Layout Jurnal Unhan Edisi Desember Volume 4 Nomor 3
Layout Jurnal Unhan Edisi Desember Volume 4 Nomor 3
THE WEAPONS TO END ALL WEAPONS: WHY DO STATES SEEK TO ACQUIRE NUCLEAR
WEAPONS?
(SENJATA UNTUK MENGAKHIRI SELURUH SENJATA: MENGAPA NEGARA BERUPAYA
MEMILIKI SENJATA NUKLIR?)
Hamdan Hamedan ...................................................................................................................... 99-108
THE POLITICAL ECONOMY OF TRADE LIBERALIZATION AND APEC GLOBAL AGENDA 2014:
AN ANALYSIS FROM INDONESIA PERSPECTIVE
(EKONOMI POLITIK DALAM LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN AGENDA GLOBAL
APEC 2014: ANALISIS MELALUI PERSPEKTIF INDONESIA)
Ari Setiyanto ............................................................................................................................... 109-132
Salam jumpa,
Dari meja redaksi, Jurnal Pertahanan edisi Desember 2014 Volume 4 Nomor 3 kembali
hadir dengan mengangkat tema Menuju ASEAN Economic Community 2015. Hal ini seiring
dengan akan diberlakukannya Pasar Tunggal di Asia Tenggara pada akhir 2015 sebagai
upaya yang dilakukan agar daya saing ASEAN meningkat serta bisa menarik investasi
asing.
Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan
pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Pembentukan pasar tunggal yang
diistilahkan dengan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) ini nantinya memungkinkan satu
negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia
Tenggara sehingga kompetisi akan semakin ketat.
Menyikapi perkembangan situasi yang ada, Universitas Pertahanan sebagai salah satu
Perguruan Tinggi Negeri yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan vokasi di
bidang pertahanan dan bela negara serta pendidikan profesi, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, merasa perlu mengangkat isu ini menjadi Tema Jurnal
Pertahanan edisi Desember 2014 Volume 4 Nomor 3 ini. Kami berharap mendapat
masukan dari para pakar dan penulis yang expert di bidang Ekonomi Pertahanan.
Masukan tersebut selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh civitas akademika dalam
pengembangan di bidang akademis, khususnya yang berhubungan dengan bidang
keilmuan Ekonomi Pertahanan.
Semoga edisi ini dapat memberikan kontribusi positif kepada semua pihak yang
berkepentingan serta dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemajuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di
Indonesia, Amin.
Selamat membaca.
Redaksi
Abstrak -- Pembentukan ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) dapat dikatakan merupakan
sinergi antara penciptaan mekanisme pasar bebas ASEAN Economic Community di kawasan Asia
Tenggara, dengan adanya komunitas keamanan guna mewujudkan visi ASEAN 2020. Sinergi
antara pasar bebas dan komunitas keamanan menjadi prakondisi bagi visi ASEAN 2020 semenjak
Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat strategis baik secara ekonomi maupun politik
global negara-negara hegemoni. Dengan menggunakan kerangka teori security community, yang
digunakan Amitav Acharya via Karl Deutsch yang menjelaskan kecenderungan negara-negara
berkembang untuk mengelola anarki internasional sebagai alternatif dilema keamanan dan
interdependensi (neorealisme dan neoliberal-institusional) yang dinilai terlalu linier dalam
memandang interaksi antar negara-- penulis menekankan aspek keterhubungan antara ekonomi
dan pertahanan dengan menggunakan teori governmentality Foucauldian yang
dioperasionalisasikan dalam state of exceptional Michael Hardt-Antonio Negri dan aparatus
oikonomia Girogio Agamben, sebagai bentuk prakondisi yang memungkinkan security community
terjadi. Sederhananya, ADMM merupakan perangkat yang tak terelakkan jika ASEAN ingin serius
menciptakan ekonomi pasar bebas di kawasan Asia Tenggara. Pembentukkan ADMM dengan
demikian adalah realita yang niscaya di saat suatu kawasan ingin membentuk perjanjian pasar
bebas.
Kata kunci: ASEAN Defense Ministers Meeting, ASEAN Economic Community 2015, komunitas
keamanan, state of exception, aparatus oikonomia
Abstract -- Establishment of the ASEAN Defense Ministers' Meeting (ADMM) can be said to be a
synergy between the creation of a free market of ASEAN Economic Community in Southeast Asia,
with the security community in order to realize the ASEAN Vision 2020. The synergy between the free
market and the security community shall be a precondition for the ASEAN Vision 2020 since
Southeast Asia is an area of great strategic, economic and political hegemony of global states. By
using the security community theoretical framework used by Amitav Acharya via Karl Deutsch
which describes the tendency of developing countries to manage international anarchy as an
alternative to the security dilemma and interdependence (neorealism and neoliberal-institutional)
are considered to be too linear in view of the interaction among nationsthe author emphasize the
interrelation between economic aspect the defense aspect using the Foucauldian governmentality
theory utilisizing the operationalization within the state of exceptional theory by Antonio Negri and
1
Penulis adalah kandidat Magister Sains Pertahanan di Program Studi Ekonomi Pertahanan Universitas
Pertahanan Indonesia, dan peneliti di Yayasan PURUSHA Research Cooperative Jakarta.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 1
Girogio Agamben oikonomia apparatus, as a form of preconditions that enable the security
community to happen. Simply put, the ADMM is a device that is inevitable if ASEAN wants to
seriously create a free market economy in Southeast Asia. The establishment of ADMM is thus
inevitable in the current reality of a region in order to form a free trade agreement.
Keywords: ASEAN Defense Ministers Meeting, ASEAN Economic Community 2015, governmentality,
security community, state of exception, oikonomia apparatus
Pendahuluan
Makalah ini setidaknya ingin menunjukkan tiga hal: pertama, bahwa untuk membangun
suatu mekanisme pasar dalam teritorialisasi yang baru, adalah penting untuk membentuk
mekanisme pertahanan pada teritorialisasi tersebut guna membangun citra maupun
batas-batas yang jelas sehingga kegiatan ekonomi pada kawasan tersebut dapat terjamin
keberlangsungannya. Kedua, perilaku negara yang dapat dilihat dari kondisi tersebut oleh
karenanya, adalah tidak terbatas pada perilaku yang self-help (egois), mengutamakan
perang, dan menjaga status quo dilema keamanan yang merupakan sederet asumsi-
asumsi realisme dan neorealisme dalam memandang hubungan internasional. 2
Di sisi lain, negara juga tidak selalu berada dalam kondisi ketergantungan terhadap
pola interaksi kerja sama; dimana ekonomi memainkan peranan yang lebih besar dari
security karena demokrasi dan kapitalisme neoliberal memungkinkan negara hanya
berinteraksi secara rasional-ekonomis. Negara-negara berkembang yang notabene masih
membutuhkan bantuan asing dalam menopang perekonomiannya, membutuhkan
kerjasama dan pembangunan serta transfer teknologi, namun juga membutuhkan
penguatan komunitas keamanan guna menjamin persaingan di bidang ekonomi
berlangsung secara aman. Ketiga, bahwa dua kondisi tersebut memberikan pemahaman
bahwa pertahanan (defense) adalah bidang yang sama sekali tak terpisahkan dari
pemenuhan kebutuhan ekonomi, bahkan di era dominasi tatanan neo-liberalisme
sekalipun yang mana andil negara lebih kecil ketimbang aktor ekonomi lain.
ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) dapat dikatakan sebagai upaya untuk
membangun komunitas, mengembangkan dan mematerialisasikan institusionalisasi kerja
sama praktis di bidang pertahanan oleh negara-negara anggota Association of South East
2
Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional
Order, (New York: Routledge, 2001), hlm. 1-2.
2 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Asia Nations (ASEAN) yang bertujuan untuk meregulasi pertemuan tahunan yang
membahas isu keamanan nontradisional berdasarkan sistem rotasional Expert Working
Groups (EWGs).3 ADMM adalah pembedaan dari kerangka ASEAN Regional Forum (ARF)
yang lebih berurusan dalam menangani ancaman tradisional. ADMM dibentuk pada 2006
dan melakukan pertemuan pertamanya pada 9 Mei 2006.
3
Lihat, http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/category/asean-defence-
ministers-meeting-admm, diunduh pada 6 November 2014.
4
Ibid.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 3
dan (5) pergerakan bebas pekerja terampil. Hal ini berkonsekuensi pada harus
siapnya Indonesia untuk menyambut persaingan yang begitu terbuka dengan negara-
negara ASEAN baik dari segi perdagangan maupun persaingan lapangan pekerjaan dan
bisnis.5
5
Dodi Mantra, Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme: Menelusuri Langkah Indonesia menuju Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015 (Jakarta: Mantrapress, 2011), hlm. 3-8.
6
Amitav Acharya, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional
Order, (New York: Routledge, 2001), hlm. 1-2.
7
Ibid.
4 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Lalu bagaimanakah ADMM dapat mendukung berlangsungnya Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015? Pemikiran Amitav Acharya mengenai security community dapat
dikatakan juga berupaya menjawab pertanyaan ini. Acharya membangun proposisi yang
menunjukkan bahwa negara-negara berkembang tidak sama dengan negara-negara maju
yang dapat memilih apakah mereka ingin bersitegang dengan melakukan perlombaan
senjata atau justru memainkan kerja sama yang intens.
Namun jika dikaji lebih jauh, teori security community yang di satu sisi merupakan
teori yang mampu secara presisi mendeskripsikan pola interaksi di ASEAN, namun di sisi
lain tidak menjelaskan bagaimana dan dalam kondisi apa inteaksi security community
tersebut dimungkinkan ada dan menjadi klaim teoritik terhadap semua negara
berkembang yang akan mencoba membangun sebuah komunitas (baik ekonomi maupun
keamanan). Dengan kata lain, Acharya tidak melihat adanya dimensi keterhubungan
antara prakondisi ekonomi dan adanya komunitas ekonomi dalam suatu kawasan (dan
batas-batas yang melingkupinya) sebagai prakondisi pula pada justifikasi dibangunnya
suatu komunitas keamanan.
Tinjauan Literatur
Teori security community pertama kali dikembangkan Karl Deutch. Pertama, security
community meningkatkan kemungkinan bahwa melalui interaksi dan sosialisasi, negara-
negara dapat mengelola anarki, dan meski dapat lolos dari security dilemma, kondisi
realis, neorealis, dan neoliberal adalah fitur permanen yang akan terus terjadi dalam
Kerangka Pemikiran
Thomas Hobbes dalam Leviathan mengemukakan bahwa manusia pada dasarnya adalah
mahkluk yang egois dan jahat sehingga akan selalu mengejar kepentingannya masing-
masing sebagai upaya bertahan hidup (survival of the fittest) dan akan selalu berupaya
menyingkirkan manusia lain.10 Thomas Hobbes tidak salah dalam mengargumentasikan
hal ini, namun Hobbes tidak menjelaskan apa yang memungkinkan praktik homo homini
lupus ini terus berlangsung dan menjadi fenomena yang universal sehingga tidak
dipertanyakan kembali struktur yang memungkinkannya. Dengan kata lain, analisis
Hobbes tidak sampai pada struktur apa yang melandasi manusia dapat saling brutal
menyingkirkan yang lain demi mengejar upaya bertahan hidup. Demikian pula analisis-
8
Amitav Acharya, op.cit., hlm. 1-2.
9
Ibid., hlm. 3.
10
Thomas Hobbes, Leviathan: The Matter, Forme, & Power of a Common-wealth Ecclesiasticall, (London:
St. Paulus Church-yard, 1651), hlm. 128.
6 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
analisis realisme politik hingga realisme struktural dalam keilmuan Hubungan
Internasional pada umumnya yang lahir dan terinspirasi dari pemikiran Hobbes tersebut. 11
Pada satu sisi, individu menentukan interaksi, di sisi lain interaksi menjadi terstruktur dan
menentukan pilihan-pilihan individu dalam bertindak.
11
Kenneth Waltz, Man, The State and War, (New York: Columbia University Press, 1997), hlm. 1-2.
12
Nikolas Rose & Peter Miller, Political power beyond the State: Problematics of Government, The
British Journal of Sociology, London School of Economics and Political Science, 2010, hlm. 272-303.
13
Joseph Nye, Soft Power, Foreign Policy Journal, No. 80, Twentieth Anniversary, 1990, hlm. 153.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 7
curiga dominan dalam interaksinya sehingga memgungkinkan security dilemma, namun di
sisi lain negara juga membutuhkan kerjasama dalam membentuk pertahanan di suatu
teritori selain kerjasama dalam bidang ekonomi. Nampaknya teori ekonomi mengenai
invisible hand juga berlaku bagi pembentukan komunitas keamanan; yakni tanpa
diaturpun komunitas keamanan niscaya menjadi perlengkapan tak terelakan dari suatu
teritori agar keamanan dan kestabilan terjaga.
Hardt dan Negri dalam Multitude menjelaskan bahwa perang tidak lagi melulu
dalam interaksi negara karena adanya interaksi yang berpola dari perang itu sendiri yakni
pola state of exception atau pengecualian terhadap agensi perang. 15 Hardt dan Negri
mengemukakan, war was a limited state of exception, yakni di mana perang
dikecualikan dalam agensi-agensi tertentu saja seperti negara dan hanya negara tertentu
saja. Hal ini justru memungkinkan perang menjadi semakin melebur dalam interaksi sosial
secara general, mengapa? Karena dalam perang terdapat unsur politik yang turut
bermain. Interaksi politik dalam era kontemporer sendiri juga semakin melebur dalam
14
Michael Hardt & Antonio Negri, Multitude: War and Democracy in the Age of Empire, (New York: The
Penguin Press, 2004), hlm. 5-6.
15
Ibid., hlm. 12-13.
8 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
interaksi sosial masyarakat dan bahkan kegiatan ekonomi. Foucault dalam teorisasinya
mengenai praktik governmentality, mengajukan tesis bahwa politik sudah mendarah
daging dalam kehidupan terkecil manusia, dari presiden hingga kepala keluarga, adalah
agensi-agensi politik.16
Pembalikkan konsepsi perang Clausewitz oleh Foucault ini, juga dilandasi oleh
kerangka berpikir Foucault mengenai seni memerintah sebuah negara dalam sistem dan
tatanan neo-liberal. Pemerintah dalam suatu negara tidak hanya menggunakan
kekuasaannya secara langsung untuk mengendalikan rakyatnya (baik dengan militer
ataupun rezim otokratik), melainkan juga melalui serangkaian pengaturan dari
pengaturan (conduct of conduct) yang memungkinkan masyarakat teratur tanpa harus
adanya campur tangan langsung dari pemerintah. Natur manusia sebagai mahkluk
ekonomi (homo oeconomicus) dengan sendirinya memungkinkan pemerintahan
melakukan seni mengaturnya. Pemerintah memiliki apa yang disebut Foucault sebagai (1)
rasionalitas kepemerintahan dan (2) teknologi kepemerintahan. Rasionalitas
kepemerintahan adalah alasan atau justifikasi yang melandasai sebuah pemerintahan
mengeluarkan kebijakan dan pengaturan administratif kepada rakyatnya, sehingga
diciptakanlah teknologi untuk menanggulangi dan memungkinkan rasionalitas tersebut
berjalan. Jadi, di satu sisi secara struktural pemerintah memiliki mekanismenya sendiri
16
Nikolas Rose & Peter Miller, op.cit., hlm. 273.
17
Ibid.
18
Michel Foucault, Society Must be Defended: Lectures at the College De France, (New York: Picador,
1997), hlm. xviii.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 9
yang memungkinkan pengturan berjalan tanpa adanya paksaan; di sisi lain secara agensi
masyarakat memiliki natur homo oeconomicus yang memungkinkan mereka tunduk pada
sistem pemerintahan tertentu.
Oikos memiliki dua unsur yang saling terkait dan tidak bisa dilepaskan satu sama
lain, yakni adanya teritori (rumah) dengan manusia (anggota) yang memiliki kebutuhan
untuk bertahan hidup. Dengan kata lain, teritori dan kebutuhan manusia adalah dua
variabel yang saling mempengaruhi sedemikian rupa sehingga jika yang satu hancur,
maka yang lain akan hancur juga, atau jika yang satu diserang maka yang lain akan turut
mengalami kerugian-kerugian. Konsep ini memperlihatkan secara jelas bahwa
pemenuhan kebutuhan hidup tidak mungkin tidak, dilakukan dengan memenuhi aspek-
aspek pertahanan dan keamanan semenjak terdapat lebih dari satu oikos (bisa disebut
keluarga lain, kelompok lain, suku bangsa lain, hingga negara lain) yang sewaktu-waktu
dapat saja mengancam upaya mempertahankan hidup tadi.
19
Giorgio Agamben, What is an Apparatus? And Other Essays, (California: Stanford University, 2009),
hlm.11.
10 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Dengan mengacu pada penjabaran tersebut, dapat dikatakan bahwa perang
merupakan interaksi yang mempengaruhi seluruh lini kehidupan manusia pada masa kini
di bawah sistem kapitalisme dan negara-bangsa, yang oleh karenanya bukan lagi
prerogatif sebagai konsep interaksi antar negara-bangsa. Proses dan upaya mencapai
pertahanan hidup (dengan mengupayakan kebutuhan hidup) adalah pada dasarnya (by
default) upaya untuk menciptakan pertahanan-pertahanan lain yang baik yang berbasis
militer maupun gerakan sosial dan perlawanan. Hardt dan Negri menegaskan, today,
however, war tends to extend even farther, becoming a permanent social relations..,20
untuk menutup argumentasi ini mereka melanjutkan, it may be that war is a
continuation of politics by other means, but politics itself be that war conducted by other
means. 21 Fenomena perang sebagai bagian dari seluruh kehidupan ini beserta
mekanisme ekonomi yang menjadi medan pertempuran-nya, dengan demikian
membuktikan bahwa ekonomi dan pertahanan pada awalnya merupakan satu kesatuan
yang tak terpisahkan.
20
Michael Hardt & Antonio Negri, op.cit., hlm. 5-6.
21
Ibid.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 11
Pembahasan
Rencana aksi ASEAN Security Community (ASC) yang diadopsi pada Konferensi Tingkat
Tinggi ASEAN ke-10 di Vientiane pada 29 November 2004, memutuskan bahwa ASEAN
akan bekerja dengan tujuan untuk membentuk ADMM. ADMM adalah adalah mekanisme
konsultatif dan kooperatif tertinggi pertahanan di ASEAN. ADMM bertujuan
mempromosikan kepercayaan bersama dan kepercayaan diri melalui pemahaman yang
lanjut mengenai tantangan pertahanan dan keamanan sebagai salah satu bagian dari
transparasi dan keterbukaan. Tujuan dari dibentuknya ADMM, seperti yang telah
dirumuskan di Kuala Lumpur pada 9 Mei 2006, adalah sebagai berikut: 1) mempromosikan
stabilitas dan perdamaian regional melalui dialog dan kerjasama dalam bidang keamanan
dan pertahanan; 2) untuk memberikan panduan pada negara-negara ASEAN mengenai
bagaimana ASEAN security community dibentuk dan bagaimana mencapainya; 3)
mempromosikan kesalingpercayaan dan kepercayaan diri melalui pemahaman yang lebih
luas dari tantangan keamanan dan pertahanan guna mencapai transparansi dan
keterbukaan; 4) untuk mendukung jalannya ASEAN Security Community (ASC) yang
diputuskan di Bali Concord II dan mempromosikan Vientiane Action Programme (VAP); 5)
untuk memberikan manfaat kepada negara anggota ASEAN dalam membangun kapasitas
untuk menghadapi tantangan keamanan. 22
22
Lihat http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/category/asean-defence-
ministers-meeting-admm, diunduh pada 6 November 2014.
12 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Sementara untuk memberikan panduan pada negara-negara ASEAN mengenai
bagaimana ASEAN security community dibentuk dan bagaimana mencapainya adalah juga
salah satu proses pembelajaran sosial. Mempromosikan kesalingpercayaan dan
kepercayaan diri melalui pemahaman yang lebih luas dari tantangan keamanan dan
pertahanan, guna mencapai transparansi dan keterbukaan dan mendukung jalannya
ASEAN Security Community (ASC) adalah bentuk dari sosialisasi guna memperkuat
pertahanan di kawasan Asia Tenggara.
23
Center for Strategic & International Studies, No. 25 (2011), ASEAN Defence Industry Collaboration,
dalam http://www.csis.org/isp/diig, diunduh pada 6 November 2014.
24
Tomotaka Shoji, ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) and ADMM Plus: A Japanese Perspective,
(NIDS Journal of Defense and Security, 14 Desember 2013), hlm. 10-12.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 13
Security Community juga tidak lepas dari visi ASEAN 2020 dengan dicanangkannya
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
Dalam hal ini, Hardt dan Negri dalam Multitude melalui kerangka berpikir state of
exception (kondisi istimewa) menjelaskan bahwa dalam satu teritori yang sudah
disepakati untuk dilakukan kerja sama yang intensif, maka perilaku members dalam
kawasan tersebut terhadap teritori lain cenderung menunjukkan asertifitas yang tidak lain
berpolakan perang. Perang di sini tidak diartikan secara tradisional dan linier dimana
perang selalu adalah pertempuran-pertempuran dari dua kekuatan besar (negara).
Perang dapat berbentuk perang ekonomi ataupun perang maya (cyberwar)sebagai
contoh. Pada kasus ADMM dan ASEAN Economic Community ini, persepsi interaksi perang
yang konfliktual niscaya akan terbentuk karena kawasan Asia Tenggara adalah kawasan
tempat perebutan pengaruh baik Amerika Serikat, Tiongkok, maupun Rusia dan Eropa
Barat. Oleh karenanya, jika mekanisme pertahanan kolektif tidak dilakukan (dengan
mensinergikan ekonomi dan keamanan), maka kualitas dan kuantitas kerja sama pasar
bebas tidak akan terjamin lama.
Selain itu, dalam cetak biru ASEAN Economic Community, juga dicanangkan visi
menyatukan ekonomi Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam yang notabene negara-
negara dengan pemerintahan yang cenderung otokratik. 26 Hal ini tentu membawa
konsekuensi penguatan komitmen secara regional agar negara-negara tersebut mau ikut
serta di bawah sistem pasar bebas, yang sangat dimungkinkan karena memiliki political
will dalam meredam ketegangan, yang mana dibuktikan dengan adanya arms dynamic
ketimbang arms races.27
Terbentuknya ASEAN Economic Community tidak lain adalah kesadaran bahwa Asia
Tenggara di satu sisi harus mengejar ketertinggalan dengan kawasan-kawasan negara
maju lain baik dari sistem politik, ekonomi, dan investasi. Dari sistem politik, ASEAN
sedang berjuang menjadi negara-negara yang sepenuhnya dewasa secara demokratis
sehingga kemajuan di bidang ekonomi dimungkinkan terjadi dengan memungkinkan pula
sikap saling menghormati antar negara. Dengan kata lain, melalui sistem yang demokratis
25
ASEAN Economic Community Blueprint, 2008, dalam http://www.asean.org, diunduh pada 6 November
2014.
26
Ibid.
27
Richard Bitzinger menunjukkan bahwa Asia Tenggara, bahkan ketika negara-negara di dalamnya sedang
meningkatkan anggaran belanja pertahanan, tidak memperlihatkan pola interaksi security dilemma yang
tercermin dari fenomena arms race. Sebaliknya, Asia Tenggara lebih banyak menunjukkan pola interaksi
arms dynamic. Lihat Richard Bitzinger, A New Arms Race? Explaining Recent Southeast Asian Military
Acquisitions, Contemporary Southeast Asia, Vol. 32, No. 1, 2010, hlm. 5069.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 15
dimungkinkan persaingan yang kompetitif tanpa adanya pergesekan di internal kawasan.
Di sisi lain, ASEAN harus pula mandiri tanpa harus menggantungkan diri pada bantuan-
bantuan investasi negara-negara maju. Dengan membangun pasar bebas regional
tersebut, maka negara-negara Asia Tenggara dapat sekuat Uni Eropa yang hampir tidak
ada border dalam setiap kegiatan ekonominya. 28
Hal inilah yang membuat perlu adanya regionalisme di Asia Tenggara. Bary Buzan
memandang lebih jauh mengenai Asia Tenggara: selain bahwa kawasan ini dipandang
sangat potensial oleh negara-negara maju,29 namun kawasan ini juga mempunyai catatan
sejarah kolonialisme yang sangat panjang. 30 Tercatat hanya Thailand yang tidak memiliki
riwayat penjajahan, sedangkan sisanya menjadi negara jajahan baik Eropa maupun
Amerika Serikat. Hal ini yang membuat Asia Tenggara memiliki pola interaksi yang disebut
oleh Buzan sebagai Kompleksitas Keamanan Regional (Regional Security Complex).
Dikatakan kompleks karena kawasan ini selain telah mengalami penjajahan yang panjang,
juga menjadi memiliki budaya yang bercampur dengan negara-negara yang menjajahnya
yang memungkinkan mereka seperti kehilangan jati diri dan cenderung dikendalikan
negara-negara maju lain.31
Di samping kompleksitas yang dialami oleh ASEAN akibat rekam jejak penjajahan,
namun ASEAN tetap menjadi aparatus bagi Asia Tenggara yang terbentuk karena
keinginan members dalam oikos untuk mengatur house-nya agar tidak tercampuri urusan-
urusannya oleh nomos lain. Dengan adanya ASEAN yang diikuti dengan upaya-upaya
membangun komunitas ekonomi dan keamanan sendiri maka tercipta aparatus (aparatur)
yang dapat setidaknya menjadi efek penggetar dan penangkal bagi members-members
28
Membangun suatu kawasan yang notabene juga menciptakan variasi dalam multilateralisme
memungkinkan interaksi yang lebih intensif dengan negara-negara lain. International rule atau aturan
internasional yang bervariasi dengan demikan akan tercipta dan memungkinkan hegemoni dan hierarki
dalam hubungan internasional dapat diminimalisasi. Lihat Charmaine Misalucha, Southeast Asia-US
Relations: Hegemony or Hierarchy?, Contemporary Southeast Asia, Vol. 33, No. 2, 2011, hlm. 20928.
29
Jurgen Ruland melihat bahwa ASEAN meski selalu bersipkap hedging, namun berkontribusi secara
multilateral terhadap kawasan-kawasan lain di luarnya. Artinya, dengan bersikap berteman dengan siapa
saja namun masih memegang posisi identitas yang kuat, ASEAN memberikan penguatan pula pada
multilateralisme yang sekarang telah berubah dari multilateralisme negara-negara menjadi multilateralisme
kawasan-kawasan. Lihat Jurgen Ruland, Southeast Asian Regionalism and Global Governance: Multilateral
Utility or Hedging Utility?, Contemporary Southeast Asia, Vol. 33, No. 1, 2011, hlm. 83112.
30
Bary Buzan dan Ole Weaver, Regions and Powers: The Structure of International Security, (United Kingdom:
Cambridge University Press, 2003), hlm.133-135.
31
Ibid .
16 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
lain di kawasan lain agar mau mengikuti aturan main jika ingin tetap berhubungan baik
dengan Asia Tenggara. Adanya ADMM di sini, berfungsi dan berkaitan erat dengan upaya
penggetar dan penangkal tersebut, tanpa terkesan dengan citra offensive, karena
memang pada dasarnya ADMM ditujukan untuk menangani permasalahan keamanan
non-tradisional guna menghadapi tantangan dan ancaman tradisional. 32
Kesimpulan
ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015 adalah prakondisi yang
memungkinkan ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) menjadi penting dan
signifikan bagi keberlangsungannya, dan lebih jauh lagi, bagi keberlangsungan ASEAN
sendiri guna mencapai visi ASEAN 2020. Hal ini ditunjukkan dengan semangat
pembentukkan security community yang digagas oleh Karl Deutch dan diteruskan Amitav
Acharya dalam analisisnya di kawasan Asia Tenggara; kemudian dielaborasi lagi dengan
pendekatan state of exception Michael Hardt dan Antonio Negri serta Aparatus oikonomia
Giorgio Agamben. Dengan pendekatan teoritis tersebut, argumen yang penulis tekankan
pada tulisan ini adalah bahwa cita-cita/visi ASEAN 2020 yang dituangkan dalam
implementasi ASEAN Economic Community sangat terkait dan menjadi landasan
prakondisi yang memungkinkan ADMM menjadi signifikan keberadaannya. Oleh karena
itu, hal tersebut harus benar-benar dimanfaatkan oleh ASEAN sebagai bargaining position
diplomasi dengan komunitas multilateral di luar kawasan Asia Tenggara. Hal ini karena
pada dasarnya suatu kawasan yang memiliki aparatus regionalisme, yang merupakan
cerminan dari anggota-anggota di dalamnya, cenderung akan membangun pertahanan
yang kuat dengan tujuan menjaga stabilitas dan keamanan di wilayahnya guna
mendukung pasar dan ekonomi bersama, yang tidak lain adalah upaya bersama untuk
mencapai kebutuhan hidup dalam kawasan tersebut.
Dari analisis dan argumentasi tersebut, maka dapat dilihat bahwa ADMM (dan
ADMM plus) adalah forum yang sangat strategis guna mewujudkan dan menjamin
keberlangsungan ASEAN Economic Community guna menjadi kekuatan bagi ASEAN
sebagai organisasi regional serta negara-negara anggotanya sebagai kekuatan-kekuatan
32
Lihat http://www.asean.org/communities/asean-political-security-community/category/asean-defence
ministers-meeting-admm, diunduh pada 6 November 2014.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 17
ekonomi maupun kekuatan politik yang kuat. Tanpa mengesampingkan ASEAN Way
sebagai budaya diplomasi negara-negara di ASEAN, ASEAN harus secara proaktif dan
asertif membangun ADMM sebagai anti-tesis dari keengganan-keengganan kultural dari
gaya diplomasi ASEAN Way. Oleh karenanya keberadaan ADMM plus harus menjadi
kekuatan dan dimanfaatkan secermat-cermatnya bagi terjaminnya pelaksanaan ASEAN
Economic Community 2015.
Buku
Acharya, Amitav. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the
problem of regional order. New York: Routledge.
Agamben, Giorgio. 2009. What is an Apparatus? And Other Essays. California: Stanford University.
Buzan, Bary dan Ole Weaver. 2003. Regions and Powers: The Structure of International Security.
United Kingdom: Cambridge University Press.
Foucault, Michel. 1997. Society Must be Defended: Lectures at the College De France. New York:
Picador.
Hobbes,Thomas. 1651. Leviathan: The Matter, Forme, & Power of a Common-wealth Ecclesiasticall.
London: St. Paulus Church-yard.
Hardt, Michael & Antonio Negri. 2004. Multitude: War and Democracy in the Age of Empire. New
York: The Penguin Press.
Waltz, Kenneth. 1997. Man, The State and War. New York: Columbia University Press.
Jurnal
Bitzinger, Richard. 2010. A New Arms Race? Explaining Recent Southeast Asian Military
Acquisitions. Contemporary Southeast Asia. Vol. 32. No. 1.
Misalucha, Charmaine. 2011. Southeast Asia-US Relations: Hegemony or Hierarchy?.
Contemporary Southeast Asia. Vol. 33, No. 2.
Nye, Joseph. 1990. Soft Power. Foreign Policy Journal. No. 80. Twentieth Anniversary.
Rose, Niklolas & Peter Miller. 2010. Political power beyond the State: problematics of
government. The British Journal of Sociology: London School of Economics and Political
Science.
Ruland, Jurgen South. 2011. East Asian Regionalism and Global Governance: Multilateral Utility or
Hedging Utility?. Contemporary Southeast Asia. Vol. 33. No. 1.
Shoji, Tomotaka. 2013. ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM) and ADMM Plus: A Japanese
Perspective. NIDS Journal of Defense and Security, 14 Desember 2013.
Website
Erlinda Matondang1
Universitas Pertahanan Indonesia
(erlinda.matondang@gmail.com)
Abstrak String of Pearl (SoP) merupakan strategi Tiongkok dalam menyebarkan pengaruh
ekonominya dari daratan Tiongkok menuju Timur Tengah dengan melalui wilayah strategis,
seperti Selat Malaka dan Samudera Hindia, yang merupakan bagian dari Indonesia. Strategi ini
akan memengaruhi pencapaian MP3EI, yang menjadi pedoman pembangunan ekonomi Indonesia.
Pelaksanaan Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA), yang memperluas akses Tiongkok ke wilayah
strategis tersebut, memberikan dampak terhadap pembangunan koridor-koridor ekonomi
Indonesia, khususnya dalam kerangka MP3EI. Tulisan ini mengulas dampak SoP Tiongkok
terhadap pembangunan ekonomi Indonesia yang dimotori oleh MP3EI, khususnya di era KEA.
Ulasan ini menunjukkan strategi yang dapat dilakukan Indonesia untuk meminimalisasi dampak
SoP terhadap pencapaian MP3EI dalam konteks pasar bebas ASEAN 2015. Potensi-potensi
Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya tawar dalam diplomasi dan negosiasi
dengan Tiongkok juga disampaikan dalam ulasan singkat di bagian akhir tulisan ini.
Abstract String of Pearl (SoP) is Chinas strategy to expand its influence from China Mainland to the
Middle East through strategic areas, like Malacca Strait and Indian Ocean which are parts of
Indonesian. This strategy will give some influences to MP3EIs achievement that will be the
fundamental and direction of Indonesian economic building. The implementation of ASEAN Economic
Community (KEA) that expand Chinas access to strategis areas will influence the Indonesian
economic corridors building, specialized in MP3EI framework. This study will discuss about the
influence of SoPs China towards Indonesian economic building, which is driven by MP3EI in AEC era.
This review shows the available strategy for Indonesia to minimalize the influence of SoP to
achievement of MP3EI in the context of free market 2015. Indonesias potencies which available to
used for increasing leverage in diplomacy and negotiation against China also written shortly in the
last part of this review.
1
Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana (S2) Program Studi Diplomasi Pertahanan Universitas Pertahanan
Indonesia. Penulis meraih gelar Sarjana Ilmu Politik (S. IP) dari Program Studi Hubungan Internasional
Universitas Slamet Riyadi Surakarta pada tahun 2013. Penulis merupakan finalis Puteri Indonesia tingkat
Jawa Tengah tahun 2011. Penulis juga merupakan guru pribadi (Private Tutor) untuk mata pelajaran eksakta.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 21
Pendahuluan
Modernisasi semakin merebak di Asia Tenggara. Dalam bukunya yang berjudul Global
Political Economy: Understanding the International Economic Order, Robert Gilpin
menyatakan bahwa era modern ditandai dengan penggabungan perekonomian dan
integrasi negara-bangsa, sehingga membentuk wilayah yang luas.2 Hal tersebut yang
terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Indonesia dan negara-negara lain yang berada di kawasan Asia Tenggara sudah
membentuk Association of South East Asian Nations (ASEAN) sejak tahun 1967. Namun,
integrasi dalam bidang ekonomi baru akan dimulai pada tahun 2015. Integrasi ekonomi
tersebut dikembangkan hingga keluar wilayah Asia Tenggara. Negara-negara Asia lainnya,
seperti Tiongkok, India, Korea Selatan, dan Jepang juga turut di dalam integrasi ekonomi
tersebut. Bahkan, ASEAN juga merangkul negara-negara Barat, seperti Rusia, Amerika
Serikat, Selandia Baru, dan Australia.
ASEAN membentuk komunitas yang terdiri dari tiga pilar, yaitu politik dan
keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya. Pilar yang saat ini mendapatkan banyak
sorotan masyarakat internasional adalah Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA). Pada tahun
2015, pasar bebas ASEAN, yang merupakan tujuan dari KEA, akan diberlakukan. Kesiapan
negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, menjadi perhatian utama.
2
Robet Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, (Princeton:
Princeton University Press, 2001), hlm. 344.
3
Ibid., hlm. 345.
22 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
membangun potensi daerah yang digolongkan ke dalam bentuk koridor-koridor ekonomi.
Keberhasilan MP3EI menentukan kesiapan Indonesia dalam menghadapi pasar bebas
ASEAN 2015 dan pencapaiannya di masa yang akan datang.
Tiongkok merupakan salah satu negara mitra kerja sama ASEAN. Tiongkok
menerapkan strategi String of Pearl (SoP) dalam mengembangkan pengaruhnya ke
negara lain, termasuk negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Strategi tersebut
membentuk sebuah jalur yang menghubungkan Tiongkok dengan Teluk Persia melalui
Laut Tiongkok Selatan dan Selat Malaka. Pengaruh yang diberikan Tiongkok dalam
kerangka SoP dapat berbentuk militer maupun ekonomi.
Tulisan ini berbentuk ulasan dari sejumlah referensi yang membentuk serangkaian
fakta dan konsep yang membangun pemahaman menyeluruh tentang permasalahan
tersebut. Tulisan ini dibentuk melalui metode studi pustaka. Oleh karena itu, jurnal ini
tidak dapat memberikan solusi mendalam terhadap kebijakan pemerintah, tetapi dapat
menjadi kajian dan pengembangan wawasan, termasuk dalam membentuk kebijakan.
Pada awal abad ke-21, Tiongkok melakukan perbaikan dalam tataran pemerintah dan
hubungannya dengan negara lain. Dalam upaya perbaikan tersebut, pemerintah Tiongkok
mengklasifikasikan wilayahnya menjadi bagian inti dan pinggiran. Perbaikan kondisi
domestik Tiongkok dilakukan dengan pembangunan daerah pinggiran atau pesisir, yang
diharapkan memberikan dampak positif terhadap wilayah inti. Pembangunan wilayah
pinggiran ini didukung dengan kebijakan luar negeri Tiongkok yang memosisikan kelautan
Tiongkok sebagai wilayah strategis dan mempunyai potensi ekonomi kontemporer.4
Kelautan Tiongkok menjadi perhatian utama pemerintah Tiongkok saat ini. Hal ini
yang mendorong Tiongkok mengeluarkan berbagai kebijakan luar negeri di bidang
kelautan. Kebijakan-kebijakan itu dinilai, oleh sejumlah pengamat, sebagai strategi
diplomasi Tiongkok. Strategi diplomasi Tiongkok ini yang disebut dengan String of Pearl
(SoP).
4
W. Lawrence S. Prabhakar, Chinas String of Pearls in Southern Asia-Indian Ocean: Implication for India
and Taiwan dalam M.J. Vinod, et.al. (eds), Security Challenges in the Asia-Pacific Region: The Taiwan Factor,
(New Delhi: Viva Books International, 2009), hlm. 2.
5
Christopher J. Pehrson, String of Pearls: Meeting the Challenge of Chinas Rising Power Across the Asian
Littoral, (Carlisle: Strategic Studies Institute, 2006), hlm. 3.
6
Virginia Marantidou, Revisiting Chinas String of Pearls Strategy: Places with Chinese Characteristics
and Their Security Implication, Issues & Insights, Vol. 14, No. 7, Juni 2014.
7
Shee Poon Kim, An Anatomy of Chinas String of Pearls Strategy, The Hikone Ronso, No. 387, 2011, hlm.
32-34.
24 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
diberikan Tiongkok kepada negara-negara pesisir Samudera Hindia dapat dilihat dalam
gambar berikut ini.
Gambar 1. Proyek-proyek Tiongkok di Negara-negara Pesisir Samudera Hindia dan Pasifik
Sumber: Virginia Marantidou, Revisiting Tiongkoks String of Pearls Strategy: Places with
Chinese Characteristics and Their Security Implication, Issues & Insights, Vol. 14, No.7, 2014.
Dalam konflik Laut Tiongkok Selatan, Tiongkok harus berhadapan dengan lima
negara yang berbatasan langsung dengan kawasan tersebut.Konflik tersebutmelingkupi
empat wilayah sengketa, yaitu Kepulauan Spratly, Kepulauan Paracel, tiga pulau Pratas,
dan Macclefield Banks. Pulau Spratly diklaim oleh Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam,
sedangkan pulau-pulau kecil yang berada di sekeliling Spratly diklaim oleh Malaysia dan
Filipina. Brunei mengeluarkan kebijakan zona maritim yang mencapai karang selatan,
tetapi tidak mengeluarkan klaim formal atas wilayah tersebut.Sementara itu, Pulau
Paracel, diklaim oleh Taiwan, dan Tiongkok. Karang Scarborough, yang berada di antara
Keempat wilayah sengketa tersebut sangat kaya dengan sumber daya alam,
khususnya sumber energi, seperti minyak bumi. Selain itu, kawasan yang dilewati oleh
jalur SoP juga sangat kaya dengan sumber daya alam. Oleh karena itu, SoP yang
diterapkan Tiongkok bertujuan untuk mengembangkan pengaruh perekonomian di
wilayah pesisir Asia, Afrika dan Amerika Latin.9
SoP menjadi alat pendukung atau senjata Tiongkok untuk membangun akses ke
daerah pesisir yang potensial, sehingga Tiongkok dapat mengembangkan investasi
perdagangan dan pengembangan regional. Tiongkok mendorong investasinya untuk
mengambil kesempatan optimal terhadap sumber daya dan pasar yang
menguntungkan. Pelaksanaan SoP Tiongkok di dalam hubungan antarnegara diimbangi
dengan strategi Going Out, yaitu strategi peningkatan konsumsi domestik, industri, dan
potensi produksi dengan tujuan menghapuskan kompetisi. Selain itu, Tiongkok juga
membangun Sea Lines of Communication (SLoC) yang menghubungkan negaranya dengan
wilayah Timur Tengah, serta bertujuan untuk perluasan komunikasi laut dalam
peningkatan perdagangan dan usaha komersial.10
Pencapaian MP3EI
Indonesia mempunyai visi yang harus dicapai pada tahun 2025. Visi tersebut terfokus
pada: peningkatan kualitas hasil produksi barang jadi, baik pada proses industri maupun
peningkatan efisiensi jaringan distribusi; upaya mendorong efisiensi produksi dan
mengubah pemasaran untuk mengintegrasi pasar domestik serta meningkatkan
kompetisi dan ketahanan ekonomi nasional; dan upaya untuk meningkatkan sistem
8
Robert Beckman, The South China Sea: the Evolving Dispute between China and Her Maritime
Neighbours, Geomatics World, Vol. 21 No. 3.
9
W. Lawrence S. Prabhakar op. cit., hlm. 5.
10
Ibid., hlm. 7.
26 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
inovasi nasional, baik dalam bidang produksi, proses maupun pemasaran yang bertujuan
untukpenguatan daya saing global.11
11
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Masterplan for Acceleration and
Expansion of Indonesia Economic Development, (Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Republik Indonesia, 2011), hlm. 15.
12
Ibid., hlm. 27.
13
Ibid., hlm. 47.
14
Ibid., hlm. 33.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 27
tingkat nasional, tetapi juga elemen di setiap koridor ekonomi hingga pada tataran
perdagangan logistik nasional. Oleh karena itu, konektivitas tersebut diklasifikasikan ke
dalam tiga kelompok, yaitu konektivitas intrakoridor, pengembangan interkoridor, dan
perdagangan logistik internasional.15
MP3EI mempunyai prinsip-prinsip dasar yang melandasi setiap langkah dan upaya
pembangunan ekonomi Indonesia. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar MP3EI.
15
Ibid., hlm. 38.
16
Ibid., hlm. 36.
17
Ibid., hlm. 33.
18
Ibid., hlm. 28.
28 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Implementasi MP3EI dilakukan melalui tiga tahapan. Tahapan pertama dilakukan
pada periode 2011-2015 dan disebut sebagai pelaksanaan quick winsdan berfokus pada
operasionalisasi Komite MP3EI. Tahapan kedua dilakukan pada periode 2016-2020 dengan
fokus pada penguatan basis ekonomi dan investasi. Tahapan ketiga dilaksanakan pada
periode 2021-2025 dengan berfokus pada penerapan pertumbuhan berkelanjutan.19
19
Ibid., hlm. 178.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 29
Tabel 1. Indikator Makro Ekonomi Indonesia
20
OECD, The OECD Economic Outlook , Vol. 1/2014, (Paris: OECD Publishing, 2014), hlm. 206.
21
Ibid., hlm. 205.
22
Dewi Ernita, et.al., Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Investasi, dan Konsumsi di Indonesia, Jurnal Kajian
Ekonomi, Vol. I, No. 2, Januari 2013.
30 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Tabel 2. Persentase Tingkat Konsumsi dan Net Ekspor Indonesia Sebelum Pemberlakuan MP3EI
Dalam tabel tersebut, dapat dilihat bahwa net ekspor Indonesia sempat
mengalami penurunan drastis pada tahun 2005. Penurunannya mencapai 86,4 poin dari
tahun sebelumnya, sedangkan tingkat konsumsi hanya turun 1%. Sementara itu,
peningkatan net impor terbesar terjadi pada tahun 2006, dengan penurunan tingkat
konsumsi sebesar 0,7%.
Rp 357,8 triliun untuk 56 projek sektor riil dan Rp 141,7 triliun untuk 38 projek
infrastruktur. Dana yang digunakan dalam pelaksanaan projek tersebut berasal dari
pemerintah, swasta, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kerjasama Pemerintah
Swasta (KPS). Pemerintah menangani 24 projek dengan total dana sebesar Rp 71,6 triliun,
BUMN menangani 24 projek yang bernilai total Rp 131,0 triliun, swasta mengerjakan 38
projek yang bernilai Rp 168,6 trilliun, dan KPS menangani 8 projek yang bernilai total Rp
128,3 triliun.23
23
Sholeh, Persiapan Indonesia dalam Menghadapi AEC (ASEAN Economic Community) 2015, eJournal Ilmu
Hubungan Internasional, Vol. 1 No. 2 Tahun 2013.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 31
nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi (PEPI) untuk memperkuat peran
Asuransi Ekspor Indonesia (ASEI); (iv) peningkatan promosi; (v) pengembangan ekspor
daerah dan pemberian dorongan ke Bank Pembangunan Daerah (BPD) serta lembaga
keuangan di daerah dalam menyediakan sumber pembiayaan ekspor produk UMKM
daerah; (vi) peningkatan diplomasi perdagangan dalam forum atau organisasi
internasional, seperti AEC, APEC, WTO; dan (vii) peningkatan koordinasi dalam
penanganan isu-isu perdagangan internasional. Diplomasi perdagangan dan ekonomi
merupakan hal yang terpenting dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Diplomasi
ekonomi tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan promosi potensi Indonesia. 24
Prakarsa pembentukan pasar bebas di kawasan Asia Tenggara sudah muncul sejak tahun
1972. Prakarsa ASEAN tersebut lebih banyak berupa declarations of intent, tetapi
pelaksanaannya tergolong lambat. ASEAN tidak membangun kelembagaannya untuk
melaksanakan berbagai prakarsa ekonomi tersebut.26
Untuk merealisasikan prakarsa tersebut, ASEAN membentuk KEA. Pelaksanaan
KEA tersebut ditempuh melalui implementasi komitmen dengan target waktu yang dibagi
ke dalam empat periode, yaitu tahun 20082009, 20102011, 20122013, dan 2014
2015.27 Pelaksanaan KEA dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip ekonomi yang
terbuka (open), berwawasan ke luar (outward-looking), inklusif (inclusive), dan
24
Mahfudz Siddiq, Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi, Jurnal Diplomasi, Vol. 4, No.
1, Maret 2012.
25
P. Eko Prasetyo,The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital sebagai Pemacu
Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas, JEJAK: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan, Vol. 1, No. 1, September 2008.
26
Mahfudz Siddiq, op. cit.
27
ASEAN Secretariat, The ASEAN Charter, (Jakarta: Sekretariat ASEAN, 2008), hlm. 54.
32 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
berorientasi pasar (market-driven) dengan tetap memperhatikan kerja sama multilateral
dan perbedaan tingkat pengembangan ekonomi negara-negara anggota ASEAN.28
Hubungan kerja sama ASEAN-Tiongkok sudah terjalin sejak tahun 1991, tetapi
dikukuhkan sebagai kemitraan penuh pada tahun 1996.29 Pada bulan November 2002,
ASEAN dan Tiongkokmenandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation (ACFTA) yang mulai berlaku pada tahun 2010 untuk negara Indonesia, Brunei
Darussalam, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Tiongkok. Sementara itu, negara
lainnya, yaitu Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam, berlaku pada tahun 2015.30
Pada KTT ke-12 di Chaam, Hua Hin, Thailand pada bulan Oktober 2009, ASEAN dan
Tiongkok sudah menandatangani tiga nota kesepahaman (MoU), yaitu Nota
Kesepahaman Pembentukan Pusat ASEAN-Tiongkok; Nota Kesepahaman Kerja sama di
Bidang Hak dan Kekayaan Intelektual; dan Technical Regulations and Conformity
Assessment.31
Hubungan kerja sama ASEAN dan Tiongkok di bidang perdagangan, secara teknis, diatur
dalam Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation between The
Association Of South East Asian Nations And The Peoples Republic of Tiongkok. Tujuan
kerjasama ASEAN-Tiongkok meliputi (1) penguatan dan peningkatan kerjasama ekonomi,
perdagangan, dan investasi antar negara anggotanya; (2) memajukan liberalisasi serta
meningkatkan perdagangan barang dan jasa; (3) melebarkan area kerjasama untuk
menciptakan hubungan yang lebih dekat antar anggota; dan (4) memfasilitasi integrasi
ekonomi yang efektif bagi negara anggota ASEAN yang baru serta menjembatani jarak
yang berkembang antar anggota.32
28
Ibid., hlm. 56.
29
Ibid., hlm. 67.
30
Ibid., hlm. 169-170.
31
Ibid., hlm. 170.
32
Suryani Indriastuti, Pembentukan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ASEAN-China Free Trade Area) dan
Dampaknya bagi Petani di Indonesia, Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian, Vol. 1, No. 2, Tahun 2005.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 33
Salah satu bentuk dari kerja sama ASEAN dengan Tiongkok adalah perdagangan
bebas. Dalam perdagangan bebas ASEAN dengan Tiongkok terdapat projek pengurangan
dan penghapusan tarif, yang terbagi dalam tiga kelompok atau model, yaitu Early Harvest
Program (EHP), Exclucion List Program (ELP), dan General Exeptions. EHP diberlakukan
untuk mendorong kesiapan dari negara-negara yang terlibat dalam kerja sama tersebut.
Dalam EHP, negara yang sudah mempunyai kesiapan untuk melakukan ekspor diwajibkan
untuk menurunkan tarifnya sesuai kesepakatan yang ada. Program EHP diberlakukan
dalam kerangka kerja penurunan hambatan tarif dan nontarif hingga tahun 2010.
Sumber: Mahfudz Siddiq, Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi, Jurnal
Diplomasi, Vol. 4, No. 1, Maret 2012.
33
Ibid.
34 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Data di atas menunjukkan bahwa FDI Indonesia sebagai negara terluas di kawasan
Asia Tenggara tergolong kecil. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Singapura.
Sebagai negara yang paling kecil dalam jumlah SDM dan luas wilayah, Singapura justru
mendominasi investasi di kawasan Asia Tenggara.
Di bidang perdagangan, Indonesia juga tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.
Indonesia mengalami kenaikan jumlah perdagangan dengan Malaysia, Laos, Filipina,
Kamboja, dan Myanmar. Namun, total kenaikan tersebut tidak lebih besar dari penurunan
perdagangan bilateral dengan Vietnam dan defisit besar dengan Singapura, Thailand, dan
Brunei.34 Hal tersebut dapat diartikan sebagai defisit dalam neraca perdagangan untuk
Indonesia
Kondisi domestik Indonesia juga memengaruhi kesiapan Indonesia dalam
menghadapi pasar bebas ASEAN 2015. MP3EI yang belum mempunyai kesiapan yang
optimal untuk menghadapi KEA, juga akan mendapatkan tekanan dari pemerintah yang
baru. Joko Widodo sebagai presiden terpilih Indonesia diperkirakan akan lebih berfokus
pada perubahan administratif, pengembangan infrastruktur, dan kebijakan sosial.35 Fokus
pemerintahan Joko Widodo ini mempunyai implikasi yang baik terhadap peningkatan
investasi Indonesia. Namun, dalam tanggapan yang diberikan Joko Widodo terkait
permasalahan perekonomian, dia akan mengurangi impor bahan makanan.36
Kondisi perekonomian dan perdagangan internasional Tiongkok dan Indonesia
menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Dalam pertumbuhan ekonomi, Tiongkok
mencapai angka 7,7% pada tahun 2014 dan diperkirakan akan stabil pada angka tersebut
hingga tahun 2018, sedangkan Indonesia berada pada angka 6,0% pada periode yang
sama.37 Kebijakan Tiongkok sudah berfokus pada perubahan efisiensi keuangan melalui
perubahan institusional, sedangkan Indonesia masih berkutat pada permasalahan sosial,
seperti penanggulangan bencana dan pendidikan. 38 Selain kedua perbedaan tersebut,
34
Mahfudz Siddiq, op. cit.
35
Deyi Tandan Zhixiang Su, ASEAN Economics: Cyclical and Structural Forces at Play, ASEAN Economics
Chartbook, (Hongkong: Morgan Stanley, 2014), hlm. 13.
36
Ibid., hlm. 13.
37
OECD, Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2014 beyond the Middle-Income Trap, (Paris:
OECD Publishing, 2013), hlm. 2.
38
Ibid., hlm. 8
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 35
Tiongkok mempunyai kelebihan lain yang justru menjadi hal yang mulai ditakuti oleh
negara-negara Barat, yaitu monopoli pasar.
Tiongkok membentuk state-owned enterprises, yang menjadi saingan dari
Multinational Corporations(MNCs). Bentuk usaha tersebut juga merupakan bagian dari
pengembangan pengaruh Tiongkok di negara-negara dengan pasar baru. Bahkan, bentuk
perusahaan ini juga mampu membeli aset yang dimiliki oleh perusahaan Barat. 39
Menurut Lovel, terdapat empat faktor utama yang memengaruhi strategi
kebijakan luar negeri suatu negara dan menunjukkan pola interaksi antarnegara, yaitu
struktur sistem internasional; persepsi elit; strategi negara-bangsa lain; dan kapabilitas
yang dimiliki negara tersebut. 40 Keempat faktor itu juga yang akan mempengaruhi
strategi kebijakan luar negeri Indonesia dalam menghadapi SoP Tiongkok. Keempat
faktor tersebut menunjukkan struktur interaksi antara Indonesia dan Tiongkok.
Tinjauan atau analisis strategi yang dibentuk Indonesia terhadap Tiongkok dapat
dilihat dalam bagan berikut.
Sumber: John P. Lovel, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, (New
York: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1970), hlm. 98101 (dengan perubahan).
39
National Intelligence Council, Nonstate Actors: Impact on International Relations and Implications for
the United States, NIC-Eurasia Group Seminars, (Washington, D.C.: National Intelligence Council, 2007),
hlm. 3.
40
John P. Lovel, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, (New York: Holt,
Rinehart and Winston, Inc., 1970), hlm. 98101.
36 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
itu, jika SoP Tiongkok dianggap sebagai dukungan terhadap pencapaian kepentingan
nasional Indonesia, strategi yang dapat digunakan adalah leadership strategy.
Berikut ini adalah pembahasan empat faktor yang membentuk strategi Indonesia
dalam menghadapi SoP Tiongkok.
Salah satu negara yang menjadi rekan kerja sama ASEAN adalah Tiongkok.
Pada beberapa tahun terakhir, Tiongkok muncul sebagai polar baru dalam
hubungan internasional. Tiongkok menunjukkan agresivitasnya dalam
menyebarkan pengaruh ke berbagai negara.
b. Persepsi Elit
Hal yang tidak dapat dipungkiri, SoP Tiongkok melewati wilayah laut Indonesia. Hal
ini berdampak pada pembangunan di pulau-pulau Indonesia yang berbatasan
dengan Laut Tiongkok Selatan dan Selat Malaka. Dalam kerangka MP3EI,
pembangunan Koridor Sumetera dan Kalimantan mendapatkan pengaruh SoP
yang paling besar. Selain berbatasan langsung dengan jalur yang dilalui SoP
Tiongkok, kedua koridor tersebut merupakan pusat energi cadangan, sumber daya
alam, dan pertambangan.
d. Kapabilitas Tiongkok
Ada tiga strategi yang diterapkan Tiongkok, yaitu SoP, Going Out, dan monopoli
pasar. Ketiga strategi tersebut saling berkaitan dan memperkuat perekonomian
Tiongkok. Ketiga strategi tersebut juga memengaruhi kapasitas dan kapabilitas
Tiongkok dalam kerja sama dengan ASEAN, sebagai organisasi regional, dan
Indonesia, sebagai mitra bilateral.
Hal yang sama juga berlaku untuk kerja sama dalam upaya pengamanan Selat
Malaka. Indonesia tidak dapat mengabaikan kerja sama yang sudah dibentuk dengan
India. Indonesia harus mencari ruang untuk kerja sama dengan Tiongkok sebagai bentuk
akomodasi terhadap kepentingan Tiongkok di Selat Malaka.
Posisi Indonesia semakin strategis dengan sikap netral yang ditunjukkan terhadap
konflik Laut Tiongkok Selatan. Posisi netral Indonesia merupakan ruang untuk Tiongkok
menjalin kerja sama dengan ASEAN. Apalagi Indonesia menjalin kerja sama yang baik
dengan negara-negara yang merupakan seteru Tiongkok, seperti Amerika Serikat, India,
dan Australia. Oleh karena itu, Tiongkok sangat membutuhkan Indonesia dalam
pelaksanaan strateginya.
Kesimpulan
Buku
ASEAN Secretariat. 2008. The ASEAN Charter. Jakarta: Sekretariat ASEAN.
Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order.
Princeton: Princeton University Press.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. 2011. Masterplan for
Acceleration and Expansion of Indonesia Economic Development. Jakarta: Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. 2010. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Direktorat
Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Lovel, John P. 1970. Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making. New York:
Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Pehrson, Christopher J. 2006. String of Pearls: Meeting the Challenge of Tiongkoks Rising Power
Across the Asian Littoral. Carlisle: Strategic Studies Institute.
Prabhakar, W. Lawrence S. 2009. Chinas String of Pearls in Southern Asia-Indian Ocean:
Implication for India and Taiwan, dalam M.J. Vinod, et.al. (eds). Security Challenges in the
Asia-Pacific Region: The Taiwan Factor. New Delhi: Viva Books International.
Vinod, M.J., et.al. (eds). 2009. Security Challenges in the Asia-Pacific Region: The Taiwan Factor.
New Delhi: Viva Books International.
Jurnal
Beckman, Robert. 2013. The South Tiongkok Sea: the Evolving Dispute between Tiongkok and
Her Maritime Neighbours. Geomatics World. Vol. 21. No.3.
Ernita, Dewi, et.al. 2013. Analisis Pertumbuhan Ekonomi, Investasi, dan Konsumsi di Indonesia.
Jurnal Kajian Ekonomi. Vol. 1. No.2.
Indriastuti, Suryani. 2005. Pembentukan Perdagangan Bebas ASEAN-Tiongkok (ASEAN-Tiongkok
Free Trade Area) dan Dampaknya bagi Petani di Indonesia. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. Vol.
1. No.2.
Kim, Shee Poon. 2011. An Anatomy of Tiongkoks String of Pearls Strategy. The Hikone Ronso.
No. 387.
Marantidou, Virginia. 2014. Revisiting Tiongkoks String of Pearls Strategy: Places with Chinese
Characteristics and Their Security Implication. Issues & Insights. Vol. 14.No.7.
Prasetyo, P. Eko. 2008. The Quality of Growth: Peran Teknologi dan Investasi Human Capital
sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas. JEJAK: Jurnal Ekonomi dan Kebijakan.
Vol. 1. No.1.
Sholeh. 2013. Persiapan Indonesia dalam Menghadapi AEC (ASEAN Economic Community) 2015.
eJournal Ilmu Hubungan Internasional. Vol. 1. No.2.
Siddiq, Mahfudz. 2012. Indonesia Butuh Politik Luar Negeri Berorientasi Ekonomi. Jurnal
Diplomasi. Vol. 4. No.1.
National Intelligence Council. 2007. Nonstate Actors: Impact on International Relations and
Implications for the United States. NIC-Eurasia Group Seminars. Washington, D.C.: National
Intelligence Council.
OECD. 2013. Economic Outlook for Southeast Asia, Tiongkok and India 2014 beyond the Middle-
Income Trap. Paris: OECD Publishing.
OECD. 2014. The OECD Economic Outlook. Vol. 1/2014. Paris: OECD Publishing.
Tan, Deyi dan Zhixiang Su. 2014. ASEAN Economics: Cyclical and Structural Forces at Play.
ASEAN Economics Chartbook. Hongkong: Morgan Stanley.
Undang-undang
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 1 Tahun 2010.
Abstrak Di tengah kebangkitan Cina dan India, serta konsolidasi pasar ASEAN, Visi Indonesia
Poros Maritim Dunia yang diajukan Joko Widodo memerlukan agenda maritime mainstreaming
yang sesuai untuk mewujudkan kedaulatan berpolitik, kemandirian berekonomi dan kepribadian
berbudaya. Sebagai koreksi atas model pembangunan yang berorientasi kontinental yang tinggi-
energi, eksploitatif dan eksklusif, serta mendegradasikan desa dan keluarga, kita harus bergeser
pada pembangunan masyarakat maritim yang rendah-energi, berkelanjutan dan inklusif, sekaligus
menguatkan desa dan keluarga. Keluarga komunitas pesisir akan menjadi basis pembentukan
technopreneur baru yang mengembangkan inovasi teknologi biru yang appropriate sekaligus
convivial yang mengembangkan kreativitas manusia dalam upaya menciptakan nilai-tambah dan
lapangan kerja.
Kata Kunci: poros maritim dunia, masyarakat rendah-energi, appropriate and convivial techno-
logies.
Abstract - In the wave of raising China and India, and a market consolidation of ASEAN through the
ASEAN Economic Community initiative, the vision Indonesia as the World Martime Axis as proposed
by President Joko Widodo requires a maritime mainstreaming agenda to establish a political
sovereignty, an independent economy, and a unique national culture. As a correction to the
development model that is continent-orientated, high-energy, exploitative, exclusive and degrading
both villages and family structures, we have to shift to a maritime-orientated, low-energy,
sustainable, inclusive and strengthening both villages and family structures. The coastal communities
will be the basis for new class of technopreneurs who is capable of developing blue technology which
is appropriate, convivial, and promoting human creativity in creating added-values and jobs.
Keywords: world maritime axis, low energy society, appropriate and convivial technologies.
1
Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D, MRINA, CPM adalah guru besar Riset Operasi dan Optimasi Jurusan
Teknik Kelautan ITS, Ketua Persatuan Insinyur Indonesia Cabang Surabaya dan Ketua Himpunan Ahli
Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Cabang Jawa Timur.
2
Dr. Masroro Lilik Ekowanti, MS adalah guru besar Administrasi Publik FISIP Universitas Hang Tuah; Ketua
Pusat Studi Wanita UHT.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 47
Pendahuluan
Memasuki dua dekade abad ke-21, dunia semakin diwarnai oleh kebangkitan Cina dan
3
India, serta kemunduran Eropa, Amerika Serikat dan Jepang. Zakaria
menggambarkannya dalam sebuah Dunia Pasca-AS. Cina yang dalam batas tertentu
mencontoh model ekonomi Barat yang sedang dalam krisis, saat ini mulai melemah
pertumbuhan ekonominya, diiringi dengan kesenjangan yang melebar antara Wilayah
Cina Timur yang highly-industrialised dan Cina Barat yang masih berbasis pertanian dan
kerusakan lingkungan hidup. Negara manapun yang mengikuti model pembangunan
Barat yang tinggi-energi akan menyaksikan migrasi nilai tambah dari sektor pertanian ke
industri, lalu ke sektor jasa dan perdagangan, kemudian berakhir di sektor keuangan. Ciri
penting lain dari model pembangunan Barat adalah sistem persekolahannya (school
system) yang mendukung industrialisasi skala-besar, dan kehancuran keluarga (home
breakings). Urbanisasi warga produktif ke pusat-pusat pertumbuhan industrial adalah
atribut penting lainnya.
3
Fareed Zakarya, A Post-American World, (USA: WW. Norton, 2008).
48 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
langit dengan sistem pendingin ruangan, di desa-desa di Maluku dan NTT tidak ada listrik
untuk penerangan sekalipun.4
Setiap solusi pembangunan di masa depan harus dirumuskan sebagai sintesis lingkungan
dengan memperhatikan dampaknya secara sosial, ekonomi dan politik. Paradigma
pembangunan yang berlaku selama ini adalah pertumbuhan ekonomi lebih dahulu, lain-
lainnya seperti kerusakan lingkungan dan kemerosotan sosial, seperti kehancuran
keluarga, dan penelantaran desa ditempatkan sebagai dampak pembangunan. Paradigma
ini telah diganti oleh pembangunan berkelanjutan ataupun pembangunan inklusif yang
dalam praktek terbukti ilusif. Dalam kerangka inclusive development itulah Gunter Pauli7
telah mengajukan Blue Economy sebagai sebuah kerangka solusi di tingkat bisnis bagi
upaya inovatif penciptaan nilai tambah dengan ciri sebagai berikut: menciptakan
lapangan kerja, zero-waste, dan menggunakan energi baru dan terbarukan.
4
D.M. Rosyid, 2014. Modernitas Baru Untuk Indonesia di Abad 21 : Perspektif Maritim dan Energi. Surabaya :
UHT Press.
5
D.M Rosyid dan M.L. Ekowanti,"Degrowth dan Visi World-Class Navy", Jurnal Pertahanan, Edisi Desember
2013.
6
D.M. Rosyid, 2014, op.cit.
7
Gunter Pauli, Blue Economy, (New Mexico,USA : Paradigm Publications, 2010).
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 49
Schumacher yang telah mengajukan konsep appropriate technology untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan. Schumacher diilhami oleh Mahatma Gandhi yang
mengembangkan village-based technology sebagai upaya Gandhi untuk melawan
8
penjajahan Inggris secara damai tanpa kekerasan. Sementara itu Illich sudah
mengingatkan bahwa pembangunan inklusif haruslah pembangunan yang rendah-energi
dan berskala kecil. Tools untuk membangun masyarakat baru yang rendah-energi itu
adalah convivial technology, yaitu teknologi yang tidak cenderung memperbudak
manusia, dan tidak pula merampas potensi kreatifnya.9 Dalam perspektif keluarga, skema
teknologi itu juga mendorong keluarga sebagai satuan produktif.
Tentu menarik saat Presiden terpilih Joko Widodo mewacanakan Indonesia sebagai Poros
Maritim Dunia. Jokowi bahkan menggunakan narasi Sukarno untuk program-
programnya. Menjadi negara maritim adalah sebuah geostrategic default, pilihan tak
terelakkan bagi Indonesia sebagai negara kepulauan bercirikan Nusantara. Ini adalah
strategi diferensiasi yang dipijakkan pada kekuatan Indonesia, serta positioning yang kuat
dalam lansekap ASEAN maupun dinamika APEC secara lebih luas, terutama justru untuk
menghadapi Cina dan India sebagai mitra strategis kalau bukan pesaing strategis. Dalam
perspektif inilah, kami merumuskan aksi inovasi teknologi yang perlu diagendakan bagi
upaya Tri Sakti Bung Karno: membangun kedaulatan dalam politik, kemandirian dalam
ekonomi, dan kepribadian dalam berkebudayaan.
Dalam upaya untuk menjadi pemain utama di ASEAN memasuki Masyarakat Ekonomi
ASEAN ini, Visi Indonesia Poros Maritim Dunia memerlukan penguatan kelas menengah
kreatif, baik di sektor publik maupun privat. UU No 17/2007 tentang Pelayaran, UU No
1/2014 tentang pengelolaan pesisir, serta UU Kelautan yang baru disetujui DPR pada
September 2014 lalu akan menjadi payung hukum yang memadai bagi Visi Presiden
Jokowi dan Kabinet Kerjanya untuk mengarusutamakan kemaritiman dalam
pembangunan nasional. Setiap investasi publik di sektor maritim (pembangunan armada
kapal nasional untuk angkutan laut penumpang, barang dan penyeberangan,
pembangunan galangan kapal dan fasilitas docking, dan pembangunan pelabuhan) agar
memberi manfaat bagi publik secara value-for-money, mensyaratkan pejabat publik yang
bersih, serta operator yang professionally competent. Jika kedua syarat ini tidak dipenuhi,
investasi publik itu (Puskesmas, sekolah, terminal, pelabuhan, dan sebagainya) hanya
akan value-for-monkeys.
10
D.M. Rosyid, Paradigma Kepulauan Pembangunan Indonesia : Orasi Pengukuhan Guru Besar, (Surabaya : ITS,
2010).
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 51
kapal niaga secara besar-besaran dari Cina tidak sesuai dengan komitmen Tri Sakti Bung
Karno, oleh karena itu harus ditinjau ulang. Keberanian Bappenas untuk membatalkan
rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda perlu diapresiasi.
Teknologi biru yang perlu dikembangkan untuk menunjang Visi Indonesia Poros
Maritim Dunia antara lain teknologi transportasi publik, terutama transportasi laut
(pelabuhan, dermaga fleksibel, kapal termasuk waterplane, dan small-craft technology),
teknologi Integrated Multi-thropic Aquaculture (IMTA) di kawasan pesisir dan pulau-pulau
kecil, dan teknologi pemanen energi laut.11 Perhatian pada teknologi kapal kecil serta
teknologi berskala kecil lainnya perlu ditingkatkan karena terbukti dapat menjadi wahana
yang tepat bagi pengembangan technopreneur. Teknologi kapal kecil akan menunjang
sektor pariwisata, budidaya laut, olahraga dan angkutan laut antar-pulau jarak dekat.
11
D.M. Rosyid, 2010, op.cit.
12
D.M. Rosyid, Belajar, bukan Bersekolah : Agenda Deschooling Indonesia Abad 21, Kembali ke Rumah,
(Surabaya: ITS Press dan QBaca Telkom, 2014).
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 53
Kesimpulan
Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN dalam lansekap global baru, kita perlu
mengagendakan maritime mainstreaming yang sesuai dengan pilihan poros maritim dunia
sebagai visi. Ini merupakan upaya reposisi sekaligus membangun keunikan yang
dipijakkan pada takdir alamiah Indonesia sebagai negara kepulauan bercirikan Nusantara
di tengah kebangkitan Cina dan India dan prakarsa Masyarakat Ekonomi ASEAN. Di
samping pembangunan konektivitas nasional melalui pembangunan armada nasional, dan
jejaring pelabuhan, kita memerlukan pengembangan infrastruktur kompetensi maritim
nasional. Proses-proses yang diperlukan untuk itu antara lain penguatan peran keluarga
dalam melahirkan para technopreneur muda melalui pendidikan informal dan proses
produksi skala-kecil yang tepat guna dan menguatkan potensi kreatif manusia. Indonesia
akan menjadi model bagi ASEAN yang menjadikan teknologi dan unit bisnis berbasis
keluarga bagi perwujudan masyarakat rendah-energi sebagai solusi menghadapi
keruntuhan lingkungan dan sosial global.
Daftar Pustaka
Buku
Illich, Ivan. 1978. "Energy and Equity" dalam Towards a History of Needs. New York : Pantheon.
-------, 2001. Tools for Conviviality. London, NY: Marion Boyars.
Pauli, Gunter. 2010. Blue Economy. New Mexico, USA: Paradigm Publications.
Rosyid, D.M. 2014. Modernitas Baru Untuk Indonesia di Abad 21 : Perspektif Maritim dan Energi.
Surabaya : UHT Press.
Rosyid, D.M. 2014. Belajar, bukan Bersekolah : Agenda Deschooling Indonesia Abad 21, Kembali ke
Rumah. Surabaya: ITS Press dan QBaca Telkom. 2014
Schumacher, E.F. 1973. Small is Beautiful : A Study of Economics as If People Mattered. Blond and
Briggs.
Zakarya, Fareed. 2008. A Post-American World. USA: WW. Norton.
Jurnal
Rosyid, D.M. dan Ekowanti, M.L. 2013. "Degrowth dan Visi World-Class Navy". Jurnal Pertahanan.
Makalah
Rosyid, D.M. 2010. Paradigma Kepulauan Pembangunan Indonesia : Orasi Pengukuhan Guru Besar.
Surabaya : ITS.
54 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
KOMUNITAS EKONOMI ASEAN:
UPAYA INTEGRASI EKONOMI-EKONOMI ASEAN1
C.P.F. Luhulima2
Pusat Penelitian Politik LIPI
(cpfluhu5@yahoo.com)
Abstrak Komunitas Ekonomi ASEAN mulai berlaku pada 1 Januari 2016. Mekanisme untuk
menjalankan KEA sudah tersusun. Kegiatan-kegiatan pun meningkat untuk memberhasilkannya.
Pengukuran keberhasilan dilakukan dalam bentuk ASEAN Economic Community Scorecard, yang
masih dipersoalkan kesahihannya. Pada tingkat nasional, Presiden RI telah mengeluarkan INPRES
No 5/2008 dan INPRES No 11/2011 untuk memacu pemerintah Indonesia untuk menggiatkan
persiapan ke arah perwujudan KEA. Masih banyak yang masih harus dikerjakan untuk
meningkatkan kemampuan dan daya saing, juga di bidang tenaga kerja terdidik dan terlatih.
Demikian pula peningkatan kesadaran umum masyarakat Indonesia akan pemberlakuan KEA,
yang memang belum melebar ke tingkat UKM. Masalah yang muncul ialah bagaimana perwujudan
KEA berpadu dengan Indonesia Vision 2025 dengan pembangunan koridor ekonominya.
Kata kunci: ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA), INPRES, Indonesia Vision 2025
Abstract ASEANs Economic Community will start on January 1, 2016. The mechanism to administer
the AEC is in place. Activities are intensifying to make the endeavour successful. Its successes are
measured by the ASEAN Economic Community Scorecard, the validity of which is questioned by
researchers and practitioners. At the national level, Indonesias president has issued two presidential
instructions, No 5/2008 and No 11/2011, to the bureaucracy to speed up socialisation of the
programme. A great number of actions will still have to accomplished, also in the field of mutually
recognised trained manpower and professionals. The same also applies to socialisation of the
concept to broad sections of society, particularly small and medium-scale enterprises. Another
problem is the harmonisation of AEC with Indonesia Vision 2025 with the construction of its
economic corridors.
1
Artikel ini pernah disampaikan dalam Policy Brief untuk Eselon 1, Lembaga Administrasi Negara tentang
Kesiapan Indonesia memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, Jakarta, 15 Agustus 2015.
2
Penulis adalah Peneliti Ahli di Pusat Penelitian Politik, LIPI.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 55
Pendahuluan
Pada KTT 2003 di Bali para pemimpin ASEAN setuju untuk mengintegrasikan ekonomi-
ekonomi mereka dan membentuk Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) di tahun 2020. KEA
merupakan salah satu dari tiga komunitas, Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas
Sosial-Budaya ASEAN, yang membentuk Komunitas ASEAN sebagaimana dideklarasikan
para pemimpin ASEAN dalam ASEAN Concord II (lebih dikenal sebagai Bali Concord II).
Pada KTT ASEAN yang diadakan di Cebu, Filipina pada Januari 2007, batas waktu
perwujudan AEC, bersama-sama dengan dua Komunitas lainnya, dimajukan menjadi 2015.
Tujuan akhir KEA adalah pembentukan pasar dan pangkalan produksi tunggal
dengan arus bebas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terlatih. Walaupun
pendekatan untuk meraih tujuan akhir ini tidak dinyatakan dalam Bali Concord II, yang
jelas adalah kebutuhan untuk meraih derajat integrasi ekonomi regional dan
pengembangan kelembagaan untuk meraih integrasi itu.
3
Dr. Jean-Pierre Verbiest, ASEAN 2030: Aspirations, Enjeux et Politique, Colloque CERI, Paris, 16 Novembre
2015, hlm. 5
56 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Gambar 1
Sumber: Dr. Jean-Pierre Verbiest, ASEAN 2030: Aspirations, Enjeux et Politique, Colloque CERI,
Paris, 16 November 2015, hlm. 5.
4
Arsenio M. Balisacan, ASEAN Economic Integration 2015: A Window to Global Competitivesness,
Republic of the Philippines, National Economic and Development Authority, dalam http: web.pism.org/wp-
content/uploads/201/4/04 AEC-2015-A-Window-to-Global-Competitiveness-27 Maret 2014 TSIS-
draft_MD_PRD.pdf.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 57
Tabel 1
Sumber: Sanjay Kalra, ASEAN Economic Community: Progress and Global Perspective, University of
Economics and Business, (Vietnam: Vietnam National University), 11 Oktober2013, hlm. 23
Pada KTT ASEAN di Phnom Penh di bulan November 2002, Perdana Menteri Goh
Chok Tong mengusulkan supaya ASEAN mencanangkan suatu ekonomi yang terintegrasi,
yaitu Komunitas Ekonomi ASEAN. Usul Goh Chock Tong dimotivasi oleh dua hal: pertama,
meyakinkan sektor bisnis internasional dan masyarakat umum bahwa ASEAN sungguh-
sungguh berniat untuk mengintegrasikan ekonomi regional dalam bentuk yang lebih
dalam dari pada wilayah perdagangan bebas. Istilah ini mengikuti Komunitas Ekonomi
Eropa, suatu tatanan yang paling mendalam dan paling maju dan intrusive dari semua
skema semacam ini. Kedua, adalah untuk menyampaikan bahwa pengertian
pembangunan komunitas di ASEAN mencakup pula dimensi keamanan dan kemudian
Memang ada motivasi ekonomi yang kuat bagi ASEAN untuk meningkatkan
peringkatnya dengan membentuk Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, Komunitas
Sosial-Budaya ASEAN dan Komunitas Ekonomi ASEAN, yang akan merupakan ketiga pilar
dari Komunitas ASEAN pada 2015.
Pada 2003, prinsip dasar dari menurunkan tarif atas barang yang diperdagangkan
antarnegara ASEAN dikembangkan lebih lanjut dalam konsep KEA, yang bertujuan
menciptakan suatu pasar dan landasan produksi tunggal, suatu wilayah ekonomi yang
sangat kompetitif, suatu wilayah dengan pembangunan ekonomi yangequitable dan suatu
wilayah yang sepenuhnya diintegrasikan ke dalam ekonomi global.
5
Sanchita Basu Das, et. al., The ASEAN Economic Community: A Work in Progress, (Singapore: Asian
Development Bank & Institute of Southeast Asian Studies, 2013).
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 59
Secara spesifik, masing-masing pilar dari Komunitas Ekonomi ASEAN berisikan:
Kebijakan Persaingan
Perlindungan Konsumen
Pengembangan Infrastruktur
Perpajakan
E-commerce
Pengembangan UKM
6
ASEAN Secretariat Website, http://www.asean.org/asean/asean-secretariat.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 61
Gambar 3
Kemajuan ini antara lain menyebabkan bahwa pada 2013, investasi asing langsung
(Foreign Direct Investment) ke Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand
(ASEAN 5) melampaui RRT untuk pertama kali sejak 2007. 7 Sebagian besar dari investasi
itu justru datang dari RRT, yang kini merupakan investor nomor tiga terbesar di dunia.
Pada 2013 itu ASEAN 5 menerima US$128,4 milyar dalam bentuk investasi asing, suatu
kenaikan sebesar 7 persen, dari US$120 milyar pada 2012.8
7
Data Bank of America Merrill Lynch.
8
Sophie Song, Southeast Asia Receives More Foreign Direct Investment (FDI) Than China, Which Is Now
The World's Third-Largest Foreign Investor, 5 Maret 2014, dalam http://www.ibtimes.com/southeast-asia-
receives-more-foreign-direct-investment-fdi-china-which-now-worlds-third-largest, diunduh pada 5 Agustus
2014.
62 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Bank Amerika menunjuk kepada tiga kecenderungan bagi perubahan ini: pertama,
demografi ASEAN yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan RRT yang
penduduknya menua (dengan angkatan kerja yang menyusut); kedua, perbedaan upah
yang meningkat (pertumbuhan upah yang lebih tinggi yang disebabkan oleh mata uang
RMB yang lebih kuat); ketiga, pasar domestik ASEAN yang tumbuh dengan cepat. RRT
juga muncul sebagai investor ke luar negeri sebagai akibat dari tabungan dan kekayaan
yang terus bertumbuh.9
Daya saing negara-negara ASEAN secara global dan regional dapat dikategorikan
sebagai berikut: Menurut Global Competitiveness Report (CGR) pada 2013-2014 Indonesia
berada pada urutan ke-38 dari 139 negara dan urutan ke-5 di ASEAN (sesudah Singapura
(2), Malaysia (24), Brunei Darussalam (26), Thailand (37), dan Filipina (59). Daya saing
Indonesia ini meningkat cukup tinggi dari urutan 50 pada 2012. Pada lain pihak, Human
Development Index (HDI) Indonesia berurut 108, di bawah Singapura (27), Brunei (37),
Malaysia (57), Thailand (92), and Filipina (97).10
9
ASEAN Finally Surpasses China In Foreign Direct Investment, 5 Maret 2014, dalam
http://www.cfoinnovation.com/story/7951/asean-finally-surpasses-china-foreign-direct-investment, diunduh
pada 5 Agustus 2014.
10
Wempi Saputra and Ari Cahyo Trilaksana, Toward ASEAN Economic Community: Revitalising Indonesias
Position in Financial and Customs Cooperation, Center for Policy Analysis and Harmonization, Ministry of
Finance, Republic of Indonesia, dalam https://www.conftool.com/irsa2014/index.php/Saputra-
Towards_ASEAN_Economic_Community190.pdf?page=downloadPaper&filename=Saputra-
Towards_ASEAN_Economic_Community 190.pdf&form_id=190&form_version=final, diunduh pada 5
Agustus 2014.
Gambar 4
Sumber: Sanchita Basu Das, A Critical Look at the ASEAN Economic Community Scorecard,1 Juni
2012, East Asia Forum, dalam http://www.eastasiaforum.org/2012/06/01/a-critical-look-at-the-asean-
economic-communit y-scorecard/.
64 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Tetapi, bagi Sanchita Basu Das, AEC Scorecard ini, kendatipun ia menunjukkan
bahwa ia penting bagi dukungan perwujudan cetak biru KEA, ia tidak memuaskan.
Scorecard ini harus dilengkapi dengan tindakan-tindakan lain yang dapat melacak
keadaan, kinerja dan dampak liberalisasi perdagangan dan investasi di ASEAN.
The AEC Scorecard needs to be transparent, detailed and readily available for private
sector use. It should be able to clearly translate an agreements benefits, such as those
relating to reduced costs and prices in the region. These issues need more awareness and
require the active participation of all those concerned in the process, including the regions
business community.11
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008, tanggal 22 Mei 2008 tentang
Fokus Program Ekonomi Tahun 20082009 merupakan instruksi Presiden pertama yang
menentukan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi dan
kewenangan masing-masing [Kementerian dan Lembaga], dalam rangka pelaksanaan
Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009 guna melaksanakan berbagai komitmen
Masyarakat Ekonomi Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Pada bulan Juni 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi
Presiden RI Nomor 11 Tahun 2011yang lebih lengkap tentang Pelaksanaan Komitmen Cetak
Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN yang menyatakan pertama, mengambil langkah-langkah
untuk melaksanakan komitmen Cetak Biru Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagaimana
11
Sanchita Basu Das,A Critical Look at the ASEAN Economic Community Scorecard,1 Juni 2012, East Asia
Forum http://www.eastasiaforum.org/2012/06/01/a-critical-look-at-the-asean-economic-communit y-
scorecard/, diunduh pada 5 Agustus 2014.
12
The ASEAN Economic Community: The Status of Implementation, Challenges and Bottlenecks, CIMB
ASEAN Research Institute, Juni 2013. Penekanan oleh pemakalah.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 65
tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Instruksi Presiden ini. Langkah-
langkah yang harus diambil berpedoman pada program yang meliputi:
2. Menuju Wilayah Ekonomi yang Berdaya Saing Tinggi, yang fokus kepada:
a. Kebijakan Persaingan;
d. Perpajakan; dan
Program
Kebijakan Persaingan
Perpajakan
Kinerja Indonesia
Hasil kajian Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) LIPI atas beberapa sektor dalam Priority
Integration Sectorsmenunjukkan bahwa secara umum pemerintah pusat dan daerah
masih menghadapi banyak persoalan dalam menghadapi KEA 2015. Dari 12 sektor prioritas
aliran bebas barang, Indonesia hanya mempunyai keunggulan komparatif di enam sektor
(pertanian, elektronik, perikanan, produk karet, produk berbasis karet, tekstil dan produk
tekstil/TPT) dibandingkan beberapa negara anggota ASEAN lainnya. Di sektor jasa, seperti
logistik dan pariwisata, Indonesia masih berada di bawah ASEAN 5, empat negara
anggota ASEAN pertama dan Brunei Darussalam. Padahal, Indonesia merupakan negara
koordinator bagi sektor otomotif dan wood-based products.
Sampai kini tidak ada publikasi tentang kemajuan dalam implementasi cetak biru
KEA. Sebagian besar dari studi tertujukan pada persiapan umum Indonesia bagi KEA
menuju kompetisi global. Tidak ada studi yang meneliti kesiapan dan persiapan untuk
suatu industri tertentu bagi perwujudan KEA, khususnya mata rantai suplai industri
(supply chain), yang mencakup masalah lokasi, peran fasilitas dan penggunaan
outsourcing. It is important to assess to what extent the players in the industry
understands the potential benefits andloss of AEC implementation.13
KADIN sebenarnya sudah memiliki program pendampingan untuk dua sektor, yaitu
SMEs dan start-ups, yaitu Business Support Desk (BSD) yang diperuntukkan untuk anggota
dan dirasa perlu semakin digencarkan.Pemerintah juga punya program-program yang
mendukung perkembangan SMEs. Hanya saja, pemerintah juga perlu berbenah demi
menunjang persiapan seluruh elemen masyarakat terutama permasalahan klasik, yaitu
infrastruktur, yang sejak dulu selalu menghantui. Apabila pembangunan infrastruktur
semakin merata maka hambatan bagi industri-industri lain untuk berkembang akan
dikurangi, seperti industi perkapalan demi menunjang kemaritiman Indonesia.
13
Mahendrawathi ER, Anisah Herdiyanti dan Hanim Maria Astuti, Readiness of Indonesian Companies for
ASEAN Economic Community (AEC) - Preliminary Findings from Automotive and Garment Industry,
Proceedings of the 2014 International Conference on Industrial Engineering and Operations Management,Bali,
Indonesia, 7 9Januari 2014, dalam http://iieom.org/ieom2014/pdfs/460.pdf, diunduh 4 Agustus 2014.
Di bidang tenaga kerja, cetak biru AEC telah menyepakati kebebasan mobilitas
tenaga kerja terampil di ASEAN melalui serangkaian tahapan yang disepakati dalam
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) 1995. Tahapan-tahapan itu dibicarakan
dua tahun sekali dalam forum koordinasi dan persiapan liberalisasi jasa di ASEAN.
Liberalisasi jasa di empat sektor prioritas, yakni perhubungan udara, e-ASEAN, kesehatan,
dan pariwisata, dijadwalkan untuk 2010 dan jasa logistik untuk 2013. Liberalisasi bidang
jasa secara keseluruhan diupayakan selesai pada 2015.
Dalam Logistics Performance Index (LPI) Bank Dunia tahun 2014, Indonesia tercatat
sebagai urutan 53 dengan score 3,08, sedangkan Singapura di urutan (5) dengan score
(4,00), Malaysia (25) dengan (3,59), Thailand (35) dengan (3,43), Vietnam (48) dengan
(3,15) dan Filipina (57) dengan (3,00). Dalam infrastruktur Indonesia berada pada tingkat
2,92, Filipina 2,60, Singapura 4,28, Malaysia 3,56, Thailand 3,40 dan Vietnam 3,11.
Dalam Travel and Tourism Competitive Index 2013 yang dikeluarkan World Economic
Forum, Indonesia bertingkat 70 dengan score 4,03, sedangkan Singapura bertingkat 10
dengan score 5,23, Malaysia 34 dan 4,70, Thailand 43 dan 4,47, Filipina 82 dan 3,93,
sedangkan Vietnam dengan 80 dan 3,95.15 Dalam kedua indeks ini Indonesia masih berada
dibawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam.
Pada umumnya, pengetahuan dan persepsi tentang keuntungan suatu FTA berkaitan erat
dengan besarnya suatu perusahaan. Perusahaan-perusahaan cenderung mempunyai
pengetahuan yang lebih baik tentang FTA yang ada, dan pada umumnya lebih optimis
daripada perusahaan-perusahaan yang lebih kecil. Hal ini juga berlaku bagi KEA. 16
Perusahaan-perusahaan yang lebih besar melihat perwujudan KEA sebagai suatu
kesempatan untuk memperluas pasar mereka. In contrast, small and medium scale
enterprises tend to be less efficient and less competitive than the larger companies.
Penemuan JETRO (Japan External Trade Organization) pada 2010 menyatakan bahwa lack
of awareness of FTAs is the most common reason for non utilization of FTAs among small
and medium enterprises. 17
14
ASEAN Economic Community 2015: Peluang Atau Tantangan Bagi Tenaga Kerja Indonesia, dalam
http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/pdf/berita-aec.pdf, diunduh pada 2 Agustus 2014.
15
Lihat http://www.weforum.org/issues/travel-and-tourism-competitiveness, diunduh pada 4 Juli 2014.
16
Widdi Mugijayani and Pratiwi Kartika, Perspective of the Indonesian Business Sector on the Regional
Integration Process, dalam Sanchita Basu Das, (ed.), Achieving ASEAN Economic Community 2015.
Challenges for Member Countries & Business, (Singapore: Institute of South East Asian Studies, 2012),
hlm.210.
17
Ibid.
70 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Studi JETRO ini juga mencatat bahwa pada umumnya perusahaan-perusahaan di
bidang teknologi informasi tidak memanfaatkan tarif preferensial FTAs, karena tarif impor
ditiadakan melalui skema-skema lain. Demikian pula halnya dengan perusahaan-
perusahaan dalam industri peralatan listrik karena pada umumnya tarif pada destinasi
ekspor mereka tidak diberlakukan. Pada lain pihak, sejumlah perusahaan di bidang mobil,
peralatan mobil dan transportation machinery mengatakan bahwa mereka mengalami
kesulitan dalam memenuhi persyaratan rules of origin. 18
Tabel 4
Sumber: Widdi Mugijayani and Pratiwi Kartika, Perspective of the Indonesian Business Sector on
the Regional Integration Process, dalam Sanchita Basu Das, (ed.), Achieving ASEAN Economic
Community 2015. Challenges for Member Countries & Business, (Singapore: Institute of South East
Asian Studies, 2012), hlm.211.
Kesadaran sektor swasta akan Wilayah Perdagangan Bebas ASEAN dan RRT serta
KEA dan AFTA adalah 100 persen. Untuk WPB yang lain pengetahuan mereka bervariasi.
18
Ibid.
19
Ibid., hlm. 211.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 71
Perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Jakarta dan sekitarnya cenderung mempunyai
pengetahuan yang baik tentang KEA. Tetapi jumlah mereka sangatlah kecil, kurang dari 1
persen dari keseluruhan jumlah perusahaan di Indonesia. Lagi pula, secara umum,
keterangan tentang KEA tidak sampai kepada sebagian besar dari komuniti bisnis karena
baik pemerintah dan ASEAN Secretariat tidak mempunyai mekanism untuk
mendesiminasi informasi secara sistematis dan berkelanjutan. 20
Sumber: Masterplan for Acceleration and Expansion of Indonesias Economic Development, Jakarta:
BAPPENAS.
Bagian penting dari MP3EI adalah pembangunan koridor ekonomi yang didasarkan
pada potensi dan keuntungan setiap wilayah di Indonesia. Dengan memperhatikan
20
Ibid., hlm. 212.
72 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
potensi dan peran strategis dari setiap pulau utama, enam koridor ekonomi diidentifikasi:
Sumatra - Center for production and processing of natural resources and the nations
energy reserves;
Kalimantan - Center for production and processing of national mining and energy
reserves;
Bagi sebagian ahli ekonomi, Komunitas Ekonomi ASEAN merupakan ajang latihan bagi
Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lain untuk menghadapi persaingan ekonomi
yang lebih ketat dalam bingkai new regional trading architecture. Dua arsitektur
perdagangan regional itu adalah Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP)
dan Trans-Pacific Partnership (TPP).
Pada lain pihak Trans-Pacific Partnership (TPP) bukan suatu inisiatif ASEAN. Ia
merupakan perjanjian perdagangan bebas yang dirundingkan oleh duabelas negara di
Asia-Pasifik (Amerika Serikat, Australia, Brunei Darussalam, Chili, Jepang, Kanada,
Malaysia, Mexico, Peru, Selandia Baru, Singapura dan Vietnam). Persetujuan ini mulai
pada 2005 sebagai Trans-Pacific Strategic Partnership Agreement (TPSEP atau P4). Para
negara anggota berencana untuk selesaikan negosiasi pada 2012, tetapi masalah-masalah
seperti pertanian, hak kepemilikan intelektual, jasa dan investasi menyebabkan negosiasi
berlanjut sampai sekarang. Putaran terakhir direncanakan untuk 312 Juli 2014. TPP ini
adalah sasaran utama agenda perdagangan pemerintahan Presiden Obama. TPP
bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dan investasi di antara anggota TPP,
mendorong inovasi, pertumbuhan ekonomi dan mendukung penciptaan kesempatan
kerja dan mempertahankannya. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan ini:
TPP will provide new market access for Made-in-American goods and services, strong
and enforceable labor standards and environmental commitments, groundbreaking new
rules on state-owned enterprises, a robust and balanced intellectual property rights
framework, and a thriving digital economy. It will also include commitments that will
improve the transparency and consistency of the regulatory environment to make it easier
for small- and medium-sized business to operate across the region. By opening these new
markets to American products, TPP will help insure that we are not left behind by our
competitors in a vital region of the world.22
Sikap yang menganggap bahwa KEA merupakan ajang latihan bagi menghadapi
persaingan yang lebih ketat di masa depan terletak dalam sifat dan bentuk KEA itu
21
Regional Comprehensive Economic Partnership Negotiations, http://www.dfat.gov.au/fta/rcep/,
diunduh pada 10 Juli 2014.
22
Office of the United States Trade Representative, Executive Office of the President,
http://www.ustr.gov/tpp, diunduh pada 10 Juli 2014.
Kesimpulan
Tujuan akhir KEA adalah pembentukan pasar dan pangkalan produksi tunggal dengan
arus bebas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja terlatih. Secara umum
pemerintah pusat dan daerah masih menghadapi banyak persoalan dalam upaya ini,
khususnya pembangunan infrastruktur. Demikian halnya dengan sosialisasi INPRES
Pelaksanaan Kebijakan Komitmen Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN dengan
berbagai program dan komitmen pemerintah. Pemerintah juga harus mempersiapkan
sumber daya manusia terlatih dan berdaya saing dengan memastikan pembangunan
ekonomi linier dengan pembangunan manusia. Permasalahan yang perlu dijawab
pemerintah adalah bagaimana perwujudan Komunitas Ekonomi ASEAN ini diselaraskan
dengan Indonesia Vision 2025 dengan pembangunan koridor ekonomi yang didasarkan
pada potensi setiap wilayah di Indonesia.
Buku
Das, Sanchita Basu et. al. 2013.The ASEAN Economic Community: A Work in Progress. Singapore:
Asian Development Bank & Institute of Southeast Asian Studies.
Mugijayani, Widdi & Pratiwi Kartika. 2012. Perspective of the Indonesian Business Sector on the
Regional Integration Process, dalam Sanchita Basu Das, (ed.).Achieving ASEAN Economic
Community 2015. Challenges for Member Countries & Business. Singapore: Institute of South
East Asian Studies.
Jurnal
Verbiest, Dr. Jean-Pierre. 2015.ASEAN 2030: Aspirations, Enjeux et Politique. Colloque CERI, Paris.
16 November.
Website
ASEAN Finally Surpasses China In Foreign Direct Investment, 5 Maret 2014, dalam
http://www.cfoinnovation.com/story/7951/asean-finally-surpasses-china-foreign-direct-
investment, diunduh pada 5 Agustus 2014.
ASEAN Economic Community 2015: Peluang Atau Tantangan Bagi Tenaga Kerja Indonesia,
dalam http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/pdf/berita-aec.pdf, diunduh pada 5 Agustus
2014.
ASEAN Secretariat, http://www.asean.org/asean/asean-secretariat.
Balisacan, Arsenio M,ASEAN Economic Integration 2015: A Window to Global Competitivesness,
Republic of the Philippines, National Economic and Development Authority, dalam http:
web.pism.org/wp-content/uploads/201/4/04 AEC-2015-A-Window-to-Global-Competitiveness-
27 Maret 2014 TSIS-draft_MD_PRD.pdf, diunduh pada 5 Agustus 2014.
Das, Sanchita Basu, A critical look at the ASEAN Economic Community Scorecard, 1 Juni 2012,
East Asia Forum http://www.eastasiaforum.org/2012/06/01/a-critical-look-at-the-asean-
economic-communit y-scorecard/, diunduh pada 5 Agustus 2014.
http://web.pism.org/wp-content/uploads/201/4/04 AEC-2015-A-Window-to-Global-
Competitiveness-27 March 2014 TSIS-draft_MD_PRD.pdf .
http://www.weforum.org/issues/travel-and-tourism-competitiveness.
Office of the United States Trade Representative,Executive Office of the President, Juli 2014,
http://www.ustr.gov/tpp.
Regional Comprehensive Economic Partnership Negotiations, http://www.dfat.gov.au/fta/rcep/.
Song, Sophie,Southeast Asia Receives More Foreign Direct Investment (FDI) Than China, Which
Is Now The World's Third-Largest Foreign Investor, 5 Maret 2014, dalam
http://www.ibtimes.com/southeast-asia-receives-more-foreign-direct-investment-fdi-china-
which-now-worlds-third-largest, diunduh pada 5 Agustus 2014.
Saputra, Wempi & Ari Cahyo Trilaksana, Toward ASEAN Economic Community: Revitalising
Indonesias Position in Financial and Customs Cooperation, Center for Policy Analysis and
Harmonization, Ministry of Finance, Republic of Indonesia, dalam
https://www.conftool.com/irsa2014/index.php/Saputra-
Towards_ASEAN_Economic_Community190.pdf?page=downloadPaper&filename=Saputra-
Ian Montratama1
Institute for Defense and Strategic Research
(montratama@idsr-indonesia.com)
Abstrak Pengadaan sarana pertahanan menjadi suatu kebutuhan dasar dalam membangun
sistem pertahanan nasional. Namun biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan sarana
pertahanan amatlah mahal. Industri pertahanan nasional harus mampu mengambil manfaat dari
program pengadaan sarana pertahanan di Kemhan. Perlu ada konsensus nasional yang berpihak
kepada pengembangan kapasitas industri pertahanan nasional agar dapat memiliki kompetensi
inti yang kompetitif di level regional dan global. Konsensus ini diwujudkan dalam optimalisasi
kerjasama antar lembaga terkait langsung dengan pengadaan alutsista, khususnya Kementerian
Pertahanan, TNI, dan pihak-pihak produsen di dalam negeri dalam rangka membangun sarana
pertahanan berbasis industri pertahanan dalam negeri.
Kata Kunci: strategi optimalisasi, pengadaan sarana pertahanan, industri pertahanan Indonesia
Abstract Procurement of defense equipments has been a necessary needs in developing national
defense systems. However, the cost needed for procuring such defense equipments is very costly.
National defense industried has to take benefit from the defense equipment procurement programs
in MOD. It requires national consensus that favors to the capacity building of national defense
industries to gain competitive core competence in regional and global level. This consensus is
conceptualized in optimizing cooperation among related entities that directly involved in defense
systems procurement, especially Ministry of Defense, Indonesian Defense Forces, and local defense
industries in developing defense equipment systems that based on local defense industries.
Pendahuluan
Banyak pihak yang tidak mendukung alokasi anggaran di bidang pertahanan yang
signifikan. Terbukti, sejak kemerdekaan hingga tahun 2014, anggaran pertahanan
Indonesia selalu berada di bawah 1% dari PDB. Prosentase anggaran pertahanan terhadap
PDB Indonesia masih di bawah anggaran pertahanan di negara sekitar. Untuk kondisi
1
Ian Montratama, S.E., M.E.B., M.Si. (Han) adalah lulusan prodi SPS Unhan tahun 2014 yang sekarang
sedang melanjutkan studi di S3 HI Unpad dan aktif sebagai peneliti di IDSR dengan spesialisai di bidang
pertahanan.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 79
tahun 2013, menurut Bank Dunia, 2 Malaysia mengalokasikan anggaran pertahanan
sebesar 1,5% dari PDB, Singapura 3,3% dari PDB, dan Australia 1,6% dari PDB. Salah satu
alasan dari pihak yang kurang mendukung penambahan anggaran pertahanan adalah
anggaran pertahanan bersifat cost-center dan tidak memberi dampak nyata bagi rakyat
(wasteful).3 Berbeda dengan anggaran di bidang pendidikan, kesehatan, industri, dan lain-
lain, yang mana rakyat dapat merasakan hasilnya.Selain itu, banyak juga (terutama dari
kaum neoliberalis) yang beranggapan bahwa upaya pertahanan negara tidak semata-
mata dilakukan dengan kekuatan senjata (hard power). Kekuatan diplomasi dan
dukungan organisasi regional dan internasional seperti ASEAN dan PBB, masih dapat
membantu penegakan kedamaian di negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia.
Terkait dengan manfaat langsung dari anggaran pertahanan, hal ini menuntut
suatu kebijakan yang lebih kompleks. Hal ini dikarenakan manfaat langsung berupa
terpeliharanya situasi damai tidak selalu berkorelasi langsung dengan besar anggaran
pertahanan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi terciptanya situasi damai, seperti
dukungan kekuatan asing, hubungan yang bersahabat dengan negara tetangga,
interdependensi dengan negara-negara di kawasan, terciptanya keselarasan kepentingan
dari aktor-aktor yang berinteraksi dengan Indonesia, baik aktor negara, organisasi
internasional dan perusahaan multinasional.
2
Lihat, http://data.worldbank.org/indicator/MS.MIL.XPND.GD.ZS, diunduh pada 19 November 2014.
3
Lihat, http://www.polsci.wvu.edu/duval/tradeoff.pdf, 29 September 2003, diunduh pada 19 November
2014.
4
M.A. East, S. A Salmore, C.F. Hermann, Why Nation Act: Theoritical Perspectives for Comparative Foreign
Policy Studies, (Beverly Hills: Sage Publications, 1978).
80 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
16/2012 tentang Industri Pertahanan telah memberi kerangka hukum bagi pengembangan
industri pertahanan nasional. Namun demikian, perlu adanya kajian lebih lanjut tentang
bagaimana cara yang efektif guna meningkatkan manfaat bagi industri pertahananan
nasional dari program pengadaan sarana pertahanan di Kemhan/TNI.
Agar manfaat program pengadaan alutsista dapat dinikmati secara optimal oleh
industri pertahanan nasional, perlu adanya strategi. Strategi ini bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas industri pertahanan nasional secara optimal. Inti dari strategi ini
adalah dalam penetapan jenis alutsista. Jenis alutsista harus dipilih sedemikian rupa
sehingga selain memberi kontribusi pada industri pertahanan nasional melalui jumlah
5
J.A. Pearce II, R.B. Robinson, Strategic Management : Formulation, Implementation, and Control,
(Singapore: McGraw-Hill Higher Education, 2000).
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 81
pembelian yang lebih banyak, namun alutsista tersebut masih tetap memberi efek
deteren bagi negara potensi musuh.
Perbedaan Grammar
Sementara militer merupakan suatu organisasi yang dibangun bukan dari prinsip
ekonomi. Militer adalah alat negara yang dibentuk untuk melakukan tugas pertahanan
negara dengan menggunakan hard power dalam menghadapi ancaman negara. Dalam
militer tidak ada pemasukan maupun laba. Yang ada hanya kemampuan (military
capacity), penciptaan efek deterrencedan pengeluaran (military expenditure).6 Milliter
akan dianggap berhasil jika mampu menetralisir ancaman negara di bidang pertahanan
negara. Militer cenderung untuk membutuhkan sarana pertahanan yang dianggap paling
mampu menunjang tugas pokoknya. Sumber barang bukanlah hal yang esensial bagi
militer. Yang terpenting adalah kualitas, kuantitas, tidak adanya embargo dan
pembatasan penggunaan sarana pertahanan, dan kehandalan sarana pertahanan yang
diadakannya.
Kedua entitas di atas (industri pertahananan nasional dan militer Indonesia) jelas
memiliki grammar yang berbeda. Jika militer menuntut produk yang berkualitas tinggi,
maka industri pertahanan yang belum matang (infant industry) tidak akan mampu
memproduksinya. Namun sebaliknya, jika militer harus membeli produk yang baru
6
P.K. Davis, "Toward Theory for Dissuasion (or Deterrence) by Denial: Using Simple Cognitive Models of
The Adversary to Inform Strategy", RAND NSRD, WR-1027, Januari 2014.
82 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
mampu diproduksi lokal, maka dikhawatirkan kualitasnya tidak memenuhi standar yang
diharapkan (militer). Sementara itu, jika ada kemampuan memproduksi produk yang
berkualitas, namun produk yang dipesan militer jumlahnya di bawah economies of scale,
maka industri pertahanan nasional akan kesulitan untuk menghasilkan produk dengan
harga yang bersaing dengan produk impor. Sehingga perlu adanya kesepahaman antara
pihak militer dan industri pertahanan nasional untuk menyamakan persepsi dan
menetapkan tujuan yang selaras demi mencapai manfaat yang bersifat lintas sektoral,
yaitu pertahanan, perdagangan, industri dan ekonomi. Artinya, dicapainya titik temu
dimana pihak militer tetap mendapatkan produk yang sesuai ekspektasi (walau bukan
yang ideal), namun masih mendatangkan laba yang signifikan bagi industri pertahanan
nasional.
Industri merupakan suatu sistem yang terdiri dari kelompok sub-sistem. Sub-sistem ini
membentuk pola piramid yang disebut dengan kelompok yang paling bawah adalah sub-
sistem industri hulu yang memproduksi berbagai barang mentah dan barang dasar bagi
industri di atasnya. Industri hulu ini seperti industri baja, industri bahan kimia, industri
pembuat baut, ring, dan lain-lain. Industri menengah memproduksi komponen dan
barang setengah jadi kepada industri hilir. Industri ini meliputi industri mesin, industri
komponen frame, industri elektronika, dan lain-lain. Industri hilir merupakan industri yang
memproduksi barang akhir, seperti industri pesawat (seperti PTDI), industri persenjataan
(seperti PT. Pindad), industri kapal (seperti PT. PAL), dan lain sebagainya.
Sistem industri yang mapan (matured) adalah sistem industri yang dibangun dari
hulu ke hilir. Hal ini berarti, industri pemasok barang mentah dan komponen telah
dikuasai oleh industri domestik, sehingga ketergantungan terhadap dukungan dari bahan
impor bisa minimal. Setiap sub-sistem industri ini membutuhkan level produksi yang
melampaui economies of scale-nya masing-masing agar mampu bertumbuh dan bertahan
secara berkesinambungan. Semakin ke hulu, economies of scale-nya akan semakin besar,
karena nilai tambah yang dihasilkan relatif semakin kecil. Misalnya, industri pembuat baut
akan mencapai economies of scale jika memproduksi 1 juta baut. Namun bagi industri
sepeda, economies of scale dapat dicapai jika memproduksi 100.000 unit saja.Semakin ke
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 83
hilir, investasi dan kebutuhan akan penguasaan teknologi akan semakin tinggi. Sehingga
bagi negara berkembang yang ingin mengembangkan industrinya, akan memulai dari hulu
ke hilir.
Gambar 1. Piramid Sektor Ekonomi
7
Andi Widjajanto, Dinamika Lingkungan Strategis dan Perang Asimetris, makalah kuliah Indonesian Total War
Strategy di Prodi SPS Universitas Pertahanan, 2014.
84 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Gambar 2 Spektrum Perang
Sumber: Andi Widjajanto, Dinamika Lingkungan Strategis dan Perang Asimetris, makalah kuliah
Indonesian Total War Strategy di Prodi SPS Universitas Pertahanan, 2014.
Yang kedua adalah spektrum simetris dimana suatu negara menghadapi kekuatan
musuh yang bersifat imbang. Perang yang terjadi akan melibatkan pertempuran antar
alutsista sejenis. Strategi dan taktik akan menentukan kemenangan. Namun situasi
perang simetris hampir sulit terwujud. Hal ini dikarenakan setiap negara akan berusaha
untuk memperoleh dukungan pihak asing untuk memperkuat kekuatannya, baik melalui
aliansi maupun kontra aliansi.9
8
N. Kaplowitz, "National Self-Images, Perception of Enemies, and Conflict Strategies: Psychopolitical
Dimensions of International Relations", International Society of Political Psychology, Vol. 11 No. 1, Maret 1990,
hlm.39-82.
9
H.J. Morgenthau, Politik Antar Bangsa (Terj.) (Ed. ke-6), (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010).
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 85
Yang terakhir adalah spektrum asimetris positif, dimana suatu negara menghadapi
musuh yang memiliki kekuatan militer yang lebih rendah. Situasi ini jarang melibatkan
musuh berupa aktor negara. Aktor musuh yang dalam spektrum ini biasanya adalah
insurgent yang memiliki motivasi dilandasi masalah politik, ekonomi, budaya maupun
ideologis.
Untuk membangun suatu industri yang besar, maka kompetensi inti harus diidentifikasi
terlebih dahulu untuk kemudian dikuatkan melalui kebijakan pemerintah yang tepat guna.
Perlu ada dukungan dari pihak militer sebagai end user untuk membangun kompetensi
inti industri pertahanan nasional ini dengan menerima segala kekurangannya. Industri
nasional yang belum kuat cenderung menghasilkan kualitas produk yang kurang prima
dengan biaya yang relatif mahal jika dibandingkan dengan produk impor. Namun jika
produk industri pertahanan nasional tidak didukung pihak pemerintah pusat dan militer,
maka industri pertahanan nasional tidak mampu untuk membuat produk yang kompetitif
dan militer Indonesia akan bergantung dari produk impor.
10
S.S. Dwivedi, "Alliances in International Relations Theory", International Journal of Social Science &
Interdiciplinary Research, Vol 1., Issue 8, 2012, hlm. 224-237.
86 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Namun kita tidak bisa mengharapkan bahwa kita sepenuhnya bisa mengandalkan
produk pertahanan dari dalam negeri. Industri pertahanan nasional juga memiliki
keterbatasan sumber daya, baik dari SDM, finansial, teknologi, dan lain-lain yang
membuat mereka harus memilih produk unggulan apa yang akan mereka produksi dan
menghasilkan pemasukan yang signifikan.
Dalam spektrum perang ini, sarana pertahanan yang efektif adalah persenjataan infantri
dengan karakteristik bersifat mobil, ringan, sulit untuk diidentifikasi musuh, dan memiliki
Industri Lokal&
Kompetensi
No Nama Produk yang Keterangan
Inti Terkait
Diproduksi
Senapan Serbu PT. Pindad
Keahlian dalam
1 Senapan SS2 dan Kesulitan tertinggi dalam
metal work
variannya. membuat senapan adalah
dalam membuat laras yang
Senapan Mesin PT. Pindad membutuhkan teknologi
Keahlian dalam
2 Senapan Mesin pengeboran yang presisi
metal work
SM3-V2
Sumber: Diolah sendiri oleh penulis terutama dari I. Montratama, (proses penerbitan), Komparasi
Alutsista Tujuh Negara, (Jakarta: IDSR dan The International Institute for Strategic Studies, 2013),
The Military Balance, (London: Routledge, 2013).
Dari kebutuhan persenjataan di atas, PT. Pindad memiliki kompetensi inti yang
relevan untuk memproduksi persenjataan infantri, yaitu keahlian dalam metal work.
Dengan maksud untuk memperkuat kompetensi inti PT. Pindad, maka strategi
pemerintah pusat dan militer yang relevan adalah sebagai berikut:
1. Menetapkan bahwa persenjataan infantri untuk TNI, Polri, dan instansi lain yang
membutuhkan, yang sudah mampu dibuat PT. Pindad, harus diadakan dari PT.
Pindad. Dihindari pengadaan persenjataan infantri dari luar negeri, walaupun lebih
murah dan kualitasnya lebih baik.
2. Untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi per unit, perlu
adanya konsensus dari pengguna untuk menggunakan basis senapan yang sama
untuk berbagai jenis senapan. Contohnya, untuk senapan serbu standar
Semakin banyak jumlah komponen dan produk jadi yang diproduksi, maka nilai
biaya produksi akan semakin menurun. Hal ini akan membuat harga produk akan semakin
kompetitif, terutama untuk pasar ekspor. Diharapkan senapan produksi PT. Pindad dapat
bersaing dengan senapan sekelas yang sudah terkenal seperti AKM, M-4, Styer AUG, dan
lain-lain. Contoh berbagai jenis senapan dengan level kesamaan komponen yang tinggi:
Tabel 2. Berbagai Senapan yang Memiliki Level Kesamaan Komponen yang Tinggi
Sumber: Diolah sendiri oleh penulis terutama dari I. Montratama, (proses penerbitan), Komparasi
Alutsista Tujuh Negara, (Jakarta: IDSR dan The International Institute for Strategic Studies, 2013),
The Military Balance, (London: Routledge, 2013).
Dalam spektrum perang ini, sarana pertahanan yang cenderung diadakan adalah yang
dapat mengimbangi persenjataan negara tetangga. Hal ini dikarenakan, ancaman militer
umumnya berasal dari negara terdekat.Sarana pertahanan yang dimaksud berupa
alutsista yang dapat dilihat di tabel berikut.
Sumber: Diolah sendiri oleh penulis terutama dari I. Montratama, (proses penerbitan), Komparasi
Alutsista Tujuh Negara, (Jakarta: IDSR dan The International Institute for Strategic Studies, 2013),
The Military Balance, (London: Routledge, 2013).
2. Jika ada alutsista yang sudah mampu diproduksi sendiri, seperti misalnya tank
ringan oleh PT. Pindad, frigat oleh PT. PAL, dan MPA oleh PTDI, maka pemerintah
perlu mendorong promosinya ke negara lain. Peran lembaga keuangan seperti
Bank Ekspor Indonesia akan sangat dibutuhkan untuk memberikan fasilitas
pembiayaan bagi pihak pembeli produk industri pertahanan nasional di luar negeri.
Dalam spektrum perang ini, ancaman yang dihadapi berupa insurgent dan perompak
dilaut. Sarana pertahanan yang relevan dapat dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 4. Sarana Pertahanan dalam Spektrum Perang Asimetris Positif
Sumber: Diolah sendiri oleh penulis terutama dari I. Montratama, (proses penerbitan), Komparasi
Alutsista Tujuh Negara, (Jakarta: IDSR dan The International Institute for Strategic Studies, 2013),
The Military Balance, (London: Routledge, 2013).
Tabel 5. Berbagai Jenis Pesawat Ringan yang Memiliki Level Kesamaan Komponen yang Tinggi
Sumber: Diolah sendiri oleh penulis terutama dari I. Montratama, (proses penerbitan), Komparasi
Alutsista Tujuh Negara, (Jakarta: IDSR dan The International Institute for Strategic Studies, 2013),
The Military Balance, (London: Routledge, 2013).
Militer dan industri pertahanan memiliki grammar yang berbeda dalam melaksanakan
fungsinya. Militer membutuhkan persenjataan yang terbaik untuk dapat untuk dapat
respon ancaman. Sedangkan industri pertahanan membutuhkan laba yang besar agar
dapat bertahan hidup. Sehingga perlu ada jalan tengah yang mampu memberikan pihak
militer persenjataan yang tetap mampu memberikan efek deterrence 11 yang secara
bersamaan mampu memberi laba yang signifikan bagi industri pertahanan nasional.
Perlu adanya koordinasi antara pemerintah pusat, militer dan industri pertahanan
agar tercapainya sinergi. Militer perlu menetapkan road map pembangunan kekuatan
pertahanan untuk ketiga spektrum secara bertahap. Sedangkan industri pertahanan
nasional diarahkan untuk menguasai kompetensi inti strategis untuk dapat mendukung
suplai persenjataan kepada militer, baik sebagai pabrikan produk jadi, pabrikan
komponen atau sub-sistem, maupun penyedia sarana pemeliharaannya.
Diperlukan pula adanya kompromi dari pihak militer sebagai end user dari
persenjataan yang diproduksi industri pertahanan nasional untuk menerima produk lokal
walau tidak sebagus atau semurah produk impor. Produk lokal perlu didukung hingga
mencapai titik economies of scale-nya, sehingga mampu menghasilkan produk yang
efisien. Dalam hal ini, militer perlu merespon dengan menggunakan sesedikit mungkin
tipe produk dimiliki, namun dengan jumlah yang relatif banyak. Produk-produk yang
dipilih sebaiknya yang memiliki tingkat kesamaan komponen yang tinggi dengan jenis
produk lainnya, contohnya, senapan. Senapan yang digunakan untuk senapan serbu
standar, senapan karabin (untuk operasi khusus), senapan mesin ringan, sub machine gun
hingga senapan penembak runduk dipilih yang berbasiskan pada komponen yang sama.
Hal ini akan berkontribusi pada semakin murahnya biaya produksi komponen yang sama
tersebut.
11
Paul K. Huth, "Deterrence and International Conflict: Empirical Findings And Theoritical Debates", Annual
Review of Political Science, Vol. 2, 1999, hlm. 25-48.
12
Purnomo Yusgiantoro, Ekonomi Pertahanan : Teori dan Praktik, (Jakarta: Gramedia, 2014).
96 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
perlu untuk diteliti secara seksama. Harapannya adalah Indonesia memiliki kemandirian di
bidang industri pertahanan dan masyarakat tidak akan lagi memandang bahwa anggaran
pertahanan merupakan cost center. Anggaran pertahanan juga dapat diserap oleh industri
nasional yang pada gilirannya akan menghasilkan multiplier effect yang dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik.
Peran akademisi nasional juga perlu untuk dioptimal dalam memberi input yang
bersifat akademis, baik kepada pemerintah maupun militer. Di Amerika Serikat,
kebutuhan untuk membangun jembatan antara pihak birokrat (pertahanan negara)
dengan akademisi ditandai dengan didirikannya RAND Corporation pada tahun 1960-an
oleh Kepala Staf USAF, Jenderal Henry "Hap" Arnold. RAND Corporation kini telah
berkembang menjadi lembaga kajian yang telah melahirkan berbagai penemuan hebat
dan 32 ahli pemenang hadiah Nobel. Para akademisi nasional perlu diberi kesempatan
untuk berkontribusi dalam membangun sistem pertahanan nasional yang lebih baik lagi,
khususnya dalam mengembangkan industri pertahanan nasional.
Buku
East. M.A., Salmore, S. A., Hermann, C.F. 1978. Why Nation Act: Theoritical Perspectives for
Comparative Foreign Policy Studies. Beverly Hills: Sage Publications.
Montratama, I. 2014. Analisis Deterrence Perception Atas Kemampuan Alat Utama Sistem Senjata
Malaysia Dihadapkan Dengan Indonesia dalam Konteks Pengendalian Blok Laut Ambalat (2010-
2014). Jakarta: Universitas Pertahanan (Tesis S2).
Montratama, I. (proses penerbitan). Komparasi Alutsista Tujuh Negara. Jakarta: IDSR.
Morgenthau, H.J. 2010. Politik Antar Bangsa (Terj.) (Ed. ke-6). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Pearce II, J.A., Robinson, R.B.. 2000. Strategic Management : Formulation, Implementation, and
Control. Singapore: McGraw-Hill Higher Education.
The International Institute for Strategic Studies. 2013. The Military Balance 2013. London:
Routledge.
Yusgiantoro, P. 2014. Ekonomi Pertahanan : Teori dan Praktik. Jakarta: Gramedia.
Jurnal
Davis, P.K., 2014. "Toward Theory for Dissuasion (or Deterrence) by Denial: Using Simple Cognitive
Models of The Adversary to Inform Strategy". RAND NSRD. WR-1027.
Dwivedi, S.S. 2012. "Alliances in International Relations Theory". International Journal of Social
Science & Interdiciplinary Research. Vol 1., Issue 8.
Huth, Paul K. 1999. "Deterrence and International Conflict: Empirical Findings And Theoritical
Debates". Annual Review of Political Science. Vol. 2.
Kaplowitz, N. 1990. "National Self-Images, Perception of Enemies, and Conflict Strategies:
Psychopolitical Dimensions of International Relations". International Society of Political
Psychology. Vol. 11 No. 1.
Makalah
Widjajanto, Andi. 2014. Dinamika Lingkungan Strategis dan Perang Asimetris. Makalah kuliah
Indonesian Total War Strategy di Prodi SPS Universitas Pertahanan.
Website
Hamdan Hamedan1
The Monterey Institute of International Studies
(hamedan_hamdan2@yahoo.com)
Abstract Conventional wisdom maintains that security concerns are the primary motivation for
states to seek nuclear weapons. Indeed, history has shown that the predominant decisions to go
nuclear (starting from the U.S., the Soviet Union, China, Israel, Pakistan, and to North Korea) appear
to be motivated by security concerns. Yet, the fact there have been nuclear-capable states with
precarious security concerns (e.g., South Korea now or West Germany then) that have decided not to
seek nuclear weapons serve to challenge the aforementioned conventional wisdom. Moreover,
further research and case-by-case study coupled with understanding of the fact that each state in the
world has different security condition and challenges show that security concerns are, in reality, not
always the primary motivation.
1
Hamdan Hamedan is an international relations professional living in California. He holds a BA and MA,
summa cum laude, in International Policy and Security Studies from the Monterey Institute of International
Studies. In addition, he holds a Certificate in Nonproliferation Studies from James Martin Center for
Nonproliferation Studies (CNS). The views expressed in this publication are those of the author.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 99
Introduction
Conventional wisdom in international relations avers that security concerns are the
primary motivation for states to seek nuclear weapons. That is, states seek to develop
nuclear weapons when they face a significant military threat to their security that cannot
be met through alternative means; if they do not face such threats, they will willingly
remain non-nuclear states.2 It is indeed difficult to refute that states are motivated to
seek (and willing to go through the arduous, complex, and costly steps) the production of
nuclear weapons in order to ensure the most important of their raison d'tatsecurity.
Of equal importance, history has shown that the predominant decisions to go nuclear
(starting from the U.S., the Soviet Union, China, Israel, Pakistan, and to North Korea)
appear to be motivated by security concerns.3 Consequently, the security model (i.e.,
realism theory) has often been presented as the explanation behind a states decision to
procure nuclear weapons.
Research Question
This paper, using a case-by-case study, will attempt to test the cogency of the security
model and answer the following research question:
Are security concerns the primary motivation for states to seek nuclear weapons
(and by extension, other weapons of mass destruction)?
India
India and China had a vitriolic relationship in the early 60s. They went to war in 1962,
resulting in an Indian defeat, including the lost of territory to China, and the possibility of
future conflict caused by retaliation or border dispute. Two years later, in 1964, China
successfully tested its nuclear weapon proclaiming its military superiority in both
conventional and unconventional weapons, and thereby, putting Indias security at risk. If
2
Scott D. Sagan, "Why Do States Build Nuclear Weapons?: Three Models in Search of a Bomb", International
Security, Vol.21. No.3, 1996, p. 54.
3
Scott D. Sagan, op.cit., p. 85.
100 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
the security concerns are the primary motivation for states to seek nuclear weapons, it
should follow that Indiaa state that has advanced nuclear capabilities and currently
under an existential security threatwould embark on a crash weapons program.
Nonetheless, history shows that India chose not to do so; and the weapon program was
delayed due to discrepancy of elite decision makers in the state machinery. 4
Ten years later, in 1974, when China had no longer posed a serious threat to Indias
security, India detonated its first nuclear bomb. An important thing to note is that Indian
military personnel and the Defense Minister were not involved in the initial decision to
prepare the nuclear device or in the final decision to test the bomb. Normally, if security
concerns are the primary motivation, the military would play an important role in the
making, testing, and storing of the nuclear weapons. Arguably, this shows that the
security issue was of secondary importance.5 More importantly, domestic support for
Indias leader at that time, Indira Gandhi, had fallen to an all-time low. Hence, she needed
to initiate a spectacular event to divert public attention from [her] domestic woes and
to improve her domestic support.6 Nothing works best, she believed, than detonating a
nuclear bomb given the contemporary trend that dictates possessing nuclear weapons
are considered to be the sign of modernity and prestige, thus they could be used to
restore the nations support, confidence, and pride.
South Africa
When Cuban military forces backed by the Soviet Union (SU)a nuclear power
intervened in Angola in 1975, the South African government felt its security was at risk.
Six atomic weapons were therefore constructed between 1980 and 1989. 7 Prima facie,
South Africas motivation to have nuclear weapons was to ensure its security considering
the bombs could serve as deterrent against the SU. Yet, further scrutiny shows that
4
See Sujeet Samaddar, "Thinking Proliferation Theoretically", The Nonproliferation Review, Vol. 12. No.3,
2005, p. 444. In addition, see also page of Scott D Sagan, op.cit., p. 54.
5
Scott D. Sagan, op.cit., p. 67.
6
William C Potter, Nuclear Power and Nonproliferation, (Cambridge, Massachusetts: Oelgeschlager, Gunn &
Hain, Inc., 1982), p. 155. In addition, see also Scott D. Sagan, op.cit., p. 68. In addition, see also page William
Epstein, "Why States Go -- and Don't Go--Nuclear", Annals of the American Academy of Political and Social
Science, os 430, 1977, p. 25.
7
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 60.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 101
South Africas nuclear program was started back in 1971, four years before the Cuban
militarys interventionfour years before the (supposed) threat emerged.8
Despite having no significant security threats in 1971, South Africa decided to start
researching nuclear devices. South Africas decision to embark on a nuclear program was
motivated by prestige and international standing. That is, South Africas scientists would
like to enhance their standing in international scientific circles by successfully producing
PNEs to be utilized in mining situations.9 It is important to note that the mining industry in
South Africa has been one of the most important and profitable industries with powerful
lobby to the government.10 Scientists motivation for prestige, backed by a coalition of
the elites within the government of South Africa and mining industry, had not only made
the nuclear weapons program of South Africa technologically feasible but also politically
and economically. It is also worth noting that when South Africa had successfully
produced its first nuclear device, the device was too large to be deliverable by a military
aircraft.11 This occurred because the military was not consulted about the bomb design,
bolstering the notion that the South Africa nuclear weapons program was not motivated
by external security threat but for domestic motivations.12
8
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 69.
9
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 70.
10
"Mining and Minerals in South Africa", South Africa's Official Gateway, http://www.southafrica.info/
doing_business/economy/key_sectors/mining.htm, accessed 27 March 2008.
11
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 70.
12
Ibid.
13
See "South Africas Apartheid-Era Germ Warfare Program Investigated", The Henry L. Stimson Center,
January 1999, http://www.stimson.org/cbw/?sn=cb20020113266, accessed 27 March 2008.
102 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
France
During the 1956 Suez Crisis, the SU threatened to use nuclear force against France if
France failed to withdraw from Egypt, which was the SUs (uneasy) ally. This situation
was exacerbated by the fact that the U.S.s nuclear guarantee was no longer reliable
considering SUs second strike capability.14 (In addition, the U.S. shared an opposite view
with France vis--vis the Suez Crisis, and demanded France's withdrawal). It would be
logical for France, therefore, to initiate the weapons program given that France has the
technology, economic, and political means to do so. And it would be logical to say, at this
time, that security concerns are the primary motivation for France to seek nuclear
weapons.
However, further study shows that the rationale above might be tenuous. France
had already decided to initiate the weapons program two years before the Suez Crisis
two years before SU threat to use nuclear force. Furthermore, if using the argument that
SU poses a grave danger to Frances security, and the U.S. provides unreliable security
guaranty to all countries in Europe (including France), then why did only France decide to
initiate the weapons program? Why other nuclear-capable states in Europe, faced with
similar security threats at the time, not also develop nuclear weapons? This arguably
because only Frances leaders value the nuclear weapons highly (relative to other
European leaders) and regard the nuclear weapons symbolic significance. 15
In retrospect, despite winning World War II, France was a liberated victor whose
military capabilities and international standing were relatively middling compared to
other victors namely the U.S., the SU, and the British (a France rival). For that reason,
French leaders sought to restore the national greatness and international standing.
Accordingly, the First French Five-Year plan outlined the necessity of ensuring that in 10
years time France will still be an important country. In other words, restoring the nations
grandeur and regain international respect and prestige are the primary motivation for
France to seek nuclear weapons.16
14
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 77.
15
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 78.
16
Ibid.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 103
Just as siege cannons, in the medieval era, were status symbols (and science
breakthrough) and all kings wanted them in their arsenals, France leaders believe that
nuclear weapons are the modern symbol of power, prestige, and scientific expertise.
Thus, for France to regain its international standing in the modern world, France must
indubitably have nuclear weapons. This situation was exacerbated by the fact that all
nuclear powers were not stopping advancing its nuclear capabilities. This makes the
division of the haves (the nuclear powers) and the have-nots (France and others)
widened.
French leaders did not want France to be left behind. Equally important, all the
nuclear powers were vigorously continuing to upgrade its stockpiles and thereby
increasing the aura of prestige of having vast stockpiles of nuclear weapons.
Consequently, having vast stockpiles of nuclear weapons was becoming a trademark of
great powers. If France wants to be considered a (legitimate) great power, it follows that
France too must have nuclear arsenals. Finally, as the new institutionalism literatures
argue that modern institutions mimic each other, France (too) mimicked other great
powers vis--vis their possession of nuclear weapons.17 It is also worth noting that
excluding China, France was the only great western power in the Security Council that, at
that juncture, did not have nuclear weapons. As such, French force de frappe needed to
have nuclear weapons in order to be in the same (elite) league with other big boys.
All the case studies above demonstrate that security concerns are not always the primary
motivation for states to seek nuclear weapons. There are also other motivations that
17
See Scott D. Sagan, op.cit., p. 74.
104 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
could surpass security motivation in influencing states decision to seek nuclear weapons.
Indias case illustrates that security threat from China would not necessarily turned into
triggering mechanism for a policy change vis--vis the decision to seek nuclear weapons.
Instead, domestic political considerations turned out to be the primary motivation. South
Africas case underlines that obtaining international standing and advancing mining
industry are the primary motivation, while the communist presence in Angola served as
false justification.
Frances case illuminates that restoring national grandeur and regaining prestige
in the international community were Frances post-World War II raison d'tat. Without a
closer look at Frances domestic documents and pronouncements, and without knowing
the fact that France had already started its nuclear program two years before the Suez
Crisis, one could be misled to believe that SUs threat to use nuclear forces against France
was the catalyst for Frances decision to develop nuclear weapons. All in all, the cogency
of the security model in explaining the primary motivation for states to seek nuclear
weapons is not always tenable. The security model, like any other models, has its
weakness; it (overly) focuses on the state level. Hence, it fails to look at the micro level
the intents and roles of elite decision makers as well as the domestic mood and political
considerations.
18
Stephanie Lieggi, "The Nonproliferation Tiger: Indonesia's Impact on Nonproliferation in Asia and Beyond
NTI", NTI: Nuclear Threat Initiative, March 5, 2012, http://www.nti.org/analysis/articles/nonproliferation-tiger-
indonesias-impact-nonproliferation-asia-and-beyond/, accessed November 10, 2014.
19
Indonesian diplomat in discussion with the author, May 2009.
106 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
References
Books
Journals
Sagan, Scott D. 1996. "Why Do States Build Nuclear Weapons?: Three Models in Search of a
Bomb". International Security. Vol.21. No.3.
Websites
Lieggi, Stephanie, "The Nonproliferation Tiger: Indonesia's Impact on Nonproliferation in Asia and
Beyond NTI", NTI: Nuclear Threat Initiative, March 5, 2012,
http://www.nti.org/analysis/articles/nonproliferation-tiger-indonesias-impact-
nonproliferation-asia-and-beyond/, accessed November 10, 2014.
"Mining and Minerals in South Africa", South Africa's Official Gateway, 27 March 2008,
<http://www.southafrica.info/doing_business/economy/key_sectors/mining.htm>.
"South Africas Apartheid-Era Germ Warfare Program Investigated", The Henry L. Stimson Center,
January 1999, http://www.stimson.org/cbw/?sn=cb20020113266, accessed 27 March 2008.
Interview
Indonesian diplomat in discussion with the author, May 2009.
Ari Setiyanto1
The Indonesia Defense University
(ari.setiyanto12@gmail.com)
Abstract The 25 years of APEC shows a positive correlation between trade and economic growth.
The strong correlation makes APEC seen as a future core of economic power and potential to be a
global leadership in the development of international norm, rules, and cooperation. International
political economy concerns to how scarce resources are allocated to different uses and distributed
among individuals through the process of decentralized market. It also refers to the handling of
issues related to cross-national boundaries and relationships between two or more than two
countries through a complex political process involving a country, bilateral relations between the
countries, international organizations, regional alliances, and global agreements. In globalization era,
improving quality of human resource and sustainable growth is required. However, under the
pressure of the international competition, Indonesia poses a number of new challenges, economic as
well as political. The Indonesian economic challenge is in investment in commercial infrastructure to
support greater connectivity. The new vision to be the world maritime axis has been promoted from
the President Joko Widodo. It is the momentum for Indonesia to take advantage from the APEC
global agenda to strengthen Indonesian role in sustaining national, regional, and international
economic growth through infrastructure development in maritime sector.
Keywords: APEC, connectivity, regional integration, maritime axis, trade liberalization, globalization
Abstrak Setelah 25 tahun, APEC menunjukkan korelasi positif antara perdagangan dengan
pertumbuhan ekonomi. Korelasi yang kuat membuat APEC dilihat sebagai inti kekuatan ekonomi
di masa depan dan berpotensi menjadi pemimpin global dalam pengembangan norma, aturan,
dan kerjasama internasional. Ekonomi politik internasional berfokus pada bagaimana sumber
daya yang langka dapat dialokasikan antar individu melalui sistem pasar yang terdesentralisasi.
Ekonomi politik internasional juga mengacu pada isu-isu yang berkaitan dengan lintas batas
nasional dan hubungan antar dua atau lebih negara melalui proses politik yang kompleks
melibatkan negara, hubungan bilateral, organisasi internasional, aliansi regional, dan perjanjian
global. Presiden Joko Widodo telah memaparkan visi Indonesia agar menjadi poros maritim dunia.
Di era globalisasi, diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan yang
berkelanjutan. Namun, di bawah tekanan dari kompetisi internasional, Indonesia memiliki
1
Ari Setiyanto obtained his bachelor degree in Political Science at the University of Indonesia in 2012. He is
currently taking a master program at the Indonesia Defense University, majoring in Defense Diplomacy.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 109
sejumlah tantangan, baik ekonomi maupun politik. Tantangan ekonomi Indonesia yaitu dalam
investasi di bidang infrastruktur untuk mendukung konektivitas sebagai poros maritim dunia. Saat
ini merupakan momentum bagi Indonesia untuk dapat mengambil keuntungan dari agenda global
APEC 2014 dalam memperkuat peran Indonesia dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi
berkelanjutan pada level nasional, regional, dan internasional melalui pembangunan infrastruktur
di bidang maritim.
Kata kunci: APEC, konektivitas, integrasi regional, poros maritim, liberalisasi perdagangan,
globalisasi
Introduction
In the last 25 years, Asia has increased significantly in economic sector, such as
integration, foreign direct investment (FDI), and its member economic growth. The Asia
Pacific Economic Cooperation (APEC) forum has contributed to a rise of economic
prosperity to almost 40 percent of the global population, approximately 58 percent of
world GDP and 44 percent of world trade that belongs to APEC economies. 2 Since 1989,
APEC members have seen a ten percent reduction in applied tariff rate and trade grows
to 20 trillion USD. In the future, APEC will be the core of economic power and potential to
be a global leadership in the development of international norm, rules, and cooperation.
This prediction is based on the significant growth of regional integration, reduced
barriers, rising of supply and production chains, FDI, and free trade agreement. Before
the establishment of APEC, there were no meetings in regional cooperation. It was
specific organization that has no sense of global and fragmented.3
The idea of APEC was firstly publicly broached by former Prime Minister of
Australia Bob Hawke during a speech in Seoul, Korea on 31 January 1989. Ten months
later, 12 Asia-Pacific economies met in Canberra, Australia to establish APEC. The founding
members were: Australia, Brunei Darussalam, Canada, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia,
New Zealand, the Philippines, Singapore, Thailand, and the United States. China, Hong
Kong, China and Chinese Taipei joined in 1991. Mexico and Papua New Guinea followed in
1993. Chile acceded in 1994. And in 1998, Peru, Russia and Vietnam joined, taking the full
membership to 21. Between 1989 and 1992, APEC met as an informal senior official and
2
Fact Sheet: 22nd Annual APEC Economic Leaders' Meeting. (n.d.), http://www.whitehouse.gov/the-
press-office/2014/11/11/fact-sheet-22nd-annual-apec-economic-leaders-meeting, retrieved November 11, 2014.
3
Charles E. Morrison, the Asia-Pacific Cooperation Agenda: Moving from Regional Cooperation toward
Global Leadership, Institute of Southeast Asian Studies, 116, p. 1-5.
110 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
Ministerial level dialogue. In 1993, former United States President Bill Clinton established
the practice of an annual APEC Economic Leaders' Meeting to provide greater strategic
vision and direction to cooperation in the region.
4
Fact Sheet: 22nd Annual APEC Economic Leaders' Meeting. (n.d.), op.cit.
5
N. Akrasanee, APEC after 25 Years: A Look Backward and Thought Forward, The Jakarta Post,
November, 24th 2014, http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/11/apec-after-25-years-a-look-backward-
and-a-thought-forward.html, retrieved November 29, 2014.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 111
infrastructure development (Akrasanee, 2014). The APEC global agenda, especially on
connectivity should be concerned by the government. With the President Joko Widodos
statement who want to make Indonesia as a world maritime axis, this paper will examine:
The linkage between APEC 2014 agenda and Indonesian vision to be the world
maritime axis;
How Indonesian government should react and take actions that may lead the
national, regional, and international economic sustainability?
How the government should learn from ACFTA implementation related to APEC
Blueprint Connectivity?
Theoretical Framework
The absence of the state, mechanisms and market forces will determine economic
activity. This will be a purely economic phenomenon. In contrast, if markets absence, the
state itself will allocate economic resources. The relative influences of the state or the
market provide changes over time and in different environments. According to Gilpin, the
term political economy has ambiguity. Adam Smith and the classical economists use to
interpret what is now called economics. More recently, a number of experts as Garu
Becker, Anthony Downs and Bruno Frey define political economy as a formal application
of economic methodology called rational actor models, for all types of human behavior. 6
Other experts use the term political economy is the definition of the use of special
economic theory to explain social behavior, game, collective action and Marxist theory.
While other experts use the term to refer the political economy problems generated by
the interaction of economic and political activity. Gilpin termed political economy to
indicate a series of problems that were examined with a complete mix of analytical
methods and theoretical perspectives. While the focus are between human activities,
state, and market. Georg Hegelian Philosophy of Right has examined the relationship
between state and market. Charles Lindblom (1977) proposed "exchange" and
6
Robert Gilpin, The Political Economy of International Relations, (New Jersey: Princeton University Press,
1987), p. 8.
112 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
"authority" as the main concept of political economy. Peter Blau (1964) using the
"exchange" and "coercion"; Charles Kindleberger (1970) and David Baldwin (1971) refers
to the "power" and "money"; Klaus Knorr (1973) utilize the term "power" and "richness".
While Oliver Williamson (1975) in contrast to using the term "market" and "hierarchy",
Richard Rosecrance (1986) contrasts between "market" and "territoriality".7
The political economy of the new emphasis on the view that the market failures
were less damaging than state failures. Market failure is not too dangerous when
compared with state failure. On the other hand, the intervention is done by "predatory
state" with "magic of the market place" will certainly make the situation worse. Indeed,
government policy will clearly identify the advantages and disadvantages. Although the
relevance of the original purpose of the state is to support the market through public
policy, state intervention will only aggravate the situation or circumstances rather than
fix it.
The world is a complex place that associated with a variety of elements that
influence each other. Started from individual level, the political-economic elite from
national to international levels create complex interactions. Cross-border contact with
different values and interests lead to various problems. International political economy
concerns to how scarce resources are allocated to different uses and distributed among
individuals through the process of decentralized market. It also refers to the handling of
issues related to cross-national boundaries and relationships between two or more than
two countries through a complex political process involving a country, bilateral relations
between the countries, international organizations, regional alliances, and global
agreements.8
The movement toward economic regionalism and regional trade was accelerated in the
mid 1980s and produced an impact on the shape of world economy. New regionalism had
much significance for the world economy. The new regionalism involves economic
7
Robert Gilpin, Ibid, p. 8.
8
David N Balaam and Michael Veseth, Introduction to International Political Economy, (New Jersey: Prentice
Hall, 1997), p. 4.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 113
integration and FDI. The initiatives in develop regional free trade area had been followed
by multilateral trade negotiations. The European Single Market Act (1986) triggered the
new regionalism and stimulated development of other similar efforts. In Pacific Asia,
Japan intensified its own efforts to create and lead a regional economy. The expanding
movement toward regional integration can be characterized as a security dilemma.9
Neo-Liberalism
Neo-liberal appeared in the late 1970s, this understanding upholds the free market and
private enterprise and state crime in intervenes the market. This understanding then
heard by the two leaders, the British Prime Minister-Margaret Thatcher and US President-
Ronald Reagan. The paradigm of this understanding are government intervention in the
economy is the main cause of the disorder, and the best way to control the level of
economic activity is through monetary policy. Inflation is basically regarded as a monetary
9
Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Order, (New Jersey:
Princeton University Press), p. 342.
10
John Ravenhill, APEC and the WTO: Which Way Forward for Trade Liberalization?, Contemporary
Southeast Asia, Volume 21, Number 2, August 1999, p. 220.
114 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
phenomenon, and can be controlled through tight monetary policy (restrictive monetary
policy).
The essence of this new thinking is the objective of poverty reduction and
economic growth will be better if the restriction of the role of the state is applied and
replaced by the dependence of the economy and market forces and private companies.
Structural Adjustment Policies will be very important for many countries and is an
important element for their liberal economic policies. Structural Adjustment policies
should be applied if the purpose is to reduce poverty and create a better integration in
the era of globalization.
11
Lester B. Pearson, Partner in Development: Report of the Commission on International Development, (New
York: Praeger), p. 87.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 115
agencies and bilateral donors from private banks insist on applying the stabilization and
liberalization policies as a condition for borrowing new debt.12 Then states that are not
ready to be emphasized to make basic adjustments, here then Structural Adjustment
policies should be applied.
15
Frederic Lapeyre, op. cit. p. 3.
16
J. Williamson, What should the World Bank think about the Washington Consensus?, World Bank
Research Observer Journal, Vol. 15 No. 2. 2000.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 117
Economic Integration
These institutions create incentives for states to cooperate and, through a variety
of mechanisms, to facilitate such cooperation. Although the new institutionalism provides
valuable insights, it does not consider the political reasons for regional arrangements. The
new political economy explanation emphasizes interest group politics and the distributive
consequences of economic regionalism; it assumes that such regional trade
17
David N Balaam and Michael Veseth, op. cit. p. 2.
18
Miroslav N. Jovanovic, International Economic Integration: Limit and Prospect, (London: Routledge, 1998),
p. 27.
19
Robert Gilpin, op. cit., p. 345.
118 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
arrangements as customs unions and free trade agreements have significant
redistributive consequences that are usually harmful to nonmembers and create both
winners and losers among the members themselves. Indeed, economists frequently
explain economic integration as resulting from efforts of domestic interests to
redistribute national income in their own favor. This approach provides important insights
into the domestic politics of economic integration but fails to explain the costly efforts by
Europeans to achieve regional integration. 20 Economic integration also shows a
combination of a group of countries which have geographical proximity that build a trade
union with the aim of achieving economic benefits among the members and to restrict
other countries penetration in a free trade zone. In addition, the purpose of establishing
an integrated economic region is also to facilitate the transfer of products, goods, and
labor. After all, the economic integration can be directed to the formation of regional
economic community. Economic integration can form a total integration include the
political aspects.21 At the end of this economic integration includes three main points,
namely trade in goods and services, investment, and economic integration of financial
aspect.22
APEC has been part of the positive changes in the region and provided positive
atmosphere for international interaction and integration. APECs achievements are much
more visible to foreign and trade ministry bureaucracies than they are to the public, or
even to more politically and policy aware stakeholders. APEC has proved to be an
efficient venue for the leaders of the region to meet. It has helped build some common
sense of international economic norms and values and strengthened adherence to the
international trade system. It has provided a vehicle for economies with once limited
20
Robert Gilpin, ibid., p. 348.
21
Chu Chin Peng and Sang Chun Park, Regional Integration in Central and Eastern Europe and the Prospect of
the Fifth Enlargement of the Europe, (Beijing: Beijing National Science Council Republic of China, 2010), p. 3.
22
Imam Muchlis, Integrasi Ekonomi ASEAN, (Tulung Agung: Cahaya Abadi, 2010), p. 13-14.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 119
awareness of the WTO system to better understand the rules, obligations, and benefits of
the system.23
The first group of people who saw the benefits of economic cooperation in Asia-
Pacific was businesspeople. They saw the opportunity for trade and investment, or the
opportunity to make money. This is not unlike the Arab or Indian merchants who sought
trade cooperation with Southeast Asia more than 1,000 years ago or the merchants along
the famous Asian Silk Road. Another route of development that eventually reached to
APEC was through academia, through the development of public-policy thought.
While APEC, as a venue for voluntary, nonbinding cooperation, has not itself been
a formal vehicle for negotiating free trade areas, much of the inspiration for such
agreements has been associated with the APEC process. Free Trade and investment
liberalization have been APEC goals for two decades. All economies in the region are
engaged in one or another of the major free trade negotiation, such as the Trans-Pacific
Partnership, the Regional Comprehensive Economic Partnership, and the Pacific Alliance.
APEC has deepened adherence to global norms and rule and inspired more liberal trade
rule-making at the sub regional or global. APEC no longer remain the trans-Pacific
organization, it has been joined by the East Asia Summit (EAS), includes United States. 24
However, APEC will lose its significance as a trade liberalization forum and United States
must be reach agreement with Western European economies that has much more in
common than its East Asian partner in APEC.25
23
Charles E. Morisson, Four Adjectives Become a Noun: APEC and the Future Asia-Pacific Cooperation,
Institute of Southeast Asian Studies, p. 30.
24
Charles E. Morisson, the Asia-Pacific Cooperation Agenda: Moving from Regional Cooperation toward
Global Leadership, East-West Center Journal, p. 1-5.
25
John Ravenhill, loc. cit., p. 224.
120 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
pursuing free and open trade, establishing regional scholarships, increasing capacity in
disaster preparedness, and many other areas of cooperation.26
Affirming that APEC members will meet the ground-breaking APEC commitment to
reduce tariffs to five percent or less by 2015 on the basis of the 54 products in the
APEC List of Environmental Goods; submitting plans for how economies should
implement that commitment by the time of the 2015 Ministers Responsible for
Trade meeting in early spring; and launching new work to address non-tariff
measures that impact trade in environmental goods and services.
26
Fact Sheet: 22nd Annual APEC Economic Leaders' Meeting. (n.d.), op.cit.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 121
Raising awareness about the importance of trade secrets protection and
enforcement to innovation, foreign direct investment, and commercialization of
research and development. Building on this work in 2015.
Recognizing that prosperity in the region depends on an environment that supports trade
and investment, APEC Leaders agreed to:
Establish the APEC Women and the Economy Dashboard to monitor progress in
APEC economies on key issues related to womens economic empowerment, and
to serve as a reference for future capacity building and evidence-based policy
discussions.
Continue work on reducing energy intensity by 45 percent by 2035 with the next
tranche of collaborative projects to support progress toward this goal.
Liberalize and facilitate agricultural trade and investment by recognizing the role
of public-private partnerships in investment and reaffirm commitments against
protectionism and export restrictions.
Improve food safety in the APEC region, through work on risk-based inspections,
allergen management, laboratory capacity building, and regulatory cooperation
the Food Safety Cooperation Forum (FSCF) and its Partnership Training Institute
Network (PTIN).
Promote peoples health and well-being through the Healthy APEC 2020
initiative by means of a comprehensive whole-of-society approach to health
security, growth and development of the Asia-Pacific region.
Support effective public donations practices, efficient supply chain and relief
operations, and speedier economic recovery in disaster-affected areas by adopting
the APEC Guidelines for Appropriate Donations in Times of Disasters.
The APEC Business Travel Card has long been touted as one of APECs major successes in
connecting the region by facilitating business travel. This year, the United States began
issuing APEC Business Travel Cards to eligible U.S. citizens, enabling them to access the
priority immigration processing APEC lanes in airports of foreign participating APEC
economies. In Beijing, Leaders took steps to increase connectivity across borders and to
lay the groundwork for increased infrastructure development by:
Announcing the goal of doubling the number of tourists to 800 million among
APEC members by 2025.
Taking Benefit from the APEC Agenda through Realization of the World Maritime Axis
President of the Republic of Indonesia, Joko Widodo convey his vision to make Indonesia
as the world maritime axis. Jokowi expressed in his speech that "Indonesia will be the
axis of the maritime world, forces that waded two oceans, as a maritime nation that is
Jokowi translate the vision of Indonesia as a world maritime axis as a strategy that
will be used not only to build Indonesia but also the gravitational vortex of the world
economy. Maritime axis which initiated by Joko Widodo-delivered at the East Asia Summit
(East Asia Summit) in Myanmar, consists in five main pillars. First rebuild Indonesian
maritime culture. Jokowi states that "as a country consisting of 17 thousand islands,
Indonesia should be aware that identity, prosperity, and its future is determined by the
management of the ocean". Secondly, Indonesia will maintain and manage marine
resources, with a focus on building food sovereignty through the development of fishing
industry. This vision is realized by placing the fishing as the main pillar. Third, the prior
development on infrastructure and maritime connectivity, by building a sea toll, deep
seaport, logistics, shipping industry and maritime tourism. Fourth, implementing maritime
diplomacy, by emphasizes the promotion in all countries to eliminate the source of
conflict at sea, such as illegal fishing, a violation of sovereignty, territorial disputes, piracy,
and marine pollution. Fifth, the development of maritime defense forces for realizing the
sovereignty and maritime security.28
27
Gangsar Parikesit, Cara Jokowi Jadikan Indonesia Poros Maritim Dunia, Tempo,
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/13/118621707/Cara-Jokowi-Jadikan-Indonesia-Poros-Maritim,
retrieved November 18, 2014.
28
Gangsar Parikesit, Jokowi Yakin Indonesia Jadi Poros Maritim Dunia, Tempo,
http://www.tempo.co/read/news/2014/11/13/118621693/Jokowi-Yakin-Indonesia-Jadi-Poros-Maritim-Dunia,
retrieved November 18 2014.
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 125
Role of Connectivity in Supporting National, Regional, and International Economic
Growth
At APEC 2013, Indonesia has introduced the concept of the APEC Framework on
Connectivity which includes three pillars, such as physical connectivity, institutional
connectivity and people to people connectivity. Follow up conducted between Indonesia
and China is drafting APEC Blueprint on Connectivity Suggested General Outline and
Workplan to Develop the 2014 APEC Blueprint on Connectivity. The cooperation involves
the APEC Policy Support Unit (PSU), which served as a constituent of APEC Blueprint on
Connectivity. In terms of improving connectivity in the Asia-Pacific region, APEC
economies needed to deliver proposed key initiatives. Proposed initiative from Indonesia
in the development of connectivity in Asia Pacific was passed at a meeting of the APEC
First Senior Officials Meeting (SOM1) in Ningbo, China. In addition, Indonesia submits a
Multi-Year Plan on Infrastructure Development and Investment through the Guidebook
on Public-Private Partnership Framework in the APEC Region preparation.30
29
Indonesia Tegaskan Isu Konektivitas di APEC 2014, Antara, https://id.berita.yahoo.com/indonesia-
tegaskan-isu-konektivitas-di-apec-2014-140321582.html, retrieved November 18, 2014.
30
K. Aspasaf, Pengembangan Konektivitas dan Peningkatan Investasi Infrastruktur Fokus Utama APEC di
2014, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia,
http://www.kemlu.go.id/Pages/NewsKemlu.aspx?IDP=415&l=id, retrieved November 18, 2014.
126 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
value of trade in Indonesia. Since 2007, Indonesia's trade with APEC growth reached 18
percent. This achievement is higher than the growth of Indonesia's trade with other
countries, in 16 percent. Indonesia is a country that is attractive to global investors among
other APEC countries, such as Thailand, Peru, Malaysia, Chile, Russia, China, and South
Korea. In addition, six members of APEC, such as the United States, China, Russia,
Australia, South Korea, and Japan is the largest investor Indonesia in the last decade 31
At the other hand, Africa has evolved into a region that has a vast economic
potential, and attractive for investors to invest and sell their products. Based on the
report of Ernst &Young in 2012, Africa is the continent of the future because of its natural
wealth that has not been touched. Indonesia can harness the potential of Africa's
national interests. Potential trade between Indonesia and South Africa alone is worth 10
billion USD. In addition, Kenya is also a key part of the East African sub-region that has
had advances in the field of economics, availability of infrastructure, and the level of
intensity of bilateral relations with Indonesia. However, many obstacles faced by
Indonesia, among others, in the absence of a direct route or direct shipping route to
Africa, resulting in a low return on investment. On the other hand, Indonesia is
considered to have forgotten an important pillar in terms of relations with Africa, the
New Asia Africa Strategic Partnership and the Indian Ocean Rim Association (IORA).
Indonesia is considered a more forward relationship with APEC compared with the
development of relations with IORA.32 By this situation, the development of maritime
infrastructure can be a double advantage for the connection of the two associations.
Since 1st January 2010, the ACFTA has been introduced to the 6682 tariff-free tariff lines
covering 17 sectors-including 12 in the manufacturing sector and five in agriculture, mining
and maritime. It has led to many serious public debates in Indonesia; some opinions
confirming it as an opportunity, while others regard it as a threat to Indonesia's economy.
31
K. Aspasaf, ibid.
32
S. Folda, Nilai Perdagangan Capai 75 Persen, Indonesia Harus Manfaatkan KTT APEC, September 16,
2013. Retrieved November 18, 2014, from RRI World Service: http://www.id.voi.co.id/voi-berita/4336-nilai-
perdagangan-capai-75-persen-indonesia-harus-manfaatkan-ktt-apec
Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3 127
Ministry of Commerce statistics show the total amount of trade between Indonesia and
China growth from 8.7 trillion US dollars in 2004 to 26.8 trillion US dollars in 2007 with a
record surplus, but Indonesia has 3.6 trillion dollar deficit in 2008. This is the problem of
lack of policy direction from the government blueprint which is specially prepared to face
the ACFTA.33
Indonesia can be learned from past case in ACFTA to convert its negative effect to
the benefit. The Global Competitive Index rose significantly every year to position 38 in
2013 and it could be momentum of Indonesia sustainable development. APEC will be
adopting the APEC Connectivity Blueprint, aimed at strengthening physical, institutional,
and people-to-people connectivity by taking agreed actions and meeting agreed targets,
with the objective of achieving a seamless and comprehensively connected Asia-Pacific. It
is linear to Indonesian vision to be a world maritime axis. With the infrastructure
development especially in maritime sector, Indonesia is not only can take benefit from
the global sea trade and services as a transit area but it can be more beneficial to the
regional and international economic growth and maximize global value chain to reduce
price in goods, energy, and services.
APEC economies have been very active in finding ways to open their markets,
through unilateral trade liberalization efforts, or negotiated efforts at the regional,
33
Ministry of Trade RI, Directorate General of International Trade Cooperation,
http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=960&detail=t
rue, retrieved November 29, 2014.
128 Jurnal Pertahanan Desember 2014, Volume 4, Nomor 3
bilateral or multilateral levels. A study released by the APEC Policy Support Unit in 2009
found that intra-regional trade was proportionally larger in APEC than in other well
consolidated regional groupings such as the European Union, and suggested that APEC
was enjoying the benefits of a de facto (i.e., market-driven rather than treaty-based)
integration, part of which could be related to initiatives in trade liberalization and
facilitation. Also, it indicated a positive APEC membership effect on trade, which was
stronger in exports than imports. This is a possible reflection of APECs open regionalism
approach which minimizes discrimination against non-APEC economies. However, a
better competitive index is needed by Indonesia in order to have a specialization in some
sector to promote national economic growth through rapid trade in Asia-Pacific region.
Conclusion
References
Books
Gilpin, R. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. New
Jersey: Princeton University Press.
---------, 1987. The Political Economy of International Relations. New Jersey: Princeton University
Press.
Held, D. 1995. Democracy and the Global Order. Cambridge: Polity Press.
Jovanovic, M. N. 1998. International Economic Integration, Limit, and Prospect. London: Routledge.
Lapeyre, F. 2004. Globalization and Structural Adjustment as a Development Tool. Geneva:
International Labor Office Publications.
Muchlis, I. 2010. Integrasi Ekonomi ASEAN. Tulung Agung: Cahaya Abadi.
Park, C. C. 2010. Regional Integration in Central and Eastern Europe and the Prospect of the Fifth
Enlargement of the Europe. Beijing: National Science Council Republic of China.
Pearson, L. B. 1969. Partner in Development: Report of the Commission on International
Development. New York: Praeger.
Veseth, D. N. 1997. Introduction to International Political Economy. New Jersey: Prentice Hall.
Journals
Andres, C. K. 2014. Trade and Economic Growth: 25 Years of a Stronger Relationship within APEC.
APEC Policy Support Unit Policy Brief No. 11 .
Baker III, John. 1986. Endettement et Changement Structurel. Travail et Socit, 3.
Morisson, C. E. 2014. The Asia-Pacific Cooperation Agenda: Moving from Regional Cooperation
Toward Global Leadership. East-West Center, 1-5.
---------------, 2009. Four Adjectives Become a Noun: APEC and the Future Asia-Pacific Coperation.
Institute of Southeast Asian Studies, 30.
Ravenhill, J. 1999. APEC and the WTO: Which Way Forward for Trade Liberalization? Contemporary
Southeast Asia , 220.
Semua naskah yang dikirim ke Jurnal Pertahanan UNHAN baik yang berbahasa Indonesia maupun
yang berbahasa Inggris harus merupakan karya asli bidang pertahanan dan belum pernah
diterbitkan pada media lain. Naskah diutamakan hasil penelitian atau pemikiran yang bersifat baru
dengan analisis yang mendalam. Untuk naskah berbahasa Indonesia, abstrak dan kata kunci
dibuat dalam bahasa Inggris demikian juga dengan sebaliknya. Tulisan yang dimuat sepenuhnya
menjadi tanggung jawab pribadi penulis yang bersangkutan. Naskah dikirim berupa soft copy
melalui e-mail ke alamat jurnal.unhan@idu.ac.id. Naskah yang layak terbit adalah naskah yang
sudah diseleksi oleh tim redaksi, dinilai oleh Mitra Bestari dan penulisan sesuai dengan tata cara
format jurnal. Sedangkan naskah yang tidak layak terbit akan diberitahu melalui surat elektronik
(e-mail). Naskah yang diterima setelah deadline akan dipertimbangkan untuk dimuat pada edisi
berikutnya. Untuk lebih jelas, panduan penulisan jurnal seperti dibawah ini :
Judul
(ditulis dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris
dengan huruf kapital ukuran huruf 14 point & dicetak tebal)
Nama Penulis A, E-mail
(dengan huruf kecil ukuran huruf12 Point Tebal)
1)Tuliskan nama dan alamat Institusi masing masing penulis dengan dua belas point
2) Sertakan juga dengan alamat email: anu@institusi.ac.id
Abstrak Terdiri dari tiga hal pokok, yaitu pengungkapan latar belakang dan tujuan, metode
diakhiri dengan hasil. Abstrak tidak melebihi dari 400 kata, ditulis dalam bahasa Indonesia baku
dan bahasa Inggris. Ukuran huruf untuk abstrak adalah 11 point ditulis miring.
Kata Kunci: Ukuran huruf untuk kata kunci adalah 11 point. Kata kunci ditulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris
Pendahuluan
Jurnal Pertahanan mempublikasikan hasil penelitian ilmiah bidang pertahanan yang dapat berupa
penelitian dasar, perencanaan, perancangan dan studi pengembangan. Makalah harus diserahkan
dalam format siap cetak. Panduan berikut ini sangat penting untuk diikuti demi menjamin
keseragaman makalah yang dipublikasikan dalam Jurnal Pertahanan. Pendahuluan terdiri dari
latar belakang dengan mengulas dan mensitir hasil penelitian terdahulu. Perumusan masalah dan
tujuan dari topik bahasan tanpa perlu dipisah tersendiri secara rijid.
Format
Format halaman di-set melalui menu page setup. Font yang digunakan adalah candara dengan
ukuran huruf 11 point menggunakan kertas A4 (210x297mm). Gambar menunjukkan layout
halaman dan marjin. Setiap gambar dan tabel selalu ada petunjuk di dalam text dan diberi judul.
Judul gambar diletakkan di bawah gambar dan ditengah (format center). Demikian juga untuk
tabel, namun untuk tabel, judulnya diletakkan di atas.
Ukuran huruf
Ukuran margins dan huruf ditunjukkan dalam Gambar dan Tabel. Jenis huruf yang digunakan
adalah Candara.
Tabel
Tabel Ukuran Huruf
Ukuran Penggunaan
10 points Subskrip dan catatan kaki
Metodologi
Menjelaskan teori pendukung, kronologis penelitian, termasuk desain penelitian, prosedur
penelitian (dapat dalam bentuk Algoritma, Pseudocode atau lainnya), cara untuk menguji dan
akuisisi data.
Kesimpulan
Setiap makalah harus memiliki kesimpulan. Judul tambahan untuk ucapan terima kasih dapat
diletakkan setelah bagian kesimpulan. Daftar referensi diletakkan paling akhir dan tanpa nomor.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia.
Mulyaningsih, H. 1999. Penetrasi Kapitalisme dan Marginalisasi Penduduk Sekitar Hutan. Jurnal
Manajemen dan Kualitas Lingkungan. Vol.1. No.1. Oktober.
Redaksi Jurnal Pertahanan mengucapkan terimakasih kepada Prof. Achmad Fedyani Saifuddin,
MA, Ph.D. dan Prof. Dr. Susanto Zuhdi, M.Hum selaku reviewer yang telah membantu
menyelesaikan Jurnal Pertahanan Edisi Desember 2014 Volume 4 Nomor 3 dengan baik dan tepat
waktu.
Redaksi