Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera otak traumatik


2.1.1. Defenisi cedera otak traumatik
Istilah cedera kepala (Head Injury), trauma kapitis adalah cedera yang
mengenai bukan hanya jaringan otak tetapi juga disertai cedera kulit kepala (scalp),
tulang tengkorak (atap dan dasar tengkorak), tulang-tulang wajah (maksila,
mandibula), saraf kranial spesial (penglihatan, penciuman, pendengaran) (Critchley
and Memon, 2009). Tidak semua jejas pada kepala menyebabkan cedera jaringan
otak (misalnya luka sayat sederhana pada kulit kepala), sebaliknya tidak harus ada
jejas di kepala menyebabkan cedera jaringan otak (misalnya jatuh terduduk dari
ketinggian tanpa ada perlukaan di kepala).
Cedera otak traumatik (Traumatic Brain Injury) adalah suatu proses
patologis pada jaringan otak yang bukan bersifat degeneratif maupun kongenital,
melainkan akibat kekuatan mekanis dari luar (trauma), menyebabkan gangguan
fungsi kognitif, fisik dan psikososial yang sifatnya menetap atau sementara dan
disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran (Dawodu, 2009; Crithcley and
Memon, 2009).
Penyebab cedera otak traumatik yaitu kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian, cedera olah raga (misalnya olah raga tinju), cedera pada rekreasi
(misalnya parachute jumping), luka tembak, kriminalitas, penyalahgunaan anak
(child abuse). Penyebab cedera otak traumatik secara lengkap dan terperinci
terdapat di naskah klasifikasi diagnostik internasional ke-10 (ICD 10) kode V01
sampai Y98 (ICD 10, Engel, 2008).
Cedera otak primer akibat langsung dari kekuatan mekanik yang merusak
jaringan otak saat terjadinya cedera kepala (hancur, robekan, memar dan
perdarahan) (Reilly, 2007). Cedera otak primer menyebabkan kerusakan jaringan
otak lokal, multi fokal dan difus pada sel neuron, axon, glia dan pembuluh darah.
Temuan radiologis pada CT Scan otak yaitu perdarahan epidural, perdarahan sub
dural, perdarahan intra serebral, bercak perdarahan kontusio, cedera difus dan
sebagainya (Reilly, 2007)
Cedera otak sekunder adalah akibat lanjutan dari cedera otak primer terdiri
dari faktor-faktor lokal (intra kranial) dan sistemik (ekstra kranial) (Reilly, 2007).
Suatu hal penting dalam memahami cedera kepala murni (isolated) dengan atau
tanpa disertai cedera struktur anatomi dibawah leher (polytrauma). Cedera ganda
(polytrauma, multitrauma) memiliki kontribusi besar pada kejadian insult cedera
otak sekunder (Crithcley and Memon, 2009).

2.1.2. Pembagian cedera otak traumatik


Klasifikasi cedera otak traumatik dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi cedera otak traumatik berdasarkan mekanisme, derajat keparahan dan
morfologi

Jenis Pembagian
Mekanisme Tumpul Kecepatan tinggi (tabrakan mobil)
Kecepatan rendah (jatuh, dipukul)
Tembus Cedera peluru
Cedera tembus lain
Derajat keparahan Ringan GCS 13 15
Sedang GCS 9 12
Berat GCS 3 8
Morfologi Fraktur tengkorak Kalvaria Garis, bintang, distasis
sutura, fraktur
kompleks
Impresi
Terbuka-tertutup
Dasar Dengan/tanpa
tengkorak kebocoran CSS
Dengan/tanpa paresis N
VII
Lesi intrakranial Fokal Epidural
Subdural
Intraserebral
Difus Komosio ringan
Cedera akson difus

Tabel diterjemahkan dari Valadka, AB dan Narayan, RK 1996. Emergency room


management of the head injured patient in RK Narayan R, JE Wilberger, JF
Povilshock (ed), Neurotrauma, New York, Mc. Graw-Hill, p12. Pembagian cedera
otak traunatik menurut The International Classification of Diseases (ICD) 10
adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Daftar kode ICD-10 dan kategori cedera kepala
Kode kategorikal Diagnosis
S00 Superficial injury of the head
S01 Open wound of the head
S02 Fracture of skull and facial bones
S03 Dislocation, sprain and strain of joints and ligaments of the
head
S04 Injury of cranial nerves
S05 Injury of eye and orbit
S06 Intracranial injury
S06.0 Concussion
S06.1 Traumatic cerebral oedema
S06.2 Diffuse brain injury
S06.3 Focal brain injry
S06.4 Epidural haemorrhage
S06.5 Traumatic subdural haemorrhage
S06.6 Traumatic subarachnoid haemorrhage
S06.7 Intracranial injury with prolonged coma
S06.8 Other intracranial injury
S06.9 Intracranial injury, unspecified
S07 Crushing injury of head
S08 Traumatic amputation of part of head
S09 Other and unspecified injuries of head

Sumber: International Statistical Classification of disease and Related Health


Problems, 10th Revision, Version for 2007 published by the WHO
http://www.who.int/classifications/apps/icd/icd10online/. Reproduced with
permission from the World Health Organization, 2007

2.1.3. Pembagian cedera otak traumatik berdasarkan derajat keparahan


2.1.3.1.Berdasarkan derajat Glasgow Coma Scale (GCS)
Pengukuran derajat keparahan cedera otak traumatis ada berbagai macam
yaitu, parameter klinis (misalnya penilaian tingkat kesadaran, reaktifitas pupil),
radiologi (kriteria cedera difus) dan laboratorium (petanda biomarker kerusakan
jaringan otak). Parameter klinis yang sering dipakai adalah penilaian tingkat
kesadaran penderita cedera otak traumatik. Ada beberapa skala penilaian tingkat
kesadaran seperti: Glasgow Liege Scale, Glasgow Pittsburg Coma Scoring
System, Head Injury Watch Sheet, Maryland Coma Scale, Leeds Coma Scale, Japan
Trauma Scale dan lain-lain. Skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale = GCS)
yang dilakukan setelah resusitasi paling umum dan banyak dipakai di Internasional
bahkan di literatur penelitian neurotrauma. Kelebihan GCS adalah reliabel dan
obyektif ketika dilakukan oleh penilai yang berbeda, sederhana, berguna sebagai
pedoman terapi dan memberi informasi tentang prognosis (Stein 1996; Ross
Bullock et al, 2003). Kendala keterbatasan pengukuran GCS antara lain jika
penderita mengalami edema palpebra, terintubasi, patah tulang ekstremitas,
intoksikasi alkohol, penggunaan obat sedasi dan blokade muskuler, serangan kejang
pasca traumatik, sehingga ada variabel yang tidak bisa dinilai (Feldman, 1996; Ross
Bullock et al, 2003).

Tabel 3. Penilaian Skala Koma Glasgow (GCS)


A Respon buka mata Nilai
Spontan 4
Atas perintah / suara 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak ada 1
B Respon motorik Nilai
Menurut perintah 6
Melokalisir nyeri 5
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
Tidak ada (flasid) 1
C Respon bicara Nilai
Berorientasi baik 5
Berbicara mengacau / bingung 4
Kata-kata tidak teratur 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada 1

Tabel ini diambil dari : American College of Surgeon 1997, Advance Trauma
Life Support Program Student Manual, Komisi Trauma IKABI (Ikatan Ahli
Bedah Indonesia), 6th ed, Komisi Trauma IKABI, Jakarta.

Tingkat pengukuran yang menunjukkan derajat keparahan paling berat


adalah GCS 3 yaitu tidak dapat membuka mata, tidak dapat berbicara dan tidak
ada respon motorik meskipun dengan rangsang nyeri. Sedangkan pengukuran
yang menunjukkan derajat paling ringan adalah GCS 15 yaitu membuka mata
spontan, berbicara baik berorientasi dan respon motorik sesuai perintah. Penulisan
pada catatan rekam medik E1, M1, V1 dan E4, M6, V5.

2.2. Skala Prognosis Glasgow (Glasgow Outcome Scale = GOS)


Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil
akhir secara umum pada cedera otak, GOS dikelompokkan dalam 5 kategori: 1.
mati, 2. persistent vegetative state, 3. ketidakmampuan yang berat, 4.
ketidakmampuan sedang , 5. kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat
diperoleh pada 3,6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas dari GOS sebagai
suatu penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan
lamanya koma,beratnya kondisi pada awal trauma(diukur dengan GCS), dan tipe
lesi intrakranial. GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik
amnesia. Kritikan terhadap GOS terutama relatif tidak sensitif terhadap kondisi
pasien yang membaik signifikan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera
otak. (Narayan ,et al ,1995)
Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh Jennet dan Bond,
1975 prognosis paska cedera otak yang didasarkan kapabilitas sosial pasien paska
cedera otak dikombinasikan dengan efek mental spesifik dan defisit neurologis.
Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan otak secara umum, dimana juga
mampu menilai prognosis paska koma traumatik maupun non traumatik.
(Bullock,2004; Narayan,Michel, 2002; Jennet,2005)
Telaah pada penderita sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah
cedera otak di Glasgow oleh spesialis saraf dan bedah saraf memutuskan penilaian
ini sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan paska trauma. (Jennet ,2005)

2.2.1 Outcome Paska Cedera Kepala (Glasgow Outcome Scale)

Glasgow Outcome Scale dikembangkan pertama kali oleh Jennet dan

Bond pada tahun 1975. Mereka mengembangkan GOS dengan tujuan

mengklasifikasi bermacam-macam kondisi outcome yang terdapat pada pasien


Universitas Sumatera Utara
paska cedera kepala. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya GOS terdiri 5

kategori. Kategori GOS mulai dari Good recovery (GOS 5) hingga Death (GOS 1)

(Lee KS et al, 1997). Banyak peneliti telah menggunakan GOS sebagai

pengukuran utama outcome karena dapat mendeskripsikan secara umum outcome

dari pasien (Pozzati E et al, 1980; Seeler RA et al, 1973; Jamieson KG, 1972;

Munro D, 1982; Lee KS et al, 1997) Beberapa peneliti dalam studi mereka

mengkombinasikan kategori dalam GOS dengan tujuan menciptakan outcome

kategori yang lebih luas. Choi dan kawan-kawan (1983), Narayan dan kawan-

kawan (1981), dan Young dan kawan-kawan (1981) membuat kategori outcome

baik dan buruk. Outcome baik terdiri dari kategori good recovery atau moderate

disability, outcome buruk pada pasien yang mengalami severe disability, persisten

vegetative state or death. Dengan membuat kriteria outcome ini lebih luas, peneliti

dapat menggambarkan akurasi yang lebih baik pada prediksinya.

Pengukuran outcome dari cedera kepala dilakukan menggunakan skala

pengukuran yang beragam. Glasgow Outcome Scale (GOS), Barthel Index (BI),

Functional Independence Measure (FIM) merupakan beberapa skala pengukuran

yang sering digunakan diantara banyak skala lainnya.

Universitas Sumatera Utara


2.2.2. Skoring Glasgow Outcome Scale

Score Rating Penilaian Definition Definisi


Skor

5 Good Recovery Resumption of normal life despite minor deficits/


Baik Pemulihan Kembalinya kehidupan normal meskipun defisit
kecil

4 Moderate Disability Disabled but independen independen Can work in


sheltered setting
Cacat Sedang Penyandang cacat tetapi dapat bekerja dalam
pengaturan terlindung

3 Severe Disability Conscious but disabled/Sadar tapi dinonaktifkan.


Cacat berat Dependent for daily support /Dependent untuk
dukungan setiap hari

2 Persistent vegetative Minimal responsiveness/ Minimal tanggap

Persistent vegetatif

1 Death/ Kematian Non survival / Non hidup

2.3.Teknik Pembedahan Kraniectomi Dekompresi

Tujuan dari kraniectomi dekompresi adalah untuk menganggu prinsip

dasar doktrin Monro-Kellie dengan memberikan perluasan ruangan bagi otak

secara paksa. Akhirnya dengan membuang bone flap dan membiarkan dura

terbuka lebar (dengan atau tanpa duraplasty) akan menjadi paling efektif.

Kraniotomi yang lebar akan menghalangi kerusakan jaringan dan bendungan vena

bila dibandingkan dengan kraniotomi yang lebih kecil bila terdapat

Universitas Sumatera Utara


pembengkakan otak yang hebat. Berbagai teknik operasi telah didiskusikan, tetapi

hanya ada sedikit dasar untuk perbandingan secara objektif. Ada beberapa faktor

yang dapat mempengaruhi teknik operasi (surgical approach).

Pembengkakan (swelling) unilateral paling baik ditangani dengan

dekompresi unilateral yang luas. Efek masa yang difus, bifrontal atau bitemporal

paling baik ditangani dengan teknik bilateral frontal (atau pan-frontal). Batas

Hemicraniectomy termasuk (a) 2 cm dari tepi lateral sinus sagital superior, (b)

pada tingkat lantai fossa kranial tengah pada asal lengkungan zygomatic, (c)

frontal ke midpupillary baris, dan (d) 3 cm posterior meatus akustik eksternal.

Craniectomy bifrontal diperpanjang posterior hanya sekitar 2 cm di depan sutura

koronal dan lateral ke lantai ke fossa tengah. Duramater dibuka, dan pembukaan

diperpanjang ke margin tulang secara stellate atau setengah lingkaran. Permukaan

otak ditutupi longgar oleh dura sisa atau substites dural buatan tanpa penutupan

kedap. (Huang, 2013)

Dampak dari dekompresi pada pengelolaan pasca bedah mungkin

berhubungan erat. Beberapa ahli bedah hanya mengambangkan (float) dari bone

flap, daripada membuangnya. Penulis cenderung untuk membuang bilateral

fronto-temporo-parietal flap dengan meninggalkan sepotong tulang diatas sinus

sagittalis superior untuk menempatkan monitoring .

Tujuan pembedahan untuk menghilangkan peningkatan tekanan

intrakranial, hipertensi intrakranial tidak sepenuhnya dapat diatasi setelah

tindakan dekompresi. Penulis menemukan bahwa static autoregulation hilang

setelah tindakan operasi ini yang dapat mengarah ke hyperemic intracranial

hypertension yang mungkin memerlukan atau tidak memerlukan tindakan.

Sughrue ME dan kawan-kawan mengatakan bahwa tindakan bedah kraniectomi

Universitas Sumatera Utara


dekompresi juga dilakukan sebagai tindakan profilaksis dalam rangka pengaturan
darurat pada saat evakuasi subdural hematoma atau lesi masa epidural bila tulang
tidak dipasang kembali dalam rangka mengantisipasi peningkatan tekanan
intracranial seperti yang diprediksi dari gambaran CT atau tampilan jaringan otak
pada saat operasi. Pada teknik operasi ini ditekankan untuk membuang bagian
tulang temporal sampai ke dasar fossa media (sphenoid wing) untuk mendapatkan
dekompresi maksimal terhadap bagian lateral dari batang otak
Indikasi untuk kraniectomi dekompresi yaitu : (i) tindakan setelah
dilakukannya evakuasi dari lesi masa dimana otak dirasakan membengkak
berlebihan; dan (ii) pengukuran TIK yang tetap tinggi meskipun telah mengikuti
protokol manajemen medis yang maksimal. Komplikasi kraniectomi Dekompresi :

Komplikasi dari operasi kraniectomi dekompresi


1. Kematian
Dari enam kematian yang terjadi setelah operasi dekompresi hanya satu
kasus yang dapat dianggap sebagai komplikasi sesungguhnya. Pasien ini
menunjukkan penyembuhan yang baik beberapa hari setelah terjadinya cedera dan
ketika ia sedang mencoba untuk berjalan tanpa bantuan dan jatuh tepat pada sisi
kraniectomi yang tidak terlindungi. Pasien ini mengalami cedera serebral yang
lebih berat dan pada akhirnya meninggal. Sebuah kebijakan operasional khusus
untuk post kraniectomi decompresi diimplementasikan untuk pemeriksaan dan
manajemen pasien. Sisanya adalah kematian yang disebabkan karena cedera otak
traumatik meskipun dilakukan intervensi medis tepat waktu.
2. Herniasi melalui celah kraniectomi
Walaupun herniasi melalui cela kraniectomi telah dilaporkan sebagai suatu
komplikasi, fenomena ini terjadi begitu seringnya (contohnya 51% dari sampel
kohort ini) yang hampir selalu menjadi penyebab keadaan patologis pada prosedur
dekompresi. Meskipun kemungkinan terjadinya cedera pada korteks serebri yang
mengalami herniasi telah dijelaskan, pada studi kohort ini, tidak ditemukan bukti
klinis atau radiologis dari herniasi pada tepi dari celah kraniectomi. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


kemungkinan pada kedua centre ini lebih menekankan pada tindakan kraniotomi
ekstensif untuk kasus bedah pada kasus trauma.
3. Efusi subdural/subgaleal
Efusi subdural post traumatic yang terjadi setelah cedera kepala
merupakan suatu fenomena yang dapat dikenali dengan baik, dengan insiden yang
dilaporkan dari 6% sampai 21%. Patogenesis ini berperan pada terjadinya ruptur
lapisan dura-arachnoid dan trabeculae yang disebabkan oleh kejadian traumatik
dan perubahan dinamika dari sirkulasi CSF yang transien. Efusi subdural
merupakan suatu komplikasi dari kraniectomi dekompresi dengan insiden 26%
sampai dengan 60%. Pada studi ini, dari seluruh pasien yang selamat, 63%
mengalami beberapa bentuk efusi.
Efusi yang terjadi bisa merupakan komplikasi primer dari cedera otak
traumatik dan pembuangan dari bone flap dapat menyebabkan terbentuknya
ruangan dimana cairan dapat berkumpul. Pembukaan dari dura menyebabkan
terciptanya hubungan dengan ruangan subgaleal dan seiring dengan berkurangnya
oedem cerebral akut beberapa bentuk efusi biasanya terbentuk. Ketika efusi ini
timbul secara cepat, kebanyakan dari efusi ini mempunyai gejala klinis yang tidak
signifikan. Efusi ini biasanya terserap begitu bone flap dipindahkan. Pada seorang
pasien dimana efusi terjadi secara kontralateral pada sisi kraniectomi, drainase
burr hole berhasil dilakukan pada saat cranioplasty autolog yang dilakukan
karena pergeseran midline dan deteriorisasi neurologis.
4. Sindrom Trephined
Sekelompok gejala gejala yg tidak diinginkan telah ditemui berhubungan
dengan tidak adanya bone flap. Sindrom trephined pertama kali dijelaskan oleh
Grant dan Necross tahun 1939, mereka menjelaskan gejala gejala dari sakit
kepala, kejang kejang, perubahan mood, dan gangguan perilaku. Kalimat
sindrom dari tenggelamnya scalp flap menunjukkan defisit defisit neurologis
yg bisa timbul dikarenakan disfungsi kortikal yang disebabkan distorsi otak
dibawah scalp flap tadi seiring dengan hilangnya oedem.
Pada tingkatan dimana pasien ini terpengaruh oleh gejala ini sangat sukar
untuk ditentukan secara akurat karena banyak pasien dalam fase penyembuhan
dari cedera kepala berat. Pasien pasien secara terus menerus mengeluh sakit

Universitas Sumatera Utara


kepala, perubahan mood dan gangguan perilaku serta sukar untuk menentukan
derajat derajat fenomena post kraniotomi ini. Pada dua rumah sakit trauma di
Australia Barat, bone flaps digantikan sesegera mungkin untuk mengembalikan
fungsi kosmetik dan protektifnya. Pada penelitian kohort ini tidak ditemukannya
contoh contoh dimana fungsi neurologis pasien meningkat signifikan setelah
operasi kranioplasti primer. Bagaimanapun, tiga orang pasien yang mengalami
cranioplasty autolog telah melalporkan keluhan tentang sakit kepala berat postural
dengan diikutinya vertigo. Gejala gejala mereka terpecahkan dengan melakukan
sebuah cranioplasty titanium.
5. Hidrosefalus
Nilai insidensi dari hidrosefalus post-traumatik yg simptomatik bervariasi
dari 0.7% hingga 29%. Perbedaan perbedaan dalam kriteria diagnostik dan
klasifikasi mempengaruhi variasi ini. Pada pasien yg telah dilakukan kraniectomi
dekompresi, nilai insidensi dari hidrosefalus post- traumatik berkisar dari 10%
hingga 40%. Penelitian ini dilakukan terhadap lima pasien yg telah tepasang VP
shunt. Empat dari pasien tersebut didapatkan kemajuan klinis. Seorang pasien lagi
yg telah berada di status vegetatif berkepanjangan, tidak ditemukan adanya
perubahan klinis dan diagnosisnya menuju ke ventrikulomegali. Angka insidensi
penelitian kohort ini kemudian dilaporkan sebesar 11%. Seperti yg disebut
sebelumnya, gangguan gangguan aliran CSF post-traumatik kemungkinan
berpengaruh dalam perkembangan dari efusi subdural dan subgaleal dan dipercaya
bahwa hidrosefalus simptomatis muncul ketika sirkulasi CSF tidak normal/ stabil.
Tingkat keparahan dari cedera dan perkembangan efusi efusi subgaleal/ subdural
terlihat sangat berhubungan erat dgn perkembangan hidrosefalus. Keseluruhan
empat orang pasien menunjukkan efusi efusi yang ekstensif dan hanya seorang
dari empat orang pasien tadi yang menunjukkan penyembuhan yang baik.
Meskipun hidrosefalus muncul secara primer sebagai hasil dari cedera kepala
berat, ada kemungkinkan juga operasi kraniectomi dekompresi dapat mengubah
dinamika tekanan CSF menjadi lebih jelek dan/ atau meningkatkan perlukaan sub-
arakhnoid, sehingga menempatkan kelompok pasien ini pada resiko yang lebih
besar terkenanya hidrosefalus.

Universitas Sumatera Utara


6. Kejang post-traumatik
Angka insidensi dari kejang post-traumatik untuk segala tipe dari cedera
kepala adalah 2% hingga 2.5% dalam populasi masyarakat sipil. Insidensi ini
meningkat hingga 5% pada pasien pasien bedah saraf di rumah sakit. Ketika
yang dipertimbangkan hanya cedera kepala berat (kontusi otak, hematoma
intrakranial, kehilangan kesadaran atau amnesia post-traumatik >24 jam),
insidensinya 10% hingga 15% pada pasien dewasa dan 30% hingga 35% pada
anak anak. Pada pasien pasien yang telah dilakukan kraniectomi dekompresi
(yg diduga termasuk dalam kategori cedera kepala berat), angka insidensi
terjadinya epilepsi bervariasi dari 7% hingga 20%. Dalam penelitian ini, dari 34
orang pasien yang bertahan hidup, lima orang (17%) mengalami kejang kejang
post-traumatik. Meskipun terlihat komplikasi ini terjadi secara primer karena
cedera kepala berat, manipulasi serebral yang timbul dengan prosedur dekompresi
dan cranioplasty yang dilakukan setelahnya kemungkinan mempunyai beberapa
pengaruh.(Honeybul S,2010)

2.4. Rotterdam Computed Tomography Score


Yang paling terkenal dari klasifikasi CT kepala pada cedera otak traumatik
akut, Marshall CT klasifikasi (Marshall et al., 1991) dan klasifikasi Rotterdam CT
(Maas et al., 2005), didasarkan pada fitur kualitatif CT kepala. Berdasarkan
Rotterdam CT klasifikasi (Maas, 2005), yang mengidentifikasi lima temuan
pencitraan kunci pada trauma kepala CT dengan signifikan nilai prognostik klinis:
(1) ada atau tidak adanya subdural atau epidural hematoma, (2) ada atau tidak
adanya subarachnoid perdarahan, (3) ada atau tidak adanya suatu
intraparenchymal hematoma, (4) ada atau tidak adanya klinis yang signifikan
pergeseran garis tengah ( 5 mm), dan (5) normal. Nilai dari sistem klasifikasi CT
dalam memprediksi hasil klinis diakui sebagai pedoman untuk manajemen setelah
cedera otak traumatic berat (Chestnut, 2000).
Huang YH et al,2012 menguji pembedaan prognostik dan prediksi dari
Rotterdam CT Score pada kasus pasien yang menjalani kraniectomi dekompresi
untuk cedera otak traumatik. Mortalitas dan skala Glasgow outcome scale pada

Universitas Sumatera Utara


akhir masa follow up dipakai sebagai ukuran hasil akhir. Mereka mendapatkan
hasil, untuk pasien cedera otak traumatik yang menjalani kraniectomi dekompresi,
Rotterdam CT Score memberikan perbedaan prognostik yang besar dan
merupakan prediktor independen terhadap hasil akhir yang tidak menguntungkan.
Kontusio serebri yang luas adalah umum pada pasien yang menjalani
hemicraniectomy decompressive. Awal Skor Rotterdam sangat terkait dengan
ekspansi contusio pada pasien yang mengalami hemicraniectomy. Skor Rotterdam
tinggi dikaitkan dengan kedua lebih tinggi frekuensi dan ukuran yang lebih besar
dari ekspansi contusio. Peningkatan volume contusio besar dari 20 cc berikut
hemicraniectomy sangat terkait dengan kematian pasien. Tabel 4. Klasifikasi
Rotterdam CT Score

PREDICTOR SCORE

BASAL CISTERNS
Normal 0
Compressed 1
Absent 2

MIDLINE SHIFT
No shift or shift 5 mm 0
Shift > 5 mm 1

EPIDURAL MASS LESION


Present 0
Absent 1

INTRAVENTRICULAR BLOOD or
SUBARACHNOID
HEMORRHAGE
Absent 0
Present 1 0
1
SUM SCORE +1
In

In The Rotterdam Scorring System, 1 point is added as a sum score to make


The Rotterdam grade numerically total 6 points, consistent with the motor
score of the Glasgow Coma Scale and The Marshall Clssification.
Dikutip dari : Maas AI, Hukkenhoven CW, Marshall LF, Steyerberg EW.
Prediction of outcome in traumatic brain injury with computed tomographic
characteristics: A comparison between the computed tomographic classification
and combinations of computed tomographic predictors. Neurosurgery
2005;57(6):1173-1182

Berbagai penelitian menggambarkan hasil prediksi dengan klasifikasi


Marshall, dan pedoman internasional tentang prognosis pasien meliputi klasifikasi
Computed Tomography sebagai prediktor utama. Bahkan klasifikasi Marshall
awalnya tidak dikembangkan dari perspektif prognosis, sehingga Maas et al
meneliti nilai prediktif dan dibandingkan dengan klasifikasi alternatif
Computed Tomography. Mereka menggabungkan individu Computed
Tomography memiliki model penilaian yang dikenal sebagai Rotterdam CT score,
yang menunjukkan prognostik yang lebih baik atas Marshall CT klasifikasi,
khususnya dalam kasus pasien dengan lesi massa.(Huang, 2012).

Anda mungkin juga menyukai