Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

RHINOSINUSITIS

Oleh:
Reza Satria Nugraha G99162104
Farha Naily Fawzia G99162105
Mochamadsyah Beizar Y G99161060

Pembimbing :
Novi Primadewi, dr., Sp. THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
2017
A. Definisi
Rhinosinusitis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peradangan mukosa
hidung dan sinus paranasal. Konsensus internasional tahun 2004 membagi
rhinosinusitis menjadi akut (ARS) dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4
minggu sampai 3 bulan dan kronik (CRS) jika lebih dari 3 bulan (Mangunkusumo,
2010). Pada sinusitis bakteri kronik, infeksi lebih cenderung mengarah pada
kerusakan sistem aliran mukosiliar akibat infeksi berulang dibandingkan infeksi
bakteri yang persisten (Rubin, 2008). Kadang-kadang semua sinus paranasal
meradang pada waktu yang sama (pansinusitis) (Broek, 2010). Bila mengenai
beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus
paranasal disebut pansinusitis
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis
etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang (Mangunkusumo, 2010).

Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head and Neck


Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis dengan rinosinusitis.
Istilah rinosinusitis dianggap lebih tepat karena menggambarkan proses
penyakit dengan lebih akurat. Beberapa alasan lain yang mendasari perubahan
"sinusitis" menjadi "rinosinusitis" adalah 1) membran mukosa hidung dan sinus
secara embriologis berhubungan satu sama lain (contiguous), 2) sebagian besar
penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, 3)
gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada
sinusitis maupun rinitis, dan 4) foto CT scan dari penderita common cold
menunjukkan inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal secara
simultan. Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan
dari rinitis. Hal ini mendukung konsep "one airway disease", yaitu penyakit di salah
satu bagian saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.
Inflamasi di mukosa hidung akan di ikuti inflamasi mukosa sinus paranasal dengan
atau tanpa disertai cairan sinus. Keadaan ini menunjukkan rinosinusitis sebenarnya
merupakan kondisi atau manifestasi dari suatu respon inflamasi mukosa sinus
paranasal
B. EPIDEMIOLOGI
Setiap 1 dari 7 orang dewasa di Amerika Serikat dideteksi positif sinusitis
dengan lebih dari 30 juta manusia didiagnosa sinusitis setiap tahun. Sinusitis lebih
sering terjadi dari awal musim gugur dan musim semi. Insiden terjadinya sinusitis
meningkat seiring dengan meningkatnya kasus asma, alergi, dan penyakit traktus
respiratorius lainnya. Menurut National Ambulatory Medical Care Survey
(NAMCS) tahun 2010, kurang lebih dilaporkan 14 % penderita dewasa mengalami
sinusitis yang bersifat episodik per tahunnya dan seperlimanya sebagian besar
didiagnosis dengan pemberian antibiotik. Prevalensi sinusitis di Indonesia cukup
tinggi. Hasil penelitian dari sub bagian Rinologi Departemen THT FKUI-RSCM
tahun 2011, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 persen penderita sinusitis
kronik. Perempuan lebih sering terkena sinusitis dibandingkan laki-laki karena
mereka lebih sering kontak dengan anak kecil. Angka perbandingannya 20%
perempuan disbanding 11.5% laki-laki. Sinusitis lebih sering diderita oleh anak-anak
dan dewasa muda akibat rentannya usia ini dengan infeksi Rhinovirus (Selvianti dan
Kristyono, 2007).

C. ANATOMI

Sinus paranasal merupakan salah satu bagian tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang
sinus paranasal, dimulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi
tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus
mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soepardi et al., 2007).
Fungsi sinus paranasal adalah sebagai pengatur kondisi udara pernafasan;
penahan suhu; membantu keseimbangan suara; membantu resonansi suara; peredam
perubahan tekanan udara; dan membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga
hidung. (Bambang dan Imam, 2010)
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga
hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid
dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan
sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang
lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar
maksimal pada usia antara 15-18 tahun. (Soepardi et al., 2007) Sinus membesar
semenjak erupsi gigi permanen dan sesudah pubertas, yang secara nyata mengubah
ukuran dan bentuk wajah.

Pembagian Sinus Paranasal

a. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal pertama yang muncul (7-10 minggu masa
janin). Sinus ini adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume
6-8 ml, sinus kemudian berkembang mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa
(Ballenger, 2009). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah
permukaan fasial ostium maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah
permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga
hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus
alveolaris dn palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelahsuperior dinding medial
sinus dan bermuara ke hiatus seminularis melalui infundibulum etmoid. (Soepardi et al.,
2007)

b. Sinus Frontal

Sinus frontal adalah sinus yang paling bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Secara
embriologik, sinus frontal mungkin dikenal sebagai sebuah sel etmoidalis anterior.
Ukurannya tergantung pada derajat pneumatisasi, mungkin tidak ada sama sekali (5,0%)
dan biasanya dibagi atau dibatasi dengan sebuah septum intersinus. (Walsh et al., 2006)

Pada fetus usia 4 bulan, perkembangan sinus frontal yang berasal dari resesus frontal
dapat dilihat. Dari bagian yang paling anterior dan segmen superior dari kompleks etmoid
anterior ini, tulang frontal secara berangsur-angsur mengalami pneumatisasi,
menghasilkan sinus frontal yang ukurannya bervariasi. Saat lahir, sinus frontal kecil dan
pada foto x-ray sulit dibedakan dari sel etmoid anterior yang lain. Berbeda dengan
pneumatisasi sinus maksilaris yang cepat, proses pneumatisasi sinus frontal secara inisial
sangat lambat. Meskipun begitu, pneumatisasinya akan tampak jelas pada gambaran CT-
Scan pada akhir tahun usia pertama. Saat usia 5 tahun, pneumatisasi akan meluas secara
superior dan pada usia 12 tahun sinus sudah tampak besar. Pneumatisasi mungkin akan
berlanjut selama masa remaja. Bentuk sinus dan resesus frontal merupakan hal yang
sangat penting dalam menentukan variasi. (Stammberger dan Lund, 2008)

Ukuran sinus frontal adalah 2,8 cm (tinggi) x 2,4 cm (lebar) x 2 cm (dalamnya). Sinus
frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. (Soepardi et al., 2007)

c. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini
dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya.
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian
posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5
cm di bagian anterior dan 1,5 di bagian posterior. (Stammberger dan Lund, 2008)

Sinus etmoid berongga-rongga yang terdiri dari sel-sel seperti sarang tawon, terdapat di
dalam massa bagian lateral ostium etmoid dan terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita.(Soepardi et al., 2007) Tulang-tulang etmoid mempunyai bidang horizontal
dan bidang vertikal yang saling tegak lurus. Bagian superior bidang vertikal disebut krista
gali dan bagian inferiornya disebut lamina perpendikularis ostium etmoid. Bidang
horizontalnya terdiri dari bagian medial, yang tipis dan berlubang-lubang disebut lamina
kribrosa dan bagian lateral yang lebih tebal dan merupakan atap-atap sel-sel
etmoid.(Ballenger, 2009)

d. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid merupakan sinus paranasal yang terletak paling posterior.(Staikuniene et


al., 2008) Sinus sfenoid mulai dapat dikenal pada sekitar bulan ketiga intrauterin sebagai
sebuah evaginasi dari resesus sfenoetmoidal dan kemudian menjadi sebuah rongga kecil
berukuran 2 x 2 x 1.5 mm pada bayi baru lahir. Pada usia 3 tahun, pneumatisasi tulang
sfenoid berkembang dan pada usia 7 tahun mencapai dasar sella. Ukuran sinus sfenoid
adalah 2 cm (tinggi) x 1,7 (lebar) x 2,3 (dalamnya). Volumenya bervariasi dari 5 sampai
7,5 ml.(Soepardi et al., 2007) Pada orang dewasa, derajat pneumatisasinya berubah-ubah
dan keasimetrisan menjadi hal utama yang harus diperhatikan.(Stammberger dan Lund,
2008)

Sebelah superior sinus sfenoid terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus
dan arteri karotis interna dan pada sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri
posterior di daerah pons.(Soepardi et al., 2007)

D. Etiologi dan Faktor Predisposisi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit
fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul
pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat
sinus.(Mangunkusumo,2010)
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis
sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan
menyembuhkan rinosinusitisnya.Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos
leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering
serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan
merusak silia. (Mangunkusumo,2010)
Penyebab sinusitis dibagi menjadi:
1. Rhinogenik
Penyebab kelainan atau masalah di hidung.Segala sesuatu yang menyebabkan
sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis.Contohnya rinitis akut, rinitis
alergi, polip, diaviasi septum dan lain-lain.Alergi juga merupakan predisposisi
infeksi sinus karena terjadi edema mukosa dan hipersekresi.Mukosa sinus yang
membengkak menyebabkan infeksi lebih lanjut, yang selanjutnya menghancurkan
epitel permukaan, dan siklus seterusnya berulang.
2. Dentogenik/odontogenik
Penyebab oleh karena adanya kelainan gigi.Sering menyebabkan sinusitis adalah
infeksi pada gigi geraham atas (premolar dan molar).Bakteri penyebab adalah
Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Streptococcus viridans,
Staphylococcus aureus, Branchamella catarhalis dan lain-lain.
Penyebab yang yang cukup sering terjadinya sinusitis adalah disebabkan oleh adanya
kerusakan pada gigi. (Mangunkusumo,2010)
Sinusitis Dentogen
Merupakan penyebab paling sering terjadinya sinusitis kronik.Dasar sinus
maksila adala prosessus alveolaris tempat akar gigi, bahkan kadang-kadang tulang
tanpa pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi gigi apikal akar gigi, atau
inflamasi jaringan periondontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau
melalui pembuluh darah dan limfe. Harus dicurigai adanya sinusitis dentogen pada
sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus yang purulen dan napas
berbau busuk.Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang terinfeksi harus dicabut dan
dirawat, pemberian antibiotik yang mencakup bakteria anaerob. Seringkali juga
diperlukan irigasi sinus maksila.
Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang
jarang ditemukan.Angka kejadian meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang
merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis jamur antara lain diabetes mellitus,
neutopenia, penyakit AIDS dan perawatan yang lama di rumah sakit. Jenis jamur yang
sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah spesis Aspergillus dan Candida.1
Perlu di waspadai adanya sinusitis jamur paranasal pada kasus seperti berikut
:Sinusitis unilateral yang sukar sembuh dengan terapi antibiotik. Adanya gambaran
kerusakkan tulang dinding sinus atau adanya membran berwarna putih keabu-abu pada
irigasi antrum. Para ahli membagikan sinusitis jamur terbagi menjadi bentuk yang
invasif dan non-invasif.Sinusitis jamur yang invasif dibagi menjadi invasif akut
fulminan dan invasif kronik indolen.Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke
jaringan dan vaskular. Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien
dengan imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakain steroid yang lama
dan terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
meyebabkan penyebaran jamur menjadi sangat cepat dan merusak dinding sinus,
jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa konka dan septum warna
biru-kehitaman dan ada mukosa konka atau septum yang nekrotik.Sering kali berakhir
dengan kematian.
Sinusitis jamur inavasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan ganguan
imunologik atau metabolik seperti diabetes.Bersifat kronik progresif dan bisa
menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, tetapi gejala klinisnya tidak sehebat
gejala klinis pada fulminan kerana perjalanan penyakitnya berjalan lambat. Gejala-
gejalanya sama seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret hidungnya kental dengan
bercak-bercak kehitaman yang bila dilihat dengan mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam
ronggasinus tanpa invasi ke mukosa dan tidak mendestruksi tulang.Sering mengenai
sinus maksila. Gejala klinik merupai sinusitis kronik berupa rinore purulen, post nasal
drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur di kavum nasi. Pada operasi bisa
ditemukan materi jamur berwarna coklat kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di
dalam sinus.
E. PATOGENESIS
Dalam keadaan fisiologis, sinus adalah steril. Sinusitis dapat terjadi bila
klirens silier sekret sinus berkurang atau ostium sinus menjadi tersumbat, yang
menyebabkan retensi sekret, tekanan sinus negatif, dan berkurangnya tekanan parsial
oksigen. Lingkungan ini cocok untuk pertumbuhan organisme patogen. Apabila
terjadi infeksi karena virus, bakteri ataupun jamur pada sinus yang berisi sekret ini,
maka terjadilah sinusitis.
Pada dasarnya patofisiologi dari sinusitis dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu
obstruksi drainase sinus (sinus ostium), kerusakan pada silia, serta kuantitas dan
kualitas mukosa. Sebagian besar episode sinusitis disebabkan oleh infeksi virus. Virus
tersebut sebagian besar menginfeksi saluran pernapasan atas seperti Rhinovirus,
Influenza A dan B, Parainfluenza, Respiratory syncytial virus, Adenovirus dan
Enterovirus. Sekitar 90 % pasien yang mengalami ISPA memberikan bukti gambaran
radiologis yang melibatkan sinus paranasal.
Infeksi virus akan menyebabkan terjadinya edema pada dinding hidung
dan sinus sehingga menyebabkan terjadinya penyempitan atau obstruksi pada ostium
sinus, dan berpengaruh pada mekanisme drainase dalam sinus. Selain itu inflamasi,
polip, tumor, trauma, juga menyebabkan menurunya patensi ostium sinus. Virus yang
menginfeksi tersebut dapat memproduksi enzim dan neuraminidase yang
mengendurkan mukosa sinus dan mempercepat difusi virus pada lapisan mukosilia.
Hal ini menyebabkan silia menjadi kurang aktif dan sekret yang diproduksi sinus
menjadi lebih kental, yang merupakan media yang sangat baik untuk berkembangnya
bakteri patogen.
Silia yang kurang aktif fungsinya tersebut terganggu oleh terjadinya
akumulasi cairan pada sinus. Terganggunya fungsi silia tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor seperti kehilangan lapisan epitel bersilia, udara dingin, aliran
udara yang cepat, virus, bakteri, mediator inflamasi, kontak antara dua permukaan
mukosa, parut, atau primary cilliary dyskinesia (Sindrom Kartagener).
Adanya bakteri dan lapisan mukosilia yang abnormal meningkatkan
kemungkinan terjadinya reinfeksi atau reinokulasi dari virus. Konsumsi oksigen
oleh bakteri akan menyebabkan keadaan hipoksia di dalam sinus dan akan
memberikan media yang menguntungkan untuk berkembangnya bakteri anaerob.
Penurunan jumlah oksigen juga akan mempengaruhi pergerakan silia dan aktivitas
leukosit. Sinusitis kronis dapat disebabkan oleh fungsi lapisan mukosilia yang tidak
adekuat, obstruksi sehingga drainase sekret terganggu, dan terdapatnya beberapa
bakteri patogen.
Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi pre
molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis seperti infeksi
yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi
sinus. Sinusitis maksila diawali dengan sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi
pada mukosa rongga hidung. Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan
drainase sinus.
Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan
gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung jawab
kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme yang lebih banyak
didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif yang merupakan bakteri
khas pada sinus.Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat
menimbulkan gambaran histologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif,
karenanya menimbulkan bau busuk.
Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental akan memperberat atau
mengganggu drainase terlebih bila meatus medius tertutup oleh oedem atau pus atau
kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan hipertropi konka. Akar gigi premolar
kedua dan molar pertama berhubungan dekat dengan lantai dari sinus maksila dan
pada sebagian individu berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila.
Sehingga penyebaran bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi.
(Fokkens,2012)
Sekresi mukus: berisi Pengentalan sekret;
antibodi dan IgA perubahan pH

Perubahan
Material terlarut Kompsisi mukus
Stagnasi sekret metabolisme udara
diabsorbsi mukosa normal
mukosa

Edema mukosa /
Sekresi mukus Kerusakan epitel dan
kelainan anatomi
Material sisa dan normal mukosa
hambat drainase
bakteri dikeluarkan
oleh mukosilia

Retensi sekret dan


perubahan
metabolisme sinus
Ostium terbuka Ostium tertutup timbulkan inflamasi
Mukosilia mencegah
dan pertumbuhan
kerusakan mukosa
bakteri

Penebalan mukosa
Infeksi tercegah menambah obstruksi
ostium

Perbandingan fisiologi sinus normal dan rinosinusitis


(sumber: Strong JF, 2002)
Tabel. Patofisiologi penyakit rinosinusitis
Patensi ostium Fungsi silia Mucus
Edema Penurunan frekuensi Perubahan jumlah
Allergen gerakan silia (meningkat /
Infeksi Siliotoksin menurun)
Polip Udara dingin Allergen
Atopi Kehilangan Iritan / polutan
Kistik fibrosis koordinasi Metaplasia sel
Infeksi kronik Sinekia goblet
Struktur Kehilangan sel silia Perubahan kualitas
Deviasi septum Polutan / iritan Gangguan transpor air
Konka bulosa Mediator inflamasi dan elektrolit
Tampon Pembedahan Dehidrasi
Kistik fibrosis
(Pinheiro, 1998)

F. Diagnosis

Penegakan diagnosis sinusitis secara umum (Pletcher,2003):


Kriteria Mayor Kriteria Minor
a. Sekret nasal yang purulent a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi
e. Fotorontgen(Watersradiograph atau e. Nyeri telinga
air fluid level) : Penebalan lebih 50% f. Sakit tenggorok
dari antrum g. Nafas berbau
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau h. Bersin-bersin bertambah sering
opaksifikasi dari mukosa sinus i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
dan bakteri
k. Ultrasound
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan 2

kriteria minor.

Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah sebagai

berikut (Anonim,2005):

a. Sinusitis Akut

1. Gejala Subyektif

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada

anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari.

Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu, sertagejala

lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring

(post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus

yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain.

a) Sinusitis Maksilaris

Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang sering

terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2) letak ostiumnya

lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari sinus maksila hanya tergantung

dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),

sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak

di meatus medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.

Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan

daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah kelopak mata dan kadang

menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih dirasakan di dahi dan depan telinga.

Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala mendadak,

misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul
dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk.

Batuk iritatif non produktif seringkali ada(Mangunkusumo,2010)

b) Sinusitis Ethmoidalis

Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali

bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin ethmoidalis (lamina

papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung lebih sering menimbulkan selulitis

orbita.

Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta dianggap

sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.

Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-

kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di

pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung(Anonim,2005).

c) Sinusitis Frontalis

Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus

etmoidalis anterior.

Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas alis mata,

biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari, kemudian perlahan-lahan

mereda hingga menjelang malam.

Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan mungkin

terdapat pembengkakan supra orbita(Mangunkusumo,2010).

d) Sinusitis Sphenoidalis

Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di belakang

bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim menjadi bagian dari

pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu dengan gejala infeksi sinus

lainnya(Mangunkusumo,2010).
2. Gejala Obyektif

Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid anterior) terkena

secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang ringan akibat periostitis. Palpasi

dengan jari mendapati sensasi seperti ada penebalan ringan atau seperti meraba beludru.

Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada

sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid jarang timbul

pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi.

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis

maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus atau nanah di meatus

medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan sinusitis sphenoid nanah tampak keluar

dari meatus superior. Pada sinusitis akut tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi

sinusitis.Jika ditemukan maka kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai.

Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).

Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5 menit

dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa memencet hidung pasien

kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup mulut dengan rapat, jika positif sinusitis

maksilaris maka akan keluar pus dari hidung.

Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.

Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak

lebih suram dibanding sisi yang normal.

Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan tampak

perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid level) pada sinus yang

sakit.

Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius atau meatus

superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang merupakan flora normal di


hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus, streptococcus, staphylococcus dan

haemophylus influensa. Selain itu mungkin juga ditemukan virus atau

jamur(Mangunkusumo,2010).

b. Sinusitis Subakut

Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang akutnya (demam,

sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda.

Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada rinoskopi

posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus

yang sakit, suram atau gelap(Mangunkusumo,2010).

c. Sinusitis Kronis

Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek, umumnya sukar

disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor

predisposisinya.

Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan mukosa

hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan defisiensi imunologik,

sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan

sinusitis akut tidak sempurna.

1. Gejala Subjektif

Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca nasal (post

nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya sedikit tersumbat.

b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.

c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan tuba

eustachius.

d) Ada nyeri atau sakit kepala.


e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.

f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis atau

bronkhiektasis atau asma bronkhial.

g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.

2. Gejala Objektif

Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat

pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental, purulen dari

meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan polip, tumor atau komplikasi

sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.

Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan etmoiditis kronis

yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat

menyertai poliposis hidung kronis.

3. Pemeriksaan Mikrobiologi

Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti kuman aerob S.

aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto streptococcus dan fuso bakterium.

4. Diagnosis Sinusitis Kronis

Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :

a) Anamnesis yang cermat

b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior

c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada daerah

sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.

Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis(sinus penuh

dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA dan Lateral.

Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk memproyeksikan tulang petrosus

supaya terletak di bawah antrum maksila, yakni dengan cara menengadahkan kepala

pasien sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama

untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi

Posteroanterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus

frontal, sphenoid dan ethmoid.

Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:

1) Penebalan mukosa,

2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)

3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yangdapat dilihat

pada foto waters.

e) Pungsi sinus maksilaris

f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam sinus, apakah

ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan bagaimana keadaan

mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis kronis akibat perlengketan akan

menyebabkan osteum tertutup sehingga drenase menjadi terganggu.

g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan sinoskopi.

h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-

endoskopi.

i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat dan

sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis akan tampak

: penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau tidak homogen pada

satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-

kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada pemeriksaan

CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya dengan polip yang

terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat menyebabkan gambaran air-fluid

level.

b) Polip yang mengisi ruang sinus

c) Polip antrokoanal

d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus

e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh massa

jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan sebagai perluasan

yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran perifer.

f) Tumor

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis

sinusitis akut

2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus

dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada

anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien

dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis.

b. Imaging

1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis

dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan

perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi


untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan

adalah sebagai berikut (Laszlo, 1997) :

a) Posisi Caldwell

Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja

sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus

lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus

terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15kraniokaudal dengan titik

keluarnya nasion.

Gambar 2.3

Posisi Caldwell

b) Posisi Waters

Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah

untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum

maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien

sedemikian rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang

melalui kantus medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang

37dengan filmproyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan

pandangan terhadap semua sinus paranasal.


Gambar 2.5

Posisi Waters

c) Posisi lateral

Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

Gambar 2.6

Posisi lateral

2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut, menunjukan

suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi pernafasan atas dan 40%

pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini dilakukan untuk luas dan beratnya

sinusitis

3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang menyertai

sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis akut.
G. PENATALAKSANAAN

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS AKUT


PADA DEWASA
UNTUK PELAYANAN PRIMER DAN DOKTER SPESIALIS NON-THT
Diagnosis
Berdasarkan gejala, pemeriksaan radiologis tidak diperlukan (foto polos sinus paranasal tidak
direkomendasikan)
Gejala kurang dari 12 minggu:
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi
dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, seperti bersin, ingus
encer seperti air, hidung
gatal dan mata gatal serta berair.

Common cold/ rinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai:


Lamanya gejala < 10 hari
Rinosinusitis non-viral akut didefinisikan sebagai:
Perburukan gejala setelah 5 hari atau gejala menetap setelah 10 hari dengan lama sakit < 12
minggu
Gambar 1. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan
Kesehatan Primer

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS AKUT PADA


DEWASA
UNTUK DOKTER SPESIALIS THT
Diagnosis
Gejala
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satu termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan
pemeriksaan hidung (edema, hiperemis, pus)
pemeriksaan mulut (post nasal drip)
singkirkan infeksi gigi
Pemeriksaan THT termasuk Nasoendoskopi
Pencitraan
(Foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan)
Tomografi komputer juga tidak direkomendasikan, kecuali terdapat:
penyakit sangat berat
pasien imunokompromais (penurunan imunitas)
tanda komplikasi
Gambar 2. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis
THT
SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS KRONIK
DENGAN ATAU TANPA POLIP HIDUNG PADA DEWASA UNTUK PELAYANAN
PRIMER DAN DOKTER SPESIALIS NON-THT
Diagnosis
Gejala lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air,
hidung gatal, mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan pemeriksaan
alergi. (Foto polos sinus paranasal/ tomografi komputer tidak direkomendasikan)
Gambar 3. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa Polip Hidung
Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer Dan Dokter Spesialis NON THT

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS KRONIK TANPA


POLIP
HIDUNG PADA DEWASA UNTUK DOKTER SPESIALIS THT
Diagnosis
Gejala lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan
Nasoendoskopi tidak terlihat adanya polip di meatus medius, jika diperlukan setelah
pemberian dekongestan.
(Definisi ini menerima bahwa terdapat spektrum dari rinosinusitis kronik termasuk perubahan
polipoid pada sinus dan/ atau meatus medius tetapi menyingkirkan penyakit polipoid yang
terdapat pada rongga hidung untuk menghindari tumpang tindih).
melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan primer
mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum dilakukan
Penatalaksanaan harus berdasarkan keparahan gejala
tentukan tingkat keparahan gejala menggunakan VAS
Gambar 4. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT
SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS KRONIK
DENGAN
POLIP HIDUNG PADA DEWASA UNTUK DOKTER SPESIALIS THT
Diagnosis
Gejala selama lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah / rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu
Pemeriksaan
Nasoendoskopi polip bilateral yang terlihat dari meatus medius dengan menggunakan
endoskopi
Melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari pelayanan kesehatan primer
Mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes alergi bila belum dilakukan
Tingkat Keparahan Gejala
(dinilai berdasar skor VAS) ringan/ sedang/ berat
Gambar 5. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Polip Hidung Pada
Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS AKUT PADA


ANAK
Skema berikut diharapkan dapat membantu berbagai disiplin ilmu dalam pemberian terapi
rinosinusitis pada anak. Rekomendasi yang diberikan berdasar pada bukti-bukti yang ada,
tetapi beberapa pilihan harus dibuat pada situasi dan kondisi secara individual.
Diagnosis
Gejala
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/
obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu

Pemeriksaan (jika dapat dilakukan)


pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus
pemeriksaan mulut: post nasal drip
singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi
Pencitraan
(foto polos sinus paranasal tidak disarankan)
Tomografi komputer juga tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:
penyakit parah
pasien imunokompromais
tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial)
Gambar 6. Skema penatalaksanaan rinosinusitis akut pada anak

SKEMA PENATALAKSANAAN BERBASIS BUKTI RINOSINUSITIS KRONIK PADA


ANAK
Diagnosis
Gejala selama lebih dari 12 minggu
Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus berupa hidung tersumbat/ obstruksi/
kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior):
nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
penurunan/ hilangnya penghidu

Informasi diagnostik tambahan


pertanyaan tentang alergi harus ditambahkan, tes alergi harus dilakukan
faktor predisposisi lain harus dipertimbangkan: defisiensi imun (dapatan, innate, GERD)
Pemeriksaan
pemeriksaan rongga hidung: edema, hiperemis, pus
pemeriksaan mulut: post nasal drip
singkirkan infeksi gigi geligi
Pemeriksaan THT termasuk nasoendoskopi
Pencitraan
(foto polos sinus paranasal tidak disarankan)
Tomografi komputer juga tidak disarankan kecuali pada keadaan di bawah ini:
penyakit parah
pasien imunokompromais
tanda komplikasi berat (orbita & intrakranial)
Pengobatan haruslah berdasarkan tingkat keparahan sakitnya
Tabel 5. Penatalaksanaan Berbasis Bukti Dan Rekomendasi Untuk Rinosinusitis Kronik
Pada Anak

Penatalaksanaan sesuai fase

Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus pneumoniae dan

Haemophilus influenzae. Diberikan terapi medikamentosa berupa antibiotik empirik

(2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni golongan penisilin atau cotrimoxazol

dan terapi tambahan yakni obat dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk

memperlancar drenase dan analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien

atopi, diberikan antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka

pemberian antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan

maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin

klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi

tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari.

b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau naso-

endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka dilakukan terapi

sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi diagnosis yakni evaluasi

komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah terjadi

komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada sekret

tertahan oleh sumbatan.

Sinusitis Subakut

a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan tindakan,

yaitu diatermi atau pencucian sinus.

b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang sesuai dengan

resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat simptomatis berupa

dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika, anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short Wave

Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk memperbaiki

vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan pencucian sinus.

d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis ethmoid, frontal

atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan tindakan pencucian sinus

cara Proetz(Mangunkusumo,2010).

Sinusitis Kronis

a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang sesuai dan

diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian antibiotik mencukupi 10-

14 hari.

b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut lini II +

terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan, diberikan antibiotik

alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan teruskan antibiotik mencukupi

10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi kembali dengan pemeriksaan naso-

endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak membaik). Jika ada obstruksi kompleks

osteomeatal maka dilakukan tindakan bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika

tidak ada obstruksi maka evaluasi diagnosis.

c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis ethmoid,

frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.

e. Pembedahan

Radikal

Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.

Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.

Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.


Non Radikal

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan membuka dan

membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.

Indikasi: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat ; sinusitis

kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel ; polip ekstensif, adanya

komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur(Mangunkusumo,2010).

H. Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dari sinusitis kronis adalah superimposed sinusitis
akut. Pada anak-anak, keberadaan nanah pada nasofaring dapat menyebabkan
adenoiditis, dan persentase yang tinggi dari pasien tersebut mengembangkan media otitis
serosa atau purulen sekunder. Dacryocystitis dan laryngitis juga dapat terjadi sebagai
komplikasi sinusitis kronis pada anak-anak.

Pasien harus segera diacu ke ahli otolaringologi saat mereka menunjukkan tanda dan /
atau gejala berikut: penglihatan ganda atau penglihatan, proptosis, edema periorbital
yang berkembang pesat, ophthalmoplegia, tanda neurologis fokal, demam tinggi, sakit
kepala parah, iritasi meningeal, atau signifikan atau. Pendarahan hidung rekuren (Brook,
2009).
Komplikasi orbita meliputi selulitis preseptal, abses subperiosteal, selulitis orbital,
abses orbital, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi intrakranial meliputi
meningitis, abses epidural, abses subdural, dan abses otak. Komplikasi lainnya meliputi
pembentukan osteomielitis dan mucocele. (Brook, 2009)
Beberapa penelitian telah menyarankan adanya komplikasi komplikasi yang lebih
tinggi terkait dengan sinusitis jamur (Gupta et al., 2006; , El-Hakim et al., 2006). Sinusitis
kronis yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa, seperti
pada pasien dengan fibrosis kistik (Sharma et al., 1994).
Individu dengan CRS yang tahan terhadap medis menunjukkan tingkat
perkembangan asma yang lebih tinggi. Mereka yang telah menjalani operasi endoskopik
di awal perjalanan mereka tampaknya memiliki penurunan risiko asma (Benninger et al.,
2016).
DAFTAR PUSTAKA

Kuehnel (2003). Color Atlas of Cytology, Histology, and Microscopic Anatomy. 4th ed
Stuttgart: Thieme.
Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung,
tenggorok, kepala dan leher. Edisi keenam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010.h.150-4.
Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody F, et al. European Position
Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinol Suppl. 2012 Mar(23): 1-298.;
www.rhinologyjournal.com; www.ep3os.org.
Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In advanced

Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505

Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the clinician: a
synopsis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011; 86 (5): 427-43

Thomas, M., Yawn, B., Price, D., Lund, V., Mullol, J. and Fokkens, W. (2012). EPOS Primary
Care Guidelines: European Position Paper on the Primary Care Diagnosis and
Management of Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 a summary. Primary Care
Respiratory Journal, 50(2), pp.1-160.

Soepardi, E.A.; Iskandar, Nurbaiti.; Bashiruddin, Jenny.; Restuti,R.D. 2007. a Buku Ajar Ilmu
Kesehatan THT-KL, Edisi 6. Jakarta: Balai penerbit FK UI.

Corbridge, Rogan J. 2011. Essential ENT Second Edition. United Kingdom: CRC Press.

Howard L, M Pais. 2005. Sinus Surgery : Endoscopic and Microscopic Approaches. New
York : Thieme. p 16-19

Ballenger. 2009. Hidung dan Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan,
Kepala, dan Leher; jilid I. Tangerang: Bina Rupa Aksara.

Bambang, S dan Imam, S., 2010. Pemeriksaan Fisis Umum. Di dalam: Aru, W.S. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta Pusat: InternaPublishing, hal. 42-43

Walsh et al, 2006, Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In : Bailey BJ, Johnson JT,
Kohut RI, Pillsbury HC, Tardy ME. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th
Edition. Vol 2. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins.
Stammberger, H., Lund, V.J., 2008. Anatomy of the nose and paranasal sinuses. In:
Browning G.G., et al. Scott-Brown's Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. 7th
ed. Great Britain: Hodder Arnold, 1318-1320.

Staikuniene J., et al, 2008. Association of Chronic Rhinosinusitis With Nasal Polyps and
Asthma : Clinical and Radiological Features, Allergy and Inflamation Markers.
Medicina (Kaunas) Volume 44.

Brook, I., 2009. Microbiology and antimicrobial treatment of orbital and intracranial
complications of sinusitis in children and their management. International journal of
pediatric otorhinolaryngology, 73(9), pp.1183-1186.

Gupta, A.K., Bansal, S., Gupta, A. and Mathur, N., 2006. Is fungal infestation of paranasal
sinuses more aggressive in pediatric population?. International journal of pediatric
otorhinolaryngology, 70(4), pp.603-608.

El-Hakim, H., Malik, A.C., Aronyk, K., Ledi, E. and Bhargava, R., 2006. The prevalence of
intracranial complications in pediatric frontal sinusitis. International journal of
pediatric otorhinolaryngology, 70(8), pp.1383-1387.

Sharma, G.D., Doershuk, C.F. and Stern, R.C., 1994. Erosion of the wall of the frontal sinus
caused by mucopyocele in cystic fibrosis. The journal of Pediatrics, 124(5), pp.745-
747.

Benninger, M.S., Sindwani, R., Holy, C.E. and Hopkins, C., 2016, February. Impact of
medically recalcitrant chronic rhinosinusitis on incidence of asthma. In International
forum of allergy & rhinology (Vol. 6, No. 2, pp. 124-129).

Anda mungkin juga menyukai