Anda di halaman 1dari 8

PEMERINTAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA

DINAS KESEHATAN
UPT PUSKESMAS BABULU
Jalan Propinsi KM. 48 Babulu Darat 76285(0543)5232053e-mail: pkm_babulu@ymail.com

TERAPI INTRAVENA

1) PENGERTIAN
Terapi Intravena adalah menempatkan cairan steril melalui jarum, langsung ke vena
pasien. Biasanya cairan steril mengandung elektrolit (natrium, kalsium, kalium), nutrient
(biasanya glukosa), vitamin atau obat (Brunner & Sudarth, 2002).
Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah
jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan cairan
atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi, 2010).
Terapi intravena digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan,
tidak sadar, dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme
dan memberikan medikasi (Perry & Potter, 2006).
Terapi intravena dilakukan berdasarkan order dokter dan perawat bertanggung jawab
dalam pemeliharaan terapi yang dilakukan.
Pemilihan pemasangan terapi intravena didasarkan pada beberapa faktor, yaitu tujuan dan
lamanya terapi, diagnosa pasien, usia, riwayat kesehatan dan kondisi vena pasien.
2) TUJUAN
Memberikan atau menggantikan cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,vitamin,
protein, lemak, dan kalori, yang tidak dapat dipertahankan secara adekuat melalui oral,
memperbaiki keseimbangan asam basa, memperbaiki volume komponen- komponen darah,
memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh, memonitor tekanan
vena sentral (CVP), memberikan nutrisi pada saat sistem pencernaan mengalami gangguan
(Perry & Potter, 2006).
3) VENA TEMPAT PEMASANGAN INFUS
Menurut Perry & Potter (2006) vena- vena tempat pemasangan infus: Vena Metakarpal,
vena sefalika, vena basilica, vena sefalika mediana, vena basilika mediana, vena antebrakial
mediana.
4) CARA PEMILAHAN DAERAH INSERSI PEMASANGAN INFUS
Menurut Perry & Potter (2006) banyak tempat bisa digunakan untuk terapi intravena,
tetapi kemudahan akses dan potensi bahaya berbeda di antara tempat- tempat ini.
Pertimbangan perawat dalam memilih vena adalah sebagai berikut: Usia klien (usia
dewasa biasanya menggunakan vena di lengan, sedangkan infant biasanya menggunakan
vena di kepala dan kaki), lamanya pemasangan infus (terapi jangka panjang memerlukan
pengukuran untuk memelihara vena), type larutan yang akan diberikan, kondisi vena klien,
kontraindikasi vena- vena tertentu yang tidak boleh dipungsi, aktivitas pasien (misal
bergerak, tidak bergerak, perubahan tingkat kesadaran, gelisah), terapi IV sebelumnya
(flebitis sebelumnya membuat vena menjadi tidak baik untuk digunakan), tempat insersi
/pungsi vena yang umum digunakan adalah tangan dan lengan. Namun vena- vena superfisial
di kaki dapat digunakan jika klien dalam kondisi tidak memungkinkan dipasang di daerah
tangan. Apabila memungkinkan, semua klien sebaiknya menggunakan ekstremitas yang tidak
dominan.
5) INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI PEMBERIAN TERAPI INTRAVENA
Menurut Perry & Potter (2006) indikasi pada pemberian terapi intravena: pada seseorang
dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena langsung masuk ke dalam jalur
peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi bakteri dalam peredaran darah (sepsis).
Sehingga memberikan keuntungan lebih dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering
terjadi, meskipun pemberian antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius,
rumah sakit memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi.
Antibiotika oral (dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di rumah
sakit dengan infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dari segi kemudahan administrasi rumah sakit, biaya perawatan, dan
lamanya perawatan.Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan intravena
(sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida yang susunan
kimiawinya polications dan sangat polar, sehingga tidak dapat diserap melalui jalur
gastrointestinal (di usus hingga sampai masuk ke dalam darah). Maka harus dimasukkan ke
dalam pembuluh darah langsung.
Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat menelan obat
(ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini, perlu dipertimbangkan
pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus), sublingual (di bawah lidah), subkutan (di
bawah kulit), dan intramuskular (disuntikkan di otot).
Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedak obat masuk ke pernapasan),
sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan. Kadar puncak obat dalam darah
perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui injeksi bolus (suntikan langsung ke
pembuluh balik/ vena). Peningkatan cepat konsentrasi obat dalam darah tercapai, misalnya
pada orang yang mengalami hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita
diabetes mellitus. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui
infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki bioavalaibilitas oral
yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk membunuh bakteri.
Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi intravena: Inflamasi
(bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus. Daerah lengan bawah pada
pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-vena
(A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi iritan
terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena di
tungkai dan kaki.
6) TIPE- TIPE CAIRAN INTRAVENA
Cairan hipotonik: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+
lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas
serum. Maka cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya
(prinsip cairan berpindah dari osmolaritas rendah keosmolaritas tinggi), sampai akhirnya
mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya
pada pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar
gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik. Komplikasi yang membahayakan adalah
perpindahan tiba- tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps
kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada beberapa
orang.Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
Cairan Isotonik: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagiancair
dari komponen darah), sehingga terus berada di osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya
mendekati serum (bagiancair dari komponen darah), sehingga terus berada di dalam
pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki risiko terjadinya overload
(kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
Contohnya adalah cairan Ringer- Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah),
dan albumin. (Perry & Potter, 2006) Pembagian cairan lain adalah berdasarkan
kelompoknya:
a. Cairan Kristaloid : bersifat isotonik, maka efektif dalam mengisi sejumlah volume cairan
(volume expanders) ke dalam pembuluh darah dalam waktu yang singkat, dan berguna
pada pasien yang memerlukan cairan segera. Misalnya Ringer-Laktat dan garam
fisiologis.
b. Cairan Koloid : ukuran molekulnya (biasanya protein) cukup besar sehingga tidak akan
keluar dari membrane kapiler, dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya
hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah. Contohnya adalah
albumin dan steroid (Perry & Potter, 2006).
7) KOMPOSISI CAIRAN TERAPI INTRAVENA
Larutan Nacl (berisi air dan elektrolit (Na+, cl-), Larutan dextrose (berisi air atau garam
dan kalori), Ringer laktat, berisi air (Na+, K+, cl-, ca++, laktat), Balans isotonic berisi (air,
elektrolit, kalori ( Na+, K+, Mg++, cl-, HCO, glukonat), Whole blood (darah lengkap) dan
komponen darah, Plasma expanders (berisi albumin, dextran, fraksi protein plasma 5%,
hespan yang dapat meningkatkan tekanan osmotic, menarik cairan dari intertisiall, kedalam
sirkulasi dan meningkatkan volume darah sementara), Hiperelimentasi parenteral (berisi
cairan, elektrolit, asam amino, dan kalori) (Smeltzer & Bare, 2002).
8) Menentukan kecepatan cairan Intravena (Infus)
Pertama atur kecepatan tetesan pada tabung IV. Tabung makrodrip dapat meneteskan 10
atau 15 tetes per 1 ml. Tabung mikrodrip meneteskan 60 tetes per 1 ml. Jumlah tetesan yang
diperlukan untuk 1 ml disebut faktor tetes.
Atur jumlah mililiter cairan yang akan diberikan dengan jumlah total cairan yang akan
diberikan dengan jumlah jam infus yang berlangsung. Kemudian kalikan hasil tersebut
dengan faktor tetes. Untuk menentukan berapa banyak tetesan yang akan diberikan permenit,
bagi dengan 60. Hitung jumlah tetesan permenit yang akan diinfuskan. Jika kecepatan
alirannya tidak tepat, sesuaikan dengan kecepatan tetesan (Smeltzer & Bare, 2002).
9) HAL- HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN TERHADAP TIPE- TIPE INFUS
Dextrose 5% in water (D 5 W) digunakan untuk menggantikan air (cairan hipotonik)
yang hilang, memberikan suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan pemberian obat-obatan
atau berfungsi untuk mempertahankan vena dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut.
Hati-hati terhadap terjadinya intoksikasi cairan (hiponatremia, sindroma pelepasan hormon
antidiuretik yang tidak semestinya). Jangan digunakan dalam waktu yang bersamaan dengan
pemberian transfusi (darah atau komponen darah).
Natrium Clorida (Nacl) 0,9% digunakan untuk menggantikan garam (cairan isotonik)
yang hilang, diberikan dengan komponen darah, atau untuk pasien dalam kondisi syok
hemodinamik. Hati-hati terhadap kelebihan volume isotonik (misalnya: gagal jantung dan
gagal ginjal).
Ringer laktat digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang, elektrolit
tertentu, dan untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang (Perry & Potter, 2006).
10) TIPE- TIPE PEMBERIAN TERAPI INTRAVENA
Intravena (IV) push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum suntik secara
langsung kedalam saluran/jalan infus.
20
Indikasi: pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan pemberian
obat langsung kedalam intravena, Untuk mendapat respon yang cepat terhadap pemberian
obat (furosemid dan digoksin), Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara
terus menerus melalui infus (lidocain, xilocain), Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien
dengan mengurangi kebutuhan akan injeksi, Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul
apabila beberapa obat yang dicampur.
Continous Infusion (infus berlanjut) dapat diberikan secara tradisional melalui cairan
yang digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena, intra
arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa khusus yang
ditanam maupun eksternal. Hal yang perlu dipertimbangkan yatu:
Keuntungan: mampu untuk mengimpus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan
akurat, adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus atau
adanya penyumbatan, mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran
infus. Kerugian: memerlukan selang yang khusus dan biaya lebih mahal
Intermitten Infusion (Infus Sementara) dapat diberikan melalui heparin lock, piggy bag
untuk infus yang kontiniu, atau untuk terapi jangka panjang melalui perangkat infus. (Perry
& Potter, 2006)
11) KOMPLIKASI CAIRAN TERAPI INTRAVENA
Menurut Darmadi (2010) beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan
infus: hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh
darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan
jarum, atau tusukan berulang pada pembuluh darah. Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus
ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati
pembuluh darah. Plebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus
yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar Emboli udara, yakni masuknya udara ke
dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara yang ada dalam cairan infus ke dalam
pembuluh darah, rasa perih/sakit dan reaksi alergi.
1) Plebitis
Plebitis didefinisikan sebagai inflamasi vena yang disebabkan baik oleh iritasi
kimia, mekanik maupun oleh bakteri. Hal ini dikarakteristikan dengan adanya daerah
yang memerah dan hangat di sekitar daerah penusukan atau sepanjang vena,
pembengkakan, nyeri atau rasa keras disekitar daerah penusukan atau sepanjang vena dan
bisa keluar cairan/pus. Insiden plebitis meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan
jalur intravena, komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama PH dan
tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur intravena yang
tidak sesuai dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan (Brunner dan
Sudarth,2002).
Menurut Infusion Nursing Society (INS, 2006) plebitis merupakan peradangan
pada tunika intima pembuluh darah vena, yang sering dilaporkan sebagai komplikasi
pemberian.
Faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis menurut Perry & Potter (2005)
faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis, diantaranya adalah faktor internal dan
eksternal. Yang termasuk faktor internal adalah:
1. Usia: pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien neonatus
sangat rentan terhadap infeksi. Menurut WHO (2009) sebagian besar infeksi neonatus
lanjut di dapat di rumah sakit melalui pemberian cairan intravena, kurangnya tindakan
aseptik untuk semua prosedur dan tindakan menyuntik yang kurang bersih. Pada
neonatus keadaan banyak bergerak dapat mengakibatkan vena kateter bergeser dan
hal ini yang bisa menyebabkan plebitis.
2. Status nutrisi: pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis sehingga
mudah rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang sehingga jika
terjadi luka mudah terkena infeksi.
3. Stress: tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi imun.
Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak,konsekuensi
rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang mengalami lebih
banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih takut terhadap nyeri
dan cenderung menghindari perawatan medis, dengan menghindari pelaksanaan
pemasangan infus/ berontak saat dipasang bisa mengakibatkan plebitis karena
pemasangan yang berulang dan respon imun yang menurun.
4. Keadaan vena: kondisi vena yang kecil dan vena yang sering terpasang infus mudah
mengalami plebitis.
5. Faktor penyakit: penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya
plebitis, misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami
aterosklerosisakan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika
terdapat luka mudah mengalami infeksi.
Menurut INS (2006) faktor eksternal yang dapat menyebabkan plebitis adalah:
kimia, mekanik, dan bacterial.
1. Chemical Phlebitis (Plebitis kimia)
Kejadian plebitis ini dihubungkan dengan bentuk respon yang terjadi pada
tunika intima vena dengan bahan kimia yang menyebabkan reaksi peradangan.
Reaksi peradangan dapat terjadi akibat dari jenis cairan yang diberikan atau bahan
material kateter yang digunakan. PH darah normal terletak antara 7,35 7,45 dan
cenderung basa. PH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang
berarti adalah netral. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih
asam untuk mencegah terjadinya kristalisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi
autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang
biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Osmolalitas
diartikan sebagai konsentrasi sebuah larutan atau jumlah partikel yang larut dalam
suatu larutan.
Pada orang sehat, konsentrasi plasma manusia adalah 285 10 mOsm/kgH2O
(Sylvia, 2008). Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik
atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitastotal larutan tersebut dibanding dengan
osmolalitas plasma.Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas
total sebesar 280- 310 mOsm/L, larutan yang memliki osmolalitas kurang dari itu
disebut hipotonik, sedangkan yang melebihi disebut larutan hipertonik. Tonisitas
suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akaan tetapi juga
berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan
mengalami trauma pada pemberian larutan hiperosmoler yang mempunyai
osmolalitas lebih dari 600mOsm/L. Terlebih lagi pada saat pemberian dengan
tetesan cepat pada pembuluh vena yang kecil. Cairan isototonik akan menjadi
lebih hiperosmoler apabila ditambah dengan obat, elektrolit maupun nutrisi (INS,
2006). Vena perifer dapat menerima osmolalitas larutan sampai dengan 900
mOsm/L. Semakin tinggi osmolalitas (makin hipertonis) makin mudah terjadi
kerusakan pada dinding vena perifer seperti phlebitis, trombophebitis, dan
tromboemboli. Pada pemberian jangka lama harus diberikan melalui vena sentral,
karena larutan yang bersifat hipertonis dengan osmolalitas >900 mOsm/L, melalui
venasentral aliran darah menjadi cepat sehingga tidak merusak dinding.
Kecepatan pemberian larutan intravena juga dianggap salah satu penyebab
utama kejadian plebitis. Pada pemberian dengan kecepatan rendah mengurangi
irritasi pada dinding pembuluh darah. Penggunaan material katheter juga berperan
pada kejadian plebitis. Bahan kateter yang terbuat dari polivinilklorida atau
polietelin (teflon) mempunyai resiko terjadi plebitis lebih besar dibanding bahan
yang terbuat dari silikon atau poliuretan (INS,2006). Partikel materi yang
terbentuk dari cairan atau campuran obat yang tidak sempurna diduga juga bisa
menyebabkan resiko terjadinya plebitis. Penggunaan filter dengan ukuran 1
sampai dengan 5 mikron pada infus set, akan menurunkan atau meminimalkan
resiko plebitis akibat partikel materi yang terbentuk tersebut (Darmawan,2008).
2. Mechanical Phlebitis (Plebitis Mekanik)
Plebitis mekanikal sering dihubungkan dengan pemasangan atau penempatan
katheter intravena. Penempatan katheter pada area fleksi lebih sering
menimbulkan kejadian plebitis oleh karena pada saat ekstremitas digerakkan
katheter yang terpasang ikut bergerak dan menyebabkan trauma pada dinding
vena. Penggunaan ukuran katheter yang besar pada vena yang kecil juga dapat
mengiritasi dinding vena.sehingga mudah terjadi plebitis (Darmawan,2008).
3. Backterial Phlebitis(Plebitis Bakteri)
Plebitis bakterial adalah peradangan vena yang berhubungan dengan adanya
kolonisasi bakteri yang disebabkan karena tehnik aseptik/perawatan infus yang
tidak baik.Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat
pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus untuk mencegah
terjadinya infeksi (Darmawan,2008). Aseptik dressing yang pernah dilakukan
berdasarkan laporan dari The Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
tahun 2002 dalam artikel intravaskuler catheter-related infection in adult and
pediatric kuman yang sering dijumpai pada pemasangan katheter infus adalah
stapylococus dan bakteri gram negative, tetapi denganepidemic HIV / AIDS
infeksi oleh karena jamur dilaporkan meningkat. Vena katheter pada area fleksi
lebih sering menimbulkan kejadian plebitis.

Anda mungkin juga menyukai