Anda di halaman 1dari 20

SYOK HEMORAGIK

Syok Hemoragik/Syok Hipovolemik


Definisi
Syok hipovolemik merupakan tipe syok paling umum ditandai dengan penurunan volume
intravaskular. Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraselular dan ekstraseluler. Cairan
intraseluler menempati hampir 2/3 dari air tubuh total sedangkan cairan tubuh ekstraseluler
ditemukan dalam salah satu kompartemen intravaskuler dan interstisial. Volume cairan interstisial
adalah kira-kira 3-4x dari cairan intravaskuler. Hal ini akan menggambarkan kehilangan 750ml
sampai 3000 ml pada pria dengan berat badak 70kg. Paling sering, syok hipovolemik merupakan
akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Etiologi
Syok terbagi atas:
1. Syok hipovolemik
2. Syok kardiogenik
3. Syok obstruktif
4. Syok distributif
Syok hipovolemik adalah terganggunya sistem sirkulasi akibat dari volume darah dalam
pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau
kehilangan plasma darah.
Syok hipovolemik dapat terjadi akibat:
1. Kehilangan darah / syok hemoragik
a. Hemoragik eksternal : trauma, pendarahan gastrointestinal
b. Hemoragik internal : hematoma, hematotoraks, hemoperitonium
2. Kehilangan plasma
Misalnya: luka bakar, dermatitis eksfoliatif, peritonitis
3. Kehilangan cairan dan elektrolit
a. Eksternal : muntah, diare, keringat berlebih, keadaan hiperosmolar (ketoasidosis
diabetik, koma hiperosmolar nonketotik)
b. Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus
Tabel 5. Penyebab Syok Hipovolemik
Perdarahan
 Hematom subkapsular hati
 Aneurisma aorta pecah
 Perdarahan gastrointestinal
 Perlukaan berganda
Kehilangan plasma
 Luka bakar luas
 Pancreatitis
 Deskuamasi kulit
 Sindrom Dumping
Kehilangan cairan ekstraseluler
 Muntah
 Dehidrasi
 Diare
 Terapi diuretic yang agresif
 Diabetes insipidus
 Insufisiensi adrenal

Sumber: Wijaya IP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

1
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh
karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat,
perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat,
misalnya perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar
uterus, patah tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk.
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka
bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang hangus atau di dalam
lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler.
Pada obstruksi ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau
penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan.
Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis
purulenta difus.
Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah
mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang. Respons tubuh terhadap perdarahan
bergantung pada volume, kecepatan, dan lama perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang,
tubuh akan selalu berusaha untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak)
dengan mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi perubahan-
perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron, sistem ADH, dan sistem saraf
simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume
intravaskular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan
dehidrasi interstitial.
Penyebab-penyebab syok hemoragik adalah trauma, pembuluh darah, gastrointestinal, atau
berhubungan dengan kehamilan.
 Penyebab trauma dapat terjadi oleh karena trauma tembus atau trauma benda tumpul.
Trauma yang sering menyebabkan syok hemoragik adalah sebagai berikut: laserasi dan
ruptur miokard, laserasi pembuluh darah besar, dan perlukaan organ padat abdomen,
fraktur pelvis dan femur, dan laserasi pada tengkorak.
 Kelainan pada pembuluh darah yang mengakibatkan banyak kehilangan darah antara lain
aneurisma, diseksi, dan malformasi arteri-vena.
 Kelainan pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan syok hemoragik antara lain:
perdarahan varises oesofagus, perdarahan ulkus peptikum, dan Mallory-Weiss tears.
 Kelainan yang berhubungan dengan kehamilan, yaitu kehamilan ektopik terganggu,
plasenta previa, dan solutio plasenta. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik umum
terjadi. Syok hipovolemik akibat kehamilan ektopik pada pasien dengan tes kehamilan
negatif jarang terjadi, tetapi pernah dilaporkan.

Patofisiologi Syok
Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besar sel dari organ vital telah
mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel dan kematian terjadi meskipun dilakukan koreksi
penyebab yang mendasari.
Mekanisme patogenetik yang menyebabkan kematian sel tidak seluruhnya dimengerti. Satu
dari denomiator yang lazim dari ketiga bentuk syok adalah curah jantung rendah. Pada pasien
dengan syok hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok obstruktif ekstrakardiak serta pada
sebagian kecil syok distributif, timbul penurunan curah jantung yang berat sehingga terjadi
penurunan perfusi organ vital. Pada awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstrikisi dapat
mempertahankan tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal. Bagaimanapun, jika proses
yang menyebabkan syok terus berlangsung, mekanisme kompensasi ini akhirnya gagal dan
menyebabkan manifestasi klinis sindroma syok. Jika syok tetap ada, kematian sel akan terjadi dan
menyebabkan syok ireversibel.
Orang dewasa sehat dapat mengkompensasi kehilangan 10% volume darah total yang
medadak dengan menggunakan mekanisme vasokonstriksi yang diperantarai sistem simpatis.
Akan tetapi, jika 20 sampai 25 persen volume darah hilang dengan cepat, mekanisme kompensasi
2
biasanya mulai gagal dan terjadi sindroma klinis syok. Curah jantung menurun dan terdapat
hipotensi meskipun terjadi vasokonstriksi menyeluruh. Pengaturan aliran darah lokal
mempertahankan perfusi jantung dan otak sampai pada kematian sel jika mekanisme ini juga
gagal. Vasokonstriksi yang dimulai sebagai mekanisme kompensasi pada syok mungkin menjadi
berlebihan pada beberapa jaringan dan menyebabkan lesi destruktif seperti nekrosis iskemik
intestinal atau jari-jari. Faktor depresan miokard telah diidentifikasi pada anjing dengan syok
hemoragik tetapi faktor ini tidak dikaitkan secara jelas dengan gangguan fungsi miokard klinis.
Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang mencetuskan sindroma
distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskuler diseminata, dan gagal
multiorgan yang menyebabkan kematian.
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan
aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah
jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:
 Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan
tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi
jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi
untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu
tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan
ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk
waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-
rata (mean arterial pressure/MAP) jatuh hingga <60 mmHg, maka aliran ke organ akan
turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.
 Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor
tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang mengatur perfusi
serta substrak lain.
 Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan ventrikel dan kontraktilitas
miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama
dalam perfusi jaringan adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung.
Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan
volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki
keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah jantung.
 Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi
endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini
memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki
nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.
 Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi. Frekuensi terjadinya
sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini adalah
nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi
glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi.

Tahapan Syok

3
Keadaan syok akan melalui tiga tahapan mulai dari tahap kompensasi (masih dapat ditangani
oleh tubuh), dekompensasi (sudah tidak dapat ditangani oleh tubuh), dan ireversibel (tidak dapat
pulih).
1. Tahap kompensasi
Adalah tahap awal syok saat tubuh masih mampu menjaga fungsi normalnya. Tanda atau
gejala yang dapat ditemukan pada tahap awal seperti kulit pucat, peningkatan denyut nadi
ringan, tekanan darah normal, gelisah,dan pengisian pembuluh darah yang lama. Gejala-gejala
pada tahap ini sulit untuk dikenali karena biasanya individu yang mengalami syok terlihat
normal.
2. Tahap dekompensasi
Dimana tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsi-fungsinya. Yang terjadi adalah
tubuh akan berupaya menjaga organ-organ vital yaitu dengan mengurangi aliran darah ke
lengan, tungkai, dan perut dan mengutamakan aliran ke otak, jantung, dan paru. Tanda dan
gejala yang dapat ditemukan diantaranya adalah rasa haus yang hebat, peningkatan denyut
nadi, penurunan tekanan darah, kulit dingin, pucat, serta kesadaran yang mulai terganggu.
3. Tahap ireversibel
Dimana kerusakan organ yang terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki. Tahap ini
terjadi jika tidak dilakukan pertolongan sesegera mungkin, maka aliran darah akan mengalir
sangat lambat sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut jantung.
Mekanisme pertahanan tubuh akan mengutamakan aliran darah ke otak dan jantung sehingga
aliran ke organ-organ seperti hati dan ginjal menurun. Hal ini yang menjadi penyebab rusaknya
hati ,maupun ginjal. Walaupun dengan pengobatan yang baik sekalipun, kerusakan organ yang
terjadi telah menetap dan tidak dapat diperbaiki.

Hipovolemia diawali oleh mekanisme kompensasi tubuh. Denyut jantung dan resistensi
vaskuler meningkat sebagai akibat dari dilepaskannya katekolamin dari kelenjar adrenal. Curah
jantung dan tekanan perfusi jaringan meningkat. Sehingga terjadi penurunan tekanan hidrostatik
kapiler, cairan interstitiel berpindah kedalam kompartemen pembuluh darah. Hati dan limpa
menambah volume darah dengan melepaskan sel-sel darah merah dan plasma.
Sistem kardiovaskuler berespon dengan cara melakukan redistribusi darah ke otak, jantung,
dan ginjal dan perfusi berkurang pada kulit, otot, dan saluran gastrointestinal. Di ginjal, renin
menstimulasi dirilisnya aldosteron dan retensi natrium (dan menahan air), di mana hormon
antidiuretik (ADH atau vasopressin) dari kelenjar ptiuitari posterior meningkatkan retensi air.
Sistem hematologi mengaktivasi kaskade koagulasi dan mengkontraksikan pembuluh darah
yang terluka dengan pelepasan tromboksan A2 yang lokal. Selain itu, trombosit teraktivasi dan
membentuk sebuah bekuan yang imatur di sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak
mengekspos kolagen, yang secara signifikan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi bekuan
darah tersebut.
Dibutuhkan kurang lebih 24 jam untuk menyelesaikan fibrinasi bekuan darah dan bentuk
yang matang. Bagaimanapun, mekanisme kompensasi ini terbatas. Apabila cairan dan darah
berkurang dalam jumlah yang besar atau berlangsung terus-menerus, mekanisme kompensasi pun
gagal, menyebabkan penurunan perfusi jaringan. Terjadi gangguan dalam penghantaran nutrisi ke
dalam sel dan terjadi kegagalan metabolisme sel.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah
yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan
oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam
piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991).
Yang penting dalam klinik adalah pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik
yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang
harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya,
bukan prioritas utama.

4
Diagnosis
Anamnesis pada pasien syok hipovolemik terutama untuk menentukan penyebabnya. Pasien
biasanya mengeluh haus, berkeringat, dan kesulitan bernafas. Kesadaran pasien umumnya normal,
kecuali pada syok berat pasien menjadi apatis atau kebingungan. Untuk diagnosis klinis syok,
dapat ditemukan hipotensi dan tanda klinis iskemi organ. Tanda klinis ini tidak sensitif pada
kehilangan darah yang sedikit. Sensitivitas ini dapat dinilai dengan menggunakan indeks syok,
yaitu frekuensi jantung dibagi dengan tekanan darah sistolik. Klinisi dapat menentukan syok bila
terdapat penurunan tekanan darah sistolik di bawah 90 mmHg atau penurunan tekanan darah lebih
dari 40 mmHg di bawah tekanan darah sebelum syok, dengan penurunan tekanan nadi.
Diagnosis klinis dari syok hipovolemik tidak sulit bila ditemukan hipotensi dan kehilangan
cairan yang terlihat seperti pada trauma (misalnya fraktur), perdarahan saluran cerna dan paru,
luka bakar dan diare. Perdarahan internal akibat ruptur aneurisma aorta, trauma tumpul abdomen,
dan hemotoraks sulit didiagnosa kecuali dari anamnesis dan tanda fisik yang nyata, seperti redup
pada perkusi dada, nyeri dan distensi abdomen menunjukkan kemungkinan adanya perdarahan
internal. Pada kasus perdarahan saluran cerna bagian atas, harus dicari tanda-tanda penyakit hati
kronis, seperti eritema palmar, spider nevi, dan hipertensi portal (asites), karena hal ini dapat
menunjukkan perdarahan varises yang menyebabkan syok hipovolemik. Warna kecoklatan pada
telapak tangan dan membran mukosa menunjukkan adanya insufisiensi adrenokortikal, serta
adanya bau aseton pada udara ekspirasi menunjukkan diabetes mellitus yang tidak terkontrol
(ketoasidosis).

Tabel 1. Derajat Syok Hipovolemik setelah Perdarahan


Class I Class II Class III Class IV
Blood loss (mL) >750 750-1500 1500-2000 >2000
Blood loss (%) >15% 15-30% 30-40% >40%
Heart rate/min <100 >100 >120 >140
Systolic Blood Nomal Normal Decreased Decreased
Pressure
Pulse Pressure Normal Decreased Decreased Decreased
Respiratory rate 14-20 20-30 30-40 <35
Capilary refill Delayed Delayed Delayed Delayed
Urine ouput >30 20-30 5-15 Minimal
(mL/hr)
Mental status Slightly Anxious Confused Confused and
anxious lethargic
Sumber: Parillo JE, Dellnger RP. Critical Care Medicine: Principle and Management in the
Adult. 3rd Edition.p.499.Copyright Elsevier; 2008.

Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan


hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak
ditemukan dengan jelas atau berada dalam traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan
jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak
langsung turun sampai terjadi gangguan kompensasi, atau terjadi penggantian cairan dari luar.
Jadi kadar hematokrit di awal tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan

5
plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia.
Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia.

Gejala Klinis
Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non perdarahan serta
perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok. Respons
fisiologi yang normal adalah mempertahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil
memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja
simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps pelepasan hormon stres serta ekspansi besar
guna pengisian volume pembuluh darah dengan menggunakan cairan intersisial, intraselular dan
menurunkan produksi urin.

Klasifikasi Syok
• Hipovolemia ringan (<20% volume darah) menimbulkan takikardi ringan dengan sedikit
gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring. Penurunan
perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan
tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya
perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan (Tabel 2).
• Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan
takikardia lebih jelas meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring,
namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Perfusi ke organ
vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat
mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini
terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi
kesadaran relatif masih baik.
• Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun
drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria,
agitasi atau bingung. Perfusi ke susunan saraf pusat dipertahankan dengan baik sampai
syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Perfusi ke jantung dan
otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah
ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain.
Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung
(EKG abnormal, curah jantung menurun).

Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat
cepat, terutama pada pasien usia lanjut dan yang memiliki penyakit berat di mana kematian
mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya kerusakan akibat syok maka dengan
resusitasi agresif dan cepat.
Tabel 2. Gejala Klinis Syok Hipovolemik
Ringan Sedang Berat
(< 20% volume (20-40% volume (> 40% volume darah)
darah) darah)
Ekstremitas dingin Sama, ditambah: Sama, ditambah:
Waktu pengisian Takikardi Hemodinamik tak
Kapiler meningkat stabil
Diaporesis Takipnea
Vena kolaps Oliguria Takikardi bergejala
Cemas Hipotensi ortostatik Hipotensi
Perubahan kesadaran
Sumber: Wijaya IP. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
6
Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksanaan
yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan mekanisme kompensasi
simpatis. Tetapi dengan menemukan adanya tanda syok kardiogenik seperti distensi vena
jugularis, ronki dan gallop S3 maka semua dapat dibedakan.

Tanda-tanda Dini Syok


Seperti setiap keadaan patologis lain, diagnosis dini menambah kemungkinan keberhasilan
penatalaksaan syok yang sering terjadi sangat mendadak dan menampilkan sedikit tanda
peringatan.
Sangat sering kepucatan dan dingin jelas sebelum sirkulasi memperlihatkan tanda
kegagalan. Sedikit penurunan tekanan sistolik dan penambahan beberapa denyut per menit dalam
kecepatan nadi harus dipandang dengan kecurigaan bila syok cenderung terjadi, dengan nadi dan
tekanan darah diobservasi setiap lima menit setelah itu.
Syok karena endotoksin sering ditandai oleh hipotensi hebat, demam, dan kekakuan (rigor).
Kulit bisa hangat dan kering pada permulaan, baru kemudian menjadi abu-abu kebiruan.
Kegagalan ginjal dapat menyusul. Dengan kelebihan dosis obat, tonus vaskular hilang dan darah
cenderung "mengumpul" (pool), hipotermia biasa, dan ventilasi sering tertekan hebat.
Bila syok disebabkan oleh kehilangan darah atau cairan, seperti biasa pada meja operasi,
tanda-tandanya adalah penurunan tekanan darah, kenaikan frekuensi nadi, pucat, berkeringat dan
kulit dingin.

Penatalaksanaan
Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki
perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini
tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat
diberikan pengobatan kausal.
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A =
air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B =
breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian
oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati
atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan
pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk
mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang
hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk kesempurnaan
keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka mortalitas.
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid, dan
darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik. Resusitasi cairan yang adekuat
dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera luka
bakar.
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah
utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus
Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test. Jika hemoglobin rendah maka cairan
pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan
resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak
selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi.

7
Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada pemberian
dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu dicegah. Larutan
NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan hiponatremik,
hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang paling mirip
dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar kepada pasien
dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan sindroma syok.
NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara untuk mengganti
kehilangan cairan insensibel. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan Ringer Laktat.
Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting.
Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan gangguan
fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan Ringer Laktat
membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi bikarbonat. Secara
sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut
dan rumatan mengganti kebutuhan harian.
Penanganan di UGD terdapat tiga objektif yang ingin dicapai di UGD pada pasien syok
hipovolemik seperti berikut: (1) memaksimalkan pemberian oksigen-lengkap dengan memastikan
pemberian ventilasi yang adekuat, meningkatkan saturasi oksigen ke dalam darah dan
mengembalikan aliran darah, (2) mengontrol perdarahan lanjut, dan (3) pemberian resusitasi
cairan. Selain itu, desposisi pasien haruslah ditentukan secara cepat dan tepat.2,4
Pemantauan dilakukan terus menerus terhadap pernapasan, denyut nadi, tekanan darah, suhu
badan dan kesadaran.
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah
menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan
resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau cara lain yang memungkinkan seperti
pemasangan kateter CVP (central venous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan
adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau
dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar.
Tak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan
pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter
Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum
teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL perlu penggantian
darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang
digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka dapat digunakan
Packed red cells tipe darah yang sesuai atau O-negatif.
Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik
dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan
kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin
infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg
dalam 3 -5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat membantu
meningkatkan MAP.
Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus dijaga. Kebutuhan oksigen pasien harus
terpenuhi dan bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ akhir jarang terjadi
dibandingkan dengan syok septik atau traumatik. Kerusakan organ dapat terjadi pada susunan
saraf pusat, hati dan ginjal dan ingat gagal ginjal merupakan komplikasi yang penting pada syok
ini.
1. Pemantauan
Parameter di bawah ini harus dipantau selama stabilisasi dan pengobatan : denyut jantung,
frekuensi pernapasan, tekanan darah, tekanan vena sentral (CVP) dan pengeluaran urin.

8
Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam (atau 0.5 ml/kg/jam) menunjukkan perfusi ginjal
yang tidak adekuat.
2. Penatalaksanaan pernapasan
Pasien harus diberikan aliran oksigen yang tinggi melalui masker atau kanula. Jalan napas yang
bersih dipertahankan dengan posisi kepala dan mandibula yang tepat dan aliran pengisapan
darah dan sekret yang sempurna. Penentuan gas darah arterial harus dilakukan untuk
mengamati ventilasi dan oksigenasi. Jika ditemukan kelainan secara klinis atau laboratorium
analisis gas darah, pasien harus diintubasi dan diventilasi dengan ventilator yang volumenya
terukur. Volume tidal harus diatur sebesar 12 – 15 ml/kg, frekuensi pernapasan sebesar 12 – 16
kali/menit. Oksigen harus diberikan untuk mempertahankan PO2 sekitar 100 mmHg. Jika
pasien “melawan” terhadap ventilator, maka obat sedatif atau pelumpuh otot harus diberikan.
Jika cara pemberian ini gagal untuk menghasilkan oksigenase yang adekuat, atau jika fungsi
paru – paru menurun harus ditambahkan 3 – 10 cm tekanan ekspirasi akhir positif.
3. Pemberian cairan
 Penggantian cairan harus dimulai dengan memasukkan larutan Ringer laktat atau larutan
garam fisiologis secara cepat. Kecepatan pemberian dan jumlah aliran intravena yang
diperlukan bervariasi tergantung beratnya syok. Umumnya paling sedikit 1 – 2 liter larutan
Ringer laktat harus diberikan dalam 45-60 menit pertama atau bisa lebih cepat lagi apabila
dibutuhkan. Jika hipotensi dapat diperbaiki dan tekanan darah tetap stabil, ini merupakan
indikasi bahwa kehilangan darah sudah minimal. Jika hipotensi tetap berlangsung, harus
dilakukan transfusi darah pada pasien – pasien ini secepat mungkin, dan kecepatan serta
jumlah yang diberikan disesuaikan dengan respons dari parameter yang dipantau.
1) Darah yang belum dilakukan reaksi silang atau yang bergolongan O-negatif dapat
diberikan terlebih dahulu, apabila syok menetap dan tidak ada cukup waktu (kurang
lebih 45 menit) untuk menunggu hasil reaksi silang selesai dikerjakan.
2) Segera setelah hasil reaksi silang diperoleh, jenis golongan darah yang sesuai harus
diberikan.
3) Koagulopati dilusional dapat timbul pada pasien yang mendapat transfusi darah yang
masif. Darah yang disimpan tidak mengandung trombosit hidup dan faktor pembekuan
V dan VI. Satu unit plasma segar beku harus diberikan untuk setiap 5 unit whole
blood yang diberikan. Hitung jumlah trombosit dan status koagulasi harus dipantau
terus-menerus pada pasien yang mendapat transfusi masif.
4) Hipotermia juga merupakan konsekuensi dari transfusi masif. Darah yang akan
diberikan harus dihangatkan dengan koil penghangat dan suhu tubuh pasien dipantau.
 Vasopresor – Pemakaian vasopresor pada penanganan syok hipovolemik akhir – akhir ini
kurang disukai. Alsannya adalah bahwa hal ini akan lebih mengurangi perfusi jaringan.
Pada kebanyakan kasus, vasopresor tidak boleh digunakan; tetapi vasopresor mungkin
bermanfaat pada beberapa keadaan. Vasopresor dapat diberikan sebagai tindakan
sementara untuk meningkatkan tekanan darah sampai didapatkannya cairan pengganti yang
adekuat. Hal ini terutama bermanfaat bagi pasien yang lebih tua dengan penyakit koroner
atau penyakit pembuluh darah otak yang berat. Zat yang digunakan adalah norepinefrin 4-8
mg yang dilarutkan dalam 500 ml dektrosa 5% dalam air (D5W), yang bersifat
vasokonstriktor predominan dengan efek yang minimal pada jantung. Dosis harus
disesuaikan dengan tekanan darah.

Komplikasi
Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang mencetuskan
sindroma distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskuler diseminata, dan gagal
multiorgan yang menyebabkan kematian.
Hipovolemia dianggap menimbulkan cedera vaskular alveolus akibat anoksia sel. DIC
terjadi akibat penggunaan PRC tanpa plasma dalam resusitasi selama syok perdarahan
hipovolemik akibat koagulopati dilusional.

9
- Kerusakan ginjal
- Kerusakan otak
- Gangren dari lengan atau kaki, kadang-kadang mengarah ke amputasi
- Serangan jantung

Prognosis
Syok Hipovolemik selalu merupakan darurat medis. Namun, gejala-gejala dan hasil dapat
bervariasi tergantung pada:
- Jumlah volume darah yang hilang
- Tingkat kehilangan darah
- Cedera yang menyebabkan kehilangan
- Mendasari pengobatan kondisi kronis, seperti diabetes dan jantung, paru-paru, dan
penyakit ginjal
Secara umum, pasien dengan derajat syok yang lebih ringan cenderung lebih baik
dibandingkan dengan syok yang lebih berat. Dalam kasus-kasus syok hipovolemik berat, dapat
menyebabkan kematian sehingga memerlukan perhatian medis segera. Orang tua yang mengalami
syok lebih cenderung memiliki hasil yang buruk.

FRAKTUR
Batasan fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang artinya terjadi pemutusan
tulang maupun jaringan kartilago. Kejadian ini dapat inkomplit atau komplit sebagai akibat
trauma. Energi yang sampai ke tulang melebihi dari atas kekuatan tulang sehingga terjadi fraktur.
Energi yang sampai ke tulang tergantung dari jenis (ringan, sedang, dan berat), arah dan kecepatan
trauma tersebut. Trauma dapat langsung (direct), seperti terkena pukulan dari benda yang
bergerak atau kejatuhan maupun dipukul, atau tidak langsung (indirect), seperti gaya memutar
atau gaya membengkok pada tulang. Gaya ini juga sering mengakibatkan terjadinya dislokasi.
Apabila kondisi tulang tempat terjadi fraktur tersebut terdapat kelainan patologis seperti tumor
atau osteoporosis /osteomalacia maka disebut fraktur patologis. Trauma lain yang menyebabkan
fraktur adalah gaya penekanan yang terus - menerus (chronic stress / overuse) yang disebut
fatique fracture.
Level Fraktur (Lokalisasi)
Penentuan level fraktur dapat didasarkan pada anatomi atau terminologi AO. Berdasarkan
anatomi tulang panjang maka fraktur dapat berada di epiphysis, epiphyseal plate atau diaphysis.
Diantaranya ada yang disebut dengan metaphysis. Sehingga ada penulisan seperti fraktur diafisis
femoralis (femoral diaphysis fracture), faktur kolum femoralis ( femoral neck fracture ), fraktur
trokhanter mayor femoralis (greater trochanteric fracture) atau fraktur suprakondilar femoralis
(supracondylar femoral fracture). Istilah untuk tulang lainnya disesuaikan dengan nama tulang
yang mengalami fraktur.1
Pada terminologi AO, tulang panjang dibagi menjadi segmen Memahami
proksimal, segmen diaphysis, dan segmen distal. Segmen letak fraktur proksimal
dan distal merupakan daerah di dalam bujur sangkar secara anatomi dan di luar
itu adalah daerah diaphysis.1

10
Evauasi Fraktur (Assessment)
Pada penilaian fraktur perlu ditentukan deformitas yang terjadi akibat fraktur tersebut.
Tanpa adanya deformitas dapat berarti traumanya tidak cukup mengakibatkan pergeseran fragmen
sehingga fragmen masih dalam posisi anatomi. Sama halnya bila melakukan reposisi - manipulasi
sehingga fragmen kembali ke posisi anatomi. Penilaian deformitas berdasarkan 3 hal, yaitu:
pergeseran (displacement), angulasi dan rotasi.4
Penilaian pergeseran yang disebut displacement atau translation adalah penentuan
keberadaan ujung - ujung fragmen satu sama lain. Perlu diketahui bahwa arah pergeseran tersebut
sebagai petunjuk keberadaan fragmen distal. Sebagai contoh fraktur femur tengah (femoral shaft
fracture) dengan pergeseran ke lateral (lateral displacement), artinya fragmen distal femur
bergeser ke lateral; atau contoh lain seperti bergeser ke postero-lateral, maksudnya fragmen distal
berada di posterior dan lateral. Derajat pergeseran itu dapat juga ditentukan dengan kontak kedua
ujung-ujung fragmen yang disebut dengan nama aposisi (apposition). Sebagai contoh aposisi 50%
artinya kontak ujung-ujung fragmen tersebut hanya 50%. Aposisi baik akan memberikan stabilitas
dan union, sebaliknya jika tidak ada kontak maka fraktur tersebut punya potensi tidak stabil dan
terjadi pemendekan. Kadangkala mengalami kesukaran reposisi manipulasi karena adanya
jaringan lunak diantara ujung-ujung fragmen yang disebut interposisi sehingga berpotensi untuk
terjadi delayed union atau non-union.4
Penilaian angulasi merupakan penilaian sudut pada daerah fraktur. Sebagai contoh fraktur
femoris dengan angulasi medial artinya ujung – ujung fragmen di daerah fraktur membentuk
sudut ke arah medial. Hal ini menimbulkan keraguan (confusion) bila deformitas tersebut
merupakan arah fragmen distal. Untuk itu dapat dikurangi dengan menyebutkan sebagai berikut:
fraktur femoris dengan fragmen distal angulasi ke lateral. Setiap angulasi pada fraktur hams
dikoreksi, bila tidak akan mengakibatkan osteoarthritis pada sendi tungkai bawah atau gerakan
pronasi - supinasi akan terbatas pada lengan bawah.4

11
Rotasi aksial artinya fragmen memutar terhadap aksis panjang. Dalam penilaiannya
dilakukan x-ray yang mencakup kedua sendi proksimal dan distal. Rotasi dapat dinyatakan bila
terjadi interlocking dan kedua fragmen atau diameter fragmen proksimal tidak sama dengan
diameter fragmen distal atau tebal kortek fragmen proksimal tidak sama dengan tebal kortek
fragmen distal. Rotasi tidak akan terjadi remodeling tanpa dikoreksi.4
Fraktur Terbuka
Integritas kulit disekitar fraktur perlu dinilai dengan teliti guna menentukan diagnosis
fraktur terbuka (open fracture) dengan nama lain counpound fracture (literatur Inggris) atau
fraktur tertutup (closed fracture). Luka pada fraktur terbuka dapat diakibatkan oleh tusukan ujung
fragmen sehinggan menembus kulit akibat gaya trauma atau kesalahan pada pertolongan pertama
(open from within out). Biasanya kerusakan jaringan lunak sekitar fraktur sangat ringan demikian
juga kontaminasi. Adapun fraktur open from within in akibat trauma yang sangat hebat sehingga
terjadi kerusakan jaringan Iunak maupun tulang yang hebat. Perlu dipikirkan terjadinya
perdarahan yang dapat menimbulkan shock pada kejadian ini. Berdasarkan kerusakan jaringan
Iunak disekitar fraktur terbuka maka fraktur tersebut menurut Gustilo dibagi menjadi:5
1. tipe I yaitu fraktur terbuka dengan panjang luka kurang dan 1 cm dan luka bersih;
2. tipe II yaitu fraktur terbuka dengan panjang luka lebih dan 1 cm tanpa kerusakan jaringan
Iunak yang berat;
3. tipe III, fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan Iunak dan kontaminasi yang berat / hebat.
Tipe III ini dibagi menjadi:
a. tipe III A fragmen fraktur tersebut masih terbungkus dengan jaringan Iunak / periosteum,
b. tipe III B fragmen tulang tidak terbungkus oleh jaringan Iunak / periosteum,
c. tipe III C memerlukan penyambungan arteri (arterial repairing) agar terjamin kehidupan
bagian distal dari iesi.

Fraktur Patologis
12
Fraktur patologis adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang mengalami kelainan
patologis sehingga tulang itu menjadi lemah dan trauma ringan (trivial injury) saja akan terjadi
pemutusan tulang adapun pada orang normal tidak akan menghasilkan fraktur. Kondisi kelemahan
tulang itu dapat akibat kelainan kongenital, metabolik dan neoplastik. Kelainan tersebut meliputi:5
1). Osteoporosis, penyakit ini sering menimbulkan fraktur seperti fraktur tulang belakang,
fraktur kolum femoris dan fraktur Codes. Hal ini dapat diakibatkan oleh penurunan hormon
pada usia lanjut, atau disuses osteoporosis, artritis reumatik, dan kekurangan vitamin C.
2). Osteomalasia, karena kelemahan pada proses mineralisasi jaringan osteoid seperti penyakit
ricket, tetapi juga terjadi pada menu makanan yang kurang kalsium atau pengeluaran
kalsium pada renal acidosis dimana terjadi pengeluran fosfat yang berlebihan seperti
sindron Fanconi atau gangguan absorbsi vitamin D seperti penyakit steatorrhoea.
3). Penyakit Paget, sering terlihat pada fraktur femur dan tibia yang umumnya adalah fraktur
sires dan bila terjadi fraktur komplrt maka garis fraktur adalah transversal. Penyakit dapat
beruba menjadi sarkomatous. Perubahan tulang sangat mirip dengan penyakit
hiperparathyroidisme dan kadangkala seperti tumor metastase.
4). Osteitis, tulang mendadak mengalami kolap akibat proses infeksi. Daerah itu terjadi proses
destruksi tulang seperti tuberkulosis.
5). Osteogenesis imperfekta, yang merupakan penyakit herediter (dominant transmission)
dengan karakteristik tulang mudah patah (fragility of bone) akibatnya tulang panjang
menjadi bengkok (bowing), deformities of bone modeling (kelainan bentuk tulang), fraktur
patologis dengan gangguan pertumbuhan. Penderita tuli dengan skelera wama kebiruan.
Proses penyambungan fraktur sangat cepat dan dengan konservatif cukup berhasil.
6). Simple bone cyst, seperti enchondromata di metakarpal, metatarsal dan phalang sering
menimbulkan fraktur Pada anak umur 5-12 tahun unicameral bone cyst sering menimbulkan
fraktur patologis terutama di humerus proksimal dan diafisi. Kortek menipis tapi jarang
ekspansi.
7). Tumor maligna sekunder, sering berasal dan tumor paru-paru atau bronkhus, mammae,
prostat atau ginjal. Adapun lokalisasi sering pada tulang belakang, bagian subtrokhanter
femoris dan humerus diafisis.
8). Tumor maligna primer, meliputi osteogenik sarcom, khondrosarcom, fibrosarcom, Ewing
tumor dan osteoklastoma yang mengalami keganasan.
Pemeriksaan pada fraktur patologis meliputi riwayat penyakit penderita
dan keluarga, pemeriksaan klinis yang mencakup pemeriksaan pelvis, pemeriksaan X-ray torak,
pelvis, survey kepala dan tulang, laju endap darah, darah rutin dan differential cell count serum
kalsium.fosfat, alkaline phosphatase, dan kalau periu acid phosphatase, pemeriksaan serum
protein, eletrophoresis, Bence-Jones proteose, Ct-scan, biopsi medula osium, biopsi tulang dan
kadangkala pemeriksaan X-ray orang tua.

Diagnosis
Menuliskan diagnosis fraktur yang didasarkan pada jenis tulang yang patah (femur, tibia,
dan sebagainya), lokalisasinya (proksimal, tengah, distal dan sebagainya), pola garis fraktur
(simpel seperti transversal, oblik, kominutif, dan sebagainya) dan integritas kulit daerah tulang
yang mengalami fraktur (tertutup atau terbuka ). Sebagai contoh: fraktur femur distal dengan
garis fraktur transversal tertutup sinister.6
Membuat riwayat keluhan penderita dengan deskripsi yang jelas, mencakup biomekanisme
trauma, lokasi dan derajat nyeri serta kondisi penderita sebelum kecelakaan seperti penyakit
hipertensi dan sebagainya. Pemeriksaan fisik pada penderita fraktur selalu dimulai dengan look,
kemudian feel dan terakhir movement. Kesalahan diagnosis jarang terjadi karena deformitas yang
hebat dan jelas pada pertengahan tulang panjang, apalagi teriihat tulang patah melalui luka yang
terbuka.6

13
Pada inspeksi (look) bagian lesi terlihat asimetri dari bentuk maupun posture, kebiruan,
atau kerusakan kulit akibat trauma maupun edema (swelling) yang terlokalisir dan berakhir
menjadi diffuse.6
Pada palpasi (feel) terasa nyeri tekan (tendernessPada palpasi (feel) terasa nyeri tekan
(tenderness) yang terlokalisir pada daerah fraktur, gerakan abnomal, krepitasi, dan deformitas.
Serta memeriksa gangguan sensibilitas dan temperatur bagian distal lesi serta nadinya. 6
Pemeriksaan gerakan (movement) dapat secara pasif dan aktif pada sendi terdekat dari
fraktur perlu dikerjakan dengan teliti. Pemeriksaan sendi dilakukan untuk mengetahui apakah
terjadi perluasan fraktur ke sendi tersebut. Umumnya suspek fraktur dapat dibuat hanya dari
riwayat dan pemeriksaan fisik.6
Pemeriksaan Radiologi
Untuk setiap penderita yang diperkirakan fraktur, pemeriksaan radiologis dapat sebagai
konfirmasi / diagnosis, rencana terapi, serta perkiraan prognosis nya. Oleh karena itu pada
permintaan X-ray proyeksi ada yang diminta harus jelas. Kadangkala proyeksi khusus seperti
proyeksi oblik diperlukan. atau proyeksi stress guna menentukan adanya lesi pada ligamen sebagai
stabilitas sendi. Bahkan pemeriksaan yang lebih canggih seperti MRI, CT-scan dan lainnya perlu
dipikirkan untuk informasi yang rinci terhadap penderita. Ada beberapa kesalahan yang harus
dipikirkan seperti: fraktur scaphoid sukar dilihat dengan proyeksi konvensional / standard maka
perlu proyeksi khusus. Fraktur kalkaneus memerlukan visualisasi tulang kalkaneus dengan
proyeksi tangensial dengan ataupun tanpa proyeksi oblik. Pada pemotretan kolum femur yang
kurang terpusat pada lehernya maka visualisasi fraktur tersebut sukar dilihat. Demikian juga
fraktur avulsi pada tibial spine yang tidak terfokus pada daerah tersebut akan mengalami
kesukaran dalam menilai lesi daerah itu. 7
Ada beberapa kesalahan dalam penilaian radiograph seperti: penderita lanjut usia dengan
keluhan tidak dapat menyangga berat badannya dengan salah satu tungkai bawah setelah jatuh.
Untuk hal ini Anda memerlukan pemeriksaan yang teliti adanya fraktur kolum femoris. Bila
ditemukan daerah tersebut utuh maka perlu dicari adanya fraktur pada rami pubik. Pada penderita
fraktur patela karena dashboard injury, maka perlu dicari apakah ada fraktur femur dan dislokasi
sendi panggul. Fraktur kalkaneus akibat jatuh dari ketinggian, perlu pemeriksaan yang teliti pada
sisi lainnya. Penderita dengan sprain ankle pertu diperiksa kaki secara keseluruhan karena sering
disertai fraktur basis metatarsal ke lima sebagai akibat trauma inversi. Penderita tidak sadar perlu
pemeriksaan leher, torak dan pelvis. Sehingga, seperti salah satu contoh diatas,pemeriksaan
radiologi langsung untuk penderita fraktur patella adalah foto X-Ray Genu, namun bisa diakukan
pemeriksaan radiologi tidak langsung dengan foto X-Ray Femur dan foto X-Ray Coxae/Pelvis,
serta foto X-Ray Femur.7
Terapi
Tujuan terapi penderita fraktur adalah mencapai union tanpa deformitas dan pengembalian
(restoration) fungsi sehingga penderita dapat kembali pada pekerjaan atau kegiatan seperti
semula. Tujuan ini tidak selalu tercapai secara utuh yang diharapkan dan setiap tindakan untuk
mencapai hal tersebut mempunyai resiko komplikasi.8
Energi yang menimbulkan fraktur selalu menyebabkan kerusakan jaringan lunak di sekitar
fraktur. Tujuan utama dalam pengobatan kerusakan jaringan Iunak tersebut berhubungan erat
dengan pengobatan fraktur itu sendiri yang dimulai dengan realignment pada fraktur yang
mengalami pergeseran dan imobilisasi.8
Pada tindakan awal yang dilakukan adalah memberikan pembidaian sementara (temporary
splinting) agar fraktur tertutup tidak menjadi terbuka disamping dapat menghilangkan rasa nyeri
dan mengurangi perdarahan. Bila deformitas hebat sekali maka dianjurkan untuk mengkoreksi
secara perlahan-lahan dengan menarik bagian distal secara gentle. Pada fraktur terbuka perlu
dilakukan pemeriksaan bakteriologis dan foto kondisi luka dengan kamera digital, demikian juga
pemberian antibiotika spectrum luas disamping melakukan irigasi cairan fisiologis atau water
sterilize for irrigation sebanyak dua liter; kemudian luka ditutup dengan kasa steril. Lalu
kemudian penderita dikirim ke bagian radiologi untuk dilakukan pengambilan X-ray. Penilaian

14
fraktur berdasarkan data dari pemeriksaan fisik dan radiograph berupa lokasi, bentuk garis fraktur
(pattern), pergeseran dan angulasi fragmen fraktur, dan kerusakan jaringan lunak di sekitar fraktur
seperti saraf atau pembuluh darah. Ada dua kemungkinan yang dapat dilakukan pada terapi
penderita fraktur yaitu: secara konservatif atau secara operatif.8
1. Secara konservatif
Pada konservatif dapat melakukan tanpa reposisi manipulatif karena fragmen fraktur tidak
bergeser atau bergeser tapi kedudukan fragmen fraktur masih memadai (acceptable) kemudian
diikuti dengan pemasangan gip (plaster casf) atau pada fraktur inkomplit dengan pemasangan
sling atau collar & cuff dan lain-lain, dengan harapan mengurangi gerakan fragmen, mencegah
pembengkakan atau edema dan mengurangi penyebaran hematoma disamping memberikan
support dan elevasi. Bila kondisi fraktur memerlukan reposisi dan manipulasi karena aposisi dan
angulasi yang tidak dapat diterima maka penderita sebaiknya dilakukan pembiusan umum atau
anestesi blok. Setelah terjadi relaksasi pada otot-otot maka dilakukan reposisi dan manipulasi agar
fragmen kembali ke posisi anatomi dan diikuti pemasangan gip yang memfiksasi dua sendi
terdekat pada tulang panjang yang mengalami fraktur tersebut. Adapun teknik reposisi tertutup
pertama kali yang dilakukan adalah traksi sehingga pemendekan yang terjadi kembali seperti
semula , kemudian deformitas sisa dilakukan koreksi yang arahnya beriawanan dengan gaya
trauma yang menimbulkan fraktur. Contoh reposisi fraktur Codes.8

Pemasangan gip harus dikerjakan dengan tiga titik fiksasi (three point fixation).
Kadangkala kita mengalami kesukaran mereposisi disebabkan adanya spike fragment atau jaringan
lunak diantara fragmen ( interposisi ).8
Memberi edukasi agar penderita melakukan latihan sendi-sendi yang tidak terfiksir oleh
gip, bila jari-jari tangan atau kaki terjadi edema, kebiruan, nyeri atau sendi-sendi kaku maka
anggota tersebut dielevasi. Apabila nyeri dalam waktu ½ jam tidak kembali normal, maka
penderita harus segera berkonsultasi dengan dokternya atau pergi ke rumah sakit bila penderita
berada di rumah. Jika gip yang diberikan pada anggota gerak bawah dalam bentuk model yang
bisa berjalan (walking plaster) penderita dianjurkan untuk berjalan. Jika gip kendor atau pecah
harus segera lapor. Pada waktu tertentu gip dapat diganti dengan pemasangan brace sehingga
sendi dapat melakukan gerakan. Pada terapi konservatif dapat juga dilakukan traksi yang berupa
traksi kulit atau traksi skeletal. Hal ini tergantung beban yang dibutuhkan pada traksi. Bila traksi 3
kg atau kurang dapat dilakukan traksi kulit tapi bila lebih dan 3 kg sebaiknya dengan traksi
skeletal.8
15
2. Secara opratif
Terapi operatif dilakukan bila terapi konservatif gagal, fraktur intraartikular, fraktur
multipel karena punya resiko terjadinya gangguan respirasi (acute respiratory distress syndrome),
emboli lemak dan komplikasi lain. Sekarang, perlu dipertimbangkan bahwa tidak semua fraktur
dilakukan pembedahan dengan alasan bahwa kualitas reduksi tidak menjamin akan outcome yang
baik, alasan utama adalah ORIF (Open Reduction and Internal Fixation / Operasi dengan
pemasangan fiksasi dalam) akan mempengaruhi proses penyembuhan secara biologis. Operasi itu
sendiri akan merusak jaringan lunak sekitar fraktur termasuk periosteum yang merupakan gudang
sel-sel yang dibutuhkan pada proses penyembuhan tulang tersebut. Fiksasi yang sangat kaku
(rigid) terlalu baik untuk imobilisasi tetapi imobilisasi itu sendiri sangat berefek buruk terhadap
pertumbuhan kalus. Hukum Wolf telah membuat kesimpulan bahwa pertumbuhan tulang sangat
berhubungan erat dengan stres mekanis sehingga beban mekanis (loading stress) asal tidak
berlebihan akan menghasilkan regenerasi tulang yang optimal.8
Penyembuhan Fraktur (Healing Process)
Ada lima stadium dalam proses penyembuhan fraktur yaitu: stadium hematoma dan
inflamasi, stadium angiogenesis dan pembentukan tulang rawan (kartilago), stadium kalsifikasi
kartilago, stadium pembentukan tulang dan terakhir stadium remodeling.1,8

Pada fraktur akan terjadi robekan pembuluh darah sehingga terjadi hematoma. Daerah
tersebut banyak terdapat sel-sel aktif dalam pembentukan kalus (angiogenesis). Pada hematoma
segera terjadi infiltrasi vascular sehingga daerah tersebut diganti dengan jaringan fibrovascular,
serabut kolagen masuk dan mendeposit mineral. Proses kalsifikasi jaringan kartilago sampai
terjadi kalus yang menjembatani fragmen maka diikuti proses remodeling. Namun deformitas
rotasi tidak akan terjadi proses remodeling oleh sebab itu periu tindakan koreksi setiap rotasi yang
terjadi pada fraktur. Proses ini disebut penyambungan fraktur secara sekunder (secondary
healing).1,8
Pada pemasangan fiksasi yang kaku (rigid) maka proses penyambungan fraktur tersebut
adalah primary healing karena terjadi kontak kortek secara langsung, remodeling haversian
langsung dan menghambat pembentukan kalus. Hal ini disebabkan reduksi anatomi, pemasangan
fiksasi yang kaku dan pembuluh darah yang utuh. Pada x-ray terlihat: peningkatan bayangan
osteoporosis pada ujung-ujung fragmen.8
Ada tiga istilah dalam proses abnormal penyambungan fraktur yaitu: penyambungan
lambat (slow union), delayed union dan non-union. Penyambungan lambat yaitu penyambungan
fraktur membutuhkan waktu lama dibanding dengan waktu biasanya (normal), tetapi stadium
proses penyambungan berjalan seperti normal tanpa ada pergeseran. Penderita cukup diberi
pengertian dan menjaga kondisi kesehatan yang baik. Adapun delayed union adalah union gagal

16
terjadi dalam waktu yang diperkirakan. Perbedaannya dengan penyambungan lambat dapat dilihat
pada radiograph terjadi perubahan abnormal di tulang pada delayed union.1,8
Permasalahannya adalah kesukaran dalam menentukan bahwa kondisi ini akan berlanjut
union atau berakhir menjadi non-union. Oleh sebab itu dalam waktu dua bulan tidak ada tanda-
tanda union periu dinilai fiksasinya pada radiograph penderita Bila yakin tidak akan terjadi non-
union maka fiksasi dilanjutkan. Setelah 4-6 minggu dinilai kembali secara radiograph dan apabila
tidak ada perubahan maka terapi secara aktif seperti pembedahan memperbaiki fiksasi dsb periu
dipikirkan. 1,7,8
Pada non-union yaitu fraktur gagal terjadinya penyambungan artinya fragmen fraktur
tidak akan pernsah bersatu lagi. Ada dua tipe yang perlu Anda ketahui yaitu: 8
1). Hypertrophic non-union atau disebut juga elephant foot appearance, dimana ujung fragmen
fraktur pada radiograph terlihat sklerotik dan melebar. Garis fraktur masih teriihat jelas dengan
disertai gap yang berisi kartilago atau jaringan fibrus. Adanya peningkatan densitas tulang
menunjukan vaskularisasi disitu baik. Oleh karena itu perbaikan fiksasi akan terjadi mineralisasi
jaringan fibrus dan kartilago di gap tersebut menjadi tulang dan bone induction.
2). Atrophic non-union di tempat fraktur tidak terjadi kegiatan sel-sel, sehingga ujung-ujung
terlihat menyepit, bunder, osteoporortik dan umumnya avaskular. Oleh sebab itu perlu
pemasangan fiksasi yang kaku, membuang jaringan fibrus diantra fragmen, dekortikasi dan
grafting.
Proses penyambungan fraktur berjalan normal tapi terdapat angulasi atau rotasi maupun
sedikit deformitas yang mempunyai potensi akan gangguan fungsi atau terjadi pemendekan tulang
(discrepancy) yang tidak dapat ditolerir maka akan mengganggu fungsi ekstremitas tersebut. Hal
tersebut diatas disebut malunion. Periu Anda ketahui bahwa pemendekan 1-1,5 cm dapat
diterima.8
Faktor-Faktor yang mempengaruhi proses penyambungan Fraktur
Proses penyambungan fraktur dipengaruhi oleh umur penderita seperti pada anak-anak
lebih cepat dibanding dengan orang dewasa. Lokasi atau tipe tulang itu sendiri sebagai contoh di
daerah kanselous lebih cepat disbanding dengan daerah kortikal. Perlu Anda ketahui bahwa
peranan pembuluh darah memegang peranan dalam pembentukan kalus. Ada lagi beberapa faktor
yang mempengaruhi penyembuhan fraktur seperti: pola fraktur seperti: comminuted / segmental,
interposisi, distraksi (gap), severe energy trauma, diabetes, alkoholisme, perokok, pengobatan
fraktur yang terlambat, pengobatan steroid, anti-inflammatory agent, anti-convulsant agent,
vasculopathy, infeksi mobilitas fragmen fraktur, fraktur intraartikular, fraktur patologis dan
gender.8
Komplikasi
Komplikasi fraktur sebaiknya harus mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses
penyembuhan fraktur itu sendiri. Ada beberapa faktor: tipe tulang (kanselous, kortikel), umur
pasien, gerakan ujungujung fragmen, separasi dari ujung fragmen (interposisi, distraksi, ORIF),
infeksi, gangguan suplai darah, meluasnya fraktur ke sendi, adanya kelainan patologi di tulang itu
sendiri dan faktor-faktor yang masih belum jelas seperti fraktur klavikula sangat jarang terjadi
nonunion dan sebagainya. Komplikasi fraktur dapat meliputi kerusakan jaringan lunak sehingga
dapat menimbulkan perdarahan, hypovolemic shock, infection, gangguan keseimbangan elektrolit,
kerusakan protein dan gangguan metabolisme akibat trauma. Perdarahan juga menimbulkan
pembekuan dan dapat ikut aliran darah. Bila sampai ke paru-paru akan terjadi gangguan
pemafasan. Oteh sebab itu perlu dicegah terjadi thrombus dengan memberi anti-koagulan.
Perdarahan juga dapat menimbulkan peningkatan tekanan intra kompartemen sehingga terjadi
sindrom kompartemen Bila dibiarkan akan terjadi nekrosis bagian distal fraktur dan ini merupakan
indikasi untuk dilakukan fasiotomi.1,8
Komplikasi juga dapat disebabkan perawatan yang lama seperti pneumonia hypostatic,
luka lecet akibat penekanan (decubitus), kencing batu dan infeksi saluran kencing. Demikian juga
komplikasi dapat diakibatkan karena pembedahan dan anastesi atau komplikasi akibat fraktur itu
sendiri seperti kekakuan sendi, sudeck atrophy, nekrosis avaskular, emboli lemak dan komplikasi

17
dari implant yang dipakai untuk fiksasi. Gangguan proses penyambungan fraktur dapat berupa
penyambungan yang lambat (slow union), delayed union dan nonunion. Perbedaan antara slow
union dengan delayed union tertetak pada gambaran radiograph. Pada delayed union terdapat
perubahan tulang yang abnormal terutama di daerah fraktur sedangkan pada stow union
radiograph masih menunjukkan proses penyambungan. Adapun nonunion sama sekali tidak ada
proses penyambungan dengan tertutupnya kanalis medularis pada tulang panjang. Ada 2 macam
nonunion yaitu hypertrophic nonunion atau juga disebut elephant foot appearance artinya
vaskularisasinya masih baik, sedangkan atrophic nonunion tidak ada aktivitas seluler pada daerah
fraktur. Ujung fragmen kelihatan menyempit, bundar dan osteoporotik dengan sering avaskuler.1,8
Tujuan terapi terhadap gangguan penyambungan fraktur adalah memperbaiki aktifitas sel-
sel yang berperan dalam pembentukan kalus disamping menilai imobilisasi fragmen itu sendiri.
Penderita yang mengalami fraktur, baik dilakukan terapi konsevatif maupun terapi operatif, akan
kehilangan penghasilan akibat penurunan fungsi selama perawatan sehingga penderita mengalami
depresi yang kadangkala membutuhkan terapi psikologi.1,8

TERAPI CAIRAN
Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-
batas fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander)
secara intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk tujuan:
1. Mengganti kekurangan air dan elektrolit.
2. Untuk mengatasi syok.
3. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Terapi cairan
preoperatif meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah, selama pembedahan
dan pasca bedah. Pada penderita yang menjalani operasi, baik karena penyakitnya itu sendiri
atau karena adanya trauma pembedahan, terjadi perubahan-perubahan fisiologi. 6

Tatalaksana terapi cairan


 Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh
atau ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya
pada keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian
infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg
selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit. 3

 Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang
dewasa rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1-2
mmol/kgBB/hari dan K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti
cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan
pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses. Digunakan rumus Holiday
Segar 4:2:1, yaitu: 3

Rumus Holiday Segar

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat
atau infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung
18
karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan
larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa
elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak
berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti
sudah dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang
peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
1

 6-8 ml/kg untuk bedah besar.


 4-6 ml/kg untuk bedah sedang.
 2-4 ml/kg untuk bedah kecil.

 Terapi Cairan Intravena


Infus cairan intravena (intravenous fluids drip) adalah pemberian sejumlah cairan ke
dalam tubuh, melalui sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk
menggantikan kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. 7
Secara umum, keadaan-keadaan yang dapat memerlukan pemberian cairan infus adalah:
1. Perdarahan dalam jumlah banyak (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
2.
Trauma abdomen (perut) berat (kehilangan cairan tubuh dan komponen darah).
3. Fraktur (patah tulang), khususnya di pelvis (panggul) dan femur (paha) (kehilangan cairan
tubuh dan komponendarah).
4. Kehilangan cairan tubuh pada dehidrasi (karena Heat stroke, demam dan diare).
5. Semua trauma kepala, dada, dan tulang punggung (kehilangan cairan tubuh dan komponen
darah). 7

Indikasi Pemasangan Infus melalui Jalur Pembuluh Darah Vena (Peripheral Venous
Cannulation):
1. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).
2. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jumlah terbatas.
3. Pemberian kantong darah dan produk darah.
4. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
5. Upaya profilaksis (tindakan pencegahan) sebelum prosedur (misalnya pada operasi besar
dengan risiko perdarahan, dipasang jalur infus intravena untuk persiapan jika terjadi syok, juga
untuk memudahkan pemberian obat).
6. Upaya profilaksis pada pasien-pasien yang tidak stabil, misalnya risiko dehidrasi (kekurangan
cairan) dan syok (mengancam nyawa), sebelum pembuluh darah kolaps (tidak teraba), sehingga
tidak dapat dipasang jalur infus. 7

Kontraindikasi dan Peringatan pada Pemasangan Infus Melalui Jalur Pembuluh Darah
Vena yaitu:
1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat
(misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).7

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus yaitu:


1. Hematoma

19
Hematom adalah darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah
arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum,
atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah.
2. Infiltrasi
Infiltrasi adalah masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah),
terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah.

3. Tromboflebitis
Tromboflebitis atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena terjadi akibat infus yang
dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.
4. Emboli udara
Emboli udara adalah masuknya udara ke dalam sirkulasi darah, terjadi akibat masuknya udara
yang ada dalam cairan infus ke dalam pembuluh darah.
5. Selain itu komplikasi yang dapat terjadi dalam pemberian cairan melalui infus rasa perih atau
sakit dan reaksi alergi.7
 Kehilangan cairan saat pembedahan
a. perdarahan
Secara teoritis perdarahan dapat diukur dari:
1. Botol penampung darah yang disambung dengan pipa penghisap darah (suction pump).
2. Kasa yang digunakan sebelum dan setelah pembedahan. Kasa yang penuh darah (ukuran 4x4
cm) mengandung ± 10 ml darah, sedangkan tampon besar (laparatomy pads) dapat menyerap
darah ± 10-100 ml.

Dalam prakteknya jumlah perdarahan selama pembedahan hanya bias ditentukan


berdasarkan kepada taksiran (perlu pengalaman banyak) dan keadaan klinis penderita yang
kadang-kadang dibantu dengan pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit berulang-ulang
(serial). Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit lebih menunjukkan rasio plasma
terhadap eritrosit daripada jumlah perdarahan. Kesulitan penaksiran akan bertambah bila pada
luka operasi digunakan cairan pembilas (irigasi) dan banyaknya darah yang mengenai kain
penutup, meja operasi dan lantai kamar bedah.2
a. Kehilangan cairan lainnya
Pada setiap pembedahan selalu terjadi kehilangan cairan yang lebih menonjol
dibandingkan perdarahan sebagai akibat adanya evaporasi dan translokasi cairan internal.
Kehilangan cairan akibat penguapan (evaporasi) akan lebih banyak pada pembedahan dengan
luka pembedahan yang luas dan lama. Sedangkan perpindahan cairan atau lebih dikenal istilah
perpindahan ke ruang ketiga atau sequestrasi secara masif dapat berakibat terjadi defisit cairan
intravaskuler.
Jaringan yang mengalami trauma, inflamasi atau infeksi dapat mengakibatkan
sequestrasi sejumlah cairan interstitial dan perpindahan cairan ke ruangan serosa (ascites) atau
ke lumen usus. Akibatnya jumlah cairan ion fungsional dalam ruang ekstraseluler meningkat.
Pergeseran cairan yang terjadi tidak dapat dicegah dengan cara membatasi cairan dan dapat
merugikan secara fungsional cairan dalam kompartemen ekstraseluler dan juga dapat
merugikan fungsional cairan dalam ruang ekstraseluler.2

20

Anda mungkin juga menyukai