Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Tn. I
Alamat : Taman Pinang Sidoarjo
Tanggal Lahir : 04 Oktober 1958
Umur : 57 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Tukang Ojek
Suku/Bangsa :Jawa/Indonesia
Tanggal MRS : 30 Maret 2017
No. RM : 12345678

II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama:
Sulit buang air kecil
b. Riwayat Penyakit Sekarang :.
Pasien datang ke RSUD Sidoarjo tanggal 30 Maret 2017 dengan
keluhan sulit buang air kecil sejak 4 bulan yang lalu. Setiap kali buang air
kecil pasien memerlukan waktu lama untuk mulai buang air kecil, harus
mengedan untuk buang air kecil, buang air kecil menetes dan setelah buang
air kecil masih terasa ada sisa. Kencing berwarna merah (-), kencing
berpasir (-), nanah (-), nyeri pinggang (-), demam (-).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Sakit seperti ini disangkal
Hipertensi disangkal
Diabetes melitus ada
Penyakit Jantung disangkal

1
Asma disangkal
Alergi obat disangkal
Alergi makanan seafood (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang juga menderita pembesaran prostat.
e. Riwayat Obat
Pasien tidak mempunyai riwayat menkonsumsi obat-obatan
f. Riwayat Kebiasan
Pasien mempunyai kebiasaan merokok

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Keadaan umum : Lemah
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Vital sign
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Nadi : 90 x/ menit
- Pernafasan : 20 x/ menit
- Suhu : 36,5 oC
d. Status Generalisata
- Kepala :Tidak ada kelainan (normocephal, deformitas tidak ada).
- Mata :Konjungtiva anemis dan sklera tidak ikterik. Pupil bulat isokor,
3mm/3mm, reflek cahaya (+/+).
- Kulit :Tidak ada kelainan (Turgor kulit baik).
- Hidung :Tidak ada kelainan (Deviasi septum tidak ada, pernapasan cuping
hidung tidak ada, mukosa tidak hiperemis, sekret tidak ada).
- Telinga :Tidak ada kelainan (otore tidak ada).
- Mulut :Tidak ada kelainan (bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan,
lidah kotor tidak ada, faring tidak hiperemis).
- Leher :Tidak ada kelainan (deviasi trakea tidak ada, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat).
- KGB :Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening.
- Pemeriksaan Thorax

2
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk dinding dada normal, pergerakan dinding dada simetris
kanan kiri.
Palpasi : Fremitus simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing (-/-
), ronkhi (-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : Irama teratur, bunyi jantung I-II murni, murmur(-)

- Pemeriksaan Abdomen :
Inspeksi : distensi, protrusio, dan kelainan kulit dinding perut tidak ada.
Palpasi : Supel, nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ada. Hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : Timpani pada seluruh dinding perut.
Auskultasi : Bising usus (+) normal

- Ekstremitas : Edema tidak ada. Refilling kapiler <2 detik, akral hangat,
perfusi baik.

e. Status lokalis (Status Urologikus)


Regio flank
Inspeksi : Bulging (-/-)
Palpasi : Ballotement ginjal (-/-), nyeri ketok CVA (-/-)
Regio suprapubik
Inspeksi : datar, tidak tampak benjolan
Palpasi : nyeri tekan (+), tidak teraba massa
Regio genitalia
Penis : sirkumsis (+), sikatrik (-)

3
Skrotum : benjolan (-), lesi (-)
Regio anal
RT : Anus tenang, tonus sfingter ani cukup menjepit, mukosa rectum licin,
ampula rekti tidak kolaps. Prostat : teraba membesar, nodul tidak ada, perabaan
kenyal, permukaan licin, sulkus medianus teraba, pole atas tidak teraba. Pada
sarung tangan tidak ditemukan feses , darah, dan lendir.

IV. DIAGNOSIS KERJA


Benign Prostate Hyperplasia

V. DIAGNOSIS BANDING
Neurogenic bladder
Striktura uretra
Keganasan pada prostat

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan laboratorium
Hb : 14,3 gr%
Leukosit : 7.430 /mm3
Trombosit : 246.000/mm3
Hematokrit : 40,7 %
PT : 9,9 detik
APTT : 35,4 detik
UreA : 16,4 mg/dl
Gula Darah Puasa : 142 mg/dl
ALT : 36 u/l
AST : 10 u/l
Analisa Urin
Makroskopik : warna kuning muda, kekeruhan (-)
Mikroskopik : eritrosit (-), epitel (+)
Kimia : protein (-), glukosa (-)

4
Roentgen Thoraks PA
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal.
Pemeriksaan USG Urologi
Kesan : Pembesaran prostat dengan suspect BPH.

VII. DIAGNOSIS
Benign Prostate Hyperplasia

VIII. TINDAKAN
Sistoskopi TURP

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanam : bonam

5
BAB 1I
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Benign Prostate Hyperplasia merupakan kelainan yang terjadi akibat
hiperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi simpai bedah.1

B. ANATOMI
Kelenjar prostat merupakan salah satu organ genitalia pria yang berbentuk
konus terbalik, dilapisi oleh kapsul fibromuskuler, terletak disebelah inferior vesika
urinaria, mengelilingi uretra pars prostatika, dan berada disebelah anterior rektum.
Berat kelenjar prostat normal pada orang dewasa adalah sekitar 20 gram. Kelenjar
prostat terbagi menjadi 5 lobus, yaitu lobus medius, lobus lateralis (2 lobus), lobus
anterior, dan lobus posterior. Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain adalah : zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior, dan zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat
terdapat pada zona transisional sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal
dari zona perifer.1,2,3
Pada potongan melintang, kelenjar prostat terdiri dari kapsul anatomi,
jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler, dan jaringan
kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian, yaitu bagian luar disebut kelenjar

6
prostat sebenarnya, bagian tengah disebut kelenjar submukosa (adenomatous zone),
dan di sekitar uretra disebut periurethral gland.2
Prostat terdiri atas kelenjar (50%) dan jaringan ikat fibromuskular (25%
miofibril otot polos dan 25% jaringan ikat). Jaringan fibromuskular ini tertanam
mengelilingi prostat dan berkontrasi selama proses ejakulasi untuk mengeluarkan
sekresi prostat ke dalam urethra.2,3

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari


verumontanum di bagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan ada
ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ada ligamentum triangulare inferior,
dan di sebelah belakang ada fascia denonvilliers. Fascia denonvilliers terdiri dari
lembar depan yang melekat erat dengan prostat dan vesika seminalis, sedangkan
lembar belakang melekat secara longgar dengan fascia pelvis dan memisahkan
prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvik dan kapsul sebenarnya dari prostat
didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.4
BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar tetapi tidak mengalami pembesaran pada
bagian posterior daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian
tersering terjadinya perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus
anterior kurang mengalami hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan
kelenjar.2,4

7
C. ETIOLOGI
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hiperplasia prostat. Beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat
kaitannya dengan perubahan keseimbangan testosteron dan estrogen dengan cara
penurunan produksi testosteron dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen
pada jaringan adiposa di perifer. Keseluruhan kejadian tersebut terjadi seiiring
dengan bertambahnya usia. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah :

a. Teori Dihidrotestosteron (DHT)


Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting
pada pertumbuhan sel kelenjar prostat yang dihasilkan dari reaksi perubahan
testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat. Kadar DHT pada orang
normal dan pasien BPH tidak jauh berbeda. Perbedaan terletak pada aktivitas enzim
5-reduktase dan jumlah reseptor androgen yang lebih banyak pada pasein BPH
sehingga menyebabkan sel prostat pada pasien BPH lebih sensitif terhadap DHT dan
replikasi sel lebih menjadi lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.

b. Ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron


Kadar testosteron menurun seiring dengan bertambahnya usia, sedangkan
kadar estrogen relatif tetap. Estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya
proliferasi sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel prostat
terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan
menurunkan jumlah kematian sel- sel prostat. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat
yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih
besar.

c. Interaksi stroma epitel

8
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu growth
factor tertentu yang didapat dari stimulasi DHT dan estradiol. Growth factor tersebut
mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intakrin dan autokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin yang menyebabkan terjadinya proliferasi
sel-sel epitel maupun stroma.

d. Berkurangnya kematian sel prostat


Apoptosis sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan
keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Berkurangnya jumlah
sel-sel prostat akibat apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat meningkat
sehingga mengakibatkan pertambahan massa. Hormon androgen di duga berperan
dalam menghambat proses kematian sel karena setelah dilakukan kastrasi terjadi
peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Faktor pertumbuhan TGF
berperan dalam proses apoptosis.

e. Teori stem cell


Di dalam kelenjar prostat terdapat stem sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif akibat pengaruh hormon androgen. Apoptosis terjadi
apabila hormon androgen menurun, seperti setelah kastrasi. Terjadinya prolferasi sel
pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatannya aktivitas stem sel sehingga
terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.1.2

D. PATOFISIOLOGI
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika
dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesika yang menyebabkan buli-buli harus berkontraksi lebih kuat untuk
melawan tahanan agar miksi dapat keluar.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostat, resistensi pada leher
vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan
serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok

9
yang disebut trabekulasi. Mukosa dapat menerobos keluar di antara serat detrusor.
Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar dinamakan
divertikulum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding.
Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi serta tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi
urin.
Pada hiperplasia prostat ditemukan gejala dan tanda obsruksi dan iritasi yang
akan diberi skor untuk menentukan beratnya keluhan klinis. Gejala dan tanda
obsruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal
berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala dan tanda
obstruksi antara lain pasien harus menunggu keluarnya kemih pertama, miksi
terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum
puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan oleh hipersensitivitas otot detrusor yang
menyebabkan bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan
disuria. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan tidak sempurna saat miksi atau
pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga
vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada
akhir miksi masih ditemukan sisa urin dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak
tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, suatu saat akan terjadi kemacetan
total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Produksi urin terus-menerus terjadi
tetapi kandung kemih sudah tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan
intravesika meningkat. Apabila peningkatan tekanan tersebut melebihi tekanan
sfingter, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks
vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal
dipercepat bila terjadi infeksi. Penderita harus selalu mengedan saat miksi sehingga
menyebabkan timbulnya hernia atau hemoroid. Batu endapan dalam kandung kemih
dapat terjadi akibat selalu terdapat sisa urin. Batu tersebut dapat menambah keluhan
iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis
dan bila terjadi refluks, dapat terjadi pielonefritis.1,2,3

10
E. DIAGNOSIS
Diagnosis BPH didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract
Syundrome (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan iritasi. Gejala obstruktif
disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika karena didesak oleh
prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat
dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejalanya adalah harus
menunggu pada permulaan miksi (Hesistency), pancaran miksi melemah (Poor
stream), miksi terputus (Intermittency), menetes pada akhir miksi (Terminal
dribbling), rasa tidak puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying), dan mengejan saat berkemih.1,2
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar; elastisitas leher
vesika, otot polos prostat, dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih
dikompensasi dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi
belum dirasakan.2
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinarius yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat yang menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejalanya adalah
bertambahnya frekuensi miksi (Frequency), nokturia, miksi sulit ditahan (Urgency),
dan disuria (Nyeri pada waktu miksi).1,2

Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan


penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH,
dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Sistem scoring yang dianjurkan oleh
WHO adalah International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil
berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7

11
pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif
mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-
19 sedang, dan 20-35 berat.1,2

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter
anus/reflex bulbokavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli
neurogenik, mukosa rektum, dan kelainan lain seperti benjolan di dalam rektum dan
prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat,
simetrisitas, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba, dan apakah
ada batu prostat apabila teraba krepitasi.

12
Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinarius bagian
atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba
apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk
mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat
adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi
seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis,
dan kondiloma di daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan kandung kencing yang terisi
penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang
terdapat nyeri tekan supra simfisis.1,2,3

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urin.
Pemeriksaan darah yang perlu dilakukan khusus untuk prostat adalah faal ginjal, gula
darah, faal hati, elektrolit (Natrium dan Kalium), dan PSA (Prostate Spesific
Antigen). Nilai PSA 4-10 ng/ml dianggap sebagai daerah kelabu (gray area), perlu
dilakukan penghitungan PSA Density (PSAD), yaitu serum PSA dibagi dengan
volume prostat. Apabila nilai PSAD > 0,15 perlu dilakukan biopsi prostat. Nilai PSA
> 10 ng/ml dianjurkan untuk dilakukan biopsi prostat. Pemeriksaan urin yang perlu
dilakukan adalah sedimen urin dan kultur.5,6
Derajat berat obstrusi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan dengan kateterisasi atau ultrasonografi kandung kemih setelah
miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan
intervensi. Cara lain yang dapat digunakan untuk menentukan derajat obstruksi
adalah dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal
sampai sekitar 20 ml/detik. Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih
sehingga menggangu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi, dan
urolitiasis.

13
Pemeriksaan radiologi foto polos abdomen dan pielografi intravena dapat
digunakan untuk menemukan adanya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau
divertikulum kandung kemih. Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai defek isian
kontras pada dasar kandung kemih. Secara tidak langsung, pembesaran prostat dapat
diperkirakan apabila dasar buli-buli pada gambaran sistogram tampak terangkat atau
ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti mata kail. Sistogram
uretrograd dapat digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal buruk atau pasien yang
sudah dipasang kateter menetap.
Pemeriksaan ultrasonografi transabdominal atau transrektal dapat digunakan
untuk menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin, dan keadaan patologi lain
seperti divertikulum, tumor, dan batu. Perkiraan besar prostat dapat pula dilakukan
dengan ultrasonografi suprapubik.
Pemeriksaan sistografi dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan
hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan mikrohematuria. Pemeriksaan
untuk ini dapat memberikan gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih
atau sumber perdarahan dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu
radiolusen di dalam vesika. Sistoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai
besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan
prostat ke dalam uretra. 1,2,3

F. DIAGNOSIS BANDING
Setiap kesulitan miksi disebabkan oleh gangguan dalam proses miksi yang
bergantung pada kekuatan kontraksi detrusor, elastisitas leher kandung kemih dengan
tonus ototnya, dan resistensi uretra. Kelemahan detrusor dapat disebabkan oleh
kelainan saraf, misalnya pada lesi medulla spinalis, neuropati diabetes, bedah radikal
yang mengorbankan persarafan daerah pelvis, penggunaan obat penenang, obat
penghambat reseptor ganglion, dan parasimpatolitik. Kekakuan leher vesika
disebabkan oleh proses fibrosis, sedangkan resistensi uretra disebabkan oleh
pembesaran prostat jinak atau ganas, tumor di leher kandung kemih, batu di uretra,
atau striktur uretra.1,2

14
G. PENATALAKSANAAN
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik.
Kadang pasien dengan LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi
apapun atau hanya dengan edukasi saja. Tujuan terapi pada hiperplasia prostat adalah
memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi
intravesika, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi
volume residu urine setelah miksi, dan mencegah progresifitas penyakit. Hal ini dapat
dicegah dengan medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.
1. Watchful Waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien
tidak mendapat terapi namun diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin
dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi makanan atau minuman yang
mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi penggunaan obat-obat influenza yang
mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi makanan pedasa dan asin, dan (5)
jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya
keluhannya (sebaiknya memakai skor yang baku) dan lakukan pemeriksaan
laboratorium, residu urin, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah buruk dari
sebelumnya, mungkin perlu dipikirkan terapi yang lain.
2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah mengurangi resistansi otot polos prostat
sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan
penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa blocker) dan mengurangi volume prostat
sebagai komponen statik dengan menurunkan kadar hormon testosteron /
dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase.
a. Penghambat reseptor adrenergik .
Penghambat . yang tidak selektif dapat memperbaiki laju pancaran miksi dan
mengurangi keluhan miksi tetapi memiliki efek samping hipotensi postural dan

15
kelainan kardiovaskular lainnya. Penghambat adrenergik- .1 dapat mengurangi
penyulit sistemik tersebut. Penghambat adrenergik- .1A sangat selektif terhadap otot
polos prostat dan mampu memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek
terhadap tekanan darah maupun denyut jantung.
b. Penghambat 5 reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5-reduktase di dalam sel prostat
yang menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun.
3. Pembedahan
Desobstruksi kelenjar prostat akan menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi
yang tidak lampias. Hal ini dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi
prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat transuretra (TUIP atau BNI).
Pembedahan direkomendasikan pada pasien BPH yang tidak menunjukkan perbaikan
setelah terapi medikamentosa, mengalami retensi urine, infeksi saluran kemih
berulang, hematuria, gagal ginjal, dan timbulnya batu saluran kemih atau penyulit
lain akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah.
a. Pembedahan Terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari
Millin, yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik
infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika atau transperineal.
Prostatekstomi terbuka adalah tindakan paling invasive dan paling efisien sebagai
terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik
transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikel (Millin). Prostatektomi terbuka
dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat adalah inkontinensia urine (3%), impotensi (5-10%),
ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (3-5%). Dibandingkan
TURP dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktur uretra dan ejakulasi retrograde
lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka.
b. Pembedahan Endoneurologi
TURP (Transurethral Resection of the Prostate) saat ini merupakan tindakan
yang paling banyak dikerjakan karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, massa

16
mondok lebih cepat, dan memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan
tindakan operasi terbuka. Pembedahan endourologi transuretra dapat dilakukan
dengan memakai tenaga elektrik TURP atau dengan memakai energi Laser. Operasi
terhadap prostat berupa reseksi (TURP), Insisi (TUIP), atau evaporasi.
Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan
irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh
darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan
agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan
harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelemahan H2O dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP.
Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardia. Jika tidak segera diatasi, pasien
akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka
mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99%.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP, operator harus
membatasi diri ini untuk tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Disamping itu,
operator memasang sistostomi suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi yang
diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi sistemik. Penggunaan
cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko hiponatremia
pada TURP, tetapi harganya cukup mahal. Komplikasi lain yang dapat terjadi selama
operasi adalah perdarahan dan perforasi. Komplikasi paska bedah dini yang dapat
terjadi adalah perdarahan dan infeksi lokal maupun sistemik, sedangkan paska bedah
lanjut dapat terjadi inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograde, dan striktur
uretra.
Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus
medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar
prostat atau TUIP (Transurethral Incision of the Prostate) atau insisi leher buli-buli
atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus

17
disingkirkan kemungkinkan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok
dubur, ultrasonografi transrektal, atau pengukuran kadar PSA.
Elektrovaporisasi Prostat sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai
roller ball spesifik dan dengan mesin diatermi yang cukup kuat sehingga mampu
membuat vaporisasi kelenjar prostat. Indikasinya adalah pada prostat yang tidak
terlalu besar (<50 gram).
Pada laser prostatektomi digunakan 4 jenis energi yang dipakai, yaitu Nd:
YAG, Holmium: YAG, KTP: YAG, dan diode yang dapat dipancarkan melalui bare
fibre, right angle fibre, atau interstitial fibre. Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan
mengalami koagulasi dan pada suhu yang lebih tinggi dari 100oC mengalami
vaporisasi. Jika dibandingkan dengan pembedahan, pamakaian laser ternyata lebih
sedikit menimbulkan komplikasi, dapat dikerjakan secara poliklinis, penyembuhan
lebih cepat, dan hasil kurang lebih sama. Terapi ini membutuhkan terapi ulang 2%
setiap tahun, tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali pada
Ho: YAG), sering banyak menimbulkan disuria pasca bedah yang dapat berlangsung
sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah operasi, dan peak flow
rate lebih rendah dari pada pasca TURP.
c. Tindakan Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan. Tindakan ini diantaranya adalah thermoterapi, TUNA (Transurethal
needle ablation of the prostate), stent (prostacath), HIFU (High Intensity focused
ultrasound), dan dilatasi dengan balon (transurethral ballon dilatation).
1. Thermotherapi
Thermoterapi kelanjar prostat adalah pemanasan dengan gelombang mikro
pada frekuensi 915-1296 Mhz yang dipancarkan melalui antena yang diletakkan di
dalam uretra. Dengan pemanasan yang melebihi 44oC menyebabkan destruksi
jaringan pada zona transisional prostat karena nekrosis koagulasi.
Energi panas yang bersamaan dengan gelombang mikro dipancarkan melalui
kateter yang terpasang di dalam uretra. Besar dan arah pancaran energi diatur
melalui sebuah komputer sehingga dapat melunakkan jaringan prostat yang
membuntu uretra. Cara ini direkomendasikan bagi prostat yang ukurannya kecil.

18
2. TUNA (Transurethal needle ablation of the prostate)
Teknik ini memakai energi dari frekuensi radio yang menimbulkan panas
sampai mencapai 100oC sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Sistem
ini terdiri atas kateter TUNA yang dihubungkan dengan generator yang dapat
membangkitkan energi pada frekuensi radio 490 kHz. Kateter dimasukkan ke
dalam uretra melalui sistoskopi dengan pemberian anestesi topikal xylocaine
sehingga jarum yang terletak pada ujung kateter terletak pada kelenjar prostat.
3. Stent (prostacath)
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi
karena pembesaran prostat. Stent di pasang intraluminal di antara leher buli-buli
dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melewati
lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer (6-36 bulan) atau
permanen. Stent yang temporer dapat di pasang dan di lepas kembali secara
endoskopi. Stent yang permanen terbuat dari anyaman dari bahan logam super
alloy, nikel, atau titanium. Dalam jangka waktu lama bahan ini akan diliputi oleh
urotelium sehingga jika suatu saat ingin dilepas harus membutuhkan anestesi umum
atau regional.
Pemasangan alat ini diperuntukkan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Setelah
pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa gejala
iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis.
4. HIFU (High intensity focused ultrasound)
Energi panas yang ditujukan untuk menimbulkan nekrosis pada prostat
berasal dari gelombang ultrasonografi dan transduser piezokeramik yang
mempunyai frekuensi 0,5-10 MHz. Energi dipancarkan melalui alat yang
diletakkan transrektal dan difokuskan ke kelenjar prostat. Teknik ini memerlukan
anestesi umum. Data klinis menunjukkan terjadi perbaikan gejala klinis 50-60%
dan Qmax rata-rata meningkat 40-50%.
5. Dilatasi dengan balon (Transurethral ballon dilatation).
Pada teknik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada
di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini

19
efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat
menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementara
sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
4. Kontrol Berkala
Setiap pasien hiperplasia prostat yang telah mendapatkan pengobatan perlu
kontrol secara teratur untuk mengetahui perkembangan penyakitnya. Pasien yang
hanya mendapatkan pengawasan (watchfull waiting) dianjurkan kontrol setelah 6
bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui apakah terjadi perbaikan klinis.
Penilaian dilakukan dengan pemeriksaan skor IPSS, uroflometri, dan residu urin
pasca miksi.
Pasien yang mendapatkan terapi penghambat 5-reduktase harus dikontrol
pada minggu ke 12 dan bulan ke 6 untuk menilai respon terhadap terapi. Kemudian
setiap tahun untuk menilai perbaikan gejala miksi. Pasien yang menjalani pengobatan
penghambat 5-adrenergik harus dinilai respon terhadap pengobatan setelah 6
minggu dengan melakukan pemeriksaan IPSS, uroflometri, dan residu urin paska
miksi. Kalau terjadi perbaikan gejala tanpa menunjukkan penyulit yang berarti,
pengobatan dapat diteruskan. Selanjutnya kontrol dilakukan setelah 6 bulan dan
kemudian setiap tahun. Pasien yang telah menerima pengobatan secara
medikamentosa dan tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan perlu dipikirkan
tindakan pembedahan atau terapi intervensi yang lain.
Setelah pembedahan, pasien harus menjalani kontrol paling lambat 6
minggu pasca operasi untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyulit. Kontrol
selanjutnya setelah 3 bulan untuk mengetahui hasil akhir operasi. Pasien yang
mendapatkan terapi invasif minimal harus menjalani kontrol secara teratur dalam
jangka waktu lama, yaitu setelah 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan setiap tahun. Pada
pasien yang mendapatkan terapi invasif minimal, selain dilakukan penilaian terhadap
skor miksi, dilakukan pula pemeriksaan kultur urin.

20
H. PROGNOSIS
Prognosis untuk BPH berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap
individu walaupun gejalanya cenderung meningkat. Namun BPH yang tidak
segera ditindak memiliki prognosis yang buruk karena dapat berkembang
menjadi kanker prostat. Menurut penelitian, kanker prostat merupakan kanker
pembunuh nomer 2 pada pria setelah kanker paru-paru5. BPH yang telah diterapi
juga menunjukkan berbagai efek samping yang cukup merugikan bagi penderita

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki. Dalam:


Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-3. Cetakan 2011. Jakarta: EGC. 2010: 848-933.
2. Purnomo BB. Hiperplasia Prostat Benign. Dalam: Dasar-Dasar Urologi. Edisi ke
3. Cetakan ke-2. Jakarta : Sagung Seto. 2012: 124-44.
3. Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu
Bedah FKUI/RSCM. Cetakan ke-1. Jakarta : Binarupa Aksara Publisher. 1995.
4. Hugh AFD. Hamilton Baileys Emergency Surgery. 11th edition, Gadjah Mada
University Press. 1992.
5. Baltimore, MD. Severe Form of "Enlarged Prostate" Disease Discovered. Johns
Hopkins Medical Institutions. 2007
6. McConnel JD. Epidemiology, etiology, pathophysiology and diagnosis of benign
prostatic hyperplasia. In : Wals PC, Retik AB, Vaughan ED, Wein AJ.
Campbells urology. 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Company.1998: 1429-
52.

22

Anda mungkin juga menyukai