


Pertama-tama dilakukan perhitungan berat badan idaman berdasarkan rumus :
Berat badan idaman (BBI kg) = (TB cm -100) kg 10%
Pengecualian pada laki-laki < 160 cm, wanita < 150 cm, perhitungan BB idaman
tidak dikurangi 10%.
Penentuan status gizi dihitung dari :
BB aktual x 100 %
BB idaman
- Berat badan kurang : BB < 90% BBI
- Berat badan normal : BB 90-110% BBI

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 25


- Berat badan lebih : BB 110-120% BBI
- Gemuk : BB > 120% BBI
Penentuan kebutuhan kalori per hari :
1. Kebutuhan basal :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori
Perempuan : BB idaman (kg) x 25 kalori
2. Koreksi atau penyesuaian :
Umur diatas 40 tahun : -5%
Aktivitas ringan : +10%
Aktivitas sedang : +20%
Aktivitas berat : +30%
Berat badan gemuk : -20%
Berat badan lebih : -10%
Berat badan kurus : +20%
3. Stres metabolik (operasi, infeksi) : +10-30%
4. Kehamilan trimester I dan II : +300 kalori
5. Kehamilan trimester III dan menyusui : +500 kalori

Contoh perhitungan kebutuhan kalori pada skenario


Pak Joko (58 tahun), direktur perusahaan kepala sawit, TB 165 cm, BB 78 kg
- Berat badan ideal = (TB cm- 100) kg - 10%
= (160 cm-100) kg 10%
= 65 kg 6,5 kg = 58,5 kg
- Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100%
= (78 kg : 58,5 kg) x 100%
= 133% (termasuk gemuk)
Jumlah kebutuhan kalori per hari :
- Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30 kalori
= 58,5 x 30 kalori = 1755 kalori
- Kebutuhan untuk aktivitas ditambah 20% = 20% x 1755 = 351 kalori

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 26


- Koreksi karena gemuk dikurangi 20% = 20% x 1755 = 351 kalori

Jadi total kebutuhan kalori per hari untuk penderita 1755 kalori + 351 kalori + 351
kalori = 1755 kalori. Untuk mempermudah perhitungan dalam konsultasi gizi
digenapkan menjadi 1700 kalori.
Distribusi makanan =
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1700 kalori = 1020 kalori dari karbohidraat yang
setara dengan 255 gram karbohidrat (1020 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 1700 kalori = 340 kalori dari protein yang setara dengan
85 gram protein (340 kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20%= 20% x 1700 kalori = 340 kalori dari protein yang setara dengan
37,7 gram protein (340 kalori : 9 kalori/gram protein).

C. Olah raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula darah tetap
normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk
mengatur jenis dan porsi olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya,
tidak perlu olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat
bagus pengaruhnya bagi kesehatan.Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat
CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah raga
yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain
sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40 menit per
hari. Olah raga akan memperbanyak jumlah danmeningkatkan aktivitas reseptor
insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa. (DEPKES RI,
2005)

Untuk melakukan latihan jasmani, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut


(Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2009:

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 27


(1) Pemanasan (warm-up)
Bagian kegiatan ini dilakukan sebelum memasuki latihan yang sebenarnya,
dengan tujuan untuk mempersiapkan latihan yang sebenarnya dengan tujuan
untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh seperti menaikkan suhu tubuh,
meningkatkan denyut nadi hingga mendekati intensitas latihan. Pemanasan
cukup dilakukan selama 5-10 menit.
(2) Latihan inti (conditioning)
Pada tahap ini, diusahakan denyut nadi mencapai THR (Target Heart Rate),
agar mendapatkan manfaat latihan. Bila THR tak tercapai, maka diabetisi tak
akan mendapat manfaat latihan. Sedangkan bila lebih dari THR, mungkin
malah bisa mendapatkan risiko yang tak diinginkan.
(3) Pendinginan (cooling-down)
Setelah selesai melakukan latihan jasmani, sebaikanya dilakukan pendinginan.
Tahap ini dilakukan untuk mencegah penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan latihan jasmani, atau
pusing akibat masih terkumpulnya darah pada otot yang aktif. Bila latihan
berupa jogging, maka pendinginan sebaiknya dilakukan dengan tetap berjalan
untuk beberapa menit. Bila bersepeda, tetap mengayuh sepeda, tetapi tanpa
beban. Pendinginan dilakukan selama kurang lebih 5-10 menit, hingga denyut
jantung mendekati denyut nadi saat istirahat.
(4) Peregangan (stretching)
Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk melemaskan dan melenturkan otot-
otot yang masih teregang dan menjadikan lebih elastis. Tahapan ini lebih
bermanfaat terutama bagi mereka yang berusial lanjut.

Terapi Obat
PEMBERIAN TABLET OHO (obat hipoglikemik oral)
Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:
A. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 28


C. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
D. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
E. DPP-IV inhibitor

A. Pemicu Sekresi Insulin


1. Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan
normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat
badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai
keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.
2. Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari
2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat
fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial.
B. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan
ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan
gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga
pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 29


*golongan rosiglitazon sudah ditarik dari peredaran karena efek sampingnya.

C. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin
dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat
diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa
pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan
dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.
D. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbosetidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens.
E. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus
bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan
perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi
glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl
peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk
meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM
tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 30


menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan
hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).

Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja
DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif
dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:


- OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai
respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal
- Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan
- Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan
- Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
- Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasionalyang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 31


Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat


jenis, yakni:
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Macam-macam insulin :
1. Insulin Konvensional, mengandung komponen a, b,dan c, misalnya: IR =
Insulin Reguler, NPH, PZI dan ada juga campuran IR : PZI = 30:70. Bentuk
ini lebih imunogenik dan alergik, sebetulnya yang mempunyai efek biologis
adalah komponen c saja.
2. Insulin Monokomponen = Insulin MC (Insulin Mono-Component = Highly
Purified Insulin) = hanya mengandung komponen c (insulin murni), misalnya
: Actrapid (short acting, identik dengan Insulin Reguler). Ada juga Insulatard
(identik dengan NPH) dan Mixtard (campuran short dan long acting insulin
dengan perbandingan 30:70).
3. Insulin Manusia = Human Insulin. Insulin ini kebanyakan dibuat dari E.Coli.
Insulin ini disebut juga dengan BHI dan mempunyai susunan kimiawi sama
dengan insulin manusia. Dikatakan, Insulin Manusia mempunyai efek alergik
dan imunologis yang minimal dibandingkan dengan kedua insulin tersebut
diatas.
4. Insulin Analogues, ada 2 macam :
a. Rapid-Acting Insulin Analogues: Lis Pro, Glulisin, Aspar
b. Long-Acting Peakless Insulin Analogues: Insulin Glargine, Insulin
Detemir

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 32


Efek samping terapi insulin
- Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.
- Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Cara pemberian insulin :


Regulasi Cepat dengan Insulin
Dapat dibagi menjadi :
1. Regulasi-cepat intravena (RCI)
a. Jangan memberi cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar
glukosa masih diatas 250mg/dl. Pasanglah infus Ringer Laktat atau NaCl
0,9% dngan kecepatan 15-20 tt/menit bila bukan ketoasidosis (KAD);
apabila KAD, maka tetesan harus cepat.
b. Berikan Insulin Reguler intravena 4 unit tiap jam sampai kadar glukosa
darah sekitar 200 mg/dl atau reduksi urine positif lemah.
c. Cara RCI : dengan dosis insulin reguler 4 unit/jam intravena, dapat
menurunkan glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya.
Contoh kasus pada skenario :
Glukosa darah Pak Joko 347 mg/dl
Pemberian insulin reguler intravena 4 unit/jam sampai 2 kali dengan
Rumus Minus-Satu, maka akan memperoleh glukosa darah sekitar 200
mg/dl. Angka 2 kali diperoleh dari : 3 (angka paling depan dari nilai
glukosa darah Pak Joko) dikurangi 1.
d. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai, maka Insulin Reguler dapat
diteruskan secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3x6 U
(Rumus Kali-Dua). Angka 6 diperoleh dari : 3 (angka paling depan dari
nilai glukosa darah Pak Joko) dikali 2.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 33


e. Glukosa 347 mg/dl juga dapat mengikuti Rumus 1,2,3,4,5 untuk
Regulasinya, dan dapat menggunakan Rumus 4,6,8,10,12 untuk
maintenance subkutannya.
2. Regulasi-cepat subkutan (RCS)
Apakah cara RCI atau RCS yang dipilih, sesuaikanlah dengan situasi, kondisi
dan fasilitas setempat. Tergantung kadar glukosa acak awal yang diperoleh,
maka berikan insulin subkutan dengna dosis awal ekstra, kemudia maintenace
insulin 3x sehari dengan pedoman dosis.

Terapi Kombinasi OHO dan Insulin


Berikut petunjuk praktis pelaksanaa TKOI agar memperoleh hasil yang optimal
dengan cara :
1. Pelaksanaa diet harus benar (sesuai 3J : Jumlah, Jadwal dan Jenis makanan
yang diberikan sesuai daftar diet DM)
2. Dosis OAD harus maksimal
3. Insulin :
a. Dosis insulin harus dimulai dari bawah (biasanya 8 unit/hari dan dinaikan
pelan-pelan apabila belum tercapai regulasi yang baik
b. Tiap kenaikan dosis insulin maksimal 2 unit/hari
c. Insulin dan OHO bisa diberikan bersamaan setengah jam sebelum makan
pagi (Metode A)
d. Insulin bisa diberikan setengah jam sebelum makan pagi dan OHO
diberikan setengah jam sebelum makan malam (Metode B)
e. Insulin bisa diberikan setengah jam sebelum makan malam dan OHO
diberikan setengah jam sebelum makan pagi (Metode C)

Obat anti diabetik (OAD) berserta dosisnya (Ikatan Apoteker Indonesia, 2012) :
1. Anti Diabetik Oral
Pioglitazon 15 mg, 30 mg dengan dosis 15 atau 30 mg sehari 1x
sebelum & sesudah makan

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 34


Metformin 500 mg dengan dosis 2-3 x 500 mg sebelum & sesudah
makan
Glimepirid 1 mg, 2 mg dengan dosis 1 x 1 mg
Glibenklamid 5 mg dengan dosis tab bersama makan
Klorpropamid 100 mg dengan dosis 1 x 100 mg
Gliklazid 80 mg dengan dosis tab x 1
2. Anti Diabetik Parenteral
Insulin HM 0,5 UI/kg/bb
Insulin Glulisin 100 UI/kg/bb
Insulin Aspart 30% 0,5-1 UI/kg/bb
Human Insuin 0,5-1 UI/kg/bb

PENCEGAHAN

Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis
atau tahap, yaitu:

Pencegahan primer :semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya


hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk jadi diabetes atau pada populasi
umum.

Pencegahan sekunder : menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan


tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian pasien
diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian
dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada
komplikasi masih reversible.

Pencegahan tersier : semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat
komplikasi itu. Usaha ini meliputi :

Mencegah timbulnya komplikasi

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 35


Mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan
organ
Mencegah kecacatan tubuh.

Dalam hal ini Indonesia cukup beruntung karena sejak tahun 1993 PERKENI
telah menyusun dan memberlakukan consensus pengelolaan diabetes di Indonesia
yang ditandatangani oleh seluruh ahli di bidang diabetes. Di dalam buku consensus
itu sudah dicanangkan bahwa pencegahan adalah upaya yang harus dilaksanakan
sejak dini. Mengenai pencegahan ini ada sedikit perbedaan mengenai definisi
pencegahan yang tidak terlalu mengganggu. Dalam consensus yang mengacu kepada
WHO 1985, pencegahan ada 3 jenis yaitu pencegahan primer berarti mencegah
timbulnya hiperglikemia, pencegahan sekunder mencegah komplikasi sedangkan
pencegahan tersier mencegah kecacatan akibat komplikasi. Menurut laporan WHO
1994 pada pencegahan sekunder termasuk deteksi dini diabetes dengan skrinin,
sedangkan mencegah komplikasi dimasukkan ke dalam pencegahan tersier.

Strategi pencegahan

Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan dini diperlukan suatu strategi


yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Seperti juga pada
pencegahan penyakit menular, ada 2 macam strategi untuk dijalankan, antara lain :

Pendekatan populasi atau masyarakat

Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat umum.


Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar menjalankan cara hidup sehat dan
menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini ditujukan tidak hanya untuk mencegah
diabetes tetapi juga untuk mencegah penyakit lain sekaligus. Upaya ini sangat berat
karena target populasinya sangat luas, oleh karena itu harus dilakukan tidak saja oleh
profesi tetapi harus oleh segala lapisan masyarkat termasuk pemerintah dan swasta.

Pendekatan individu berisiko tinggi

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 36


Semua upaya pencegahan yang dilakukan pada individu ysng berisiko untuk
menderita diabetes pada suatu saat kelak.

Pencegahan primer

Cara yang paling sulit karena yang menjadi sasaran adalah orang yang belum
sakit artinya mereka masih sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang
bertangguang jawab bukan hanya profesi tetapi seluruh masyarakat termasuk
pemerintah. Semua pihak harus mempropagandakanpola hidup sehat dan
menghindari pola hidup berisiko. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah
penyakit jauh lebih baik daripada mengobatinya. Motto memasyarakatkan olahraga
atau mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer.

Pencegahan sekunder

Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika lebih mudah karena


populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah diketahui dan sudah
berobat, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tidak gampang memotivasi pasien
untuk berobat teratur dan menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak bisa sembuh.
Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar glukosa darah harus selalu
terkendali mendekati angka normal sepanjang hari sepanjang tahun. Tekanan darah
dan kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak terjadi resistensi insulin, dalam
upaya pengendalian kadar glukosa darah da lipid itu harus diutamakan cara
nonfarmakologis dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olahraga, tidak
merokok, dll. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun insulin.
Penyuluhan tentang perilaku sehat ditambah dengan peningkatan pelayanan
kesehatanprimer di pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A sampai
ke unit paling depan,yaitu puskesmas. Diperlukan juga penyuluhan mengenai
penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.

Pencegahan tersier

Terdiri dari 3 tahap :

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 37


Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada consensus dimasukkan sebagai
pencegahan sekunder
Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada
penyakit organ
Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalanorgan atau
jaringan

KOMPLIKASI

Penyulit Akut

1. Ketoasidosis diabetik (KAD)

Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan


kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton(+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion gap. (PERKENI,
2011: 39)

2. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH)


Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-
1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/mL), p];lasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat. (PERKENI, 2011: 39)
Catatan:
Kedua keadaan (KAD dan SHH) tersebut mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang tinggi. Memerlukan perawatan di rumah sakit guna
mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.
3. Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah melonjak
secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan antara lain oleh stress, infeksi,
dan konsumsi obat-obatan tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria,

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 38


polidipsia, polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan kabur.
Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat dicegah tidak menjadi
parah. Hipergikemia dapat memperburuk gangguan-gangguan kesehatan
seperti gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada vagina.
Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat berkembang menjadi keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic
Ketoacidosis = DKA) dan (HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan
membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan kontrol kadar gula
darah yang ketat.

4. Hipoglikemia

Sindrom hipoglikemia ini ditandai dengan gejala klinis penderita


merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam
(pandangan menjadi gelap), keluar keringat dingin, detak jantung meningkat,
sampai hilang kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi
kerusakan otak dan akhirnya kematian.

Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita kurang dari 50


mg/dl,walaupun ada orang-orang tertentu yang sudah menunjukkan gejala
hipoglikemia pada kadar glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa
darahyang terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan
energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat rusak.Hipoglikemia lebih
sering terjadi pada penderita diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 2 kali
perminggu. Dari hasil survei yang pernah dilakukan diInggeris diperkirakan 2
4% kematian pada penderita diabetes tipe 1 disebabkan oleh serangan
hipoglikemia.

Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia lebih jarang


terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat terapi insulin.Serangan
hipoglikemia pada penderita diabetes umumnya terjadi apabila penderita:Lupa

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 39


atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam), makan terlalu
sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli gizi, berolah
raga terlalu berat,mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar
dari pada seharusnya, minum alkohol,Stress, mengkonsumsi obat-obatan lain
yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia.

Disamping penyebab di atas pada penderita DM perlu diperhatikan


apabila penderita mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya
adalah:

a. Dosis insulin yang berlebihan


b. Saat pemberian yang tidak tepat
c. Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya olahraga anaerobic
berlebihan
d. Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan kepekaan individu
terhadap insulin, misalnya gangguan fungsi adrenal atau hipofisis

Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus


selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia
akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang
diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau
lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau yang
mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang). Hipoglikemia pada usia
lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang
fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan
kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lambat dan memerlukan
pengawasan yang lebih lama.
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai.
Bagi pasien dengan kesadaran yang masih baik, diberikan makanan yang

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 40


mengandung karbohidrat atau minumanyang mengandung gula berkalori atau
glukosa 15-20 gram melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang
glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada
pasien dengan hipoglikemia berat.
Untuk penyandang diabetes yang tidak sadar, sementara dapat
diberikan glukosa 40% intravena terlebih dahulu sebagai tindakan darurat,
sebelum dapat dipastikan penyebab menurunnya kesadaran. (PERKENI,
2011: 39-40)

Penyulit Menahun

1. Makroangiopati

Pembuluh darah jantung

Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang
diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent,
meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan
kelainan yang pertama muncul.

Pembuluh darah otak. (PERKENI, 2011: 40)

2. Mikroangiopati:

Retinopati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko dan
memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak mencegah timbulnya retinopati

Nefropati diabetik

Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan mengurangi risiko
nefropati

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 41


Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8 g/kgBB) juga akan mengurangi
risiko terjadinya nefropati. (PERKENI, 2011: 40-41)

3. Neuropati

Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,


berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki
dan amputasi.

Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan
lebih terasa sakit di malam hari.

Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan


skrining untuk mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan
neurologi sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun.

Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang


memadai akan menurunkan risiko amputasi.

Untuk mengurangi rasa sakit dapat diberikan duloxetine, antidepresan


trisiklik, atau gabapentin.

Semua penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan


edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk
penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan
bidang/disiplin ilmu lain. (PERKENI, 2011: 41)

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 42


BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Diabetes Mellitus bisa dicegah dari masing masing individu baik yang belum
memiliki faktor resiko maupun bagi kelompok yang memili faktor resiko. Begitu
pentingnya menekankan pencegahan pada penyakit Diabetes Mellitus karena
penyakit ini merupakan penyakit yang bersifat progresif, dan memiliki komplikasi
yang dapat mengenai sistem penting dalam tubuh manusia. Pencegahan tidak hanya
ditekankan kepada pencegahan primer bagi kelompok orang yang belum terkena,
namun juga pencegahan sekunder dan tersier yang merupakan pencegahan kepada
para kelompok penderita agar progresifitas dari penyakit ini sendiri tidak akan
menimbulkan kecacatan serta perburukan yang berarti bagi para penderita.

Dengan pendekatan pola hidup sehat yang menekankan pada pola diet sehat dan
aktivitas jasmani tidak hanya mencegah penyakit Diabetes Mellitus itu sendiri namun
juga mencegah berbagai penyulit yang berkaitan dengan penyakit metabolik.
Ditambah lagi pengobatan Diabetes Mellitus bersifat intensif dan terus menerus
yang sangat tidak efisien baik dari segi ekonomi dan kepatuhan bagi para
penderitanya.

3.2. SARAN
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan laporan dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen
yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2012 dan dari pembaca
demi kesempurnaan laporan ini.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 43


DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Apoteker Indonesia. 2012. Informasi Spesialis Indonesia. Jakarta: PT ISFI.


(http://binfar.kemkes.go.id/v2/wp-content/uploads/2014/02/PC_DM.pdf) Diakses
Tanggal 4 Maret 2014.
Tjokroprawiro, askandar (dkk.). 2007. Diabetes Melitus dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FK UNAIR. Surabaya: Airlangga University Press.

Sudoyo, W Aru, dkk..2010.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi V.Jilid


III.Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, dkk. 2011. Konsensus Pengelolaan dan


Pencegahan Diabetes Melits Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia.

Penyakit Hormon, Endokrin dan Metabolik 44

Anda mungkin juga menyukai