Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH PMI

Berdirinya Palang Merah di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak


masa sebelum Perang Dunia Ke-II. Saat itu, tepatnya pada tanggal 21
Oktober 1873 Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Palang Merah di
Indonesia dengan nama Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai),
yang kemudian dibubarkan pada saat pendudukan Jepang.
Perjuangan untuk mendirikan Palang Merah Indonesia sendiri diawali sekitar tahun 1932. Kegiatan
tersebut dipelopori oleh Dr. RCL Senduk dan Dr Bahder Djohan. Rencana tersebut mendapat
dukungan luas terutama dari kalangan terpelajar Indonesia. Mereka berusaha keras membawa
rancangan tersebut ke dalam sidang Konferensi Nerkai pada tahun 1940 walaupun akhirnya ditolak
mentah-mentah. Terpaksa rancangan itu disimpan untuk menunggu kesempatan yang tepat. Seperti
tak kenal menyerah, saat pendudukan Jepang, mereka kembali mencoba untuk membentuk Badan
Palang Merah Nasional, namun sekali lagi upaya itu mendapat halangan dari Pemerintah Tentara
Jepang sehingga untuk kedua kalinya rancangan itu harus kembali disimpan.

Tujuh belas hari setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, yaitu pada tanggal 3
September 1945, Presiden Soekarno mengeluarkan perintah untuk membentuk suatu badan Palang
Merah Nasional. Atas perintah Presiden, maka Dr. Buntaran yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Kabinet I, pada tanggal 5 September 1945 membentuk
Panitia 5 yang terdiri dari: dr R. Mochtar (Ketua), dr. Bahder Djohan (Penulis), dan dr Djuhana; dr
Marzuki; dr. Sitanala (anggota).

Akhirnya Perhimpunan Palang Merah Indonesia berhasil dibentuk pada 17 September 1945 dan
merintis kegiatannya melalui bantuan korban perang revolusi kemerdekaan Republik Indonesia dan
pengembalian tawanan perang sekutu maupun Jepang. Oleh karena kinerja tersebut, PMI
mendapat pengakuan secara Internasional pada tahun 1950 dengan menjadi anggota Palang Merah
Internasional dan disahkan keberadaannya secara nasional melalui Keppres No.25 tahun 1959 dan
kemudian diperkuat dengan Keppres No.246 tahun 1963.

Kini jaringan kerja PMI tersebar di 30 Daerah Propinsi / Tk.I dan 323 cabang di daerah Tk.II
serta dukungan operasional 165 unit Transfusi Darah di seluruh Indonesia.

PERAN DAN TUGAS PMI


Peran PMI :
Peran PMI adalah membantu pemerintah di bidang sosial kemanusiaan, terutama tugas
kepalangmerahan sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1958 melalui UU No 59.

Tugas Pokok PMI:


+ Kesiapsiagaan bantuan dan penanggulangan bencana
+ Pelatihan pertolongan pertama untuk sukarelawan
+ Pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
+ Pelayanan transfusi darah ( sesuai dengan Peraturan Pemerintah no 18 tahun 1980)
Dalam melaksanakan tugasnya PMI berlandaskan pada 7 (tujuh) prinsip dasar Gerakan Palang
Merah dan Bulan Sabit Merah, yaitu Kemanusiaan, Kesukarelaan, Kenetralan, Kesamaan,
Kemandirian, Kesatuan dan Kesemestaan.

SEKILAS KINERJA PMI DARI MASA KE MASA

DASAWARSA I 1945 -1954


Pada masa perang kemerdekaan RI, peranan PMI yang menonjol adalah di bidang Pertolongan
pertama, Pengungsian, Dapur Umum, pencarian dan pengurusan repatriasi, bekerjasama dengan
ICRC dan Palang Merah Belanda untuk Romusha, Heiho , Tionghoa; anak-anak Indo Belanda dan
35.000 tawanan sipil Belanda dan para Hoakian yang kembali ke RRC. Sementara itu diadakan pula
pendidikan untuk para juru rawat yang akan dikirim ke pos-pos P3K di daerah pertempuran.
Saat itu sudah ada 40 cabang PMI di seluruh Indonesia dan setiap cabang memiliki dua buah Pos
P3K sebagai Tim Mobil Collone.
Rumah Sakit Umum Palang Merah di Bogor yang semula di bawah pengelolaan Nerkai, pada tahun
1948 disumbangkan kepada PMI Cabang Bogor dengan nama Rumah Sakit Kedunghalang dan sejak
tahun 1951 dikelola menjadi Rumah Sakit Umum PMI hingga sekarang.
PMI juga mulai menyelenggarakan kegiatan pelayanan sumbangan darah yang masih terbatas di
Jakarta dan beberapa kota besar seperti Semarang, Medan, Surabaya dan Makasar dengan nama
Dinas Dermawan Darah.

Dalam peristiwa pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan), PMI bekerjasama dengan ICRC
melaksanakan pelayanan kesehatan yang dipimpin oleh Dr. Bahder Djohan dan BPH Bintara berupa
Rumah Sakit terapung di Ambon. Juga diadakan penyampaian berita keluarga yang hilang/ terpisah
serta mengunjungi tawanan.

PMI mulai mengembangkan kegiatan kepemudaan dengan 7.638 anggota remaja di 29 Cabang PMI.
Bekerjasama dengan Yayasan Kesejahteraan Guru, murid dan anak-anak sepakat membentuk unit
PMR di sekolah-sekolah, penerbitan majalah PMR, korespodensi, pertukaran album, lomba,
pameran lukisan, serta penyelenggaraan sanatoria (perawatan paru-paru untuk anak-anak).

DASAWARSA II 1955 - 1964


Akibat Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara, Markas Besar
PMI mengirimkan kapal-kapal PMI ke daerah tersebut untuk menjemput orang-orang asing di sana
dan juga mengirimkan 4 tim medis ke Sumatera serta 6 tim ke Sulawesi Utara.
Setelah Presiden Soekarno mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) untuk membebaskan Irian
Barat pada tanggal 19 Desember 1961, Pengurus Besar PMI memanggil Kesatuan Sukarela seluruh
Cabang untuk siap siaga. Kemudian terbentuklah Kesatuan Nasional yang terdiri dari 11 cabang
yang telah diseleksi. Sukarelawan Palang Merah yang ditugaskan sebagai perawat berjumlah 259
orang dan 770 orang sebagai cadangan.

Pada peristiwa Aru 15 Januari 1952, yaitu tenggelamnya Kapal Perang RI Macan Tutul, sebanyak
55 orang awak kapal perang tersebut menjadi tawanan Belanda sehingga atas permintaan
Menteri/KSAL, PMI menghubungi ICRC untuk menangani tawanan tersebut. Berkat usaha Sekjen
PBB, pihak Belanda menyetujui penyerahan awak kapal di Singapura.
Pada tahun 1963 ketika Gunung Agung di Bali meletus , PMI bersama Dinkes Angkatan Darat RI
membantu penanggulangan para korban bencana tersebut.

Ketika Tim Kesatuan Nasional PMI ke Kalimantan Barat dalam rangka Dwikora (Dwi Komando
Rakyat), telah dikirimkan Tim Kesehatan Nasional untuk membantu Operasi TUMPAS di Sulawesi
Selatan.

DASA WARSA III 1965-1975


Penerbitan Surat Keputusan mengenai Peraturan menteri Kesehatan RI No.23 dan No.024
mengenai pengakuan Pemerintah RI untuk pertamakali terhadap keberadaan Usaha Transfusi
Darah (UTD) PMI.
Dalam peringatan HUT PMI ke-25 , 17 September 1970 , Pengurus Besar PMI mengeluarkan suatu
medali khusus dan penghargaan kepada perintis-perintis PMI, seperti: Drs. Moh. Hatta dan Prof.
Dr. bahder Johan dan Pengurus PMI Daerah/Cabang seluruh Indonesia.
Setahun kemudian ,1971 diresmikan berdirinya suatu DAJR (Dinas Ambulance Jalan Raya)
Jakarta - Bandung sebanyak 7 pos yang dipusatkan di RSU-PMI Bogor. Ambilans yang digunakan
adalah ambulance Falcon yang dilengkapi personil, alat-alat pertolongan pertama, dan telepon
radio.

DASAWARSA IV 1975 -1984


Kerjasama PMI-ICRC
PMI mulai berperan di Timor Timur bulan Agustus 1975 sejak mengalirnya pengungsi Timor Timur
ke perbatasan Timor Barat di Atambua. Operasi kemanusiaan di Dili dimulai bulan Desember 1975
atas permintaan PSTT (Pemerintah Sementara Timor Timur). Kemudian kelak pada bulan Oktober
tahun 1979 PMI bekerja sama dengan ICRC mulai membuka pos bantuan relief di 7 Kecamatan
terpencil di Timor Timur.
Atas permintaan Pemerintah RI, PMI didukung UNHCR membentu pengungsi Vietnam di Pulau
Galang dalam bidang kesehatan dan kesejahtraan social, antara lain dengan mendirikan RS Pulau
Galang. PMI juga mengadakan Tracing and Mail Service bekerjasama dengan ICRC.

Bencana Alam
Ketika gempa bumi melanda Bali Juli 1976 yang melanda 3 dari 5 kabupaten
PMI mengerahkan tenaga sukarela, membuka Dapur Umum dan membantu perbaikan 500 buah
rumah. Bekerjasama dengan tim medis dari Angkatan Darat, memberikan pelayanan kesehatan
makanan dan obat-obatan.
Di tahun yang sama gempa bumi melanda Kecamayan Kurima dan Okbibab di Kabupaten Jayawijaya
dengan kekuatan 6,8 Skala Richter.
PMI juga turun langsung membantu korban bencana Galunggung tahun 1982 selama beberapa bulan

Transfusi Darah
Tahun 1978 Pengurus Pusat memberikan penghargaan Pin Emas untuk pertamakalinya kepada donor
darah sukarela 75 kali.
Ketentuan tentang tugas dan peran PMI dalam pelayanan transfusi darah dikeluarkan oleh
pemerintah melali Peraturan Pemerintah No.18 th 1980

DASAWARSA V 1984 - 1994


Setelah beberapa kali pindah dari Jl.Abdul Muis ke beberapa lokasi, akhirnya kantor pusat PMI
menetap di Jl.Jendral Gatot Subroto Kav.96 yang diresmikan oleh Presiden Suharto pada tahun
1985.

Tracing and Mailing RRC- RI


Selain pelayanan Tracing and Mailing Service (TMS) untuk pengungsi di Pulau Galang, pada tahun
1987 TMS PMI mengurus kunjungan keluarga dari RRC ke Indonesia yang pertama kalinya sejak
hubungan diplomatik kedua negara itu tahun 1967 terputus.
Di Jakarta, PMI ikut membantu para korban musibah tabrakan kereta api Bintaro berupa
pertolongan P3K, Transfusi Darah, TMS, serta pemberian pakaian pantas di sejumlah RS di
Jakarta tempat korban dirawat.

Bencana alam
PMI mengerahkan 700 orang KSR/PMR dan 8 tenaga dokter untuk membantu korban banjir
bandang di Semarang Jawa Tengah dan juga ikut membantu korban Letusan Gunung Kelud Jawa
Timur tahun 1990 dengan bantuan pangan dan obat-obatan senilai Rp.8.583.400,-
Untuk turut menanggulangi bencana gempa bumi Tsunami di Flores 12 Desember 1992, PMI
membentuk Satgas KSR Serbaguna yang disebut SATGAS MERPATI I.

Perang Teluk tahun 1991


Dengan pecahnya Perang Teluk, Pemerintah Indonesia mempercayakan kepada PMI untuk
memimpin pengiriman bantuan masyarakat Indonesia dengan pesawat khusus ke Jordania, untuk
korban Perang Teluk sebanyak dua kali. Bantuan sandang, pangan, obat-obatan dan peralatan
listrik yang diberikan senilai 249 juta rupiah.

Uji Saring Darah HIV


Penyebaran virus HIV yang semakin meningkat mendorong terbitnya Keputusan Menteri
Kesehatan RI No.622/1992 tentang kewajiban pemeriksaan virus HIV pada donor darah. Sejalan
dengan itu, Depkes RI memberikan bantuan reagensia untuk pemeriksaan virus HIV kepada PMI
yang diperuntukkan bagi segenap UTDC-PMI.

Temu Karya KSR


Pada bulan Juli 1992 diadakan Temu karya dan Lomba KSR Tingkat Nasional di Lombok NTB
diikuti pula oleh peserta dari Singapura, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Jepang.
DASAWARSA VI 1994 - 2004

Bencana Alam (Gempa Bumi)


Kembali pada tahun 1994 ,Pengurus Pusat membentuk Tim SATGAS MERPATI II untuk membantu
korban bencana Gempa Bumi di Liwa-Lampung Barat dan Tsunami di Banyuwangi-Jawa Timur.
Juga pada tahun 1999, saat propinsi Bengkulu ditimpa gempa berkekuatan 7,9 skala richter, PMI
dengan dukungan fasilitas Federasi Internasional dan Palang Merah Norwegia mendirikan rumah
sakit lapangan berkapasitas 150 bed menggantikan fungsi rumah sakit setempat yang rusak di
kota itu selama 10 bulan.
Gempa lainnya berskala 6,5 richter juga menimpa Banggai di Sulawesi Tengah pada bulan Mei
2002, dan beberapa bulan kemudian pada Juli 2000 gempa terjadi juga di 24 Kecamatan di
Sukabumi dan Bogor.
Banjir
Akhir tahun 2000 banjir menimpa wilayah Aceh. Dengan bantuan ICRC di Lhoksumawe, Tim PMI
ikut turun tangan membersihkan jalan-jalan dan fasilitas sosial lainnya dan memberikan bantuan
4000 paket bantuan alat kebersihan. Pada periode yang sama, banjir juga melanda Gorontalo
Sulawesi Tengah yang mengakibatkan wilayah tersebut terutama di Kecamatan Ranoyapo terisolir
banjir.
Banjir Lumpur dikuti longsor juga melanda wilayah Jawa Barat selama beberapa hari pada bulan
Pebruari. Banjir bandang terjadi pula di NTB. 1000 paket bantuan PMI dan 610 petromaks
disumbangkan oleh Federasi Internasional melalui PMI.
Awal Agustus 2001, banjir besar juga telah menghancurkan 8 Kecamatan di Kabupaten Nias
Sumetera Utara. PMI telah mengirimkan obat-obatan dan bantuan paket keluarga berupa
peralatan dapur, kelambu nyamuk, pakaian, selimut dan gula untuk memenuhi kebutuhan darurat
sehari-hari di Nias.

Penanggulangan Bencana Konflik


Suatu konflik vertikal telah berlangsung di Aceh sejak Januari 2000, konflik horizontal di Poso
Sulawesi Tengah pada 23 Mei 2000 dan kerusuhan hebat di Maluku Utara pada 17 Mei 2001. Di
Aceh PMI bekerjasama dengan ICRC secara intensif melakukan kegiatan evakuasi korban luka dan
mayat, membagikan bantuan pangan, pelayanan kesehatan darurat serta penyampaian berita
keluarga. Sedangkan untuk Poso, PMI berkoordinasi dengan ICRC menyalurkan bantuan 4000
paket keluarga diikuti bantuan dari RCTI berupa tikar, sarung, handuk, jerigen, sabun mandi,
sabun cuci dan pakaian yang diperuntukkan kepada 2000 orang. Sedang untuk konflik yang terjadi
di Maluku Utara, kembali PMI bekerjasama dengan ICRC menyalurkan 5.655 paket bantuan
keluarga kepada korban disamping pelayanan kesehatan di Tobelo dan Galela. Bantuan tambahan
sebanyak 4500 paket dan 2000 unit peralatan sekolah dan seragam dari Kedutaan Besar Jepang.
Di samping itu bantuan satu unit kendaraan juga telah dikirim ke Ternate dari Jakarta untuk
membantu operasional teknis lapangan.

CBFA- Tarakan dan Lampung


Proyek pengembangan kesehatan berbasis masyarakat (CBFA) telah dimulai di Kalimantan Timur
dan Tengah sejak Juni 2000. Bantuan disponsori oleh Palang Merah Belanda dengan Fasilitas
Federasi Internasional bertujuan memperbaiki status kesehatan masyarakat di wilayah sasaran.

A. Visi

PMI diakui secara luas sebagai organisasi kemanusiaan yang mampu menyediakan pelayanan
kepalangmerahan yang efektif dan tepat waktu, terutama kepada mereka yang paling
membutuhkan, dalam semangat kenetralan dan kemandirian.

B. Misi

1. Menyebarluaskan dan mengembangkan aplikasi prinsip dasar Gerakan Palang Merah


dan Bulan sabit Merah serta Hukum perikemanusiaan Internasional (HPI) dalam
masyarakat Indonesia.
2. Melaksanakan pelayanan kepalangmerahan yang bermutu dan tepat waktu, mencakup:

Bantuan kemanusiaan dalam keadaan darurat

Pelayanan sosial dan kesehatan masyarakat

Usaha Kesehatan Transfusi Darah

3. Pembinaan Generasi Muda dalam kepalangmerahan, kesehatan dan kesejahteraan.

4. Melakukan konsolidasi organisasi, pembinaan potensi dan peningkatan potensi sumber


daya manusia dan sumber dana untuk menuju PMI yang efektif dan efiesien.

A. Lambang Palang Merah

Diawali dengan terjadinya Perang di Solferino antara tentara Austria dan gabungan tentara
Perancis-Sardinia pada tanggal 24 Juni 1959 di Italia Utara yang mengakibatkan banyak korban
dengan luka mengenaskan dan dibiarkan begitu saja karena unit kesehatan tentara masing-masing
pihak yang bersengketa tidak sanggup lagi untuk menanggulangi para korban, maka seorang Swiss
yang bernama Henry Dunant yang melihat sendiri akibat dari peristiwa tersebut, berhasil menulis
sebuah buku di tahun 1861 yang berjudul Un Souvenir de Solferino (Kenang-kenangan dari
Solferino). Dalam bukunya, ia mengajukan gagasan pembentukan organisasi relawan penolong para
prajurit di medan pertempuran, serta gagasan untuk membentuk perjanjian internasional guna
melindungi prajurit yang cedera di medan pertempuran.[1]

Buku tersebut menggemparkan seluruh Eropa sehingga pada tanggal 17 Pebruari 1863 beberapa
warga terkemuka Swiss berkumpul di Jenewa untuk bergabung dengan Henry Dunant guna
mewujudkan gagasan-gagasannya, sehingga kemudian terbentuklah Komite Internasional untuk
bantuan para tentara yang terluka, International Committee for Aid to Wounded Soldiers.
Tahun 1875 Komite menggunakan nama Komite Internasional Palang Merah, International
Committee of the Red Cross / ICRC, hingga saat ini.[2]

Berdasarkan gagasan Henry Dunant untuk membentuk organisasi relawan, maka didirikanlah
sebuah organisasi relawan di setiap negara yang memiliki mandat untuk membantu Dinas
Kesehatan Angkatan Bersenjata pada waktu peperangan. Organisasi tersebut pada waktu
sekarang disebut dengan nama Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah Nasional,
National Societies, yang di masing-masing negara dikenal dengan nama Palang Merah (Nasional)
atau Bulan Sabit Merah (Nasional) --misalnya untuk Indonesia dikenal dengan nama Palang Merah
Indonesia; di Malaysia disebut dengan Bulan Sabit Merah Malaysia.

Sedangkan, untuk menindaklanjuti gagasan Henry Dunant untuk membentuk perjanjian


internasional, maka pada tahun 1864 diadakan suatu Konferensi Internasional yang menghasilkan
perjanjian internasional yang dikenal dengan nama Konvensi Jenewa untuk perbaikan dan kondisi
prajurit yang cedera di medan perang (Geneva Convention for the amelioration of the
condition of the wounded in armies in the field).

Di dalam Konvensi tahun 1864 itulah dilontarkan gagasan untuk memberikan suatu lambang kepada
organisasi relawan yang bertugas memberikan bantuan kepada prajurit yang cedera dalam
pertempuran, sehingga dapat dibedakan dengan organisasi relawan lainnya. Untuk itu, sebagai
penghormatan kepada Henry Dunant yang berkewarganegaraan Swiss atas jasa-jasanya tersebut,
maka disepakati bahwa lambang untuk organisasi relawan tersebut adalah kebalikan

dari bendera Swiss, yakni palang merah, red cross, di atas dasar putih. Sejak
itulah lambang palang merah mulai dikenal dan digunakan untuk menolong para korban perang.
Lambang palang merah ini digunakan oleh perhimpunan nasional di negara-negara. Karena
banyaknya negara yang membentuk Perhimpunan Nasional, maka pada tahun 1919 dibentuk Liga
Perhimpunan Palang Merah, League of Red Cross Societies, yang bertugas mengkoordinir seluruh
perhimpunan nasional dari semua negara.

B. Lambang Bulan Sabit Merah dan lambang lainnya

Pada tahun 1876 muncul lambang Bulan Sabit Merah yang digunakan oleh Turki

(dahulu Ottoman Empire) serta lambang Singa dan Matahari Merah yang
digunakan oleh tentara Persia (saat ini Republik Islam Iran). Negara-negara lain kemudian juga
menggunakan lambang sendiri, seperti Siam (saat ini Thailand) yang menggunakan lambang Nyala
Api Merah (red flame); Israel menggunakan lambang Bintang David Merah (red shield of david);
atau Afganistan yang menggunakan Red Arrchway (Mehrab-e-Ahmar). Demikian pula tahun 1877
Jepang menggunakan strip merah di bawah matahari merah di atas dasar putih (red strip beneath
a red sun on a white ground), lambang Swastika oleh Sri Lanka, atau Palem Merah (red palm) oleh
Siria. Turki dan Persia, mengajukan reservasi pada Konvensi untuk tetap mengunakan bulan sabit
merah dan singa dan matahari merah; sedangkan Siam dan Sri Lanka tidak menggunakan klausula
reservasi dan memutuskan untuk menggunakan lambang palang merah.[3]

Didukung oleh Mesir dalam Konferensi Diplomatik, akhirnya lambang Bulan Sabit Merah serta
Singa dan Matahari Merah kemudian secara resmi diadopsi dalam Konvensi Jenewa tahun
1929. Akan tetapi pada tanggal 4 September 1980, Republik Islam Iran memutuskan tidak lagi
menggunakan lambang Singa dan Matahari Merah dan memilih lambang Bulan Sabit Merah, red
crescent. Sejak itu, disepakati bahwa tidak diperbolehkan lagi untuk menggunakan lambang
lainnya, kecuali sebagaimana yang telah ditegaskan di dalam Konvensi Jenewa .[4]

Akhirnya, semakin banyak negara yang membentuk Perhimpunan Nasional dan tergabung ke dalam
Liga Palang Merah (termasuk di Indonesia dibentuk Palang Merah Indonesia berdasarkan Keppres
No. 25 tahun 1950 jo. Keppres No. 264 tahun 1963). [5]

Pada tahun 1991 Liga Palang Merah tersebut kemudian mengganti namanya menjadi Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ( International Federation of
the Red Cross and Red Crescent Societies). Adapun, gagasan Henry Dunant untuk membentuk
perjanjian internasional telah tercapai dengan dihasilkannya Konvensi Jenewa tahun 1864
tersebut, yang telah mengalami dua kali penyempurnaan di tahun 1906 dan 1929, dan akhirnya
kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa 1949 mengenai perlindungan
kepada korban perang, sebelum akhirnya kembali disempurnakan dengan Protokol Tambahan I dan
II tahun 1977 yang mengatur perlindungan para korban perang; di mana aturan mengenai
penggunaan lambang juga terdapat di dalam masing-masing perjanjian internasional tersebut.

Pada bulan Desember 2005, diadakan Konferensi Diplomatik yang menghasilkan suatu perjanjian

internasional, yaitu Protokol Tambahan III (tahun 2005) pada Konvensi- konvensi
Jenewa 1949 yang mengatur tentang penggunaan lambang baru di samping lambang palang merah
dan bulan sabit merah, karena kedua lambang terakhir ini dianggap berkonotasi dengan suatu
agama tertentu. Lambang yang baru tersebut dikenal dengan lambang Kristal Merah (red
crystal). [6] Kristal merupakan sebagai lambang dari kemurnian, purity, yang seringkali
dihubungkan dengan air, yakni suatu unsur yang esensial bagi kehidupan manusia. [7]

Dengan demikian, di samping lambang palang merah, terdapat pula lambang bulan sabit merah dan
kristal merah yang telah diakui dan disahkan di dalam perjanjian internasional. Ketiga lambang
tersebut memiliki status internasional yang setara dan sederajat, sehingga ketentuan pokok
tentang tata-cara dan penggunaan lambang palang merah berlaku pula untuk lambang bulan sabit
merah dan kristal merah (sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III
tahun 2005 yang berbunyi : "this Protocol recognizes an additional emblem in addition to, and for
the same purposes as, the distinctive emblem of the Geneva Conventions. The distinctive
emblems shall enjoy the equal status";[8] serta dipergunakan oleh organisasi yang berhak
menggunakannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional.

sumber :
[1]. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah tahun 1949 , Bina Cipta, Bandung,
1986, hal. 4.
[2]. Hans Haug, Humanity for All, The International Red Cross and Red Crescent Movement ,
Henry Dunant Institute, Haupt, Switzerland, 1993, hal. 52.
[3]. Jean-Francois Queiguiner, "Commentary to the Protocol Additional to the Geneva
Conventions of 12 August 1949, and relating to the Adoption of an additional distinctive emblem
(Protocol III)", International Review of the Red Cross, Vol. 89 No. 865, March 2007, footnote 7,
hal. 2-3.
[4]. Francois Bugnion, Red Cross, Red Crescent and Red Crystal, ICRC, Geneve, May 2007, hal. 10-
16.
[5]. Saat ini terdapat 151 Perhimpunan Nasional yang menggunakan lambang palang merah dan 32
negara yang menggunakan bulan sabit merah.
[6]. Lihat pada situs ICRC.
[7]. Michael Meyer, "The proposed new neutral protective emblem : a long-standing problem",
dalam International Conflict and Security Law : Essays in Memory of Hilaire McCoubrey ,
Cambridge University Press, Cambridge, 2005, (edited by Richard Burchill, Nigel D White, and
Justin Morris), hal. 98 sebagaimana dikutip dalam Queguiner, op.cit. hal. 181.
[8]. Pasal 2 ayat(1) Protokol Tambahan III tahun 2005.

LAMBANG BULAN SABIT MERAH

Pada 667 SM, tersebutlah sebuah kota yang ditaklukan oleh Bangsa Yunani. Pada saat menaklukan
kota tersebut, Bangsa Yunani diterangi oleh cahaya bulan. Setelah kota tersebut takluk, Bangsa
Yunani memberi nama kota itu, Byzantium. Nama Byzantium dirujuk dari nama satu tokoh dalam
mitologi Yunani, yaitu Byaz. Yunani kemudian memberi simbol bulan sabit pada kota itu sebagai
dedikasi pada dewi mereka yaitu Dewi Artemis (Dewi Diana) yang bersimbol bulan sabit. Catatan
lain menyebutkan bahwa bulan sabit pun merupakan simbol Dewi Tnit (Carthagian, Bangsa Phoenic).

Pada 330, Ketika kota Byzantium direbut oleh bangsa Romawi dibawah kekuasaan Kaisar
Constantine, simbol bulan sabit tetap dipertahankan bahkan dijadikan lambang kota. Tidak ada
perubahan berarti di sana karena bangsa Romawi sangat mengagumi budaya Yunani. Justru setelah
Yunani dikuasai, bangsa Romawi makin ter-Yunani-kan. Ibadah agama Yunani kuno pun diserap ke
dalam agama Romawi dan dipertahankan, di antaranya penyembahan kepada Artemis.

Di dalam istilah Romawi dewi Artemis dikenal dengan nama Diana. Constantine kemudian
mempersembahkan kota ini kepada Perawan Maria dan menambahkan symbol bintang pada sisi
tengah bulan sabit. Bintang disebutkan sebagai simbol perawan suci bunda Maria. Catatan lain
menyebutkan bahwa simbol bintang dirujuk dari simbol Dewi Ishtar (kata star = bintang dalam
bahasa inggris diambil dari nama dewi itu).
Pada 395, Romawi pecah menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur. Nama Byzantium pun berganti
menjadi Nova Rome (Roma Baru) dan menjadi ibukota Romawi Timur, setelah pindah dari Roma di
Italia karena perpecahan tersebut. Sebelum Kaisar Constantine memerintah, masa Abad I, II, dan
III, kaum Nasrani banyak ditindas oleh penguasa Romawi. Baru pada pemerintahan Kaisar
Constantin, Kaum Nasrani diakui keberadaannya di Kekaisaran Romawi. Pada saat itu, Kekaisaran
Constantine menjadi negara superpower yang menetapkan Kristen ortodox sebagai agama resmi
Negara. Setelah Kaisar Constantine wafat, Nova Rome dikenal dengan nama Constantinople (Kota
Constantine). Adapun selama masa Bizantium tersebut, di Jazirah Arab, Nabi Muhammad SAW
(570632), mensyiarkan Islam. Setelah wafat, kedudukan Nabi Muhammad SAW digantikan
oleh para Khalifah.

Singa merah dan Matahari

Singa Merah Dan Matahari didirikan pada tahun 1922 dan mengakui kepada Palang Merah dan
Gerakan Bulan Sabit Merah di 1923.Namun, beberapa laporan simbol diperkenalkan di Jenewa
pada tahun 1864 sebagai contoh bertentangan dengan sabit dan silang digunakan oleh dua rival
Iran, Ottoman dan kerajaan Rusia. Meskipun klaim yang tidak sesuai dengan sejarah Bulan Sabit
Merah itu, bahwa sejarah juga menunjukkan bahwa singa merah dan Matahari, seperti Bulan Sabit
Merah, mungkin telah dikandung selama perang 1877-1878 antara Rusia dan Turki.

Pada tahun 1980, karena asosiasi lambang dengan Shah, Republik Islam yang baru diproklamasikan
Iran menggantikan singa merah dan Sun dengan Bulan Sabit Merah, konsisten dengan negara-
negara Muslim yang paling lainnya. Meskipun singa merah dan Sun kini telah jatuh ke dalam tidak
digunakan, Iran telah di masa lalu berhak untuk mengambilnya kembali setiap saat, Konvensi
Jenewa terus mengenalinya sebagai lambang resmi, dan status yang dikonfirmasi oleh Protokol III
2005 bahkan seperti menambahkan Red Crystal

KRISTAL MERAH

Pada Konferensi Internasional yang ke-29 tahun 2006, sebuah keputusan penting lahir, yaitu
diadopsinya Lambang Kristal Merah sebagai Lambang keempat dalam Gerakan dan memiliki status
yang sama dengan Lambang lainnya yaitu Palang Merah dan Bulan Sabit Merah. Konferensi
Internasional yang mengesahkan Lambang Kristal Merah tersebut, mengadopsi Protocol Tambahan
III tentang penambahan Lambang Kristal Merah untuk Gerakan, yang sudah disahkan sebelumnya
pada Konferensi Diplomatik tahun 2005. Usulan membuat Lambang keempat, yaitu Kristal Merah,
diharapkan dapat menjadi jawaban, ketika Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak
bisa digunakan dan masuk ke suatu wilayah konflik. Mau tidak mau, perlu disadari bahwa masih
banyak pihak selain Gerakan yang menganggap bahwa Lambang terkait dengan simbol kepentingan
tertentu.
Penggunaan Lambang Kristal Merah sendiri pada akhirnya memilliki dua pilihan yaitu: dapat
digunakan secara penuh oleh suatu Perhimpunan Nasional, dalam arti mengganti Lambang Palang
Merah atau Bulan Sabit Merah yang sudah digunakan sebelumnya, atau menggunakan Lambang
Kristal Merah dalam waktu tertentu saja ketika Lambang lainnya tidak dapat diterima di suatu
daerah. Artinya, baik Perhimpunan Nasional, ICRC dan Federasi pun dapat menggunakan Lambang
Kristal Merah dalam suatu operasi kemanusiaan tanpa mengganti kebijakan merubah Lambang
sepenuhnya.
B. Ketentuan Lambang
Bentuk dan Penggunaan
Ketentuan mengenai bentuk dan penggunaan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ada
dalam:
1. Konvensi Jenewa I Pasal 38 45
2. Konvensi Jenewa II Pasal 41 45
3. Protokol 1 Jenewa tahun 1977
4. Ketetapan Konferensi Internasional Palang Merah XX tahun 1965
5. Hasil Kerja Dewan Delegasi Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional tahun
1991
Pada penggunaannya, penempatan Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah tidak boleh
sampai menyentuh pinggiran dan dasar putihnya. Lambang harus utuh dan tidak boleh ditambah
lukisan, gambar atau tulisan. Pada Lambang Bulan Sabit Merah, arah menghadapnya (ke kanan atau
ke kiri) tidak ditentukan, terserah kepada Perhimpunan yang menggunakannya.
Selanjutnya, aturan penggunaan Lambang bagi Perhimpunan Nasional maupun bagi lembaga yang
menjalin kerjasama dengan Perhimpunan Nasional, misalnya untuk penggalangan dana dan kegiatan
sosial lainnya tercantum dalam Regulations on the Use of the Emblem of the Red Cross and of
the Red Crescent by National Societies. Peraturan ini, yang diadopsi di Budapest bulan November
1991, mulai berlaku sejak 1992.
Fungsi Lambang
Telah ditentukan bahwa Lambang memiliki fungsi untuk :
> Tanda Pengenal yang berlaku di waktu damai
> Tanda Perlindungan yang berlaku diwaktu damai dan perang/konflik
Apabila digunakan sebagai Tanda Pengenal, Lambang tersebut harus dalam ukuran kecil, berfungsi
pula untuk mengingatkan bahwa institusi di atas bekerja sesuai dengan Prinsip-prinsip Dasar
Gerakan. Pemakaian Lambang sebagai Tanda Pengenal juga menunjukan bahwa seseorang, sebuah
kendaraan atau bangunan berkaitan dengan Gerakan. Untuk itu, Gerakan secara organisasi dapat
mengatur secara teknis penggunaan Tanda Pengenal misalnya dalam seragam, bangunan, kendaraan
dan sebagainya. Penggunaan Lambang sebagai Tanda Pengenal pun harus didasarkan pada undang-
undang nasional mengenai Lambang untuk Perhimpunan Nasionalnya.
Apabila Lambang digunakan sebagai tanda pelindung, Lambang tersebut harus menimbulkan sebuah
reaksi otomatis untuk menahan diri dan menghormati di antara kombatan. Lambang harus selalu
ditampakkan dalam bentuknya yang asli. Dengan kata lain, tidak boleh ada sesuatupun yang
ditambahkan padanya baik terhadap Palang Merah, Bulan Sabit Merah ataupun pada dasarnya
yang putih. Karena Lambang tersebut harus dapat dikenali dari jarak sejauh mungkin, ukurannya
harus besar, yaitu sebesar yang diperlukan dalam situasi perang. Lambang menandakan adanya
perlindungan bagi:
> Personel medis dan keagamaan angkatan bersenjata
> Unit dan fasilitas medis angkatan bersenjata
> Unit dan transportasi medis Perhimpunan Nasional apabila digunakan sebagai perbantuan
terhadap pelayanan medis angkatan bersenjata
> Peralatan medis.
Penyalahgunaan Lambang
Setiap negara peserta Konvensi Jenewa memiliki kewajiban membuat peraturan atau undang-
undang untuk mencegah dan mengurangi penyalahgunaan Lambang. Negara secara khusus harus
mengesahkan suatu peraturan untuk melindungi Lambang Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
Dengan demikian, pemakaian Lambang yang tidak diperbolehkan oleh Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan merupakan pelanggaran hukum. Bentuk-bentuk penyalahgunaan Lambang yaitu:
> Peniruan (Imitation):
Penggunaan tanda-tanda yang dapat disalah artikan sebagai lambang Palang Merah atau bulan sabit
merah (misalnya warna dan bentuk yang mirip). Biasanya digunakan untuk tujuan komersial.
> Penggunaan yang Tidak Tepat (Usurpation):
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah oleh kelompok atau perseorangan
(perusahaan komersial, organisasi non-pemerintah, perseorangan, dokter swasta, apoteker dsb)
atau penggunaan lambang oleh orang yang berhak namun digunakan untuk tujuan yang tidak sesuai
dengan Prinsip-prinsip Dasar Gerakan (misalnya seseorang yang berhak menggunakan lambang
namun menggunakannya untuk dapat melewati batas negara dengan lebih mudah pada saat tidak
sedang tugas).
> Penggunaan yang Melanggar Ketentuan/Pelanggaran Berat (Perfidy/Grave
misuse)
Penggunaan lambang Palang Merah atau bulan sabit merah dalam masa perang untuk melindungi
kombatan bersenjata atau perlengkapan militer (misalnya ambulans atau helikopter ditandai
dengan lambang untuk mengangkut kombatan yang bersenjata; tempat penimbunan amunisi
dilindungi dengan bendera Palang Merah) dianggap sebagai kejahatan perang.
Referensi
1. Direktorat Jenderal Hukum Perundang-undangan Departemen Kehakiman, 1999, Terjemahan
Konvensi Jenewa tahun 1949, Departemen Hukum dan Perundang-undangan, Jakarta.
2. International Committee of the Red Cross, 1994, Handbook of the International Red Cross and
Red Crescent Movement, ICRC, Geneva.
3. International Committee of the Red Cross, 2005, Protocol Additional to the Geneva
Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Adoption of an Additional Distinctive Emblem
(Protocol III). ICRC, Geneva.
4. International Committee of the Red Cross,1991, Regulation on the Use of the Emblem of the
Red Cross or the Red Crescent by the National Societies, ICRC, Geneva, 1991.
5. Palang Merah Indonesia, 2006, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Palang Merah
Indonesia tahun 2004 2009, Markas Pusat PMI, Jakarta.
6. Muin, Umar, 1999, Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Nama : Putu Mila Rahardipthasari

Kelas : X IPA 1

Sekolah : SMA N 2 Amlapura


TAHUN PELAJARAN : 2013 / 2014
IFRC

Sejarah IFRC Dimulai saat PT. KPC pada tahun 1994


mengikuti Australian Open Cut Mine Rescue di Hunter Valley North of Sidney, dimana pada tahun
1995 para pakar rescueIndonesia berkumpul dan merumuskan suatu wadah dan Indonesia Fire &
Rescue Comitee terbentuk kemudian dibuat konsep pelatihan Fire Rescue oleh: ESDM,
BASARNAS, Rescue & Safety Training Experts di Jakarta yang konsepnya berupa tantangan
bukan kompetisi sebagai media pembelajaran/ sharing/ benchmark antar perusahaan. Umum nya
IFRC melaksanakan 7 kasus: MVA, High angle rescue, water rescue, jungle rescue, Fire & Search
rescue, dll dan para Juri adalah pakar dari berbagai negara, Indonesia, UK, USA, Australia.

Sampai saat ini IFRC telah dilaksanakan 11 kali dengan penyelenggara bergantian antara
perusahaan tambang dan migas, dan yang ke 12 akan dilaksanakan di PT. Newmont Nusa Tenggara
Batu Hijau pada tanggal 21-28 Juli 2009, dan telah dilaksanakan 2 kali competition, berikut
daftar penyelenggara selama ini :

1. PT. Kaltim Prima Coal 1995, IFRC

2. PT. Freeport Indonesia 1996, IFRC

3. PT. BHP Arutmin 1997, IFRC

4. World Cup Fire & Rescue Challenge, Bali 1998, IFRC

5. PT. VICO Indonesia 2000, IFRC

6. PT. Newmont Nusa Tenggara 2001, IFRC

7. PT. INCO Soroako 2002, IFRC

8. PT. Kaltim Prima Coal 2003, IFRC

9. BOD Fire & Rescue Indonesia 2004, NFRC

10. PT. Freeport Indonesia 2005, IFRC

11. TOTAL Fina Elf, Senipah 2006, IFRC


12. BOD Fire & Rescue Indonesia 2007, NFRC

13. PT. ANTAM Pomalaa 2008 , IFRC

14. PT. Newmont Nusa Tenggara 2009, IFRC

Sejarah International Commitee of Red Cross (ICRC)


Ide pembentukan Palang Merah muncul ketika Henry Dunant, seorang pria Swiss yang sedang
melakukan perjalanan bisnis, menyaksikan pertempuran berdarah di Solferino, Italia, pada tahun
1859 antara tentara-tentara dari kekaisaran Austria dan aliansi Franco-Sardinia yang telah
menelan korban ribuan tentara yang terluka parah, terlantar, sekarat tanpa adanya pelayanan
medis. Kemudian Dunant mengajak penduduk setempat untuk membantu merawat korban tanpa
membeda-bedakan mereka. Sekembalinya di Jenewa, Dunant menuliskan yang disaksikannya itu
dalam sebuah buku yang berjudul A Memory of Solferino (Kenangan dari Solferino). Dalam
bukunya Dunant mengajukan dua usulan untuk membantu korban perang, yaitu:

1. Perlunya pada masa damai didirikan kelompok relawan setiap negara supaya mereka siap
untuk merawat korban pada masa perang;

2. perlunya negara-negara meyepakati pemberian perlindungan bagi para petugas pertolongan


dan para korban di medan pertempuran.

Pada tahun 1863, Empat warga Jenewa bergabung bersama Dunant untuk mewujudkan ambisi
membentuk Gerakan Palang Merah. Keempat orang tersebut adalah: General Dufour, Gustave
Moynier, Dr. Appia, dan Dr. Maunoir. Di tahun 1863 mereka membentuk Komite Internasional
untuk Penyelamatan Korban Perang (International Commitee for the Relief of the Wounded), yang
biasa dikenal dengan Commitee of Five (Komite Lima). Commitee of Five bersama dengan Dunant
memprakarsai pembentukan Gerakan Palang Merah. Kerja keras Commitee of Five mendapat
tanggapan dari berbagai negara dan kemudian mengadakan pertemuan di Jenewa pada bulan
Oktober tahun 1863 untuk mendirikan Perkumpulan Sukarelawan untuk Membantu Korban Perang
(relief society to assist the wounded and associations of voluntary relief workers) yang kemudian
dikenal dengan Perhimpunan Palang Merah Nasional (National Red Cross Society).

Komite Palang Merah perlu diberikan status netral untuk menjamin keselamatan anggotanya pada
saat melakukan tugas penyelamatan korban perang dan tugas-tugas kemanusiaan lainnya. Untuk
itu, diperlukan kerja sama antarpemerintah agar konsep netral bagi Palang Merah bisa
dilaksanakan dengan efektif. Berdasarkan hal tersebut, Commitee of Five meminta pemerintah
Swiss agar mendukung mereka untuk mengadakan Konferensi Diplomatik guna menyusun naskah
perjanjian internasional. Pada bulan Agustus tahun 1864 diadakan Konferensi Diplomatik
bertempat di Jenewa, Swiss. Konferensi diikuti 12 Negara dan menandatangani Perjanjian
Internasional berjudul Geneva Convention of August 22, 1864, for the Amilioration of the
Condition of the wounded in Armies in the Field yang berisi 10 Pasal. Konferensi tersebut dikenal
dengan Konvensi Jenewa Pertama. Penandatanganan Konvensi Jenewa Pertama merupakan suatu
langkah maju dalam sejarah pembentukan Gerakan Internasional Palang Merah. Gerakan
Internasional Palang Merah merupakan fondasi berdirinya Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah Internasional.

Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan
Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya "Konvensi
perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang". Konvensi ini kemudian disempurnakan
dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal
sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum
Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan
dan bantuan korban perang.

PALANG MERAH INTERNASIONAL


1. Komite Internasional Palang Merah / International Committee of the Red Cross (ICRC), yang
dibentuk pada tahun 1863 dan bermarkas besar di Swiss. ICRC merupakan lembaga kemanusiaan
yang bersifat mandiri, dan sebagai penengah yang netral. ICRC berdasarkan prakarsanya atau
konvensi-konvensi Jenewa 1949 berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan kepada
korban dalam pertikaian bersenjata internasional maupun kekacauan dalam negeri. Selain
memberikan bantuan dan perlindungan untuk korban perang, ICRC juga bertugas untuk menjamin
penghormatan terhadap Hukum Perikemanusiaan internasional.

2. Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, yang didirikan hampir di setiap
negara di seluruh dunia, yang kini berjumlah 176 Perhimpunan Nasional, termasuk Palang Merah
Indonesia. Kegiatan perhimpunan nasional beragam seperti bantuan darurat pada bencana,
pelayanan kesehatan, bantuan sosial, pelatihan P3K dan pelayanan transfusi darah. Persyaratan
pendirian suatu perhimpunan nasional diantaranya adalah :

*mendapat pengakuan dari pemerintah negara yang sudah menjadi peserta Konvensi Jenewa
*menjalankan Prinsip Dasar Gerakan Bila demikian ICRC akan memberi pengakuan keberadaan
perhimpunan tersebut sebelum menjadi anggota Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan
Sabit Merah.

3. Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah / International
Federation of Red Cross and Red Crescent (IFRC), Pendirian Federasi diprakarsai oleh Henry
Davidson warganegara Amerika yang disahkan pada suatu Konferensi Internasional Kesehatan
pada tahun 1919 untuk mengkoordinir bantuan kemanusiaan, khususnya saat itu untuk menolong
korban dampak paska perang dunia I dalam bidang kesehatan dan sosial. Federasi bermarkas
besar di Swiss dan menjalankan tugas koordinasi anggota Perhimpunan Nasional dalam program
bantuan kemanusiaan pada masa damai, dan memfasilitasi pendirian dan pengembangan organisasi
palang merah nasional

PERTEMUAN ORGANISASI PALANG MERAH INTERNASIONAL


Sesuai dengan Statuta dan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
menyebutkan empat tahun sekali diselenggarakan Konferensi Internasional Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah ( Internasional Red Cross Conference) . Konferensi ini dihadiri oleh seluruh
komponen Gerakan Palang Merah Internasional ( ICRC, perhimpunan nasional dan Federasi
Internasional ) serta seluruh negara peserta Konvensi Jenewa. Konferensi ini merupakan badan
tertinggi dalam Gerakan dan mempunyai mandat untuk membahas dan memutuskan semua
ketentuan internasional yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan kepalangmerahan yang akan
menjadi komitmen semua peserta.

Dua tahun sekali , Gerakan Palang Merah Internasional juga mengadakan pertemuan Dewan
Delegasi (Council of Delegates) , yang anggotanya terdiri atas seluruh komponen Gerakan. Dewan
Delegasi akan membahas permasalahan yang akan dibawa dalam konferensi internasional. Suatu
tim yang dibentuk secara khusus untuk menyiapkan pertemuan selang antar konferensi
internasional yaitu Komisi Kerja (Standing Commission).

Bersamaan dengan pertemuan tersebut khusus untuk Federasi Internasional dan anggota
perhimpunan nasional juga mengadakan pertemuan Sidang Umum (General Assembly) sebagai
forum untuk membahas program kepalan gmerahan dan pengembangannya.

Ingat Dosa! Biasakan mencantumkan link sumber jika kita mengutip artikel dari karya orang lain
dan silahkan join this site apabila anda memang memahami sebuah kata menghargai dan
menghormati

Anda mungkin juga menyukai