5 Perencanaan Sistem Setempat PDF
5 Perencanaan Sistem Setempat PDF
(ON-SITE SYSTEM)
1. UMUM
Pada saat ini mayoritas penduduk Indonesia, baik di perkotaan maupun di pedesaaan, masih
menggunakan sistem pengolahan air limbah sistem setempat (on-site) yang berupa tangki septik
atau cubluk. Pengolahan ini dipilih karena pengolahan air limbah secara terpusat masih belum
banyak tersedia di Indonesia. Selain itu, sistem setempat juga tidak memerlukan biaya yang
besar jika dibandingkan dengan sistem terpusat. Baik biaya pembangunan maupun operasional
masih dapat ditanggung oleh para pemakainya. Pelaksanaan dan pengoperasian sistem setempat
juga lebih sederhana sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
individual, keluarga ataupun sekelompok masyarakat (komunal).
Cairan yang terolah akan keluar dari tangki septik sebagai efluen dan gas yang terbentuk akan
dilepas melalui pipa ventilasi. Sementara lumpur yang telah matang (stabil) akan mengendap
didasar tangki dan harus dikuras secara berkala setiap 2-5 tahun bergantung pada kondisi.
Efluen dari tangki septik masih memerlukan pengolahan lebih lanjut karena masih tingginya
kadar organik didalamnya. Pengolahan lanjutan yang dapat digunakan berupa sumur resapan
1
(bidang resapan) dan small bore sewerage. Berdasarkan jenis pengolahan lanjutannya, maka
tangki septik dapat dibedakan menjadi tangki septik dengan sumur resapan,
penguapan/evaporasi yang dikenal dengan filter dan tangki septik dengan small bore sewerage.
Perencanaan untuk tangki septik akan diuraikan pada bagian.
Dalam pemanfaatannya tangki septik memerlukan air penggelontor, jenis tanah yang permeable
(tidak kedap air) dan air tanah yang cukup dalam agar sistem peresapan berlangsung dengan
baik. Oleh karena itu, tangki septik cocok digunakan pada daerah yang memiliki pengadaan air
bersih baik dengan sistem perpipaan maupun sumur dangkal setempat, kondisi tanah yang dapat
meloloskan air, letak permukaan air tanah yang cukup dalam, dan tingkat kepadatan penduduk
masih rendah tidak melebihi 200 jiwa/ha (Bintek, 2011).
Tangki septik adalah salah satu cara pengolahan air limbah domestik yang
menggunakan proses pengolahan secara anaerobik. Proses ini dapat memisahkan
padatan dan cairan di dalam air limbah. Padatan dan cairan memerlukan dan harus
diolah lebih lanjut karena banyak mengandung bibit penyakit atau bakteri patogen yang
berasal dari kotoran (feces) manusia. Jika tidak diolah, maka dikhawatirkan air limbah
dapat menularkan penyakit kepada manusia terutama melalui air (waterborne disease).
Tangki septik terbagi menjadi 2 (dua) berdasarkan jenis air limbah yang masuk kedalamnya
yaitu tangki septik dengan sistem tercampur dan sistem terpisah. Tangki septik dengan sistem
tercampur adalah tangki septik yang menerima air limbah tidak hanya lumpur tinja dari kakus
saja tetapi juga air limbah dari sisa mandi, mencuci ataupun kegiatan rumah tangga lainnya.
Sementara itu, tangki septik dengan sistem terpisah adalah tangki septik yang hanya menerima
lumpur tinja dari kakus saja. Jenis air limbah yang masuk akan menentukan dimensi tangki
septik yang akan digunakan terkait dengan waktu detensi dan dimensi ruang-ruang (zona) yang
berada di dalam tangki septik.
2
Secara umum, tangki septik dengan bentuk persegi panjang mengikuti kriteria disain yang
mengacu pada SNI 03-2398-2002 yaitu sebagai berikut:
Perbandingan antara panjang dan lebar adalah (2-3): 1
Lebar minimum tangki adalah 0,75m
Panjang minimum tangki adalah 1,5m
Kedalaman air efektif di dalam tangki antara (1-2,1)m
Tinggi tangki septik adalah ketinggian air dalam tangki ditambah dengan tinggi ruang bebas
(free board) yang berkisar antara (0,2-0,4)m
Penutup tangki septik yang terbenam ke dalam tanah maksimum sedalam 0,4m
Bila panjang tangki lebih besar dari 2,4 m atau volume tangki lebih besar dari 5,6 m3, maka
interior tangki dibagi menjadi 2 (dua) kompartemen yaitu kompartemen inlet dan kompartemen
outlet. Proporsi besaran kompartemen inlet berkisar 75% dari besaran total tangki septik.
Penentuan dimensi tangki septik dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu dengan melakukan
perhitungan ataupun dengan menggunakan tabel yang terdapat di dalam SNI 03-2398-2002.
Kedua jenis cara tersebut akan diuraikan pada bagian selanjutnya.
Untuk menentukan dimensi tangki septik, yang pertama harus diketahui adalah kapasitas atau
debit air limbah domestik yang akan diolah. Debit air limbah rata-rata yang akan diolah ini
dapat diperkirakan dari banyaknya konsumsi air bersih yang digunakan oleh rumah tangga,
jumlah orang yang dilayani dan jenis air limbah yang akan diolah. Debit air limbah rata-rata
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Dimana:
Qrata-rata : debit/kapasitas rata-rata air limbah yang akan diolah tangki septik (m3/hari)
q : laju timbulan air limbah (liter/orang/hari)
p : jumlah pemakai (orang)
Besarnya laju timbulan air limbah bergantung pada jenis air limbah yang akan diolah. Oleh
karena itu, besarnya laju timbulan air limbah (q) adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
Bila tangki septik hanya menerima dari kakus saja (sistem terpisah) maka q merupakan
gabungan dari limbah tinja dan air penggelontoran yang besarnya antara (5-40)
liter/orang/hari
3
Bila tangki septik menerima air limbah tercampur (sistem tercampur), maka q merupakan
gabungan limbah tinja dan air limbah lainnya dari kegiatan rumah tangga seperti mandi,
cuci, masak dan lainnya yang besarnya adalah 80% dari konsumsi air bersih pemakai yang
besarnya antara (45-150) liter/orang/hari
Waktu detensi (Td) dibutuhkan agara padatan yang terkandung di dalam air limbah dapat
terpisah dan mengendap pada dasar tangki septik. Minimum waktu detensi yang dibutuhkan
untuk proses tersebut dapat dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
Dimana:
Td : waktu detensi minimum (hari)
q : laju timbulan air limbah (liter/orang/hari)
p : jumlah pemakai (orang)
Bila rencana lokasi pembangunan tangki septik berada relatif dekat dengan sumur atau sumber
air dan tidak memungkinkan untuk menempatkan tangki septik lebih jauh lagi, maka waktu
detensi yang digunakan sebaiknya 3 (tiga) hari. Waktu detensi ini digunakan dengan asumsi
bahwa mikroba patogen akan mati bila berada di luar usus manusia selama 3 (tiga) hari.
Di dalam tangki septik akan terbagi beberapa zona mengikuti proses degradasi yang terjadi.
Zona tersebut adalah zona buih dan gas, zona pengendapan, zona stabilisasi, dan zona lumpur.
Fungsi dan besarnya zona tersebut adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
Zona buih (scum) dan gas untuk membantu mempertahankan kondisi anaerobik di bawah
permukaan air limbah yang akan diolah. Zona ini disediakan setinggi (25-30) cm atau 20%
dari kedalaman tangki
4
Dimana:
Qrata-rata : Debit air limbah rata-rata yang akan diolah (m3/hari)
Td : waktu detensi (hari)
Lubang inspeksi
Inlet Inlet
Muka Air
Tee
Scum
Outlet
Zona Pengendapan
Endapan lumpur
Zona stabilisasi adalah zona yang disediakan untuk proses stabilisasi lumpur yang baru
mengendap melalui proses pencernaan secara anaerobik (anaerobic digestion). Volume
zona ini ditentukan berdasarkan kecepatan stabilisasi lumpur dan jumlah pemakai tangki
septik. Volume zona stabilisasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5) yaitu:
Vstabilisasi : Rs x p (5)
Dimana:
Rs : kecepatan stabilisasi = 0,0425 m3/orang
p : jumlah pemakai (orang)
Zona lumpur merupakan zona tempat terakumulasinya lumpur yang lebih stabil dan harus
dikuras secara berkala. Volume zona lumpur bergantung pada kecepatan akumulasi lumpur,
periode pengurasan dan jumlah pemakai tangki septik. Volume zona (V lumpur) ini dapat
diketahui dengan persamaa sebagai berikut:
5
Dimana:
Rlumpur : kecepatan akumulasi lumpur matang = (0,03-0,04) m3/orang/tahun
N : frekuensi pengurasan (2-3) tahun
p : jumlah pemakai (orang)
Dimensi tangki septik dapat dilihat pada tabel-tabel yang telah ditentukan pada SNI 03-2398-
2002 berdasarkan jumlah pemakai. Oleh karena itu, penentuan dimensi tangki tidak
memerlukan perhitungan lagi tetapi hanya mencocokkan jumlah pemakai dengan tabel-tabel
yang tersedia. Namun, perlu diperhatikan jenis air limbah yang akan diolah apakah air limbah
dari kakus saja atau air limbah campuran. Selanjutnya, penentuan dimensi tangki septik ini
berdasarkan pada frekuensi pengurasan 3 tahun. Tabel dimensi tangki septik dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2 berikut di bawah ini. Bentuk dan dimensi tangki septik dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini. Namun saat ini, telah banyak tersedia tangki septik yang siap digunakan
dengan dimensi atau kapasitas tangkinya menyesuaikan jumlah penggunanya.
Endapan lumpur pada tangki septik harus dikuras dan selanjutnya dibawa ke Instalasi
Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) untuk diolah lebih lanjut sebelum dibuang ataupun
dimanfaatkan kembali sebagai pupuk.
Perlu diingat bahwa tangki septik harus dibuat kedap agar cairan yang berasal dari
lumpur tinja tidak merembes keluar dari tangki sehingga berpotensi mencemari tanah
dan air tanah di sekitarnya.
6
Tabel 2. Dimensi Tangki Septik Terpisah
No. Jumlah Zona Zona Zona Panjang Lebar Tinggi Volume
Pemakai Basah Lumpur Ambang Tangki Tangki Tangki Total
(KK) (m3) (m3) Bebas (m) (m) (m) (m3)
(m3)
1 2 0,4 0,9 0,3 1,0 0,8 1,3 1,6
2 3 0,6 1,35 0,5 1,8 1,0 1,4 2,45
3 4 0,8 1,8 0,6 2,1 1,0 1,5 3,2
4 5 1,0 2,6 0,9 2,4 1,2 1,6 4,5
5 10 2,0 5,25 1,5 3,2 1,6 1,7 8,7
Sumber: SNI 03-2398-2002
Saluran Peresapan
Saluran peresapan dapat disebut sebagai dispersion trench, soakage trench, leaching trench,
drain field, atau absorption field. Effluent dari tangki septik dialirkan secara gravitasi ke saluran
peresapan. Saluran peresapan cocok digunakan pada lahan yang memiliki karakteristik sebagai
berikut (Bintek, 2011):
Kapasitas perkolasi tanah berkisar antara (0,5-24) menit/cm dan optimum 8 menit/cm
Ketinggian muka air tanah minimum 0,60 m di bawah dasar rencana saluran peresap
atau (1-1,5) m di bawah muka tanah
Jarak horizontal dari sumber air (seperti sumur) tidak boleh kurang dari 10m
Ukuran efektif butiran tanah maksimum 0,13 mm
7
Tangki septik konvensional 2
5
T 4
Tinggi
6
ruang
lumpur
Ruang lumpur
2/3 P 1/3 P
P
8
Kriteria perencanaan untuk saluran peresapan adalah sebagai berikut (Bintek, 2011):
a) Lebar dasar galian bergantung pada angka perkolasi tanah yaitu:
Lebar 45 cm bila angka perkolasi (0,5-1) menit/cm
Lebar 60 cm bila angka perkolasi (1,5-3,5) menit/cm
Lebar 90 cm bila angka perkolasi (4-24) menit/cm
b) Kedalaman dasar galian (45-90) cm
c) Pipa distribusi yang akan menyebarkan effluent dengan aliran yang dibuat relatif sama
ke seluruh bidang peresapan melalui bukaan (perforasi) pada seluruh badan pipa.
Spesifikasi pemasangan pipa distribusi adalah:
Kedalaman invert pipa (30-50) cm
Diameter pipa minimum 100 mm dengan jenis pipa PVC atau 100 mm dengan jenis
pipa (saluran) beton
Jarak bukaan (perforasi) (3-6) mm
Bagian ujung pipa ditutup dengan kertas semen dengan overlap 10 cm
d) Batu pecah sebagai media pengisi galian harus bersih dan berkualitas baik. Kedalaman
minimum lapisan batu pecah (30-60) cm di bawah muka tanah dan (15-40) cm di bawah
pipa. Ukuran gradasi batu (15-60) mm.
e) Lapisan ijuk dipasang setebal 5 cm di atas lapisan batu pecah agar tanah urug tidak
turun dan masuk ke dalam lapisan batu pecah. Tanah yang masuk dapat mengakibatkan
penyumbatan pada sela-sela batu. Kertas semen sebaiknya tidak digunakan untuk
menggantikan ijuk karena dapat menghambat proses evaporasi.
f) Tanah urug diisikan pada bagian atas lapisan ijuk sebagai penutup akhir dengan
ketebalan (15-30) cm dan ditambah lagi setebal (10-15) cm sebagai antisipasi bila
terjadinya penurunan (settlement) tanah urugan. Bahan tanah urug sebaiknya jenis tanah
kepasiran atau sejenisnya untuk memudahkan proses evaporasi pada rumput diatasnya
sehingga dapat meningkatkan kinerja saluran peresapan.
g) Bidang kontak efektif pada saluran peresap hanya diperhitungkan pada bagian
dindingnya sedangkan pada bagian dasar tidak dapat meresapkan air limbah dengan
baik karena cenderung dalam keadaan tertutup dan tersumbat. Perhitungan bidang
kontak efektif dapat menggunakan persamaan (7) di bawah ini.
Ae = Q/I (7)
Dimana:
Ae : luas bidang kontak efektif (m2)
Q : debit effluent dari tangki septik (liter/hari)
I : kapasitas absorpsi/infiltrasi tanah (liter/hari/m2)
9
Dimana:
H : kedalaman efektif bahan pengisi/pecahan batu (m)
2 : faktor pembagi jalur bidang peresapan pada 2 (dua) sisi dinding tegak
Sumur Peresap
Sumur peresapan dipakai untuk menerima efluen dari tangki septik. Sumur resapan memiliki
fungsi yang sama dengan saluran peresap dan terkadang dipasang secara seri pada ujung saluran
peresap. Konstruksi sumur peresap cocok diterapkan untuk daerah dengan karaketristik sebagai
berikut (Bintek, 2011):
Kondisi tanah yang pada bagian permukaannya kedap air sedangkan pada bagian
tengahnya tidak kedap air (porous)
Kapasitas perkolasi tanah sebesar (0,5-12) menit/cm. Sumur peresap juga tepat
untuk lokasi dengan lahan yang terbatas
Jarak muka air tanah minimum 0,6 m namun disarankan 1,2 m di bawah dasar
konstruksi sumur peresap
Sumur peresapan harus diisi penuh dengan pecahan batu berdiameter > 5 cm dan biasanya
diterapkan pada kondisi tanah yang cukup stabil, tidak mudah runtuh atau jenis tanah lempung
bila konstruksi sumur peresap tanpa menggunakan pasangan bata.
Namun bila konstruksi menggunakan pasangan bata dengan spesi, maka sumur peresan tidak
perlu diisi denga pecahan batu, dinding dibuat dengan pasangan bata setebal bata atu lebih
bergantung pada kedalaman dan pada bagian dasar diberi kerikil berukuran (12,5-25) mm
setebal minimum 30 cm. Selanjutnya antara dinding bata bagian luar dan dinding galian sumur
perlu dilapisi dengan kerikil setebal 15 cm agar tidak mudah tersumbat. Konstruksi detail sumur
peresapan dapat dilihat pada SNI 03-2398-2002.
10
menguap langsung akibat panas dari matahari (evaporasi). Efektivitas evaporasi akan semakin
meningkat bila temperatur udara semakin tinggi, adanya turbulensi angin di udara sekitar dan
kelembaban udara berkurang. Pilihan ini cocok dilakukan bila:
Tanah sangan kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi lebih dari 24
menit/cm
Daerah yang memiliki temperatur panas (tinggi)
Semakin efektif bila kelembaban udara rendah
Efluent air limbah dari tangki septik dialirkan melalui pipa distribusi dengan sambungan terbuka
yang diberi lapisan kerikil. Pada bagian atas kerikil diberi lapisan pasir dengan ukuran yang
mampu mengalirkan cairan ke atas secara kapiler agar dapat diserap oleh akar tanaman.
Selanjutnya, pada bagian paling atas, ditutup dengan tanah (top soil) sebagai tempat tumbuh
tanaman perdu.
Kriteria disain yang dapat digunakan untuk sistem evapotrasnpirasi ini adalah sebagai berikut
(Bintek, 2011):
a. Pipa distribusi dengan diameter 100 mm dan jarak antar cabang distribusi (1-3) m
b. Kerikil yang digunakan haruslah dalam keadaan cukup bersih dan dipasang pada bagian
dasar (sebagai bed) dengan ketebalan (5-10) cm termasuk pada bagian di sekeliling pipa
distribusi
c. Pasir dipilih yang mampu mengalirkan air secara kapiler ke atas permukaan pasir
dengan ukuran 0,1 mm dipasang dengan kedalaman (0,30-0,75) m. Daya kapiler tidak
lebih dari 0,9 m sehingga ketebalan pasir sebaiknya tidak melebihi 0,9 m tersebut.
d. Perhitungan volume pasir berdasarkan waktu detensi effluent tangki septik antara (10-
20) hari.
e. Jenis tanah yang diaplikasikan sebaiknya jenis tanah yang baik dan subur sehingga
membantu pertumbuhan tanaman perdu yang tumbuh diatasnya. Ketebalan tanah dibuat
antara (10-15) cm.
11
Filter Bawah Permukaan Tanah
Proses pengolahan lanjutan untuk effluent tangki septik pada umumnya mampu menurunkan
konsentrasi BOD5 dan padatan terlarut (SS) namun konsentrasi mikroba tidak mampu
diturunkan. Oleh karena itu, penambahan ketebalan pasir sebagai media filter dapat membantu
menurunkan konsentrasi mikroba tersebut. Saringan (filter) pasir yang ditempatkan di bawah
permukaan tanah ini cocok bila diaplikasikan pada kondisi sebagai berikut:
Tanah yang tersedia kedap air (impermeable) dengan angka perkolasi tanah sebesar
(12-24) menit/cm yang tidak memungkinkan untuk dibangun dengan sistem resapan
Di sekitar lokasi terdapat badan air penerima dengan debit pengenceran yang cukup
atau saluran drainase tertutup yang akan dipakai sebagai tempat pembuangan akhir
Head (tekanan) yang tersedia cukup memadai untuk mengalirkan effluent yang telah
disaring keluar dari underdrain collector ke badan aie secara gravitasi
Kriteria disain yang dapat digunakan untuk filter di bawah permukaan tanah adalah sebagai
berikut:
a. Kerikil sebagai perata genangan agar seluruh lapisan effluent tersaring dapat dengan
mudah dikumpulkan dan disalurkan ke badan air atau saluran drainase terdekat melalui
pipa kolektor
b. Ijuk berfungsi untuk menahan pasir diatasnya agar tidak turun ke dalam media pasir di
bagian bawahnya
c. Pasir sebagai filter agar kotoran-kotoran yang ada pada effluent tangki septik masih
dapat direduksi
d. Tanah urugan sebagai penutup terakhir
Filter Anaerobik
Filter anaerobik merupakan metoda pengolahan sekunder (lanjutan) terhadap effluent tangki
septik di daerah yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi. Pengolahan dengan
menggunakan filter anaerobik ini cocok bila digunakan pada kondisi:
Unit filter anaerobik bentuknya hampir sama dengan unit tangki septik namun pada filter
anaerobik bagian dalam tangki diisi dengan batu pecah sebagai media filter. Pada bagian pelat
penutup bagian atas, disediakan tempat masuk air limbah yang akan diolah. Pipa influent ke
12
dalam filter diletakkan di bagian bawah tangki sehingga aliran yang terjadi berupa aliran ke atas
(upflow filter).
Kelebihan yang didapat dengan menggunakan SBR adalah (Otis & Mara, 1985):
Mengurangi penggunaan air
Mengurangi biaya pengurasan tangki
Mengurangi biaya pembelian material yang dibutuhkan
Mengurangi pemakaian unit proses/operasi pada IPAL
Biaya untuk peningkatkan kemampuan fasilitas sanitasi yang ada lebih murah
Dapat diaplikasikan pada wilayah dengan kondisi sanitasi yang belum berjalan dengan baik
Sementara itu kelemahan yang dirasakan dengan sistem ini diantaranya adalah:
Memerlukan pengurasan lumpur pada tangki interseptor secara periodik
Memerlukan pemeliharaan yang baik
Memerlukan perencanaan yang baik terkait dengan penyambungan jaringan koneksi pipa
dan tangki interseptor
13
Sambungan rumah
Tangki
interseptor
14
c) Pipa Pembersihan (Clean out)
a) Tangki Interseptor
Removeable
Concrete cover slab inspection cover
50 mm outlet
75 mm outlet
Brick or Threaded
blockwork cap
walls
Equal y-branch
Reinforced concrete base slab
d) Sambungan & Pompa Submersible
b) Sambungan Pipa & Pompa
Pump control
Control box with alarm at house
Pengangkat & alarm
Airtight joint
House
connector Gate
Nonreturn valve
with cap valve
Nonreturn
valve
Alarm
Alarm
Pump on
Pump on
Pump off
Pump off
Gambar 3. Gambaran Tangki Interseptor dan Sambungan ada Jaringan Pengumpul Air Limbah Perkotaan
(Sumber: Otis & Mara, 1985)
15
2.2 Teknologi Pengolahan Air Limbah Domestik Komunal
Pengolahan air limbah domestik komunal digunakan berdasarkan beberapa pertimbangan
diantaranya adalah hasil dari pemetaan masyarakat yang dapat menggambarkan bagaimana
kondisi sumber air dan akses terhadap sarana sanitasi yang tersedia. Pemetaan masyarakat ini
juga dapat memberikan gambaran bagaimana klasifikasi kesejahteraan masyarakat terkait
dengan calon pengguna sarana sanitasi yang akan direncanakan. Pertimbangan lainnya dalam
pemilihan teknologi sanitasi yang akan digunakan seperti kondisi/karakter permukiman,
kebiasaan/perilaku, kelayakan teknis di lapangan, prediksi perkembangan lingkungan
permukiman dan prediksi peningkatan sosial ekonomi masyarakat untuk 5 (lima) tahun ke
depan serta jumlah calon penerima manfaat (Borda, 2011).
Teknologi pengolahan air limbah domestik komunal merupakan sistem pengolahan air limbah
yang digunakan tidak hanya untuk 1 (satu) rumah tangga tetapi digunakan secara bersama.
Gambaran sistem komunal dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Pada sistem komunal (seperti pada Gambar 4 di atas), air limbah yang diolah adalah air limbah
domestik yang tercampur antara air limbah dari kegiatan dapur, cuci dan masak dengan lumpur
tinja dari kakus. Sementara itu, sistem komunal untuk pengolahan air limbah terpisah hanya dari
16
lumpur tinja dapat menggunakan sistem pengolahan yang dikenal dengan MCK++. Gambaran
sistem MCK++ ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Pilihan teknologi yang dapat digunakan untuk sistem komunal diantaranya adalah tangki septik
bersama, bio-digester, baffle reactor/tangki septik bersusun, tangki septik bersusun dengan
filter, kolam dengan filter dan tanaman, kolam aerobik. Teknologi pengolahan air limbah
tersebut akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut ini.
17
Gambar 6. Aplikasi Tangki Septik Bersama
(Sumber: Borda, 2006 dalam Dit.
Dit PLP, 2008)
2.2.3 Bio-digester
Bio-digester
digester adalah pengolahan air limbah dengan melalui proses biologis secara anaerobik
atau tanpa kehadiran oksigen. Proses penguraian materi organik dari air limbah yang diolah
akan menghasilkan biogas yang dapat digunakan sebagai energi alternatif. Air
A limbah yang
18
diolah akan terpisah menjadi padatan (lumpur) dan cairan (supernatan) yang masih harus diolah
lebih lanjut karena masih mengeluarkan bau walaupun konsentrasi material organik sudah jauh
berkurang. Bio-digester cocok digunakan untuk limbah dengan konsentrasi material organik
yang tinggi seperti limbah dari wc/kakus, limbah industri tahu dan tempe, limbah dari rumah
potong hewan dan peternakan. Gambaran Tangki bio-digester dapat dilihat pada Gambar 8 di
bawah ini.
19
Gambar 10. Disain Tangki Septik Komunal
(Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011)
20
Gambar 11. Disain Tangki Septik Bersusun (Baffled
Baffled Reactor)
Reactor
(Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011)
21
Gambar 12. Disain Tangki Septik Bersusun dengan Filter
(Sumber: Dit. Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2011)
22
2.2.5 Tangki Septik Bersekat Dengan Filter Dan Tanaman
Tangki septik bersekat dengan filter dan tanaman merupakan kombinasi tangki septik dengan
bak yang diberi tanaman. Tanaman akan menyerap air limbah melalui akar tanaman yang
ditanam pada bak yang telah disiapkan. Media penanaman terdiri dari tanah dan kerikil sebagai
filter yang diberi kemiringan antara (0-0,5)%. Air limbah berasal dari tangki septik yang berada
di bagian ujung bak dialirkan pada media filter. Permukaan air berada 5 (lima) cm di bawah
permukaan filter. Kebutuhan lahan untuk 50 KK dengan menggunakan sistem ini adalah seluas
120 m2.
Gambar 13. Aplikasi Tangki Septik Bersusun Dengan Filter Dan Tanaman
(Sumber: Borda, 2006 dalam Dit. PLP, 2008)
23
3. SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (SANIMAS)
Program Sanimas merupakan suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan dengan peningkatan akses terhadap sarana sanitasi berbasis masyarakat. Kegiatan
utama dari program Sanimas ini adalah pembangunan sarana dan prasarana air limbah
permukiman secara komunal (berkelompok). Oleh karena penggunaannya berkelompok, maka
perlu suatu kelembagaan yang baik untuk pengelolaannya sehingga sarana santasi ini dapat
berjalan tepat guna dan berkelanjutan.
Sasaran dari program ini adalah kesehatan lingkungan yang dapat memberikan dampak
langsung kepada masyarakat. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa LSM,
penduduk yang mengalami sakit akibat pencemaran air limbah lebih banyak jumlahnya
daripada penduduk yang tidak sakit. Dengan adanya sarana sanitasi yang terkelola dengan baik,
maka hal-hal positif yang terjadi antara lain adalah:
a) Penurunan angka kematian bayi
b) Umur harapan hidup meningkat dari 45,7% sampai 67,97%
c) Angka diare dari urutan ke-5 penyebab kematian menjadi urutan ke-9
d) Untuk skala nasional peningkatan kapasitas SDM untuk pelayanan kesehatan (dokter,
perawat, puskemas) dan peningkatan jumlah sarana kesehatan
Perencanaan SANIMAS memiliki beberapa tahapan yang meliputi peyusunan rencana kegiatan
dalam rangka pengendalian dan pembinaan di tingkat pusat dan daerah, serta penyusunan
rencana lokasi dan alokasi dana yang akan diterbitkan melalui Dokumen Anggaran. Tahapan
awal yaitu penetapan lokasi sasaran berdasarkan pertimbangan jumlah permukiman padat yang
memenuhi kriteria dengan cara melakukan survei langsung (pengamatan langsung) di lapangan
ke tempat-tempat yang sekiranya rnembutuhkan bantuan dalam penyediaan sarana dan
prasarana sanitasi. Sarana dan prasarana sanitasi yang dapat digunakan di dalam Sanimas pada
dasarnya adalah sama dengan teknologi yang digunakan pada sistem komunal yang telah
diuraikan sebelumnya. Sanimas adalah salah satu program yang dikembangkan oleh Direktorat
PLP Sub Bidang Air Limbah dan pelaksanaan Sanimas dapat mengacu pada Buku Pedoman
Sanimas yang telah diterbitkan pada tahun 2008.
24
IPLT adalah instalasi pengolahan air limbah yang dirancang hanya menerima dan mengolah
lumpur tinja yang diangkut melalui mobil (truk tinja) atau gerobak tinja. Lumpur tinja diambil
dari unit pengolah limbah tinja seperti tangki septik dan cubluk tunggal ataupun endapan
lumpur dari underflow unit pengolah air limbah lainnya. IPLT dirancang untuk mengolah
lumpur tinja sehingga tidak membahayakan bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan
sekitarnya. Lumpur akan diolah sehingga menjadi lumpur kering yang disebut dengan cake dan
air olahan (effluent) yang sudah aman untuk dibuang ataupun dimanfaatkan kembali. Lumpur
kering (cake) dapat dimanfaatkan menjadi pupuk dan air effluent dapat digunakan untuk
keperluan irigasi.
IPLT hanya menerima dan mengolah lumpur tinja yang diangkut melalui truk tinja. Proses
penguraian lumpur tinja menggunakan proses biologis yang berlangsung dalam kondisi
anaerobik (tanpa udara)
Lumpur tinja dapat dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan tingkat dekomposisinya
(Balai Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000), yaitu:
a. Lumpur tinja segar yaitu lumpur tinja berumur kurang dari 8 (delapan) jam
b. Night soil yaitu lumpur tinja yang telah mengalami proses dekomposisi antara 8
(delapan) sampai 7 (tujuh) hari
c. Lumpur tinja (septage) yaitu tinja yang telah mengalami dekompisisi dalam jangka
waktu 1-3 tahun
d. Sludge yaitu lumpur tinja yang telah mengalami dekomposisi pada IPLT yang khusus
dibangun
25
b. Menghilangkan atau menurunkan kandungan mikroorganisme patogen (bakteri, virus,
jamur dan lain sebagainya)
Untuk mencapai tujuan tersebut, secara garis besar tahapan pengolahan lumpur tinja yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pengangkutan lumpur tinja dari tangki septik, cubluk atau underflow unit pengolah air
limbah lainnya dengan menggunakan truk penyedot tinja (vaccum truck)
b. Pengolahan lumpur tinja di IPLT yang dilakukan beberapa tahap yaitu:
Penyaringan untuk memisahkan partikel-partikel atau padatan yang berukuran besar
seperti plastik, pembalut wanita, kertas dan lain sebagainya
Pemisahan lemak dengan menggunakan prinsip pengapungan (floatation)
Pemisahan pasir yang dilakukan dengan memperlambat aliran lumpur tinja sehingga
pasir dapat mengendap pada tangki yang disebut dengan grit chamber
Pengolahan lumpur tinja sesuai dengan metode yang dipilih
26
Pengeringan lumpur
Pembuangan lumpur (final disposal)
Proses pengumpulan data perlu direncanakan secara detil dan sistematis untuk menghemat
waktu dan biaya serta dapat berjalan secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, diperlukan suatu
pedoman survey yang sistematis dan praktis sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan selama melakukan survey akan diuraikan berikut ini.
Sementara itu, petunjuk pelaksanaan survey berisikan tuntunan bagi petugas survey agar dapat
melaksanakan survey dan pengumpulan data secara akurat. Petunjuk pelaksanaan survey ini
berisikan jenis data yang dibutuhkan, sumber data, serta cara memperoleh data yang baik dan
27
lengkap. Data yang dikumpulkan ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder
berupa studi literatur, laporan-laporan dari instansi terkait, ataupun jurnal dan laporan lainnya
yang relevan dengan perencanaan. Sementara itu, data primer meliputi hasil pengukuran,
percobaan lapangan, pengamatan langsung (observasi), wawancara ataupun pemeriksaan
laboratorium.
Sebelum survey berjalan, para petugas pelaksana survey perlu diberikan pembekalan mengenai
survey. Pembekalan tersebut meliputi pemahaman mengenai tujuan survey dan petunjuk
pelaksanaan survey yang telah disiapkan sebelumnya. Dengan demikian, para petugas
diharapkan dapat bekerja lebih efisien dan terarah karena telah memahami tugasnya sebelum
terjun ke lapangan.
Kondisi fisik wilayah pelayanan yang diperlukan untuk menunjang proses perencanaan
atau disain IPLT. Data tersebut meliputi kondisi topografi (kemiringan) wilayah,
kondisi geologi (kestabilan dan sifat kedap air tanah), kondisi geohidrologi (fluktuasi
28
tinggi muka air tanah), dan kondisi hidrologi (badan air sekitarnya, daerah genangan).
Data kondisi fisik ini sangat berguna pada proses pemilihan lokasi dan perencanaan
pembangunan (disain) sarana IPLT.
Data kependudukan yang meliputi jumlah penduduk (saat ini dan proyeksi di masa
yang akan datang), kepadatan penduduk (termasuk pola pertumbuhannya), tipr rumah
dan jumlah penghuninya, dan kondisi kesehatan masyarakat secara umum. Data
kependudukan ini akan digunakan untuk menentukan besaran kapasitas dan metode
pengolahan IPLT yang akan dipilih dan direncanakan serta evaluasi terhadap rencana
wilayah pelayanan sarana IPLT.
Kondisi sanitasi lingkungan yang meliputi data sumber air bersih, tingkat pelayanan air
bersih (termasuk harga air), cara pembuangan dan pengelolaan limbah tinja saat ini
(existing), dan fasilitas pembuangan air limbah dan hujan. Data kondisi sanitasi
lingkungan ini diperlukan dalam penilaian dan evaluasi kondisi sistem sanitasi
lingkungan di wilayah rencana terkait dengan pembangunan sarana IPLT.
Rencana induk sistem pembuangan air limbah (master plan) yang dapat memberikan
informasi sistem pembuangan dan pengolahan air limbah yang ada serta rencana
pengembangan dimasa yang akan datang. Rencana induk tersebut mencakup data
mengenai sistem pengolahan air limbah rumah tangga setempat (on-site sanitation
system) dan pengolahan air limbah secara terpusat (off-site sanitation system). Bila
daerah yang bersangkutan belum memiliki rencana induk ini, maka perencana harus
dapat memperkirakan dan menentukan secara global mengenai rencana daerah
pelayanan IPLT yang akan dipilih.
Kelembagaan dan peraturan yang mencakup tugas & fungsi instansi pemerintah
daerah, pemerintah pusat di daerah, LKMD, PKK, koperasi, pemuka agama/adat,
program perbaikan kampung yang ada, peran lembaga pendidikan dan kesehatan
(Puskesmas). Data ini merupakan faktor non-teknis yang menjadi salah satu
29
pertimbangan dalam perencanaan pembangunan IPLT terkait dengan tingkat partisipasi
masyarakat serta peranan instansi/lembaga yang dapat memberikan penyuluhan dan
pembinaan terhadap masyarakat. Untuk menunjang keberhasilan operasional IPLT,
perlu dilakukan inventarisasi perangkat peraturan perundang-undangan baik dari
pemerintah pusat dan daerah terutama yang menyangkut aspek perencanaan tangki
septik, penyedoan (pengurasan) dan pembuangan lumpur tinja, besaran struktur tarif
pelayanan pengurasan, peran dan keterlibatan pihak swasta dan lain sebagainya.
Rencana induk (master plan) air limbah dan target pelayanan IPLT digunakan sebagai data bagi
perencana dalam membuat peta rencana daerah pelayanan sarana IPLT yang akan dibangun.
Peta daerah pelayanan merupakan gambaran kuantitatif dari daerah pelayanan IPLT yang
direncanakan. Dari data tersebut, dapat diperkirakan dan ditentukan besaran rencana sistem
pelayanan yang harus disediakan untuk dapat menangani volume lumpur tinja yang berasal dari
setiap sarana tangki septik yang ada di daerah perencanaan. Secara garis besar, proses
perencanaan IPLT dapat dilihat pada Gambar 15 di bawah ini.
30
4.4.2 Penentuan Lokasi IPLT
Setelah daerah pelayanan ditentukan, langkah selanjutnya adalah menentukan lokasi IPLT yang
akan dibangun. Beberapa aspek penting dalam menentukan lokasi IPLT diantaranya:
a. Efisiensi dan efektifitas sistem IPLT (investasi, operasi dan pemeliharaan)
b. Kemudahan transportasi lumpur tinja dari daerah layanan ke lokasi IPLT
c. Aman terhadap lingkungan disekitarnya (banjir, gempa bumi, resiko polusi, gunung
merapi)
d. Dapat dikembangkan pada waktu yang akan datang seiring dengan berkembangnya kota
atau daerah layanan
Perencanaan
Pembangunan IPLT
Penentuan wilayah
pelayanan dan calon Disain teknis IPLT
lokasi IPLT
Dalam proses penentuan lokasi lahan untuk sarana IPLT, sebaiknya diajukan atau dipilih
beberapa alternatif lokasi yang layak. Beberapa aspek yang harus dipertimbangkan dalam
penentuan alternatif lokasi diantaranya:
a. Ketersediaan lahan dan aspek teknis yang meliputi beberapa persyaratan seperti:
Daerah bebas banjir dan gempa
Daerah bebas longsor
31
Rencana lokasi harus terletak relatif jauh dari kawasan permukiman minimal pada
radius 2 km
Rencana lokasi memiliki jalan akses (penghubung) dari wilayah pelayanan ke IPLT
dan sebaliknya, terletak pada jalur transportasi yang lancar dan terhindar dari
kemacetan
Rencana lokasi harus berada dekat dengan badan air penerima
Rencana lokasi haruslah merupakan daerah yang terletak pada lahan terbuka dengan
intensitas penyinaran matahari yang baik agar dapat membantu mempercepat proses
pengeringan endapan lumpur
Rencana lokasi harus berada pada lahan terbuka yang tidak produktif dengan nilai
ekonomi tanah yang serendah mungkin
b. Karakteristik lahan
Pertimbahan karakteristik lahan berkaitan dengan jenis fasilitas IPLT yang akan
dibangun. Beberapa karakteristik lahan yang harus dipenuhi adalah:
Merupakan daerah yang memiliki struktur geologi yang baik sehingga mampu
memikul beban konstruksi atas unit pengolah beserta bangunan pelengkapnya
Lahan memiliki karakteristik relatif kedap air (permeabilitas rendah) sehingga dapat
menghemat biaya investasi namun tetap aman dari resiko pencemaran
d. Lingkungan
Keamanan lingkungan haruslah menjadi perhatian terkait dengan resiko
pencemaran lingkungan sekitar seperti pencemaran air, tanah dan udara
Pertimbangan estetika terhadap keberadaan IPLT haruslah dipertimbangkan
terutama resiko bau yang berasal dari unit pengolahan di dalam IPLT
Sanitasi dan kesehatan lingkungan bagi masyarakat yang bermukim atau
beraktifitas di sekitar IPLT perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
peningkatan gangguan kesehatan
32
e. Faktor resiko eksternal seperti gempa bumi, longsor, banjir dan bencana lainnya yang
dapat mengancam keberadaan sarana IPLT serta potensi pencemaran lingkungan
sekitarnya akibat bencana tersebut
Debit lumpur tinja = Persentasi pelayanan x jumlah penduduk daerah layanan x laju
timbulan lumpur tinja ...(1)
Keterangan:
- Debit lumpur tinja dalam liter/hari atau dibagi dengan 1.000 untuk konversi menjadi m3/hari
adalah jumlah lumpur yang akan masuk dan diolah di IPLT setiap harinya
- Persentasi pelayanan dapat menggunakan pendekatan (50-60)%
- Laju timbulan lumpur tinja dapat menggunakan pendekatan 0,5 liter/orang/hari
33
Lokasi pembangunan IPLT
Jumlah penduduk yang akan dilayani
Pengolahan lumpur tinja dapat dilakukan dengan berbagai macam metode. Beberapa alternatif
metode pengolahan yang direkomendasikan oleh Departemen Pekerjaan Umum-Direktorat
Jenderal Cipta Karya berdasarkan pada jumlah penduduk yang dilayani. Allternatif pengolahan
tersebut dapat dilihat pada gambar-gambar berikut di bawah ini.
BOD= 5.000
mg/l
400 mg/l
(pengenceran)
BOD 50
mg/l
Kolam
Pengering Badan air
Lumpur
Keterangan:
Alternatif I ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 50.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m
34
Alternatif 2: Jumlah penduduk dilayani antara 50.000-100.000 jiwa
400 mg/l
(pengenceran)
BOD 50 mg/l
Kolam
Pengering Badan air
Lumpur
Keterangan:
Alternatif II ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 500 m
35
Alternatif 3: Jumlah penduduk dilayani > 100.000 jiwa
BOD 50 mg/l
Kolam
Pengering Badan air
Lumpur
Keterangan:
Alternatif III ini baik digunakan dengan pertimbangan:
- Melayani maksimum 100.000 jiwa penduduk
- Kondisi tanah cukup kedap
- Jarak IPLT ke permukiman terdekat minimal 250 m
Pilihan metode atau teknologi pengolahan lumpur tinja lainnya dapat dilihat pada Gambar 16 di
bawah ini.
36
Gambar 16. Pilihan Teknologi Pengolahan Lumpur Tinja
(Sumber: Strauss et. al., 2002 dalam Eawag/Sandec, 2008)
Bila disain dan perhitungan rencana anggaran biaya telah selesai dilakukan, kegiatan
pembangunan IPLT dapat dilaksanakan. Pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara
keseluruhan unit-unit
unit IPLT namun umumnya dilakukan secara bertahap bergantung pada
ketersediaan
ersediaan dana investasi dan cakupan daerah layanan yang ditetapkan. Selain itu, pentahapan
37
pembangunan ini juga membantu mengurangi biaya operasional dan pemeliharaan IPLT pada
saat awal operasi biasanya cakupan pelayanan IPLT masih terbatas. Pembangunan tahap
berikutnya dapat dilanjutkan seiring dengan pengembangan cakupan pelayanan IPLT pada masa
selanjutnya.
Dengan adanya tangki ekualisasi ini, maka operasional IPLT dapat lebih optimal dan dapat
memperkecil ukuran/dimensi instalasi karena debit/kapasitas pengolahan ke unit berikutnya
dapat diatur menjadi konstan. Untuk menghindari bau, maka pada tangki ekualisasi ini
ditambahkan pengaduk sehingga lumpur yang masuk tidak hanya diaduk sehingga
konsentrasinya menjadi homogen tetapi juga membantu proses aerasi (penambahan oksigen).
38
Dosing
chamber Partially
treated
Raw sludges
Upper
intlet
chamber
Sludges
o
45 slope Section
Gambar 17. Tangki Imhoff
(Sumber: www.tpub.com)
Proses pengolahan yang terjadi pada tangki imhoff dimulai dari ruang sedimentasi dimana
lumpur tinja segar dialirkan sebagai influen pada unit ini. Selanjutnya, padatan yang terpisah
akan mengendap pada bagian dasar ruang sedimentasi yang diberi bukaan (opening) sehingga
padatan tersebut dapat langsung bergerak menuju ke ruang pencernaan. Adanya sekat mencegah
padatan tersebut masuk kembali ke ruang sedimentasi. Pada ruang pencerna, padatan akan
terdekomposisi secara anaerobik (tanpa kehadiran oksigen) sehingga menjadi lebih stabil dalam
waktu 2-4 jam. Mekanisme aliran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 18.
Proses yang terjadi pada tangki imhoff akan menghasilkan scum pada bagian permukaan tangki
dan biogas dari proses pencernaan (digestion). Biogas yang terbentuk akan terkumpul pada pipa
vent yang disediakan sehingga tidak mengganggu proses pengendapan pada ruang sedimentasi.
Frasa cairan (liquid fraction) yang telah terpisah hanya tinggal selama beberapa jam saja di
dalam tangki imhoff yang selanjutnya dialirkan menuju unit pengolahan berikutnya. Sementara
itu, padatan yang terbentuk dan telah stabil akan tetap tinggal di dalam tangki selama beberapa
39
tahun namun tetap memerlukan pengurasan secara berkala yang selanjutnya dapat dikeringkan
pada unit pengering lumpur.
Gas
Manhole
Potongan Inflow Outflow
Potongan memanjang
melintang
Ruang
pengendapan Ruang
pencernaan
Kelebihan
Menyisihkan padatan dari lumpur tinja sebelum melewati jaringan perpipaan selanjutnya
sehingga tidak hanya mengurangi potensi penyumbatan juga dapat membantu mengurangi
dimensi pipa
Operasi dan pemeliharaan mudah sehingga dapat menggunakan sumber daya manusia
dengan pengetahuan minimal
Tidak memerlukan pengolahan primer (primary treatment) pada pengolahan selanjunya
(secondary treatment)
Mampu bertahan terhadap aliran debit masuk yang sangat berfluktuasi (resistant against
shock loads.
Kelemahan
Pemeliharaan merupakan suatu keharusan
Jika tidak dioperasikan dan dirawat dengan baik, maka resiko penyumbatan pada pipa
pengaliran
Membutuhkan pengolahan lebih lanjut untuk efluen baik pada frasa cair maupun padatan
yang telah dipisahkan
Efisiensi penyisihan rendah
40
Kriteria Disain
Tangki imhoff dirancang dengan waktu detensi 2-4 jam, perbandingan lebar dan panjang tangki
1:(2-4) dan dengan kedalaman (7,2-9) m. Kapasitas ruang pencerna yang disediakan sebesar
2,5 m3/kapita. Tangki dapat dibuat tertutup ataupun terbuka namun bila tertutup perlu
disediakan ventilasi untuk biogas lebih kurang 20% dari luas permukaan. Efisiensi penyisihan
BOD berkisar antara (30-50)% yang bergantung pada jenis outlet yang digunakan.
Komponen yang perlu disiapkan untuk tangki imhoff adalah ruang sedimentasi, ruang pencerna,
pipa dan ruang penampung gas, pipa atau saluran inlet dan outlet, pipa penguras lumpur,
struktur tangki dengan atau tanpa manhole (lubang kontrol). Dimensi masing-masing komponen
dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ini.
Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk mendisain tangki imhoff adalah:
Jumlah unit yang dapat diaplikasikan dalam satu tangki imhoff maksimum 2 (dua) unit
Kecepatan aliran horizontal ruang sedimentasi adalah < 1 cm/detik
Beban permukaan (surface loading) ruang sedimentasi sebesar 30 m3/(m2.hari)
Efisiensi pemisahan padatan tersuspensi (TSS) pada ruang sedimentasi (40-60)%
Waktu detensi ruang sedimentasi (2-4) jam
Waktu detensi ruang pencerna (1-2) bulan
Laju endapan lumpur tinja pada ruang sedimentasi 0,5 liter/orang/hari
Laju endapan lumpur pada ruang pencerna 0,06 liter/orang/hari
Diameter pipa lumpur 15 cm (10 inchi)
Ventilasi gas dibuat minimal 20% dari luas permukaan tangki imhoff atau lebar bukaan
masing-masing (45-60) cm pada kedua sisi tangki
Tipe I Tipe II
41
Ventilasi gas
Lebar : (45-60) cm
42
Tabel 4. Dimensi Tangki Imhoff
Lumpur tinja tergolong high-strenght wastewater dengan konsentrasi BOD minimal 1.500 mg/l
cocok diolah dengan menggunakan kolam anaerobik. Penurunan konsentrasi material organik
terjadi seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroba memproduksi gas (biogas) dan lumpur.
Produksi biogas dapat terlihat dengan adanya gelembung-gelembung udara pada bagian
permukaan kolam. Kondisi kolam yang hangat, pH normal tanpa oksigen, maka jenis mikroba
yang dominan adalah mikroba pembentuk methane. Gambaran kolam anaerobik dapat dilihat
pada Gambar 21 di bawah ini.
43
Lumpur yang terbentuk merupakan hasil dari pemisahan padatan yang terlarut di dalam influen
yang kemudian akan mengendap pada bagian dasar kolam. Selanjutnya, material organik yang
masih tersisa akan diuraikankan/didegradasi lebih lanjut.
Kelebihan
Dapat membantu memperkecil dimensi/ukuran kolam fakultatif dan maturasi
Dapat mengurangi penumpukan lumpur pada unit pengolahan berikutnya
Biaya operasional murah
Mampu menerima limbah dengan konsentrasi yang tinggi
Kelemahan
Menimbulkan bau yang dapat mengganggu
Proses degradasi berjalan lambat
Memerlukan lahan yang luas
Kriteria Disain
Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m. Pada kedalaman ini akan terbentuk
kondisi anaerob dan mampu menyimpan lumpur hingga akumulasi (30-40) liter/orang/tahun.
Waktu detensi menyesuaikan dengan temperatur di lokasi pembangunan IPLT. Standar
pemilihan waktu detensi dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini. Waktu detensi tidak
disarankan terlalu lama karena akan merubah kolam anaerobik menjadi kolam fakultatif.
44
Tabel 5. Variasi Temperatur dan Waktu Detensi
Temperatur Waktu Efisiensi Penyisihan
Dalam Kolam Detensi BOD
( C)
o (hari) (%)
< 10 >5 0-10
10-15 4-5 30-40
15-20 2-3 40-50
20-25 1-2 40-60
25-30 1-2 60-80
Sumber: Balai Pelatihan Air Bersih & Penyehatan Lingkungan Permukiman, 2000
Kolam berbentuk persegi panjang dengan rasio panjang banding lebar sebesar (2-4):1. Kolam
anaerobik umumnya diaplikasikan 2 (dua) unit kolam yang dibuat paralel atau seri sehingga
dapat mengantisipasi jika salah satu kolam berhenti beroperasi untuk perawatan. Kolam diberi
talud sebesar 1:3 untuk memudahkan perawatan kolam.
Untuk mendisain kolam anaerobik, laju beban BOD yang akan digunakan dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan (2) ataupun ditentukan dengan menggunakan Tabel 6 di
bawah ini.
Laju beban BOD = [Konsentrasi BOD masuk (influen) x Debit lumpur tinja] .(2)
Volume kolam
Keterangan:
Laju beban BOD ( gr/m3/hari) dapat juga digunakan 500-800 gr BOD/m3.hari
Konsentrasi BOD masuk (influen (mg/l)
Debit lumpur tinja yang akan diolah (m3/hari)
Volume kolam (m3)
Kolam anaerobik dirancang dengan kedalaman (2-4) m, lebih dalam daripada kolam
fakultatif dan maturasi dengan tujuan untuk membentuk dan mempertahankan kondisi
anaerobik bagi proses degradasi oleh mikroba yang terjadi didalamnya.
45
Tabel 6. Acuan Laju Beban BOD Kolam Anaerobik
Sumber:
Barnes, D, PJ Bliss, BW Gould and HR Valentine (1981) Water and Wastewater
Engineering Systems, Longman Scientific and Technical, Essex
Corbitt, Richard A. (1989) Standard Handbook of Environmental Engineering, McGraw-
Hill, New York
Eckenfelder, Jr., W. Wesley, (1980) Principles of Water Quality Management, CBI
Publishing Company, Boston
Metcalf and Eddy (1979) Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, Reuse, McGraw-
Hill, New York, page 553
Cotoh perhitungan
Bila kolam anaerobik didisain dengan waktu detensi 3 hari dan beban BOD sebesar 500
gr/m3.hari. Debit lumpur tinja yang akan diolah sebesar 25 m3/hari. Konsentrasi BOD lumpur
tinja yang akan diolah adalah sebesar 2.000 mg/liter.
46
Volume kolam = Debit x waktu detensi ...........................................................(3)
Volume kolam (1) = 25 m3/hari x 3 hari = 75 m3
Beban BOD Masuk = Debit lumpur tinja x konsentrasi BOD yang masuk ....................(5)
= 25 m3/hari x 2.000 mg/l = 50 kg
Sebagai cadangan maka digunakan 2 (dua) unit kolam dengan dimensi panjang 9m, lebar 3m
dan kedalaman 3m. Hasil perhitungan dapat digambarkan sebagai berikut:
3m KOLAM KOLAM
3m
ANAEROBIK 1 ANAEROBIK 2
9m 9m 6m
Kolam dibuat secara seri untuk mendapat hasil pengolahan yang lebih baik karena waktu
detensi yang akan bertambah.
47
4.5.4 Kolam Fakultatif (Facultative pond)
Deskripsi dan Proses
Kolam fakultatif berfungsi untuk menguraikan dan menurunkan konsentrasi bahan organik yang
ada di dalam limbah yang telah diolah pada kolam anaerobik. Proses yang terjadi pada kolam
ini adalah campuran antara proses anaerob dan aerob. Secara umum kolam fakultatif
terstratifikasi menjadi tiga zona atau lapisan yang memiliki kondisi dan proses degradasi yang
berbeda. Lapisan paling atas disebut dengan zona aerobik karena pada bagian atas kolam kaya
akan oksigen. Kedalaman zona aerobik ini sangat bergantung pada beban yang diberikan pada
kolam, iklim, banyaknya sinar matahari, angin dan jumlah algae yang berkembang didalamnya.
Oksigen yang berlimpah berasal dari udara pada permukaan kolam, proses fotosintesis algae
dan adanya agitasi atau pengadukan akibat tiupan angin. Zona aerobik juga berfungsi sebagai
penghalang bau hasil produksi gas dari aktivitas mikroba pada zona dibawahnya.
Zona tengah kolam disebut dengan zona fakultatif atau zona aerobik-anaerobik. Pada zona ini,
kondisi aerob dan anaerob ditemukan bergenatung pada jenis mikroba yang tumbuh. Dan zona
paling bawah disebut dengan zona aerobik dimana oksigen sudah tidak ditemukan lagi. Pada
zona ini ditemukan lapisan lumpur yang terbentuk dari padatan yang terpisahkan dan
mengendap pada dasar kolam. Proses degradasi material organik dilakukan oleh bakteri dan
organisme mikroskopis (protozoa, cacing dan lain sebagainya).
Pada kondisi aerob, material organik akan diubah oleh mikroba (bakteri) menjadi karbon
dioksida, amonia, dan phosphat. Selanjutnya, phospat akan digunakan oleh algae sebagai
sumber nutrien sehingga terjadi simbiosis yang saling menguntungkan. Sementara itu, pada
kondisi anaerob, materi organik akan diubah menjadi gas seperti methane, hidrogen sulfida, dan
amonia serta lumpur sebagai produk sisa. Gas yang dihasilkan oleh mikroba anaerob
selanjutnya digunakan oleh mikroba aerob dan algae yang berada pada zona diatasnya.
Gambaran proses yang terjadi dapat dilihat pada Gambar 23 di bawah ini.
Lumpur yang terbentuk sangat kaya akan mikroba anaerob yang akan terus mencerna (digest)
dan memperlambat proses pengendapan lumpur ke dasar kolam. Lumpur yang mengendap
harus dikuras secara periodik bergantung pada iklim, disain kolam dan program pemeliharaan
yang dijalankan. Namun sebagai patokan umum, periode pengurasan dilakukan antara 5-10
tahun.
48
Gambar 23. Proses Pada Kolam Fakultatif
(Sumber: www.thewatertreatments.com)
Kelebihan
Sangat efektif menurunkan jumlah atau konsentrasi bakteri patogen hingga (60-99)%
Mampu menghadapi beban yang berfluktuasi
Operasi dan perawatan mudah sehingga tidak memerlukan keahlian tinggi
Biaya operasi dan perawatan murah
Kelemahan
Kolam fakultatif ini memerlukan luas lahan yang besar
Waktu tinggal yang lama, bahkan beberapa literatur menyarankan waktu tinggal antara (20-
150) hari
Jika tidak dirawat dengan baik, maka kolam dapat menjadi sarang bagi serangga seperti
nyamuk
Berpotensi mengeluarkan bau
Memerlukan pengolahan lanjutan terutama akibat pertumbuhan algae pada kolam
Kriteria Disain
Kolam fakultatif mampu mengolah limbah dengan beban BOD berkisar antara (40-60) gr/m3.
Efektifitas kolam bergantung pada lamanya limbah tinggal di dalam kolam (waktu detensi) yang
biasanya berkisar antara (20-40) hari. Dengan waktu detensi tersebut, maka efisiensi penyisihan
49
BOD dapat mencapai (70-90)% dan dapat pula menurunkan konsentrasi coliform sebesar (60-
99)%.
Kolam fakultatif dirancang berdasarkan beban BOD maksimum per-unit luas sehingga kolam
memiliki zona aerobik dan anaerobik. Besarnya beban BOD pada kolam fakultatif dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan (8) berikut ini:
Keterangan:
T = temperatur rata-rata dalam bulan yang paling dingin
Persamaan ini didapat dari pengalaman sukses perancangan dan operasional kolam fakultatif
yang ada di dunia dilihat berdasarkan beban BOD dan temperatur. Penentuan beban BOD ini
menjadi sangat penting karena akan menentukan kecepatan pembentukan lumpur di dalam
kolam yang selanjutnya akan mempengaruhi stratifikasi kolam menjadi zona aerobik dan
anaerobik.
Kedalaman kolam fakultatif berkisar antara (0,9-2,4) m. Kedalaman ini masih dapat mendukung
pertumbuhan algae dan juga cukup dalam untuk mendapatkan kondisi anaerobik pada bagian
dasar kolam. Kedalaman kolam arus tetap dipertahankan untuk menghindari terjadinya
penguapan yang akan mengganggu stratifikasi zona yang ada juga mencegah bau. Rasio
panjang dan lebar adalah (2-4):1.
50
pengamatan temperatur rata-rata pada bulan terdingin sebesar 25oC. Volume timbulan lumpur
tinja menurut UNDP adalah sebesar 25 liter/orang/tahun. Beban BOD yang akan masuk ke
kolam 2.000 mg/l.
Rencana disain:
Beban BOD = 20 x 25oC 120 = 380 kg/ha/hari
Luas lahan yang dibutuhkan = Beban BOD Total / Beban BOD .(9)
= 0,576 kg/hari / 380 kg/ha/hari = 0.0015 ha = 15,16 m2
Waktu detensi = Volume kolam / Debit lumpur yang diolah tiap hari ....(10)
= 38,75 m3/288 liter/hari = 134,6 hari
Untuk mempersingkat waktu, maka kolam fakultatif dibuat seri sehingga waktu operasi menjadi
lebih singkat.
6,9m 6,9m
51
4.5.5 Kolam Maturasi (Maturation pond)
Deskripsi dan Proses
Kolam maturasi digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari kolam fakultatif dan
biasanya disebut sebagai kolam pematangan. Kolam ini merupakan rangkaian akhir dari proses
pengolahan aerobik air limbah sehingga dapat menurunkan konsentrasi padatan tersuspensi (SS)
dan BOD yang masih tersisa didalamnya. Fungsi utama kolam maturasi adalah untuk
menghilangkan mikroba patogen yang berada di dalam limbah melalui perubahan kondisi yang
berlangsung dengan cepat serta pH yang tinggi. Proses degradasi terjadi secara aerobik melalui
kerjasama antara mikroba aerobik dan algae. Alga melakukan fotosintesis membantu
meningkatkan konsentrasi oksigen di dalam air olahan yang digunakan oleh mikroba aerob.
Kolam maturasi dirancang untuk mengolah limbah (septage) dengan konsentrasi organik yang
sudah jauh lebih rendah dibandingkan konsentrasi limbah awal saat masuk IPLT. Pada
umumnya kolam maturasi terdiri dari dua kolam yang disusun seri. Jumlah dan ukuran kolam
bergantung pada kualitas effluent yang diinginkan. Dinding kolam diberi perkerasan selain
untuk memperkuat juga untuk mencegah/menghindari terjadinya rembesan ke samping atau
arah horisontal dinding kolam.
Kelebihan
Biaya operasi rendah karena tidak menggunakan aerator
Mampu menyisihkan nitrogen hingga 80% dan amonia hingga 95%
Mampu menyisihkan mikroba patogen
Kelemahan
Hanya mampu menyisihkan BOD dalam konsentrasi yang kecil
Kriteria Disain
Kolam maturasi berbentuk kolam penampung dengan perbandingan panjang dan lebar (2-4):1.
Kedalaman kolam dibuat antara (1-2) m sehingga dapat mempertahankan kondisi
aerobik.Waktu detensi pada kolam maturasi antara (5-15) hari. Dasar kolam harus dibuat kedap
air untuk menghindari terjadinya rembesan atau infiltrasi ke dalam tanah.
Kolam maturasi didesain berdasarkan pada prinsip pemisahan kandungan fecal coliform. Selain
itu, jumlah kolam yang dibutuhkan bergantung pada jumlah bakteri fecal. Biasanya untuk dua
kolam dengan waktu detensi (5-10) hari akan memiliki air olahan dengan konsentrasi BOD di
bawah 30 mg/l. Jumlah bakteri coliform dalam lumpur tinja dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan di bawah ini:
52
Ne = Ni / [ 1 + (Kb x t) ] ....(11)
Keterangan:
Ne : jumlah bakteri coliform per-100 ml effluent
Ni : jumlah bakteri coliform per-100 ml influent (jumlah yang diinginkan pada
effluent berkisar antara 107-108 bakteri coliform per-100 ml
Kb : 2,6 x (1,9T-20) / hari ........(12)
T : temperatur paling dingin (oC)
t : waktu operasi
Persamaan (11) di atas digunakan untuk menghitung effluent pada satu kolam saja. Bila
terdapat beberapa kolam yang disusun secara seri, maka perhitungan menggunakan persamaan
(13) di bawah ini.
Keterangan:
t1, t2, ..tn = waktu operasi kolam ke-1, kolam ke-2, kolam ke-n
Kriteria disain lainnya yang dapat digunakan untuk merancang kolam maturasi adalah sebagai
berikut:
Tinggi jagaan (free board) : (0,3-0,5) m
Beban BOD volumetrik : (40-60) gr BOD/m3.hari
Efisiensi pemisahan BOD : 60%
BOD influent : 400 mg/l
53
BOD effluent : > 50 mg/l
Contoh perhitungan:
Kolam maturasi akan dibangun untuk sebuah IPLT yang melayani 10.000 jiwa dimana hanya
70% populasi yang memiliki tangki septik. Cakupan layanan IPLT hanya sebesar 60%. Hasil
pengamatan temperatur rata-rata pada bulan terdingin sebesar 25oC. Konsentrasi bakteri
coliform pada air limbah (influent) yang masuk ke kolam maturasi adalah 5 x 107/100 ml.
Volume timbulan lumpur tinja menurut UNDP adalah sebesar 25 liter/orang/tahun.
Direncanakan akan dibangun 2 (dua) unit kolam maturasi dengan waktu detensi 12 hari.
Sehingga kolam maturasi yang direncanakan adalah: 2 (dua) kolam yang disusun seri, dengan
luas 1,8m2 kedalaman 2m dan volume 3,456m3
4.5.6 Acuan Dimensi Kolam Anaerobik, Kolam Fakultatif Dan Kolam Maturasi
Perencanaan dimensi ketiga kolam (kolam anaerobik, fakultatif, aerasi dan maturasi) dapat
menggunakan Tabel 7 berikut di bawah ini.
54
Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98
Kriteria perencanaan untuk inlet dan outlet kolam-kolam ini adalah sebagai berikut:
Panjang pipa inlet kolam stabilisasi dipasang hingga 1/3 panjang kolam atau maksimal 15m
Konstruksi interkoneksi antar kolam dibuat untuk memudahkan pengambilan sampel
limbah
Lumpur diangkat dan diletakkan di atas lapisan pasir sehingga cairan akan turun ke pasir
dibawahnya. Pasir berfungsi sebagai media penyaring untuk memisahkan cairan dan padatan
pada lumpur. Supernatan (cairan yang tertelah terpisah dari padatan) hasil proses pengeringan
lumpur ditampung pada saluran drainase yang berada di bawah bak pengering untuk
diresirkulasi menuju ke bak ekualisasi sebagai bahan pengencer. Bentuk bak pengering lumpur
dapat dilihat pada Gambar 28 berikut ini.
55
Tabel 7. Perencanaan Dimensi Kolam
56
Kelebihan
Biaya investasi pembangunan bak/unit dan operasional murah
Tidak memerlukan listrik karena proses pengeringan lumpur berjalan secara alami dengan
menggunakan sinar matahari
Kelemahan
Memerlukan lahan yang luas mengingat lapisan lumpur yang diaplikasikan tidak boleh tebal
(maksimum 20 cm) untuk mempercepat proses pengeringan
Membutuhkan waktu detensi yang lama
Berpotensi menjadi sarang bagi serangga
Mengeluarkan bau
Kriteria Disain
Bak pengering lumpur berbentuk empat persegi panjang dengan kedalaman (0,5-1)m. Rasio
antara panjang dan lebar berkisar antara (3-6): 1. Ketinggian dinding bak di atas pasir dibuat
45cm dengan tinggi jagaan (15-25)cm. Dinding bak bisa dibuat dari beton, pasangan bata
dengan spesi semen.
Satu unit bak pengering Iumpur ditetapkan luas permukaannya 5 x 15 m2. Ketebalan lumpur
basah yang diaplikasikan pada unit pengering lumpur ini adalah setebal (30-45)cm dengan
waktu detensi 7 (tujuh) hari. Dimensi bak pengering lumpur ini dapat dilihat pada Gambar 30
dan Tabel 8 berikut ini.
57
Tabel 8. Dimensi Bak Pengering Lumpur
58
Gambar 30. Dimensi Bak Pengering Lumpur
(Sumber: Petunjuk Teknis CT/AL/Re-TC/001/98)
Pipa distribusi lumpur ke dalam bak (pipa inlet) berdiameter 150 mm yang terbuat dari bahan
GI. Namun, pipa PVC juga dapat digunakan tetapi harus ditanam ke dalam dinding bak. Pipa
inlet dipasang pada salah satu sisi memanjang tiap kompartemen bak. Pipa drainase untuk
menampung dan mengalirkan supernatan dibuat dengan diameter minimal 15cm. Pipa peluap
(pelimpah) dipasang pada dinding bak dengan diameter (100-150)mm.
Kadar air lumpur kering dapat mencapai nilai optimal pada kisaran (70-80)%, Ketebalan lumpur
kering di atas pasir (20-30)cm. Media penyaring yang digunakan adalah pasir dan kerikil.
Spesifikasi media pasir yang digunakan pada lapisan atas bak dibuat dengan kriteria:
Ukuran efektif (0,3-0,5)mm
Koefisien keseragaman 5
Ketebalan pasir (1,5-22,5)cm
Kandungan kotoran 1% terhadap volume pasir
59
Gambar 31. Lay Out Bak Pengering Lumpur
(Sumber: www.tpub.com)
60
Selanjutnya untuk media kerikil, spesifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kerikil dengan diameter (3-6)mm yang diaplikasikan 15cm di atas dasar bak
Kerikil dengan diameter (20-40)mm dipasang setebal 15cm menutupi (atas,kanan dan
kiri) pipa drainase (penangkap supernatan) dengan ketebalan (10-15)cm
Profil media pada bagian bawah bak dapat dilihat pada Gambar 32 berikut ini.
61
Gambar 33. Profil Bak Pengering Lumpur
(Sumber: Bintek Bekasi, 2011)
62
Profil hidrolis untuk IPLT dapat dilihat pada Tabel 9 di bawah ini.
63
Penerapan profil hidrolis haruslah menyesuaikan dengan elevasi muka tanah asli
untuk memperkecil biaya pekerjaan gali dan urug tanah. Selain itu, elevasi dibuat
semaksimal mungkin terhadap badan air penerima untuk memperkecil biaya operasi
pompa.
64