FRAKTUR HUMERUS
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari
yang dapat diabsorbsinya ( Smelter & Bare, 2002).
Fraktur merupakan terputusnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan
oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik, kontraksi otot yang
sangat kuat dan secara tiba-tiba atau dorongan yang tidak langsung yang
terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan
kepadanya (Wong, 2003). Fraktur tulang terjadi apabila resistensi tulang
terhadap tekanan menghasilkan daya untuk menekan. Fraktur merupakan
cedera yang umum terjadi pada semua usia tetapi cenderung terjadi pada
anak-anak dan orang tua. Karena karakteristik rangka anak, pola fraktur,
masalah diagnosis, dan metode penatalaksanaan berbeda pada anak dan oran
dewasa (Wong, 2008).
B. KLASIFIKASI
a. Menurut Smeltzer dan Bare, 2002, fraktur dibagi menjadi :
1. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan), yaitu :
a) Faktur Tertutup (closed atau simple fracture), bila tidak terdapat
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur Terbuka (open atau compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Pada fraktur ini juga terdapat tiga gradasi,
yaitu :
Derajat I: Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi
fragmen minimal.
Derajat II: Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
Derajat III: Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.
2. Berdasarkan komplit atau ketidak-komplitan fraktur, yaitu :
a) Fraktur Komplit, dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah
satu dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh
potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya
berubah tempat.
b) Fraktur Inkomplit, bila antara patahan tulang masih ada hubungan
sebagian atau garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
Hair Line Fraktur (patah seperti rambut)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
3. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma, antara lain :
a) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma langsung.
b) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma angulasi
juga.
c) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di
sebabkan oleh trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.
e) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
C. ETIOLOGI
Etiologi fraktur yang dimaksud adalah peristiwa yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur diantaranya peristiwa trauma(kekerasan) dan peristiwa
patologis.
a. Peristiwa Trauma (kekerasan)
Kekerasan langsung
Kekerasan langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik
terjadinya kekerasan itu, misalnya tulang kaki terbentur bumper
mobil, maka tulang akan patah tepat di tempat terjadinya benturan.
Patah tulang demikian sering bersifat terbuka, dengan garis patah
melintang atau miring.
Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam hantaran vektor kekerasan.
Contoh patah tulang karena kekerasan tidak langsung adalah bila
seorang jatuh dari ketinggian dengan tumit kaki terlebih dahulu.
Yang patah selain tulang tumit, terjadi pula patah tulang pada tibia
dan kemungkinan pula patah tulang paha dan tulang belakang.
Demikian pula bila jatuh dengan telapak tangan sebagai
penyangga, dapat menyebabkan patah pada pergelangan tangan dan
tulang lengan bawah.
Kekerasan akibat tarikan otot
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah
tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi.
Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah tulang
patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak
berkontraksi (Oswari, 2000; Price, 2005)
b. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana dengan
trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada
berbagai keadaan berikut :
Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang
tidak terkendali dan progresif.
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut
atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat
dan sakit nyeri.
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya
disebabkan oleh defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat
disebabkan kegagalan absorbsi Vitamin D atau oleh karena asupan
kalsium atau fosfat yang rendah.
Secara spontan : disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus
misalnya pada penyakit polio dan orang yang bertugas dikemiliteran.
(Smeltzer, 2001)
Kelelahan atau stres fraktur
Fraktur ini terjadi pada orang yang yang melakukan aktivitas
berulang ulang pada suatu daerah tulang atau menambah tingkat
aktivitas yang lebih berat dari biasanya. Tulang akan mengalami
perubahan struktural akibat pengulangan tekanan pada tempat yang
sama, atau peningkatan beban secara tiba tiba pada suatu daerah
tulang maka akan terjadi retak tulang.
Kelemahan Tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya
suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang
misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan
pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur.
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi
kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat
berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau
oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal,
tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur diskolasi, kompresi vertical dapat menyebabkan
fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus,
atau fraktur buckle pada anak-anak. (Arif Muttaqin, 2008)
D. PATOFISIOLOGI
E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri akut, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan local, dan
perubahan warna (Smeltzer dan Bare, 2002).
a. Nyeri
Bersifat terus-menerus dan bertambah beratnya samapai fragmen
tulangnya diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Hilangnya fungsi dan deformitas
Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alami, bukannya tetap rigid seperti normalnya.
Pergeseran fragmen pada fraktur tulang menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bias diketahui dengan membandingkan
dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik
kerena fungsinya otot bergantung pada integritas tulang tempat
melekatnya otot.
c. Pemendekan ekstremitas
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5-5 cm. Saat ekstremitas
diraba dengan tangan, teraba adanya derik tulang atau krepitus yang teraba
akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. Ujia krepitus ini
dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
d. Krepitus
Saat bagian tibia dan fibula diperiksa, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa harisetelah cedera.
f. Pendarahan
Cidera jaringan lunak dan fraktur yang berat memberikan gangguan
hemodinamis penderita cidera dengan dua cara. Pertama, darah yang
hilang ke tempat cideranya, terutama pada tulang panjang. Fraktur tibia
dan humerus dapat menyebabkan kehilangan darah sampai 750 cc. fraktur
femur dapat menyebabkan kehilangan darah 1500 cc dan beberapa darah
dapat terkumpul hematoma retroperitoneal. Kedua adalah perpindahan
cairan terutama plasma ke ekstravaskuler berakibat timbulnya edema
jaringan akibat meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan Awal
Pasien yang mungkin menderita fraktur tulang sama dengan pemeriksaan
pada pasien yang mengalami luka pada jaringan lunak yang berhubungan
dengan trauma. Perawat menilai berdasarkan pada tanda dan gejala,
menganamnesa pasien mengenai bagaimana proses sampai terjadi
fraktur, bagian yang terasa nyeri atau terdapat fraktur. Setelah bagian
yang mengalami fraktur telah di-imobilisasi dengan baik, kemudian
perawat akan menilai adanya lima P yaitu Pain (rasa sakit), Paloor
(kepucatan/perubahan warna), Paralysis (kelumpuhan/ketidakmampuan
untuk bergerak), Paresthesia (rasa kesemutan), dan Pulselessness (tidak
ada denyut) untuk menentukan status neurovaskuler dan fungsi motorik
pada bagian distal fraktur (Reeves, Roux, Lockhart, 2001).
b. Pemeriksaan Laboratorium
Jika dicurigai adanya perdarahan maka dilakukan pemeriksaan complete
blood count (CBC) untuk menilai banyaknya darah yang hilang. Lebih
lanjut, perawat akan menilai komplikasi yang mungkin terjadi dan
menentukan beberapa faktor resiko terhadap komplikasi dimasa depan
(Revees, Roux, Lockhart, 2001).
c. Pemeriksaan Radiologi
Radiografi pada tulang dua bidang ( cari lusensi dan diskontinuitas
pada korteks tulang )
Tomografi, CT Scan, dan MRI ( jarang dilakukan )
USG dan scan tulang dengan radioisotop ( berguna apabila ketika
radiografi / CT Scan memberikan hasil negatif pada kecurigaan
fraktur secara klinis )
USG untuk mediagnosa fraktur yang tersembunyi
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan kedaruratan
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting
untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses
pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok
atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu tejadinya
kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai
di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam,
komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian
lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk
mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih
berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto.
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung,
tidak menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai
yang patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk
mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila
pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga
diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi
maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan
nyeri, kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat
dikurangi dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi
sekitar fraktur. Pembidaian yang memadai sangat penting untuk
mencegah kerusakan jaringan lunak oleh fragmen tulang.
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai
sementara dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat
dengan kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat
juga dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan
ektremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang
cedera. Pada cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada,
atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di
distal cedera harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan
perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih
(steril) untuk mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan
sekali-kali melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang
yang keluar melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan
diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap.
Pakaian dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat
dan kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong
pada sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan
untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus
menjalani pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang
dapat dikoreksi meliputi stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi,
jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan peredaran darah (mis;
sindrom komparteman), adanya tumor. Prosedur pembedahan yang
sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau
disingkat ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Berikut dibawah
ini jenis-jenis pembedahan ortoped dan indikasinya yang lazim
dilakukan:
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran
tulang yang patah setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan
pemajanan tulang yang patah
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi
dengan skrup, plat, paku dan pin logam
Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun
heterolog) untuk memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi
atau mengganti tulang yang berpenyakit.
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu
alat yang memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi
tanpa irisan yang besar) atau melalui pembedahan sendi terbuka
Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan
logam atau sintetis
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler
dalam sendi dengan logam atau sintetis
Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki
fungsi
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi
otot atau mengurangi kontraktur fasia.
(Ramad
han: 2008)
3. Terapi Medis
Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone
b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akut
c. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
(Ramadhan: 2008)
4. Prinsip 4 R pada Fraktur
Menurut Price (1995) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1) Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada
tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak.
Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas
integritas rangka. fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan
bengkak.
2) Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi
fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi
seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur
dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi
terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi
karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi
fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan (Mansjoer, 2002).
3) Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur
direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam
dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai
interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat
yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen
tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus
menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat
fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan
digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat
dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan
mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan
untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi
(Mansjoer, 2000).
c) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Banyak keadaan yang merupakan faktor
predisposisi dari nonunion, diantaranya adalah reduksi yang tidak
benar akan menyebabkan bagian-bagian tulang yang patah tetap
tidak menyatu, imobilisasi yang kurang tepat baik dengan cara
terbuka maupun tertutup, adanya interposisi jaringan lunak
(biasanya otot) diantara kedua fragmen tulang yang patah, cedera
jaringan lunak yang sangat berat, infeksi, pola spesifik peredaran
darah dimana tulang yang patah tersebut dapat merusak suplai
darah ke satu atau lebih fragmen tulang.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus
dilakukan adalah mengamankan dan mengaplikasikan prinsip
ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability Limitation,
Exposure)
A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus
dinilai adalah kelancaran jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda asing atau
fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas
harus memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust
dapat digunakan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS
kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan airway definitive
B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka
selanjutnya kita harus menjamin ventilasi yang baik. Ventilasi
yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik, dinding dada
dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan
fraktur ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high
flow oxygen 15 l/m lewat non-rebreathing mask dengan reservoir
bag.
C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka
yang harus diperhatikan di sini adalah volume darah,
pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi
permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah
tulang terbuka. Patah tulang femur dapat menyebabkan kehilangan
darah dalam paha 3 4 unit darah dan membuat syok kelas III.
Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan
penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang
mengalami pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang
baik dapat menurunkan pendarahan secara nyata dengan
mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh tamponade otot
sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut
tekan steril umumnya dapat menghentikan pendarahan.
Penggantian cairan yang agresif merupakan hal penting
disamping usaha menghentikan pendarahan
D : Disability. Menjelang akhir survey primer maka
dilakukan evaluasi singkat terhadap keadaan neurologis. yang
dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil,
tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal
E : Exposure. Pasien harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, seiring dengan cara menggunting, guna memeriksa
dan evaluasi pasien. Setelah pakaian dibuka, penting bahwa pasien
diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma
muskuloskeletal seperti fraktur adalah imobilisasi patah tulang dan
pemeriksaan radiologi :
1) Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas
yang cedera dalam posisi seanatomis mungkin dan mencegah
gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur. Hal ini akan
tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas
dan dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang
benar akan membantu menghentikan pendarahan, mengurangi
nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan lunak lebih lanjut.
Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan
traction splint. Traction splint menarik bagian distal dari
pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction splint
didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong,
perineum dan pangkal paha. Cara paling sederhana dalam
membidai tungkai yang trauma adalah dengan tungkai sebelahnya.
Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat
membantu kenyamanan dan stabilitas. Tungkai tidak boleh
dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh.
Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan
cardboard atau metal gutter, long leg splint. jika tersedia dapat
dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai bawah, lutut,
dan pergelangan kaki
2. Pengkajian sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera
muskuloskeletal adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. tujuan
dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang
mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan
dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus
mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies,
Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event
(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan
penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan
cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih
curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey,
Selain riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi
mengenai penanganan sebelum pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting
untuk dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari
kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status
sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang.
Cara pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look,
Feel, Move. Pada Look, kita menilai warna dan perfusi, luka,
deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi
dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan
eksternal aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian
distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan adanya
gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah
yang berotot menunjukkan adanya crush injury dengan
ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita
menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi
neurologi, dan krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa
Range of Motion dan gerakan abnormal.
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba
pulsasi bagian distal dari fraktur dan juga memeriksa capillary refill
pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang sakit dengan
sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi,
dapat digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran
darah di ekstremitas.
Pada pasien dengan hemodinamik yang normal,
perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat, parestesi dan
adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain
itu hematoma yang membesar atau pendarahan yang memancar
dari luka terbuka menunjukkan adanya trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan
mengingat cedera musculoskeletal juga dapat menyebabkan
cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan fungsi
syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf perifer yang
besar fungsi motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara
sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah
mencegah sumber sumber yang berpotensi berkontaminasi pada
luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah
mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur
dengan ghas steril lembab atau juga bisa diberikan betadine
pada ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik
sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah :
1. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 2 g dibagi dosis 3
-4 kali sehari) dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
2. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin
(120 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III
klasifikasi Gustilo.
3. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk
mengatasi kuman anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam
setelah luka ditutup. Debridement luka di kamar operasi juga
sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca trauma untuk
menghindari adanya sepsis pasca trauma.
Reduksi, Reposisi dan imobilisasi sesuai posisi anatomis
dapat menunggu hingga pasien siap untuk dioperasi kecuali
ditemukan defisit neurovaskular dalam pemeriksaan. Apabila
terdapat indikasi untuk reposisi karena defisit neurovaskular,
maka sebaiknya reposisi dilakukan di UGD dengan menggunakan
teknik analgesia yang memadai.
Ada beberapa pilihan teknik analgesia untuk managemen
pasien fraktur ekstrimitas bawah di UGD. Untuk pasien yang
mengalami isolated tibia atau ankle fractures, Inhaled Nitrous
oxide dan Oxygen (Entonox) mungkin berguna untuk
manipulasi, splintage dan transfer pasien.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat
dalam patah tulang digunakan srategi Three Step Analgesic
Ladder dari WHO. Pada nyeri akut, sebaiknya di awal
diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat. Dosis pemberian
morfin adalah 0.05 0.1 mg/kg diberikan intravena setiap 10/15
menit secara titrasi sampai mendapat efek analgesia. Terdapat
evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga
dapat dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis rendah
(0.5 1 mg/kg). Obat ini juga harus ditritasi untuk mencapai
respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi. Efek
menguntungkan dari ketamine adalah ketamine tidak
menimbulkan depresi pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan
efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian ketamine
adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah
dengan memasukkan benzodiazepine sebelumnya (0.5 2 mg
midazolam intravena). Peripheral nerve blocks juga menjadi
pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi dengan
analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral
nerve block.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan b.d Hipoksemia
2. Nyeri b.d peningkatan pelepasan mediator nyeri
3. Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan perfusi jaringan distal
4. Resiko trauma b.d penurunan kesadaran akibat general anastesi
5. Gangguan pertukaran gas b.d penurunan laju difusi
6. Resiko infeksi b.d luka operasi
7. Gangguan integritas kulit b.d luka
8. Deficit perawatan diri b.d keterbatasan pergerakan fisik
9. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia akibat
peningkatan peristaltic usus
C. Intervensi
Dx 1 : G3 perfusi jaringan b.d Hipoksemia
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
neurovaskuler perifer berfungsi kembali.
NOC : Circulation Status
Kriteria Hasil:
a) Nadi normal
b) Tekanan vena sentral normal
c) Perbedaan arteriol-venous oksigen normal
d) Peripheral pulse kuat
e) Tidak terjadi cedera peripheral
f) Tidak terjadi kelemahan yang berlebihan
NIC:
a. NIC 1: Exercise Therapy
a) Tentukan batasan pergerakan sendi dan efek dari fungsi
b) Monitor lokasi ketidaknyamanan selama pergerakan
c) Dukung ambulasi
b. NIC 2: Circulatory Care
a) Evaluasi terhadap edema dan nadi
b) Inspeksi kulit terhadap ulser
c) Dukung pasien untuk latihan sesuai toleransi
d) Kaji derajat ketidaknyamanan/nyeri
e) Turunkan ekstremitas untuk memperbaiki sirkulasi arterial