STATUS EPILEPTIKUS
Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Neurologi
Periode 9 Juli – 13 Agustus 2018
Pembimbing:
dr. Hj. Sri Handayani, Sp.S
BAGIAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Referat:
STATUS EPILEPTIKUS
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Periode 9 Juli – 13 Agustus 2018.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Status
Epileptikus” untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Hj. Sri Handayani, Sp.S selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikian lah referat ini, semoga
bermanfaat.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
Neuron memiliki kemampuan metabolisme yang sangat tinggi, tetapi
tidak dapat menyimpan zat-zat makanan dan oksigen. Oleh karena itu neuron
perlu didukung oleh neuroglia yang menyuplai zat makanan dan oksigen
untuk kelangsungan hidupnya. Sel-sel pendukung yang sangat penting antara
lain adalah sel satelit dan sel Schwann. Sel Schwann pada susunan saraf tepi
bersifat seperti oligodendroglia pada SSP. Sebagian besar akson pada susunan
saraf tepi dilapisi myelin dan membentuk segmen-segmen seperti di SSP.
Tiap sel Schwann hanya melapisi satu segmen, berbeda dengan
oligondendroglia yang mengembangkan beberapa “tangan” ke tiap segmen.
Sel Schwann juga berbeda dari oligodendria dalam hal pembentukan sel baru.
3
selama sekitar 5 msec. Potensial aksi yang terjadi atau impuls pada saat
terjadi depolarisasi dialirkan ke ujung saraf dan mencapai ujung akson
(akson terminal). Saat potensial aksi mencapai akson terminal akan
dikeluarkanlah neurotransmitter, yang melintasi synaps dan dapat saja
merangsang saraf berikutnya.7 Neurotransmiter merupakan zat kimia yang
disintesis dalam neuron dan disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung
akson. Zat kimia ini dilepaskan dari ujung akson terminal dan juga
direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara komunikasi
antar neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat – zat kimia ini
menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi
lebih kurang dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat
sekitar tiga puluh macam neurotransmitter, di antaranya adalah
norephinephrin, acetylcholin, dopamin, serotonin, asam gama-aminobutirat
(GABA) dan glisin.7
Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf.
Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial aksi
lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak dapat
dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi diperkirakan
menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl- melalui membran
plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan hiperpolarisasi dan
mengurangi eksitasi sel.6
4
Tempat –tempat dimana neuron mengadakan kontak dengan dengan
neuron lain atau dengan organ –organ efektor disebut sinaps. Sinaps
merupakan satu – satunya tempat dimana suatu impuls dapat lewat dari suatu
neuron ke neuron lainnya atau efektor. Ruang antara satu neuron dan neuron
berikutnya atau neuron ke organ efektor dikenal dengan nama celah sinaptik
(synaptic cleft). Neuron yang menghantarkan impuls saraf menuju ke sinaps
disebut neuron prasinaptik. Neuron yang membawa impuls dari sinaps
disebut neuron postsinaptik.7
5
spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik
(kejang), sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara
lokal atau umum. Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-
K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan
pada kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi
hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya
hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi
dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan
depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA
atau glutamat akan menimbulkan kejang.
Selain itu, kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang
berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu
akibat suatu keadaan patologik. Aktifitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di mesensefalon, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan
lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang.7
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa
fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut:7
- Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
- Neuron-neuron hipersensitif, ambang untuk melepaskan muatan menurun,
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
- Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam polarisasi berubah) yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat (GABA).
- Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau
elektrolit, yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi
kelainan pada depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
6
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah
kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat
hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis
meningkat; lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat
menjadi 1000 per detik. Aluran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS)
selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi
selama aktifitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik yang seringkali normal menunjang hipotesis bahwa lesi lebih
bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor patologik yang
secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka
terhadap asetilkolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-fokus tersebut
lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
7
Epilepsy Foundation of America (EFA) mendefinisikan SE
sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit atau
adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di
antaranya. Definisi ini telah diterima secara luas, walaupun seizure pada
umumnya berlangsung hanya beberapa menit. Oleh karena itu, pada
serangan seizure yang berlangsung selama 20 menit, 10 menit atau
bahkan hanya 5 menit dan bertahan dalam kondisi tidak sadar, maka
secara fungsional dikategorikan sebagai status epileptikus.9
Jadi, secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang
mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus.
2.4.2 Epidemiologi
Insidensi SE di Amerika Serikat berkisar 41 per 100.000 individu
setiap tahun, sekitar 27 per 100.000 untuk dewasa muda dan 86 per
100.000 untuk usia lanjut. Pada sepertiga kasus, status epileptikus
merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi
berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi,
biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Insidensi kejadian SE terjadi pada masa-masa awal kehidupan dan akan
meningkat pada dekade kelima kehidupan secara perlahan-lahan.
Mortalitas SE (kematian dalam 30 hari) berkisar 22%. Kematian pada
anak hanya 3%, sedangkan pada dewasa 26%. Populasi yang lebih tua
mempunyai mortalitas hingga 38%. Angka mortalitas tergantung dari
durasi kejang, usia onset kejang, dan etiologi.10,11
2.4.3 Etiologi
Status epileptikus (SE) sering merupakan manifestasi akut dari
pasien dengan riwayat epilepsi sebelumnya atau penyakit infeksi
sistem saraf pusat, stroke akut, ensefalopati hipoksik, gangguan
metabolik dan kadar obat antiepilepsi dalam darah yang rendah.
8
Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler
merupakan penyebab SE tersering di negara maju, sedangkan di negara
berkembang penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat.
Etiologi SE sangat penting sebagai prediktor mortalitas dan
morbiditas.10,12
2.4.4 Patofisiologi
Semua kejang diinisiasi oleh mekanisme yang sama. Namun
status epileptikus melibatkan adanya kegagalan dalam pemutusan rantai
kejang tersebut. Berbagai studi eksperimen menemui kegagalan yang
mungkin timbul dari kelangsungan kejang terus-menerus yang
abnormal, eksitasi yang meningkat secara tajam atau pengerahan dan
penghambatan yang tidak efektif. Obat standar yang digunakan pada
status epileptikus lebih efektif apabila diberikan pada jam pertama
berlangsungnya status.
Beberapa hal terbaru dalam patogenesis bangkitan yang relevan
dengan status epileptikus adalah sebagai berikut:
a. Signal Neurotransmitter Eksitatori ɣ-Aminobutyric acid
Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa sinyal
neurotransmitter eksitatori seperti glutamat, aspartat, acetylcholine
dan terutama ɣ aminobutyric acid (GABA) tidak berfungi dengan
baik dalam status epileptikus, baik sebelum onset maupun selama
status. Disfungsi inhibisi GABA menyebabkan keseimbangan
eksitasi-inhibisi dalam otak bergeser ke arah eksitasi berlebihan.13
b. Neuromodulasi
Neuromodulasi merujuk pada stabilisasi kronik terhadap
eksitabilitas neuronal oleh faktor eksogen. Implantasi alat stimulus
fokal, sistem pemberian obat dan modulasi via implan sel punca
atau terapi gen merupakan terapi masa depan yang mungkin bisa
digunakan untuk terapi status epileptikus. Obat GABAergic atau
neuropeptida inhibisi mungkin bisa diberikan melalui metode
tersebut. Obat lain yang mempunyai efek antikonvulsan seperti
adenosin juga bisa diberikan.14
9
c. Faktor Maturasi
Hubungan antara usia dan predileksi bangkitan telah lama diketahui.
Bangkitan dengan durasi apapun lebih sering terjadi pada otak yang
immatur, akan tetapi konsekuensi struktural dan fungsional akibat
bangkitan yang singkat maupun lama masih belum jelas pada usia
muda. Sekuel perilaku dan kognitif akibat bangkitan pada otak yang
sedang berkembang lebih ringan dan samar-samar dibandingkan
dengan otak yang matur. Meskipun banyak faktor kerentanan
bangkitan yang berhubungan dengan usia, korelasinya dengan area
klinis masih belum bisa disimpulkan seluruhnya.11
d. Perubahan Ekspresi Gen
Contoh akhir perkembangan neurobiologi yang mungkin dapat
membantu terapi status epileptikus di masa depan adalah perubahan
ekspresi gen. Status epileptikus merubah ekspresi sejumlah gen
yang berperan dalam eksitabilitas neuronal. Gen ini berubah dalam
waktu jam sampai hari setelah status epileptikus dan sebagian
berperan dalam perubahan struktural yang bersifat prokonvulsan,
seperti neurogenesis dan sprouting. Sel baru yang muncul pada
neurogenesis memiliki plastisitas sinaptik dan properti
elektrofisiologis yang berbeda dari sel normal, sehingga dapat
mengganggu aktivitas listrik di otak.14
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
a. Fase I (0-30 menit) yaitu mekanisme terkompensasi . Pada fase ini
terjadi:
Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
Hipertensi, hiperpireksia
Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
b. Fase (> 30 menit) yaitu mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase
ini terjadi:
Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
Depresi pernafasan
Disritmia jantung, hipotensi
Hipoglikemia, hiponatremia
10
Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC
2.4.5 Klasifikasi
Terdapat 2 tipe utama dari status epileptikus yang digolongkan
berdasarkan semiologi seizure yang dibedakan oleh Gastaut menjadi
general status epileptikus dan partial status epileptikus. General status
epileptikus meliputi general convulsive status epileptikus, dapat berupa
tonik klonik status epileptikus (grand mal status epileptikus), tonik
status epileptikus, klonik status epileptikus atau myoclonic status
epileptikus dan nonconvulsive status epileptikus. Sedangkan partial
status epileptikus meliputi simple partial status epileptikus, dapat
berupa gejala motorik, sensorik atau afasia dan complex partial status
epileptikus.9 Selain itu, dikenal pula dua tipe SE yaitu SE konvulsif
(terdapat bangkitan motorik) dan SE non-konvulsif (tidak terdapat
bangkitan motorik)
PERDOSSI mengklasifikasikan status epileptikus menjadi
beberapa tipe, antara lain:15
a. Klasifikasi status epileptikus berdasarkan klinis:
SE fokal
SE general
b. Klasifikasi status epileptikus berdasarkan durasi:
SE dini (5-30 menit)
SE menetap (> 30 menit)
SE refrakter (bangkitan masih tetap ada setelah mendapat dua
atau tiga jenis antikonvulsan awal dengan dosis adekuat)
c. Status epileptikus nonkolvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua
kelompok utama:
SE-NK umum
SE-NK fokal
11
pasien sebelum gangguan, selama (apabila pasien sadar) dan setelah
serangan, dan juga memperoleh penjelasan yang jelas tentang apa yang
dilakukan pasien setiap tahap kejang dari seorang saksi. Seseorang tidak
dapat langsung menegakkan diagnosis hanya dengan gejala klinis yang
ada melalui penilaian serangan. Pemeriksaan seperti EEG, sebaiknya
digunakan untuk menunjang perkiraan diagnostik yang didasarkan pada
informasi klinis.
Anamnesis
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:16
a. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali
selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab
kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya
penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan
metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum
cenderung muncul pada usia anakanak dan remaja. Pada usia
sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada
kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke
atau tumor otak dsb.
b. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak
enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan
kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila
muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada
fokus di otak. Sebagian “aura” dapat membantu dimana letak
lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus
temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang
tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan
epilepsi lobus parietalis dan gangguan penglihatan sementara
mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis.
Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura”
hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi
12
jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum,
sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
c. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung?
Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang
kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab
pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi
mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada
deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan
kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi
tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang
berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan
kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?
Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah
tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala
dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang
berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan
bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari
lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang
berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan
inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang
umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial
kompleks.
d. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal
dengan istilah “post ictal periode”. Sesudah mengalami serangan
kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi
dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya
sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese
atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“
yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
13
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas
tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
e. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai
biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus
temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang
lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
f. Apakah ada faktor pencetus?
Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya
yang berkedip, menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak
teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress
emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu,
“drug abuse”, “reading & eating epilepsy”. Tujuan kita
mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien
maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan
kejang.
g. Bagaimana frekuensi serangan kejang?
Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon
pengobatan bila sudah mendapat obat-obat anti kejang.
h. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang?
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien
sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan
apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat.
i. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan
menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
j. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan
serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka di
tubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“
tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak
menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin
14
ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat
dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya
luka.
k. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat?
Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit
gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan
kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya
perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan
minum obat dan penyakit lain yang menyertai.
Selain itu epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer,
bangkitan absen dan mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas
memiliki kaitan dengan keluarga, sehingga bertanya mungkin akan
mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga menderita serangan
epilepsi. Sedangkan epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan
adanya patologi intrakranial misalnya trauma otak saat lahir, meningitis,
ensefalitis, perdarahan subarakhnoid, ensefalopati hepatikum dan lain
sebagainya. Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang
perlu dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
a. Family history
b. Past history
c. Systemic history
d. Alcoholic history
e. Drug history
f. Focal neurological symptoms and signs
15
Adanya defisit neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia,
gangguan lapangan pandang, papil edema mungkin dapat menunjukkan
adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nistagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari
obat anti epilepsi seperti karbamazepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi
pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.
”Dysmorphism“ dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom
dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin
memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif.
Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di
lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral di lobus temporalis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam
mengklasifikasikan tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami
kejang selama pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat
memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang
abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik
kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya
terdapat 50% dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan
hasil yang abnormal.
Elektroensefalografi sebenarnya bukan merupakan tes untuk
menegakkan diagnosis epilepsi secara langsung, EEG hanya membantu
dalam penegakan diagnosis dan membantu pembedaan antara kejang
umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat bahwa:
a. 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi
yang tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran
abnormal pada EEG;
16
b. 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang
normal pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG
dimasukkan pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa
positif palsu maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasinya. Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien
dengan aktifitas yang sangat berat dapat sangat membantu dalam
penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit dengan serangan
yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan kejang
terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan
negatif palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah
lipatan korteks serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal
pada pemeriksaan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium,
dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan
pemeriksaan di atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala
klinis secara seksama untuk menegakkan diagnosa dengan tetap
memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.
2.4.7 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang
baik klinis maupun elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan SE
meliputi penggunaan obat intravena yang poten, sehingga dapat
menimbulkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal
adalah memastikan bahwa pasien sedang mengalami SE. Kejang
tunggal yang pulih tidak membutuhkan tatalaksana, namun jika
diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat mungkin. Prinsip
penatalaksanaan SE dibagi menjadi tatalaksana pra-hospital dan
hospital.
Pra-Hospital
17
Pemberian benzodiazepine rektal/midazolam buccal merupakan terapi
yang utama selama di perjalanan menuju ke RS. Segera panggil
ambulans pada kondisi berikut:
a. Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan
b. Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan
serial/bangkitan konvulsivus
c. Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau
tanda vital lain.
Tabel 1. OAE untuk Status Epileptikus15
Hospital
Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika jalan
napas telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan darah
dan nadi harus diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk
mencari tanda lesi fokal intrakranial. Langkah selanjutnya mendapatkan
akses intravena, pengambilan sampel darah untuk penilaian serum
elektrolit, ureum, glukosa, kadar obat antiepilepsi dalam darah, skrining
toksisitas obat, dan hitung darah lengkap. Infus cairan isotonik harus
18
sudah diberikan. Hipoglikemia merupakan pencetus status epileptikus
yang reversibel, glukosa 50 ml 50% dapat diberikan jika diduga suatu
hipoglikemia. Tiamin dapat diberikan untuk mencegah ensefalopati
Wernicke.10,17
Tabel 2. Protokol Penanganan Status Epileptikus15
Pemeriksaan Umum
Stadium 1 (0-10 menit) SE Dini
Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi
Berikan oksigen
Periksa fungsi kardiorespirasi
Pasang infuse
Pemeriksaan emergensi
Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium,
darah lengkap, faal hemostasis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan
toksikologi bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk
evaluasi kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa
meliputi pencitraan otak dan dan pungsi lumbal
Pengawasan
Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah,
dan kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi
bersama ahli neurologi.
Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinankan
status epilepsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama
adalah supresi aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah
munculnya pola burst suppression.
19
2.4.8 Komplikasi
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada
neuron dan memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas
sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan
lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron,
keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang
dapat menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi
otot yang terjadi pada SE konvulsif dapat menyebabkan kerusakan otot,
demam, rabdomiolisis, bahkan gagal ginjal. Selain itu, keadaan
hipoksia akan menyebabkan metabolisme anaerob dan memicu asidosis.
Kejang juga menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi
jantung (hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atauaritmia). Metabolisme
otak pun terpengaruh, mulanya terjadi hiperglikemia akibat pelepasan
katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar glukosa akan turun.
Seiring dengan berlangsungnya kejang, kebutuhan otak akan oksigen
tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi akan memperberat kerusakan otak.
Edema otak pun dapat terjadi akibat proses inflamasi, peningkatan
vaskularisasi, atau gangguan sawar darah-otak. Merujuk pada respon
20
biokimiawi terhadap kejang, kejang itu sendiri saja nampak cukup,
untuk menyebabkan kerusakan otak. Berkurangnya aliran darah otak
(Cerebral Blood Flow), kurang dari 20 ml/100g/menit, memberikan
banyak efek di antaranya terinduksinya Nitrit Oksida Sintase (iNOS) di
dalam astrosit dan microglia yang mungkin berhubungan dengan
aktivasi N-methyl-D-Aspartate (NMDA) receptor yang menyebabkan
kematian sel yang cepat hingga 3-5 menit saja yang kemudian bereaksi
dengan O2 radikal bebas yang menghasilkan super-radical. Aktivasi ini
menyebabkan pelepasan asam amino eksitatorik aspartat dan glutamat.
Akibatnya, berlangsunglah sebuah mekanisme kerusakan yang
dimediasi oleh glutamate-glutamic-mediated excitotoxicity khususnya
di hipokampus. Sementara, konsentrasi kalsium ekstraseluler normal
pada neuron-neuron setidaknya 1000 kali lebih besar daripada
intraseluler. Selama kejang, receptor-gatedcalcium channel terbuka
mengikuti stimulasi reseptor NMDA. Peningkatan kalsium intraseluler
yang fluktuatif ini akan semakin meningkatkan keracunan sel.
Akibatnya apabila kejang ini terus menerus terjadi, kerusakan otak yang
terjadi pun akan semakin besar.
a. Komplikasi Primer
Status epileptikus dapat menyebabkan cedera otak,
khususnya struktur limbik seperti hipokampus. Selama 30 menit
pertama kejang, otak masih dapat mempertahankan homeostasis
melalui peningkatan aliran darah, glukosa darah, dan pemanfaatan
oksigen. Setelah 30 menit, kegagalan homeostasis dimulai dan
mungkin akan berperan dalam kerusakan otak. Hipertermi,
rhabdomyolisis, hiperkalemia, dan asidosis laktat meningkat sebagai
hasil dari pembakaran otot spektrum luas yang terjadi terus
menerus. Setelah 30 menit, tanda-tanda dekompensasi lainnya
meningkat, yakni hipoksia, hipoglikemia, hipotensi, leukosistosis,
dan cardiac output yang tidak memadai.
b. Komplikasi Sekunder
21
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan
adalah depresi napas serta hipotensi, terutama golongan
benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang harus
diwaspadai adalah propofol infusion syndrome yang ditandai dengan
rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung,
serta asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam valproat dapat
memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia. Selain efek samping
akibat obat antikonvulsan, efek samping terkait perawatan intensif
dan imobilisasi seperti emboli paru, trombosis vena dalam,
pneumonia, serta gangguan hemodinamik dan pernapasan harus
diperhatikan.
2.4.9 Prognosis
Prognosis dari SE ditentukan oleh berbagai macam faktor, di
antaranya adalah usia, etiologi yang mendasari, waktu kedatangan ke
emergensi, tatalaksana pre-hospital dan waktu pemberian terapi awal.
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis, 37%
menderita defisit neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual.
Sekitar 3-56% pasien yang mengalami SE akan mengalami kembali
kejang yang lama atau status epileptikus yang terjadi dalam 2 tahun
pertama. Faktor risiko SE berulang adalah usia muda, ensefalopati
progresif, etiologi simtomatis remote, sindrom epilepsi.
2.5.2 Klasifikasi
Pengklasifikasian tipe dari status epileptikus merupakan hal yang
penting karena merupakan faktor utama dalam menentukan morbiditas
22
dan agresifitas terapi yang diberikan. Beberapa tipe dari konvulsif status
epileptikus akan memberikan karakteristik motorik yang bermacam-
macam, di antaranya:19,20
a. Status Epileptikus Umum Konvulsif (Generalized Convulsive
Status Epilepticus / Generalized Tonic-Clonic Status Epilepticus)
Status epileptikus umum konvulsif (Generalized Convulsive
Status Epilepticus / GCSE) merupakan bentuk konvulsif status
epileptikus yang paling sering dijumpai (44-74%) dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-
klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik
klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal
dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran
diantara serangan dan peningkatan frekuensi. Pada tipe tonik klonik
umum selalu ditemukan gangguan kesadaran dan tonik bilateral
yang diikuti dengan sentakan klonus ritmik (jerking) pada
ekstremitas yang biasanya simetris.
23
Status epileptikus fokal motor memiliki banyak manifestasi
klinis, sebagian besar tergantung pada lokasi area epileptogenik
otak. Status epileptikus fokal motor adalah yang paling mudah
dikenali. Tipe ini awalnya ditandai dengan sentakan fokal (jerking)
pada ekstremitas ("Jacksonian march") atau adanya gerakan otot
menyentak yang meluas dan unilateral, dengan atau tanpa gangguan
kesadaran. Dalam hampir semua kasus, ditemukan adanya lesi fokal
terkait, meskipun lesi tidak selalu jelas pada pencitraan. Contoh lesi
penyebab termasuk heterotopia, lesi vaskular atau infeksi, dan
tumor. Kadang-kadang, epilepsi fokal idiopatik jinak menyebabkan
status epileptikus dari tipe yang sama.
24
dengan status epileptikus mioklonik adalah mioklonus, seperti pada
juvenile myoclonic epilepsy (JME). Sindrom epilepsi sekunder yang
menyebabkan SEM biasanya lebih parah, tetapi mioklonus tidak
begitu menonjol pada awal. Sindrom ini termasuk kondisi seperti
sindrom Lennox-Gastaut, dimana SEM dapat bercampur dengan
bentuk lain SE, seperti kejang astatik mioklonik.21
25
terutama otot aksial. Biasanya terjadi pada anak-anak dengan kejang
yang berbeda, terutama mereka yang memiliki defisit neurologis
dan kognitif utama sejak lahir atau anak usia dini, seperti sindrom
Lennox-Gastaut. EEG dapat menunjukkan aktivitas cepat yang
tersebar luas atau lonjakan yang sangat cepat, tetapi mungkin juga
termasuk periode penekanan atau atenuasi latar belakang. Status
epileptikus tonik sulit untuk diterapi dengan obat anti kejang.
Benzodiazepin dapat memperburuk SET pada waktu tertentu.22
26
Gambar 8. Alur Penanganan Status Epileptikus Konvulsif15
27
tidaknya encephalopaty, tipe sindrom epilepsi dan lokasi anatomis dari
aktivitas epileptik.23
NCSE dapat terjadi pada beberapa kasus antara lain adanya
cedera kepala, meningitis dan encephalitis, peningkatan tekanan intra
kranial, penyebab toksik, penyebab metabolik, perubahan kesadaran
menyertai syncope, prolonged fase confusion post ictal, specific
epilepsy syndrome.24 Adanya manifestasi klinis yang kurang jelas pada
NCSE dapat menyesatkan terutama terhadap pendekatan terapi yang
kurang agresif. Data eksperimen dan klinis menunjukkan bahwa
aktifitas epilepsi terus menerus di otak selama NSCE terkait dengan
hyperexitation (glutamatergik) yang terjadi dan memicu neurotoksisitas
serta mekanisme proapoptotik yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan otak ireversibel dan timbulnya gangguan epilepsi kronis atau
defisit neurologis ireversibel.25 Obat pertama adalah benzodiazepine
intravena, terutama lorazepam, fenitoin intravena atau valproate harus
dimulai tanpa penundaan. Tetapi adanya NCSE setelah pemberian
kedua obat tersebut menunjukkan adanya refraktori status epileptikus
(RSE) di mana dibutuhkan satu atau kombinasi obat dalam dosis
anestesi yang juga membutuhkan intubasi dan dapat ditambahkan
enteral antiepileptic kecuali untuk kasus-kasus AS atau adanya penyakit
stadium yang mendasarinya. Outcome klinis dari NCSE terutama
ditentukan oleh jenis, durasi, penyebab dan tingkat keparahan dari
penyakit penyerta.26
2.6.2 Klasifikasi
Nonconvulsive status epileptikus dibagi menjadi 2 kelompok
berdasarkan kriteria gambaran electroencephalogram (EEG), yaitu:
a. Generalized nonconvulsive status epilepticus, sering disebut sebagai
absence status
b. Focal nonconvulsive status epilepticus yang pada umumnya
ditujukan untuk complex partial status epilepticus.
28
Baru-baru ini, klasifikasi yang diusulkan oleh International
League Against Epilepsy (ILAE) telah membagi fokal NCSE menjadi
aura continua (non-convulsive simple partial SE dengan kesadaran yang
masih baik) dan dys-cognitive SE (dengan adanya gangguan kesadaran)
yang berasal dari mesial temporal atau neokorteks. Beberapa pasien
dengan focal NCSE atau AS dikenal sudah menderita epilepsi
sebelumnya. Selain itu, telah dilaporkan jenis lain dari NCSE, seperti
"subtle" SE dimana saat kejang pada pasien dengan GCSE secara klinis
berhenti, tetapi pada EEG masih terdapat aktivitas epilepsi yang masih
berlanjut. Varian lain yang dapat terjadi adalah pada pasien dengan
penyakit kritis di mana terdapat gangguan yang serius dan/atau obat-
obatan dapat memicu terjadinya epilepsi akut, yang berlangsung lama
dan sering sangat sulit diobati ("critical illness SE" [CISE]). Sebagian
besar pada kasus ini, pasien tidak memiliki riwayat kejang
sebelumnya.27
29
SE dan myoclonic SE. Gambaran EEG pada absence SE ini cukup
banyak, meliputi 3 Hz spike-wave discharge, perlambatan yang ritmis,
gelombang spike dan gelombang lambat, polyspike dan perlambatan
latar belakang yang difuse. Absence SE cenderung sering terjadi. Pada
anak-anak, absence SE hampir sering dijumpai pada pasien dengan
epilepsi general yang idiopatik.9
30
perbedaan antara complex partial SE dengan absence SE sulit untuk
diidentifikasi jika hanya berdasarkan klinis. Seperti pada absence SE,
pasien dengan complex partial SE juga dikeluhkan dengan sikap
bingung dengan tidak didapatkan tanda lateralisasi yang jelas. Untuk
kriteria diagnosis klinis dari complex partial SE dapat disimpulkan
sebagai berikut yaitu complex partial seizure yang berulang tanpa
adanya pemulihan kesadaran di antara seizure atau “epileptic twilight
state” yang berlangsung terus-menerus dengan pergantian antara fase
unresponsive dan fase responsive partial. Pergantian elemen dari fase
ini tidak selalu terjadi, maka dari itu definisi ini masih kontroversi. 28
Gejala yang tampak pada complex partial SE dapat meliputi amnesia,
afasia, perilaku yang aneh dan hemiparesis. Pasien dengan epilepsi
partial, sering disebabkan karena kelainan dari lobus frontal, pada
umumnya tampak dengan pola seizure yang berupa kelainan perilaku,
tetapi riwayat terkena epilepsi sebelumnya tidak selalu didapatkan.
31
menegakkan diagnosis ini dapat dialami jika kelainan fokal saat
interictal ditemukan pada EEG. Gambaran ini juga merupakan bagian
dari kriteria diagnosis complex partial SE yang didapatkan dari
beberapa penelitian. Kelainan fokal ini sering didapatkan pada lesi
lobus temporal dan berkaitan dengan adanya kelainan akut atau kronis
yang mendasari.28
Untuk mengklarifikasi aspek EEG yang masih membingungkan,
beberapa pola diajukan untuk menunjukkan kriteria NCSE. Kriterianya
dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 4. Kriteria Elektrografik pada NCSE28
Kriteria Pasti
Elektrografik seizure yang bersifat fokal yang muncul sering atau berkelanjutan
disertai pola iktal dimana terdapat perubahan pada amplitudo, frekuensi atau
lokalisasi
Generalized spike-and-wave yang sering muncul atau berkelanjutan pada pasien
tanpa riwayat epilepsi sebelumnya
Generalized spike-and-wave yang sering muncul atau berkelanjutan, yang secara
signifikan berbeda dalam amplitudo atau frekuensi dari temuan sebelumnya pada
pasien dengan riwayat epileptic encephalopaty
Periodic lateralized epileptiform discharge (PLEDs) pada pasien koma setelah
convulsive status epileptikus
Pola Samar-samar
Kelainan encephalografik yang sering muncul atau berkelanjutan pada pasien
dengan cedera otak akut dimana pada elektroencephalogram tidak menunjukkan
temuan yang sama dengan kriteria pasti
Generalized spike-and-wave yang sering muncul atau berkelanjutan, yang
perbedaannya tidak signifikan dalam amplitudo atau frekuensi dari temuan
sebelumnya pada pasien dengan riwayat epileptic encephalopaty, dimana gejala
klinisnya mengarah ke NCSE
Kriteria Pasti
Derajat kesadaran menurun atau defisit neurologis lain.
EEG epileptiform: bangkitan tipikal yang berlainan atau kelainan yang
berkelanjutan.
Adanya respon terhadap antikonvulsan: baik secara klinis maupun dari EEG
(masih kontroversial, seringnya setelah penundaan panjang)
Berikut ini tabel yang menunjukkan tipe-tipe dari NCSE beserta
karakteristik klinis dan karakteristik EEG dari masing-masing tipe
NCSE tersebut.
32
Tabel 6. Tipe-tipe NCSE, Karakteristik Klinis dan Karakteristik EEG dari Masing-
33
pada tubuh yang samar atau frekuensi, morfologi
gerakan mata nistagmoid Aktivitas fokal ritmis
dengan evolusi pada
frekuensi, morfologi
Age-related NCSE
Neonatal Status Klonik, tonik, mioklonik Aktivitas fokal di
Epileptikus seizure gelombang alpha, theta,
delta, terkadang dengan
sedikit evolusi pada
frekuensi dan morfologi;
pada EEG interiktal
menunjukkan PLEDs
ESES Penurunan kognitif yang Spike wave general pada
progresif 1.5-3.5 Hz terjadi lebih
dari 85% pada tidur
stadium NREM
Sindroma Landau- Afasia reseptif progresif Spike wave temporal
Kleffner dan gangguan tingkah laku unilateral atau bilateral
pada 1.5-3.5 Hz selama
tidur stadium NREM
(<85%)
Nonepileptic NCSE Tidak ada respon, Latar belakang normal
menyentak, gerakan mata
berkedip
34
Possible NCSE
Monitor
respon klinis
jangka
panjang
2.6.4 Tatalaksana
Terapi NCSE didasarkan atas subtipe dari NCSE dan kondisi-
kondisi yang terjadi saat terjadinya SE. Regimen terapi berikut ini dapat
diberikan pada semua pasien dengan usia yang berbeda-beda dan untuk
rekomendasi terapi spesifik pada anak-anak masih belum tersedia.28
Tabel 7. Terapi NCSE28
35
Phenobarbital IV
Complex Partial Status Terapi penyebab dasarnya Tidak pasti; tergantung
Epileptikus Clobazam oral, lorazepam penyebabnya
IV, fosphenytoin IV atau
asam valproat IV
NCSE pada pasien Clobazam oral, steroid oral Tidak pasti; baik untuk
dengan kesulitan belajar Pembedahan (transeksi seizure dan kelainan
multiple subpial) elektrografik
NCSE pada pasien koma Terapi Pilihan Buruk
Phenytoin IV
Phenobarbital IV
Terapi lain
Asam valproat IV
Lorazepam IV,
Fosphenytoin IV,
Anestesi general
dengan thiopenthal
36
60-80 th 2 mg i.v Ulangi beberapa kali bila perlu
>80 th 1 mg i.v
Thipoenthal
Bolus 100-250 mg Ulangi sampai bangkitan
berhenti
Rumatan 3-5 mg/kg/jam
D. Lini Keempat
Lidocaine IV
Bolus 1,5-2 mg/kg Ulangi 1x setelah 20-30 menit
37
Isofluran Inhalasi
Bolus
0,5-3% dari volume
Rumatan end tidal
0,8-2% dari volume
end tidal
Topiramate oral 100-400 mg Tiap 12 jam
Oxcarbazepine oral 600-1200 mg Tiap 12 jam, monitor kadar Na
38
BAB III
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
40
14. Upreti C, Otero R, Partida C. Altered Neurotransmitter Release, Vesicle
Recycling and Presynaptic Structure in the Pilocarpine Model of Temporal
Lobe Epilepsy. Brain. 2012; 135 (pt 3): 869-885.
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2014.
Pedoman Studi Epilepsi
16. Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for
Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55
17. Arif H, Hirsch LJ. Treatment of status epilepticus. Semin Neurol. 2008; 28:
342-54.
18. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, et al. A definition and classification of
status epilepticus. 2012; 28: 342-54
19. JuulJensen P, DennyBrown D. Epilepsia partialis continua. Arch Neurol 196
6; 15:563.
20. Thomas JE, Reagan TJ, Klass DW. Epilepsia partialis continua. A review of
32 cases. Arch Neurol 1977; 34:266.
21. Jumaoas A, Brenner RP. Myoclonic status epilepticus: a clinical and
electroencephalographic study. Neurology 1990; 40:1199.
22. Somerville ER, Bruni J. Tonic status epilepticus presenting as confusional
state. Ann Neurol 1983; 13:549.
23. Shorvon, Simon. The Classification of Nonconvulsive Status Epilepticus.
Nonconvulsive Status Epilepticus chapter 3. 2009.
24. Adiga, Rashmi. Nonconvulsive Status Epilepticus in Children. ANCR.
Singapore. Vol 12. Number 1. 2012
25. Chang AK, Shinnar S. Nonconvulsive Status Epilepticus emergency
Medicine. Clinical Neurology. 2011, Feb; 29 (1) : 65-72.
26. Ruegg, S. Nonconvulsive Status Epilepticus in adults: an overview. Schweizer
Archiv fur Neurologie und Psychiatrie. Vol 159. Note (s) : 53-83. P.31.
2008.
27. Brigo F. Nonconvulsive Status Epilepticus: The Diagnosis Dilemma.
Neurologi India. 2013; 61: 3-6.
28. Korff, CM. Nordli DR. Diagnosis and Management of Nonconvulsive Status
Epilepticus in Children. Switzerland. Vol. 3. No. 9. 2007.
41
29. Drislane, Frank W. Presentation, Evaluation and Treatment of Nonconvulsive
Status Epilepticus. Massachusetts. 2000.
30. Herman, Susan T. The Electroencephalogram of Nonconvulsive Status
Epilepticus. Nonconvulsive Status Epilepticus chapter 4. 2009.
42