Anda di halaman 1dari 173

LAPORAN :

KAJIAN KEBIJAKAN PENENTUAN


PELABUHAN TERTENTU SEBAGAI PINTU
MASUK IMPOR PRODUK TERTENTU

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan


Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Jakarta 2012
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Badan Pengkajian Dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan
Kementerian Perdagangan RI

Jl. M.I. Ridwan Rais No. 5 Jakarta


Gedung Utama Lt. 16
Telp. +62 21 2352 8683 Fax. +62 21 2352 8693
KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN TERTENTU
SEBAGAI PINTU MASUK IMPOR PRODUK TERTENTU

Banyaknya kesepakatan perdagangan bebas yang dilaksanakan Indonesia


dengan negara mitra dialog baik secara bilateral maupun regional menyebabkan tarif
bea masuk preferensi semakin rendah. Saat ini rata-rata tarif bea masuk Indonesia
adalah 7,73%. Rendahnya tarif ini menyebabkan maraknya produk impor masuk ke
pasar dalam negeri, baik berupa produk hasil industri maupun pertanian. Seiring
dengan berjalannya waktu, terdapat kecenderungan kenaikan impor baik untuk produk
industri maupun produk pertanian khususnya produk hortikultura. Pada tahun 2010,
impor barang konsumsi mencapai USD 10 miliar, dan tahun 2011, telah mencapai USD
13,4 miliar. Walaupun impor barang konsumsi ini hanya 7,55 persen dari total impor
Indonesia, namun demikian alangkah baiknya apabila hal ini dapat dipasok oleh industri
di dalam negeri. Impor terbesar didominasi oleh bahan baku penolong (73,80 %) dan
barang modal (18,65 %).
Dalam rangka menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim usaha yang
kondusif dan peningkatan tertib administrasi impor, Kementerian Perdagangan
menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor. 57 tentang ketentuan Impor
Produk Tertentu yang mengatur impor produk makanan dan minuman, obat tradisional
dan herbal, kosmetik, pakaian jadi, alas kaki, elektronika dan mainan anak-anak hanya
dapat dilakukan melalui pelabuhan laut Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas,
Tanjung Perak, Soekarno-Hatta Makassar, Dumai dan Jayapura dan/atau seluruh
pelabuhan udara internasional.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, impor produk makanan dan minuman
mengalami kenaikan 27,61 persen dibandingkan tahun 2010 yaitu dari USD 0,404 miliar
menjadi USD 0,516 miliar. Untuk produk kosmetik kenaikan terjadi sebesar 35,63
persen. yaitu dari USD 0,303 miliar pada tahun 2010 naik menjadi USD 0,411 miliar
pada tahun 2011. Produk pakaian jadi pada tahun 2011 juga mengalami kenaikan
dibadingkan tahun 2010 yaitu sebesar 22,33 persen dari USD 0,234 miliar menjadi USD
0,286 miliar. Adapun untuk produk alas kaki, impor pada tahun 2011 mengalami
kenaikan sebesar 32,30 persen, untuk produk elektronika kenaikan impor tahun 2011
sebesar 13,34 persen dibandingkan tahun 2010. Untuk mainan anak-anak, kenaikan
tahun 2011 adalah sebesar 33,02 persen.
Adapun untuk produk pertanian dalam hal ini produk hortikultura, juga
mengalami kenaikan impor. Selama 5 tahun terakhir (2007-2011), impor produk
hortikultura cenderung mengalami peningkatan sebesar 19,2 persen per tahun. Impor
produk hortikultura terbesar adalah melalui pelabuhan laut Tanjung Priok dengan
pangsa pada tahun 2011 mencapai 64,2 persen dengan nilai USD 1.077 juta, diikuti
oleh pelabuhan laut Tanjung Perak dengan pangsa 23,4 persen, pelabuhan laut
Belawan (5,6 %), Pelabuhan dumai (2%), Pelabuhan Batu Ampar (1,7%) dan bandar
udara Soekarno-Hatta (0,3%). Hampir sebagian besar produk Hortikultura Indonesia
(47,1%) diimpor dari China. Negara asal impor produk Hortikultura Indonesia lainnya
dari Thailand (12,9%), AS (8,3%), India (5,1%), dan Australia (3,2%), dimana keempat
negara tersebut merupakan negara-negara mitra dagang FTA.
Peningkatan impor produk hortikultura tersebut dikhawatirkan tidak hanya
mengancam kelangsungan produksi produk sejenis di dalam negeri, namun juga
mengakibatkan masuknya Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK)
eksotik yang tidak pernah ada di Indonesia, yang pada akhirnya mengakibatkan
turunnya produktifitas produk hortikultura dalam negeri.
Tingginya permintaan impor akan barang konsumsi baik produk hasil industri
maupun pertanian, mengakibatkan kegelisahan di kalangan produsen dalam negeri
karena dapat mengganggu dan mengurangi daya saing barang lokal sejenis di pasar
dalam negeri.
Dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri dan memberikan
perlindungan konsumen serta membantu produsen dalam negeri agar barang lokal
sejenis dapat bersaing dengan barang konsumsi asal impor, diperlukan suatu kebijakan
yang mengatur tentang pelabuhan impor tertentu sebagai pintu masuk produk impor
tertentu. Terkait hal tersebut, tujuan dari kajian ini adalah mengidentifikasi kriteria ideal
penetapan pelabuhan yang ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk hasil industri
dan pertanian/hortikultura, menganalisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan
ditetapkan dengan sentra produksi dan sentra industri dan menganalisis potensi
dampak ekonomi dari kebijakan penetapan pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai
pintu masuk impor produk hasil industri dan pertanian/ hortikultura.
Berdasarkan analisis, kriteria utama dari pelabuhan yang dapat dijadikan pintu
masuk impor produk industri dan hortikultura berturut-turut mulai dari yang paling
prioritas adalah (1) kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan, (2)
kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut , (4)
kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal , dan (5) kriteria Wilayah Perairan untuk
Pelabuhan Laut. Masing-masing kriteria utama tersebut terdiri dari beberapa sub
kriteria dengan bobot/prioritas masing-masing. Hasil penentuan kriteria pelabuhan
tersebut dapat dijadikan rujukan kriteria bagi pengambil keputusan untuk menentukan
pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk hortikultura dan
industri.
Dari hasil penilaian survey pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung
Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) secara umum
pelabuhan-pelabuhan tersebut telah memenuhi standar pada kriteria prioritas pertama
(Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan ) dan kriteria prioritas kedua
(Ketersediaan Sumberdaya Manusia). Di lain pihak pada kriteria lainnya yaitu kriteria
Fasilitas Pelabuhan Lau; kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan kriteria Wilayah
Perairan untuk Pelabuhan Laut secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut belum
memenuhi standar.
Apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung Perak
Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) akan dijadikan pintu masuk
produk-produk hortikultura dan industri, saran top prioritas yang harus diperbaikinya di
seluruh pelabuhan tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal. Khususnya di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan karena pelabuhan-pelabuhan
tersebut berada di sentra produksi terbesar dari produk-produk hortikultura yang
tercakup pada Permentan No.89 Tahun 201. Sementara Batam, termasuk sentra
produksi produk-produk industri dan memiliki fasilitas distribusi yang baik untuk
distribusi ke seluruh wilayah Indonesia.
Nilai negatif proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan Tanjung Perak,
Belawan Medan dan Batam lebih tinggi dibandingkan dengan pelabuhan sampel
lainnya sehingga untuk memproteksinya diperlukan peraturan khusus sebagaimana
diterapkan di Jawa Timur. Dalam hal ini Propinsi Jawa Timur untuk
meningkatkan proteksi terhadap produk hortikultura lokalnya telah menerapkan
Peraturan Gubernur Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk
Import Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim. Efektifitas dari
regulasi ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kumunikasi antara Gubernur
dalam memberikan masukan kepada Menteri Pertanian tentang waktu, jenis dan
jumlah ketersediaan produk-produk hortikultura di Jatim. Selanjutnya masukan tersebut
menjadi bahan pertimbangan Mentan dalam memberikan rekomendasi kepada Menteri
Perdagangan.
Berdasarkan analisis kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan Ditetapkan
dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri, maka wilayah yang sangat sensitif
dijadikan pintu masuk impor buah-buahan dan sayuran segar berdasarkan Permentan
No.89 adalah Tanjung Perak (Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena
kedua wilayah tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah produsen
terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia.
Selain itu, dari pintu masuk pelabuhan Tanjung Perak (Jawa Timur) juga pasti akan
mempengaruhi daerah produsen terbesar kedua dari produksi buah-buahan dan
sayuran segar di Indonesia yaitu Jawa Barat. Dengan demikian, penetapan Tanjung
Perak dan Belawan sebagai pintu masuk masuk impor produk buah-buahan dan
sayuran segar di Indonesia berdasarkan Permentan No.89 menjadi sangat sensitif
terhadap daya saing produk buah-buahan dan sayuran segar lokal yang dihasilkan di
wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara. Kondisi Tanjung Perak (Jawa
Timur) ini diperparah oleh perkembangan produksi buah-buahan dan sayuran segar
yang tercakup dalam Permentan No.89 yang terus menurun drastis selama periode
2008-2010 yaitu menurun sebesar 17,4% per tahun. Nampaknya pintu masuk Tanjung
Perak di Wilayah Jawa Timur ini juga memiliki dampak juga terhadap daya saing
produk-produk buah-buahan dan sayuran segar di daerah Jawa Barat, yang ternyata
telah mengalami trend penurunan produksi yang cukup menyolok yang produksinya
menurun sebesar 19,6% per tahun.
Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing produk lokal, maka
pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam (Riau), Belawan (Sumut) dan
Tanjung Perak (Surabaya). Dua pelabuhan lainnya yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno
Hatta (Makasar), nilai sensitivitasnya medium sehingga diperkirakan tidak memberikan
dampak negatif yang besar terhadap daya saing produk lokal. Walaupun Batam,
bukan termasuk wilayah sentra produksi utama buah-buahan dan sayuran segar di
Indonesia, namun nilai sensitivitasnya yang tinggi terkait dengan adanya kemudahan
faslitas dalam mendistribusikan buah-buahan dan sayuran segar dari Batam ke
seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, Batam termasuk salah satu wilayah produksi
produk-produk industri.
Alasan yang paling utama kenapa para pelaku usaha melakukan impor produk
hortikultura dan industri adalah untuk memenuhi permintaan konsumen. Alasan penting
urutan kedua dari melakukan impor produk-produk hortikultura dan industri adalah
karena konsisten dalam supplynya lebih terjamin. Selanjutnya, alasan lainnya dengan
derajat kepentingan urutan ketiga, dan keempat berturut turut adalah mutu produk
impor yang lebih baik; dan harganya lebih murah.
Dari analisis semantic differential, diketahui bahwa daya saing produk
hortikultura lokal ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Atribut-
atribut dari produk hortikultura lokal yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai
dari yang sangat urgent adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan
kesegaran, (3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai
masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Demikian pula daya saing produk
industri lokal ternyata lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Atribut-atribut
dari produk industri lokal yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang
sangat urgent adalah (1) merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4)
kemasan/packaging produk.
Untuk meningkatkan daya saing produk lokal, faktor-faktor yang termasuk prioritas
pertama untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan distribusi khususnya supply chain
untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor
untuk lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)
penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamanan investasi.
Para pihak yang diperkirakan akan diuntungkan atau menerima dampak positif
dari kebijakan penetapan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk produk-produk
tertentu ini berturut-turut mulai dari yang paling besar menerima dampak positifnya
adalah (1) para produsen dalam negeri, (2) pemerintah dan (3) para eksportir. Di lain
pihak, stakeholders yang berpotensi akan menerima dampak negatif dari kebijakan ini
brturut-turut mulai dari pihak yang menerima dampak negatif paling besar adalah (1)
para importir, (2) industri pengolah, dan (3) para konsumen di dalam negeri. Namun
demikian, secara sistem, kebijakan ini diperkirakan akan dapat memberikan dampak
positif secara nasional yang relatif tidak besar.
Untuk menetapkan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk produk-produk
hortikultura dan industri, kriteria utama yang perlu dijadikan dasar penetapan tersebut
berturut-turut mulai dari yang paling prioritas adalah (1) kriteria Keamanan, Ketahanan,
dan Pelayanan Pelabuhan, (2) kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria
Fasilitas Pelabuhan Laut , (4) kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal , dan (5) kriteria
Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut.
Berdasarkan analisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan
dengan sentra produksi hortikultura dan sentra industri, maka pelabuhan yang sangat
sensitif dijadikan pintu masuk impor adalah Tanjung Perak (Jawa Timur), Belawan
(Sumatera Utara) dan Batam. Oleh karena itu, di pelabuhan-pelabuhan tersebut perlu
diback up oleh peraturan daerah (Gubernur) dan peraturan lainnya untuk lebih
melindungi daya saing produk lokalnya yang masih jauh lebih rendah dibandingkan
produk impor.
Untuk meningkatkan daya saing, atribut-atribut produk hortikultura lokal yang
harus segera diperbaiki adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan
kesegaran, (3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai
masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Untuk produk industri lokal,
atribut-atribut produk yang harus segera diperbaiki berturut-turut dalah (1) merk/brand;
(2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4) kemasan/packaging produk. Untuk
meningkatkan daya saing produk lokal, faktor-faktor yang termasuk prioritas pertama
untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan distribusi khususnya supply chain untuk
meningkatkan kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk
lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)
penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.
Pemindahan pintu masuk impor produk hortikultura dari Pelabuhan Tanjung
Priok ke pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya pengangkutan produk.
Pemindahan pintu masuk impor akan menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 80 - 100
juta/kontainer 40 untuk produk hortikultura. Sedangkan untuk produk industri akan
menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 50 - 77 juta/kontainer 40.
Rekomendasi yang dapat disampaikan adalah perbaikan yang perlu dilakukan
agar pelabuhan yang disurvei memenuhi kriteria sebagai pelabuhan impor adalah
meningkatkan Fasilitas Pelabuhan Laut dan Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut,
dan apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan, Tanjung Perak
Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado) akan dijadikan pintu masuk
produk-produk hortikultura dan industri, saran prioritas utama yang harus diperbaikinya
di seluruh willayah pelabuhan tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal.
Khususnya di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan karena pelabuhan-
pelabuhan tersebut berada di sentra produksi terbesar dari produk-produk hortikultura
yang tercakup pada Permentan No.89 Tahun 2011.
Untuk meningkatkan daya saing, atribut-atribut produk hortikultura lokal yang harus
segera diperbaiki adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan kesegaran,
(3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai masih lebih
mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Untuk produk industri lokal, atribut-atribut
produk yang harus segera diperbaiki berturut-turut dalah (1) merk/brand; (2) kualitas
produk; (3) model/tipe produk; dan (4) kemasan/packaging produk. Untuk
meningkatkan daya saing produk industri lokal, faktor-faktor yang termasuk prioritas
pertama untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan distribusi khususnya supply chain
untuk meningkatkan kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor
untuk lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)
penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.
Secara total, kebijakan ini diperkirakan tetap akan dapat memberikan dampak
positif secara nasional. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk terus
diimplementasikan secara efektif, dievaluasi secara periodik, dan disempurnakan serta
diperkuat dengan peraturan-peraturan lainnya untuk meningkatkan efektifitasnya dalam
meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan industri lokal.
Untuk memproteksi produk-produk industri lokal di pasar Dalam Negeri yang
daya saingnya masih lebih rendah dibandingkan produk-produk impor, diperlukan
peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non tariff barriers antara lain
persyaratan sertifikat halal dan keamanan pangan untuk produk-produk makanan dan
minuman; penerapan SNI wajib serta pemberian ijin impor yang lebih selektif. Tentunya
rekomendasi dari Kementrian terkait juga harus lebih selektif.
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan dan kemudahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan kajian ini dengan baik dan sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan.
Tingginya permintaan impor akan barang konsumsi baik produk hasil
industri maupun pertanian, mengakibatkan kegelisahan di kalangan produsen
dalam negeri karena dapat mengganggu dan mengurangi daya saing barang lokal
sejenis di pasar dalam negeri. Dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri
dan memberikan perlindungan konsumen serta membantu produsen dalam negeri
agar barang lokal sejenis dapat bersaing dengan barang konsumsi asal impor,
diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang pelabuhan impor tertentu
sebagai pintu masuk produk impor tertentu. Penentuan pelabuhan tertentu sebagai
pintu masuk impor produk tertentu, memerlukan perbaikan diantaranya yaitu
peningkatan dayasaing produk local, khususnya di pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya, Belawan Medan karena pelabuhan-pelabuhan tersebut berada di sentra
produksi terbesar dari produk-produk hortikultura.
Secara total, kebijakan penentuan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk
impor produk tertentu ini diperkirakan tetap akan dapat memberikan dampak
positif secara nasional. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk terus
diimplementasikan secara efektif, dievaluasi secara periodik, dan disempurnakan
serta diperkuat dengan peraturan-peraturan lainnya untuk meningkatkan
efektifitasnya dalam meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan
industri lokal.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran diharapkan dari semua pihak untuk tahap
pengembangan dan penyempurnaan kajian ini di masa yang akan datang. Besar
harapan penulis bahwa informasi sekecil apapun yang terdapat dalam kajian ini
dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Jakarta, Desember 2012
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

i
DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar .......................................................................................... i

Daftar Isi.................................................................................................... ii

Daftar Tabel .............................................................................................. vi

Daftar Gambar ........................................................................................... x

Daftar Lampiran ........................................................................................ xix

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ..................................................... 5

1.3 Tujuan Kajian ................................................................. 5

1.4 Output dan Manfaat Penelitian....................................... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian .............................................. 6

1.6 Sistematika Penulisan .................................................... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan Internasional.................................... 8

2.1.1 Manfaat Melakukan Perdagangan Internasional ............ 8

2.1.2 Sebab-sebab Terjadinya Perdagangan Internasional ...... 9

2.1.3 Ketentuan Perdagangan Internasional ............................ 11

2.1.3.1 Bidang Ekspor ................................................................ 11

2.1.3.2 Bidang Impor ................................................................. 12

2.1.4 Jenis-jenis Perdagangan Internasional ........................... 13

2.1.5 Keunggulan Bersaing ..................................................... 16

2.1.6 Daya Saing Produk ......................................................... 21

ii
2.2 Teori Pelabuhan ............................................................. 30

2.2.1 Pengertian Pelabuhan ..................................................... 30

2.2.2 Jenis-jenis Pelabuhan ..................................................... 31

2.2.3 Fasilitas Pelabuhan ......................................................... 34

2.2.4 Pihak-pihak di Pelabuhan............................................... 37

2.3 Karantina ........................................................................ 37

2.3.1 Tujuan, Ruang Lingkup, dan Proses .............................. 37

2.3.2 Sarana Karantina ............................................................ 38

2.4 Logistik .......................................................................... 41

2.5 Penelitian Sebelumnya ................................................... 48

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran ....................................................... 53

3.2 Jenis dan Sumber Data ................................................... 54

3.3 Metode Analisis Data ..................................................... 55

3.3.1 Analisis Multi Atribut Angka Ideal dan Semantic

Differential ..................................................................... 55

3.3.2 Metode Pembobotan Eckenrode .................................... 57

BAB IV. GAMBARAN UMUM .................................................. 59

4.1 Kondisi Pelabuhan di Indonesia ..................................... 59

4.2 Kondisi Industri Elektronika dan Makanan ................... 65

4.3 Kondisi Produk Hortikultura .......................................... 75

4.4 Kondisi Daerah yang Menjadi dan Diusulkan sebagai

Pintu Masuk Impor Produk Tertentu ............................. 81

4.4.1 Bitung Manado ............................................................ 81

iii
4.4.2 Surabaya ......................................................................... 83

4.4.3 Medan............................................................................. 85

4.4.4 Makassar ........................................................................ 87

4.4.5 Batam ............................................................................. 88

4.4.6 Mataram ......................................................................... 90

4.5 Kondisi Port of Rotterdam ............................................. 91

4.6 Kondisi Port of Singapore .............................................. 93

BAB V. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN


TERTENTU SEBAGAI PINTU MASUK PRODUK
TERTENTU

5.1 Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai Pintu


Masuk Impor Produk Hasil Industri dan
Pertanian/Hortikultura .................................................... 96

5.2 Hasil Penilaian Pelabuhan sebagai Pintu Masuk Impor


Produk Industri dan Hortikultura ................................... 101

5.2.1 Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya .............................. 103

5.2.2 Pelabuhan Bitung, Manado ............................................ 106

5.2.3 Pelabuhan Belawan, Medan ........................................... 109

5.2.4 Pelabuhan Sukarno Hatta, Makassar .............................. 112

5.2.5 Pelabuhan Batam ............................................................ 116

5.3 Kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang Akan Ditetapkan


dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri .................. 120

5.4 Daya Saing Produk Impor terhadap Produk Lokal ........ 123

5.5 Daya Saing Produk Hortikultura dan Industri Lokal ..... 124

5.6 Prioritas Penanganan Bidang Masalah ........................... 127

5.7 Penilaian Potensi Dampak Kebijakan ............................ 128

iv
5.8 Analisis Dampak Potensi Ekonomi Kebijakan Penetapan
Pelabuhan Tertentu sebagai Pintu Masuk Impor Produk
Tertentu .......................................................................... 129

5.8.1 Produk Hortikultura ....................................................... 129

5.8.2 Produk Hasil Industri (Makanan dan Elektronika) ........ 135

5.9 Dampak Permendag No. 57 Tahun 2010 terhadap


Perkembangan Impor Produk Industri ........................... 141

BAB VI. PENUTUP

6.1 Kesimpulan .................................................................... 144

6.2 Rekomendasi .................................................................. 148

v
DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 4.1 Cakupan Wilayah dan Pelabuhan dibawah Pengaturan


Perum Pelabuhan ............................................................... 60

Tabel 4.2 Data Kinerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama :


Kargo Dalam Negeri ......................................................... 63

Tabel 4.3 Rasio Waktu Kerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama 64

Tabel 4.4 Perkembangan Luas Panen Komoditas Hortikultura Lingkup


Permentan No. 89 Tahun 2012.......................................... 76

Tabel 4.5 Perkembangan Produksi Produk Holtikultura Lingkup


Permentan No. 89 Tahun 2012.......................................... 78

Tabel 4.6 Produksi Produk Hortikultura Lingkup Permentan No. 89


Tahun 2012 di Beberapa Sentra Produksi ......................... 79

Tabel 5.1 Prioritas Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai


Pintu Masuk Impor Produk Hasil Industri dan Hortikultura 97

Tabel 5.2 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelabuhan ................ 97

Tabel 5.3 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Sumber Daya Manusia ......................................... 98

Tabel 5.4 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut ...................................... 99

Tabel 5.5 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal........................... 100

Tabel 5.6 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Wilayah Perairan Pelabuhan Laut ....................... 101

Tabel 5.7 Hasil Penilaian Kriteria pada Pelabuhan Bitung, Tanjung


Perak dan Tanjung Priok ................................................... 102

Tabel 5.8 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Tanjung Perak untuk


Dijadikan sebagai Pintu Masuk Produk Industri
dan Hortikultura ............................................................... 103

vi
Tabel 5.9 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah
Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan
Tanjung Perak ................................................................... 104

Tabel 5.10 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,


Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan
Tanjung Perak ................................................................... 105

Tabel 5.11 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan Laut di Pelabuhan Tanjung Perak.................... 105

Tabel 5.12 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Bitung sebagai


Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura ................. 107

Tabel 5.13 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan Laut di Pelabuhan Bitung Manado .................. 107

Tabel 5.14 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah


Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan
Bitung Manado .................................................................. 108

Tabel 5.15 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Belawan Medan


untuk sebagai Pintu Masuk Produk Industri
dan Hortikultura ................................................................ 110

Tabel 5.16 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah


Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan
Belawan Medan ................................................................. 110

Tabel 5.17 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan Laut di Pelabuhan Belawan Medan ................. 111

Tabel 5.18 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,


Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan
Belawan Medan ................................................................. 112

Tabel 5.19 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Sukarno Hatta


untuk sebagai Pintu Masuk Produk Industri
dan Hortikultura ................................................................ 113

Tabel 5.20 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah


Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno
Hatta Makassar .................................................................. 114

vii
Tabel 5.21 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas
Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno Hatta Makassar.... 115

Tabel 5.22 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,


Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan
Sukarno Hatta .................................................................... 116

Tabel 5.23 Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Batam untuk sebagai


Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura ................. 118

Tabel 5.24 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam ..... 119

Tabel 5.25 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah


Perairan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam ........ 120

Tabel 5.26 Daftar Produk Hortikultura yang Tercakup dalam


Permentan No. 89 Tahun 2011.......................................... 122

Tabel 5.27 Produksi Produk Hortikultura yang Tercakup dalam


Permentan No. 89 Tahun 2011 di Wilayah Propinsi
Pelabuhan Masuk .............................................................. 122

Tabel 5.28 Nilai Sensitivitas Terhadap Daya Saing Produk Lokal


Dari Masing-masing Pelabuhan Masuk ............................ 123

Tabel 5.29 Alasan Melakukan Impor dari Para Pelaku Usaha


Hortikultura dan Industri ................................................... 123

Tabel 5.30 Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran


Daya Saing Produk Hortikultura Impor Dibandingkan dengan
Produk Lokal ..................................................................... 125

Tabel 5.31 Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran


Daya Saing Produk Industri Impor Dibandingkan dengan
Produk Lokal ..................................................................... 127

Tabel 5.32 Perkiraan Potensi Dampak Kebijakan ............................... 129

Tabel 5.33 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura


dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke Jakarta ........ 131

Tabel 5.34 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura


dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta ...................... 132

viii
Tabel 5.35 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura
dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta ................................. 133

Tabel 5.36 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura


dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta ....................... 134

Tabel 5.37 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-


Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Tanjung Perak,
Surabaya ke Jakarta ........................................................... 137

Tabel 5.38 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-


Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Belawan, Medan
ke Jakarta........................................................................... 138

Tabel 5.39 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-


Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Makassar
ke Jakarta........................................................................... 139

Tabel 5.40 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-


Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Bitung, Manado
ke Jakarta........................................................................... 140

ix
DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1.1 Perkembangan Impor Produk Hasil Industri Sesuai


Permendag No. 57 tahun 2010 .......................................... 2

Gambar 1.2 Perkembangan Impor Produk Hortikultura ...................... 3

Gambar 1.3 Impor Produk Hortikultura Berdasarkan Pelabuhan ......... 4

Gambar 2.1 Sistem Logistik ................................................................. 41

Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Pembentuk Sistem Logistik 42

Gambar 2.3 Aliran Informasi Logistik.................................................. 47

Gambar 3.1 Kerangka Pikir .................................................................. 54

Gambar 4.1 Neraca Perdagangan Produk Elektronika ......................... 74

Gambar 4.2 Neraca Perdagangan Produk Makanan dan Minuman ...... 75

Gambar 4.3 Neraca Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia ........ 80

Gambar 4.4 Perkembangan Ekspor Impor Produk Buah-buahan ......... 80

Gambar 4.5 Perkembangan Ekspor Impor Produk Sayuran ................. 81

Gambar 5.1 Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Hortikultura


Ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi
Pelabuhan Impor ............................................................... 135

Gambar 5.2 Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Makanan dan


Elektronika ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi
Pelabuhan Impor ............................................................... 141

Gambar 5.3 Perkembangan Impor Produk-produk Industri ................. 143

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Banyaknya kesepakatan perdagangan bebas yang dilaksanakan
Indonesia dengan negara mitra dialog baik secara bilateral maupun
regional menyebabkan tarif bea masuk preferensi semakin rendah. Saat ini
rata-rata tarif bea masuk Indonesia adalah 7,73%. Rendahnya tarif ini
menyebabkan maraknya produk impor masuk ke pasar dalam negeri, baik
berupa produk hasil industri maupun pertanian. Seiring dengan berjalannya
waktu, terdapat kecenderungan kenaikan impor baik untuk produk industri
maupun produk pertanian khususnya produk hortikultura. Pada tahun 2010,
impor barang konsumsi mencapai USD 10 miliar, dan tahun 2011, telah
mencapai USD 13,4 miliar. Walaupun impor barang konsumsi ini hanya
7,55 persen dari total impor Indonesia, namun demikian alangkah baiknya
apabila hal ini dapat dipasok oleh industri di dalam negeri. Impor terbesar
didominasi oleh bahan baku penolong (73,80 %) dan barang modal (18,65
%).
Dalam rangka menciptakan perdagangan yang sehat dan iklim
usaha yang kondusif dan peningkatan tertib administrasi impor,
Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor. 57 tentang ketentuan Impor Produk Tertentu yang mengatur impor
produk makanan dan minuman, obat tradisional dan herbal, kosmetik,
pakaian jadi, alas kaki, elektronika dan mainan anak-anak hanya dapat
dilakukan melalui pelabuhan laut Belawan, Tanjung Priok, Tanjung Emas,
Tanjung Perak, Soekarno-Hatta Makassar, Dumai dan Jayapura dan/atau
seluruh pelabuhan udara internasional.
Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, impor produk makanan
dan minuman mengalami kenaikan 27,61 persen dibandingkan tahun 2010
yaitu dari USD 0,404 miliar menjadi USD 0,516 miliar. Untuk produk
kosmetik kenaikan terjadi sebesar 35,63 persen. yaitu dari USD 0,303 miliar

1
pada tahun 2010 naik menjadi USD 0,411 miliar pada tahun 2011. Produk
pakaian jadi pada tahun 2011 juga mengalami kenaikan dibadingkan tahun
2010 yaitu sebesar 22,33 persen dari USD 0,234 miliar menjadi USD 0,286
miliar. Adapun untuk produk alas kaki, impor pada tahun 2011 mengalami
kenaikan sebesar 32,30 persen, untuk produk elektronika kenaikan impor
tahun 2011 sebesar 13,34 persen dibandingkan tahun 2010. Untuk mainan
anak-anak, kenaikan tahun 2011 adalah sebesar 33,02 persen.
Perkembangan impor produk-produk tersebut sebagaimana terlihat pada
gambar 1.1.

Gambar 1.1. Perkembangan Impor Produk Hasil Industri


Sesuai Permendag No. 57 Tahun 2010
2007 2008 2009 2010 2011

6,00

5,00

4,00

3,00
Juta USD

2,00

1,00

-
ManMin Obat Kosmetik Pakaian Alas Kaki Elektronika Mainan
2007 0,31 0,07 0,19 0,10 0,06 1,30 0,06
2008 0,43 0,09 0,26 0,18 0,10 3,20 0,08
2009 0,31 0,10 0,23 0,17 0,07 3,25 0,06
2010 0,40 0,09 0,30 0,23 0,12 4,49 0,08
2011 0,52 0,08 0,41 0,29 0,16 5,09 0,10

Sumber:BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Adapun untuk produk pertanian dalam hal ini produk hortikultura,


juga mengalami kenaikan impor. Selama 5 tahun terakhir (2007-2011),
impor produk hortikultura cenderung mengalami peningkatan sebesar 19,2
persen per tahun.

2
Sebagaimana terlihat pada gambar 1.2, perkembangan impor produk
hortikultura semakin meningkat setiap tahunnya baik untuk kelompok buah-
buahan, sayuran, tanaman hias maupun tanaman obat.

Gambar 1.2
Perkembangan Impor Produk Hortikultura

Sumber:BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Pada gambar 1.3 menunjukkan bahwa impor produk hortikultura


terbesar adalah melalui pelabuhan laut Tanjung Priok dengan pangsa pada
tahun 2011 mencapai 64,2 persen dengan nilai USD 1.077 juta, diikuti oleh
pelabuhan laut Tanjung Perak dengan pangsa 23,4 persen, pelabuhan laut
Belawan (5,6 %), Pelabuhan dumai (2%), Pelabuhan Batu Ampar (1,7%)
dan bandar udara Soekarno-Hatta (0,3%).

3
Gambar 1.3
Impor Produk Hortikultura Berdasarkan Pelabuhan

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Hampir sebagian besar produk Hortikultura Indonesia (47,1%)


diimpor dari China. Negara asal impor produk Hortikultura Indonesia lainnya
dari Thailand (12,9%), AS (8,3%), India (5,1%), dan Australia (3,2%),
dimana keempat negara tersebut merupakan negara-negara mitra dagang
FTA.
Peningkatan impor produk hortikultura tersebut dikhawatirkan tidak
hanya mengancam kelangsungan produksi produk sejenis di dalam negeri,
namun juga mengakibatkan masuknya Organisme Pengganggu Tumbuhan
Karantina (OPTK) eksotik yang tidak pernah ada di Indonesia, yang pada
akhirnya mengakibatkan turunnya produktifitas produk hortikultura dalam
negeri.
Tingginya permintaan impor akan barang konsumsi baik produk hasil
industri maupun pertanian, mengakibatkan kegelisahan di kalangan
produsen dalam negeri karena dapat mengganggu dan mengurangi daya
saing barang lokal sejenis di pasar dalam negeri.
Dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri dan memberikan
perlindungan konsumen serta membantu produsen dalam negeri agar

4
barang lokal sejenis dapat bersaing dengan barang konsumsi asal impor,
diperlukan suatu kebijakan yang mengatur tentang pelabuhan impor
tertentu sebagai pintu masuk produk impor tertentu. Terkait hal tersebut,
akan dilakukan kajian yang komprehensif tentang kebijakan penentuan
pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor produk tertentu.

1.2. Pertanyaan Penelitian


Kajian ini dilakukan dalam rangka untuk menjawab beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana kriteria pelabuhan yang dapat ditetapkan sebagai pintu
masuk impor produk hasil industri dan pertanian/hortikultura.
b. Bagaimana kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan
dengan sentra produksi dan sentra industri.
c. Bagaimana potensi dampak ekonomi kebijakan penetapan pelabuhan
tertentu yang ditunjuk sebagai pintu masuk impor produk hasil industri
dan pertanian/hortikultura.

1.3. Tujuan Kajian


Tujuan kajian ini adalah:
a. Mengidentifikasi kriteria ideal penetapan pelabuhan yang ditetapkan
sebagai pintu masuk impor produk hasil industri dan
pertanian/hortikultura.
b. Menganalisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan
dengan sentra produksi dan sentra industri.
c. Menganalisis potensi dampak ekonomi dari kebijakan penetapan
pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk
hasil industri dan pertanian/ hortikultura

5
1.4. Output dan Manfaat Penelitian
Adapun output dari kajian ini adalah laporan hasil kajian yang
komprehensif tentang pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor produk
tertentu. Hasil kajian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pemangku
kepentingan (stakeholders) dalam memperoleh gambaran dan informasi
tentang kriteria ideal penetapan pelabuhan impor dan potensi dampaknya
dari kebijakan penentuan pelabuhan impor tertentu untuk produk impor
tertentu, yang diharapkan akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan
bagi kebijakan penentuan pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor
produk tertentu (produk hasil industri dan pertanian/hortikultura).

1.5. Ruang Lingkup Penelitian


Adapun ruang lingkup kajian yang akan dilakukan adalah sebagai
berikut:
a. Aspek Produk
Produk-produk hasil industri yaitu produk elektronika dan produk
makanan minuman dan produk pertanian khususnya hortikultura yaitu
buah dan sayuran.
b. Aspek Ekonomi
i. Analisis kinerja perdagangan produk hasil industri dan produk
holtikultura
ii. Identifikasi kriteria ideal untuk penentuan pelabuhan impor untuk
produk impor tertentu
iii. Analisis kesesuaian penentuan pelabuhan yang akan ditetapkan
dengan sentra produksi dan sentra industri
iv. Analisis potensi dampak ekonomi dari kebijakan penetapan
pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor produk
hasil industri dan pertanian/ hortikultura.

6
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika dari penulisan laporan kajian ini disusun sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini mencakup latar belakang dilakukannya kegiatan Kajian Kebijakan
Penentuan Pelabuhan Tertentu sebagai Pintu Masuk Impor Produk
Tertentu, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, output dan manfaat
penelitian, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Bab ini mengulas teori mengenai perdagangan internasional,
kepelabuhanan, daya saing dan kebijakan impor.
Bab III Metodologi Penelitian
Bab ini meliputi kerangka pemikiran, metode analisis yang digunakan, dan
jenis dan sumber data yang akan digunakan dalam kegiatan analisis.
Bab IV Gambaran Umum Kinerja Impor Produk Hasil Industri dan
Produk Holtikultura
Bab ini mendeskripsikan perkembangan impor Produk Hasil Industri dan
Produk Holtikultura.
Bab V Analisis Kebijakan Penentuan Pelabuhan Tertentu Sebagai Pintu
Masuk Produk Tertentu
Bab ini menjelaskan mengenai kriteria ideal pelabuhan impor untuk produk
industri dan produk hortikultura, kesesuaian pelabuhan dengan sentra
produksi dan sentra industri serta analisis dampak potensial penentuan
pelabuhan impor tertentu sebagai pintu masuk impor produk industri dan
hortikultura.
Bab VI Kesimpulan dan Saran
Bab ini menyimpulkan keseluruhan hasil kajian dan memberikan saran
rekomendasi kriteria yang ideal untuk menentukan pelabuhan sebagai pintu
masuk impor produk hasil industri dan produk hortikultura serta upaya untuk
mengatasi potensi dampak yang akan timbul.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Perdagangan Internasional


Perdagangan Internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar
kesepakatan bersama. Penduduk yang dmaksud dapat berupa antar
perorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah
suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara
lain. Bila dibandingkan dengan pelaksanaan perdagangan di dalam negeri,
maka perdagangan internasional sangatlah rumit dan kompleks. Kerumitan
ini disebabkan oleh faktor-faktor antara lain:
Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan
Barang harus dikirim dan diangkut dari suatu negara kenegara lainnya
melalui bermacam peraturan seperti pabean, yang bersumber dari
pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah.
Antara satu negara dengan negara lainnya terdapat perbedaan dalam
bahasa, mata uang, taksiran dan timbangan, hukum dalam
perdagangan dan sebagainya.

2.1.1. Manfaat Melakukan Perdagangan Internasional


Setiap negara yang melakukan perdagangan dengan negara lain
tetntu akan memperoleh manfaat bagi negara tersebut. Manfaat tersebut
antara lain:
Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri
Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di
setiap negara. Faktor-faktor tersebut diantaranya: Kondisi geografi,
iklim, tingkat penguasaan IPTEK dan lain-lain. Dengan adanya
perdagangan internasional, setiap negara mampu memenuhi
kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.
Memperoleh keuntungan dari spesialisasi

8
Sebab utama kegiatan perdagangan luar negeri adalah untuk
memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh spesialisasi. Walaupun
suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang sama jenisnya
dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih baik
apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar
negeri.Sebagai contoh:Amerika Serikat dan Jepang mempunyai
kemampuan untuk memproduksi kain. Akan tetapi, Jepang dapat
memproduksi dengan lebih efisien dari Amerika Serikat. Dalam
keadaan seperti ini, untuk mempertinggi keefisienan penggunaan
faktor-faktor produksi, Amerika Serikat perlu mengurangi produksi
kainnya dan mengimpor barang tersebut dari Jepang. Dengan
mengadakan spesialisasi dan perdagangan, setiap negara dapat
memperoleh keuntungan sebagai berikut
Faktor-faktor produksi yang dimiliki setiap negara dapat digunakan
dengan lebih efisien. Setiap negara dapat menikmati lebih banyak
barang dari yang dapat diproduksi dalam negeri.
Memperluas Pasar dan Menambah Keuntungan
Terkadang, para pengusaha tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat
produksinya) dengan maksimal karena mereka khawatir akan terjadi
kelebihan produksi, yang mengakibatkan turunnya harga produk
mereka. Dengan adanya perdagangan internasional, pengusaha dapat
menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual kelebihan
produk tersebut keluar negeri.
Transfer teknologi modern
Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu negara untuk
mempelajari teknik produksi yang lebih efisien dan cara-cara
manajemen yang lebih moderen.

2.1.2. Sebab-sebab Terjadinya Perdagangan Internasional


Setiap negara dalam kehidupan di dunia ini pasti akan melakukan
interaksi dengan negara-negara lain di sekitarnya. Biasanya bentuk kerja

9
sama atau interaksi itu berbentuk perdagangan antar negara atau yang
lebih dikenal dengan istilah perdagangan internasional. Beberapa alasan
yang menyebabkan terjadinya perdagangan antar negara (perdagangan
internasional) antara lain:
Revolusi Informasi dan Transportasi
Ditandai dengan berkembangnya era informasi teknologi, pemakaian
sistem berbasis komputer serta kemajuan dalam bidang informasi,
penggunaan satelit serta digitalisasi pemrosesan data, berkembangnya
peralatan komunikasi serta masih banyak lagi.
Interdependensi Kebutuhan
Masing-masing negara memiliki keunggulan serta kelebihan di masing-
masing aspek, bisa di tinjau dari sumber daya alam, manusia, serta
teknologi. Kesemuanya itu akan berdampak pada ketergantungan
antara negara yang satu dengan yang lainnya.
Liberalisasi Ekonomi
Kebebasan dalam melakukan transaksi serta melakukan kerja sama
memiliki implikasi bahwa masing-masing negara akan mencari peluang
dengan berinteraksi melalui perdagangan antar negara.
Asas Keunggulan Komparatif
Keunikan suatu negara tercermin dari apa yang dimiliki oleh negara
tersebut yang tidak dimiliki oleh negara lain. Hal ini akan membuat
negara memiliki keunggulan yang dapat diandalkan sebagai sumber
pendapatan bagi negara tersebut.
Kebutuhan Devisa
Perdagangan internasional juga dipengaruhi oleh faktor kebutuhan
akan devisa suatu negara. Dalam memenuhi segala kebutuhannya
setiap negara harus memiliki cadangan devisa yang digunakan dalam
melakukan pembangunan, salah satu sumber devisa adalah
pemasukan dari perdagangan internasional.

10
2.1.3. Ketentuan Perdagangan Internasional
Membahas tentang perdagangan internasional tentunya tidak
terlepas dari pembicaraan mengenai kegiatan ekspor-impor. Dalam
melakukan kegiatan ekspor impor tersebut perlu diperhatikan ketentuan-
ketentuan yang berlaku di bidang tersebut.
2.1.3.1. Bidang Ekspor
Ketentuan umum di bidang ekspor biasanya meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan proses pengiriman barang ke luar negeri. Ketentuan
tersebut meliputi antara lain:
Ekspor
Perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam ke luar
wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuanyang
berlaku.
Syarat-syarat Ekspor
Syarat-syarat Ekspor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan
Umum Di Bidang Ekspor adalah sebagai berikut:
Memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
Mendapat izin usaha dari Kementerian Teknis/Lembaga
Pemerintah Non-Kementerian
Tanda Daftar Perusahaan
Nomor Pokok Wajib Pajak
Eksportir
Pengusaha yang dapat melakukan ekspor, yang telah memiliki SIUP
atau izin usaha dari Kementeriann Teknis/Lembaga Pemerintah
Non-Kementerian berdasarkan ketentuan yang berlaku.
Eksportir Terdaftar (ET)
Perusahaan yang telah mendapat pengakuan dari Menteri
Perdagangan untuk mengekspor barang tertentu sesuai ketentuan
yang berlaku.

11
Barang Ekspor
Seluruh jenis barang yang terdaftar sebagai barang ekspor dan
sesuai dengan ketentuan perpajakan dan kepabeanan yang berlaku.

2.1.3.2. Bidang Impor


Ketentuan umum di bidang Impor biasanya meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan proses pengiriman barang ke dalam negeri.
Ketentuan tersebut meliputi antara lain:
Impor
Perdagangan dengan cara memasukan barang dari luar negeri ke
dalam wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang
berlaku.
Syarat-syarat Impor
Memiliki izin impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka
Pengenal Importir (API) berupa:
Angka Pengenal Impor Umum (API-U) diberikan kepada perusahaan
yang melakukan impor barang tertentu untuk tujuan diperdagangkan
Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) diberikan kepada
perusahaan yang melakukan impor barang untuk dipergunakan
sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong,
dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
Importir
Pengusaha yang dapat melakukan kegiatan perdagangan dengan cara
memasukan barang dari luar negeri ke dalam wilayah pabean
Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku.
Kategori Importir meliputi: Importir Umum, Importir Terdaftar, Importir
Produsen, Produsen Importir dan Agen Tunggal.
Barang Impor
Seluruh jenis barang yang terdaftar sebagai barang impor dan sesuai
dengan ketentuan perpajakan dan kepabeanan yang berlaku.

12
2.1.4. Jenis-Jenis Perdagangan Internasional
Perdagangan internasional atau antara negara dapat dilakukan
dengan berbagai macam cara diantaranya:
Ekspor
Dibagi dalam beberapa cara antara lain:
Ekspor Biasa
Pengiriman barang keluar negeri sesuai dengan peraturan yang
berlaku, yang ditujukan kepada pembeli di luar negeri,
mempergunakan L/C dengan ketentuan devisa.
Ekspor Tanpa L/C
Barang dapat dikirim terlebih dahulu, sedangkan eksportir belum
menerima L/C harus ada ijin khusus dari Kementerian Perdagangan
Barter
Pengiriman barang ke luar negeri untuk ditukarkan langsung dengan
barang yang dibutuhkan dalam negeri.
Jenis barter antara lain:
Direct Barter
Sistem pertukaran barang dengan barang dengan menggunakan alat
penentu nilai atau lazim disebut dengan denominator of value suatu
mata uang asing dan penyelesaiannya dilakukan melalui clearing
pada neraca perdagangan antar kedua negara yang bersangkutan.
Switch Barter
Sistem ini dapat diterapkan bilamana salah satu pihak tidak mungkin
memanfaatkan sendiri barang yang akan diterimanya dari pertukaran
tersebut, maka negara pengimpor dapat mengambil alih barang
tersebut ke negara ketiga yang membutuhkannya.
Counter Purchase
Suatu sistem perdagangan timbal balik antar dua negara. Sebagai
contoh suatu negara yang menjual barang kepada negara lain, maka
negara yang bersangkutan juga harus membeli barang dari negara
tersebut.

13
Buy Back Barter
Suatu sistem penerapan alih teknologi dari suatu negara maju
kepada negara berkembang dengan cara membantu menciptakan
kapasitas produksi di negara berkembang, yang nantinya hasil
produksinya ditampung atau dibeli kembali oleh negara maju.
Konsinyasi (Consignment)
Pengiriman barang dimana belum ada pembeli yang tertentu di luar
negeri. Penjualan barang di luar negeri dapat dilaksanakan melalui
Pasar Bebas (Free Market) atau Bursa Dagang (Commodites
Exchange) dengan cara lelang. Cara pelaksanaan lelang pada
umumnya sebagai berikut:
1) Pemilik barang menunjuk salah satu broker yang ahli dalam salah
satu komoditi.
2) Broker memeriksa keadaan barang yang akan di lelang terutama
mengenai jenis dan jumlah serta mutu dari barang tersebut.
3) Broker menawarkan harga transaksi atas barang yang akan
dijualnya, harga transaksi ini disampaikan kepada pemilik barang.
4) Oleh panitia lelang akan ditentukan harga lelang yang telah
disesuaikan dengan situasi pasar serta kondisi perkembangan
dari barang yang akan dijual. Harga ini akan menjadi pedoman
bagi broker untuk melakukan transaksi.
5) Jika pelelangan telah dilakukan broker berhak menjual barang
yang mendapat tawaran dari pembeli yang sana atau yang
melebihi harga lelang.
6) Barang-barang yang ditarik dari pelelangan masih dapat dijual di
luar lelang secara bawah tangan
7) Yang diperkenankan ikut serta dalam pelalangan hanya anggota
yang tergabung dalam salah satu commodities exchange untuk
barang-barang tertentu.
8) Broker mendapat komisi dari hasil pelelangan yang diberikan oleh
pihak yang diwakilinya.

14
Package Deal
Untuk memperluas pasaran hasil terutama dengan negara-negara
sosialis, pemerintah adakalanya mengadakan perjanjian
perdagangan (trade agreement) dengan salah satu negara.
Perjanjian itu menetapkan junlah tertentu dari barang yang akan di
ekspor ke negara tersebut dan sebaliknya dari negara itu akan
mengimpor sejumlah barang tertentu yang dihasilkan negara
tersebut.
Penyelundupan (Smuggling)
Setiap usaha yang bertujuan memindahkan kekayaan dari satu
negara ke negara lain tanpa memenuhi ketentuan yang berlaku.
Dibagi menjadi 2 bagian:
1) Seluruhnya dilakuan secara ilegal
Penyelundupan administratif/penyelundupan tak kentara/
manipulasi (Custom Fraud)
2) Border Crossing
Bagi negara yang berbatasan yang dilakukan dengan persetujuan
tertentu (Border Agreement), tujuannya penduduk perbatasan
yang saling berhubungan diberi kemudahan dan kebebasan
dalam jumlah tertentu dan wajar. Border Crossing dapat terjadi
melalui:
a) Sea Border (lintas batas laut)
Sistem perdagangan yang melibatkan dua negara yang
memiliki batas negara berupa lautan, perdagangan dilakukan
dengan cara penyebrangan laut.
b) Overland Border (lintas batas darat)
Sistem perdagangan yang melibatkan dua negara yang
memiliki batas negara berupa daratan, perdagangan dilakukan
dengan cara setiap pendudik negara tersebut melakukan
interaksi dengan melewati batas daratan di masing-masing
negara melalui persetujuan yang berlaku.

15
2.1.5. Keunggulan Bersaing
Konsep keunggulan bersaing dalam perdagangan suatu komoditas
atau produk antar negara telah mengalami perkembangan yang cukup
pesat. Konsep yang pertama dimulai dari keunggulan absolut dari Adam
Smith yang menyatakan bahwa dua negara akan mendapatkan keuntungan
dari perdagangan apabila karena faktor-faktor alamiahnya masing-masing
dapat menyiapkan suatu produk yang lebih murah dibandingkan dengan
apabila memproduksinya sendiri. Dengan kata lain, suatu negara dapat
memperoleh keuntungan dari perdagangan apabila total biaya sumber daya
untuk memproduksi suatu barang secara absolut lebih rendah dari biaya
sumber daya untuk memproduksi barang yang sama di negara lain. Oleh
karena itu, menurut konsep tersebut, setiap negara hendaknya
mengkhususkan diri untuk memproduksi barang-barang yang paling efisien
yaitu barang-barang yang diproduksi dengan biaya paling murah
(Asheghian dan Ebrahimi, 1990).
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa ternyata dua
negara masih mendapatkan keuntungan dari perdagangan, bahkan apabila
salah satu negara tersebut memiliki keunggulan absolut dalam
memproduksi semua komoditas atau produk tersebut. Dipicu oleh realitas
tersebut, kemudian muncul konsep keunggulan komparatif dari David
Ricardo yang menyatakan bahwa apabila suatu negara dapat memproduksi
masing-masing dari dua barang dengan lebih efisien dibandingkan dengan
negara lainnya, dan dapat memproduksi satu dari dua barang tersebut
dengan lebih efisien, maka hendaknya mengkhususkan diri dan
mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih efisien, yaitu
komoditas yang memiliki keunggulan absolut terbesar. Sebaliknya, negara
yang memiliki efisiensi yang lebih rendah hendaknya mengkhususkan diri
dan mengekspor komoditas yang secara komparatif lebih rendah
inefisiensinya yaitu komoditas yang paling rendah dalam
ketidakunggulannya (Asheghian dan Ebrahimi, 1990).

16
Terdapat perbedaan antara keunggulan komparatif dan kompetitif
suatu komoditas atau produk serta cara mengukurnya (Asian Development
Bank, 1992). Indikator keunggulan komparatif digunakan untuk mengetahui
apakah suatu negara memiliki keuntungan ekonomi untuk memperluas
produksi dan perdagangan suatu komoditas atau produk. Di sisi lain,
keunggulan kompetitif merupakan indikator untuk melihat apakah suatu
negara akan berhasil dalam bersaing di pasar internasional suatu
komoditas atau produk.
Keunggulan komparatif merupakan suatu konsep yang
dikembangkan oleh David Ricardo untuk menjelaskan efisiensi alokasi
sumber daya di suatu negara dalam sistem ekonomi yang terbuka (Warr,
1992). Keunggulan komparatif suatu produk sering dianalisis dengan
pendekatan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) atau Rasio Biaya
Sumberdaya Domestik (BSD). BSD merupakan ukuran biaya imbangan
sosial dari penerimaan satu unit marjinal bersih devisa, diukur dalam bentuk
faktor-faktor produksi domestik yang digunakan baik langsung maupun
tidak langsung dalam suatu aktivitas ekonomi. Di lain pihak, keunggulan
kompetitif diukur dengan menggunakan rasio biaya privat atau Private Cost
Ratio (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya faktor domestik dengan
nilai tambah output dari biaya input yang diperdagangkan pada harga
finansial.
Untuk memperoleh nilai BSD dan PCR maka analisis yang biasa
digunakan adalah Policy Analysis Matrix (PAM) yang telah diperkenalkan
oleh Monke dan Pearson (1996). Kelebihan analisis tersebut, di samping
dapat memperoleh nilai BSD dan PCR, analisis tersebut juga dapat
menghasilkan beberapa indikator lainnya yang erat kaitannya dengan
daya saing seperti koefisien proteksi output nominal (NPCO), koefisien
proteksi input nominal (NPCI), dan koefisien proteksi efektif (EPC). Pada
PAM, maka penerimaan, biaya, dan keuntungan dikelompokkan
berdasarkan harga finansial, dan harga sosial. Selisih dari perhitungan
berdasarkan harga finansial dengan harga sosial merupakan angka transfer

17
untuk mengukur dampak dari kebijakan pemerintah yang diterapkan pada
suatu komoditas. Analisis PAM pernah digunakan untuk mengetahui
kondisi daya saing mangga segar Indonesia (Suprihatini, 1999) dan nenas
kaleng Indonesia (Suprihatini, 1998).
Selanjutnya, muncul konsep keunggulan kompetitif yang merupakan
penyempurnaan dari konsep keunggulan komparatif. Pada konsep
keunggulan kompetitif, keunggulan suatu negara tidak hanya bersumber
dari faktor alamiah saja. Konsep keunggulan kompetitif yang terkenal
dicanangkan oleh Porter (1990) yang mengemukakan bahwa daya saing
suatu industri dari suatu bangsa atau negara tergantung pada keunggulan
dari empat atribut yang dimilikinya yang terkenal dengan sebutan The
Diamond of Porter yang terdiri dari: (1) kondisi faktor; (2) kondisi
permintaan; (3) industri terkait dan penunjang; dan (4) strategi, struktur, dan
persaingan perusahaan. Keempat atribut tersebut secara bersama-sama
dan ditambah dengan kesempatan, serta kebijakan pemerintah yang
kondusif untuk mempercepat keunggulan dan koordinasi antar atribut
tersebut kesemuanya akan mempengaruhi kemampuan bersaing suatu
industri di suatu negara.
Untuk mengetahui posisi suatu produk di pasar dunia dalam konteks
pertumbuhan, komposisi, distribusi, dan persaingan, salah satu cara yang
dapat digunakan adalah dengan menganalisis pangsa pasar suatu produk
menggunakan Constant Market Share Analyses (CMSA). Pada analisis
CMSA, menurut Leamer dan Stern (1970) kegagalan ekspor suatu negara
yang pertumbuhan ekspornya lebih rendah dari pertumbuhan ekspor dunia
disebabkan oleh tiga alasan yaitu (1) ekspor terkonsentrasi pada
komoditas-komoditas yang pertumbuhan permintaannya relatif rendah; (2)
ekspor lebih ditujukan ke wilayah yang mengalami stagnasi; dan (3)
ketidakmampuannya bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya.
Asumsi dasar dari analisis CMSA adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu
negara di pasar dunia tidak berubah antar waktu. Oleh karena itu,
perbedaan antara pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan

18
pertumbuhan yang mungkin terjadi apabila suatu negara dapat
mempertahankan pangsa pasarnya merupakan efek dari daya saing. Nilai
daya saing yang negatif menggambarkan bahwa negara tersebut gagal
dalam mempertahankan pangsa pasarnya dan sebaliknya untuk nilai positif.
Efek daya saing pada analisis CMS ini lebih bersumber dari daya saing
harga.
Pengembangan lebih lanjut dari aplikasi model CMSA dilakukan oleh
Chen dan Duan (1999) yang menggunakan dekomposisi dua tahap. Efek
dari dekomposisi pertama dapat diuraikan menjadi (1) efek struktural, yang
terdiri dari efek pertumbuhan, pasar, komoditi, dan interaksi, (2) efek daya
saing yang terdiri dari efek daya saing murni dan khusus, dan (3) efek
order-kedua yang terdiri dari efek order-kedua murni dan efek sisaan
struktural dinamik.
Seperti umumnya pada setiap model, model CMSA juga memiliki
beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan dari model CMSA ini telah
dikemukakan oleh Muhammad dan Habibah (1993) antara lain adalah
bahwa persamaan yang digunakan sebagai basis untuk menguraikan
pertumbuhan ekspor adalah persamaan identitas. Oleh karena itu, alasan-
alasan dari terjadinya perubahan daya saing ekspor tidak dapat dievaluasi
dengan hanya menggunakan analisis CMSA saja. Kelemahan analisis
CMSA lainnya adalah mengabaikan perubahan daya saing pada titik waktu
yang terdapat di antara dua titik waktu yang digunakan. Namun demikian,
analis ini sangat berguna untuk indikasi arah daya saing.
Dalam kondisi pasar global yang semakin kompetitif maka teknologi
memainkan peran yang sangat penting untuk memenangkan kompetisi
nasional (Porter, 1994). Demikian pula Gumbira-Said (1999) memerinci
beberapa peranan teknologi yaitu: (1) peningkatan nilai tambah; (2)
pengembangan produk; (3) pembukaan lapangan kerja; (4) pembukaan
dan penetrasi pasar; (5) pengembangan pusat perekonomian; dan (6)
penghasil devisa negara. Porter (1994) berpendapat bahwa teknologi akan
meningkatkan keunggulan bersaing jika memiliki peran yang nyata dalam

19
menentukan posisi biaya relatif atau diferensiasi produk relatif. Teknologi
akan berpengaruh pada biaya atau diferensiasi jika berpengaruh pada
faktor-faktor penentu biaya atau faktor-faktor penentu keunikan aktivitas
nilai atau rantai nilai. Alat pokok untuk memahami peran teknologi dalam
keunggulan bersaing adalah rantai nilai. Perubahan teknologi akan
mempengaruhi persaingan melalui dampaknya terhadap hampir setiap
aktivitas dalam rantai nilai. Oleh karena itu, teknologi harus dikelola
sedemikian rupa sehingga menghasilkan keunggulan bersaing.
Calori (1992) juga berpendapat bahwa teknologi berperan dalam
menciptakan inovasi proses, inovasi produk, dan adaptasi terhadap
segmen pasar baru yang akan meningkatkan pangsa pasar dan besarnya
pasar. Selanjutnya peningkatan ukuran dan pangsa pasar tersebut akan
meningkatkan skala ekonomi dan efek belajar yang keduanya akan
menurunkan biaya. Dengan kata lain, teknologi akan menggeser kurva
pasokan dalam jangka panjang. Efek penurunan biaya tersebut selanjutnya
akan mendukung upaya-upaya dalam perbaikan teknologi sehingga
merupakan suatu siklus dalam rangka meningkatkan pangsa dan ukuran
pasar yang dapat dilakukan secara terus menerus.
Deming (1986) menekankan peranan peningkatan kualitas produk.
Pengertian kualitas dalam hal ini selalu berfokus pada pelanggan
(customer). Produk-produk didisain, dan diproduksi untuk memenuhi
keinginan pelanggan. Suatu produk dikatakan berkualitas apabila sesuai
dengan keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta
diproduksi dengan cara yang benar dan baik. Peningkatan kualitas akan
menurunkan biaya proses ulang, penurunan tingkat kesalahan, penurunan
keterlambatan, sehingga produktivitas meningkat. Adanya peningkatan
kualitas dan penurunan biaya akan mendorong peningkatan penguasaan
pasar yang menyebabkan peningkatan bisnis dan akhirnya dapat
menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi serta meningkatkan tingkat
pengembalian investasi. Kolarik (1995) juga menekankan pada upaya
peningkatan kualitas produk yang ditunjukkan melalui peningkatan

20
penampilan produk, penurunan biaya, dan peningkatan ketepatan waktu
penyerahan.
Peranan peningkatan kualitas dikemukakan juga oleh Gasperz
(1997). Perhatian penuh pada perbaikan kualitas akan memberikan
dampak positif kepada perusahaan minimal melalui dua cara, yaitu (1)
dampak terhadap biaya produksi; dan (2) dampak terhadap pendapatan.
Dampak terhadap biaya produksi terjadi melalui proses pembuatan produk
yang memiliki derajat kesesuaian yang tinggi terhadap standar-standar
sehingga bebas dari kemungkinan kerusakan atau cacat. Dengan demikian
proses produksi yang memperhatikan kualitas akan menghasilkan produk
berkualitas yang bebas dari kerusakan. Hal ini akan menghindarkan
terjadinya pemborosan (waste) dan inefisiensi sehingga ongkos produksi
per unit akan menjadi rendah yang pada gilirannya akan membuat harga
produk menjadi lebih kompetitif.
Dampak terhadap peningkatan pendapatan terjadi melalui
peningkatan penjualan atas produk berkualitas yang berharga kompetitif.
Produk-produk berkualitas yang dibuat melalui suatu proses yang
berkualitas akan memiliki sejumlah keistimewaan yang mampu
meningkatkan kepuasan konsumen atas penggunaan produk tersebut.
Setiap konsumen akan memaksimumkan kepuasan dalam mengkonsumsi
produk, sehingga hanya produk-produk yang berkualitas tinggi dengan
harga yang kompetitif yang akan dipilih oleh konsumen. Keadaan ini akan
meningkatkan penjualan dari produk-produk yang akan meningkatkan
pangsa pasar sehingga pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan
perusahaan.

2.1.6. Daya Saing Produk


Produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan ke dalam
pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan, atau dikonsumsi sehingga
dapat memuaskan suatu keinginan atau suatu kebutuhan. Konsep produk
mengandung tiga karakteristik yaitu karakter eksplisit, implisit, dan eksternal

21
(Rosenberg, 1977). Termasuk ke dalam karakter eksplisit antara lain
bentuk fisik, kemasan, dan merek. Karakter implisit lebih mengarah pada
penilaian subyektif dari konsumen terhadap produk yang antara lain
tercermin dari penilaian kepuasan, simbol, dan persepsi. Pada karakteristik
eksternal, produk dilihat berdasarkan dampaknya bagi masyarakat secara
keseluruhan yang menilai pengaruh produk terhadap kesejahteraan
individu, dan masyarakat secara keseluruhan. Produk sebagai obyek fisik,
dalam pandangan pembeli memiliki lima karakteristik yaitu tingkat kualitas,
ciri, model, merek, dan kemasan (Radiosunu, 1986). Berdasarkan pembeli,
produk terdiri dari produk konsumsi dan produk industri. Produk konsumsi
adalah semua produk yang biasa digunakan langsung oleh individu, dan
rumah tangga, sedangkan produk industri adalah semua produk yang
dimanfaatkan untuk memproduksi produk lain oleh pabrik, pengecer,
pemerintah dan sebagainya.
Pengelompokkan berbagai jenis produk/komoditi pertanian telah
ditetapkan melalui suatu Keputusan Menteri Pertanian Nomor
511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditi Tanaman Binaan
Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan
Direktorat Jenderal Hortikultura (terlampir). Jumlah komoditas yang
menjadi binaan Direktorat Jenderal Hortikultura seluruhnya berjumlah 317
komoditas. Daftar komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal
Hortikultura tersebut dikelompokkan lagi menjadi 4 kelompok komoditas
yaitu (1) komoditas buah-buahan yang terdiri dari 60 komoditas, (2)
komoditas sayuran yang terdiri dari 80 komoditas, dan (3) komoditas
biofarmaka yang terdiri dari 66 komoditas, dan (4) komoditas tanaman hias
yang terdiri dari 111 komoditas.
Atribut produk adalah karakteristik atau sifat suatu produk yang
umumnya mengacu pada karakteristik yang berfungsi untuk evaluasi dalam
pengambilan keputusan membeli suatu produk (Engel et al., 1994).
Terdapat dua macam penilaian atribut makanan yaitu penilaian obyektif dan
penilaian subyektif (Soehardjo, 1980). Penilaian makanan dengan

22
menggunakan alat-alat pengukur seperti penggunaan alat pengukur cahaya
untuk mengukur warna, penggunaan alat penetrometer untuk mengukur
tekstur, penggunaan alat viscometer untuk mengukur kekentalan,
kesemuanya disebut cara penilaian obyektif. Di lain pihak, penilaian yang
didasarkan pada penilaian panca indera manusia (indera pelihat, pencium,
peraba, dan pendengar) disebut dengan penilaian subyektif.
Menurut Nasoetion (1980) pada dasarnya terdapat dua macam cara
menentukan daya penerimaan makanan secara subyektif sebagai berikut.
a. Menguji atau menjajagi kesukaan konsumen terhadap suatu produk
makanan pada umumnya, disebut dengan istilah consumer preference
test. Dapat dilakukan dengan cara observasi, survey atau angket
(consumer panel). Dengan catatan bahwa konsumen telah mengenal
atribut produknya.
b. Menguji dengan penekanan pada penggunaan alat indera secara
intensif, disebut organoleptik atau sensory test.
Penilaian kenampakan buah-buahan dapat dilihat dari beberapa
atribut yaitu (1) bentuk, (2) ukuran, (3) kerataan ukuran dan warna, (4)
kesegaran dan kebersihan, dan (5) rasa (manis, asam, segar). Cara
penilaian kenampakan (appearance) adalah sebagai berikut.
a. Bentuk dan ukuran harus sesuai dengan jenisnya dan sesuai dengan
standar. Bentuk dan ukuran tersebut semakin merata akan semakin
baik.
b. Penilaian warna dan keadaan. Makin banyak yang berwarna menarik,
cerah, segar, akan semakin baik.
c. Produk hortikultura harus bersih, tidak mengandung kotoran tanah atau
benda asing lainnya
Terdapat lima tingkat produk mulai dari tingkat dasar yaitu (a)
produk dasar yang dibeli konsumen karena manfaat dasarnya; (b) produk
generik yang merupakan versi dasar dari produk; (c) produk yang
diharapkan, yaitu kumpulan atribut dan kondisi umum yang diharapkan bila
membeli produk tersebut; (d) produk yang lebih baik atau yang diperluas

23
karena memberikan manfaat tambahan yang membedakan dengan produk
pesaing; dan (e) produk potensial, yang mencakup segala perluasan dan
evolusi produk yang mungkin akan terjadi pada masa yang akan datang
(Kotler, 1993).
Persaingan pasar produk saat ini berada pada tingkat produk yang
diperluas atau lebih baik, sedangkan di kebanyakan negara berkembang
persaingan umumnya terjadi pada tingkat produk yang diharapkan. Produk
yang lebih baik akan mendorong produsen dan pemasar untuk melihat
kepada sistem konsumsi total pembeli. Dengan cara ini para produsen dan
pemasar akan dapat mengenali peluang untuk memperluas penawaran
produknya yang efektif.
Dalam rangka memasuki pasar global, Keegan (1989)
mengemukakan lima strategi penyesuaian produk dan promosi untuk pasar
asing yaitu: (a) perluasan langsung, dengan memperkenalkan produk di
pasar asing tanpa perubahan apapun; (b) adaptasi komunikasi, hanya
dengan menyesuaikan promosi; (c) adaptasi produk, dengan merubah
produk untuk memenuhi kondisi atau pilihan setempat; (d) adaptasi ganda,
dengan merubah produk maupun promosi; dan (e) penemuan produk baru,
dengan menciptakan sesuatu yang baru. Pilihan strategi perluasan
langsung sering mengalami kegagalan besar. Untuk strategi adaptasi
produk maupun adaptasi ganda, banyak perusahaan raksasa yang
mendapatkan kesuksesan, antara lain perusahaan General Foods yang
telah meramu kopi secara berbeda bagi orang-orang Inggris (yang
meminum kopi dengan susu, atau yang lebih suka kopi hitam), dan orang-
orang Amerika Selatan yang menyukai rasa chicory.
Ciri-ciri produk adalah karakteristik yang mendukung fungsi dasar
produk. Ciri-ciri produk merupakan alat kompetitif untuk produk perusahaan
yang terdiferensiasi. Beberapa perusahaan sangat inovatif dalam
penambahan ciri-ciri baru ke produknya. Satu dari faktor kunci keberhasilan
perusahaan-perusahaan Jepang adalah karena mereka secara terus
menerus meningkatkan ciri-ciri tertentu pada produknya. Penambahan ciri-

24
ciri baru dinilai merupakan satu dari cara-cara yang sangat efektif untuk
memenangkan persaingan (Kotler, 1993).
Cara suatu perusahaan mengidentifikasi dan memilih ciri-ciri baru
yang cocok adalah dengan terus berhubungan dengan pembeli dan
menanyakan seperangkat pertanyaan-pertanyaan antara lain mengenai
alasan memilih dan menyenangi produk tertentu, menanyakan ciri-ciri
produk yang baik, dan kesediaan konsumen untuk membayar ciri produk
yang baru. Cara tersebut akan memberikan daftar segar mengenai ciri-ciri
potensial. Selanjutnya, untuk memutuskan ciri potensial yang mana yang
akan ditambahkan, perlu dihitung nilai pelanggan dibandingkan dengan
biaya penambahan ciri tersebut (Kotler, 1993).
Kinerja produk mengacu kepada tingkat karakteristik utama pada
saat digunakan. Terdapat empat tingkat kinerja produk yaitu rendah, rata-
rata, tinggi, dan superior. Terdapat tiga alternatif strategi mengatur kualitas
produk sepanjang waktu yaitu strategi terus menerus memperbaiki kualitas
produk, mempertahankan kualitas produk, dan menurunkan kualitas (Kotler,
1993). Strategi terus menerus memperbaiki kualitas merupakan strategi
yang sering memberikan hasil dan pangsa pasar tertinggi, sedangkan
strategi penurunan kualitas yang biasanya karena alasan peningkatan
biaya, akan menurunkan keuntungan dalam jangka panjang.
Dalam pengembangan produk cara tradisional, bagian pemasaran
suatu perusahaan mengembangkan produk yang dibutuhkan kemudian
melewati bagian rekayasa yang akan menyiapkan disain dan teknologi
proses produksinya. Dengan cara tersebut, bagian pemasaran dan bagian
proses bekerja secara terpisah dan tidak terintegrasi sehingga tidak jarang
menghasilkan produk yang kurang memuaskan konsumen. Dengan metode
Concurrent Engineering (CE), tiga departemen utama yaitu pemasaran,
disain, dan proses, bekerjasama melalui tahap-tahap iterasi (Ciptono dan
Pujiwasono, 2000). Dengan demikian, untuk tujuan memuaskan
konsumen, CE menekankan bekerja melalui teamwork dan melibatkan
seluruh pihak yang terkait sejak awal.

25
Kusiak (1993) dalam Ciptono dan Pujiwasono (2000) mendefinisikan
bahwa CE sebagai suatu pendekatan sistematik dalam mengintegrasikan
disain dan proses dari produk dengan mengoptimalkan pandangan seluruh
elemen yang terlibat dalam siklus hidup produk. Tujuan dari CE adalah
untuk meminimalkan waktu dan biaya dalam pengembangan produk mulai
dari konsep disain hingga produksi dan pemasaran. Misi dari CE adalah
untuk mengembangkan produk berkualitas tinggi dan membawanya ke
pasar global yang penuh persaingan dengan harga bersaing dan dalam
waktu lebih cepat (Parsaei dan Sullivan,1993 dalam Ciptono dan
Pujiwasono, 2000).
Terdapat empat kunci dimensi dari CE yaitu: (1) organisasi; (2)
komunikasi; (3) kebutuhan-kebutuhan; dan (4) pengembangan produk.
Pada dimensi organisasi, tim harus menerima kewenangan dan tanggung
jawab dari keputusan mereka, dan anggota harus konsekwen terhadap
keputusan tim secara keseluruhan. Pada aspek komunikasi, komunikasi
yang baik selalu penting dan infrastruktur membuat komunikasi
memungkinkan: hubungan orang-orang, ide-ide, spesifikasi, proses, dan
umpan balik. Pada aspek kebutuhan, fokusnya adalah kebutuhan
konsumen, dalam rangka memberikan kepuasan konsumen. Pada aspek
pengembangan produk, merupakan suatu proses yang berkesinambungan.
Dengan demikian, lingkungan CE adalah dimensi dari filosofi (organisasi
dan komunikasi) dan metodologi (kebutuhan-kebutuhan dan
pengembangan proses).
Ranky (1994) dalam Ciptono dan Pujiwasono (2000) mengemukakan
bahwa dalam rangka mencapai tujuan CE, perusahaan harus mengetahui
prinsip-prinsip CE sebagai berikut:
a. Mengembangkan komunikasi dengan konsumen saat ini dan konsumen
potensial serta pengguna. Pada dasarnya, prinsip ini menghubungkan
kebutuhan konsumen kepada spesifikasi produk yang spesifik,
kebutuhan kualitas, proses, fungsi, kebutuhan estetika, dan lain-lain.
b. Membentuk tim disain produk multi disiplin

26
c. Mendisain proses secara simultan
d. Melibatkan pemasok dan sub-kontraktor mulai tahap awal dari disain
e. Mensimulasikan penampilan produk dan proses produksi sedini
mungkin pada tahap disain.
f. Menggunakan teknik-teknik kualitas seperti metode taguchi
g. Menggunakan pengalaman-pengalaman dari produk sebelumnya ke
dalam produk baru.
Terdapat beberapa pendekatan untuk mengimplementasikan CE,
antara lain Quality Function Deployment (QFD), Taguchi Method (Robust
Design), Design for Manufacture/Assembly (DFM/DFA), dan Failure Mode
and Effect Analysis (FMEA). QFD pertama kali dikembangkan di Jepang
pada tahun 1966 dan pertama kali diaplikasikan pada awal tahun 1972 di
Industri berat Mitsubishi. QFD adalah suatu pendekatan yang sistematis
untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan secara tepat dihubungkan
dengan disain teknik, rencana produksi dan proses produksi. Secara
prinsip, QFD membantu untuk mendengarkan suara pelanggan dan sangat
berguna sebagai sesi brainstorming dengan tim pengembangan produk
dalam rangka menentukan upaya-upaya terbaik untuk melayani keinginan
pelanggan (Parsaei dan Sullivan, 1993).
Penerapan konsep QFD akan menghasilkan matriks kebutuhan
pelanggan dan kebutuhan teknis dari pihak perusahaan yang disebut
dengan House of Quality (HOQ). Dengan membangun HOQ maka
perusahaan dapat mengetahui secara persis apa yang menjadi kebutuhan
pelanggan pada saat sekarang dan bagaimana perusahaan dapat
mengalokasikan segenap sumber daya yang dimilikinya untuk memenuhi
kebutuhan pelanggan. HOQ juga dapat digunakan sebagai dokumen yang
menjadi acuan pengembangan produk di masa yang akan datang (Sadono
et al., 2000).
Perilaku konsumen merupakan tindakan yang langsung terlibat
dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa,
termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan

27
tersebut (Engel et al., 1994). Cohen (1981) mendefinisikan perilaku
konsumen sebagai semua aktivitas konsumen di pasar dan merupakan
studi yang menjawab apa, mengapa, dan bagaimana konsumen bertindak
demikian. Mengerti dan mengadaptasi motivasi dan perilaku konsumen,
keduanya merupakan kebutuhan untuk memenangkan persaingan pasar.
Keputusan konsumen untuk membeli suatu produk dapat dilakukan
melalui beberapa tahap antara lain (a) tahap pengenalan kebutuhan; dan
(2) tahap evaluasi alternatif (Engel et al., 1994). Pengenalan kebutuhan
terjadi ketika konsumen didorong oleh kesadaran akan perbedaan antara
keadaan aktual dengan keadaan idealnya yang dapat terjadi melalui
aktivasi internal seperti terhadap keadaan diri sendiri, atau stimulus yang
bersifat eksternal seperti iklan dan promosi (Loudon dan Dellabitta, 1982).
Dalam evaluasi alternatif, konsumen mengevaluasi alternatif
berkaitan dengan manfaat yang diharapkan. Untuk itu, konsumen harus
menetapkan atribut-atribut yang relevan dengan keinginannya. Atribut
tersebut dapat berupa rasa, warna, harga, bentuk, keamanan pangan, dan
jaminan produk (Evans dan Bermnan, 1982).
Model sikap multi atribut menggambarkan rancangan yang berharga
untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan produk yang dimiliki
konsumen (kepercayaan terhadap produk) dan sikap terhadap produk
berkenaan dengan ciri atau atribut produk (Engel et al., 1994). Pada model
sikap angka ideal menyajikan informasi mengenai produk ideal dan
bagaimana produk yang sudah ada dipandang oleh konsumen
(pengetahuan konsumen mengenai produk). Sikap yang dipegang oleh
konsumen terhadap berbagai atribut produk misalnya sikap terhadap
kekuatan rasa, warna, dan kenampakan, memainkan peranan penting
dalam menentukan sikap produk tersebut.
Pengetahuan produk merupakan gabungan dari banyak jenis
informasi yang berbeda. Pengetahuan produk tersebut antara lain
mencakup (a) atribut atau ciri produk; dan (b) kepercayaan akan suatu
merek spesifik. Secara umum, pemasar sangat berkepentingan terhadap

28
pengetahuan konsumen akan atribut dan merek serta daya saingnya (Engel
et al., 1994). Analisis mutli atribut sangat berguna bagi perencanaan dan
tindakan pasar. Analisis tersebut dapat memberikan informasi yang
diperlukan untuk beberapa jenis informasi peluang pasar yang terabaikan,
dan implikasi dalam pengembangan produk.
Sikap dan tindakan masyarakat terhadap suatu produk termasuk
produk hortikultura dan rempah Indonesia, sangat ditentukan oleh
kepercayaan mereka terhadap produk tersebut. Citra produk merupakan
sekumpulan kepercayaan, dan impresi yang dianut seseorang terhadap
suatu produk (Kotler, 1993). Metode yang paling populer untuk penelitian
citra produk adalah semantic differential yang mencakup langkah-langkah
sebagai berikut.
a. Mengembangkan sekumpulan dimensi yang relevan. Peneliti
menanyakan anggota masyarakat untuk mengidentifikasi dimensi-
dimensi yang mereka gunakan dalam berfikir mengenai produk tersebut
dengan menggunakan skala yang bersifat bipolar, misalnya tampilan
warna bunga potong yang sangat baik pada satu sisi dan warna yang
sangat jelek pada sisi lain. Skala dapat dikembangkan menjadi lima
atau tujuh angka.
b. Memilih dan menyaring dimensi yang relevan. Dimensi tertentu harus
dibuat tetap kecil untuk menghindari kebosanan responden yang harus
menentukan tingkat object n pada skala m.
c. Menentukan instrumen untuk responden sampel. Responden diminta
membuat tingkat/nilai atas satu per satu kriteria obyek.
d. Membuat hasil rata-rata.
e. Memeriksa variasi citra, karena setiap citra merupakan sebuah garis
rata-rata, sehingga tidak memperlihatkan variabel yang sebenarnya.
Oleh karena itu, perlu suatu analisis variasi citra.
Setelah diketahui posisi citra suatu produk atau merek, kemudian
ditetapkan citra yang dikehendaki, dan dilakukan analisis kesenjangan.

29
Setiap dimensi citra perlu dikaji ulang pada beberapa aspek sebagai
berikut:
a. Kontribusi yang akan diberikan untuk menutup kesenjangan citra.
b. Strategi yang akan digunakan untuk membantu menutupi kesenjangan
citra.
c. Besarnya biaya yang diperlukan untuk menutupi kesenjangan citra
tersebut.
d. Waktu yang dibutuhkan untuk menutupi kesenjangan citra tersebut.

2.2. Teori Pelabuhan


2.2.1. Pengertian Pelabuhan
Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan
pemerintahan dan kegiatan ekonomi dipergunakan sebagai tempat kapal
bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang
yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan
penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antar
moda transportasi (Suyono, 2005).
Selanjutnya, Suyono (2005) menyatakan bahwa kepelabuhanan
meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan
pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan
untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas
kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat
perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi.

30
2.2.2. Jenis-jenis Pelabuhan
Menurut Suyono (2005), jenis-jenis pelabuhan dapat dibedakan
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
Alamnya
Pelabuhan Terbuka
Pelabuhan terbuka adalah pelabuhan dimana kapal-kapal bisa
masuk dan merapat secara langsung tanpa bantuan pintu-pintu air
Pelabuhan Tertutup
Pelabuhan tertutup adalah pelabuhan dimana kapal-kapal yang
masuk harus melalui beberapa pintu air.
Pelayanannya
Pelabuhan Umum
Pelabuhan umum adalah pelabuhan yang diselenggarakan untuk
kepentingan masyarakat umum.
Pelabuhan Khusus
Pelabuhan khusus adalah pelabuhan yang dikelola untuk
kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.
Lingkup Pelayaran yang Dilayani
Pelabuhan Hub Internasional
Pelabuhan internasional hub adalah pelabuhan utama primer yang
berfungsi melayani kegiatan dan alih muatan angkutan laut nasional
dan internasional dalam jumlah besar dan jangkauan pelayaran yang
sangat luas serta merupakan simpul dalam jaringan transportasi laut
internasional.
Pelabuhan Internasional
Pelabuhan internasional adalah pelabuhan utama sekunder laut
nasional dan internasional dalam jumlah besar dan jangkauan
pelayanan yang luas serta merupakan simpul dalam jaringan
transportasi laut internasional.

31
Pelabuhan Nasional
Pelabuhan nasional adalah pelabuhan utama tersier yang berfungsi
melayani kegiatan dan alih muat angkutan laut nasional dan
itnernasional dalam jumlah menengah serta merupakan simpul
dalam jaringan transportasi tingkat provinsi.
Pelabuhan Regional
Pelabuhan regional adalah pelabuhan pengumpan primer yang
berfungsi melayani kegiatan dan alih muatan angkutan laut nasional
dalam jumlah yang relatif kecil serta merupakan pengumpan dari
pelabuhan utama
Pelabuhan Lokal
Pelabuhan lokal adalah pelabuhan pengumpan sekunder yang
berfungsi melayani kegiatan angkutan laut regional dalam jumlah
kecil serta merupakan pengumpan pada pelabuhan utama dan/atau
pelabuhan regional.
Kegiatan Perdagangan Luar Negeri
Pelabuhan Impor
Pelabuhan impor adalah pelabuhan yang melayani masuknya
barang-barang dari luar negeri
Pelabuhan ekspor
Pelabuhan ekspor adalah pelabuhan yang melayani penjualan
barang-barang ke luar negeri.
Kapal yang diperbolehkan singgah
Pelabuhan Laut
Pelabuhan laut adalah pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan
luar negeri dan dapat disinggahi oleh kapal-kapal dari Negara
sahabat.
Pelabuhan pantai
Pelabuhan pantai adalah pelabuhan yang tidak terbuka untuk
perdagangan dengan luar negeri dan hanya dapat dipergunakan
oleh kapal-kapal dari Indonesia.

32
Wilayah Pengawasan Bea Cukai
Custom Port
Custom Port adalah pelabuhan yang berada di bawah pengawasan
Bea Cukai.
Free Port
Free port adalah pelabuhan yang berada di luar pengawasan Bea
Cukai.
Kegiatan Pelayarannya
Pelabuhan Samudera
Pelabuhan samudera adalah pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta
dan Tanjung perak di Surabaya.
Pelabuhan Nusantara (pelabuhan interinsuler) adalah pelabuhan
Banjarmasin di Kalimantan Selatan.
Pelabuhan Rakyat adalah pelabuhan Sunda Kelapa di Pasar Ikan,
Jakarta.
Perannya dalam Pelayaran
Pelabuhan Transito adalah pelabuhan yang mengerjakan
transhipment cargo.
Pelabuhan Ferry adalah pelabuhan penyebrangan.

Menurut Suyono (2005), kriteria suatu pelabuhan dibedakan


berdasarkan faktor-faktor sebagai berikut:
Banyaknya muatan yang dikerjakan dalam satu tahun
Jumlah harga dari muatan yang dikerjakan dalam satu tahun
Banyaknya kapal yang keluar masuk dalam satu tahun
Jumlah tempat sandar kapal yang tersedia
Besarnya kapal yang dapat dikerjakan oleh pelabuhan
Banyaknya petikemas yang ditangani oleh pelabuhan dalam satu
tahun.

33
2.2.3. Fasilitas Pelabuhan
Suatu pelabuhan harus mempunyai berbagai fasilitas. Menurut
Suyono (2005), fasilitas-fasilitas suatu pelabuhan adalah:
Penahan Gelombang
Penahan gelombang adalah konstruksi dari batu-batuan yang kuat dan
dibuat melingkar memanjang kearah laut dari pelabuhan utamanya yang
dimaksudkan sebagai pelindung pelabuhan itu. Gunanya adalah untuk
menahan ombak dan gelombang, karena di dalam pelabuhan terdapat
dermaga-dermaga tempat kapal-kapal sandar. Dengan demikian, dalam
pelabuhan cuacanya lebih tenang dari luar karena terlindungi.
Jembatan (Jetty)
Jembatan atau jetty adalah bangunan berbentuk jembatan yang dibuat
menjorok keluar kea rah laut dari pantai atau daratan. Biasanya dibuat
dari beton, baja, atau kayu dan dibuat untuk menampung sementara
barang yang akan dimuat/dibongkar dari/ke kapal yang sandar di
jembatan itu. Karena menjorok ke luar dari daratan, air di pinggir
jembatan jetty lebih dalam dari di pinggir sehingga kapal mudah sandar.
Bila menjoroknya jauh keluar dari pantai biasanya berbentuk T.
Dolphin
Dolphin adalah kumpulan dari tonggak-tonggak dari besi, kayu atau
beton agar kapal dapat bersandar disitu untuk melakukan kegiatan
bongkar/muat ke tongkang(lighter). Biasanya terdiri dari konstruksi dua
tonggak yang menahan kapal di bagian muka dan belakangnya.
Mooring Buoys (Pelampung Pengikat)
Mooring buoys adalah Pelampung dimana kapal ditambatkan untuk
melakukan suatu kegiatan.
Tempat Labuh
Tempat labuh adalah tempat perairan di mana kapal melego jangkarnya
untuk melakukan kegiatan. Tempat labuh juga berfungsi sebagai tempat
menunggu untuk masuk ke suatu pelabuhan.

34
Single Buoy Mooring (SBM)
SBM adalah pelampung pengikat dimana kapal tanker dapat muat
bongkar muatannya melalui pipa di pelampung itu yang
menghubungkan ke daratan atau sumber pasokan.
Tongkang (Lighter)
Tongkang adalah perahu-perahu kecil yang dipergunakan untuk
mengangkut muatan atau barang dari atau ke kapal yang
dimuat/dibongkar, yang biasanya ditarik oleh kapal tunda.
Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan
Alur kapal adalah bagian dari perairan di pelabuhan tempat
masuk/keluarnya kapal.
Rambu Kapal
Rambu kapal adalah tanda-tanda yang dipasarng di perairan menuju
pelabuhan untuk memandu kapal berlabuh. Bila letak rambu-rambu
kurang jelas maka dapat mengakibatkan kapal kandas, juga bila kapal
berlabuh, jangkarnya dapat menggaruk kabel komunikasi atau kabel
listrik di bawah air, atau terjadi kapal berlabuh di daerah yang terlarang.
Gudang
Gudang adalah tempat penampungan barang yang tertutup agar
terlindung dari cuaca. Namun ada juga gudang terbuka untuk barang
tertentu atau petikemas. Gudang merupakan bagian yang penting dari
suatu pelabuhan, karena dalam gudang inilah barang yang akan dimuat
atau setelah dibongkar dari kapal untuk sementara disimpan, kecuali
bila muatan dimuat dalam petikemas (container)
Dermaga:
Dermaga Konvensional
Dermaga konvensional adalah dermaga yang digunakan untuk
melakukan aktivitas bongkar muat kapal kargo. Dermaga
konvensioanl terdiri dari pelataran dermaga, gudang-gudang,
lapangan terbuka dan perlengkapan dengan kran-kran (portal-crane)
untuk membantu pembongkaran/pemuatan kapal. Dermaga

35
konvensional dipakai untuk kapal kargo biasa, yaitu kapal-kapal yang
dilengkapi dengan peralatan bongkar muat dan membawa berbagai
jenis muatan yang memerlukan pemadatan khusus bila disimpan
dalam palkanya (karung, peti). Petikemas juga ada yang dibongkar di
dermaga konvensional namum karena pelataran antara dermaga dan
gudang sempit akan menimbulkan kesukaran dalam angkutan
maupun pergerakannya.
Dermaga Petikemas
Dermaga petikemas adalah dermaga yang digunakan untuk
melakukan bongkar muat kapal-kapal petikemas. Dermaga petikemas
terdiri dari lapangan yang terbuka dan dilengkapi dengan keran-keran
untuk membongkar/ memuat peti kemas. Keran-keran tersebut
dinamakan gantry crane. Dermaga ini juga dilengkapi dengan alat-alat
angkat khusus petikemas dan juga alat untuk memindahkan dan
menumpukkan secara mekanis.
Dermaga Khusus
Selain kapal petikemas dan general cargo, ada juga kapal-kapal
dengan muatan khusus, seperti kapal ferry dan Ro-Ro. Biasanya
untuk kapal-kapal ini disediakan dermaga khusus. Kapal-kapal
pengangkut minyak atau tanker juga disediakan tempat khusus untuk
aktivitasnya, terpisah dari kapal-kapal lainnya karena tanker biasanya
mengangkut bahan bakar yang bisa membahayakan kapal-kapal
lainnya.
Perairan
Bongkar/muat dapat juga dilakukan di perairan. Di sini muatan
diangkut dari dan ke kapal menggunakan tongkang. Kapal melakukan
lego jangkar, diikat di pealmpung atau pada tonggak pengikat
(dolphin). Kegiatan bongkar muat ini dinamakan midstream activities.
Namun apabila pengangkutannya lebih mudah menggunakan
angkutan darat, agar kegiatannya bisa dilakukan lebih cepat, maka
bongkar muatnya dilakukan di dermaga.

36
2.2.4. Pihak-pihak di Pelabuhan
Untuk dapat menjalankan kegiatan operasionalnya, berbagai pihak
ada di pelabuhan. Suyono (2005) menyatakan bahwa beberapa pihak yang
ada di pelabuhan di antaranya adalah: Perusahaan Pelayaran, Perusahaan
Bongkar Muat (PBM), Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dan Freight
Forwarder, Perusahaan Angkutan Bandar, Perusahaan Angkutan Darat,
Perbankan, Surveyor, Jasa Konsultan, Perusahaan Persewaan Peralatan,
Pemasok, dan Karantina.

2.3. Karantina
2.3.1. Tujuan, Ruang Lingkup, dan Proses
Salah satu fasilitas di pelabuhan adalah karantina untuk hewan dan
tumbuhan yang bertujuan antara lain untuk mencegah masuknya
Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina (OPTK), hama dan penyakit
hewan karantina (HPHK) dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia. Pada saat ini, Indonesia masih bebas dari sekitar 560 jenis
OPTK dan 15 jenis HPHK yang masuk dalam daftar World Health
Organization of Animal (WHOA) atau Office Internationale des Epizootic
(OIE).
Penyebaran OPTK/HPHK dari satu negara ke negara lain terutama
melalui perdagangan internasional, yaitu melalui produk-produk pertanian
yang diperdagangkan sebagai media pembawa OPTK/HPHK yang utama.
Pelaksanaan karantina tumbuhan dan hewan merupakan tanggung jawab
Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian dan dilakukan oleh unit
pelaksana teknis Badan Karantina Pertanian. Setiap media pembawa
OPTK/HPHK yang dimasukkan ke dalam wilayah negara RI melalui
pelabuhan laut dan pelabuhan udara harus melalui tindakan karantina.
Tindakan karantina ini meliputi pemeriksaan, pengasingan, pengamatan,
perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pembebasan.
Pemeriksaan karantina seringkali belum berjalan efektif karena tidak
tersedianya instalasi karantina tetap yang berada dalam kawasan

37
pelabuhan dan berada dalam rentang kendali pengawasan di pelabuhan.
Apabila komoditas pertanian impor yang diperiksa memerlukan
pemeriksaan laboratorium lebih lanjut yang memerlukan waktu yang relatif
lama, dan komoditas tersebut harus ditahan sementara, terjadi kesulitan
untuk penentuan tempat penahanan yang relatif aman sehingga
OPTK/HPHK tidak menyebar ke tempat lain.
Keterbatasan jumlah petugas teknis sering menyebabkan
keterlambatan pemeriksaan fisik karena lokasi instalasi karantina
sementara yang relatif jauh dan tersebar. Lokasi tempat pemeriksaan fisik
yang berada sangat jauh akan meningkatkan biaya operasional, terutama
transportasi petugas, dalam melakukan pemeriksaan. Apabila setelah
diperiksa kesehatannya, ternyata komoditas pertanian tersebut harus diberi
perlakuan (diobati) atau dimusnahkan atau direekspor, maka hal ini akan
menimbulkan permasalahan baru.
Untuk memperkecil risiko penularan dan penyebaran OPTK/HPHK
diperlukan instalasi karantina tetap di lokasi yang relatif dekat dengan
kawasan pelabuhan. Lokasi pemeriksaan fisik komoditas pertanian impor
yang berada di tempat/gudang pemilik atau IKHS yang seringkali jauh di
luar Jakarta dan berada di dekat sentra-sentra pertanian, mengakibatkan
pelaksanaan tindakan pemeriksaan dan tindakan karantina lainnya tidak
optimal.

2.3.2. Sarana Karantina


1. Sarana angkutan dan bongkar muat
Tersedia alat angkut terdiri dari head truck dan chasis trailler.
Tersedia reachstacker untuk lift on/off di blok refeer, dan di non
refeer.
Tersedia forklift untuk striping dan stuffing di hanggar karantina
tumbuhan, dan hanggar karantina hewan.
Tersedia hand pallet untuk membantu striping dan stuffing.
Tersedia peralatan bongkar muat.

38
2. Sarana Tindakan Karantina
Tersedia gedung/hanggar terpisah untuk komoditas/produk
tumbuhan dan komoditas/produk hewan untuk tempat dilakukannya
pemeriksaan fisik peti kemas, kajian risiko produk, dan penentuan
tindak lanjut pemeriksaan komoditas pada ruang tertutup sesuai
dengan temperatur yang diperlukan serta tingkat risiko.
Ruang/Sel tertutup dengan temperatur kurang dari 18 oC untuk
melakukan pemeriksaan daging/jeroan beku.
Ruang/Sel tertutup dengan temperatur 8oC sampai 4oC untuk
melakukan pemeriksaan produk hewan lain.
Gedung/Ruang tertutup dengan temperatur 25 oC sampai 28oC untuk
melakukan pemeriksaan produk hewan.
Ruang/Sel tertutup dengan temperatur 4oC untuk melakukan
pemeriksaan produk tumbuhan.
Gedung/Ruang tertutup dengan temperatur 25 oC sampai 28oC untuk
melakukan pemeriksaan produk tumbuhan.
Meja dan peralatan pemeriksaan untuk komoditas hewan dan
tumbuhan
Ruang untuk tindakan perlakuan (fumigasi, desinfeksi, dll) untuk
komoditas tumbuhan.
Ruang untuk tindakan perlakuan (desinfeksi) untuk komoditas
hewan.
3. Sarana tindakan pemusnahan (incinerator).
Ruang penyimpanan dengan temperatur 22 oC sampai 18oC untuk
penyimpanan sementara sample uji/contoh komoditas hewan
sebelum dikirimkan ke laboratorium.
Ruang penyimpanan dengan temperatur 4oC untuk penyimpanan
sementara sample uji/contoh komoditas tumbuhan sebelum
dikirimkan ke laboratorium.

39
4. Sarana Pengolahan Limbah
Tersedia Waste Water Treatment Plan (WWTP).
5. Sarana Suci Hama
Tersedia fasilitas car wash, hygine personal, dan sprayer tekanan tinggi
untuk pembersih kontainer.
6. Sumber Listrik
Memiliki cadangan tenaga listrik untuk keperluan cold storage, air
condition, ruang pemeriksaan, penerangan ruangan, jalan dan
lingkungan, dan pemeliharaan peralatan.
Memiliki cadangan generator set sebagai pengganti bila sewaktu-
waktu terjadi pemadaman listrik oleh PLN.
7. Sumber Air
Tersedia sumber air untuk memenuhi kebutuhan yaitu Car wash,
Container cleaning, Pembersihan sarana kerja, dan Keperluan hygenitas
lainnya.
8. Sarana Kerja
Hanggar pemeriksaan yang lengkap, nyaman dan terkendali.
Ruang Kerja untuk fungsional karantina pertanian
Ruang seminar/diskusi untuk fungsional karantina pertanian
Scanner jenis terbaru
Ruang dan alat laboratorium
Sarana detektor X-ray scanning
Gedung analysis/operator x-ray scanning
Bahan dan alat pemeriksaan
Bahan untuk suci hama
Peralatan untuk pengambilan sampel.
Alat transportasi
Alat komunikasi (HT, telepon, Internet) terhubung dengan UPT induk
Peralatan kantor (PC, Lemari, meja kerja, dll)
Peralatan sarana kebersihan.

40
9. Sarana Penunjang
Kantor Pengelola, Kantor Bea dan Cukai, Kantor Karantina Pertanian,
Kantor Polsek, Perkantoran Importir/PPJK, Bank, Kantin/rumah makan,
Tempat ibadah, Akses jalan Boulevard, Pemadam kebakaran, dan
Keamanan 24 jam.

2.4. Logistik
Logistik atau manajemen logistik merupakan bagian dari proses
supply chain yang merencanakan, mengimplementasikan, dan
mengendalikan efisiensi dan efektivitas aliran dan penyimpanan barang,
jasa, dan informasi terkait dari titik awal sampai ke titik konsumsi untuk
memenuhi keperluan pelanggan (Council of Logistics Management (CLM),
1986).
Gambar di bawah ini menunjukkan suatu sistem logistik secara
sederhana.
Gambar 2.1
Sistem Logistik

Sumber: Setijadi, 2009

Pada prinsipnya, dalam suatu sistem logistik terdapat dua aliran


utama. Aliran pertama adalah aliran barang dari pemasok, ke pabrik atau
manufakturing, hingga ke pelanggan. Berlawanan dengan aliran barang,
terdapat aliran informasi yang mengalir dari pelanggan, ke pabrik, hingga
ke pemasok. Selain memperhatikan aliran barang, manajemen logistik juga
memperhatikan proses penyimpanan barang tersebut.

41
Sebagai sebuah sistem, logistik terdiri atas beberapa subsistem atau
komponen-komponen utama, yaitu Persediaan, Pergudangan,
Transportasi, dan Sistem Informasi (Setijadi, 2009). Gambar berikut ini
menunjukkan keterkaitan di antara komponen-komponen utama pembentuk
sistem logistik tersebut.

Gambar 2.2
Komponen-komponen Utama Pembentuk Sistem Logistik

Sumber: Setijadi, 2009

Berikut ini adalah penjelasan singkat masing-masing komponen


tersebut:
1. Persediaan
Persediaan (inventory) adalah stok atau item-item yang digunakan
untuk mendukung produksi (bahan baku dan barang setengah jadi),
kegiatan-kegiatan (perawatan, perbaikan, dan operating supplies), dan
pelayanan pelanggan (barang jadi dan suku cadang). Dalam theory of
contraints, item-item tersebut dibeli untuk dijual kembali, mencakup barang
jadi, barang setengah jadi, dan bahan baku (APICS Dictionary, 10th ed.)

42
Keberadaan persediaan berdampak terhadap biaya yang harus
dikeluarkan. Namun demikian, persediaan harus diadakan dengan
beberapa alasan, yaitu: (1) economies of scale, yaitu pengadaan akan
bersifat ekonomis jika mencapai jumlah tertentu, (2) keseimbangan jumlah
pasokan dan permintaan, (3) spesialisasi, (4) melindungi dari
ketidakpastian, dan (5) sebagai penyangga (buffer) sepanjang rantai pasok.
Persediaan dapat dibedakan atas beberapa jenis atau tipe, yaitu:
persediaan siklus (cycle stock), persediaan in-transit, persediaan
pengaman atau penyangga (safety atau buffer stock), persediaan spekulatif
(speculative stock), persediaan musiman (seasonal stock), dan dead stock.
Konsekuensi dari adanya persediaan adalah munculnya biaya-biaya yang
harus dikeluarkan. Biaya utama persediaan dapat dibedakan atas:
inventory carrying costs, order/setup costs, expected stock-out costs, dan
in-transit inventory carrying costs. Inventory carrying costs mencakup: biaya
modal (capital cost), biaya ruang penyimpanan (storage space cost), biaya
pelayanan persediaan (inventory service cost), dan biaya risiko persediaan
(inventory risk cost).
Jumlah persediaan harus dikelola pada suatu tingkat yang optimal.
Jumlah persediaan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan berdampak
terhadap biaya atau risiko tertentu.
Jumlah atau tingkat persediaan yang tinggi memang memberikan
beberapa keuntungan, seperti jaminan terpenuhinya pasokan untuk
kegiatan produksi atau pemenuhan permintaan pelanggan. Namun,
konsekuensi dari tingkat persediaan yang tinggi adalah biaya besar
yang harus ditanggung, baik biaya modal maupun biaya risiko
persediaan. Risiko persediaan mencakup risiko-risiko: kehilangan,
kerusakan, dan keusangan (obsolescence).
Dengan jumlah atau tingkat persediaan yang rendah, berarti biaya
modal yang dikeluarkan juga rendah. Namun, jumlah atau tingkat
persediaan yang rendah berdampak terhadap jaminan pasokan yang
rendah untuk produksi dan pemenuhan permintaan pelanggan. Apabila

43
produksi dan pemenuhan permintaan pelanggan terganggu, maka
terjadi kehilangan peluang penjualan (lost of sales) hingga kehilangan
pelanggan (lost of customers).
2. Pergudangan
Gudang merupakan fasilitas penting dalam sistem logistik yang
mempunyai fungsi utama sebagai tempat penyimpanan barang atau
produk. Barang atau produk disimpan sementara waktu sebelum digunakan
atau dikirimkan ke tempat yang membutuhkan.
Dalam sistem pergudangan terdapat tiga kegiatan utama penanganan
barang, yaitu di bagian penerimaan, di dalam gudang, dan di bagian
pengiriman. Penanganan barang tersebut membutuhkan berbagai metode
dan peralatan.
Fungsi gudang dapat dibedakan sebagai terminal konsolidasi, pusat
distribusi, break-bulk operation, in-transit mixing, dan cross-dock operation.
Terminal konsolidasi: gudang digunakan untuk mengumpulkan
beberapa macam barang dari masing-masing sumber untuk selanjutnya
dikirimkan ke tempat tujuan.
Pusat distribusi: gudang digunakan untuk mengumpulkan beberapa
macam barang dari masing-masing sumber untuk selanjutnya
dikirimkan ke beberapa tempat tujuan.
Break-bulk operation: gudang digunakan untuk menerima barang atau
produk dalam jumlah atau volume besar, kemudian dipecah-pecah atau
dibagi-bagi dalam jumlah atau volume yang lebih kecil dan selanjutnya
dikirimkan ke beberapa tempat tujuan.
In-transit mixing: gudang digunakan untuk menerima atau
mengumpulkan beberapa macam barang dari masing-masing sumber,
kemudian dibagi-bagi dan digabungkan atau dikombinasikan dengan
variasi jenis dan jumlah yang sesuai dengan masing-masing
permintaan, serta selanjutnya dikirimkan ke beberapa tempat tujuan
(asal permintaan) masing-masing tersebut.

44
Cross-dock operation: gudang digunakan untuk menerima barang atau
produk dari masing-masing sumber untuk selanjutnya segera dikirimkan
ke tempat tujuan masing-masing tanpa mengalami proses
penyimpanan di gudang tersebut.
Hal penting berkaitan dengan gudang adalah penentuan jumlah,
lokasi, dan kapasitas. Jumlah gudang harus dipertimbangkan secara
optimal. Selain akan mempengaruhi biaya operasional, jumlah gudang akan
mempengaruhi pula pola, frekuensi, dan biaya transportasi. Lokasi
dipertimbangkan dengan mempertimbangkan akses, baik akses dari
tempat-tempat pasokan maupun akses ke tempat-tempat permintaan atau
tujuan. Kapasitas gudang berkaitan dengan jumlah dan dimensi barang
atau produk yang akan disimpan. Semua hal yang dipertimbangkan
tersebut akan mempengaruhi kinerja pergudangan maupun sistem logistik
secara keseluruhan.
3. Transportasi
Dalam sistem logistik, transportasi berperan dalam perencanaan,
penjadwalan, dan pengendalian aktivitas yang berkaitan dengan moda,
vendor, dan pemindahan persediaan masuk dan keluar suatu organisasi.
Pemilihan moda merupakan permasalahan yang penting. Pemilihan
moda dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti kondisi
geografis, kapasitas, frekuensi, biaya (tarif), kapasitas, availabilitas, kualitas
pelayanan dan reliabilitas (waktu pengiriman, variabilitas, reputasi, dll.).
Secara umum, moda transportasi dibedakan atas kereta api, truk,
transportasi air, transportasi udara, dan pipa.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam transportasi adalah mengenai
local pickup and delivery serta long-haul movements. Perusahaan terkait
biasanya memperhatikan perbedaan karakteristik jangkauan atau jarak ini
dengan strategi transportasi yang berbeda. Untuk local pickup and delivery,
perusahaan biasanya menggunakan armada sendiri. Untuk long-haul
movements, biasanya menggunakan outsourcing kepada penyedia jasa
logistik (third-party logistics provider).

45
Dalam transportasi, pertimbangan ekonomis mencakup jarak, volume
berat, kepadatan (density), dan bentuk (stowability). Pertambahan jarak,
misalnya, akan berakibat bertambahnya biaya. Namun, pertambahan jarak
tidak berbanding lurus dengan pertambahan biaya. Pertambahan biaya ini
cenderung akan berkurang ketika jarak terus bertambah.
Volume berat barang atau produk akan mempengaruhi ekonomisasi
transportasi, yaitu biaya per satuan berat barang. Semakin berat barang,
maka biaya per satuan berat barang akan cenderung semakin murah.
Tingkat kepadatan dan kemudahan bentuk barang atau produk untuk
disusun dalam moda transportasi juga akan mempengaruhi ekonomisasi
transportasi. Semakin mudah penyusunan barang atau produk tersebut
berarti transportasi semakin ekonomis, karena barang atau produk tersebut
akan semakin memaksimalkan penggunaan kapasitas moda.
4. Sistem Informasi
Sistem informasi merupakan saling keterkaitan perangkat keras dan
perangkat lunak komputer dengan orang dan proses yang dirancang untuk
pengumpulan, pemrosesan, dan diseminasi informasi untuk perencanaan,
pengambilan keputusan, dan pengendalian (APICS Dictionary, 10th ed.)
Sistem informasi diperlukan untuk mengintegrasikan komponen-
komponen dan kegiatan-kegiatan dalam sistem logistik. Efektivitas proses-
proses dalam sistem logistik sangat dipengaruhi oleh kualitas informasi
yang digunakan. Kualitas informasi dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: (1)
ketersediaan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan-
keputusan terbaik, (2) keakuratan informasi, (3) efektivitas komunikasi.
Aliran informasi dalam sistem logistik dapat dijabarkan pada Gambar
berikut ini.

46
Gambar 2.3
Aliran Informasi Logistik

Sumber: Coyle, dkk., 2003.

5. Supply Chain Management


Supply Chain Management adalah pengelolaan seluruh kegiatan
produksi, distribusi dan pemasaran yang dengan kegiatan tersebut
konsumen mendapatkan produk yang diinginkannya (Woods, 2004).
Folkerts and Koehorst (1998) lebih detail mendefinisikan supply chain
sebagai satu set pelaku yang saling tergantung yang bekerjasama untuk
mengatur arus produk-produk dan jasa bersama rantai nilai tambah dari
produk pertanian dan makanan untuk tujuan merealisasikan nilai pelanggan
yang terbaik (superior) dengan biaya seminimal mungkin. Value chain
adalah kontribusi dari kegiatan-kegiatan fungsional dalam rantai ke
pengembangan dari nilai pelanggan.
Menurut Porter (1996) diperlukan upaya-upaya peningkatan efektivitas
SCM antara lain peningkatan logistik, peningkatan sistem informasi dan
perbaikan flow informasi, penurunan biaya transaksi, perbaikan kualitas
produk, dan pemeliharaan integritas rantai. Selanjutnya AFFA et al (2002)
telah mengidentifikasi enam prinsip kunci untuk keberhasilan SCM yaitu (1)

47
fokus pada pelanggan dan konsumen; (2) rantai dan nilai terdistribusi
dengan baik ke seluruh pelaku; (3) produk yang dihasilkan sesuai dengan
spesifikasi yang diinginkan pelanggan; (4) logistik dan distribusi yang
efektif; (5) informasi dan strategi komunikasi termasuk pada semua rantai;
dan (6) hubungan efektif yang memberikan pembangkitan dan rasa
memiliki.
Pada sektor hortikultura, terdapat beberapa periode fokus perhatian.
Pada periode 1980-1990 perhatian lebih fokus pada masalah peningkatan
produktivitas tanaman. Pada periode 1990-2000 fokus perhatian adalah
pada kualitas produk. Pada periode 2000-2004 fokus perhatian mulai
beralih ke sustainability dan pengetahuan rantai supply. Selanjutnya pada
tahun 2004 hingga saat ini fokus perhatian tertuju pada optimalisasi supply
chain.
Beberapa lingkungan yang dihadapi supply chain management dari
produk-produk hortikultura meliputi (1) tuntutan konsumen antara lain
tuntutan akan produk yang aman untuk dimakan, berkualitas, keragaman
produk, sertifikasi produk, sertifikasi proses, kelengkapan informasi produk,
kesegaran produk dan beberapa kunggulan lainnya yang perlu
ditambahkan pada suatu produk; (2) lingkungan perkembangan teknologi
yang perlu terus diikuti antara lain teknologi pemuliaan, budidaya, proses,
pengemasan, transportasi, dan teknologi informasi; (3) lingkungan bisnis
antara lain tuntutan untuk menurunkan hambatan-hambatan perdagangan
baik tariff maupun non tariff, dan standarisasi produk untuk retail; dan (4)
lingkungan pemerintah dan masyarakat, antara lain tuntutan kelestarian,
manfaat sosial, dan dampak positif bagi lingkungan ekologi.

2.5. Penelitian Sebelumnya


Hasil kajian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan
Luar Negeri, Departemen Perdagangan (2007) tentang Kajian Daya Saing
Produk Hortikultura dan Rempah-rempah Indonesia di Pasar Internasional
mengemukakan beberapa hasil sebagai berikut.

48
Dari hasil analisis CMSA selama periode 2001-2006, hanya produk-
produk buah olahan yang memiliki kekuatan daya saing tinggi, pengaruh
distribusi pasar dan pengaruh komposisi komoditas yang semuanya
memiliki nilai positif khususnya untuk produk dengan nomor HS 200820
(Pineapples nes, o/w prep or presvd, sugared, sweetened, spirited or not).
Kelemahan utama dari produk hortikultura dan rempah-rempah Indonesia
adalah pengaruh distribusi pasarnya yang memiliki angka negatif yang
menunjukkan bahwa selama ini ekspornya kurang ditujukan ke negara-
negara yang memiliki pertumbuhan impor tinggi.
a. Dari analisis supply chain, produk hortikultura dan rempah-rempah
impor berpotensi memiliki daya saing yang tinggi dibandingkan dengan
produksi dalam negeri karena jalur tata niaga dari produk-produk impor
lebih simpel. Adanya pengemasan yang baik pada produk impor dapat
menekan biaya transportasi, handling, dan risiko kerusakan mutu.
b. Terkait dengan trend impor yang meningkat, terdapat beberapa alasan
utama dari para pelaku usaha melakukan impor produk hortikultura dan
rempah-rempah secara umum. Alasan yang paling utama adalah (1)
karena supply dari produk impor sangat konsisten dan (2) untuk
memenuhi permintaan konsumen domestik. Alasan lainnya dengan
derajat kepentingan yang lebih rendah adalah karena secara ekonomi
lebih menguntungkan terkait dengan tingginya permintaan, marjin
keuntungan dan rendahnya resiko akibat kerusakan produk. Di tingkat
pasar swalayan, ketersediaan buah impor lebih dominan yang
mencapai 60% dari volume perdagangan.
c. Dari analisis kepercayaan konsumen terhadap produk hortikultura
impor yang dibandingkan dengan produksi dalam negeri, diketahui
bahwa daya saing produk dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan
dengan produk impor. Dengan demikian, subtitusi impor dalam jangka
pendek dan jangka menengah belum memungkinkan.
d. Dari analisis Diamond Porter, terdapat beberapa faktor yang dinilai
masih lemah yang menjadi penyebab lemahnya daya saing produk

49
hortikultura dan rempah-rempah Indonesia yaitu faktor sumber daya
dan faktor industri penunjang serta kebijakan pemerintah yang dinilai
kurang kondusif.
e. Beberapa kelemahan pada faktor sumber daya adalah teknologi
pemuliaan yang lemah, teknologi panen dan handling produk segar
yang belum berkembang serta kurangnya fasilitas antara lain fasilitas
pendingin, dan kurangnya fasilitas permodalan.
f. Pada faktor kebijakan pemerintah, salah satu kelemahan yang fatal
adalah masih banyaknya produk hortikultura dan rempah-rempah yang
belum ada SNI nya. Kondisi ini terutama terjadi pada produk-produk
buah segar, sayur segar dan rempah-rempah. Hambatan birokrasi dan
keamanan investasi masih menjadi temuan di lapangan. Untuk
kebijakan perdagangan, perlu diupayakan agar produk-produk dalam
negeri dengan kualitas lebih rendah harganya di tingkat konsumen tidak
lebih tinggi dibandingkan produk impor.
g. Pada faktor industri penunjang, perlu insentif investasi dan
kemudahan birokrasi perijinan dari pemerintah untuk pengembangan
industri input faktor khususnya industri kemasan yang diperlukan oleh
industri pengolahan hortikultura dan rempah-rempah Indonesia.
h. Terdapat urutan prioritas penanganan masalah untuk meningkatkan
daya saing produk hortikultura dan rempah-rempah Indonesia. Prioritas
pertama diberikan pada faktor pendukung yang selama ini memiliki
derajat kinerja yang rendah, namun urgensi penanganannya tinggi yaitu
(1) adanya standar mutu, (2) ketersediaan dan kemudahan akses
modal, (3) kebijakan perdagangan yang kondusif, (4) ketersediaan
teknologi maju, dan (5) penyederhaan birokrasi dan peningkatan
keamaan investasi. Untuk faktor-faktor yang derajat kinerjanya dinilai
cukup tinggi namun urgensi terhadap peningkatan daya saingnya tinggi
digolongkan termasuk faktor prioritas kedua yaitu (1) perbaikan sarana
transportasi, (2) ketersediaan fasilitas yang memadai, dan (3)
pengurangan pajak dan pungutan.

50
i. Berdasarkan kinerja penguasaan pangsa pasar, kondisi daya saing dan
ukuran pasar di pasar dunia, terdapat urutan prioritas untuk
penanganan komoditas/produk. Komoditas/produk yang termasuk
sebagai prioritas utama untuk ditangani dalam rangka peningkatan
ekspor adalah cengkeh, pala, kayu manis dan nenas kaleng. Prioritas
kedua adalah terongan, polongan, bunga potong, cauliflowers, lettuce,
timun, pisang, jambu, mangga, manggis, strawberri, buah dikeringkan,
jams, fruit jellies, fruit & veg juicenes, mixtures of juices unfermented,
fermented beverages, undenatured ethyl alcohol, ethyl alc & other spirit,
vinegar, aneka saus, food prep. dan mucilages. Prioritas ketiga adalah
kolompok komoditas/produk yang memerlukan upaya khusus yaitu
lada, vanili, agar-agar dan kol.
Hasil kajian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa
Timur (2011) tentang Pengembangan Pelabuhan Regional Yang Tidak
Diusahakan Sebagai Pengungkit Perekonomian Di Jawa Timur
mengemukakan beberapa hasil sebagai berikut:
Kondisi sarana dan prasarana Pelabuhan Probolinggo lebih baik jika
dibandingkan dengan pelabuhan Branta dan Lamongan.
Kinerja Pelabuhan Probolinggo untuk bongkar muat kapal antar pulau
adalah kedatangan kapal per hari 7-8 kapal, waktu kapal di pelabuhan
cukup pendek yaitu 7 jam/kapal, ton per kapal dipelabuhan 3,3 ton/jam,
dan tonase per kapal 28,5 ton/kapal. Kinerja Pelabuhan Brondong
untuk bongkar muat kapal antar pulau adalah kedatangan kapal per
hari 2-3 kapal, waktu kapal di pelabuhan diatas 20 jam/kapal, ton per
kapal dipelabuhan 1,09 ton/jam, dan tonase per kapal 44,125 ton/kapal.
Keberadaan Pelabuhan Brondong dan Probolinggo berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur, dimana faktor yang paling
berpengaruh adalah kunjungan kapal.
Aspek yang perlu dikembangkan di Pelabuhan Probolinggo, Lamongan
dan Branta adalah pengembangan di prasarananya yaitu alur
pelayaran, dermaga, gudang, lapangan penumpukan dan perlatan

51
bongkar muat. Untuk Pelabuhan Brondong yang perlu dikembangkan
adalah alur masuk ke pelabuhan karena saat ini kedalamannya hanya
3,5 meter LWS, kedalaman alur perlu ditambah menjadi paling tidak 7
meter LWS. Aspek lain yang perlu ditambah di Pelabuhan Brondong
adalah perlu menambah kolam pelabuhan di luar alur yang ada dengan
kedalaman minimal 7 meter LWS agar kapal-kapal dengan bobot besar
bisa masuk.
Untuk Pelabuhan Branta, yang perlu dikembangkan adalah
penambahan fasilitas bongkar muat yang lebih modern karena saat ini
proses bongkar muat barang masih menggunakan cara-cara yang
konvensional yaitu masih mengandalkan tenaga manusia. Selain itu,
pengelolaan pergudangan perlu dilakukan dengan sistem pengelolaan
gudang terbuka dan pengelolaan gudang tertutup. SDM di bidang
teknis dan nautika perlu ditambah. Fasilitas dermaga umum perlu
diperbaiki dengan menambah panjang dermaganya agar kapal-kapal
besar bisa sandar dan labuh.
Untuk Pelabuhan Probolinggo perlu dikembangkan aksesibilitas keluar
masuk barang dari dan ke pelabihan, artinya perlu segera dibangun
jalan yang menghubungkan pelabuhan dengan jalan raya dengan
sistem jalan layang dan bebas hambatan. Selain itu perlu juga
dikembangkan prasarana terminal penumpang dan dermaga karena
saat ini belum memadai. Armada kapal yang ada juga masih bersifat
tradisional dan dikelola secara perorangan. Perlu dilakukan
standardisasi bentuk dan konstruksi kapal dari sisi ekonomi dan
kelaiklautan kapal, serta kemudahan perizinan dan operasional.

52
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran


Impor merupakan aktifitas memasukkan barang dari luar kedalam
wilayah pabean suatu negara. Idealnya impor dilakukan manakala produk
tersebut belum dapat diproduksi didalam negeri atau kebutuhan lebih besar
daripada barang yang tersedia (demand lebih besar dari supply). Namun
demikian dalam kenyataannya barang impor antara lain produk inustri
tertentu dan hortikultura banyak yang masuk meskipun barang tersebut
banyak tersedia didalam negeri. Oleh karena itu, banyak faktor yang
mendorong aktifitas impor, antara lain harga, kualitas, kontinyuitas suplly
dan lain sebagainya.
Terjadinya peningkatan impor khususnya untuk produk hasil industri
dan hortikultura tersebut mengganggu kinerja industri di dalam negeri,
sehingga pemerintah menerapkan kebijakan impor baik untuk produk
hortikultura maupun produk industri. Kebijakan tersebut meliputi penentuan
cakupan produk yang dapat diimpor, tata cara pemberian rekomendasi
impor dan penentuan pelabuhan sebagai pintu masuk barang impor.
Kajian ini akan melihat kebijakan impor dari sisi penentuan
pelabuhan tertentu sebagai pintu masuk impor produk tertentu, yaitu dalam
hal ini produk hasil industri khususnya produk elektronikan dan makanan
minuman serta produk hortikultura khususnya buah dan sayuran.
Tujuan dari kajian ini sebagaimana telah diuraikan pada bab
pendahuluan adalah untuk mengetahui kriteria ideal pelabuhan yang
digunakan sebagai pintu masuk produk impor dan menganalisis kesesuaian
pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu masuk impor. Untuk
mencapai tujuan tersebut, akan dilihat fasilitas pelabuhan dan karantina,
posisi dari sentra produksi produk yang sama dengan produk impor,
rencana pengembangan pelabuhan masuk dalam MP3EI serta nilai impor
produk hasil industri dan produk hortikultura. Dari 4 hal tersebut diatas,

53
akan dianalisis potensi dampak kebijakan ekonomi penetapan pelabuhan
tertentu sebagai pintu masuk impor produk industri dan hortikultura,
khususnya produk makanan minuman, elektronika, buah dan sayuran. Dari
hasil analisis ini akan direkomendasikan kebijakan impor untuk produk
industri dan produk hortikultura, sebagaimana tersaji dalam Gambar 3.1.

Gambar 3.1
Kerangka Pikir

Trend Peningkatan Impor


Produk Hortikultura dan
Produk Tertentu

Kebijakan Impor Produk


Hortikultura dan Produk
Tertentu

Penentuan Tata cara Penentuan pintu


cakupan produk rekomendasi masuk pelabuhan

Fasilitas Posisi dari Rencana Nilai dan Volume


Pelabuhan dan Sentra Produksi Pengembangan Impor Produk
Karantina Pelabuhan Masuk Tertentu dan
Pertanian Dalam MP3EI Hortikultura

Potensi Dampak Kebijakan dan Daya


Saing Produk Lokal

Bahan Rekomendasi
Kebijakan Impor Produk
Tertentu dan Produk
Hortikultura

3.2. Jenis dan Sumber Data


Data yang dipergunakan dalam kajian ini terbagi menjadi dua jenis,
yaitu data primer maupun data sekunder. Adapun data primer bersumber

54
dari hasil wawancara dengan responden dan Focus Group Discussion
(FGD) dengan para pemangku kepentingan terkait (stakeholders),
sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai literatur dan publikasi
yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Pertanian,
Kementerian Perindustrian, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian
Koordinator Perekonomian, serta jurnal yang berasal dari jurnal
internasional.

3.3. Metode Analisis Data


3.3.1. Analisis Multi Atribut Angka Ideal dan Semantic Differential
Untuk menilai prospek dampak suatu kebijakan secara sederhana
dapat menggunakan analisis multiatribut angka ideal (Engel et al., 1994)
dan skala diferensi semantik (semantic differential scale) (Kotler, 1993)
yang dapat digambarkan secara simbolis sebagai berikut:
PI = Wi (Ai - Bi)
dengan:
PI = Nilai dampak kebijakan
Wi = Pentingnya kriteria i pada penilaian dampak kebijakan yang
dihitung menggunakan metode pembobotan Eckenrode
Ai = Nilai kepercayaan setelah aplikasi kebijakan pada kriteria i
Bi = Nilai kepercayaan kebijakan pada saat ini (sebelum aplikasi)
pada kriteria i
Analisis multiatribut angka ideal (multiattribute expextancy-value
models) ini merupakan salah satu model kompensasi (compensatory
model) yang menganalisis biaya dan manfaat dimana fitur negatif dapat
dikompensasi dengan yang positif. Dengan kata lain, analisis multiatribut
angka ideal ini juga merupakan suatu model yang memberikan informasi
mengenai kebijakan ideal atau bisa juga atribut ideal dan pandangan
para responden terhadap kebijakan atau atribut yang sudah ada.
Dengan analisis multiatribut angka ideal ini para responden diminta
menempatkan skala terhadap derajat atau tingkat atribut yang menonjol

55
yang dimiliki oleh suatu kebijakan. Para responden memiliki kecenderungan
untuk memberikan bobot yang lebih banyak terhadap atribut yang
mendukung dengan tujuan mereka.
Berdasarkan analisis ini, semakin dekat penilaian aktual dengan
penilaian ideal, maka sikap tersebut semakin mendukung. Sebaliknya, jika
semakin jauh penilaian aktual dengan penilaian ideal, maka sikap tersebut
tidak mendukung. Sementara itu, jika penilaian aktual sama dengan
penilaian ideal, maka menunjukkan kecocokan yang sempurna dengan
konfigurasi atribut yang ideal (Engel et al., 1994).
Karena sikap, perilaku, dan nilai kepercayaan merupakan variabel
kualitatif, maka pengukurannya menggunakan penyekalaan guna
mengurangi subjektifitas para responden. Skala diferensi semantik
(semantic differential scale) merupakan salah satu skala yang digunakan
untuk mengukur sikap dan persepsi para responden di antara sifat-sifat
bipolar (dua kutub) yang berlawanan dalam mengevaluasi efektivitas
penerapan kebijakan penentuan pelabuhan impor tertentu.
Skala diferensi semantik ini pertama kali dikembangkan oleh Charles
Osgood, George Suci, dan Percy Tannenbaum, dimana dalam
penggunaanya skala diferensi semantik dimulai dengan penentuan konsep/
objek untuk dinilai dan kemudian dilanjutkan dengan pemilihan kata atau
frase yang berlawanan yang digunakan untuk menggambarkan
konsep/objek. Selanjutnya, para responden menilai atau memilih konsep
dalam suatu skala (pada umumnya 1-7). Rata-rata dari tanggapan tersebut
dihitung dan diplot sebagai suatu profil visual (diagram ular) atau skala linier
numerik (McDaniel and Gates, 2010).
Selain itu, skala modifikasi diferensi semantik digunakan dalam
kajian ini guna memberikan gambaran informasi perkiraan dampak
kebijakan penetapan pelabuhan impor tertentu sebagai pintu masuk produk
tertentu dengan penggunaan skala positif dan negatif (Simamora, 2008).

56
3.3.2. Metode Pembobotan Eckenrode
Metode pembobotan Eckenrode adalah salah satu metode
pembobotan yang digunakan untuk menentukan derajat kepentingan/bobot
dari setiap kriteria yang ditetapkan dalam pengambilan keputusan.
Penentuan bobot ini dinilai sangat penting karena akan mempengaruhi nilai
total akhir dari setiap pilihan keputusan. Bobot merupakan nilai preferensi
tujuan tak berdimensi. Bobot memiliki sifat sebagai berikut:
0 We 1, dimana We = bobot ke-e, dan e = 1,2, , k
k

We 1
e 1

Keterangan: We > Wk, artinya tujuan/kriteria Ze lebih penting dari


tujuan/kriteria Zk. Ketika We = Wk, artinya tujuan/kriteria Ze
sama penting dari tujuan/kriteria Zk.
Konsep yang digunakan dalam metode pembobotan ini adalah
dengan melakukan perubahan urutan menjadi nilai dimana urutan 1 dengan
nilai tingkat (nilai) tertinggi, urutan 2 dengan tingkat (nilai) di bawahnya, dan
seterusnya. Adapun langkah-langkah dalam metode perhitungan bobot
Eckenrode adalah sebagai berikut (Maarif dan Tanjung, 2003), yaitu:
Responden diminta untuk meranking setiap kriteria.
Pembuatan tabel sebagai berikut:
Kriteria Jumlah Ranking Nilai Bobot
R1 R2 R3 Rn
K1 Jr11 Jr12 Jr13 .. Jr1n N1 B1
K2 Jr21 Jr22 Jr23 . Jr2n N2 B2
K3 Jr31 Jr32 Jr33 . Jr3n N3 B3
.. . . . . .. . .
Km Jrm1 Jrm2 Jrm3 .. Jrmn Nn Bn
Faktor Rn-1 Rn-2 Rn-3 .. Rn-n Total 1,00
Pengali Nilai

57
Penghitungan bobot (B1..Bn) dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
n
Ni = Jrij * Rn-1
j=1
m
Total Nilai = Ni
i=1
dimana:
Bi = Ni/Total Nilai
Ni = Nilai untuk kriteria ke i
Jrij = Jumlah yang memilih ranking ke j, untuk kriteria ke i
Rn-1= Faktor Pengali

58
BAB IV
GAMBARAN UMUM

4.1. Kondisi Pelabuhan di Indonesia


Kondisi pelabuhan di Indonesia terlihat dalam laporan yang dibuat
oleh USAID (2008), dimana menyebutkan bahwa sistem pelabuhan
Indonesia disusun menjadi sebuah sistem hierarkis yang terdiri atas sekitar
1700 pelabuhan. Terdapat 111 pelabuhan, termasuk 25 pelabuhan
strategis utama, yang dianggap sebagai pelabuhan komersial dan dikelola
oleh empat BUMN, Perum Pelabuhan Indonesia I, II, III and IV dengan
cakupan geografis sebagaimana diuraikan dalam tabel 1 di bawah ini.
Selain itu, terdapat juga 614 pelabuhan diantaranya berupa Unit Pelaksana
Teknis (UPT) atau pelabuhan non-komersial yang cenderung tidak
menguntungkan dan hanya sedikit bernilai strategis.
Di samping itu, terdapat pula sekitas 1000 pelabuhan khusus atau
pelabuhan swasta yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan
saja (baik swasta maupun milik negara) dalam sejumlah industri meliputi
pertambangan, minyak dan gas, perikanan, kehutanan, dan sebagainya.
Beberapa dari pelabuhan tersebut memiliki fasilitas yang hanya sesuai
untuk satu atau sekelompok komoditas (misal. Bahan kimia) dan memiliki
kapasitas terbatas untuk mengakomodasi kargo pihak ketiga. Namun
demikian, pelabuhan yang lain memiliki fasilitas yang sesuai untuk beragam
komoditas, termasuk, dalam beberapa hal, kargo peti kemas. Saat ini,
Pelindo menikmati monopoli pada pelabuhan komersial utama yang
dilegislasikan serta otoritas pengaturam terhadap pelabuhan-pelabuhan
sektor swasta. Pada hampir semua pelabuhan utama, Pelindo bertindak
baik sebagai operator maupun otoritas pelabuhan tunggal, mendominasi
penyediaan layanan pelabuhan utama sebagaimana tercantum di bawah
ini:
Perairan pelabuhan (termasuk urukan saluran dan basin) untuk
pergerakan lalu lintas kapal, penjangkaran, dan penambatan.

59
Pelayaran dan penarikan kapal (kapal tunda).
Fasilitas-fasilitas pelabuhan untuk kegiatan bongkar muat, pengurusan
hewan, gudang, dan lapangan penumpukan peti kemas; terminal
konvensional, peti kemas dan curah; terminal penumpang.
Listrik, persediaan air bersih, pembuangan sampah, dan layanan
telepon untuk kapal.
Ruang lahan untuk kantor dan kawasan industri.
Pusat pelatihan dan medis pelabuhan.
Tabel 4.1
Cakupan Wilayah dan Pelabuhan
di Bawah Pengaturan Perum Pelabuhan
Perum
No. Cakupan Wilayah (Provinsi) Pelabuhan-Pelabuhan yang Diatur
Pelabuhan
1 Pelindo I Aceh, Sumatera Utara, Riau Belawan, Pekanbaru, Dumai,
Tanjung Pinang, Lhokseumawe
2 Pelindo II Sumatera Barat, Jambi, Tanjung Priok, Panjang,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Palembang, Teluk Bayur,
Lampung, Jakarta Pontianak, Cirebon, Jambi,
Bengkulu, Banten, Sunda Kelapa,
Pangkal Balam, Tanjung Pandan
3 Pelindo III Kalimantan Tengah, Tanjung Perak, Tanjung Emas,
Kalimantan Selatan, Nusa Banjarmasin, Benoa,
Tenggara Barat, Nusa Tenau/Kupang
Tenggara Timur (sebelumnya
Timor Timur)
4 Pelindo IV Sulawesi (Tengah dan Utara), Makassar, Balikpapan, Samarinda,
Maluku, Irian Jaya Bitung, Ambon, Sorong, Biak,
Jayapura

Menurut laporan USAID tersebut, berdasarkan data dari


Kementerian Perhubungan (Dephub) diperoleh bahwa total tonase yang
ditangani di pelabuhan-pelabuhan Indonesia meningkat dari 582 juta ton
pada tahun 2002 menjadi 736 juta ton pada tahun 2006, dengan rata-rata
peningkatan tahunan sekitar 6 persen. Selama jangka waktu tersebut,
jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri meningkat sekitar
11,5% per tahun, lebih dari dua kali lipat dari peningkatan jumlah barang
yang diangkut dengan tujuan ke luar negeri yang hanya sebesar 4,1
persen. Dalam tahun-tahun belakangan, peningkatan jumlah barang yang
diangkut untuk tujuan dalam negeri sangat besar di Indonesia bagian timur.

60
Secara nyata, jumlah barang yang diangkut untuk tujuan dalam negeri dan
luar negeri mengalami peningkatan sekitar 77 juta ton dalam kurun waktu
empat tahun tersebut.
Selanjutnya, di 11 terminal peti kemas utama (yang memiliki mesin
derek peti kemas dan dinyatakan oleh Departemen Perhubungan sebagai
Terminal Peti Kemas, total volume peti kemas meningkat sebesar satu juta
selama kurun waktu 2005-2007 dengan rata-rata pertumbuhan tahunan
sekitar 12 persen. Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta mewakili hampir
setengah jumlah peti kemas dalam sistem pelabuhan Indonesia. Pada
tahun 2007, total volume peti kemas pada empat terminal di pelabuhan
hanya di bawah 3 juta TEU dan diharapkan mencapai 3,7 juta TEU.
Indonesia tidak memiliki pelabuhan pindah muat (trans-shipment)
yang mampu mengakomodasi kebutuhan kapal-kapal besar antar benua
(large trans-oceanic vessels), meski pemerintah telah lama merencanakan
pembangunan fasilitas tersebut di Bojonegara (di sebelah barat Jakarta)
dan di Bitung (di Sulawesi Utara) dan berbagai tempat lain di Indonesia.
Bahkan, sebagian besar perdagangan antar Asia di Indonesia harus
dipindahmuatkan melalui pelabuhan penghubung di tingkat daerah. Di
Indonesia, pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya dijadikan sebagai
pelabuhan penghubung utama untuk kawasan timur Indonesia (dari
Kalimantan ke Papua).
Keterlambatan waktu di pelabuhan-pelabuhan Indonesia merupakan
sebuah masalah besar bagi para pengusaha angkutan laut. Pada tahun
2002, waktu yang dibutuhkan untuk memindahkan peti kemas di Pelabuhan
Jakarta, misalnya, adalah sekitar 30-40 peti kemas/jam. Peningkatan dalam
hal teknis dan operasional menunjukkan peningkatan produktivitas, pada
pertengahan tahun 2007 pemindahan peti kemas per jam mencapai sekitar
60 peti kemas. Akan tetapi, meningkatnya lalu lintas peti kemas dan
kemacetan di pelabuhan disertai permasalahan yang berkaitan dengan
berbagai masalah ketenagakerjaan serta keterlambatan pabean

61
menyebabkan turunnya produktivitas menjadi sekitar 40-45 peti kemas per
jam di paruh pertama tahun 2008.
Para pengusaha jasa angkutan laut interansional Indonesia
menikmati pelayanan pemindahmuatan (trans-shipment) yang sangat
bersaing di Singapura dan Malaysia, tetapi harus membayar biaya jasa
bongkar muat yang tinggi terutama karena tingginya biaya pelabuhan di
Indonesia. Sebuah kajian tentang rantai pasokan (supply-chain)
menunjukkan bahwa upaya untuk mengakses pelabuhan-pelabuhan
penghubung di tingkat regional merupakan persentase biaya yang tidak
proporsional dari jumlah total biaya angkutan internasional. Carana (2004)
memperkirakan sekitar 20-50 persen dari biaya angkutan internasional
untuk tujuan ekspor dikeluarkan pada 1000 mil pertama saat melewati
pelabuhan-pelabuhan penghubung di tingkat regional. Salah satu
contohnya, 600 mil dari Pelabuhan Semarang (Jawa Tengah) ke Singapura
hanya 10 persen dari total jarak yang harus ditempuh, tetapi biaya yang
dikeluarkan untuk menempuh jarak 600 mil tersebut lebih dari 45 persen
dari keseluruhan biaya pengangkutan untuk ekspor mebel tersebut ke
pasar tujuan akhir di Valensia, Spanyol.
Meskipun mengakses data kinerja pelabuhan gerbang utama
Indonesia tetap sulit, beberapa data kinerja tersedia untuk sebagian besar
dari 25 pelabuhan strategis lainnya. Dari 19 pelabuhan pada daftar 25
pelabuhan ini yang data lengkapnya tersedia (kecuali pelabuhan-pelabuhan
yang dikelola oleh Pelindo II), dapat dilihat bahwa pemberian jasa
pelabuhan pada pengguna selama ini memprihatinkan, dan hanya ada
sedikit perbaikan sejak akhir tahun 1990an. Hal ini tercermin dalam
beberapa indikator kinerja utama seperti rasio-rasio tingkat okupansi
tambatan kapal atau berth occupancy rate (BOR), waktu persiapan
perjalanan pulang kapal atau vessel turn-around time (TRT) dan waktu
kerja atau working time (WT).

62
Tabel 4.2 Data Kinerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama:
Kargo Dalam Negeri
PELABUHAN 1999 2006 1999 2005/6
BOR BOR TRT TRT WT PT AT NOT ET IT
% % JAM JAM JAM JAM JAM JAM JAM JAM
Belawan 62,7 52,4 77,9 72,6 1,4 16,6 1,7 22,4 29,8 0,9
Dumai 73,6 74,0 83,4 81,5 4,2 26,8 9,6 11,4 27,3 2,4
Lhokseumawe 43,2 22,4 88,8 62,7 0,8 5,8 1,3 25,8 27,4 1,6
Pekan Baru* 59,2 51,3 109,9 96,5 1,4 14,5 11,4 45,4 22,5 1,2
Tanjung Pinang 82,9 90,3 84,4 82,9 0,0 2,3 2,0 58,4 16,0 4,2
Banten 41,6 39,1 57,9 65,1 1,0 0,8 7,8 34,5 21,1 0,0
Palembang* 62,9 34,7 73,6 61,8 0,1 0,0 17,7 20,0 23,3 0,7
Banjarmasin 81,0 74,7 55,0 52,0 1,0 1,0 6,0 23,0 21,0 0,0
Benoa 60,1 56,0 22,0 137,0 0,0 0,0 1,0 122,0 14,0 0,0
Tenau/Kupang 74,4 65,7 79,0 167,0 10,0 1,0 6,0 65,0 85,0 0,0
Tanjung Emas 79,0 27,8 51,0 77,0 1,0 2,0 2,0 11,0 49,0 12,0
Tanjung Perak 63,0 69,0 99,0 38,0 0,0 5,0 4,0 9,0 20,0 0,0
Ambon 60,2 54,2 62,1 54,8 0,1 0,3 0,3 24,0 29,6 0,6
Biak 71,2 49,5 96,0 80,0 1,0 0,0 1,0 10,0 67,0 1,0
Bitung 65,1 70,2 95,6 60,5 0,6 0,4 28,0 31,6 0,0
Jaya Pura 65,2 70,9 164,5 103,5 0,4 0,1 0,5 23,7 33,9 44,6
Makassar 53,8 43,2 66,7 124,3 0,0 0,0 3,0 15,2 93,4 12,6
Samarinda* 64,0 68,9 93,0 88,8 7,3 0,0 5,0 10,0 59,2 7,3
Sorong 72,4 80,0 38,3 50,0 6,0 0,0 1,0 20,0 22,0 1,0
Average 65,0 57,6 78,8 81,9 2,0 4,0 4,3 30,4 36,5 4,7
Catatan: BOR adalah rasio penggunaan tambatan kapal, TRT adalah waktu
persiapan perjalanan pulang kapal, WT adalah waktu tunggu, PT adalah waktu
tunda (yang disebabkan administrasi pelabuhan), AT adalah Waktu Pelayanan
Panduan, NOT adalah waktu jeda, ET adalah waktu kerja efektif dan IT adalah
waktu tidak efektif. Sumber: Departemen Perhubungan (2006)

63
Secara keseluruhan, rata-rata sederhana tingkat okupansi tambatan
kapal untuk pelabuhan-pelabuhan ini pada tahun 2006 adalah 57,6 persen,
yang turun dari 65 persen pada tahun 1999, tetapi bagaimanapun juga
masih jauh melampaui angka yang dianggap Nathan Associates (2001) dan
lainnya sebagai standar maksimum yang dapat diterima secara
internasional, yaitu 40 persen. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa
pertumbuhan dalam volume peti kemas, tanpa peningkatan mutu yang
memadai dalam kapasitas, akan menyebabkan keterlambatan dan waktu
tunggu kapal yang semakin bertambah.
Rata-rata waktu pulang-pergi kapal (suatu ukuran yang
menjumlahkan seluruh waktu yang dibutuhkan di pelabuhan termasuk
waktu tunggu, waktu pelayanan panduan, waktu tidak efektif, waktu kerja
dll) juga menandakan kinerja pelabuhan yang buruk dengan kapal-kapal
memerlukan rata-rata 82 jam di pelabuhan (kira-kira 3,5 hari), lebih lama
dari rata-rata 79 hari pada tahun 1999. Untuk daftar lengkap 25 pelabuhan
strategis (termasuk pelabuhan Pelindo II), waktu persiapan perjalanan
pulang pada tahun 2006 untuk pelayaran dalam negeri adalah 74 jam (3,1
hari), lebih lama dari 65 jam (2,7 hari) pada tahun 2007. Waktu kerja
sebagai persentasi waktu pulang-pergi memiliki rata-rata sekitar 44,5
persen pada tahun 2005/6, yang berarti bahwa untuk waktu kapal berada di
pelabuhan, kapal tersebut hanya dilayani (yakni bongkar/muat) kurang dari
separuh waktu tersebut (Tabel 4.3). Angka yang sama untuk tahun 1999
sedikit lebih tinggi yaitu 44,7 persen, menandakan bahwa hanya sedikit
atau sama sekali tidak ada perbaikan dalam indikator penting ini di tahun-
tahun terakhir.
Tabel 4.3 Rasio Waktu Kerja Pelabuhan untuk 19 Pelabuhan Utama
1999 2005/6
Waktu kerja efektif / Waktu persiapan 44.7% 44.5%
perjalanan pulang
Waktu kerja efektif / (Waktu persiapan 46.9% 47.0%
perjalanan pulang waktu pelayanan
panduan)

64
Kesimpulan sederhana yang ditarik dari analisis di atas adalah bahwa
armada kargo Indonesia menghabiskan terlalu banyak waktu untuk tidak
beroperasi atau menunggu di pelabuhan. Waktu berlayar rata-rata antara
ke-19 pelabuhan yang terdaftar pada tabel dan pelabuhan-pelabuhan
pengumpan (feeder) utama Jakarta dan Surabaya berkisar pada rata-rata
1-2 hari (Lembaran Negara Pelayaran Indonesia, 3 Maret 2008). Informasi
ini, dipadukan dengan data TRT yang didapati di tabel, menunjukkan
bahwa banyak kapal kargo domestik Indonesia akan menghabiskan paling
sedikit separuh, mungkin tiga-perempat, waktu mereka di pelabuhan.

4.2. Kondisi Industri Elektronika dan Makanan


Industri elektronika di Indonesia meliputi industri elektronika
konsumsi, industri elektronika bisnis, dan komponen elektronika. Adapun
pengelompokannya dibagi atas kelompok indutri hulu, kelompok industri
antara dan kelompok industri hilir.
Adapun neraca perdagangan untuk industri elektronika secara
keseluruhan sejak tahun 2007 hingga tahun 2011 senantiasa defisit. Pada
tahun 2011, ekspor untuk industri ini mencapai USD 3.202,55 Juta,
sedangkan impornya mencapai USD 5.093,22 Juta, sehingga neraca
perdagangan untuk industri elektronika defisit sebesar USD 1.890,67 Juta,
sebagimana terlihat pada gambar 4.1.
Tahun 2011 industri barang elektronik konsumsi mengalami
peningkatan yang cukup tinggi. Menurut data Electronic Marketer Club
(EMC), realisasi nilai penjualan produk elektronik selama bulan Januari
hingga November 2011 mencapai Rp 22,65 triliun. Angka penjualan
tersebut mengalami kenaikan 27% dibandingkan dengan penjualan pada
periode yang sama tahun lalu.1
Pertumbuhan penjualan tersebut banyak ditunjang oleh peningkatan
penjualan yang signifikan untuk produk-produk flat panel TV, kulkas dan
mesin cuci. Penjualan flat panel TV terutama terjadi karena adanya

1
Gabungan Elektronik Indonesia, 2012

65
kecenderungan perpindahan dari televisi tabung (CRT) yang lebih boros
energi listrik ke flat panel yang terdiri dari LCD, LED, dan plasma.
Gambaran pasar elektronik tahun depan rupanya juga tidak kalah
optimistis bila dibanding tahun ini. Kalangan industri elektronik umumnya
optimisis bahwa, penjualan berbagai produk elektronik di tahun depan akan
tumbuh antara 15% hingga 25%.
Optimisme itu didasarkan pada langkah beberapa merek yang akan
memperbesar kapasitas mesin cuci, lemari es pada tahun depan. Selain itu,
pasar elektronik di dalam negeri juga diyakini masih akan terus meningkat.
Namun ada beberapa potensi kendala yang bisa menurunkan
penjualan barang elektronik pada tahun 2012. Pertama, krisis yang
belakangan ini melanda sejumlah negara dan mengarah ke krisis global
kemungkinan akan ada dampaknya. akan terasa di kuartal I-2012. Kkrisis
global dierkirakan akan mendorong penguatan nilai tukar dollar AS
terhadap rupiah. Penguatan dollar AS ini akan mendorong kenaikan harga
elektronik. Bila demikian, bisa dipastikan, kenaikan harga tersebut akan
memangkas pertumbuhan penjualan.
Saat ini perkembangan teknologi industri televisi terus berkembang
pesat sehingga mendorong peningkatan permintaan. Industri televisi
mengalami banyak perkembangan dari yang menggunakan teknologi
tabung sinar katoda (CRT) yang berlayar cembung hingga kehadiran TV
yang berlayar datar, dan kini muncul TV Plasma Display Panel (PDP) dan
Liquid Crystal Display (LCD).
Awal tahun 2000-an merupakan era baru bagi industri TV. Para
produsen televisi mulai memproduksi dan memasarkan pesawat televisi
dengan teknologi terbaru yang dikenal dengan Plasma dan LCD. Kehadiran
dua varian terbaru pesawat tv ini semakin menggairahkan pasar televisi
dan terbukti mampu mendorong pertumbuhan industri televisi di dalam
negeri.
Pada 2007 penjualan TV meningkat 12,5% yaitu naik menjadi
4.600.000 unit dari sebelumnya 4.000.000 unit. Peningkatan penjualan ini

66
didorong oleh sejumlah produsen yang meluncurkan varian-varian baru
untuk produk LCD serta memberikan diskon besar-besaran terutama
menjelang tutup tahun. Varian baru LCD yang menyerbu pasar diantaranya
Scarlet dari LG, Aquos dari Sharp dan lain-lain.
Meningkatnya pasar LCD di Indonesia, mendorong para produsen
menjadikan Indonesia sebagai basis bagi produksi LCD mereka. Sejak
2005 PT. LG Electronics Indonesia memiliki fasilitas produksi LCD
berkapasitas 50.000 unit per bulan.
Sebelumnya pasar TV domestik didominasi oleh produsen dengan
principal asal dari Jepang seperti Sharp, Toshiba, Sony dan lainnya.
Namun dalam beberapa tahun belakangan ini, LG Electronic Indonesia
(LGEIN) dan Samsung Electronics Indonesia dengan principal dari Korea
telah berkembang sangat pesat dan telah mampu menyalip dominasi
teknologi Jepang.
Menyusul pesatnya perkembangan teknologi pada industri TV,
mendorong pertumbuhan kapasitas produksi yang cukup tinggi. Para
produsen berlomba meningkatkan kapasitasnya guna memenuhi
permintaan pasar yang semakin tinggi seiring dengan kemajuan teknologi.
Sebagian besar produsen ini tidak hanya memproduksi televisi, melainkan
juga produk elektronik lainnya seperti peralatan listrik dan peralatan rumah
tangga.
Pada 2002 kapasitas produksi televisi tercatat masih sekitar 3.358
ribu unit per tahun. Namun pada 2007 kapasitas melonjak hingga mencapai
sekitar 12.727 ribu unit per tahun, atau meningkat sebesar 279%.
Peningkatan yang cukup tinggi tersebut merupakan kontribusi dari
sejumlah produsen besar seperti Samsung, LG, Panasonic dan lainnya
terus menambah kapasitasnya dalam periode tiga tahun terakhir. Terutama
setelah teknologi TV Plasma dan kemudian diikuti oleh LCD yang berbasis
digital diluncurkan ke pasar. Teknologi digital tersebut sangat menarik minat
konsumen sehingga permintaan terhadap produk tersebut cukup tinggi.

67
Peningkatan pangsa pasar TV yang dipicu oleh pergeseran selera
pasar dari TV konvensional type CRT menjadi LCD, harga yang semakin
terjangkau dan kompetitif, dan varian yang semakin beragam. Hal ini
mendorong sejumlah produsen besar menambah kapasitas produksinya
untuk memenuhi permintaan pasar.
Ekspansi yang cukup besar dilakukan oleh PT. Sharp Electronics
Indonesia yang menambah kapasitasnya menjadi 1.7 juta unit per tahun
dari sebelumnya hanya 180 ribu unit saja. Demikian juga dengan PT.
Toshiba Consumer Product Indonesia saat ini memiliki kapasitas produksi
sebesar 1, 5 juta unit per tahun, padahal enam tahun lalu hanya 70 ribu
unit.
Sebelumnya industri televisi di dalam negeri didominasi oleh vendor
asal Jepang, namun belakangan raksasa-raksasa elektronik asal Korea
Selatan mulai menggerogoti keperkasaan Jepang. Di Indonesia, vendor
asal Korea seperti Samsung dan LG mulai mampu melakukan penetrasi
pasar. Hal ini terlihat dari ekspansi yang dilakukan keduanya. PT.
Samsung Electronics Indonesia mendongkrak kapasitasnya menjadi 1.340
ribu unit per tahun dari sebelumnya hanya 400 ribu unit per tahun.
Sedangkan PT. LG Electronics Indonesia dari 1 juta unit per tahun
menambah kapasitas produksinya menjadi 1.150 ribu unit per tahun.
Dalam periode lima tahun terakhir, produksi televisi di dalam negeri
diperkirakan mengalami pertumbuhan rata-rata sekitar 6,3% per tahun
dengan tingkat produksi mencapai 5 juta hingga 6 juta unit per tahun.
Menurut data Kementerian Perindustrian, dalam periode 2005-2007
beberapa produsen melakukan ekspansi dengan menambah kapasitas
produksinya. Pada 2005 Toshiba menambah kapasitas produksi televisi
dengan menambah produksi TV LCD dan Plasma sebanyak 200 ribu unit
per tahun. Sehingga total kapasitasnya mencapai 2,2 juta unit per tahun.
Tahap awal dilakukan perluasan pabrik dari 4 ribu m2 dengan investasi
US$ 5 juta dan selanjutnya 16 ribu m2 dengan investasi sekitar US$ 20

68
juta. Ini digunakan untuk menampung relokasi pabrik TV Toshiba di
beberapa negara ke Indonesia.
Selain di Indonesia, saat ini Toshiba memiliki basis produksi di
Jepang, Amerika Serikat, Cina, Vietnam dan Inggris. Namun, dari beberapa
negara tersebut, dari segi volume produksi TV, Indonesia yang terbesar.
Pada 2007 Hitachi menambah kapasitas sebesar 396.000 unit per
tahun dengan investai sekitar US$ 7,8 juta. Selain itu, Samsung juga terus
melakukan ekspasni dengan menambah kapasitas produksi 360.000 unit
per tahun dengan investasi sebesar Rp 1, 6 triliun.
Mulai April 2008 LGEIN menghentikan tiga lini produksi televisi layar
cembung (CRT) menyusul naiknya biaya produksi dan turunnya segmen
pasar TV tersebut di dalam negeri. Naiknya harga bahan baku seperti
plastik yang mencapai sekitar 70%, kaca, dan lain-lain menyebabkan biaya
produksi meningkat. Pada saat yang bersamaan harga TV layar datar (flat)
hampir menyamai harga TV konvensional (CRT). Meski hanya menjual
25.000 unit televisi layar cembung pada tahun lalu, konsumsi televisi layar
cembung di pasar lokal terus merosot dan digantikan oleh model televisi
layar datar. Penjualan televisi layar cembung LG pada 2007 merosot 60%,
sebab biaya produksi tidak efisien dan bahan bakunya sulit didapat,
sedangkan trennya sudah habis.
Fasilitas produksi ini akan dialihkan ke televisi layar datar di pabrik
Cibitung, Bekasi. dengan menambah investasi untuk teknologi moulding
(cetak) yang dibeli dari Jerman, seharga Rp8 miliar per lini produksi dengan
kapasitas produksi 500.000 unit per lini produksi per tahun.
Dengan akan diberhentikannya produksi TV konvensional maka
LGEIN hanya akan memasarkan sisa produksi TV konvensional yang ada.
Biaya produksi CRT mahal, padahal dengan material plastik dan kaca yang
sama bisa memproduksi TV flat dengan harga lebih tinggi. Penghentian
produksi TV konvensional tidak akan menurunkan produksi TV LGEIN,
karena jalur produksi TV konvensional yang mencapai sekitar 30 ribu unit
per bulan, langsung dialihkan untuk memproduksi TV flat.

69
Menurut Gabungan Elektronik (Gabel), selama 2009- 2010 penjualan
elektronik naik signifikan. Pada 2009, total penjualan TV mencapai
3,859,785 unit, naik 5% menjadi 4,034,178 unit pada 2010. Kenaikan
sangat signifikan dibukukan dari penjualan AC. Pada 2009 penjualan AC
mencapai 1,211,311 unit, naik 33% menjadi 1,610,384 unit pada 2010.
Kenaikan penjualan yang cukup signifikan juga dibukukan produk
lemari es dan mesin cuci. Untuk lemari es, pada 2009 terjual 2,486,431
unit, naik 22% menjadi 3,026,378 unit pada 2010. Begitu juga, penjualan
produk mesin cuci naik 21%, dari 1,227,236 unit menjadi 1,490,594 unit.
Secara keseluruhan nilai penjualan elektronik pada 2009 mencapai Rp
20,135,194 triliun, naik 17% menjadi Rp 23,491,013 pada 2010.
Sebenarnya, walaupun terjadi peningkatan penjualan, pangsa pasar
produk lokal masih lebih kecil dibandingkan produk impor, terutama produk
selundupan dan non-standar. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir,
pangsa pasar produk elektronik lokal cenderung menyusut sekitar 5%-8%
per tahun. Menurut data Gabel, pada 2009 pangsa pasar lokal hanya
mampu menguasai 34% senilai Rp 9,8 triliun dari total konsumsi Rp 28,9
triliun.
Pada 2010 pangsa pasar produk lokal hanya berkisar 40% dengan
nilai Rp 12,7 triliun dari total omzet domestik yang menembus Rp 31,8
triliun. Sisanya dikuasai produk impor dan selundupan serta produk non-
standar dari RRT dengan harga lebih murah. Tak hanya itu, gairah produk
elektronik lokal yang mulai menunjukkan sinyal positif tersebut kembali
meredup pasca perjanjian kesepakatan perdagangan bebas Asean-China
(Asean-China Free Trade Agreement/ACFTA) pada awal tahun lalu.
Pasalnya, produk elektronik lokal kalah bersaing dengan produk RRT.
Akibatnya, produk RRT mulai menguasai pasar domestik, sementara
produk lokal mulai terdesak. Pasar domestik yang menjadi tumpuan industri
lokal akan tergerus.
Sebaliknya, di Indonesia industri elektronik kurang mendapatkan
dukungan dari pemerintah untuk bisa tumbuh. Beberapa kebijakan

70
pemerintah malah cenderung memperberat kinerja industri nasional.
Misalnya, soal pencabutan capping tarif listrik bagi industri hingga beragam
kebijakan fiskal dan perpajakan, seperti tarif bea masuk untuk bahan baku
elektronik justru lebih tinggi daripada produk yang lebih hilir (produk rakitan/
semifinished dan produk jadi), dan pajak barang mewah (PPnBM) yang
masih tinggi. Kalau pun ada kebijakan pemerintah yang berpihak pada
industri nasional, seperti Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag)
Nomor 56 Tahun 2008 tentang pengetatan impor, dalam kenyataan masih
perlu dipertegas dan diperketat di lapangan.
Menurut catatan Gabel, industri elektronik merupakan primadona
ekspor kedua, dengan nilai ekspor mencapai sekitar US$ 8 miliar pada
2010. Selain memiliki potensi ekspor yang tinggi, industri elektronik juga
mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan mampu menyerap tenaga
kerja yang banyak.
Dalam konteks ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah
untuk mendorong dan meningkatkan daya saing produk elektronik nasional
yaitu:
1. Pemerintah harus dapat memberi jaminan bahwa kurs Dollar tetap
stabil, tingkat suku bunga bank di dalam negeri harus ditekan agar
penjualan barang secara ritel dapat diberikan dengan harga yang
terjangkau. Ini bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan
daya beli masyarakat, khususnya menengah ke bawah.
2. Pemerintah harus memberikan kelonggaran pembayaran pajak dan
retribusi lainnya untuk dialokasikan ke pengembangan dan pembinaan
sumber daya manusia di internal perusahaan.
3. Bank harus mengutamakan penyaluran kredit ke perusahaan sektor riil
yang bisnisnya berkaitan dengan masyarakat luas (manufacturing dan
retail). Jika kurs dolar stabil dan pemerintah konsisten melaksanakan
Permendag No 56/2008 serta memperketat penyelundupan di setiap
pelabuhan, maka pelaku industri bisa tetap optimistis terhadap kondisi
pasar. Dengan begitu industri elektronik dalam negeri bisa terjaga dan

71
mengisi pasar dalam negeri. Dan industri konsumer elektronik (alat
rumah tangga) bisa menjadi basis produksi untuk diekspor.
4. Pastikan tidak ada penyelundupan di setiap pelabuhan-pelabuhan, dan
pastikan barang-barang yang beredar di pasaran ada pajaknya dan
setiap kemasan (kardus) dicantumkan nomor NPWP-nya.
5. Pemerintah harus memberikan bantuan untuk modal kerja yang
diperlukan untuk perluasan pabrik, ekspor maupun pembelian mesin-
mesin. Pemerintah juga harus memberi dukungan dalam hal pajak, dan
menganjurkan untuk impor peralatan mesin-mesin produksi elektronik
diberikan bebas bea masuk.
Saat ini, umumnya mesin-mesin yang digunakan para produsen
elektronik lokal masih menyewa, karena untuk membeli harganya mahal
sekali. Pembebasan bea masuk untuk mesin impor itu sejalan dengan
PMK 176/ 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin
Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan Atau Pengembangan
Industri dalam Rangka Penanaman Modal, hanya berlaku dalam rangka
penanaman modal, yakni penanaman modal asing (PMA) dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN), seta perluasan usaha
sebesar 30% atau lebih.
6. Pemerintah harus membantu pengembangan pabrik komponen (suku
cadang), sehingga Indonesia tidak perlu mengimpor terus menerus.
Kendati bervariasi, kebanyakan perusahaan elektronik Indonesia
memiliki kandungan impor di atas 60%. Tingginya kandungan impor ini
menunjukkan bahwa keterkaitan industri ini dengan industri
pendukungnya masih lemah. Karena memang komponennya tidak
diproduksi di dalam negeri. Industri komponen dan pendukung
elektronik merupakan titik lemah dalam industri ini dan perlu
ditingkatkan di masa mendatang.
Tentunya, kalau pabrik komponen ini mau dibangun di Indonesia mesti
mencari investor yang bersedia berinvestasi untuk membangun pabrik
komponen. Di sini, pemerintah mesti berperan dan mendukung

72
masuknya pemodal. Selain itu, pemerintah juga berkewajiban
memproteksi sehingga mereka merasa betah dan nyaman berinvestasi
di Indonesia.
7. Pemerintah harus mempercepat implementasi Standar Nasional
Indonesia (SNI) bagi semua produk elektronik. Pentingnya segera
penerapan SNI adalah untuk membendung impor produk tidak
berstandar dan kualitas rendah. Mengingat kasus-kasus beredarnya
produk non-standar sampai saat ini belum terselesaikan.
8. Pemerintah juga bisa mendukung perkembangan industri elektronik
dengan menciptakan budaya kerja profesional, menghilangkan budaya
pungli (pungutan liar), dan sikap-sikap yang menghambat iklim investasi
lainnya.
9. Pemerintah juga diharapkan turut membantu membangun merek
nasional dalam bentuk mempromosikan brand, sehingga merek
nasional tersebut bisa lebih terkenal dan citranya meningkat. Dengan
begitu, merek nasional juga bisa bersaing dengan merek-merek
internasional dan penjualan meningkat. Jika merek nasional sudah
terkenal di pasar internasional, ada dua dampak positif yang bisa diraih:
bisa ekspor dan merek nasional bisa berkibar di negara lain, serta
ekspansi untuk investasi pabrikan suku cadang.
10. Seperti banyak diusulkan kalangan pelaku bisnis dan lembaga terkait
(Gabel), pemerintah harus segera menurunkan dan menghapus PPn-
BM terhadap tujuh produk elektronik rumah tangga. Pentingnya
pengurangan atau penghapusan pajak PPnBM ini agar harga elektronik
lebih terjangkau. Saat ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara di
Asean yang mengenakan PPnBM hingga 20%. Padahal, Malaysia,
Singapura, dan Filipina telah menghapuskan seluruh PPnBM untuk AC,
lemari es, mesin cuci, dan televisi. Thailand hanya mengenakan PPnBM
untuk produk AC, itu pun tak lebih dari 15%.

73
Gambar 4.1.
Neraca Perdagangan Produk Elektronika

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

Untuk industri makanan dan minuman, neraca perdagangan untuk


industri ini senantiasa surplus sejak tahun 2007 sampai tahun 2011. Sejak
tahun 2007, ekspor akan makanan dan minuman senantiasa lebih besar
daripada impornya. Disini terlihat sebelum maupun sesudah adanya
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 56/2008 yang direvisi
dengan Permendag No 57/2010, impor akan makanan dan minuman lebih
kecil dari ekspor.

74
Gambar 4.2.
Neraca Perdagangan Produk Makanan dan Minuman
3.000,00

ekspor impor neraca


2.500,00

2.000,00
Juta USD

1.500,00

1.000,00

500,00

-
2007 2008 2009 2010 2011

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

4.3. Kondisi Produk Hortikultura


Produk hortikultura yang akan dibahas dalam kajian ini terbagi atas 3
kelompok yaitu buah-buahan, tanaman sayuran dan tanaman hias.
Kelompok buah-buahan terdiri dari Durian, Jeruk, Mangga, Nanas, Pepaya,
Pisang, Anggur, Apel, Melon dan Lengkeng. Adapun untuk sayuran terdiri
dari Bawang Merah, Bawang Putih, Kubis, Cabe Besar, Cabe rawit,
Kentang dan Wortel serta untuk kelompok tanaman hias terdiri dari
Anggrek, Krisan dan Heleconia.
Total areal hortikultura di Indonesia untuk komoditas buah-buahan
dan sayuran segar yang tercakup dalam Permentan No.89 Tahun 2012
yang diperbaharui dengan Permentan No 42 Tahun 2012, mencapai
876.860 ha. Diantara kelompok tanaman tersebut, tanaman sayuran
merupakan tanaman yang memiliki areal panen terluas yang pada tahun
2010 mencapai areal seluas 509.766 ha, kemudian diikuti oleh tanaman
buah-buahan seluas 367.094 ha (Tabel 4.4). Perkembangan areal panen

75
komoditas tersebut selama periode 2006-2010 mengalami sedikit
penurunan sebesar 0,1% per tahun. Kelompok komoditas sayuran
mengalami peningkatan sebesar 4,12% per tahun, sementara komoditas
buah-buahan mengalami penurunan areal panen sebesar 4,28% per tahun.
Komoditas buah-buahan yang mengalami penurunan areal yang cukup
signifikan adalah nanas, mangga dan jeruk.

Tabel 4.4. Perkembangan Luas Panen Komoditas Hortikultura Lingkup


Permentan No.89 Tahun 2012
Luas Panen (Ha) Perkembangan
Produk Hortikultura
2006 2007 2008 2009 2010 (% per tahun)
A. Buah-buahan
Durian 48.212,0 47.674,0 56.655,0 61.849,0 46.290,0 -1,00
Jeruk 72.390,0 67.592,0 68.673,0 60.190,0 57.083,0 -5,29
Mangga 195.503,0 203.997,0 190.793,0 215.387,0 131.674,0 -8,16
Nanas 21.368,0 18.957,0 14.271,0 12.611,0 12.141,0 -10,80
Pepaya 8.021,0 7.984,0 9.388,0 9.571,0 9.225,0 3,75
Pisang 94.144,0 98.143,0 107.791,0 119.018,0 101.276,0 1,89
Anggur 0,0 0,0 400,0 258,0 205,0
Apel 0,0 0,0 2.751,0 3.089,0 3.828,0
Melon 3.189,0 3.637,0 3.109,0 4.859,0 5.372,0 17,11
Total Buah-buahan 442.827,0 447.984,0 453.831,0 486.832,0 367.094,0 -4,28
B. Tanaman Sayuran
Bawang Merah 89.188,0 93.694,0 91.339,0 104.009,0 109.634,0 5,73
Bawang Putih 3.107,0 2.690,0 1.922,0 2.293,0 1.816,0 -10,39
Kubis 57.732,0 60.711,0 61.540,0 67.793,0 67.531,0 4,24
Cabe Besar 113.079,0 107.362,0 109.178,0 117.178,0 122.755,0 2,14
Cabe Rawit 91.668,0 96.686,0 102.388,0 116.726,0 114.350,0 6,19
Kentang 59.748,0 62.375,0 64.151,0 71.238,0 66.531,0 2,84
Wortel 23.069,0 23.695,0 24.640,0 24.095,0 27.149,0 4,42
Total Sayuran 437.591,0 447.213,0 455.158,0 503.332,0 509.766,0 4,12
Total A + B 880.418,0 895.197,0 908.989,0 990.164,0 876.860,0 -0,10
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

76
Dari sisi produksi untuk produk hortikultura lingkup Permentan No 89
Tahun 2012, walau areal panen tanaman buah-buahan lebih kecil
dibandingkan dengan areal panen sayuran, namun produksinya memiliki
kontribusi terbesar yang pada tahun 2010 mencapai produksi sebesar 12
juta ton. Produksi sayuran pada tahun 2010 hanya mencapai 6,6 juta ton
(Tabel 4.5). Dari aspek perkembangan produksinya, selama periode 2006-
2010 cenderung sedikit meningkat sebesar 0,8% per tahun. Produksi
sayuran yang cenderung meningkat significant sebesar 3% per tahun
sejalan dengan adanya peningkatan areal panen. Di lain pihak, produksi
buah-buahan cenderung menurun sebesar minus 0,3% per tahun karena
adanya penurunan areal panennya yang cukup significant.
Wilayah sentra produksi dari komoditi hortikultura lingkup Permentan
No.89 Tahun 2012 terpusat di Propinsi Jawa Timur sebagai sentra
produksi terbesar dengan kontribusi produksi sebesar 3 juta ton, disusul
oleh Jawa Barat dengan kontribusi sebesar 2,8 juta ton dan Sumatera
Utara dengan kontribusi produksi sebesar 2 juta ton (Tabel 4.6).

77
Tabel 4.5. Perkembangan Produksi Produk Hortikultura Lingkup
Permentan No.89 Tahun 2012
Produksi (Ribu Ton) Pertumbuhan
Jenis Hortikultura
2006 2007 2008 2009 2010 (%/th)
A. Buah-buahan
Durian 747,8 594,8 682,3 797,8 492,1 -8,5
Jeruk 2.565,5 2.625,9 2.467,6 2.131,8 2.028,9 -5,2
Mangga 1.622,0 1.818,6 2.105,1 2.243,4 1.287,3 -5,2
Nanas 1.427,8 2.237,9 1.433,1 1.558,2 1.406,4 -0,4
Pepaya 643,5 621,5 717,9 772,8 675,8 1,3
Pisang 5.037,5 5.454,2 6.004,6 6.373,5 5.755,1 3,6
Anggur 0,0 0,0 22,0 9,5 11,7 -23,4
Apel 0,0 0,0 160,8 262,0 190,6 9,3
Melon 55,4 59,8 56,9 85,9 85,2 13,5
Total A 12.099 13.413 13.650 14.235 11.933 -0,3
B. Tanaman Sayuran
Bawang Merah 794,9 802,8 853,6 965,2 1.048,9 8,0
Bawang Putih 21,1 17,3 12,3 15,4 12,3 -10,4
Kubis 1.267,7 1.288,7 1.323,7 1.358,1 1.385,0 2,3
Cabe 1.185,1 1.128,8 1.153,1 1.378,7 1.328,9 3,0
Kentang 1.011,9 1.003,7 1.071,5 1.176,3 1.060,8 1,2
Wortel 391,4 350,2 367,1 358,0 403,8 0,8
Total B 5.857,1 5.720 5.934 6.630 6.569 3,0
Total A + B 17.957 19.133 19.585 20.865 18.502 0,8
Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

78
Tabel 4.6. Produksi Produk Hortikultura Lingkup Permentan No 89 Tahun
2012 di Beberapa Sentra Produksi

Tahun Sumut (Ton) Jatim (Ton) Jabar (Ton) Sulut (Ton) Sulsel (Ton) Riau (Ton)

2008 1.941.315 3.592.881 3.475.280 268.203 501.023 15.468


2009 1.892.090 3.605.025 3.657.091 303.854 530.029 20.157
2010 2.006.910 2.969.271 2.793.967 295.144 459.629 27.061
Perkembangan
3,4 -17,4 -19,6 10,0 -8,3 74,9
(%/tahun)

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura (2011) (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

Dari aspek perdagangan, sampai dengan tahun 2011, neraca


perdagangan hortikultura Indonesia (gambar 4.3) masih mengalami defisit
secara total sebesar USD 1.400 juta. Defisit neraca perdagangan tersebut
terus meningkat pesat selama periode 2006-2011. Produk hortikultura
yang mengalami defisit neraca perdagangan yang terbesar adalah produk
buah-buahan (Gambar 4.4) kemudian diikuti oleh produk sayuran (Gambar
4.5). Dengan demikian, sangat diperlukan upaya untuk dapat mensubtitusi
produk-produk hortikultura impor tersebut dengan produk-produk
hortikultura lokal yang pada tahap awal melalui kebijakan proteksi terlebih
dahulu simultan dengan upaya peningkatan daya saing produk-produk
hortikultura lokal.

79
Gambar 4.3.
Neraca Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia

Neraca Perdagangan Produk Hortikultura Indonesia


100
6,6 9,8 7,6 6,9 9,8 6,6 4,9 5,5 6,4 8,9 7,0 10,8 7,3 16,5 10,5
0
-3,9
-100 -81,5-82,0
-102,9-87,1
-148,4
-200
-200,1 -205,0 BUAH-BUAHAN
Juta US$

-250,3 -260,7 -245,5


-300 SAYURAN
TANAMAN HIAS
-400 -363,3
-408,0 TANAMAN OBAT
-500 -474,7
-522,4
-600 -581,6
-625,9
-700
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Sumber : Kementerian Pertanian (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

Gambar 4.4.
Perkembangan Ekspor Impor Produk Buah-Buahan

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

80
Gambar 4.5. Perkembangan Ekspor Impor Produk Sayuran

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

4.4. Kondisi Daerah Yang Menjadi dan Diusulkan Sebagai Pintu Masuk
Impor Produk Tertentu
4.4.1. Bitung Manado
Pelabuhan Bitung terletak di Propinsi Sulawesi Utara, dimana
komoditi yang banyak diimpor oleh Propinsi Sulawesi Utara adalah Jeruk,
Apel, Sayuran dalam hal ini Wortel. Disamping mengimpor, Sulawesi Utara
juga merupakan sentra produksi untuk sayuran serta buah dan saat ini
tengah dikembangkan produksi kentang dan wortel organik agar dapat
bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri. Selama ini produk
sayuran yang diproduksi dari Sulut telah dikirim ke Papua dan Maluku.
Produk ekspor utama dari Sulawesi Utara adalah produk perikanan
dalam hal ini ikan beku, ikan kaleng, kelapa sawit dan turunannya, minyak
tepung kopra, bungkil kopra, serta rumah kayu.
Saat ini, Dinas Pertanian dan Peternakan Sulut telah memiliki
laboratorium untuk pemeriksaan residu dan pestisida. Badan Karantina
Bitung juga telah memiliki laboratorium untuk pemeriksaan buah dan

81
sayuran impor, tetapi sumber daya manusia sedang dalam masa training.
BPOM Sulut juga telah memiliki laboratorium yang terakriditasi KAN yang
dapat memeriksa pestisida, logam berat, flatoksin namun untuk
pemeriksaan flatoksin, masih menunggu pengadaan alat.
Sesuai UU Pelayaran, dengan menganut asas cabotage, hanya
pelabuhan tertentu yang dapat sebagai pelabuhan impor. Untuk
mengembangkan pelayaran nasional, untuk pelayaran antar pulau harus
menggunakan armada nasional. Berdasarkan asas tersebut pelabuhan
yang melayani rute internasional, telah ditetapkan 2 pintu utama yaitu hub
Bitung dan hub Kuala Tanjung.
Sesuai master plan, pengembangan pelabuhan Bitung, panjang
dermaga Bitung akan mencapai 2000 meter. Saat ini panjang dermaga
Bitung 350 meter yang dapat menampung 2 kapal. Sedang dalam
pengerjaan perluasan dermaga sehingga dapat menampung 3 kapal.
Panjang dermaga untuk konvensional (multi purpose) sepanjang 800 meter.
DiBitung sudah ada fasilitas plug in untuk river container. Secara
keseluruhan, kemampuan pelabuhan Bitung untuk bongkar muat selama
ini cukup bagus. Permasalahan yang ada saat ini adalah jalanan yang
macet dari Bitung ke Manado dan pasokan listrik.
Kriteria pelabuhan impor menurut para narasumber di Sulawesi
Utara adalah : (a). kesiapan sumber daya manusia, (b). tempat
penimbunan dan fasilitas pelabuhan termasuk kesiapan alat (c).
kemudahan akses container menuju pelabuhan Bitung (d). resiko
pelayanan dan pengawasan, serta (e). dukungan kelistrikan.
Baik pelaku usaha maupun instansi pemerintah dan swasta setuju
jika Bitung dijadikan sebagai pintu masuk impor baik untuk produk industri
maupun hortikultura. Hal ini dikarenakan posisi Bitung yang strategis dalam
arus lalu lintas kapal, prasarana fisik dan non fisik yang siap. Jika masih
ada kekurangan fasilitas, dapat dikembangkan sejalan dengan
berkembangnya arus barang yang masuk dan keluar Bitung.

82
4.4.2. Surabaya
Jawa Timur merupakan sentra produksi hortikultura dimana di Jawa
Timur terkenal sebagai penghasil Apel, Mangga, Pepaya, Jeruk, Cabai,
Tomat, Kentang dan Bawang Merah serta Anggrek. Dimana 30 persen
kebutuhan akan produk hortikultura Indonesia di supply dari Jawa Timur.
Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan utama di Jawa Timur
untuk kegiatan ekspor dan impor memiliki sarana dan prasarana fasilitas
pelabuhan cukup baik dan sangat representative tetapi sudah sangat
overload. Sehingga waktu tunggu untuk bongkar barang saat ini
memerlukan waktu selama 6 hari karena cukup ramainya proses bongkar
muat di pelabuhan tersebut. Jika pelabuhan Tanjung Perak ditetapkan
sebagai salah satu pintu masuk impor khususnya untuk produk hortikultura,
diperlukan pengembangan areal minimal untuk karantina dan plug untuk
river container walaupun saat ini fasilitas plug river cukup banyak.
Saat ini, pengembangan Pelabuhan Tanjung Perak, diarahkan ke
Madura. Selain Madura, pengembangan juga diarahkan ke ke Teluk
Lamong dan Kali Miren Gresik. Rencana pengembangan tersebut harus
ditunjang dengan pembuatan tol laut dan pengerukan kedalaman laut, dan
jalur kereta api. Pengembangan pelabuhan saat ini ke arah Teluk Lamong
dimana telah dilakukan penambahan 50 Ha dari 350 Ha yang
direncanakan. Pengembangan ke arah Madura dilakukan oleh pihak
swasta, namun terdapat hambatan yaitu mengenai pasokan listrik dan
bagaimana mengatur sentra industri karena akan menimbulkan tambahan
biaya jika memindahkan sentra industri yang sudah ada ke Madura dan
adanya penolakan dari masyarakat Madura.
Pelabuhan alternatif selain Tanjung Perak di Jawa Timur adalah
Pelabuhan Banyuwangi dan Pelabuhan Probolinggo. Pelabuhan
Banyuwangi merupakan pelabuhan internasional tetapi selama ini belum
dimanfaatkan dengan baik. Untuk Pelabuhan Probolinggo, . kedalamannya
cukup sehingga dapat dijadikan sebagai pelabuhan impor tetapi
sendimentasi di pelabuhan Probolinggo tinggi, harus memutar sehingga

83
menambah biaya dan interland kurang mendukung walau sudah ada
pembangunan dermaga tetapi pengoperasiannya belum diserahkan ke
Pelindo. Sejak ditetapkan menjadi pelabuhan internasional pada tahun
2007, tidak ada muatan balik dari Probolinggo.
Selama ini, untuk impor produk hortikultura melalui jalur merah
dimana harus ada surat pemeriksaan barang dari Karantina, kemudian
barang dapat dibongkar. Dengan adanya penunjukan Pelabuhan Tanjung
Perak sebagai salah satu pelabuhan sebagai pintu masuk impor produk
hortikultura, Gubenur jawa Timur mengeluarkan peraturan Gubenur Jawa
Timur No 22 tahun 2012 tentang pengendalian impor produk hortikultura,
dimana impor hortikultura ke Jawa Timur dapat dilakukan diluar masa
panen petani di Jawa Timur dan jenis produk hortikultura yang
diperbolehkan untuk diimpor adalah yang tidak dihasilkan oleh petani di
Jawa Timur dan harus produk yang berkualitas atau hasil panen baru dari
negara asal.
Terkait dengan adanya peraturan Gubernur tersebut, terdapat
wacana bahwa buah dan sayur impor harus dibawa ke sentral agro untuk
memudahkan pengawasan dan bahwa kebijakan mengenai impor buah dan
sayur adalah melalui kuota dimana impor tidak boleh melebihi produksi
buah lokal. Disamping itu bisa juga melalui kebijakan bahwa buah impor
yang dibongkar di tanjung Perak tidak boleh untuk konsumsi di Jawa Timur,
untuk pengawasannya bisa memanfaatkan jembatan timbang yang ada.
Importir buah dan sayur serta makanan dan minuman
mengharapkan pelabuhan impor tidak dipindahkan jauh dari Jawa Timur
karena akan menambah biaya. Disisi lain petani mengharapkan impor
jangan didekatkan dengan sentra produksi.

84
4.4.3. Medan
Pelabuhan Belawan di bawah PT Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I)
melayani bongkar muat untuk kegiatan perdagangan domestik maupun
internasional. Untuk mengantisipasi perkembangan perdagangan
internasional, Pelabuhan Belawan tidak dapat dikembangkan karena
memiliki keterbatasan ruang dan terjadi pendangkalan alur pelayaran.
Pendangkalan yang terjadi disebabkan oleh letak pelabuhan yang berada
diantara dua sungai sehingga terjadi sedimentasi didasar laut. Rata-rata
kedalaman laut di dermaga mencapai 9 meter, jauh dari kondisi ideal
kedalaman pelabuhan internasional yang mencapai 12 meter. Pelindo I
setiap tahun mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk pengerukan
laut. Akibatnya, operasional pelabuhan tidak dapat tercapai secara
maksimal.
Di masa depan, Pemerintah Pusat dan Daerah serta Pelindo I
berencana untuk mengembangkan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan
internasional yang baru. Rencana pengembangan tersebut telah tertuang
dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI). Kuala Tanjung memiliki letak yang sangat strategis dan
kedalaman laut yang dimiliki telah secara alami terbentuk sehingga tidak
membutuhkan biaya yang besar untuk pengerukan. Pelabuhan Kuala
Tanjung diproyeksikan akan menjadi pelabuhan ekspor produk CPO dan
akan terintergrasi dengan Kawasan Ekonomi Khusus Semangke yang akan
menjadi kluster industri pengolahan kelapa sawit di masa yang akan
datang.
Balai Besar Karantina Pertanian Belawan bertanggung jawab untuk
memeriksa setiap barang hasil pertanian yang memasuki wilayah pabean
negara Republik Indonesia. Pemeriksaan dilakukan agar organisme
pengganggu tanaman yang berasal dari negara lain dan terbawa oleh
produk impor dapat dicegah penyebarannya. Sampai saat ini, Balai
Karantina Belawan telah melakukan sosialisai terkait kebijakan impor
produk Hortikultura, antara lain Permentan Nomor 88 tahun 2011 tentang

85
Pengawasan Keamanan Pangan terhadap Pemasukan dan Pengeluaran
Pangan Segar Asal Tumbuhan, Permentan Nomor 15 Tahun 2012 dan
Permentan Nomor 16 Tahun 2012 tentang Perubahan Permentan Nomor
42 Tahun 2011 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan untuk Pemasukan
Buah Segar Sayuran Segar ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia,
Permentan Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan
untuk Pemasukan Sayuran Umbi Lapis ke Dalam Wilayah Negara Republik
Indonesia.
Pihak Balai Karantina Pertanian Belawan merasa siap untuk
melaksanakan kebijakan impor produk Hortikultura tersebut. Keberadaan
fasilitas dan sumber daya manusia yang ada dirasakan cukup untuk
mendukung aktifitas karantina tumbuhan. Fasilitas yang dimiliki oleh Balai
Karantina Pertanian Belawan antara lain instalasi karantina pertanian,
tempat penampungan container sementara, tempat penahanan container,
laboratorium, alat berat seperti reach tracker, foorklif dan trucking.
Sementara itu, jumlah sumber daya manusia yang ada saat ini berjumlah
155 orang. Sedangkan laboratorium yang tersedia yakni Gas
Chromatography Mass Spectometry untuk menguji residu pestisida, High
Performance Liquid Chromatography untuk menguji residu pestisida dan
carbamat, Atomic Absorption Spectrophometer untuk menguji logam berat,
Flurometer untuk menguji aflatoksin, dan Ruang Asam untuk preparasi
bahan laboratorium.
Untuk mensinergikan kebijakan yang ada dengan instansi terkait
lainnya, Balai Karantina Pertanian Belawan telah berkoordinasi dengan
pihak Pemerintah daerah propinsi/kota, Bea dan Cukai Belawan, Polri,
Kejaksaan, dan Pelindo I. Pertemuan-pertemuan dan pembahasan teknis
telah dilakukan secara berkala dengan berbagai pihak terkait. Kantor Bea
dan Cukai Belawan akan melaksanakan kebijakan impor produk tertentu
pada saat kebijakan ini diterapkan pada bulan September 2012. Ketika
kebijakan tersebut dicantumkan dalam Indonesia National Single Window
(INSW), Bea dan Cukai sebagai ujung tombak bagi kegiatan importasi akan

86
memeriksa setiap kelengkapan administrasi yang disyaratkan. Untuk itu,
Bea dan Cukai akan bekerja sama dengan Balai Karantina Pertanian dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk teknis pelaksanaan di
lapangan.
Khusus mengenai fasilitas yang terdapat di Pelabuhan Belawan,
hingga saat ini fasilitas pelabuhan di Sumatera Utara tersebut terus
dilakukan peningkatan dan pembenahan. Panjang dermaga yang ada saat
ini tidak dapat dikembangkan mengingat keterbatasan lahan yang ada.
Disamping itu, setiap tahun Pelabuhan Belawan mengalami pendangkalan
akibat posisi pelabuhan yang berada diantara dua sungai. Untuk itu, perlu
alternatif pelabuhan diluar Pelabuhan Belawan sebagai pintu masuk
kegiatan ekspor dan impor di Propinsi Sumatera Utara.

4.4.4. Makassar
Impor melalui pelabuhan Sukarno Hatta Makassar hampir jarang
terjadi. Selama ini tidak ada impor langsung ke pelabuhan makassar.
Impor yang ada adalah impor barang modal dan impor gandum. Pada
tahun 2012, ada impor bawang merah dan impor bawang putih, melalui
Surabaya tetapi pemeriksaan bea cukai dan karantina di Makassar. Selama
ini impor langsung yang melalui Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar
adalah impor gandum, impor pupuk, dan besi baja. Impor banyak dilakukan
melalui Jakarta dan Surabaya sehingga proses pemeriksaan dilakukan di
Jakarta atau Surabaya. Hal ini dikarenakan jika langsung impor ke
Makassar, biaya pengangkutan lebih mahal karena container kembali dari
Makassar kosong dan tidak ada direct shipment ke Makassar. Eksportir dari
luar negeri tidak mau pengiriman langsung ke Makassar. Dipelabuhan
Soekarno Hatta Makassar telah ada fasilitas gudang penimbunan
sementara, sudah ada plug in untuk container refer tetapi belum ada
gudang limbah B3. Masalah listrik juga tidak terkendala karena telah ada
supply yang cukup dari PLTU Supa dan ada genset.

87
Di Pelabuhan Sukarno Hatta Makassar belum ada instalasi
karantina, selama ini pemeriksaan dilakukan di laboratorium di luar
pelabuhan. Waktu pemeriksaan paling cepat 1 minggu karena ada sample
untuk pengujian PSAT (pangan segar asal tumbuhan) yang harus diperiksa
ke Jakarta. Disamping laboratorium Unit Pelayanan Teknis Karantina
Kermenterian Pertanian, BPOM Makassar juga sudah bisa memeriksa
tetapi importir lebih suka diperiksa di Jakarta sebagai pembanding.
Pengalihan pelabuhan bongkar dari Tanjung Priok Jakarta ke
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, mengakibatkan waktu bongkar bisa
mencapai 15 hari sampai di Makassar. Disamping itu, selama ini jika
melalui Jakarta jauh lebih cepat proses bongkarnya. Jika impor langsung ke
Makassar, alurnya lebih cepat tetapi investasi di infrastruktur mahal. Telah
mencoba untuk masuknya direct call ke makassar tetapi belum berhasil
karena imbalan cargo atau muatan baliknya tidak banyak dan biaya logistik
di Makassar mahal karena banyaknya retribusi.
Untuk menggerakkan impor melalui Pelabuhan Makssar diperlukan
peran kadin agar eksportir dan importir bisa bekerjsama untuk konsolidasi
cargo.

4.4.5. Batam
Batam merupakan pusat industri manufaktur dan elektronik. Sesuai
dengan hal itu impor bahan baku penolong yang paling besar adalah
spareparts untuk kedua industri tersebut. Untuk industri makanan dan
minuman memang belum berkembang sehingga jika impor buah dan sayur
semata-mata hanyalah untuk konsumsi domestik dan produk yang tidak
tesedia di Batam. Batam memiliki pelabuhan resmi sebanyak 21 pelabuhan
(termasuk yang berdasar pada PP 10/2012 sebagai pengganti PP 2/2009.
Pelabuhan bertaraf internasional contohnya Harbour Bay, Nongsapura, dan
Batam Center. Fasilitas yang diberikan oleh BP Pelabuhan Batam berupa
dermaga, gudang kelas 1, crane dan lapangan container.

88
Untuk meningkatkan aktifitas ekspor dan impor di Batam, BP
Pelabuhan sudah memiliki masterplan yaitu berupa pengembangan
infrastruktur pelabuhan Batu Ampar, Sekupang, dan Kabil agar menjadi
lebih besar kapasitasnya.
Pengawasan ekspor dan impor di Batam masih sulit dilaksanakan
karena tingkat kebocoran kegiatan impor masih tinggi. Hal ini terkait masih
banyaknya kegiatan di pelabuhan illegal (sebanyak 42 buah) sedangkan
yang resmi hanya 4 buah (Sekupang, Batuampar, Kabil, dan Bandara Hang
Nadim). Kasus yang pernah terjadi adalah impor gula yang berasal dari
Singapura yang ternyata dilakukan oleh INKOPAD.
Balai Karantina taat menjalankan aturan terkait penundaan larangan
sayur dan buah impor selama 30 hari. Khususnya pasca keluarnya
PerMenDag No.60 yang merupakan revisi dari PerMenDag No. 30/M-
DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura. Namun
tetap melakukan pemeriksaan dan pengawasan terhadap penyakit dan
keamanan pangan terhadap produk yang masuk ke Batam.
Balai Karantina dalam kegiatan pemeriksaan dan pengawasan
terhadap penyakit dan keamanan pangan di Batam hanya mengawasi 10
pintu pelabuhan dari 42 pintu yang disebutkan Dewan Kawasan Batam.
Sehingga dari perbandingan tersebut, kinerja dari Balai Karantina masih
perlu ditingkatkan mulai dari jumlah SDM serta infrastruktur penunjang.
Barang impor yang datang kemudian dikeluarkan ke gudang untuk
kemudian diperiksa oleh Balai Karantina sesuai prosedur. Laboratorium
pengujian yang bekerjasama masih berasal dari swasta (Bogor dan
Surabaya), hal ini karena 12 laboratorium yang dimiliki pemerintah belum
ada yang menyaingi. Mereka mengharapkan agar efisiensi waktu dan
biaya, laboratorium industri BP Batam bisa dijadikan solusi laboratorium.
pengujian.
Perlunya pengembangan infrastruktur pelabuhan Batu Ampar agar
kinerja sebagai pelabuhan impor bisa semakin baik. Permasalahan yang
harus segera dibenahi bila dijadikan pelabuhan impor tertentu adalah

89
infrastruktur (fasilitas dan transportasi), SDM, dan penegakan hukum.
Posisi daya saing produk lokal harus segera harus lebih baik, dengan cara
perbaikan kualitas dan kuantitas produk tersebut. Sehingga diharapkan
mampu bersaing dengan produk impor.

4.4.6. Mataram
PT. Pelabuhan Indonesia III (PERSERO) Cabang Lembar
merupakan feeder port yang bertugas menjamin kelancaran lalu lintas kapal
dan tempat berlabuh, pemanduan kapal, gudang-gudang, lapangan
penumpukan dan peralatan bongkar muat barang, menyediakan daya listrik
dan distribusi air minum di pelabuhan, khususnya untuk keperluan kapal
umum, pemadam kebakaran dan lain-lain dan sebagai Sistem Informasi
Pelabuhan. Selain itu dermaga yang ada saat ini lebih banyak untuk
kegiatan bertambat dan pelayanan bongkar muat barang dan hewan
(khususnya untuk perdagangan antar pulau) serta penyediaan fasilitas naik
turunnya penumpang, belum dimanfaatkan sebagai kegiatan ekspor dan
impor. Pelabuhan Lembar ini masih sangat potensial untuk dikembangkan
karena selain untuk pelabuhan penyeberangan juga digunakan sebagai
pelabuhan barang yang dari tahun ke tahun terjadi peningkatan arus
petikemas (teus), dari 392 teus di tahun 2009 menjadi 8.129 teus pada
tahun 2010.
Rencana pengembangan pelabuhan Lembar dimulai dengan
dibangunnya Packing Plant Indocement di wilayah yang berada di Daerah
Lingkungan Kerja (DLKR) Pelabuhan Lembar dengan kapasitas 250.000
ton pertahun dan juga dibangun untuk Docking Repair kapal-kapal dengan
Dead Weight Tonage (DWT) kapal rata-rata ukuran 1000 1500 TonDan
pada bulan Maret 2012 telah dibangun Ground Breaking Pembangunan
Silo dan Pabrik Pengepakan Semen Bosowa di Kawasan Pelabuhan
Lembar.
Produk impor yang masuk ke NTB lebih banyak berupa produk
pangan, salah satunya yang terbesar saat ini kedelai. Selama Januari-Juli,

90
jumlah kedelai impor yang masuk ke Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB),
sudah mencapai 5.980 ton kedelai. Impor tersebut masuk melalui
Pelabuhan Lembar, namun terlebih dahulu melewati Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya. Biasanya yang melakukan impor itu adalah distributor.
Namun selain melakukan impor, NTB juga menjual produk lokalnya ke luar
daerah seperti ke Kalimantan Selatan, NTT, Jawa Timur dan Sulawesi
Selatan.
Untuk pengembangan pelabuhan Lombok sebagai pelabuhan impor
dirasa saat ini belum sesuai karena dermaga yang dimiliki khususnya
untuk bongkar muat barang adalah panjangnya 262,50 m dan lebarnya
hanya 30 m. Selain itu, pelabuhan lembar masih memiliki kelemahan pada
kualitas infrastruktur dan produktivitas bongkar muatnya (waktu tunggu
untuk berlabuh jauh lebih lama ketimbang waktu untuk berlayar).

4.5. Kondisi Port of Rotterdam


Belanda memiliki 5 port/pelabuhan (Eemhaven, Harlingen,
Amsterdam, Rotterdam, Vlissingen) dan 2 airport (Schiphol dan Maastricht)
sebagai pintu masuk produk impor. Rotterdam merupakan pelabuhan
terbesar di Belanda dan juga terbaik di Eropa, merupakan pintu masuk
impor untuk semua jenis barang. Port ataupun airport yang lain hanya
sebagai pintu masuk impor produk tertentu karena adanya keterbatasan
fasilitas yang dimiliki sehingga tidak bisa sebagai pintu masuk impor
dengan kapasitas besar dan beragam jenis barang.
Kapasitas bongkar muat di pelabuhan Rotterdam mencapai 430 juta
ton per tahun, dapat menampung kapal sebanyak 34.895, dengan panjang
pelabuhan 40 Km dengan luas lahan mencapai 10.500 hektar, dimana 5
ribu hektar merupakan kawasan komersial, 3.500 hektar perairan dan 2 ribu
hektar adalah untuk jaringan kereta api, jalan dan ruang hijau. Untuk
menyewa lahan di Rotterdam diberikan masa sewa selama 25 tahun dan
dapat menyewa kembali selama 25 tahun. Saat ini sedang dilakukan

91
proses reklamasi diatas lahan seluas 2 ribu hektar yang akan
dipriorotaskan untuk terminal peti kemas dan industry kimia.
Pendapatan pelabuhan Rotterdam mencapai 551 juta Euro (Rp. 6,61
triliun) per tahun yang berasal dari pendapatan operasional dan
pendapatan kontrak. Pendapatan operasional diperoleh dari pemanfaatan
pelabuhan oleh perusahaan pelayaran dan pendapatan kontrak berasal dari
sewa lahan di wilayah pelabuhan.
Kebijakan dalam pemeriksaan barang impor yang ada di Belanda
sama dengan yang berlaku di Uni Eropa pada umumnya. Semua barang
yang masuk melalui Port Rotterdam harus melalui pemeriksaan oleh NVWA
untuk melihat kesesuaian dengan standard yang telah ditetapkan Uni
Eropa, walaupun barang tersebut tidak untuk tujuan Belanda dan
penyelesaian administrasi bea cukai dapat dilakukan di negara tujuan
barang tersebut. Di Belanda tidak ada kebijakan untuk membatasi impor
(free market) semua barang dapat masuk asalkan sesuai dengan standard
yang telah ditetapkan. Penerapan standard untuk produk yang masuk dari
luar Belanda juga berlaku untuk produk lokal yang diproduksi di Belanda.
Untuk produk lokal yang dihasilkan di Belanda, pemeriksaan akan
standard dilakukan mulai dari level produsen, industri manufaktur, tempat
menjual dan gudang. Pemeriksaan akan kesesuaian standard dilakukan
secara public private partnership, dimana para food base operator (FBO)
dapat memilih menggunakan standard yang telah mereka miiki atau
menggunakan guides to good practice yang diterbitkan oleh asosiasi dari
sektor industry. Pemerintah hanya memeriksa kesesuaian standard yang
digunakan dengan realita yang ada.
Pelabuhan Rotterdam memiliki laboratorium pemeriksaan untuk
menguji apakah barang yang masuk melalui pelabuhan tersebut telah
sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Uni Eropa. Pemeriksaan fisik
secara acak dilakukan khususnya untuk produk-produk veterinary dan
foodstuff. Ada beberapa produk seperti mainan anak, dimana Belanda telah
memiliki kesepakatan dengan negara eksportir, sehingga hasil uji dari

92
negara pengekspor dapat digunakan dan tidak dilakukan pengujian ulang.
Selama dilakukan pemeriksaan, container tetap berada di area pelabuhan
Rotterdam. Pemeriksaan ditekankan pada certificate of health, labeling dan
pemeriksaan fisik. Waktu pengujian antara 1-2 hari tetapi bisa juga sampai
1 minggu, dimana biaya uji tiap pelabuhan berbeda-beda dan biaya
pengujian dibebankan pada importir. Waktu uji bisa lebih cepat dengan
biaya yang lebih mahal. Biaya uji mencapai 200 1000 Euro.
Di pelabuhan Roterrdam telah dikembangkan sistem informasi berbasis
teknologi, yang dapat menghubungkan antara importir, import controller,
bagian pemeriksaan dan bea cukai, sehingga dapat ditelusuri keberadaan
barang dan dokumen atas barang tersebut.
Jika ada barang impor yang masuk dan tidak sesuai dengan
standard yang telah ditetapkan, maka kebijakan yang diambil adalah 1)
mengembalikan barang tersebut ke negara asal, 2) mengirimkan barang
tersebut ke negara lain atas permintaan importir dan ada surat persetujuan
dari negara tersebut, 3) menghancurkan barang tersebut, dengan biaya
ditanggung oleh importir, 4) untuk makanan bisa dialihkan untuk makanan
hewan dan 5) membersihakn produk tersebut, missal untuk kacang, dicuci
dibersihkan dari kulitnya.
Fasilitas yang harus dimiliki oleh sebuah pelabuhan impor adalah
harus ada investasi dan lahan yang cukup luas yang diperlukan untuk
tempat penyimpanan dan pemeriksaan dengan kondisi yang higienis,
peralatan yang memadai, system logistic yang bagus dan juga didukung
dengan bea cukai yang baik.

4.6. Kondisi Port of Singapore


Singapura memiliki 1 port/pelabuhan yang pada tahun 1972 hanya
memiliki 1 terminal, saat ini pada tahun 2012 memiliki 5 terminal yaitu
Tanjong Pagar, Keppel, Brani, Pasir Panjang 1, dan Pasir Panjang 2
sebagai pintu masuk produk impor, dengan 52 container berths dan 192
dermaga derek. Port of Singapore atau PSA Singapore adalah terminal

93
utama dari PSA International, salah satu kelompok pelabuhan global
terkemuka, dengan investasi di 29 proyek pelabuhan di 17 negara di Asia,
Eropa dan Amerika. Terpilih sebagai " Best Container Terminal (Asia)"
untuk yang ke-23 di Asian Freight & Supply Chain Awards tahun 2012 dan "
Port Operator Award " di Lloyd's List Awards, Asia untuk yang ke-11 kalinya
pada tahun 2011. PSA Singapore juga merupakan pusat transhipment
tersibuk di dunia dengan sekitar satu-tujuh dari jumlah laju data kontainer
dunia pengangkutan, dan 5% dari laju data kontainer global. Pada tahun
1972, port of Singapore hanya mampu menangani perpindahan sekitar 25
ribu kontainer tetapi pada tahun 2012 meningkat menjadi 29,4 milyar
kontainer, dengan jumlah karyawan lebih dari 800 orang.
Lima terminal di port of Singapore berdiri di area seluas 600 hektar
dengan panjang dermada 15,5 km, kedalaman maksimum pada pembatas
sedalam 16 meter dan jumlah crane sebanyak 192 buah, yang mampu
menampung 35 juta TEUs dan memiliki 52 dermaga container. Mobilitas di
port of Singapore sangat tinggi, setiap hari menangani pelayaran ke
amerika sebanyak 2 kali, ke Eropa 5 kali, ke Jepang 4 kali, ke kawasan
Asia Selatan 7 kali, ke kawasan Asia Tenggara 32 kali, dan ke Cina,
Hongkong, Taiwan sebanyak 13 kali, atau dengan kata lain port of
Singapore menawarkan koneksi ke 600 pelabuhan internasional.
PSA Singapore juga mengoperasikan terminal multi-tujuan (MPT)
yang terdiri dari Terminal Otomotif Pasir Panjang dan dermaga
Sembawang. MPT memiliki kapasitas untuk menangani lebih dari satu juta
kendaraan per tahun. Selain itu, dermaga Sembawang menyediakan
sejumlah pelabuhan yang terkait solusi logistik. Terminal Pasir Panjang
adalah terminal PSA yang paling maju. Hal ini dilengkapi dengan tempat
berlabuh hingga 16 meter dan dengan crane dermaga mampu mencapai 22
baris kontainer untuk menampung kapal-kapal terbesar di dunia Setiap
kontainer yang akan memasuki kawasan port of Singapore, dapat
menginformasikan melalui web site mengenai jenis barang, no kontainer,
no truck yang membawa kontainer, sehingga tidak terjadi kemacetan dan

94
petugas hanya mencocokkan informasi yang telah diinformasikan melalui
web site dengan yang nayta terlihat melalui cctv di pintu masuk port of
Singapore.
Di Singapura, tidak diatur menegenai kebijakan impor, kecuali untuk
produk alkohol. Setiap produk impor yang masuk khususnya produk
makanan harus memenuhi standard yang telah ditetapkan oleh Agri food
and vertinary authority. Setiap barang impor khususnya makanan yang
masuk melalui port of Singapore dan bukan barang transhipment akan
diperiksa oleh Agri food and vertinary authority. Secara umum ijin impor di
Singapore diberikan oleh Singapore Custom dan syarat-syarat untuk
melakukan impor dapat dilihat dari web site dan hal ini cukup efektif bagi
trader dan importir.

95
BAB V
ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN PELABUHAN TERTENTU SEBAGAI
PINTU MASUK PRODUK TERTENTU

5.1. Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai Pintu Masuk Impor
Produk Hasil Industri dan Pertanian/hortikultura

Hasil analisis data tentang kriteria pelabuhan yang dapat ditetapkan


sebagai pintu masuk impor produk hasil industri dan hortikultura lengkap
dengan nilai kriteria, bobot dan tingkat prioritasnya disajikan pada Tabel
5.1. Kriteria utama (ranking 1) dari pelabuhan yang dapat dijadikan pintu
masuk tersebut adalah kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan
Pelabuhan. Kriteria berikutnya dengan prioritas kedua (ranking 2) adalah
kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Kriteria dengan prioritas ketiga
(ranking 3) adalah Fasilitas Pelabuhan Laut . Kriteria dengan prioritas ke
empat (ranking 4) adalah Proteksi terhadap Produk Lokal , dan prioritas
kelima (ranking 5) adalah Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Dari
hasil penilaian survey pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan,
Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado)
secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut telah memenuhi standar pada
kriteria prioritas pertama (Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan
Pelabuhan ) dan kriteria prioritas kedua (Ketersediaan Sumberdaya
Manusia). Di lain pihak pada kriteria yang bukan top prioritas dengan
urutan prioritas ketiga (Fasilitas Pelabuhan Laut), keempat (Proteksi
terhadap Produk Lokal ) dan kelima (Wilayah Perairan untuk Pelabuhan
Laut) secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut belum memenuhi
standar.

96
Tabel 5.1 Prioritas Kriteria Pelabuhan yang Dapat Ditetapkan sebagai Pintu
Masuk Impor Produk Hasil Industri dan Hortikultura
Kriteria Utama Nilai Bobot Tingkat
Prioritas

Keamanan, Ketahanan, dan


456 0,214185 1
Pelayanan Pelabuhan
Ketersediaan Sumber Daya
456 0,213984 2
Manusia
Fasilitas Pelabuhan Laut 420 0,197141 3

Proteksi terhadap Produk Lokal 400 0,187705 4


Wilayah Perairan untuk
398 0,186834 5
Pelabuhan Laut

Terdapat enam sub kriteria yang menyusun kriteria Keamanan,


Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan. Uraian sub kriteria berdasarkan
prioritasnya dari kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan
sebagai kriteria yang paling prioritas disajikan pada Tabel 4.2. Diantara sub
kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan tersebut ternyata
sub kriteria yang paling prioritas adalah keamanan, yang disusul oleh sub
kriteria kualitas pelayanan kepabeanan dan sub keriteria ketahanan
nasional masing-masing sebagai sub kriteria prioritas kedua dan ketiga.

Tabel 5.2. Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelabuhan
Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Nilai Bobot Tingkat
Pelabuhan Prioritas
Keamanan 467 0,031307 1
Kualitas pelayanan kepabeanan 458 0,030837 2
Ketahanan nasional 460 0,030301 3
Kualitas pelayanan pengkarantinaan 458 0,030167 4
Pelayanan kepelabuhanan 24 jam 452 0,029899 5
Kualitas pelayanan pelayaran 446 0,030971 6

97
Selanjutnya, empat sub kriteria pada kriteria Sumberdaya Manusia
sebagai kriteria prioritas kedua disajikan pada Tabel 5.3. Pada kriteria ini,
sub kriteria yang yang paling prioritas adalah sub kriteria Ketersediaan
sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan.
Selanjutnya sub kriteria ketersediaan sumberdaya manusia pada bidang
kepabeanan (prioritas 2); bidang pelayaran (prioritas 3), bidang karantina
(prioritas 4).

Tabel 5.3 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Sumber Daya Manusia
Kriteria Sumberdaya Manusia Nilai Bobot Tingkat
Prioritas
Ketersediaan sumber daya manusia di
bidang teknis pengoperasian pelabuhan 458 0,053731 1
Ketersediaan sumber daya manusia di
bidang kepabeanan 457 0,053613 2
Ketersediaan sumber daya manusia di
bidang pelayaran 456 0,053496 3
Ketersediaan sumber daya manusia di
bidang karantina 453 0,053144 4

Dua puluh delapan sub kriteria pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut
lengkap dengan nilai, bobot dan prioritasnya disajikan pada Tabel 5.4.
Pada kriteria ini, sub kriteria yang yang paling prioritas mulai dari urutan
pertama hingga urutan ke lima berturut turut adalah dermaga; terminal peti
kemas; Fasilitas pemadaman kebakaran; Kepabeanan; dan Areal
pengembangan pelabuhan.

98
Tabel 5.4 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria pada
Kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut
Fasilitas Pelabuhan Laut Nilai Bobot Tingkat
Prioritas
Dermaga 460 0,007709 1
Terminal peti kemas 457 0,007659 2
Fasilitas pemadaman kebakaran 443 0,007424 3
Kepabeanan 442 0,007408 4
Areal pengembangan pelabuhan 441 0,007391 5
Ketersediaan kapal pengangkut 439 0,007357 6
Gudang lini 1 439 0,007357 6
Laboratorium pengujian karantina 438 0,007341 7
Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) 437 0,007324 8
Ketersediaan transportasi penghubung 437 0,007324 8
Unit Pelaksana Teknis Karantina 437 0,007324 8
Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi 437 0,007324 8
Jaringan air limbah, drainase, dan sampah 436 0,007307 9
Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage 434 0,007274 10
Lapangan penumpukan lini 1 429 0,007190 11
Jaringan jalan dan rel kereta api 429 0,007190 11
Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah 415 0,006955 12
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP) 413 0,006922 13
Tempat tunggu kendaraan bermotor 409 0,006855 14
Kawasan perdagangan 407 0,006821 15
Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya
dan Beracun (B3) 398 0,006670 16
Kawasan industry 395 0,006620 17
Kawasan perkantoran 392 0,006570 18
Fasilitas pos dan telekomunikasi 390 0,006536 19
Fasilitas bunker 389 0,006519 20
Terminal ro-ro 386 0,006469 21
Terminal penumpang 373 0,006251 22
Fasilitas pariwisata dan perhotelan 361 0,006050 23

99
Dua sub kriteria pada kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal lengkap
dengan nilai, bobot dan prioritasnya disajikan pada Tabel 5.5. Pada
kriteria ini, sub kriteria yang yang paling prioritas adalah Jarak terhadap
sentra produksi.

Tabel 5.5 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria
pada Kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal
Proteksi terhadap Produk Lokal Nilai Bobot Tingkat
Prioritas

Jarak terhadap sentra produksi hortikultura 160 0,094118 1


Jarak terhadap sentra industri 158 0,092941 2

Terdapat empat belas sub kriteria pada kriteria Wilayah Perairan


untuk Pelabuhan Laut lengkap dengan nilai, bobot dan prioritasnya
disajikan pada Tabel 5.6. Pada kriteria ini, sub kriteria yang yang paling
prioritas urutan pertama hingga ke lima adalah (1) Alur pelayaran, (2)
Perairan tempat labuh, (3) Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan
olah gerak kapal, (4) Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka
panjang, dan (5) Perairan tempat alih muat kapal.

100
Tabel 5.6 Nilai, Bobot dan Tingkat Prioritas dari Sub Kriteria
pada Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut
Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut Nilai Bobot Tingkat
Prioritas
Alur pelayaran 457 0,015318 1
Perairan tempat labuh 444 0,014882 2
Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah
gerak kapal 432 0,014480 3
Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka
panjang 431 0,014447 4
Perairan tempat alih muat kapal 428 0,014346 5
Perairan untuk kegiatan karantina 405 0,013508 6
Perairan alur penghubung intrapelabuhan 403 0,013575 7
Perairan untuk fasilitas pembangunan dan
pemeliharaan kapal 393 0,013173 8
Perairan untuk kapal yang mengangkut
Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3) 390 0,013072 9
Perairan untuk keperluan darurat 384 0,012871 10
Perairan untuk kapal pemerintah 382 0,012804 11
Perairan pandu 360 0,012067 12
Perairan untuk tempat uji coba kapal 355 0,011899 13
Perairan tempat kapal mati 310 0,010391 14

5.2. Hasil Penilaian Pelabuhan sebagai Pintu Masuk Impor Produk Industri
dan Hortikultura
Berdasarkan nilai bobot dari masing-masing kriteria dan sub kriteria
dalam pentuan kriteria pelabuhan yang dapat ditetapkan sebagai pintu
masuk impor produk industri dan hortikultura sebagaimana telah diuraikan
pada Sub Bab 5.1, dan hasil survey pada penilaian kinerja masing-masing
pelabuhan yang telah disurvey yaitu (1) Pelabuhan Bitung Manado, (2)
Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, (3) Pelabuhan Belawan, Medan, (4)
Pelabuhan Sukarno Hatta, Makasar, dan (5) Pelabuhan Batam, maka dapat
disusun penilaian masing-masing pelabuhan yang dapat dijadikan pintu
masuk impor sebagaimana disajikan pada Tabel 5.7.

101
Dari Tabel 5.7, nampak apabila dibadingkan dengan standar,
umumnya nilai pelabuhan-pelabuhan tersebut belum memenuhi syarat
untuk dijadikan pintu masuk pelabuhan produk-produk hortikultura dan
industri. Apabila dilihat lebih detail, ternyata kelemahan terjadi pada kriteria
yang bukan top prioritas. Umumnya pada kriteria yang top prioritas yaitu
(1) Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan; dan (2)
Ketersediaan Sumberdaya Manusia, umunya pelabuhan-pelabuhan
tersebut sudah memenuhi standar. Namun pada kriteria dengan prioritas
lainnya yaitu krieria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan;
kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan Kriteria Wilayah Perairan untuk
Pelabuhan Laut hasil penilaiannya masih berada di bawah standar.
Dengan program-program perbaikan tertentu pada beberapa kriteria yang
masih di bawah standar tersebut, pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat
dijadikan pintu masuk produk-produk tersebut. Perbaikan terutama harus
dilakukan untuk meningkatkan kinerja pada kriteria yang belum memenuhi
standar yaitu fasilitas pelabuhan laut, proteksi terhadap produk lokal, dan
wilayah perairan untuk pelabuhan laut.
Tabel 5.7. Hasil Penilaian Kriteria pada Pelabuhan Bitung, Tanjung Perak
dan Tanjung Priok
Kriteria Bitung Tj Perak Belawan Soeta Batam Standard
Utama Makassar
Ketersediaan 0,66 0,66 0,66 0,66 0,64 0,64
SDM
Keamanan, 0,65 0,60 0,62 0,62 0,65 0,64
ketahanan &
pelayaran
pelabuhan
Fasilitas 0,49 0,56 0,55 0,56 0,42 0,59
pelabuhan
laut
Proteksi 0,45 0,41 0,41 0,42 0,34 0,56
terhadap
produk lokal
Wilayah 0,50 0,52 0,51 0,52 0,46 0,56
perairan
untuk
pelabuhan
laut
Total 2,76 2,75 2,76 2,79 2,52 2,99

102
5.2.1. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya
Apabila pelabuhan Tanjung Perak akan dijadikan pintu masuk impor
produk industri dan hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan.
Perbaikan yang perlu dilakukan berdasarkan prioritas (Tabel 8) adalah
pada kriteria (1) Proteksi terhadap Produk Lokal; (2) Wilayah Perairan
untuk Pelabuhan Laut; (3) Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan
Pelabuhan, dan (4) Fasilitas Pelabuhan Laut. Di lain pihak, kriteria
Ketersediaan Sumberdaya Manusia sudah sesuai standar. Untuk
memperbaiki proteksi terhadap produk lokal karena Jawa Timur
merupakan sentra produksi produk-produk hortikultura, maka Peraturan
Gubernur Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk
Import Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim
diperkirakan akan sangat efektif untuk meningkatkan kinerja kriteria
Proteksi terhadap Produk Lokal di Pelabuhan Tanjung Perak. Pergub
tersebut akan sangat tergantung pada kumunikasi antara Gubernur Jatim
dalam memberikan masukan kepada Menteri Pertanian tentang waktu,
jenis dan jumlah ketersediaan produk-produk hortikultura di Jatim.
Selanjutnya masukan tersebut menjadi bahan pertimbangan Mentan dalam
memberikan rekomendasi kepada Menteri Perdagangan.

Tabel 5.8. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Tanjung Perak untuk


Dijadikan sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura
Kriteria Utama Tj Perak Standard Perbedaan Prioritas
dengan nilai Perbaikan
Standar
Ketersediaan SDM 0,66 0,64 0,015 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & 0,60 0,64 - 0,036 3


pelayaran pelabuhan

Fasilitas pelabuhan laut 0,56 0,59 - 0,035 4

Proteksi terhadap produk 0,41 0,56 - 0,154 1


lokal

Wilayah perairan untuk 0,52 0,56 - 0,042 2


pelabuhan laut

103
Selanjutnya perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah
perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub
kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki
nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.9. Khusus untuk sub
kriteria Alur Pelayaran; Perairan untuk Kegiatan Karantina; dan Perairan
alur penghubung intrapelabuhan dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.9 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan
untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Tanjung Perak
Kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut Perbedaan Nilai
dg Standar
Perairan tempat labuh -0,00087543
Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal -0,00271503
Perairan tempat alih muat kapal -0,00253166
Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan -0,00571915
Beracun (B3)
Perairan pandu -0,00075417
Perairan untuk kapal pemerintah -0,00240079
Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang -0,00902914
Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal -0,00411653
Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,00371850
Perairan tempat kapal mati -0,00324714
Perairan untuk keperluan darurat -0,00724007

Perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di Pelabuhan


Tanjung Perak adalah perbaikan pada kriteria Keamanan, Ketahanan, dan
Pelayanan Pelabuhan. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub
kriteria yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel
5.10.

104
Tabel 5.10 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,
Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan Tanjung Perak

Kekurangan
Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan Nilai dari
Standar
Keamanan -0,00184156
Ketahanan nasional -0,00578199
Pelayanan kepelabuhanan 24 jam -0,00378762
Kualitas pelayanan -0,01064714
Kualitas pelayanan pelayaran -0,00747469
Kualitas pelayanan kepabeanan -0,00364369
Kualitas pelayanan pengkarantinaan -0,00361214

Selanjutnya perbaikan prioritas keempat yang harus dilakukan


adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang
harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.11 Khusus untuk sub kriteria
Dermaga; Gudang lini 1; Terminal penumpang ; Terminal peti kemas ; dan
Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.11 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan Laut di Pelabuhan Tanjung Perak.
Fasilitas Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Lapangan penumpukan lini 1 -0,00095864


Terminal ro-ro -0,00149288
Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,00267506
Fasilitas bunker -0,00162985
Fasilitas pemadaman kebakaran -0,00053032
Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3) -0,00205238
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan -0,00106487
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP)
Kawasan perkantoran -0,00093853
Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,00093374

105
Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,00121003
Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,00146477
Jaringan jalan dan rel kereta api -0,00335523
Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,00292284
Areal pengembangan pelabuhan -0,00211169
Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,00182789
Kawasan perdagangan -0,00045474
Kawasan industri -0,00044133
Kepabeanan -0,00049384
Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,00122064
Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,00242453
Ketersediaan kapal pengangkut -0,00226381
Ketersediaan transportasi penghubung -0,00169012
Laboratorium pengujian karantina -0,00104866

5.2.2. Pelabuhan Bitung, Manado


Gambaran umum perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Bitung
dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.12. Apabila pelabuhan
Tanjung Perak akan dijadikan pintu masuk impor produk industri dan
hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu
dilakukan berdasarkan prioritas adalah pada kriteria (1) Proteksi terhadap
Produk Lokal; (2) Fasilitas Pelabuhan Laut; dan (3) Wilayah Perairan untuk
Pelabuhan Laut. Di lain pihak, pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya
Manusia; dan kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan
sudah sesuai standar. Nilai negatif terhadap proteksi terhadap produk lokal
di pelabuhan Bitung Menado apabila dibandingkan dengan pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya nampaknya masih relatif lebih ringan, sehingga
belum perlu diback up oleh suatu Peraturan Gubernur tentang
Pengendalian Produk Import khususnya Hortikultura sebagaimana telah
diterapkan di Jawa Timur. Di Sulawesi Utara, cukup dilakukan penerapan
pemeriksaan karantina yang betul-betul sesuai aturan yang berlaku dan
didukung oleh fasilitas laboratorium karantina yang sesuai standar.

106
Tabel 5.12. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Bitung untuk Sebagai
Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura
Kriteria Utama Bitung Standard Perbedaan Prioritas
dengan nilai Perbaikan
Standar
Ketersediaan SDM 0,66 0,64 0,019 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & 0,65 0,64 0,006 Sudah sesuai


pelayaran pelabuhan

Fasilitas pelabuhan laut 0,49 0,59 -0,098 2

Proteksi terhadap produk 0,45 0,56 -0,110 1


lokal

Wilayah perairan untuk 0,50 0,56 -0,056 3


pelabuhan laut

Selanjutnya perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah


perbaikan pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus
diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.13. Khusus untuk sub kriteria
Dermaga; dan Kawasan industri dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.13. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan Laut di Pelabuhan Bitung Manado
Fasilitas Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai
Gudang lini 1 -0,0026754
Lapangan penumpukan lini 1 -0,0026145
Terminal penumpang -0,0011366
Terminal peti kemas -0,0006963
Terminal ro-ro -0,0029405
Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,0069552
Fasilitas bunker -0,0026078
Fasilitas pemadaman kebakaran -0,0024748
Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3) -0,007504
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan Sarana Bantu -0,0027687
Navigasi-Pelayaran (SNBP)
Kawasan perkantoran -0,0021899
Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,0050837
Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,0047057
Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,0036619

107
Jaringan jalan dan rel kereta api -0,0093467
Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,0043843
Areal pengembangan pelabuhan -0,0022173
Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,0022849
Kawasan perdagangan -0,0053053
Kepabeanan -0,0036778
Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,0016275
Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,0048491
Ketersediaan kapal pengangkut -0,0024525
Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) -0,0065101
Ketersediaan transportasi penghubung -0,0048826
Laboratorium pengujian karantina -0,0032625

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan adalah


perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub
kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki
nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.14 Khusus untuk sub
kriteria Alur pelayaran; Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah
gerak kapal; Perairan tempat alih muat kapal dinilai sudah sesuai standar.
Tabel 5.14 Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan
untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Bitung Manado.
Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,0054118


Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun -0,0116199
(B3)
Perairan untuk kegiatan karantina -0,0040725
Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,004912
Perairan pandu -0,004525
Perairan untuk kapal pemerintah -0,001164
Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang -0,0057786
Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal -0,0052692
Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,0054087
Perairan tempat kapal mati -0,0083127
Perairan untuk keperluan darurat -0,0058506

108
5.2.3. Pelabuhan Belawan, Medan
Gambaran umum perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Belawan
Medan dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.15. Apabila pelabuhan
Belawan Medan akan dijadikan pintu masuk impor produk industri dan
hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu
dilakukan berdasarkan prioritas adalah pada kriteria (1) Proteksi terhadap
Produk Lokal; (2) Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut; (3) Fasilitas
Pelabuhan Laut; dan (4) Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan
Pelabuhan. Hanya pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia yang
telah sesuai standar.
Nilai negatif terhadap proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan
Belawan Medan apabila dibandingkan dengan pelabuhan Tanjung Perak
Surabaya nampaknya nilainya setara, sehingga untuk memproteksinya
diperlukan peraturan khusus sebagaimana diterapkan di Jawa Timur. Hal
ini diperlukan mengingat Propinsi Sumatera Utara merupakan sentra
produksi hortikultura di Indonesia sebagaimana Propinsi Jawa Timur.
Dalam hal ini Propinsi Jawa Timur telah menerapkan Peraturan
Gubernur Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk
Import Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim. Pergub
tersebut mengatur secara detail kapan, berapa banyak, mutu produk dan
jenis hortikultura yang dapat masuk ke Jawa Timur. Disamping itu, dengan
peraturan tersebut Jatim juga mempersiapkan pembinaan dan
pemberdayaan agribisnis hortikulturanya untuk secara bertahap
meningkatkan daya saingnya terhadap hortikultura impor. Efektifitas dari
regulasi ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kumunikasi antara
Gubernur dalam memberikan masukan kepada Menteri Pertanian tentang
waktu, jenis dan jumlah ketersediaan produk-produk hortikultura di Jatim.
Selanjutnya masukan tersebut menjadi bahan pertimbangan Mentan dalam
memberikan rekomendasi kepada Menteri Perdagangan.

109
Tabel 5.15. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Belawan Medan untuk
Sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura
Kriteria Belawan Standard Perbedaan Prioritas
Utama dengan nilai Perbaikan
Standar

Ketersediaan 0,66 0,64 0,02 Sudah sesuai


SDM
Keamanan, 0,62 0,64 - 0,02 4
ketahanan &
pelayaran
pelabuhan
Fasilitas 0,55 0,59 - 0,03 3
pelabuhan laut

Proteksi 0,41 0,56 - 0,15 1


terhadap
produk lokal
Wilayah 0,51 0,56 - 0,04 2
perairan untuk
pelabuhan laut

Selanjutnya perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah


perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub
kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki
nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.16. Hanya Khusus untuk
sub kriteria Alur pelayaran yang dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.16. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan
untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Belawan Medan
Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,00078328


Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal -0,00241336
Perairan tempat alih muat kapal -0,00226517
Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya -0,00580993
dan Beracun (B3)
Perairan untuk kegiatan karantina -0,00258574
Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,00071095
Perairan pandu -0,00134075
Perairan untuk kapal pemerintah -0,00284538
Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang -0,00882849

110
Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal -0,00439097
Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,0039664
Perairan tempat kapal mati -0,00577269
Perairan untuk keperluan darurat -0,00757131

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di


pelabuhan Belawan Medan adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas
Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria
yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.17.
Khusus untuk sub kriteria Dermaga; Gudang Lini 1; Terminal penumpang;
Terminal peti kemas; dan Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT)
yang dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.17. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas


Pelabuhan Laut di Pelabuhan Belawan Medan
Fasilitas Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Lapangan penumpukan lini 1 -0,00084586


Terminal ro-ro -0,00215638
Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,00278206
Fasilitas bunker -0,00186269
Fasilitas pemadaman kebakaran -0,00092805
Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan -0,0026681
Beracun (B3)
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan -0,00092289
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP)
Kawasan perkantoran -0,00082121
Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,00122553
Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,00177946
Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,00129245
Jaringan jalan dan rel kereta api -0,00380636
Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,00343864
Areal pengembangan pelabuhan -0,00230966
Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,00201606

111
Kawasan perdagangan -0,00080248
Kawasan industri -0,00077882
Kepabeanan -0,00043574
Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,00048826
Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,00282862
Ketersediaan kapal pengangkut -0,00196197
Ketersediaan transportasi penghubung -0,00146477
Laboratorium pengujian karantina -0,00045879

Perbaikan prioritas keempat yang harus dilakukan di pelabuhan


Belawan Medan adalah perbaikan pada kriteria Keamanan, Ketahanan, dan
Pelayanan Pelabuhan. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub
kriteria yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel
5.18. Khusus untuk sub kriteria Keamanan, dan Pelayanan
kepelabuhanan 24 jam dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.18. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,


Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan Belawan Medan.
Kekurangan
Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan Nilai

Ketahanan nasional -0,001623


Kualitas pelayanan -0,009050
Kualitas pelayanan pelayaran -0,006294
Kualitas pelayanan kepabeanan -0,001549
Kualitas pelayanan pengkarantinaan -0,003070

5.2.4. Pelabuhan Sukarno Hatta, Makasar


Secara umum, perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Sukarno
Hatta Makasar dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.19. Apabila
pelabuhan Sukarno Hatta Makasar akan dijadikan pintu masuk impor
produk industri dan hortikultura maka diperlukan beberapa perbaikan.
Perbaikan yang perlu dilakukan berdasarkan prioritas adalah pada kriteria
(1) Proteksi terhadap Produk Lokal; (2) Wilayah Perairan untuk Pelabuhan

112
Laut; (3) Fasilitas Pelabuhan Laut; dan (4) Keamanan, Ketahanan, dan
Pelayanan Pelabuhan. Hanya pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya
Manusia yang telah sesuai standar.
Nilai negatif dari proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan
Sukarno Hatta Makasar apabila dibandingkan dengan pelabuhan Tanjung
Perak Surabaya dan Pelabuhan Belawan Medan nampaknya masih masih
relatif lebih ringan, sehingga belum perlu diback up oleh suatu Peraturan
Gubernur tentang Pengendalian Produk Import khususnya Hortikultura
sebagaimana telah diterapkan di Jawa Timur. Di Sulawesi Selatan, cukup
dilakukan penerapan pemeriksaan karantina yang betul-betul sesuai aturan
yang berlaku dan didukung oleh fasilitas laboratorium karantina yang sesuai
standar.

Tabel 5.19. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Sukarno Hatta


Makasar untuk Sebagai Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura
Kriteria Utama Sukarno Standard Perbedaan Prioritas
Hatta dengan nilai Perbaikan
Makassar Standar
Ketersediaan SDM 0,66 0,64 0,022 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & 0,62 0,64 -0,021 4


pelayaran pelabuhan

Fasilitas pelabuhan laut 0,56 0,59 -0,028 3

Proteksi terhadap produk 0,42 0,56 -0,138 1


lokal

Wilayah perairan untuk 0,52 0,56 -0,039 2


pelabuhan laut

Perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan adalah perbaikan


pada kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang
harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.20. Hanya Khusus untuk sub kriteria

113
Alur pelayaran dan sub keriteria Perairan Pandu yang dinilai sudah sesuai
standar.

Tabel 5.20. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan
untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno Hatta Makasar

Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai


Perairan tempat labuh -0,0007087
Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah -0,0032605
gerak kapal
Perairan tempat alih muat kapal -0,002172
Perairan untuk kapal yang mengangkut -0,0062249
Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3)
Perairan untuk kegiatan karantina -0,0006171
Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,0006033
Perairan untuk kapal pemerintah -0,0019206
Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka
panjang -0,0079456
Perairan untuk fasilitas pembangunan dan -0,0032932
pemeliharaan kapal
Perairan untuk tempat uji coba kapal -0,0029748
Perairan tempat kapal mati -0,0046759
Perairan untuk keperluan darurat -0,0054195

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di


pelabuhan Sukarno Hatta Makasar adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas
Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria
yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.21.
Khusus untuk sub kriteria Dermaga; Gudang Lini 1; Terminal penumpang;
Terminal peti kemas; dan Fasilitas pemadaman kebakaran; serta
Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) dinilai sudah sesuai standar.

114
Tabel 5.21. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas
Pelabuhan Laut di Pelabuhan Sukarno Hatta Makasar

Fasilitas Pelabuhan Laut Nilai Kekurangan


Lapangan penumpukan lini 1 -0,0004229
Terminal ro-ro -0,0008626
Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,0018547
Fasilitas bunker -0,0009313
Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun -0,001334
(B3)
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan Sarana Bantu -0,0004614
Navigasi-Pelayaran (SNBP)
Kawasan perkantoran -0,0008212
Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,000817
Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,0010677
Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,0012924
Jaringan jalan dan rel kereta api -0,0033834
Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,002579
Areal pengembangan pelabuhan -0,0018477
Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,0016128
Kawasan perdagangan -0,0004012
Kawasan industri -0,0003894
Kepabeanan -0,0004357
Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,0014648
Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,0032327
Ketersediaan kapal pengangkut -0,0014715
Ketersediaan transportasi penghubung -0,0014648
Laboratorium pengujian karantina -0,002159

Perbaikan prioritas keempat yang harus dilakukan di pelabuhan


Sukarno Hatta Makasar adalah perbaikan pada kriteria Keamanan,
Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan. Sub kriteria yang harus diperbaiki
adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana
disajikan pada Tabel 5.22. Hanya pada sub kriteria Keamanan di
Pelabuhan Sukarno Hatta dinilai sudah sesuai standar.

115
Tabel 5.22. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Keamanan,
Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan di Pelabuhan Sukarno Hatta
Kekurangan
Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan Nilai
Ketahanan nasional -0,0034264
Pelayanan kepelabuhanan 24 jam -0,0016834
Kualitas pelayanan -0,0079387
Kualitas pelayanan pelayaran -0,0049831
Kualitas pelayanan kepabeanan -0,0016301
Kualitas pelayanan pengkarantinaan -0,0015352

5.2.5. Pelabuhan Batam


Secara umum, perbedaan nilai kriteria antara Pelabuhan Batam
dengan nilai standar disajikan pada Tabel 5.24. Apabila pelabuhan Batam
akan dijadikan pintu masuk impor produk industri dan hortikultura maka
diperlukan beberapa perbaikan. Perbaikan yang perlu dilakukan
berdasarkan prioritas adalah pada kriteria (1) Proteksi terhadap Produk
Lokal; (2) Fasilitas Pelabuhan Laut; dan (3) Wilayah Perairan untuk
Pelabuhan Laut. Sementara pada kriteria Ketersediaan Sumberdaya
Manusia dan kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan
dinilai telah sesuai standar.
Nilai negatif proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan Batam
apabila dibandingkan dengan pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan
Belawan Medan nampaknya nilainya lebih tinggi, sehingga untuk
memproteksinya diperlukan peraturan khusus. Hal ini diperlukan
mengingat melalui Batam nampaknya merupakan jalur transportasi yang
paling mudah untuk mendistribusikan produk-produk industri dan
hortikultura tersebut ke seluruh Nusantara sehingga dapat mengganggu
daya saing produk lokal hampir di seluruh sentra produksi di Indonesia.
Oleh karena itu, Pelabuhan Batam ini kurang disarankan sebagai pintu
masuk pelabuhan khusus untuk produk industri dan hortikultura.
Perlu dibuat aturan yang lebih ketat untuk impor produk industri dan
hortikultura melalui Batam, misalnya impor hanya diperkenankan untuk

116
memenuhi kebutuhan konsumsi di Batam saja secara terbatas, tidak
diperkenankan untuk didistribusikan ke wilayah lain di luar Batam tanpa
persyaratan khusus. Persyaratan khusus antara lain adalah bahwa impor
produk-produk industri dan hortikultura melalui Batam wajib memperhatikan
aspek-aspek berikut secara intensif yaitu:
Keamanan pangan produk hortikultura dengan menerapkan SNI
wajib tentang Batas Maksimum Residu (BMR/MRL) khusus di
wilayah Batam
Ketersediaan produk di dalam negeri. Dalam hal ini Menteri
Pertanian dan Menteri Perindustri harus memonitor data
ketersediaan produk indutri dan hortikultura tertentu di Dalam Negeri
secara total dan merekomendasikan kepada Menteri Perdagangan
kapan dan berapa banyak yang perlu diimpor melelui Batam.
Penetapan sasaran konsumsinya dari produk-produk yang diimpor
dari Batam
Harus memperhatikan persyaratan kemasan dan pelabelan
Menerapkan standar mutu SNI wajib khusus di wilayah Batam
Ketentuan keamanan dan perlindungan terhadap kesehatan
manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan.

117
Tabel 5.23. Saran Prioritas Perbaikan di Pelabuhan Batam untuk Sebagai
Pintu Masuk Produk Industri dan Hortikultura
Kriteria Utama Batam Standard Perbedaan Prioritas
dengan nilai Perbaikan
Standar
Ketersediaan SDM 0,64 0,64 0,00 Sudah sesuai

Keamanan, ketahanan & 0,65 0,64 0,00 Sudah sesuai


pelayaran pelabuhan

Fasilitas pelabuhan laut 0,42 0,59 -0,165 2

Proteksi terhadap produk 0,34 0,56 -0,217 1


lokal

Wilayah perairan untuk 0,45 0,56 -0,102 3


pelabuhan laut

Perbaikan prioritas kedua yang harus dilakukan di Pelabuhan Batam


adalah perbaikan pada kriteria Fasilitas Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang
harus diperbaiki adalah pada sub kriteria yang masih memiliki nilai negatif
sebagaimana disajikan pada Tabel 5.25. Khusus untuk sub kriteria
Ketersediaan kapal pengangkut dan sub keriteria Laboratorium pengujian
karantina yang dinilai sudah sesuai standar.

118
Tabel 5.24. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Fasilitas
Pelabuhan untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam.
Fasilitas Pelabuhan Laut Nilai Kekurangan

Dermaga -0,002569777
Gudang lini 1 -0,004904922
Lapangan penumpukan lini 1 -0,004793193
Terminal penumpang -0,008335016
Terminal peti kemas -0,011488579
Terminal ro-ro -0,008625512
Fasilitas penampungan dan pengolahan limbah -0,006955157
Fasilitas bunker -0,006519412
Fasilitas pemadaman kebakaran -0,00371221
Fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya
dan Beracun (B3) -0,013340494
Fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan -0,006921638
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SNBP)
Kawasan perkantoran -0,002189897
Fasilitas pos dan telekomunikasi -0,006536172
Fasilitas pariwisata dan perhotelan -0,008066865
Instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi -0,002441288
Jaringan jalan dan rel kereta api -0,007189789
Jaringan air limbah, drainase, dan sampah -0,007307105
Areal pengembangan pelabuhan -0,004927268
Tempat tunggu kendaraan bermotor -0,006854601
Kawasan perdagangan -0,006821082
Kawasan industri -0,003309984
Kepabeanan -0,004938441
Unit Pelaksana Teknis Karantina -0,002441288
Fasilitas tempat penyimpanan dan cold storage -0,014547172
Ketersediaan jaringan teknologi informasi (IT) -0,002441288
Ketersediaan transportasi penghubung -0,007323864

Selanjutnya perbaikan prioritas ketiga yang harus dilakukan di


pelabuhan Batam adalah perbaikan pada kriteria Wilayah Perairan untuk
Pelabuhan Laut. Sub kriteria yang harus diperbaiki adalah pada sub kriteria

119
yang masih memiliki nilai negatif sebagaimana disajikan pada Tabel 5.26.
Khusus untuk sub kriteria Alur pelayaran; Perairan tempat alih muat kapal;
Perairan pandu; Perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka panjang;
Perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal; serta
Perairan untuk tempat uji coba kapal dinilai sudah sesuai standar.

Tabel 5.25. Perbaikan yang Perlu Dilakukan pada Kriteria Wilayah Perairan
untuk Pelabuhan Laut di Pelabuhan Batam.
Wilayah Perairan Untuk Pelabuhan Laut Kekurangan Nilai

Perairan tempat labuh -0,004960788


Kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal -0,009653425
Perairan untuk kapal yang mengangkut Bahan/Barang Berbahaya dan -0,013072347
Beracun (B3)
Perairan untuk kegiatan karantina -0,027150258
Perairan alur penghubung intrapelabuhan -0,006754046
Perairan untuk kapal pemerintah -0,025608392
Perairan tempat kapal mati -0,020781679
Perairan untuk keperluan darurat -0,006435617

5.3. Kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan Ditetapkan dengan


Sentra Produksi dan Sentra Industri
Pemasukan atas produk Buah-buahan dan /atau Sayuran Buah
Segar telah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan)
No. 89/Permentan/OT.140/12/2011, sedangkan produk Sayuran Umbi
Lapis Segar diatur melalui Permentan No. 90/Permentan/OT.140/12/2011.
Daftar produk buah-buahan dan sayuran segar tersebut disajikan pada
Tabel 5.27.
Produksi buah-buahan dan sayuran segar yang tercantum dalam
Permentan No 89 tersebut di wilayah sekitar pelabuhan laut yaitu Belawan
(Sumatera Utara), Tanjung Perak (Jawa Timur), dan Sukarno Hatta
(Sulawesi Selatan) serta beberapa pelabuhan laut lainya yang dijadikan
wilayah survey pada kajian ini yaitu Batam (Riau), dan Bitung (Sulawesi

120
Utara) semuanya disajikan pada Tabel 5.28. Dari Tabel 5.28, terlihat
bahwa wilayah yang sangat sensitif dijadikan pintu masuk impor buah-
buahan dan sayuran segar berdasarkan Permentan No.89 adalah Tanjung
Perak (Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena kedua wilayah
tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah produsen
terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di
Indonesia. Selain itu, dari pintu masuk pelabuhan Tanjung Perak (Jawa
Timur) juga pasti akan mempengaruhi daerah produsen terbesar kedua
dari produksi buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia yaitu Jawa
Barat. Dengan demikian, penetapan Tanjung Perak dan Belawan sebagai
pintu masuk masuk impor produk buah-buahan dan sayuran segar di
Indonesia berdasarkan Permentan No.89 menjadi sangat sensitif terhadap
daya saing produk buah-buahan dan sayuran segar lokal yang dihasilkan di
wilayah Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Kondisi Tanjung Perak (Jawa Timur) ini diperparah oleh
perkembangan produksi buah-buahan dan sayuran segar yang tercakup
dalam Permentan No.89 yang terus menurun drastis selama periode 2008-
2010 yaitu menurun sebesar 17,4% per tahun. Nampaknya pintu masuk
Tanjung Perak di Wilayah Jawa Timur ini juga memiliki dampak juga
terhadap daya saing produk-produk buah-buahan dan sayuran segar di
daerah Jawa Barat, yang ternyata telah mengalami trend penurunan
produksi yang cukup menyolok yang produksinya menurun sebesar 19,6%
per tahun.
Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing
produk lokal (Tabel 5.29), dimana semakin tinggi nilai negatif
sensitivitasnya maka diperkirakan semakin tinggi perkiraan dampak
negatifnya terhadap daya saing produk lokal, maka terlihat bahwa
pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam (Riau), Belawan
(Sumut) dan Tanjung Perak (Surabaya). Namun, dua pelabuhan lainnya
yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno Hatta (Makasar), nilai sensitivitasnya
medium sehingga diperkirakan tidak memberikan dampak negatif yang

121
besar terhadap daya saing produk lokal. Walaupun Batam, bukan
termasuk wilayah sentra produksi utama buah-buahan dan sayuran segar
di Indonesia, namun nilai sensitivitasnya yang tinggi mungkin terkait dengan
adanya kemudahan faslitas dalam mendistribusikan buah-buahan dan
sayuran segar dari Batam ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu,
sensitivitas dari pelabuhan Batam ini lebih diperuntukkan bagi produk-
produk industri sebagaimana tercakup dalam Permendag Nomor 57/M-
DAG/PER/12/2010.

Tabel 5.26. Daftar Produk Hortikultura yang Tercakup dalam Permentan


No.89 Tahun 2011

No Jenis Hortikultura No Jenis Hortikultura


1 Anggur 12 Bawang Bombay
2 Apel 13 Bawang Merah
3 Durian 14 Bawang Putih
4 Jeruk 15 Kubis
5 Lengkeng 16 Cabe
6 Mangga 17 Kentang
7 Melon 18 Wortel
8 Nanas 19 Anggrek
9 Mardi backross solo (betik solo) 20 Krisan
10 Pepaya 21 Heliconia
11 Pisang

Tabel 5.27. Produksi Produk Hortikultura yang Tercakup dalam


Permentan No.89 Tahun 2011 di Wilayah Propinsi Pelabuhan Masuk
Tahun Sumut (Ton) Jatim (Ton) Jabar (Ton) Sulut (Ton) Sulsel Riau
(Ton) (Ton)

2008 1.941.315 3.592.881 3.475.280 268.203 501.023 15.468


2009 1.892.090 3.605.025 3.657.091 303.854 530.029 20.157
2010 2.006.910 2.969.271 2.793.967 295.144 459.629 27.061
Perkem 3,4 -17,4 -19,6 10,0 -8,3 74,9
bangan
(%/thn)

122
Tabel 5.28. Nilai Sensivitas terhadap Daya Saing Produk Lokal dari
Masing-masing Pelabuhan Masuk

Pelabuhan Pintu Masuk Produk Nilai Dampak Negatif terhadap


Industri dan Hortikultura Daya Saing Produk Lokal
Bitung, Manado -0,1107492 (Medium)
Sukarno Hatta, Makasar -0,1381608 (Medium)
Belawan, Medan -0,15475104 (Besar)
Tanjung Perak, Surabaya -0,15449778 (Besar)
Batam, Riau -0,21781601 (Besar)

5.4. Daya Saing Produk Impor terhadap Produk Lokal


Hasil analisis data survey menunjukkan bahwa terdapat beberapa
alasan utama dari melakukan impor produk-produk hortikultura dan industri
secara umum. Alasan yang paling utama kenapa para pelaku usaha
melakukan impor produk hortikultura dan industri adalah untuk memenuhi
permintaan konsumen. Alasan penting urutan kedua dari melakukan impor
produk-produk hortikultura dan industri adalah karena konsisten dalam
supplynya lebih terjamin. Selanjutnya, alasan lainnya dengan derajat
kepentingan urutan ketiga, dan keempat berturut turut adalah mutu produk
impor yang lebih baik; dan harganya lebih murah. Beberapa responden
juga menyebutkan alasan impor karena belum ada produk lokal yang setara
dengan produk impor sehingga belum ada subtitusi impornya.

Tabel 5.29. Alasan Melakukan Impor dari Para Pelaku Usaha


Hortikultura dan Industri
Alasan Impor Total Skor Prioritas
Permintaan konsumen 307 1
Konsisten dalam supply 299 2
Mutu lebih baik 288 3
Harga lebih murah 287 4
Belum ada substitusi produk lokal 273 5

123
5.5. Daya Saing Produk Hortikultura dan Industri Lokal
Hasil analisis citra atau multi atribut angka ideal produk hortikultura
disajikan pada Tabel 5.31. Beberapa atribut utama yang digunakan
konsumen untuk memilih dan membeli produk hortikultura segar baik buah
maupun sayur dengan tingkat kepentingan tinggi (skor 5) adalah (1)
tampilan kesegaran; (2) rasa; (3) konsistensi supply; dan (4) konsistensi
mutu. Atribut lainnya dengan tingkat kepentingan lebih rendah (skor 4)
adalah (1) harga, (2) aroma, dan (3) tampilan warna. Dari analisis
kepercayaan konsumen terhadap produk hortikultura impor yang
dibandingkan dengan produk lokal, diketahui bahwa daya saing produk
lokal ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan produk impor. Nilai
sikap konsumen terhadap produk lokal mencapai nilai skor 37, sedangkan
skor sikap konsumen terhadap produk impor betul-betul mencapai angka
seperti yang diidealkannya secara sempurna yaitu skor nol. Semakin ideal
suatu produk berdasarkan persepsi konsumen maka nilai sikapnya
mendekati angka nol. Pada skor nol tersebut berarti tidak terdapat
perbedaan nilai antara nilai yang diinginkan (nilai ideal) dengan fakta
produk yang dinilai, atau dengan kata lain produk tersebut sudah menjadi
produk ideal dari berbagai atribut yang digunakan untuk penilaian. Dengan
demikian, produk hortikultura impor sudah dianggap sebagai produk ideal.
Di lain pihak, produk hortikultura lokal masih jauh dari produk ideal. Masih
diperlukan upaya dan kerja keras agar produk hortikultura lokal dapat
bersaing dengan produk impor. Atribut-atribut dari produk hortikultura lokal
yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat urgent
adalah (1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan kesegaran, (3)
rasa, (4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai
masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma. Di lain pihak, produk
hortikultura impor dari semua atribut yang digunakan untuk memilih produk
hortikultura semuanya sudah dianggap ideal oleh konsumen.
Dari analisis multi atribut angka ideal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa daya saing produk-produk hortikultura lokal masih jauh di bawah

124
produk-produk hortikultura impor. Untuk dapat bersaing dengan produk-
produk hortikultura impor masih diperlukan perbaikan jangka panjang mulai
dari perbaikan pemuliaan tanaman, teknologi handling untuk menjaga
kesegaran, efisiensi supply chain, fasilitas pendinginan hingga kebijakan
perdagangannya khususnya non tarif barriers dari impor hortikultura.
Dengan demikian, prospek produk-produk hortikultura lokal untuk keperluan
subtitusi impor dalam jangka pendek dan menengah belum memungkinkan.
Buah segar yang pangsa impornya tinggi adalah apel, pir, dan jeruk,
sedangkan untuk sayuran adalah bawang putih, bawang bombay, bawang
merah, wortel dan kentang.

Tabel 5.30. Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran Daya


Saing Produk Hortikultura Impor Dibandingkan dengan Produk Lokal
Angka Kepercayaan
Kepentingan
Atribut Ideal
(Wi) Lokal Impor
(Ii)
1. Tampilan Warna Sangat tidak 4 6 5 6
baik (1) sangat baik (6)

2. Tampilan Kesegaran Sangat 5 6 5 6


tidak baik (1) sangat baik (6)
3. Rasa Sangat tidak baik (1) 5 6 5 6
sangat baik (6)

4. Aroma Sangat tidak baik (1) 4 6 5 6


sangat baik (6)

5. Konsistensi Supply Sangat tidak 5 6 4 6


baik (1) sangat baik (6)

6. Konsistensi Mutu Sangat tidak 5 6 5 6


baik (1) sangat baik (6)
7. Harga Murah (1) sangat mahal 4 4 5 4
(6)
Sikap (Ab) 37 0

Hasil analisis citra atau multi atribut angka ideal produk industri disajikan
pada Tabel 5.32. Beberapa atribut utama yang digunakan konsumen untuk
memilih dan membeli produk industri dengan tingkat kepentingan tinggi

125
(skor 5) adalah (1) kualitas produk; dan (2) tanggal kadaluarsa khusus
untuk produk makanan dan minuman, obat-obatan dan produk konsumsi
lainnya. Atribut lainnya dengan tingkat kepentingan lebih rendah (skor 4)
adalah (1) harga, (2) model/tipe produk, (3) label halal, (4) informasi produk,
(5) kemasan/packaging, (6) merk/brand. Dari analisis kepercayaan
konsumen terhadap produk industri impor yang dibandingkan dengan
produk lokal, diketahui bahwa daya saing produk lokal ternyata lebih rendah
dibandingkan dengan produk impor. Nilai sikap konsumen terhadap produk
lokal mencapai nilai skor 34, sedangkan skor sikap konsumen terhadap
produk impor mencapai angka skor 21. Semakin ideal suatu produk
berdasarkan persepsi konsumen maka nilai sikapnya mendekati angka nol.
Masih diperlukan upaya dan kerja keras agar produk industri lokal dapat
bersaing dengan produk impor. Atribut-atribut dari produkindustri lokal
yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat urgent
adalah (1) merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4)
kemasan/packaging produk.
Dari analisis multi atribut angka ideal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa daya saing produk-produk industri lokal masih di bawah produk-
produk impor. Untuk dapat bersaing dengan produk-produk industri impor
masih diperlukan perbaikan mulai dari perbaikan teknologi produksi, desain,
promosi, hingga kebijakan perdagangannya khususnya non tarif barriers
dari impor produk-produk industri.

126
Tabel 5.31. Hasil Analisis Semantic Differential untuk Pengukuran Daya
Saing Produk Industri Impor Dibandingkan dengan Produk Lokal
Angka Kepercayaan
Kepentingan
Atribut Ideal
(Wi) Lokal Impor
(Ii)
1. Kualitas produk Sangat tidak baik 5 6 5 6
(1) sangat baik (6)
2. Harga Murah (1) sangat mahal (6) 4 4 5 5
3. Model/tipe produk Sangat tidak 4 6 5 6
baik (1) sangat baik (6)

4. Tanggal kadaluwarsa Sangat tidak 5 6 5 5


baik (1) sangat baik (6)

5. Label Halal Tidak ada (1) ada dan 4 6 6 5


sangat baik (6)
6. Informasi Produk Tidak ada (1) 4 6 5 5
ada dan sangat lengkap (6)
7. Kemasan/ Packaging Sangat tidak 4 6 5 6
baik (1) sangat baik (6)
8. Merk/Brand Tidak ada (1) sangat 4 6 4 5
terkenal (6)
Sikap (Ab) 34 21

5.6. Prioritas Penanganan Bidang Masalah


Terdapat berbagai masalah dalam upaya peningkatan daya saing
produk hortikultura dan industri Indonesia. Kinerja yang rendah dari
beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing merupakan salah satu
sebab dari lemahnya daya saing produk-produk hortikultura dan rempah
Indonesia. Namun karena keterbatasan sumber daya untuk mengatasinya,
diperlukan tingkat prioritas dari penanganan masalah tersebut. Dari hasil
analisis data survey diketahui terdapat empat prioritas penanganan bidang
masalah.
Prioritas pertama diberikan pada faktor pendukung yang selama ini
memiliki derajat kinerja yang rendah, namun urgensi penanganannya tinggi.
Faktor-faktor yang termasuk prioritas pertama tersebut adalah (1) perbaikan
distribusi khususnya supply chain untuk meningkatkan kecepatan dan

127
efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk lebih melindungi
produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4) penyederhaan
birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.

5.7. Penilaian Potensi Dampak Kebijakan


Dari hasil survey terhadap stakeholders agribisnis hortikultura dan
industri tentang penilaian potensi dampak kebijakan dari penerapan
Penentuan Pelabuhan Tertentu Sebagai Pintu Masuk Produk
Hortikultura dan Industri disajikan pada Tabel 5.33. Kriteria dengan
bobot yang paling menonjol adalah kriteria dampak bagi produsen dalam
negeri. Secara keseluruhan, diperkirakan kebijakan ini akan memberikan
net dampak positif, namun tidak besar. Para pihak yang diperkirakan akan
diuntungkan atau menerima dampak positif dari kebijakan ini berturut-turut
mulai dari yang paling besar menerima dampak positifnya adalah (1) para
produsen dalam negeri, (2) pemerintah dan (3) para eksportir. Di lain
pihak, stakeholders yang berpotensi akan menerima dampak negatif dari
kebijakan ini brturut-turut mulai dari pihak yang menerima dampak negatif
paling besar adalah (1) para importir, (2) industri pengolah, dan (3) para
konsumen di dalam negeri. Namun demikian, secara sistem, kebijakan ini
diperkirakan akan dapat memberikan dampak positif secara nasional yang
relatif tidak besar.

128
Tabel 5.32. Perkiraan Potensi Dampak Kebijakan

Kriteria Dampak Bobot Skor Nilai Dampak


Kriteria Dampak
(Modus)
Dampak bagi produsen
dalam negeri 0,17250324 3 0,517510

Dampak bagi konsumen


dalam negeri 0,15304799 -2 -0,306096

Dampak bagi eksportir


produk dalam negeri 0,17120623 1 0,171206

Dampak bagi importir 0,16990921 -3 -0,509728


Dampak bagi pemerintah 0,16731518 3 0,501946
Dampak bagi industri
pengolah 0,16601816 -2 -0,332036

Total 1 0,042802

5.8. Analisis Dampak Potensi Ekonomi Kebijakan Penetapan Pelabuhan


Tertentu Sebagai Pintu Masuk Impor Produk Tertentu

5.8.1. Produk Hortikultura

Pangsa pasar utama produk pertanian/hortikultura impor adalah


wilayah Jakarta dan sekitarnya. Pangsa pasar untuk wilayah ini
diperkirakan mencapai hingga 80% dari volume produk yang diimpor.
Pemindahan pintu masuk impor dari Pelabuhan Tanjung Priok ke
pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya bagi pihak-pihak yang
mendistribusikan produk pertanian/hortikultura impor tersebut. Peningkatan
biaya ini terjadi terutama karena adanya biaya-biaya tambahan, yaitu:
1. Biaya transportasi domestik
Biaya transportasi domestik dalam hal ini adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk mengirimkan produk dari pelabuhan impor ke Jakarta
sebagai tujuan utama produk hortikultura. Jenis dan besaran biaya

129
domestik ini tergantung dari moda transportasi yang digunakan sesuai
dengan ketersediaan moda dan jenis armada yang digunakan. Moda
yang digunakan bisa berupa moda transportasi laut atau darat.
2. Biaya kerusakan produk
Pengalihan pelabuhan impor berdampak pula terjadinya beberapa kali
proses handling (bongkar muat) dan waktu transportasi yang lama.
Kedua hal ini bisa berdampak terhadap kondisi produk. Kerusakan
produk bisa bertambah akibat kondisi jalan yang buruk, sehingga
produk-produk hortikultura (terutama buah) saling berbenturan.
Benturan-benturan produk ini mengakibatkan buah menjadi memar
sehingga kualitas produk menurun. Penurunan kualitas produk ini
diperkirakan sekitar 10%-15%.

Pada bagian di bawah ini dipaparkan perubahan biaya pengiriman


produk hortikultura setelah pemberlakuan pembatasan pintu impor produk
tersebut dari Pelabuhan Tanjung Priok menjadi ke beberapa pelabuhan
berikut ini. Perhitungan hanya memasukkan tambahan biaya transportasi
domestik dan biaya kerusakan produk. Biaya shipping dari negara asal
dianggap tetap. Biaya customs clearance juga dianggap tetap, walaupun
dalam wawancara dengan importir diperoleh informasi adanya kenaikan
biaya dari PPJK (Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan) yang cukup
siginifikan di pelabuhan impor yang baru dibandingkan biaya di Pelabuhan
Tanjung Priok sebelumnya.

1. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya


Pengiriman produk dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Jakarta
dapat dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku
tidak memilih penggunaan kereta api, antara lain karena handling yang
lebih banyak dibandingkan dengan truk. Penggunaan truk juga bukan tanpa
risiko. Waktu perjalanan Surabaya-Jakarta sekitar 2-3 hari berpotensi
menurunkan kualitas (kondisi) produk, terutama buah. Potensi kerusakan

130
ini semakin bertambah karena kerusakan jalan di beberapa tempat dalam
perjalanan tersebut.
Berikut ini adalah perhitungan sampel biaya pengiriman produk
hortikultura apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung
Priok ke Pelabuhan Tanjung Perak. Sampel yang digunakan adalah produk
hortikultura dari China dengan kontainer berukuran 40.

Tabel 5.33 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari


Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke Jakarta
Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan
Negara
Jumlah
Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
Biaya (Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
24.000.000
dari negara asal dari negara asal 24.000.000
Biaya customs Biaya customs
18.000.000
clearance clearance 18.000.000
Biaya 46.300.000
transportasi
domestik 17.500.000
(trucking)
Risiko
kerusakan
28.800.000
produk (10%)
Total Biaya 42.000.000 Total Biaya 88.300.000
Perubahan 110%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 46.300.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 110% dari biaya sebelumnya.

2. Pelabuhan Belawan, Medan


Pengiriman produk dari Pelabuhan Belawan, Medan, ke Jakarta dilakukan
dengan menggunakan transportasi darat (truk) atau transportasi laut
(kapal). Dari dua alternatif ini, penggunaan kapal lebih memungkinkan
karena pengiriman dengan reefer container membutuhkan plugging (untuk
pengisian listrik) yang tersedia di kapal. Fasilitas plugging ini tidak tersedia
dalam perjalanan darat dengan menggunakan truk dari Medan ke Jakarta.

131
Walaupun sama-sama menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor
langsung ke Pelabuhan Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Belawan
berdampak terhadap biaya dan waktu untuk proses bongkar muat.
Berikut ini adalah perhitungan sampel biaya pengiriman produk
hortikultura dari China apabila pelabuhan impor dipindahkan dari
Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Belawan. Sampel yang digunakan
adalah produk hortikultura dari China dengan kontainer berukuran 40.

Tabel 5.34. Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura


dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta
Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan
Negara
Jumlah
Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan Biaya
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
(Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari 132egara 24.000.000 dari 132egara
24.000.000
asal asal
Biaya customs Biaya customs
18.000.000 18.000.000
clearance clearance
Biaya
transportasi
13.000.000
domestik (laut)
41.800.000
Risiko
kerusakan
28.800.000
produk
Total Biaya Total Biaya
42.000.000 83.800.000
Perubahan
100%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 41.800.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 100% dari biaya sebelumnya.

3. Pelabuhan Makassar
Pengiriman produk dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta dilakukan dengan
menggunakan transportasi laut (kapal). Walaupun sama-sama
menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor langsung ke Pelabuhan

132
Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Makassar berdampak terhadap
biaya dan waktu untuk proses bongkar muat.
Berikut ini adalah perhitungan sampel biaya pengiriman produk
hortikultura dari China apabila pelabuhan impor dipindahkan dari
Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Makassar. Sampel yang digunakan
adalah produk hortikultura dari China dengan kontainer berukuran 40.

Tabel 5.35 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari


Pelabuhan Makassar ke Jakarta
Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan
Negar
Jumlah
a Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan Biaya
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
(Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari negara asal 24.000.000 dari negara asal 24.000.000
Biaya customs 18.000.000 Biaya customs 18.000.000
clearance clearance
Biaya 58.800.000
transportasi 30.000.000
domestik (laut)
Risiko
kerusakan 28.800.000
produk
Total Biaya Total Biaya
42.000.000 100.800.000
Perubahan 140%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 58.800.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 140% dari biaya sebelumnya.

4. Pelabuhan Bitung, Manado


Pengiriman produk dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta dilakukan
dengan menggunakan transportasi laut (kapal). Walaupun sama-sama
menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor langsung ke Pelabuhan
Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Bitung berdampak terhadap biaya
dan waktu untuk proses bongkar muat. Berikut ini adalah perhitungan

133
sampel biaya pengiriman produk hortikultura dari China apabila pelabuhan
impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Bitung.
Sampel yang digunakan adalah produk hortikultura dari China dengan
kontainer berukuran 40.

Tabel 5.36 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Hortikultura dari


Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta
Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan
Negara
Jumlah
Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
Biaya (Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari negara asal 24.000.000 dari negara asal 24.000.000
Biaya customs 18.000.000 Biaya customs 18.000.000
clearance clearance
Biaya 66.800.000
transportasi 38.000.000
domestik (laut)
Risiko
kerusakan 28.800.000
produk
Total Biaya Total Biaya
42.000.000 108.800.000
Perubahan 159%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 66.800.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 159% dari biaya sebelumnya.

5. Perbandingan Antar Pelabuhan


Perbandingan biaya pengiriman produk hortikultura ke wilayah Jakarta dari
beberapa lokasi pelabuhan impor di atas ditunjukkan pada gambar berikut
ini.

134
Gambar 5.1. Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Hortikultura Ke
Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi Pelabuhan Impor

Berdasarkan perbandingan pada gambar di atas, biaya pengiriman produk


hortikultura ke wilayah Jakarta yang paling murah setelah Pelabuhan
Tanjung Priok adalah Pelabuhan Belawan, diikuti Pelabuhan Tanjung
Perak, Pelabuhan Makassar, dan Pelabuhan Bitung.

5.8.2. Produk Hasil Industri (Makanan dan Elektronika)


Pangsa pasar utama produk industri, termasuk produk makanan-
minuman dan elektronika adalah wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Pemindahan pintu masuk impor dari Pelabuhan Tanjung Priok ke
pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya bagi pihak-pihak yang
mendistribusikan produk industri tersebut, yaitu:

1. Biaya transportasi domestik.


Biaya transportasi domestik dalam hal ini adalah biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk mengirimkan produk dari pelabuhan impor ke Jakarta
sebagai tujuan utama produk industri. Jenis dan besaran biaya

135
domestik ini tergantung dari moda transportasi yang digunakan sesuai
dengan ketersediaan moda dan jenis armada yang digunakan. Moda
yang digunakan bisa berupa moda transportasi laut atau darat.
2. Biaya kerusakan produk
Pengalihan pelabuhan impor berdampak pula terjadinya beberapa kali
proses handling (bongkar muat) dan waktu transportasi yang lebih
lama. Kedua hal ini bisa berdampak terhadap kondisi produk.
Kerusakan produk bisa bertambah akibat kondisi jalan yang buruk,
sehingga produk-produk (kemasan) saling berbenturan. Penurunan
kualitas produk ini diperkirakan sekitar 2,5%, yang bisa dibebankan
sebagai biaya asuransi (terutama untuk elektronika).

Namun, karena variasi nilai produk yang sangat besar untuk


makanan-minuman dan elektronika, dalam perhitungan ini tidak
dimasukkan biaya kerusakan produk tersebut.
Pada bagian di bawah ini dipaparkan perubahan biaya pengiriman produk
industri apabila dilakukan pembatasan pintu impor produk tersebut dari
Pelabuhan Tanjung Priok menjadi ke beberapa pelabuhan berikut ini.
Perhitungan hanya memasukkan tambahan biaya transportasi domestik
dan biaya kerusakan produk. Biaya shipping dari negara asal dianggap
tetap. Biaya customs clearance juga dianggap tetap.

1. Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya


Pengiriman produk dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, ke Jakarta
dapat dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku
tidak memilih penggunaan kereta api, antara lain karena handling yang
lebih banyak dibandingkan dengan truk. Penggunaan truk juga bukan tanpa
risiko. Waktu perjalanan Surabaya-Jakarta sekitar 2-3 hari berpotensi
mengakibatkan kerusakan produk. Potensi kerusakan ini semakin
bertambah karena kerusakan jalan di beberapa tempat dalam perjalanan
tersebut.

136
Berikut ini adalah perhitungan sampel biaya pengiriman produk industri
apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke
Pelabuhan Tanjung Perak. Sampel yang digunakan adalah produk industri
dari China dengan kontainer berukuran 40.

Tabel 5.37 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-


Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya ke
Jakarta

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan


Negar Jumlah
a Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
Biaya (Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari negara asal 24.000.000 dari negara asal 24.000.000
Biaya customs Biaya customs
clearance 18.000.000 clearance 18.000.000
Biaya 16.000.000
transportasi 16.000.000
domestik
(trucking)
Total Biaya Total Biaya
42.000.000 58.000.000
Perubahan 38%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 16.000.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 38% dari biaya sebelumnya.

2. Pelabuhan Belawan, Medan


Pengiriman produk dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta dapat
dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku tidak
memilih penggunaan kereta api, antara lain karena handling yang lebih
banyak dibandingkan dengan truk. Penggunaan truk lebih efisien (tidak
terjadi double handling) dan waktu lebih cepat daripada menggunakan
kapal laut. Potensi kerusakan ini semakin bertambah karena kerusakan
jalan di beberapa tempat dalam perjalanan tersebut.

137
Berikut ini adalah perhitungan sampel biaya pengiriman produk industri
apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke
Pelabuhan Belawan. Sampel yang digunakan adalah produk industri dari
China dengan kontainer berukuran 40.

Tabel 5.38 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-


Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Belawan, Medan ke Jakarta

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan


Negara Jumlah
Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
Biaya (Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari negara asal 24.000.000 dari negara asal 24.000.000
Biaya customs Biaya customs
clearance 18.000.000 clearance 18.000.000
Biaya 12.000.000
transportasi 12.000.000
domestik
(trucking)
Total Biaya Total Biaya
42.000.000 54.000.000
Perubahan 29%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 12.000.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 29% dari biaya sebelumnya.

3. Pelabuhan Makassar
Pengiriman produk dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta dilakukan dengan
menggunakan transportasi laut (kapal). Walaupun sama-sama
menggunakan kapal, dibandingkan dengan impor langsung ke Pelabuhan
Tanjung Priok, impor melalui Pelabuhan Makassar berdampak terhadap
biaya dan waktu untuk proses bongkar muat. Berikut ini adalah perhitungan
sampel biaya pengiriman produk hortikultura dari China apabila pelabuhan
impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Pelabuhan Makassar.
Sampel yang digunakan adalah produk hortikultura dari China dengan
kontainer berukuran 40.

138
Tabel 5.39 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-
Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Makassar ke Jakarta

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan


Negara Jumlah
Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
Biaya (Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari negara asal 24.000.000 dari negara asal 24.000.000
Biaya customs Biaya customs
clearance 18.000.000 clearance 18.000.000
Biaya 28.000.000
transportasi 28.000.000
domestik (laut)
Total Biaya Total Biaya
42.000.000 70.000.000
Perubahan 67%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 28.000.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 67% dari biaya sebelumnya.

4. Pelabuhan Bitung, Manado


Pengiriman produk dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta dapat
dilakukan dengan menggunakan kereta api atau truk. Para pelaku tidak
memilih penggunaan kapal laut, antara lain karena mengurangi double
handling yang lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan kapal laut
dari Bitung ke Surabaya, lalu menggunakan truk Surabaya-Jakarta.
Penggunaan kapal laut juga bukan tanpa risiko. Potensi kerusakan ini
semakin bertambah karena kerusakan jalan di beberapa tempat dalam
perjalanan tersebut.
Berikut ini adalah perhitungan sampel biaya pengiriman produk industri
apabila pelabuhan impor dipindahkan dari Pelabuhan Tanjung Priok ke
Pelabuhan Bitung, Manado. Sampel yang digunakan adalah produk industri
dari China dengan kontainer berukuran 40.

139
Tabel 5.40 Perhitungan Sampel Biaya Pengiriman Produk Makanan-
Minuman dan Elektronika dari Pelabuhan Bitung, Manado ke Jakarta

Biaya Awal Biaya Setelah Perubahan


Negar Jumlah
a Asal Jumlah Jumlah
Jenis Biaya Jenis Biaya Perubahan
Biaya (Rp) Biaya (Rp)
Biaya (Rp)
China Biaya shipping Biaya shipping
dari negara asal 24.000.000 dari negara asal 24.000.000
Biaya customs Biaya customs
clearance 18.000.000 clearance 18.000.000
Biaya 35.000.000
transportasi 35.000.000
domestik
(trucking)
Total Biaya Total Biaya 77.000.000
42.000.000
Perubahan 83%
Biaya

Berdasarkan data dan perhitungan sampel data pada tabel, terjadi


peningkatan biaya sebesar Rp 35.000.000 per kontainer berukuran 40 atau
sebesar 83% dari biaya sebelumnya.

5. Perbandingan Antar Pelabuhan


Perbandingan biaya pengiriman produk makanan-minuman dan elektronika
ke wilayah Jakarta dari beberapa lokasi pelabuhan impor di atas
ditunjukkan pada gambar berikut ini.

140
Gambar 5.2. Perbandingan Biaya Pengiriman Produk Makanan dan
Elektronika Ke Wilayah Jakarta dari Beberapa Lokasi Pelabuhan Impor

Berdasarkan perbandingan pada grafik di atas, biaya pengiriman produk


hortikultura ke wilayah Jakarta yang paling murah setelah Pelabuhan
Tanjung Priok adalah Pelabuhan Belawan, diikuti Pelabuhan Tanjung
Perak, Pelabuhan Makassar, dan Pelabuhan Bitung.

5.9. Dampak Permendag No. 57 Tahun 2010 terhadap Perkembangan


Impor Produk Industri
Perkembangan impor produk-produkindustri yang tercakup dalam
Permendag No 57 Tahun 2010 disajikan pada Gambar1. Permendag No
57 Tahun 2010 tersebut berlaku sejak 1 Januari 2011. Dari Gambar 5.34
terlihat bahwa adanya Permendag tersebut belum mampu menghambat
laju peningkatan impor dari produk-produk tersebut.
Impor barang konsumsi meningkat secara signifikan. Pada tahun
2010, impor barang konsumsi mencapai USD 10 miliar, dan tahun 2011
impor barang konsumsi mencapai USD 13,4 miliar. Pangsa impor barang
konsumsi sebesar 7,55 persen dari total seluruh impor Indonesia. Impor

141
terbesar didominasi oleh bahan baku penolong (73,80 %) dan barang
modal (18,65 %).
Pada tahun 2011, impor produk makanan dan minuman mengalami
kenaikan 27,61 persen dibandingkan tahun 2010 yaitu dari USD 0,404
miliar menjadi USD 0,516 miliar. Untuk produk kosmetik kenaikan terjadi
sebesar 35,63 persen pada tahun 2011, yaitu dari USD 0,303 miliar pada
tahun 2010 naik menjadi USD 0,411 miliar pada tahun 2011. Produk
pakaian jadi pada tahun 2011 juga mengalami kenaikan dibandingkan
tahun 2010 yaitu sebesar 22,33 persen dari USD 0,234 miliar menjadi USD
0,286 miliar. Adapun untuk produk alas kaki, impor pada tahun 2011
mengalami kenaikan sebesar 32,30 persen, untuk produk elektronika
kenaikan impor tahun 2011 sebesar 13,34 persen dibandingkan tahun
2010. Untuk mainan anak-anak, kenaikan tahun 2011 adalah sebesar 33,02
persen.
Dengan demikian, Permendag No 57 tahun 2010 tersebut belum
efektif untuk mengurangi laju impor produk-produk industri. Untuk
memproteksi produk-produk industri lokal di pasar Dalam Negeri yang
dayasaingnya masih lebih rendah dibandingkan produk-produk impor,
diperlukan peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non tariff
barriers antara lain persyaratan sertifikat halal dan keamanan pangan
untuk produk-produk makanan dan minuman; penerapan SNI wajib serta
pemberian ijin impor yang lebih selektif. Tentunya rekomendasi dari
Kementrian terkait juga harus lebih selektif.

142
Gambar 5.3. Perkembangan Impor Produk-produk Industri

Sumber : BPS (diolah Puska Daglu BPPKP Kemendag)

143
BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
1. Kriteria utama dari pelabuhan yang dapat dijadikan pintu masuk impor
produk industri dan hortikultura berturut-turut mulai dari yang paling
prioritas adalah (1) kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan
Pelabuhan, (2) kriteria Ketersediaan Sumberdaya Manusia, (3) kriteria
Fasilitas Pelabuhan Laut , (4) kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal ,
dan (5) kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut. Masing-
masing kriteria utama tersebut terdiri dari beberapa sub kriteria dengan
bobot/prioritas masing-masing. Hasil penentuan kriteria pelabuhan
tersebut dapat dijadikan rujukan kriteria bagi pengambil keputusan
untuk menentukan pelabuhan yang akan ditetapkan sebagai pintu
masuk impor produk hortikultura dan industri.
2. Dari hasil penilaian survey pelabuhan sampel (Batam, Belawan
Medan, Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung
Manado) secara umum pelabuhan-pelabuhan tersebut telah memenuhi
standar pada kriteria prioritas pertama (Keamanan, Ketahanan, dan
Pelayanan Pelabuhan ) dan kriteria prioritas kedua (Ketersediaan
Sumberdaya Manusia). Di lain pihak pada kriteria lainnya yaitu kriteria
Fasilitas Pelabuhan Lau; kriteria Proteksi terhadap Produk Lokal dan
kriteria Wilayah Perairan untuk Pelabuhan Laut secara umum
pelabuhan-pelabuhan tersebut belum memenuhi standar.
3. Apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan,
Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado)
akan dijadikan pintu masuk produk-produk hortikultura dan industri,
saran top prioritas yang harus diperbaikinya di seluruh pelabuhan
tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal. Khususnya di
pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan karena
pelabuhan-pelabuhan tersebut berada di sentra produksi terbesar dari

144
produk-produk hortikultura yang tercakup pada Permentan No.89
Tahun 201. Sementara Batam, termasuk sentra produksi produk-
produk industri dan memiliki fasilitas distribusi yang baik untuk distribusi
ke seluruh wilayah Indonesia.
4. Nilai negatif proteksi terhadap produk lokal di pelabuhan Tanjung
Perak, Belawan Medan dan Batam lebih tinggi dibandingkan dengan
pelabuhan sampel lainnya sehingga untuk memproteksinya diperlukan
peraturan khusus sebagaimana diterapkan di Jawa Timur. Dalam
hal ini Propinsi Jawa Timur untuk meningkatkan proteksi terhadap
produk hortikultura lokalnya telah menerapkan Peraturan Gubernur
Jawa Timur No.22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk Import
Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura di Jatim. Efektifitas
dari regulasi ini akan sangat tergantung pada keberhasilan kumunikasi
antara Gubernur dalam memberikan masukan kepada Menteri
Pertanian tentang waktu, jenis dan jumlah ketersediaan produk-produk
hortikultura di Jatim. Selanjutnya masukan tersebut menjadi bahan
pertimbangan Mentan dalam memberikan rekomendasi kepada
Menteri Perdagangan.
5. Berdasarkan analisis kesesuaian Penentuan Pelabuhan yang akan
Ditetapkan dengan Sentra Produksi dan Sentra Industri, maka wilayah
yang sangat sensitif dijadikan pintu masuk impor buah-buahan dan
sayuran segar berdasarkan Permentan No.89 adalah Tanjung Perak
(Jawa Timur) dan Belawan (Sumatera Utara) karena kedua wilayah
tersebut merupakan produsen utama yang menempati wilayah
produsen terbesar kedua dan ketiga dari produksi buah-buahan dan
sayuran segar di Indonesia. Selain itu, dari pintu masuk pelabuhan
Tanjung Perak (Jawa Timur) juga pasti akan mempengaruhi daerah
produsen terbesar kedua dari produksi buah-buahan dan sayuran
segar di Indonesia yaitu Jawa Barat. Dengan demikian, penetapan
Tanjung Perak dan Belawan sebagai pintu masuk masuk impor produk
buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia berdasarkan Permentan

145
No.89 menjadi sangat sensitif terhadap daya saing produk buah-
buahan dan sayuran segar lokal yang dihasilkan di wilayah Jawa Timur,
Jawa Barat dan Sumatera Utara.
6. Kondisi Tanjung Perak (Jawa Timur) ini diperparah oleh
perkembangan produksi buah-buahan dan sayuran segar yang
tercakup dalam Permentan No.89 yang terus menurun drastis selama
periode 2008-2010 yaitu menurun sebesar 17,4% per tahun.
Nampaknya pintu masuk Tanjung Perak di Wilayah Jawa Timur ini juga
memiliki dampak juga terhadap daya saing produk-produk buah-buahan
dan sayuran segar di daerah Jawa Barat, yang ternyata telah
mengalami trend penurunan produksi yang cukup menyolok yang
produksinya menurun sebesar 19,6% per tahun.
7. Apabila dilihat dari data nilai sensitivitas terhadap daya saing produk
lokal, maka pelabuhan dengan nilai sensitivitas tinggi adalah Batam
(Riau), Belawan (Sumut) dan Tanjung Perak (Surabaya). Dua
pelabuhan lainnya yaitu Bitung (Manado) dan Sukarno Hatta (Makasar),
nilai sensitivitasnya medium sehingga diperkirakan tidak memberikan
dampak negatif yang besar terhadap daya saing produk lokal.
Walaupun Batam, bukan termasuk wilayah sentra produksi utama
buah-buahan dan sayuran segar di Indonesia, namun nilai
sensitivitasnya yang tinggi terkait dengan adanya kemudahan faslitas
dalam mendistribusikan buah-buahan dan sayuran segar dari Batam
ke seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, Batam termasuk salah satu
wilayah produksi produk-produk industri.
8. Alasan yang paling utama kenapa para pelaku usaha melakukan impor
produk hortikultura dan industri adalah untuk memenuhi permintaan
konsumen. Alasan penting urutan kedua dari melakukan impor
produk-produk hortikultura dan industri adalah karena konsisten dalam
supplynya lebih terjamin. Selanjutnya, alasan lainnya dengan derajat
kepentingan urutan ketiga, dan keempat berturut turut adalah mutu
produk impor yang lebih baik; dan harganya lebih murah.

146
9. Dari analisis semantic differential, diketahui bahwa daya saing produk
hortikultura lokal ternyata jauh lebih rendah dibandingkan dengan
produk impor. Atribut-atribut dari produk hortikultura lokal yang harus
segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat urgent adalah
(1) peningkatan konsistensi supply, (2) tampilan kesegaran, (3) rasa,
(4) konsistensi mutu, (5) tampilan warna, (6) harganya yang dinilai
masih lebih mahal dari produk impor, dan (7) aroma.
10. Demikian pula daya saing produk industri lokal ternyata lebih rendah
dibandingkan dengan produk impor. Atribut-atribut dari produk industri
lokal yang harus segera diperbaiki berturut-turut mulai dari yang sangat
urgent adalah (1) merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe
produk; dan (4) kemasan/packaging produk.
11. Untuk meningkatkan daya saing produk lokal, faktor-faktor yang
termasuk prioritas pertama untuk segera ditangani adalah (1) perbaikan
distribusi khususnya supply chain untuk meningkatkan kecepatan dan
efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk lebih melindungi
produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi , dan (4)
penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.
12. Para pihak yang diperkirakan akan diuntungkan atau menerima
dampak positif dari kebijakan penetapan pelabuhan tertentu sebagai
pintu masuk produk-produk tertentu ini berturut-turut mulai dari yang
paling besar menerima dampak positifnya adalah (1) para produsen
dalam negeri, (2) pemerintah dan (3) para eksportir. Di lain pihak,
stakeholders yang berpotensi akan menerima dampak negatif dari
kebijakan ini brturut-turut mulai dari pihak yang menerima dampak
negatif paling besar adalah (1) para importir, (2) industri pengolah, dan
(3) para konsumen di dalam negeri. Namun demikian, secara sistem,
kebijakan ini diperkirakan akan dapat memberikan dampak positif
secara nasional yang relatif tidak besar.
13. Pemindahan pintu masuk impor produk hortikultura dari Pelabuhan
Tanjung Priok ke pelabuhan-pelabuhan lain akan meningkatkan biaya

147
pengangkutan produk. Pemindahan pintu masuk impor akan
menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 80 - 100 juta/kontainer 40
untuk produk hortikultura. Sedangkan untuk produk industri akan
menimbulkan tambahan biaya sekitar Rp 50 - 77 juta/kontainer 40

6.2. Rekomendasi
1. Pelabuhan-pelabuhan yang disurvei telah memenuhi standar pada
kriteria Keamanan, Ketahanan, dan Pelayanan Pelabuhan dan kriteria
Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Yang perlu diperbaiki agar
pelabuhan tersebut memenuhi kriteria sebagai pelabuhan impor adalah
meningkatkan Fasilitas Pelabuhan Laut dan Wilayah Perairan untuk
Pelabuhan Laut
2. Apabila pelabuhan-pelabuhan sampel (Batam, Belawan Medan,
Tanjung Perak Surabaya, Sukarno Hatta Makasar, dan Bitung Manado)
akan dijadikan pintu masuk produk-produk hortikultura dan industri,
saran prioritas utama yang harus diperbaikinya di seluruh willayah
pelabuhan tersebut adalah peningkatan dayasaing produk lokal.
Khususnya di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Belawan Medan
karena pelabuhan-pelabuhan tersebut berada di sentra produksi
terbesar dari produk-produk hortikultura yang tercakup pada Permentan
No.89 Tahun 2011.
3. Untuk meningkatkan daya saing, atribut-atribut produk hortikultura lokal
yang harus segera diperbaiki adalah (1) peningkatan konsistensi
supply, (2) tampilan kesegaran, (3) rasa, (4) konsistensi mutu, (5)
tampilan warna, (6) harganya yang dinilai masih lebih mahal dari
produk impor, dan (7) aroma. Untuk produk industri lokal, atribut-atribut
produk yang harus segera diperbaiki berturut-turut dalah (1)
merk/brand; (2) kualitas produk; (3) model/tipe produk; dan (4)
kemasan/packaging produk.
4. Untuk meningkatkan daya saing produk industri lokal, faktor-faktor
yang termasuk prioritas pertama untuk segera ditangani adalah (1)

148
perbaikan distribusi khususnya supply chain untuk meningkatkan
kecepatan dan efisiensi distribusi, (2) perbaikan kebijakan impor untuk
lebih melindungi produk lokal, (3) perbaikan mutu dan standarisasi ,
dan (4) penyederhaan birokrasi dan peningkatan keamaan investasi.
5. Secara total, kebijakan ini diperkirakan tetap akan dapat memberikan
dampak positif secara nasional. Oleh karena itu, direkomendasikan
untuk terus diimplementasikan secara efektif, dievaluasi secara
periodik, dan disempurnakan serta diperkuat dengan peraturan-
peraturan lainnya untuk meningkatkan efektifitasnya dalam
meningkatkan daya saing produk-produk hortikultura dan industri lokal.
6. Untuk memproteksi produk-produk industri lokal di pasar Dalam Negeri
yang daya saingnya masih lebih rendah dibandingkan produk-produk
impor, diperlukan peraturan perdagangan yang lain dalam bentuk non
tariff barriers antara lain persyaratan sertifikat halal dan keamanan
pangan untuk produk-produk makanan dan minuman; penerapan SNI
wajib serta pemberian ijin impor yang lebih selektif. Tentunya
rekomendasi dari Kementrian terkait juga harus lebih selektif.

149
DAFTAR PUSTAKA

AFFA (Department of Agriculture, Forestry and Fisheries Australia),


University of Queensland, and National Food Industry Strategy 2002.
Forming and managing supply chains in agribusiness: learning from
others. Canberra, AFFA.

APICS Dictionary, 10th ed.

Asheghian, P and B. Ebrahimi. 1990. International Business. Harper and


Row, Publishers, Inc., New York.

Asian Development Bank. 1992. Comparative advantage study of selected


industrial crops in Asia. Competitive and comparative advantage in
tea: Indonesia and Sri Lanka. RETA 5382. The Pragma Corporation.
Falls church, VA 22046.

Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Timur. 2011. Ringkasan


Laporan Akhir Kajian Pengembangan Pelabuhan Regional Yang Tidak
Diusahakan Sebagai Pengungkit Perekonomian Di Jawa Timur.

Brouwers. 2006. Stakeholder Analysis. Paper presented in Market Access


and Sustainable Development Course. Wageningen International,
November 6 17, 2006.

Chen, K dan Y. Duan. 1999. Competitiveness of Agri-food Exports Against


Competitors in Asia: 1980-97. Project Report, Department of Rural
Economy, University of Alberta, Edmond, Canada.

Calory, R. 1992. Effective Strategies in Emerging Industries in The Strategic


Management Technological Innovation. John Willey & Sons Ltd.,
England.

Ciptono , W.S. and P. Pujiwasono. 2000. Concurrent engineering : method


for developing new products. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia 15
(1), p : 115-132.

Cohen, D. 1981. Consumer Behavior. Random House Business, New York.

Deming, W.E. 1986. Out of Crisis. MIT, Center for Advanced Engineering
Study, Cambridge.
Engel, F.J.; R.D. Blackwell; and P.W. Miniard. 1994. Perilaku Konsumen.
Edisi keenam, jilid 1. Terjemahan. Binarupa Aksara, Jakarta.

Evans, J. and B. Berman. 1982. Marketing. Macmillan Publishing, USA

Folkerts, H and Koehorst, H. 1998. Challenges in international food supply


chains: vertical co-ordination in the european agribusiness ad food
industries. British Food Journal, 100.

Gasperz, V. 1997. Manajemen Kualitas. Penerapan Konsep-konsep


Kualitas dalam Manajemen Bisnis Total. Yayasan Indonesia Emas
dan Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Gumbira Said, E. 1999. Kebijakan teknologi di Indonesia. Materi Kuliah


Manajemen Agroindustri pada Program S3 Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Keegan, W.J. 1989. Multinational Marketing Management. Percentice Hall,


Engle Wood Cliffs, New York.

Kolarik, W.J. 1995. Creating Quality: Concepts, System, Strategies, and


Tools. Mc.Graw-Hill International Editions, New York.

Kotler,P. 1993. Manajemen Pemasaran. Analisa, Perencanaan,


Implementasi, dan Pengendalian. Terjemahan A. Zakaria Afiff.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Leamer, E.E. and R.M. Stern. 1970. Quantitative International Economics.


Aldine Publishing Company, Chicago.

Maarif, M.S. dan H. Tanjung. 2003. Manajemen Operasi. Jakarta: PT


Grasindo.

Marimin. 2003. Pengambilan Keputusan Berbasis Indeks Kinerja. Teori


Keputusan. Bogor: Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria


Majemuk. Jakarta: PT Grasindo

McDaniel Jr., Carl. and Gates, Roger. 2010. Marketing Research Essentials,
7th Edition. USA: John Wiley & Sons.
Monke, E.A. dan S.R. Pearson. 1996. The Policy Analysis Matrix for
Agricultural Development. Cornell University Press, Ithaca and
London.

Muhammad, H.A. dan S. Habibah. 1993. The constant market share


analysis: an an application to NR export of major producing countries.
J. Nat. Rubb. Res. 8 (1): 68-81.

Nasoetion, A. 1980. Metode penilaian citarasa I. Departemen Ilmu


Kesehatan Keluarga Pertanian. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Porter, M.E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. The Free Press.
A Division of Macmilan, Inc., New York.

Porter, M.E. 1994. Keunggulan Bersaing. Menciptakan dan


Mempertahankan Kinerja Unggul. Terjemahan. Binarupa Aksara,
Jakarta.

Porter, M. 1996. What is strategy?. Harvard Business Review 74 (6).

Parsaei, H.R. and W.G. Sullivan. 1993. Concurrent Engineering:


Contemporary Issues and Modern Design Tools. Chapman and Hall.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Luar Negeri, Departemen


Perdagangan. 2007. Kajian Daya Saing Produk Hortikultura dan
Rempah-rempah Indonesia di Pasar Internasional.

Rosenberg, L.J. 1977. Marketing. Prentice Hall Inc., New Jersey

Sadono, S.M; G.T. Mulyati; dan W. Purwanto. 2000. Implementasi konsep


Quality Function Deployment (QFD) untuk meningkatkan kualitas
produk usaha bakery. Agritech 20(4).

Setijadi (2009). Sistem Logistik. Bandung. Universitas Widyatama.

Simamora, Bilson. 2008. Panduan Riset Perilaku Konsumen. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Soehardjo. 1980. Penilaian makanan secara obyektif. Departemen Ilmu


Kesejahteraan Keluarga Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor.
Suyono (2005). Shipping: Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui
Laut. Jakarta. Penerbit PPM.

Suprihatini, R. 1998. Analisis daya saing nenas kaleng Indonesia. Jurnal


Agro Ekonomi 17 (2).

Suprihatini, R. 1999. Analisis daya saing mangga segar Indonesia. Jurnal


Hortikultura 9 (3).

Suprihatini, R. 2005. Daya saing ekspor teh Indonesia di pasar teh dunia.
Jurnal Agro Ekonomi 23 (1).

Tyers, R., P. Phillips; and D. Lim. 1985. ASEAN-Australia trade in


manufactures: a constant market share analysis, 1970-1979. In Lim,
D. (ed). 1985. ASEAN-Australia Trade in Manfactures. Longman
Chashire, Melbourne.

USAID. 2008. Reformasi Sektor Pelabuhan Indonesia dan UU Pelayaran


Tahun 2008.

Warr, P.G. 1992. Comparative advantage and protection in Indonesia.


Bulletin of Indonesian Economic Studies 28 (3), p : 41-70.

Woods, E.J. 2004. Supply-chain management: understanding the concept


and its implication in developing countries. In Agri-product Supply-
Chain Management in Developing Countries. ACIAR Proceedings
No.119. Australian Center for International Agriculture Research

Anda mungkin juga menyukai