Anda di halaman 1dari 8

Intania Winalda

04011381419150 / Gamma 2014

Bab 45
Etika Operasi Akut
Lawrence B. McCullough

PENDAHULUAN
Perawatan trauma dilaksanakan untuk menyelamatkan nyawa pasien dan
melindungi kesehatan pasien yang mengalami cedera. Namun, terdapat batasan
obligasi etik untuk memberikan perawatan trauma. Terkadang, suatu kejadian dapat
dijustifikasi secara etik untuk membatasi perawatan medis atau operasi trauma,
terutama berdasarkan penilaian klinis kesia-siaan (clinical judgments of futility.)
Secara umum, kesia-siaan berarti intervensi klinis diyakini tidak memiliki
keluaran sebagaimana yang diharapkan. Aplikasi klinis dari konsep kesia-siaan
membutuhkan definisi yang jelas dari keluaran klinis kondisi tersebut. Tanpa definisi
yang jelas, komunikasi klinis antar dokter atau dengan pasien dan keluarganya
berisiko tinggi untuk timbulnya kebingugan yang tidak diperlukan tentang apa yang
dimaksud dengan interventi yang sia-sia.
Tantangan etik yang terlibat dalam menentukan batasan perawatan klinis dari
diagnosis pasien telah disadari oleh etika medis sejak zaman dahulu. Dalam The Art,
contohnya, penulis Hippocratic mendefinisikan kedokteran termasuk menolak untuk
mengobati mereka yang telah dikalahkan oleh penyakitnya, menyadari dalam
kondisi tersebut ilmu kedokteran tidak berdaya. Akhir-akhir ini, isu penentuan batas
telah munucl dalam konteks perawatan kritis dan bagimana dokter perlu merespon
terhadap permintaan yang tidak sesuai untuk melanjutkan intervensi yang
mempertahankan kehidupan, seperti ventilasi mekanik, pemberian cairan dan nutrisi,
dan dukungan farmakologis untuk fungsi jantung. Isu terkait penentuan batasan saat
ini muncul secara rutin pada situasi setelah operasi, dan kesia-siaan terkadang
digunakan sebagai justifikasi untuk menentukan batas. Tujuan dari bab ini adalah
untuk mengidentifikasi empat konsep kesia-siaan yang utama dan telah
dikembangkan dalam literature bioetik dan kedokteran; serta untuk
menginkorporasikan konsep-konsep ini pada definisi kondisi terminal dan tidak dapat
dikemabalikan (irreversible) ke dalam algoritma yang dapat digunakaan untuk
menentukan batasan yang terjustifikasi secara etis dalam perawatan medis dan operasi
pada pasien trauma.

EMPAT KONSEP KESIA-SIAAN


Tiga konsep pertama dari kesia-siaan muncul dari prinsip beneficence sebagai
dasar syarat spesifikasi. Prinsip etik ini mengobligasikan dokter dan professional
bidang kesehatan lainnnya untuk bertindak agar keuntungan klinis lebih besar
daripada kerugian klinis bagi pasien. Komponen kunci beneficence untuk penilaian
klinis kesia-siaan adalah agar intervensi yang ditawarkan dapat dilaksanakan untuk
perawatan pasien, hal tersebut harus memiliki prospek setidaknya sedikit potensi
keuntungan klinis.
Tomlinson dan Brody memperkenalkan konsep kesia-siaan berbasis
beneficence yang pertama, yaitu kesia-siaan fisiologis atau ketat. Sebuah intervensi
dinilai sia-sia jika pada pandangan pertama diyakini tidak akan menghasilkan
keluaran fisiologis yang diharapkan. Contohnya, resusitasi kardiopulmoner yang
berlanjut selama suatu periode waktu hingga restorasi sirkulasi spontan
diekspektasikan tidak lagi memungkinkan adalah suatu penilaian kesia-siaan
fisiologis, karena pada tahap ini sudah tidak ada lagi ekspektasi yang dapat
diharapkan, berdasarkan data keluaran, untuk mendukung sebuah penilaian klinis
bahwa keluaran resusitasi dapat dicapai.
Brody dan Halevy memperkenalkan konsep kesia-siaan berbasis beneficence
yang kedua, yaitu kesia-siaan kematian segera. Sebuah intervensi dinilai sia-sia pada
pandangan ketiga ketika diyakini bahwa pasien akan meninggal sebelum
diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan kesadarannya tidak akan pulih sebelum
itu. Contohnya, dua kasus seri besar menunjukkan bahwa bagi pasien yang telah
mengalami penghentian jantung di lapangan dan tidak berhasil diresusitasi hingga
saat sampai di unit gawat darurat (UGD), semuanya meninggal saat keluar dari rumah
sakit dan tanpa pulih kesadaran sebelumnya.
Schneiderman et al. memperkenalkan konsep kesia-siaan berbasis beneficence
yang ketiga, yaitu kesia-siaan klinis atau keseluruhan. Seubah intervensi dinilai sia-sia
pada pandangan kedua ketika diyakini pasien tidak akan mempertahankan
kemampuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan melanjutkan perkembangan
sebagai seorang manusia. Contohnya, pasien yang didiagnosa keadaan vegetative
permanen berdasrkan kriteria yang disetujui atau telah menderita kondisi neurologis
yang menyebabkan hilangnya kapasitas untuk berinteraksi dengan lingkungan dan
melanjutkan perkembangan secara permanen. Walaupun intervensi seperti pemberian
nutrisi dan cairan masih efektif secara fisiologis, intervensi tersebut tidak
mengembalikan keluaran: hilangnya kapasitas untuk berinteraksi dengan lingkungan
secara permanen.
Konsep keempat dari kesia-siaan muncul dari prinsip etik menghargai
autonomi. Prinsip etik ini mengobligasikan dokter utnuk bertindak agar mencapai
keseimbangan antar lebih banyaknya keuntungan daripada kerugian terhadap pasien,
dengan keuntungan dan kerugian dari perspektif pasien, yang dapat beragam jauh dari
lingkup keuntungan dan kerugian klinis yang secara relatif sempit.
Tomlinson dan Brody memperkenalkan konsep kesia-siaan yang keempat,
yaitu kesia-siaan kualitas hidup. Sebuah intervensi dinilai sia-sia pada padangan
keempat ketika diyakini bahwa kualitas hidup pasien (terlibat dalam kegiatan sehari-
hari dan mendapatkan kepuasan dari hal tersebut) tidak dapat diterima oleh pasien.
Hal ini dapat terjadi ketika diyakini bahwa pasien tidak akan dapat terlibat dalam
kegiatan sehari-hari yang berharga atau tidak mendapatkan kepuasan yang cukup dari
melakukan hal tersebut. Pasien tetap memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan berkembang, tetapi menilai bahwa keluaran dari hal tersebut tidak
dapat diterima. Konsep ini tidak menganggap penilaian kualitas hidup pasien dari
pengamatan orang lain, karena evaluasi eksternal dari kualitas hidup seseorang tidak
dapat diandalkan. Penggunaan konsep kesia-siaan ini membutuhkan identifikasi
aktivitas yang dihendaki pasien dan ekspektasi kepuasan dari mereka. Tentunya,
orang yang paling tepat untuk melakukan penilaian ini adalah pasien itu sendiri, atau
dengan wali yang mengetahui pasien dengan baik untuk menentukan penilaian
tersebut bagi pasien yang sudah tidak mampu melakukannya sendiri.

SEBUAH ALGORITMA UNTUK MENENTUKAN PENILAIAN KLINIS


KESIA-SIAAN UNTUK MENENTUKAN BATAS PERAWATAN TRAUMA
Telah dipahami dengan jelas bahwa etika dari proses informed consent adalah
dokter diobligasikan untuk memberikan informasi kepada pasien (atau wali pasien)
akan informasi tentang kondisi pasien. Memungkinkan secara medis berarti
intervensi mencapai tes keuntungan yang sedikit untuk penilaian klinis berdasarkan
beneficence: tidak ada ekspektasi yang memungkinkan untuk net keuntungan klinis.3
Tidak semua intervensi yang memungkinkan secara teknis pada perawatan trauma
adalah memungkinkan secara medis. Penliaian klinis kesia-siaan berarti intervensi
yang dipertanyakan, termasuk intervensi untuk mempertahankan hidup dalam unit
perawatan intensif, tidak memenuhi tes ini. Intervensi sia-sia tidak memungkinkan
secara medis. Sehingga, dokter perlu merekomendasikan agar tidak menggunakannya
dan mempersiapkan diri untuk memenuhi permintaan dengan resistensi yang kuat,
namun tetap sensitive. Algoritma penilaian klinis kesia-siaan yang diajukan
menghubungkan keempat konsep kesia-siaan ke dalam proses informed consent,
sehingga dokter tetap memiliki control proses ini, yang mana merupakan bagian dari
etika fundamental dan tanggung jawab profesionalnya.
Algoritma yang diajukan menekankan pada pendekatan etika preventif untuk
menentukan batasan. Etika preventif berkembang dan menggunakan kebijakan dan
alat pembuat keputusan untuk mengantisipasi dan mencegah konflik etik. Pendekatan
etik preventif untuk menentukan batasan lebih adalah lebih baik dibandingkan
pendekatan konflik etik, karena pendekatan etik preventif dapat mengurangi jumlah
pembuatan keputusan biopsikososial pada akhir hidup pasien, anggota keluarga,
pekerja kesehatan, dan budaya organisasi pelayanan kesehatan.
Intervensi sia-sia tidak diekspektasikan untuk menghasilkan keluaran yang
dapat diterima. Keluaran yang dapat diterima dapat didfenisikan dari perspektif
klinis atau perspektif pasien. Dari perspektif klinis, keluaran klinis adalah suatu hal
yang mencegah kematian segera, mencapai keluaran fisiologis yang biasanya
diharapkan, mempertahankan setidaknya beberapa status fungsional dan kapasitas
interaksi, dan mencegah nyeri, kesengsaraan, dan penderitaan yang tak perlu, baik
yang berhubungan dengan penyakit maupun iatrogenic. Nyeri, kesengsaraan, dan
penderitaan tidak diperlukan ketika mereka tidak dibutuhkan sebagai pengeluaran
pencapaian target diatas yang terkait penyakit/cedera atau iatrogenic, dan ketika
mereka tidak dapat ditangani hingga level yang dapat diterima. Dari perspektif pasien,
keluaran yang dapat diterima adalah suatu hal yang menjaga kualitas hidup yang
dapat diterima. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kulitas hidup berarti terlibat
dalam kegiatan sehari-hari dan tidak mencapai kepuasan dari melakukan hal tersebut.
Komponen klinis dari penilaian kualitas hidup pasien adalah dengan apakah hasil
status fungsional setelah intervensi diekspektasikan dapat mendukung pasien agar
terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang berarti dan meningkatkan kepuasan dari
melakukan hal tersebut. Terdapat penilaian yang hanya pasien yang dapat melakukan
untuk dirinya sendiri, atau oleh wali yang membuat keputusan, atau berdasarkan
laporan yang meyakinkan tentang kegiatan seharhari yang berharga dan apakah status
fungsional mendukung kegiatan tersebut. Dokter perlu lebih waspada tentang
membuat keputusan kualitas hidup seorang pasien. Hal ini ada karena risiko evaluasi
erogenous eksternal dari kualitas hidup pasien oleh tenaga kerja kesehatan, yang
mana panilaian kualitas hidup seringkali lebih rendah daripada penilaian sendiri oleh
pasien.
Menyadari bahwa resusitasi seringkali menjadi tahapan awal untuk perawatan
kritikal dari trauma pasien adalah krusial. Intervensi perawatan kritikal saat ini telah
dimengerti melalui trial perawatan. Terdapat obligasi etis, sebagai integritas
professional, untuk menginisiasi atau melanjutkan intervensi trial ketika tidak ada
ekspektasi yang memungkinkan untuk mencapai tujuan intervensi. Intervensi
perawatan kritikal memiliki dua tujuan. Tujuan jangka pendeknya adalah pencegahan
kematian segera dan tujuan jangka panjangnya adalah kelangsungan hidup dengan
keluaran yang dapat diterima, yang didefinisikan dari perspektif klinis atau pasien,
sesuai dengan kebutuhan.
Langkah pertama dari algoritma (Fig. 45-1) meminta arahan yang
advanced/legislasi akhir hidup. Alternatif dari pemberhentian perawatan yang
mempertahankan kehidupan menajdi memungkinkan secara medis dan perlu
ditawarkan, dengan penjelasan bahwa penggunaan intervensi perawatan kritikal
bukanlah standar perawatn dari pasein tersebut.
Langkah kedua dari algoritma ini meminta kesia-siaan fisiologis. Untuk
menyelasaikan masalah ini, dokter perlu mengspesifikasikan keluaran secara pasti.
Sebagai contoh, keluaran dari resusitasi adalah restorasi sirkulasi spontan. Keluaran
ventilasi mekanik adalah mempertahankan level oksidenasi yang adekuat. Penting
untuk membedakan secara jelas keluaran fisiologis yang dispesifikasi dari efek
fisiologis (denyut jantung yang tidak pasti ketika resusitasi.)

1. Apakah pasien miliki kondisi terminal atau kondisi permanen, sebagaimana


didefinisikan pada hukum arahan yang advanced atau hukum akhir hidup, pada
penilaian klinis pasien oleh dokter yang menanganinya?
5. Apakah bukti terbaik yang ada mendukung penilaian klinis agar dapat
diandalkan bahwa tidak ada ekspektasi yang memungkinkan untuk mencapai
keluaran fisiologis yang diharapkan dari intervensi yang dilakukan? (Kesia-
siaan Fisiologis)

4. Apakah bukti terbaik yang ada mendukung penilaian klinis agar dapat
diandalkan bahwa intervensi akan efektif secara fisiologis untuk periode
waktu sementara (beberapa hari hingga beberapa minggu) tetapi berujung
kematian (pada unit perawatan kritikal) dengan tanpa kepulihan dalam
kapasitas interaksi sebelumnya? (Kesia-siaan Kematian Segera)

3. Apakah bukti terbaik yang ada mendukung penilaian klinis agar dapat
diandalkan bahwa intervensi akan efektif secara fisiologis, mencegah
kematian segera, tetapi menghasilkan kehilangan kapasitas berinteraksi?
(Kesia-siaan Klinis atau Keseluruhan)

2. Apakah bukti terbaik yang ada mendukung penilaian klinis agar dapat
diandalkan bahwa intervensi akan efektif secara fisiologis, mencegah
kematian segera, tidak menghasilkan kehilangan permanen pada kapasitas
berinteraksi, tetapi menghasilkan status fungsional yang tidak sesuai dengan
kualitas hidup yang dapat diterima? (Kesia-siaan Kualitas Hidup)
Jika jawaban dari pertanyaan kedua adalah Ya, maka obligasi etik untuk
melanjutkan intervensi telah berakhir karena kesia-siaan fisiologis. Penilaian
berdasarkan bukti terhadap kesia-siaan fisiolgis pada intervensi perawatan kritikal
berarti kematian segera tidak dapat dicegah. Maka, tidak ada ekspektasi yang
memungkinkan bahwa target jangka pendek, juga target jangka panjang, dari
kelanjutan intervensi perawatan kritikal dapat dicapai. Alternatif dari penghentian
perawatan yang mempertahankan kehidupan menjadi memungkinkan secara medis
dan perlu ditawarkan, dengan penjelasan bahwa penggunaan intervensi perawatan
klinis yang tidak diekspektasikan untuk menghasilkan keluaran yang diharapkan
bukanlah standar perawatan untuk pasien tersebut.
Jika jawaban dari pertanyaan kedua adalah Tidak, maka intervensi
perawatan kritikal perlu dilanjutkan, sembari pertanyaan ketiga ditanyakan, yaitu
mempertanyakan kesia-siaan kematian segera. Jika jawaban pertanyaan ketiga
berdasarkan bukti adalah Ya, obligasi etik untuk melanjutkan intervensi telah
berakhir karena kesia-siaan kematian segera. Tidak ada ekspektasi yang
memungkinkan bahwa target jangka pendek, juga target jangka panjang, dari
kelanjutan intervensi perawatan kritikal dapat dicapai. Alternatif dari penghentian
perawatan yang mempertahankan kehidupan menjadi memungkinkan secara medis
dan perlu ditawarkan, dengan penjelasan bahwa penggunaan intervensi perawatan
klinis yang tidak diekspektasikan mencegah kematian pasien yang tidak
diekspektasikan untuk mencapai kepulihan kesadaran sebelum kematiannya bukanlah
standar perawatan untuk pasien tersebut.
Jika jawaban dari pertanyaan ketiga adalah Tidak maka intervensi
perawatan kritikal perlu dilanjutkan, sembari pertanyaan keempat ditanyakan, yaitu
mempertanyakan kesia-siaan klinis atau keseluruhan. Jika jawaban pertanyaan
keempat berdasarkan bukti adalah Ya, obligasi etik untuk melanjutkan intervensi
telah berakhir karena kesia-siaan klinis atau keseluruhan. Justifikasi pada hal ini lebih
kompleks daripada dua pertanyaan pertama. Terdapat ekspektasi yang memungkinkan
untuk target jangka pendek, tetapi tidak ada ekspektasi yang memungkinkan pada
target jangkan panjang dari intervensi perawatan kritikal yang dapat dicapai, karena
keluaran yang tidak dapat diterima dari perspektif klinis. Alternatif dari penghentian
perawatan yang mempertahankan kehidupan menjadi memungkinkan secara medis
dan perlu ditawarkan, dengan penjelasan bahwa penggunaan intervensi kritikal untuk
pasien yang tidak diekspektasikan untuk mencapai kepulihan kesadaran dan kapasitas
berinteraksi bukanlah standar perawatan untuk pasien tersebut. Jika dibutuhkan,
perbedaan antara target jangka pendek dari perawatan kritikal, yang dapat dicapai,
dan target jangka panjang dari perawatan kritikal, yang tidak diekspektasikan untuk
tercapai, perlu dijelaskan.
Jika jawaban dari pertanyaan keempat adalah Tidak maka intervensi
perawatan kritikal perlu dilanjutkan, sembari pertanyaan kelima ditanyakan. Jika
jawaban pertanyaan kelima adalah Ya, obligasi etik untuk melanjutkan intervensi
telah berakhir karena kesia-siaan kualitas hidup. Justifikasi pada hal ini menjadi
sedikit lebih kompleks. Terdapat ekspektasi yang memungkinkan untuk pencapaian
target jangka pendek. Tetapi, tidak ada ekspektasi yang memungkinkan pada target
jangkan panjang dari intervensi perawatan kritikal yang dapat dicapai, karena
keluaran yang tidak dapat diterima dari perspektif pasien (walaupun keluaran dapat
diterima dari perspektif klinis). Alternatif dari penghentian perawatan yang
mempertahankan kehidupan menjadi memungkinkan secara medis dan perlu
ditawarkan, dengan penjelasan bahwa penggunaan intervensi kritikal untuk pasien
yang tidak konsisten dengan keluaran kualitas hidup yang diinginkan bukanlah
standar perawatan untuk pasien tersebut.
Jika jawaban dari pertanyaan ini adalah Tidak, dokter perlu mengelola
ketidakpastian secara prospektif dengan menjadi waspada akan perkembangan
prognosis atau tren terhadap satu atau lebih dari ketiga konsep kesia-siaan ini. Perlu
adanya diskusi terbuka dan lengkap antara dokter UGD dengan rekan kerjanya pada
perawatan kritikal di rumah sakit tentang perencanaan penerimaan pasien yang mana
dokter UGD berpendapat bahwa terdapat suatu tren menuju kesia-siaan. Dokter UGD
dan koleganya di rumah sakit perlu bekerjasama untuk mempersiapkan wali yang
membuat keputusan untuk keputusan mengenai penetapan batas intervensi perawatan
kritikal jika pertanyaan yang disebutkan diatas pada algoritma yang diajukan perlu
dijawab secara afirmatif.

KESIMPULAN
Etik adalah komponen esensial dalam perawatan operasi atau medis untuk
pasien trauma. Obligasi dokter dan timnya adalah untuk melakukan intervensi klinis
yang diekspektasikan memnungkinkan untuk mencegah kematian segera dari pasien
trauma dan mencapai keluaran yang dapat diterima setelah intervensi perawatan
kritikal tersebut. Obligasi ini juga disertai batasan yang dijustifikasi secara etik,
berdasarkan legislasi arahan yang advanced dan empat konsep kesia-siaan. Batasan
ini dapat ditentukan secara sistematis menggunakan algoritma pembuatan keputusan
untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan dan rekomendasi pada
perawatan pasien trauma.

Anda mungkin juga menyukai