Anda di halaman 1dari 13

I.

OPEN FRACTURE

Dikatakan fraktur terbuka jika terdapat hubungan antara daerah yang fraktur
dengan dunia luar, biasanya karena kulit di atasnya sudah tidak intak. Fraktur
merupakan terbuka emergensi bedah ortopedi, karena risiko untuk terjadinya
infeksi pada tulang yang fraktur tinggi. Komplikasi jangka panjang adalah
terancamnya fungsi tungkai, dan dalam kasus infeksi sistemik dapat mengancam
jiwa (Budiman, 2010).

Manajemen fraktur awal adalah untuk mengontrol perdarahan, mengurangi


nyeri, mencegah iskemia-reperfusi cedera, dan mencegah kontaminasi serta infeksi
misal benda asing dan jaringan nonviable. Hal ini akan meminimalkan komplikasi
yang mungkin dapat terjadi.

Jika tidak ditangani dalam waktu 6 jam (golden period) akan menimbulkan
osteomyelitis. Karena pada 6 jam pertama investasi kuman masih melekat secara
fisik sehingga dapat dibersihkan dengan pencucian saja, sedangkan di atas golden
period kuman akan melekat secara kimiawi dan sulit dibersihkan dengan pencucian
saja (Ashford et al., 2004).

Dibawah ini menjelaskan suatu klasifikasi fraktur terbuka menurut


Gustilo/Anderson (Rasjad, 2007):

Tipe Fraktur Deskripsi

I Kulit terbuka < 1 cm, bersih; paling mungkin lesi dalam daripada
luar; kontusio otot minimal, fraktur transversum atau oblique yang
sederhana

II Laserasi > 1 cm dengan kerusakan jaringan lunak luas, flap, atau


avulsi; kehancuran minimal sampai sedang; fraktur transversum
atau oblique pendek yang sederhana dengan kominutif minimal
III Kerusakan jaringan lunak luas, termasuk otot, kulit dan struktur
neurovaskular; seringnya cedera kecepatan-tinggi dengan
komponen kehancuran yang berat

III A Laserasi luas, mencakup tulang adekuat; fraktur segmental, cedera


tembak

III B Kerusakan jaringan lunak luas dengan terkupasnya periosteal dan


ekspos tulang, biasanya berhubungan dengan kontaminasi luas

III C Cedera vaskular membutuhkan perbaikan

a. Penatalaksanaan Fraktur Terbuka

Tantangan penatalaksanaan yang sulit pada fraktur terbuka telah dikenal


selama berabad-abad. Amputasi telah menjadi pengobatan menetap sampai
pertengahan abad ke 18, dimana teknik antiseptik mulai digunakan. Antiseptik,
bersama dengan debridement semua jaringan yang terkontaminasi dan devitalisasi,
membuktikan reduksi pertama pada mortalitas. Kemajuan serentak pada profilaksis
antibiotik, debridement agresif dan manajemen luka terbuka, flap otot rotasional,
transfer jaringan bebas, dan teknik cangkok tulang memperlihatkan peningkatan
yang dramatis pada kemampuan seorang dokter untuk menangani fraktur terbuka
berat sebagai akibat dari kecelakaan kendaraan bermotor dan luka tembak. Fraktur
terbuka merupakan suatu keadaan darurat yang memerlukan penanganan yang
terstandar untuk mengurangi risiko infeksi. Selain mencegah infeksi juga
diharapkan terjadi penyembuhan fraktur dan restorasi fungsi anggota gerak (Rasjad,
2007).

Penangan fraktur terbuka di IGD:

1. ABCD
Nilai status kesadaran, bebaskan airway, breathing,
resusitasi cairan, dan hentikan perdarahan.
2. Cuci luka
Mencuci luka dengan larutan NaCl fisiologis bertujuan
menghilangkan kontaminasi makro dan bekuan darah yang dapat
meminimalkan kontaminasi serta kerusakan jaringan.
3. Debridement dalam golden period (6 jam) dengan general
anestesia.
Adanya jaringan yang mati akan mengganggu proses
penyembuhan luka dan merupakan daerah tempat pembenihan
bakteri sehingga diperlukan eksisi secara operasi pada kulit,
jaringan subkutaneus, lemak, fasia, otot dan fragmen-fragmen yang
lepas.
4. Imobilisasi, luka ditutup kain bersih, fragmen jangan dimasukkan

Pembidaian dan imobilisasi fraktur penting pada emergensi


ortopedi. Fungsinya adalah untuk mengontrol nyeri dan
pembengkakan, mengurangi deformitas/dislokasi, dan imobilisasi
fraktur atau cedera. Tujuan pembidaian dan imobilisasi adalah
membebaskan nyeri, meningkatkan penyembuhan, stabilisasi
fraktur, mencegah sehingga cedera lebih lanjut. Untuk fraktur
terbuka grade I-II dapat diberikan internal fixasi, gips dengan
window. Sedangkan untuk grade III yaitu external fixasi, gips
dengan window hingga amputasi apabila organ tidak
viable/beresiko menimbulkan mortalitas. Kebanyakan cedera
ekstremitas atas dapat ditangani dengan menggunakan belat
posterior long arm. Cedera pada jari ditangani dengan belat jari
busa atau belat plastik kaku. Cedera bahu dapat ditangani dengan
sebuah selempang/balutan gendong, atau imobiliser bahu. Cedera
ekstremitas bawah dapat ditangani dengan imobiliser lutut atau
bidai cetak posterior (Budiman, 2010).
5. Antibiotik dan analgetik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk mencegah infeksi.
Antibiotik diberikan dalam dosis yang adekuat sebelum, pada saat
dan sesudah tindakan operasi.
6. Pencegahan tetanus
Semua penderita dengan fraktur terbuka perlu diberikan
pencegahan tetanus. Pada penderita yang telah mendapat imunisasi
aktif cukup dengan pemberian toksoid tapi bagi yang belum,dapat
diberikan 250 unit tetanus imunoglobulin (manusia).
b. Proses Penyembuhan Fraktur
1. Fase Inflamasi

Awalnya setelah terjadi fraktur, terbentuk hematom pada


daerah ujung fraktur dan dengan cepat membentuk clot. Kerusakan
pembuluh darah tulang menghilangkan osteosit pada daerah fraktur
sehingga jaringan tersebut mati. Dengan jaringan nekrotik ini,
terjadi respon inflamasi, diikuti vasodilatasi, edema, dan pelepasan
mediator inflamasi. Leukosit PMN, makrofag, dan osteoklas
bermigrasi ke daerah ini untuk meresorbsi jaringan nekrotik.

2. Fase Reparasi

Fase reparasi dimulai dengan migrasi sel mesenkim dari


periosteum. Sel ini berfungsi untuk membentuk sel awal tulang.
Osteoblas dari permukaan endosteal juga membentuk tulang.
Jaringan granulasi menginvasi dari sekeliling pembuluh darah dan
menggantikan hematom. Penyembuhan paling banyak terjadi di
sekitar anyaman kapiler yang menginvasi daerah fraktur.
Penyembuhan dengan pembentukan tulang baru muncul paling
awal di daerah subperiostal; pembentukan kartilago paling banyak
terbentuk di area lain. Osteoblas bertanggung jawab terhadap
pembentukan kolagen, yang diikuti dengan deposisi mineral dari
kristal kalsium hidroksiapatit. Kalus terbentuk, yang merupakan
tanda klinis pertama union.

3. Fase Remodeling

Selama fase remodeling, fraktur yang mengalami


penyembuhan mulai mendapat kekuatan. Dengan berlanjutnya
proses penyembuhan, tulang membentuk trabekula. Aktivitas
osteoklas pertama kali terlihat pada resorbsi pembentukan
trabekula. Tulang baru kemudian terbentuk dan berhubungan pada
garis terbentukanya fraktur (Simon et al., 2001).

II. COMPARTMENT SYNDROME


Sindrom kompartemen akut terjadi ketika tekanan jaringan dalam
kompartemen otot tertutup melebihi tekanan perfusi dan menyebabkan otot dan
saraf iskemia. Ini biasanya terjadi setelah peristiwa traumatis, paling sering patah
tulang. Pilihan penanganan untuk sindrom kompartemen akut adalah dekompresi
dini (Paula, 2011).
Sindroma kompartemen bisa terjadi pada bahu, lengan atas, lengan bawah,
tangan, bokong, paha, tungkai bawah, dan kaki. Penyebab sindroma kompartemen
beragam dan termasuk fraktur terbuka dan fraktur tertutup, cedera arteri, luka
tembak, gigitan ular, kompresi tungkai, dan luka bakar (Paula, 2007).
Meningkatnya tekanan pada ruang fascia tertutup menyebabkan
menurunnya tekanan perfusi dan pada akhirnya cedera sel dan kematian neuron dan
jaringan otot. Mekanismenya sebagai berikut: hipoksia menyebabkan cedera sel,
melepaskan mediator, dan meningkatkan permeabilitas endotel yang menyebabkan
oedem, selanjutnya meningkatkan tekanan kompartemen, pH jaringan menurun,
lalu terjadi nekrosis, dan terlepasnya mioglobin. Tekanan jaringan lebih besar dari
tekanan kapiler; biasanya terlihat pada > 30 mmHg tekanan intra-kompartemen.
Waktu iskemik: nervus < 4 jam, otot < 4 jam beberapa mengatakan sampai 6 jam
(Paula R. 2007).
Gambaran Klinis yang biasa ditimbulkan pada seseorang dengan Sindroma
Kompartemen yakni :
a. Nyeri yang melebihi kapasitas cedera
b. Pemeriksaan fisik: bukti ketegangan kompartemen, menurunnya perfusi
(pengisian kembali kapiler, nyeri) dan kehilangan fungsi jaringan (mati
rasa dan lemah; nervus dan otot terlibat pada kompartemen yang
terinfeksi)
c. Diagnosa pasti dengan mengukur tekanan kompartemen. (Paula R. 2007)
Hipoksia menyebabkan muncul gejala (Ronald & Max, 2002):
a. Pain (nyeri): nyeri pada jari tangan atau jari kaki pada saat peregangan
pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung.
b. Pallor (pucat): kulit terasa dingin jika dipalpasi, warna kulit biasanya
pucat.
c. Pulselessness (berkurang atau hilangnya denyut nadi): akibat gangguan
perfusi arterial.
d. Paraesthesia: gejala rasa panas dan gatal pada daerah lesi.
e. Paralisis: biasanya diawali dengan ketidakmampuan untuk menggerakkan
sendi, merupakan tanda yang lambat diketahui.

Penyebab dari sindroma kompartemen dapat diklasifikasikan menjadi:


a. Dari dalam
- Kerusakan arteri perdarahan dalam kompartemen
- Trauma jaringan (fraktur)
- Luka bakar
- Gigitan ular
b. Dari luar
- Circular cast yang menekan
- Bebat terlalu kuat (Frederick, 2003).
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Sindroma
Kompartemen yakni:
a. Singkirkan penyebab kompresi
b. O2
c. Pertahankan ekstremitas setinggi jantung
d. Konsultasi ortopedi atau bedah darurat
e. Mengoreksi hipoperfusi dengan cara kristaloid dan produk darah.
f. Pemberian mannitol, vasodilator atau obat golongan penghambat
simpatetik
g. Fasciotomi:
o Indikasi: sindroma kompartemen akut: tekanan kompartemen > 30

mmHg
o Ahli bedah harus melakukan fasciotomi; bagaimanapun, pada
tungkai yang tekanannya meningkat atau terdapat penundaan
pembedahan, fasciotomi emergensi mungkin perlu dilakukan di
departemen emergensi.
o Pendekatan dua-insisi fasciotomi pada tungkai bawah merupakan
prosedur langsung dan dapat dipercaya, mengingat bahwa
anatominya mudah dipahami.

III. DISLOKASI

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.


Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya
seluruh komponen tulang dari tempat yang seharusnya. Cartilage mendapat nutrisi
dari cairan sinovial yang berasal dari darah yang sudah tersaring erythrositnya.
Terjadinya diffusi masuk ke joint space hanya bila terjadi mekanisme gerak sendi.
Saat dislokasi nutrisi terhenti menyebabkan resiko terjadi kartilago yg mati, yang
sulit untuk beregenerasi

Di IGD, perawatan biasanya melibatkan analgesia yang tepat, es, dan


elevasi. Dislokasi dari jari-jari kaki sering dapat dikurangi dengan anestesi lokal
(blok digital) di UGD dengan traksi longitudinal yang sederhana. Dislokasi dari
kaki pertama mungkin sulit untuk direduksi. Selain itu, metatarsophalangeal
pertama (MTP) dan dislokasi interphalangeal (IP) yang terbuka atau tidak dapat
direduksi memerlukan konsultasi ortopedi. Sebagian lainnya MTP dan IP dislokasi
mudah dikelola oleh dokter IGD.

. Kontrol perdarahan dengan tekanan langsung dan mencakup dislokasi


terbuka dengan kasa steril. Setiap dislokasi terbuka terkait dengan atau tanpa
fraktur biasanya tidak boleh direduksi IGD. Antibiotik profilaksis yang tepat harus
diberikan, dan status tetanus pasien harus diperbarui. Dressing steril harus
diterapkan.

Menilai status neurovaskular dari kaki sebagai bagian dari survei sekunder.
Pertimbangkan pengurangan mendesak setiap dislokasi yang menyebabkan
kompromi neurovaskular signifikan.

Manifetasi klinis dari dislokasi antara lain:

a. Pembengkakan dan memar

b. Sendi tak dapat bergerak normal atau kelemahan

c. Nyeri

d. Panjang extremitas tak sama

e. Unstable joint (AAOS, 2007).

Penanganan di IGD berupa harus segera dilakukan reposisi & stabilisasi


selama 2-3 minggu. Terapi untuk fraktur dislokasi:

a. Reposisi dengan general anestesi

-tertutup

- terbuka

b. Immobilisasi

- fixasi dalam

- fixasi luar

- gips circuler
c. Rehabilitasi

IV. TRAUMA VASKULER BESAR

Lesi vaskuler besar yang tersering adalah arteri poplitea dan arteri radialis,
arteri inguinalis, arteri brachialis dan arteri femoralis. Diagnosis umumnya
ditegakkan dengan arteriografi atau Dopler, dan pengukuran saturasi O2 jari distal.
Penanganan cedera vena diligasi dan berikan resusitasi cairan. Kontrol pendarahan
dengan penekanan untuk pembuluh darah proksimal dari cedera (misalnya, tekanan
femoralis di luka ekstremitas bawah) (Scott, 2011).

Gejala klinis yang ditampilkan bergantung kepada tipe trauma arteri yang
dialami. Tipe trauma yang paling sering terjadi adalah laserasi parsial dan transeksi
komplit. Transeksi komplit dapat berakibat kepada retraksi dan trombosis pada
ujung proksimal dan distal pembuluh darah, yang dapat menyebabkan iskemia.
Sementara itu, laserasi parsial dapat menyebabkan perdarahan persisten atau
pembentukan pseudoaneurisma. Laserasi parsial, seperti halnya kontusio, dapat
dibarengi dengan flap intima, yang dapat berujung kepada trombosis. Kontusio
arteri kecil dengan intima flap yang terbatas dapat tidak menyebabkan penurunan
hemodinamik daerah distal, dan karena itu dapat tidak terdiagnosis. Hal ini disebut
sebagai trauma arteri occult atau minimal jika dilihat dari angiografi. Trauma ini memiliki
risiko trombosis yang kecil, dan seringkali dapat sembuh secara spontan. Trauma arteri
dan vena yang bersamaan dapat menyebabkan terbentuknya fistula arteriovena.

Tipe Trauma Gejala Klinis

Laserasi parsial Pulsasi menurun, hematoma, perdarahan

Transeksi Hilangnya pulsasi distal, iskemia

Kontusio Awal : pemeriksaan dapat normal


Dapat progresif menjadi thrombosis
Kompresi eksternal Pulsasi menurun, pulsasi dapat menjadi normal
ketika fraktur diluruskan

Adanya trauma vaskular pada ekstremitas dapat diketahui denganmelihat


tanda dan gejala yang dialami pasien. Tanda dan gejala tersebut berupa hard sign
dan soft sign.

Hard Sign Soft Sign

Hilangnya pulsasi distal Berkurangnya pulsasi distal

Perdarahan pulsatil yang aktif Riwayat perdarahan sedang

Tanda-tanda iskemia Trauma pada daerah dekat PD


utama

Thrill arteri dengan palpalsi Defisit neurologis


manual

Bruit pada daerah cedera dan Hematoma sekitar lesi yang tidak
sekitarnya meluas

Hematoma yang meluas

Semua pasien trauma dengan mekanisme yang signifikan dan


menunjukkan gejala soft signs harus dilakukan evaluasi sirkulasi distal. Salah satu
cara yang praktis adalah dengan ABI (ankle-brachial index). Jika ABI < 1, hal
tersebut menandakan adanya trauma arteri. Adanya psudoaneurisma atau fistula
arteriovena harus dipikirkan pada kasus trauma penetrasi ekstremitas yang didapati
hematoma pulsatil dengan disertai bruit atau thrill.
Berikut ini adalah algoritma diagnosa gangguan arteri:

Pada dasarnya, semakin cepat tindakan semakin baik hasilnya. Bila ada
perdarahan yang banyak dan atau memancar yang akan membahayakan jiwa,
tentunya pertolongan pertama adalah menghentikan perdarahan sedangkan tindakan
definitif dilakukan setelah perdarahan berhenti. Perdarahan diatasi dengan
penekanan di atas daerah perdarahan. Pemasangan turniket tidak boleh dilakukan
karena dapat merusak sistem kolateral yang ikut terbendung.
Golden period pada lesi vaskuler adalah 6-12 jam. Tanda-tanda iskemia
yang jelas terlihat umumnya pada kulit, tetapi sebenarnya otot dan saraf lebih tidak
tahan terhadap adanya iskemia.

Penatalaksanaan cedera arteri minimal dan asimptomatik masih


kontroversial. Beberapa ahli bedah bersikeras bahwa semua cedera arteri yang
terdeteksi harus diperbaiki,sedangkan yang lain mengusulkan tindakan non operatif
bila terdapat kriteria klinis dan radiologis seperti low-velocity injury, disrupsi
dinding arteri yang minimal (< 5mm) pada kelainan intima dan pseudoaneurisma,
tidak ada perdarahan aktif, dan sirkulasi distal masih utuh. Pendekatan ini dapat
dilakukan pada arteri yang memiliki kolateral dan terutama pada orang muda. Bila
pendekatan non operatif yang digunakan, disarankan untuk melakukan pencitraan
vaskular untuk memantau penyembuhan atau stabilisasi

DAFTAR PUSTAKA

Scott H Bjerke. 2011. Ekstremitas Vascular Trauma Perawatan & Manajemen.


http://emedicine.medscape.com/article/462752-workup#showall Diakses
tanggal 30 Januari 2013

AAOS. 2007. Dislocated shoulder. http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00035.


Diunduh November 2013

Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. http://www.emedicine.com (29


Januari 2013)

Budiman C. 2010. Patah Tulang dan Pembidaian. Bandung: KORPS Sukarela PMI
UNPAD. xa.yimg.com/kq/groups/.../Patah+Tulang+dan+Pembidaian.pptx (10
Desember 2012)
Paula R. 2007. Compartment syndrome, extremity. http://www.emedicine.com (29
Januari 2013)

Rasjad, C. Buku pengantar Ilmu Bedah Ortopedi ed. III. Yarsif Watampone. Makassar:
2007. pp. 352-489

Ashford RU, Frasquet-Garcia A, Patel KK, Campbell P. 2004. Delays in open fracture
management: Where do they occur? Injury; 35(11): 1107-9

Simon RR, Sherman SC, Koenigsknecht SJ. 2001. Emergency orthopedics the
extremities. 4th ed. New York, McGraw-Hill

Frederick A. 2003. Compartment syndrome in Campbells operative orthopaedics.


Ed10th. Vol 3. USA, Mosby

Ronald M, Max E. 2002. Compartment syndrome in Practical fracture treatment. New


York, Churchill Livingstone; p: 99

Jusi HD. Dasar-Dasar Ilmu Bedah Vaskuler Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.
H:50-65.

nd
Rich NM, Mattox KL, Hirshberg A. Vascular Trauma 2 Ed. USA: Elsevier Saunders. 2004.

Anda mungkin juga menyukai