1
tiap harinya, dan 20-25% kematian yang disebabkan oleh trauma adalah
disebabkan oleh trauma thoraks. Trauma thoraks diperkirakan bertanggung jawab
atas kematian 16,000 kematian tiap tahunnya di Amerika. Trauma thoraks dapat
dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul.1
Peranan pemeriksaan radiologi pada trauma thorax sangatlah penting
karena pada foto rontgen thorax, CT-scan thorax dan pemeriksaan radiologi
lainnya dapat memperlihatkan kelainan-kelainan yang ditimbulkan akibat trauma
atau cedera
2
Fraktur Sternum
Definisi
Fraktur sternum merupakan fraktur yang biasanya ditemukan pada trauma
langsung dengan gaya trauma yang cukup besar. Fraktur sternum jarang
ditemukan pada trauma toraks. Lokasi fraktur biasanya dijumpai pada bagian
tengah atas sternum dan sering disertai fraktur Iga. Fraktur sternum dapat disertai
beberapa kelainan seperti: kontusio atau laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau
aorta.2
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik biasanya dijumpai nyeri terutama
di area sternum dan disertai krepitasi.2
Manifestasi Klinis
Didapatkan keluhan nyeri waktu bernapas, pernapasan dangkal, dan cepat.
Mungkin terdapat deformitas pada tempat hubungan antara manubrium sternum
dengan korpus sternum. Pada auskultasi tentukan ada atau tidaknya aritmia atau
bising jantung untuk mengetahui adanya kontusio jantung.2
Pemeriksaan Radiologi
`Pada pemeriksaan penunjang foto toraks lateral ditemukan garis fraktur
pada daerah sternum atau gambaran sternum yang tumpang tindih. 61% kasus
fraktur sternum memperlihatkan adanya perubahan pada pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG) yang tidak normal, merupakan tanda trauma jantung.2
3
Penatalaksanaan.
1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian
analgetika dan observasi tanda-tanda adanya laserasi atau kontusio jantung
2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan
operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus
eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum.2
4
Atelektasis
Definisi
Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru
yang merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang. Atelektasis
didefinisikan sebagai kolapsnya alveoli dan berkurangnya udara di dalam ruang
intrapulmonal atau kolapsnya semua atau sebagian paru.3
Etiologi 4
Obstruktif
Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah
bronkus. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran
pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh
adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap
ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu
yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran
kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara
di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga
alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang
mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan
kemudian akan mengalami infeksi.
Bronkus yang tersumbat, penyumbatan bias berasal di dalam
bronkus seperti tumor bronkus, benda asing, cairan sekresi
yang massif. Dan penyumbatan bronkus akibat panekanan dari
luar bronkus seperti tumor sekitar bronkus, kelenjar yang
membesar.
Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan
sekret yang berupa mukus.
Tekanan ekstra pulmonary, biasanya diakibatkan oleh
pneumothorah, cairan pleura, peninggian diafragma, herniasi
alat perut ke dalam rongga thorak, tumor thorak seperti tumor
mediastinum.
5
Paralisis atau paresis gerakan pernapasan, akan menyebabkan
perkembangan paru yang tidak sempurna, misalkan pada kasus
poliomyelitis dan kelainan neurologis lainnya. Gerak napas
yang terganggu akan mempengaruhi lelancaran pengeluaran
sekret bronkus dan ini akan menyebabkan penyumbatan
bronkus yang berakhir dengan memperberat keadaan
atelektasis.
Hambatan gerak pernapasan oleh kelainan pleura atau trauma
thorak yang menahan rasa sakit, keadaan ini juga akan
menghambat pengeluaran sekret bronkus yang dapat
memperberat terjadinya atelektasis
Non-obstruktif :
Pneumothoraks
Tumor
Pembesaran kelenjar getah bening.
Pembiusan (anestesia)/pembedahan
Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posisi
Pernafasan dangkal
Penyakit paru-paru
Gejala Klinis4
Atelektasis dapat terjadi secara perlahan dan hanya menyebabkan sesak
nafas yang ringan. Gejalanya bisa berupa :
Gangguan pernafasan
Bunyi nafas berkurang
Nyeri dada
Batuk
Pucat
Cemas
Sianosis
Gelisah
Takikardia
6
Jika disertai infeksi, bisa terjadi demam dan peningkatan
denyut jantung, kadang-kadang sampai terjadi syok (tekanan
darah sangat rendah)
Pemeriksaan Radiologi5
Sebagai dasar gambaran radiologis pada atelektasis adalah pengurangan
volume bagian paru baik lobaris, segmental atau seluruh paru, dengan akibat
kurangnya aerasi sehingga memberi bayangan lebih suram (densitas tinggi)
dengan penarikan mediastinum kearah atelektasis, sedangkan diafragma tertarik
ke atas dan sela iga menyempit. Dengan adanya atelektasis, maka bagian paru
sekitarnya mengalami suatu enfisema kompensasi yang kadang-kadang begitu
hebatnya sehingga terjadi herniasi hemithorak yang sehat kearah hemethorak yang
atelektasis.
Beberapa atelektasis di kenal sebagai:
Atelektasis lobaris bawah: bila terjadi dilobaris bawah paru kiri,
maka akan tersembunyi dibelakang bayangan jantung dan pada
foto thorak PA hamya memperlihatkan diafragma letak tinggi.
Atelektasis lobaris tengah kanan (right middle lobe). Sering
disebabkan peradangan atau penekanan bronkus oleh kelenjar
getah bening yang membesar.
Atelektasis lobaris atas (upper lobe): memberikan bayangan
densitas tinggi dengan tanda penarikan fissure interlobaris ke atas
dan trakea ke arah atelektasis. Atelektasis segmental: kadang-
kadang sulit dikenal pada foto thoraj PA, maka perlu pemotretan
dengan posisi lain seperti lateral, miring (obligue), yang
memperlihatkan bagian uang terselubung dengan penarikan fissure
interlobularis.
Atelektasis lobularis (plate like/atelektasis local). Bila
penyumbatan terjadi pada bronkus kecil untuk sebagian segmen
paru, maka akan terjadi bayangan horizontal tipis, biasanya
dilapangan paru bawah yang sering sulit dibedakan dengan proses
7
fibrosis. Karena hanya sebagian kecil paru terkena, maka biasanya
tidak ada keluhan.
Atelektasis pada lobus atas paru kanan. Kolaps pada bagian ini
meliputi bagian anterior, superior dan medial. Pada foto thorak PA
tergambarkan dengan fisura minor bagian superior dan mendial
yang mengalami pergeseran. Pada foto lateral, fisura mayor
bergerak ke depan, sedangkan fisura minor dapat juga mengalamai
pergeseran ke arah superior. Berikut ini beberapa tanda klasik yang
sering timbul S Sign of Golden, tanda ini berupa gambaran huruf
S terbalik yang merupakan bentuk dari fisura minor yang
mengalami pergesaran.
Penatalaksanaan6
Terapi non-farmakologi untuk memperbaiki batuk dan pembersihan
sekresi dari saluran udara termasuk fisioterapi dada, termasuk drainase postural,
perkusi dan getaran dinding dada, dan teknik pemaksaan paksa (disebut huffing).
Peningkatan pembersihan saluran napas seperti yang dinilai dari karakteristik
sputum (yaitu, volume, berat, viskositas).
8
Pengobatan atelektasis tergantung pada etiologi yang mendasarinya.
Pengobatan atelektasis akut, termasuk kolaps paru pasca operasi, memerlukan
penentuan etiologi yang mendasar. Ambulasi awal dan penggunaan spirometri
insentif sangat penting. Dorong pasien untuk batuk dan bernapas dalam-dalam.
Bronchodilator dan kelembaban nebulisasi dapat membantu mencairkan
sekresi dan meningkatkan pelepasan mudahnya. Dalam kasus atelektasis lobar,
fisioterapi dada yang kuat sering membantu memperluas paru-paru yang roboh.
Bila upaya ini tidak berhasil dalam waktu 24 jam, bronkoskopi serat optik bisa
dilakukan. Terapi dengan antibiotik spektrum luas dimulai dan dimodifikasi
secara tepat jika patogen tertentu diisolasi dari sampel sputum atau sekresi
bronkus.
Atelektasis pascaoperasi diobati dengan oksigenasi dan perluasan kembali
segmen paru yang cukup. Oksigen tambahan harus dititrasi untuk mencapai
kejenuhan oksigen arteri lebih besar dari 90%. Pada penggunaan antibiotik
spektrum luas harus ditentukan jika ada bukti adanya infeksi, seperti demam,
berkeringat di malam hari, atau leukositosis, karena atelektasis sekunder biasanya
terinfeksi terlepas dari penyebab penyumbatan. Obstruksi bronkus mayor dapat
menyebabkan kerusakan parah atau batuk. Terapi antitusif mengurangi refleks
batuk dan bisa menyebabkan penyumbatan lebih lanjut.
9
Fraktur kosta multiple
Fraktur iga merupakan cedera toraks yang paling sering disebabkan oleh
trauma tumpul dinding dada. Tulang iga umumnya patah di daerah terjadinya
benturan atau di daerah yang struktur tulangnya lemah, biasanya di sudut
posterior.Fraktur iga dapat terjadi akibat penetrasi yang menyebabkan
hematopneumotoraks dan darah yang dihasilkan oleh setiap patahan tulang iga
dapat mencapai 100150mL. Posisi fraktur iga di dalam rongga toraks juga
10
menentukan penyebab terjadinya cedera, seperti fraktur iga bawah lebih banyak
menyebabkan gangguan pada organ abdomen dibandingkan parenkim paru.
Fraktur iga bawah kiri dapat merusak limpa (risiko 2228%), fraktur iga bawah
kanan dapat merusak hati (risiko 1956%) dan fraktur iga ke11 dan ke12
dapat menyebabkan kerusakan ada ginjal. Fraktur iga merupakan masalah besar
pada paru dengan insidens 8494% yang berupa hemotoraks, pneumotoraks,
dan kontusio paru.7,8
Diagnosis
Fraktur iga multipel dapat menyebabkan rasa nyeri, atelektasis dan gagal
napas. Diagnosis klinis fraktur iga didapatkan dari kelainan dada, pergerakan
fragmen, ekimosis dan juga pemeriksaan radiologi. Nyeri timbul pada saat
inspirasi dan pasien berusaha untuk mengurangi gerakan rongga dada yang
berakibat pada hipoventilasi. Mengurangi rasa nyeri juga menyebabkan
berkurangnya batuk dan dan napas dalam yang berakibat pada retensi
sputum, atelektasis dan penurunan kapasitas residu fungsional. Faktorfaktor
tersebut menyebabkan penurunan lung compliance, perubahan V/Q mismatch
dan hipoksemia.9
11
Gambar 4. Tampak fraktur iga multipel kanan dan kiri, emfisema subkutis
12
Gambar 6. Thoraks AP menunjukan fraktur multiple segmental costa kiri, tampak juga
Pneumothoraks kanan dan kontusio pada kedua paru. Rekonstruksi CT Scan 3D pada posisi
posterior menunjukan multiple bilateral fraktur costa posterior yang mengkonfirmasi
adanya bilateral flail chest.
Flail chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai
kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena
fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis
fraktur. Flail chest lepasnya hubungan antar - tulang pada fraktur iga segmental
yang dapat menyebabkan pernapasan paradoksal (kebalikan) dari gerakan
mekanik pernafasan dinding dada. Pada saat inspirasi dada akan bergerak ke arah
dalam mengikuti tekanan negatif dan pada saat ekspirasi bagian fraktur
segmental akan terangkat. Foto toraks kurang memberikan hasil yang
memuaskan karena fraktur iga yang banyak dan posisi fraktur terletak di
lateral dan posterior. Untuk menentukan apakah terdapat fraktur iga segmental
sebaiknya dilakukan pemeriksaan CTscan toraks yang dapat menentukan jumlah,
jenis dan letak fraktur iga.10
Pada tahap awal kematian yang terjadi akibat flail chest kebanyakan
disebabkan oleh hemotoraks massif dan kontusio paru, sedangkan pada tahap
lanjut disebabkan oleh acute respiratory distress syndrome(ARDS). Untuk itu
penanganan secepatnya perlu dilakukan dengan memberikan analgetik dan
pemberian ventilasi yang adekuat.10,11
13
tindakan resusitasi, secondary survey, pemeriksaan penunjang (darah dan foto
toraks) dan penilaian skor trauma. Setelah itu dilakukan penilaian status
trauma toraks, mulai dari pengkajian (saturasi O2, pulse oximetry, endtidal
CO2, foto toraks, FAST ultrasound, gas darah arteri), primary survey (obstruksi
jalan napas, pneumotoraks tension, pneumotoraks terbuka, hemotoraks, flail
chest, tamponade jantung), secondary survey (fraktur iga, kontusio paru,
kerusakan trakeobronkial, esofagus, diafragma, aorta dan jantung).11
14
Hemotoraks
Definisi
Terjadi penimbunan darah bebas pada rongga pleura. Penyebab utama adalah
laserasi paru, pembuluh darah interkosta atau arteri mamaria interna akibat trauma
tumpul atau tajam. Penyebab lainnya bisa akibat keganasan, perdarahan diatesis,
infeksi, emboli paru akut dan ruptur aorta. Perdarahan kerongga pleura dapat
terjadi karena jejas ektrapleura atau jejas intrapleura.
Jejas ekstrapleura
Trauma pada jaringan dinding dada dapat menyebabkan gangguan
membran pleura sehingga menyebabkan darah terkumpul pada rongga
pleura. Sumber perdarahan pada jejas ektrapleura adalah arteri mamaria
interna dan arteri interkosta.
Jejas intrapleura
Jejas tumpul atau tajam yang mengenai seluruh struktur intratoraks dapat
menyebabkan hematotoraks. Biasanya jejas terhadap arteri atau vena besar
dalam toraks atau jantung dapat menyebabkan hematotoraks masif.
Hematotoraks juga dapat terjadi apabila ada jejas yang menghubungkan
perikardium dan pleura. Selain itu jejas intrapleura juga disebabkan oleh
metastasis tumor serta pecahnya aneurisma.12
Diagnosis
Manifestasi klinis pasien biasanya mengeluhkan nyeri dada dan sesak napas.
Respon fisiologis yang muncul dapat dibagi menjadi respon hemodinamik dan
respon respiratorik. Respon hemodinamik yang muncul adalah tanda gejala syok
apabila kehilangan darah 30% atau lebih dari 1500 mL. Respon respiratorik dapat
berupa sesak napas dan takipnea. Apabila tidak ditangani dengan tepat, dapat
berkembang menjadi empiema karena terjadi infeksi dan fibrotoraks dimana
terdapat endapan fibrin yang membatasi ekspansi maksimal rongga dada.
Kecepatan munculnya gejala bergantung kepada etiologi yang mendasari.12,13
Pemeriksaan fisik paru ditemukan gerakan napas tertinggal, fremitus sisi yang
terkena lebih lemah, pekak dengan batas seperti garis miring atau mungkin tidak
15
jelas, bunyi napas menurun atau menghilang. Pemeriksaan penunjang dapat
dilakukan rontgen dada dan water sealed drainage (WSD). Jumlah darah yang
terkumpul dari produksi cairan tersebut. Pada foto thoraks tegak tampak sinus
tumpul sesuai jumlah darah, pada posisi supine akan tampak peningkatan opasitas
atau ground-glas appearance pada hemitoraks yang terkena.12
Gambar 7. Gambaran hemotoraks tampilannya menyerupai efusi pleura bebas atau lokulasi
16
PERFORASI ESOFAGUS
Definisi
Perforasi esofagus adalah situasi klinis yang ditandai dan berpotensi
mengancam nyawa.14-16 Beberapa faktor, termasuk sulitnya mengakses
kerongkongan, kurangnya lapisan serosa yang kuat, suplai darah yang tidak biasa
dari organ dan kedekatan struktur vital, semua berkontribusi untuk kondisi
morbiditas yang tinggi dan tingkat kematian paling sedikit 20%.17-19 Selain itu,
keragaman gejala klinis dan tanda-tanda dikombinasikan dengan kurangnya
pengalaman individu mengenai kondisi tertentu dapat menghambat identifikasi
cepat dari situasi yang berpotensi berbahaya ini.20
Penyebab
Ruptur esofagus biasanya iatrogenik, hasil dari prosedur endoskopi seperti
dilatasi untuk striktur dan untuk akalasia khususnya.23 Hal ini juga dapat terjadi
akibat dari operasi pada jaringan yang ada di dekat esofagus.24 Sekitar 15% dari
kasus, terdapat ruptur spontan tanpa diketahui patologi yang sudah ada dari
esofagus. Hal ini sebagian besar terkait dengan vomitus intens atau yang parah,
yang mungkin menyebabkan peningkatan tekanan intra-abdomen. Patologi klinis
ini, pertama kali dijelaskan oleh Hermann Boerhave pada tahun 1724, awalnya
disebut sindrom Boerhave.25 Penyebab yang jarang perforasi meliputi udara-
ledakan eksternal dan trauma tumpul. Luka tembus tajam, yaitu trauma eksternal
dapat merusak esofagus yang terletak di permukaan. Meskipun jarang, luka
tembak dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dapat dengan mudah
17
terjawab selama pemeriksaan. Oleh karena itu, indeks kecurigaan yang tinggi
perforasi esofagus dibenarkan setiap kali ada luka tembus di wilayah ini.
Pada anak-anak, cedera esofagus biasanya karena tidak sengaja menelan
cairan kaustik.26 Sebaliknya, konsumsi zat kaustik oleh orang dewasa biasanya
berhubungan dengan niat bunuh diri. Pembersih, cairan baterai dan larutan yang
digunakan dalam operasi industri secara umum dapat diklasifikasikan sebagai
asam atau alkali. Sementara asam, yang sebagian besar memiliki rasa yang tidak
menyenangkan, menghasilkan nekrosis jaringan koagulatif dengan rendahnya
risiko penetrasi, alkali cenderung lebih cocok dan menyebabkan nekrosis
liquefaktif yang cepat menjadi transmural. Cedera dan konsekuensi klinis
konsumsi zat kaustik tergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah,
viskositas dan konsentrasi agen, serta pada durasi kontak antara agen kaustik dan
mukosa esofagus.27
18
dengan hasil yang fatal dalam waktu singkat. Dengan demikian, pengerjaan
diagnosis harus dilakukan segera setelah perforasi esofagus dianggap diagnosis
tentatif berdasarkan gejala, tanda-tanda, riawayat pasien (misalnya penggunaan
instrumen medis atau intervensi di esofagus, episode vomitus yang akut, menelan
benda asing) dan pemeriksaan klinis yang cermat.
Gambaran Radiologi
Gambar 9. Gambar Radiografi dada polos dengan menelan kontras yang dilarutkan,
menunjukkan kebocoran kontras pada pasien dengan ruptur spontan dari esofagus.
19
mediastinum, efusi pleura, pneumocardium dan pneumoperitoneum temuan
diagnostik yang penting pada pasien. Pada pasien sakit kritis dan pada pasien
dengan trauma atau kaustik luka eksternal, pemeriksaan CT scan dapat
memberikan informasi tambahan.31
Gambar 10. Gambar CT dengan kontras oral menunjukkan kebocoran kontras distal dan
gelembung gas di mediastinum hanya beberapa jam setelah dilatasi pneumatik untuk
akalasia.
20
Ruptur Aorta
Definisi
Diseksi aorta klasik umumnya diawali dari robekan tunika intima dinding
aorta, menyebabkan darah mengalir masuk menuju media,memisahkan lapisan-
lapisan dinding aorta, dan menciptakan lumen palsu. Darah yang mengalir ke
dalam lumen palsu dapat menyebabkan beberapa masalah. Mengurangi darah
yang dialirkan ke tubuh,diseksi bertambah luas, serta menghambat aliran darah
aorta (lumen sebenarnya) dan juga arteri yang dipercabangkannya. Diseksi juga
dapat melemahkan dinding aorta, menyebabkan aneurisma atau ruptur aorta.32
Etiopatogenesis
Dua hipotesis utama terjadinya diseksi aorta yaitu: (1) Diawali dengan
robekan sirkumferensial atau transversal pada tunika intima aorta yang
menyebabkan darah dari lumen menembus masuk ke dalam media, menyebabkan
diseksi, dan menciptakan lumen palsu dan sebenarnya.(2) Diawali dari ruptur vasa
vasorum, diikuti perdarahan ke media, menyebabkan hematoma dalam Tekanan
dari darah yang mengalir di dalam dinding aorta menyebabkan ukuran diseksi
membesar. Distensi lumen palsu menyebabkan intimal flap menekan dan
mempersempit ukuran lumen sebenarnya, dapat menyebabkan gejala-gejala akibat
gangguan perfusi. Klasifikasi Stanford membagi diseksi aorta menjadi dua tipe
berdasarkan lokasinya Pada diseksi tipe A, lokasi diseksi meliputi aorta asenden.
Sedangkan pada diseksi tipe B (distal), aorta asenden tidak ikut terkena.
Pembagian ini penting untuk menentukan pendekatan terapi dan prognosis.
Sekitar dua per tiga diseksi aorta adalah tipe A.33,34
21
Gambar 11. Gambaran klasifikasi diseksi aorta. A.Pada diseksi tipe A, aorta asenden
terkena, tanpa melihat keikutsertaan aorta desenden; B.Pada diseksi tipe B, aorta asenden
tidak ikut terkena
22
nadi) atau perbedaan tekanan darah di dua lengan dapat mencurigakan ke arah
diseksi aorta. Jika diseksi tipe A menyebabkan regurgitasi aorta, dapat ditemukan
murmur diastolik awal pada auskultasi, paling baik didengar di tepi sternum kanan
atau kiri atas. Jika regurgitasi aorta akut berat, dapat ditemukan tanda-tanda gagal
jantung kiri akut atau syok kardiogenik.34
Pemeriksaan Penunjang
Elektrokardiogram(EKG)
EKG mungkin dalam batas normal. Kelainan yang sering ditemukan berupa
perubahan segmen ST dan gelombang T non-spesifik.Mungkin dapat ditemukan
kesan hipertrofi ventrikel kiri pada pasien dengan hipertensi kronik.
Pencitraan
Foto Toraks
Foto toraks berguna untuk skrining, mungkin menjadi petunjuk awal diseksi aorta.
Gambaran abnormal dapat ditemukan pada 87,6% pasien. Penelitian terakhir
melaporkan peningkatan frekuensi hasil foto toraks normal. Gambaran abnormal
yang paling sering ditemukan adalah perubahan kontur aorta. Gambaran
mediastinum melebar makin jarang. Selain itu, dapat juga ditemukan efusi pleura.
Kesan foto toraks normal tidak dapat menyingkirkan dugaan diseksi aorta.36
Gambar 12. Foto toraks pasien diseksi akut tipe A. Terlihat gambaran aorta asenden, aorta
desenden, dan mediastinum yang melebar (tanda panah).
23
Computed Tomography scan (CT scan)
Diagnosis dengan CT scan didasarkan pada ditemukannya dua lumen yang
dipisahkan oleh intimal flap atau dua lumen dengan opasitas berbeda. CT scan
dengan kontras memiliki akurasi tinggi, dengan sensitivitas 98% dan spesifisitas
100%, jika tanpa kontras, diseksi aorta dapat tidak terdeteksi. Keterbatasan utama
adalah perlunya memindahkan pasien untuk CT scan dan potensi nefrotoksik
kontras.36
Gambar 13. CT Scan menunjukan jaringan lunak abnormal pada anterior mediastinum
yang sesuai dengan hematom, CT Scan menunjukan kontur yang abnormal pada arkus
aorta.
Gambar 14. CT Scan menunjukan pseudoaneurisma kecil pada dinding anterior proksimal
dari aorta desendens. Kontur aorta yang abnormal,hematome mediastinum periaorta dan
lokasi yang klasik menegakkan diagnosis cedera aorta. Menunjukan ruptur aorta dengan
kontras yang diluar aorta. Tampak pula hemathoraks kiri.
24
Kontusio paru
Definisi
Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema, perdarahan
alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum yang berpotensi
mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan berkembang dari waktu
daripada yang terjadi seketika. Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada
paru yang dapat terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan
atau tertimpa benda berat.37
Etiologi38
Manifestasi klinis39
Takikardi
Dyspnoe
Bronchoorhea/ Sekresi bercampur darah
Takipnea
Hipoksia
Perubahan Kesadaran
Membutuhkan waktu untuk berkembang, dan sebanyak setengah dari
kasus tidak menunjukkan gejala pada presentasi awal
Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma.
25
Gambaran radiologi
X foto thoraks
Gambar 15. Menunjukkan memar paru yang berhubungan dengan patah tulang rusuk
dan emfisema subkutan. Ro thoraks menunjukkan gambaran infiltrat. Tanda infiltrat
kadang tidak muncul dalam 12-24 jam.38
CT Scan
USG
Gambar 17. Menunjukkan memar paru awal, pada saat ini tidak terlihat pada radiografi.
Sindrom interstisial dinyatakan dengan garis putih vertikal, B-Line.39
26
PNEUMOMEDIASTINUM
Definisi
Efek Macklin pertama kali diterangkan pada tahun 1939, merupakan suatu
kondisi yang bisa menjelaskan terjadinya berbagai kasus pneumomediastinum.
Proses ini dimulai dengan trauma tumpul dada, kemudian terjadi ruptur alveolar,
setelah itu udara akan menjalar sepanjang cabang bronkovaskular dan akhirnya
akan mencapai mediastinum.44,45
Jalur udara ini tak hanya terjadi pada mediastinum, udara tersebut juga
dapat menyebar ke jaringan lain dan menyebabkan pneumoperitoneum dan
pneumoretroperitoneum jika berlanjut ke peritoneum, pneumoperikardium jika
berlanjut ke perikardium, pneumotoraks jika udara tersebut ke kavum pleura dan
emphysema subkutan, jika udara tersebut masuk kedalam subkutis.45,46
27
Penyebab Pneumomediastinum Kondisi Yang Mendasari Sumber Kondisi Yang Mendasari
Asma, benda asing, laringitis akut obstruktif, stenosis
Obstruksi jalan nafas
kongenital
Ventilasi mekanik Anestesi umum, ekspirasi tenanan positif
Taruma thoraks Trauma tumpul, trauma tembus
Ruptur alveolar oleh karena
Manuver pernafasan dalam Aktifitas berat, asidosis (pernafasan Kussmaul)
peningkatan tekanan alveolar
Angkat berat, manuver Heimlich, defekasi, partus,
Manuver Valsava
inhalasi mariyuana atau kokain
Muntah ketoasidosis diabetik, anoreksia nervosa
Perubahan tekanan atmosfer Penyakit Caisson, perubahan ketinggian tiba-tiba
Infeksi -
Aspirasi -
Ruptur alveolar oleh karena penyakit
ARDS -
alveolar
Emphysema -
Interstisisal lung disease Sarcoidosis, silikosis
Trauma -
Jejas Tracheobronkial Instrumentasi Biopsi bronkoskopi
Neoplasma trakeal atau bronkial -
Muntah -
Jejas Iatrogenik -
Perforasi Oesophagus
Trauma (tembus) -
Neoplasma -
Perforasi nasopharynx Intubasi traumatik
Jejas Kepala dan Leher atau fraktur wajah atau pembedahan -
Pembedahan Prosedur dental -
Pembedahan Leher Bedah tiroid, bedah tonsil, trakeostomi
Perforasi gaster dan ulkus -
Diverticulitis -
Jejas Abdomen atau retroperitonial
Hernia -
atau pembedahan
Trauma -
Pembedahan rektosigmoid -
Epidemiologi
28
melakukan pekerjaan yang menahan nafas (misalnya aktivitas atletik atau angkat
berat). Keadaan tersebut dapat menyebabkan pneumomediastinum.47
Pasien dengan pneumomediastinum yang disebabkan karena ruptur
alveolar yang terjadi secara spontan, biasanya ditemukan pada pasien usia muda
dan mempunyai riwayat asma, batuk berat atau muntah-muntah.48
29
Gambar 18. a. CXR neonatus menunjukkan Spinnaker sign, tampak thymus dibatasi
oleh udara pada mediastinum, lobus thymus bergeser ke arah lateral. Gambar b.
Gambaran thymus neonatus normal.
2. Pneumoprekardium
Pneumoprekardium adalah adanya gambaran udara di anterior
pericardium, yang dapat dilihat jelas pada foto lateral.42
30
Spontaneus pneumoprekardium termasuk kasus yang jarang dijumpai,
terutama pada anak-anak. Penyebab tersering adalah asma (0,3 %) dan serangan
akut yang menyertainya. Penyebab lainnya adalah bronkiolitis yang disebabkan
oleh virus maupun iritasi pada saluran nafas juga harus dipertimbangkan.50
Gambar 20. Lateral CXR, menunjukkan udara di sekeliling arteri pulmoner kanan.
Tampak juga udara bebas berada di anterior pericardium (pneumoprecardium).
31
Gambar 21. Foto toraks AP menunjukkan udara disepanjang permukaan dalam
pleura mediastinal, yang menunjukkan aortic knob, batas kiri jantung (panah
hitam) dan Vena cava superior (kepala panah hitam). Tampak udara mengelilingi
pembuluh darah brachiocephalica membentuk gambaran tubular vessel sign.
Gambar 22. Radiografi toraks lateral menunjukkan udara yang mengelilingi pembuluh
darah brachiosepalica (kepala panah hitam). Garis lusen terlihat juga di jaringan lunak
prespinal (panah putih). Tampak juga gambaran ring around the artery sign (kepala panah
putih).
32
Gambar 23. Gambar axial CT Scan menunjukkan udara mengelilingi aorta desenden
(kepala panah hitam), vena azygos (panah putih), esofagus (panah hitam), dan bagian depan
tulang belakang (dua panah hitam).
Gambar 24. Pasien 35thn dengan status asmatikus, pada foto AP terlihat adanya
udara di mediastinum dan main bronkus kiri, yang tervisualisasi dengan terlihatnya
kedua sisi dari dinding bronkus.
33
6. Continuous diaphragma sign
Continuous diaphragma sign adalah adanya udara pada mediastinum yang
membentuk batas pada permukaan superior diafragma dan tampak memisahkan
diafragma dari jantung.42,46
Continuous diaphragm sign merupakan tanda yang sering ditemukan pada
pneumomediastinum, dimana tanda ini dapat terlihat pada foto AP/PA ketika
udara pada mediastinum memisahkan jantung dan permukaan superior diafragma
yang dapat dilihat baik itu pada posisi berdiri (erect) maupun terlentang
(supine).42
Gambar 25. Pneumomediastinum pada pasien 18 tahun dengan serangan asma akut.
Pada proyeksi lateral didapatkan adanya continuous diaphragm sign.
7. Extrapleural sign
Extrapleural sign adalah adanya udara pada mediastinum yang
menyebabkan area lusensi pada daerah diluar pleura, biasanya pada tepi lateral
aorta descenden.41
34
Gambar 26. Pasien wanita 26 thn dengan ruptur esofagus. Pada proyeksi AP
terlihat area lusensi linier paralel dari aorta desenden yang memperlihatkan adanya
udara pada mediastinum. (panah hitam). Udara tersebut kemungkinan berada pada
ligamen pulmo. Disini juga terlihat adanya udara pada pleura kiri (panah putih).
8. Naclerios V sign
Naclerios V sign dapat terlihat pada foto toraks frontal membentuk
gambaran lusensi udara berbentuk huruf 'V' di daerah kiri bawah mediastinum.
Tanda ini dibentuk oleh udara di mediastinum yang memberi batas batas lateral
kiri bawah mediastinum dan dibentuk oleh udara yang ada di pleura paietal dan
bagian medial hemidiafragma kiri. Biasanya tanda ini terdapat pada kasus ruptur
esofagus, dimana udara masuk ke mediastinum dari esofagus yang pecah.
Adanya tanda Naclerios V sign pada foto thorak dapat memberikan
petunjuk sebagai tanda awal dari adanya ruptur esophagus. Tanda ini juga bisa
merupakan komplikasi pada pemeriksaan endoskopik, dimana hal tersebut
terdapat pada 1 dari 1000 kasus pasien dengan pemeriksaan endoskopik.52
35
Gambar 27. Gambar CXR menunjukkan pneumomediastinum membentuk
gambaran Naclerios V sign (panah). Menggunakan bahan kontras Iopamidol
tampak jelas extra pasase kontras.
36
Ruptur Diafragma
Definisi
Ruptur atau laserasi diafragma terjadi pada pasien dengan trauma tumpul maupun
tajam pada abdomen maupun thoraks. Sulit dideteksi , sampai terjadinya herniasi
organ abdomen ke rongga toraks. Kebanyakan hernia pada sisi kiri (70-90%)
karena adanya hepar dikanan bersifat protektif.53
37
mengalami herniasi ke rongga thorax ini. Hernia diafragmatika akan
menyebabkan gangguan kardiopulmoner karena terjadi penekanan paru dan
terdorongnya mediastinum ke arah kontralateral.53,54
Diagnosis
38
Grimes membanginya dalam 3 fase, yaitu
o fase akut, sesaat setelah trauma
o fase laten, tidak terdiagnosis pada awal trauma biasanya asimptomatik namun
setelah sekian lama baru muncul herniasi dan segala komplikasinya
o fase obstruktif, ditandai dengan viseral herniasi, obstruksi, strangulasi bahkan
ruptur gaster atau kolon. Bila herniasi menimbulkan gejala kompresi paru
yang nyata dapat menyebabkan tension pneumothorak, kardiak tamponade.55
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting adalah dilakukan pemeriksaan
radiologi yaitu pemeriksaan foto thorax. Sekitar 23 -73 % rupture diafragma
karena trauma dapat dideteksi dengan pemeriksaan radiologi thoraks. Foto thoraks
sangat sensitive dalam mendeteksi adanya hernia diafragma kiri. Adanya rupture
diafragma akibat trauma bila dilihat dari foto thoraks dapat ditemukan gambaran
abnormal seperti adanya isi abdomen pada rongga thoraks, terlihat selang NGT di
dalam rongga thoraks, peninggian hemidiafragma (kiri lebih tinggi dari pada
kanan), dan batas diafragma yang tidak jelas.
Pada pemeriksaan foto thorax terlihat hemithorax yang kecil, ada gambaran
opak yang terlihat luas mulai dari daerah perut sampai ke hemithorax. Hal ini bisa
saja terjadi secara homogen atau bisa juga terdapat daerah yang lusen oleh karena
adanya usus. Daerah yang terlihat opak dapat menempati seluruh paru-paru. Efusi
pleura dan atelektasis juga dapat terlihat. CT-Scan dan MRI sangat membantu
dalam melihat ukuran dan lokasi hernia ini.
Pemeriksaan CT Scan yang konvensional memiliki nilai sensitivitas 14-
82% dengan spesifisitas 87%, pada Helical CT, senstifitas meningkat 71 -100%,
tanda ruptur diafragma pada CT- Scan yaitu: (1) gambaran langsung adanya
defect, (2) gambaran diafragma secara segmental tidak terlihat, (3) herniasi organ
viscera ke intra thorak, (4) collar sign, berkaitan dengan konstriksi lengkung usus
yang mengalami herniasi.56,57
39
Gambar 29. Ruptur diafragma kiri.
- Tampak pula multipel bilateral fraktur costa dan pneumotoraks kanan atas
(panah putih).
- Pada rontgen posisi RLD tampak air-fluid level pada parakardial kiri
40
Gambar 31. Ruptur diafragma kiri.
41
PNEUMONIA ASPIRASI
Definisi
Prediposisi
Hampir semua pasien yang menderita pneumonia aspirasi memiliki satu atau
lebih faktor predisposisi. Kondisi-kondisi yang memudahkan aspirasi pneumonia
antara lain:58,59
42
melaporkan bahwa pneumonia aspirasi merupakan merupakan penyebab kematian
utama pada PSP. Dari 22 orang pasien PSP yang menderita pneumonia aspirasi,
sebanyak 59 % meninggal. Dijumpainya pneumonia aspirasi merupakan prediktor
survival time yang pendek (periode laten 2,3 tahun).61
Kondisi lain, seperti muntah hebat, posisi telentang lama, dan penyakit kritis.58
Usia lanjut merupakan kelompok yang berisiko tinggi mengalami aspirasi dan
mungkin aspirasi merupakan faktor risiko paling penting pada pneumonia geriatri.
Pneumonia geriatri sering disebabkan oleh gangguan menelan yang tidak
terdeteksi sehingga kejadian aspirasi tak terdeteksi. Hal ini karena pada 1/3 pasien
geriatri dijumpai kelainan sistem saraf (misalnya stroke). Insidensi dan prevalensi
pasti pneumonia aspirasi pada geriatri belum diketahui, tetapi dilaporkan
berhubungan langsung dengan usia dan penyakit dasar pasien. Sebuah penelitian
prospektif melaporkan bahwa rasio pneumonia aspirasi dengan total kasus
pneumonia meningkat seiring dengan pertambahan usia. Sebanyak 80,1 % (382
kasus) dari pneumonia geriatri terdiagnosis merupakan pneumonia aspirasi.62
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Foto Thorax
Gambaran foto toraks pneumonia aspirasi tergantung pada posisi pasien saat
terjadi aspirasi. Lobus paru bagian kanan bawah merupakan lokasi tersering
dijumpai infiltrat karena kalibernya lebih besar dan orientasi lebih vertikal pada
bronkus utama kanan. Pasien yang mengalami aspirasi ketika berdiri bisa
memiliki infiltrat bilateral pada lobus paru bagian bawah. Pasien yang berbaring
pada posisi lateral dekubitus kiri lebih sering memiliki infiltrat pada paru kiri.
43
Paru bagian kanan atas bisa terlibat khusunya pada alkoholik yang mengalami
aspirasi saat posisi telungkup.59
Gambar 33 Gambar 34
Gambar 33: Foto toraks seorang pasien pada paru kiri saat overdosis benzodiazepin.
Mungkin posisi pasien miring ke kiri pada saat aspirasi. Gambar 34: Foto toraks pasien
dengan pneumonia aspirasi masif pada paru kanan.59
44
Gambar 35 Gambar 36
Gambar 35: Pneumonia aspirasi pada seorang pria berusia 84 tahun yang secara umum
sehat, dengan gejala demam dan batuk. Foto toraks menunjukkan opasitas pada lobus kiri
bagian bawah; Gambar 36: Foto toraks lateral pasien berusia 84 tahun dengan pneumonia
aspirasi mengkonfirmasi lokasi infiltrat pada lobus kiri baian bawah. 59
Ultrasonografi
CT Scan Thorax
45
INHALASI BENDA ASING
Definisi
Etiopatogenesis
Benda asing dapat berupa benda asing eksogen dan endogen. Benda asing
eksogen dapat terdiri dari zat organik seperti kacang-kacangan, tulang, dan zat
anorganik seperti peniti, jarum, batu dan lain-lain. Sedangkan benda asing
endogen dapat berupa sekret kental, darah atau bekuan darah, nanah, krusta,
perkijuan, membran difteri, bronkolit, cairan amnion, dan mekonium. Pada kasus
aspirasi benda asing, sebanyak 80-90% kasus terperangkap pada bronkus.64
Aspirasi benda asing mengarah kepada inhalasi dari material padat atau cair
yang masuk ke saluran napas Pada dewasa, aspirasi benda asing jarang terjadi.
Aspirasi benda asing lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 3 tahun
dan pada manula. Aspirasi benda asing pada dewasa biasanya berkaitan dengan
retardasi mental, penggunaan alkohol dan sedatif, trauma akibat tindakan medik di
daerah mulut dan faring (intubasi), gangguan kesadaran, trauma maksilofasial,
gangguan neurologis. Aspirasi bahan makanan merupakan kasus tersering, banyak
penulis telah melaporkan bermacam jenis aspirasi benda asing seperti biji-bijian,
jarum, peniti, kacang, serpihan tulang, paku, mainan, uang logam, serpihan alat
kesehatan, gigi palsu, tutup pena, serpihan sayuran.65,66
Pada orang dewasa, benda asing bronkus lebih sering terperangkap pada
bronkus kanan karena sudut konvergensi yang lebih kecil daripada bronkus kiri
46
dan lokasi karina berada di sisi kiri garis tubuh. Benda asing masuk ke saluran
nafas saat laring terbuka atau pada saat terjadi aspirasi. Benda asing yang masuk
ke saluran nafas akan mengakibatkan terjadinya reflek batuk, kemudian akan
muncul gejala sesuai dengan lokasi, besarnya sumbatan dan lamanya benda asing
berada di dalam saluran nafas.64,66
Benda asing yang masuk ke dalam saluran nafas akan menimbulkan reaksi
pada jaringan sekitarnya. Reaksi jaringan yang timbul dapat berupa inflamasi
lokal, edema, ulserasi, dan terbentuknya jaringan granulasi yang dapat
mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Akibat obstruksi ini maka bagian distal dari
sumbatan akan terjadi air trapping, empisema, atelektasis, abses paru dan
bronkiektasi. Reaksi inflamasi akan mengakibatkan terjadinya peningkatan
vaskularisasi mukosa, edema, dan bertambahnya sekret mukoid. Berkurangnya
gerakan silia mengakibatkan menumpuknya lendir atau sekret di ujung bronkiolus
sehingga dapat mengakibatkan atelektasis maupun komplikasi lainnya. Bila
terdapat infeksi dapat terbentuk pus serta dapat terbentuk jaringan granulasi.64,67
Gejala Klinis
47
kemungkinan aspirasi benda asing karena gejala dan tanda tidak jelas. Ketiga,
telah terjadi gejala komplikasi dengan obstruksi, erosi atau infeksi sebagai akibat
reaksi benda asing, sehingga timbul batuk-batuk, hemoptisis, pneumonia,
atelektasis, abses paru, dan gagal tumbuh. Pada dewasa, gejala benda asing di
saluran napas mirip dengan gangguan saluran napas pada kondisi lain. Tidak
adanya riwayat tersedak atau rasa tercekik (choking) dapat mempersulit
penegakan diagnosis sehingga diagnosis bisa terlambat.64,67,68
Pemeriksaan Penunjang
48
CT scan adalah modalitas yang dapat digunakan dalam penegakan
diagnosis aspirasi benda asing. Benda asing ditunjukkan dengan adanya gambaran
hiperdens pada lumen saluran pernapasan. CT scan juga dapat memperlihatkan
perbedaan densitas dari benda asing. Penemuan berupa post obstruktif emfisema,
kolaps, konsolidasi dan bronkiektasis juga dapat didemonstrasikan dengan baik
melalui CT scan. Selain itu, pemeriksaan berupa bronkoskopi virtual
menggunakan Multidetector Computed Tomography (MDCT)-scan merupakan
metode efektif untuk mendiagnosis benda asing radiolusen berupa sayuran pada
saluran trakeobronkial. Multi-detektor Computed Tomography (MDCT) telah
memungkinkan untuk mendapatkan gambar isotropik resolusi tinggi di setiap
potongan yang diinginkan. Sehingga dapat memperlihatkan kelainan yang
minimal sekalipun . Rekonstruksi multiplanar, proyeksi intensitas minimum dari
saluran napas dan bronkoskopi dapat sangat membantu ahli bedah untuk
merencanakan endoskopi.64,69
Walaupun jarang dilakukan, pemeriksaan MRI juga bermanfaat untuk
mendeteksi benda asing yang tidak ditemukan pada saat pemeriksaan endoskopik
atau jika migrasi dari saluran nafas atau esofagus dicurigai. Penggunaan MRI
lebih sering ditujukan pada kasus kronik dan disertai komplikasi. Benda asing
ditunjukkan dengan gambaran hipointensitas atau signal void pada pemeriksaan
MRI. Jaringan lunak disekitar benda asing dapat bersifat hipointensitas atau
hiperintensitas tergantung onset. MRI memiliki keunggulan berupa noninvasif dan
minim radiasi, tetapi memerlukan waktu yang lama, lebih mahal dan
kontraindikasi terhadap pasien dengan alat pacu jantung buatan. Di samping itu,
penggunaan MRI pada kasus benda asing yang bersifat feromagnetik dapat
berbahaya karena dapat menyebabkan benda asing berpindah akibat tertarik
medan magnet. Karena itu, modalitas lain lebih sering dikerjakan dalam kasus
benda asing dibandingkan dengan MRI. Pemeriksaan laboratorium darah
diperlukan untuk mengetahui adanya gangguan keseimbangan asam basa serta
tanda infeksi traktus trakeobronkial.69
49
Gambar 37.Gambaran radioopak dari kawat gigi (dental bridge) di bronkus utama kanan.70
Gambar. 38. Seorang laki-laki, usia 78 tahun, dengan demam dan klinis pneumonia pada
lobus bawah kanan setelah pemasangan intubasi. Foto chest X-ray posisi supinasi
menunjukkan adanya fragmen gigi (tanda panah) di lobus kanan bawah disertai infiltrat
paru di basal lobus kanan.
Gambar 39. Hasil CT menunjukkan adanya mediastinitis pada pasien dengan abses
odontogen. Kalsifikasi opak pada lumen bronkus segmental lobus kanan bawah dicurigai
sebagai benda asing. Dari hasil bronkoskopi didapatkan fragmen gigi.
50
Gambar 40. Seorang wanita, usia 69 tahun, dengan riwayat batuk 6 bulan sejak pasien
tersedak obat tablet. (2a) X-ray dada menunjukkan hiperlusen pada lapangan paru atas.
(2b) CT scan menunjukkan adanya air trapping pada bronkus utama kanan (tanda panah).
51
EDEMA PARU
Definisi
Edem paru adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang
terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran
kapiler (edem paru non kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi
cairan secara cepaat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara
progresif dan mengakibatkan hipoksia.71
Etiologi
Edema paru non kardiogenik terjadi akibat dari transudasi cairan dari
pembuluh-pembuluh kapiler paru-paru ke dalam ruang interstisial dan alveolus
paru-paru yang diakibatkan selain kelainan pada jantung. Walaupun edema paru
dapat berbeda-beda derajatnya, bagaimanapun dalam tingkatnya yang paling
ringan sekalipun tetap merupakan temuan yang menakutkan. Terjadinya edema
paru seperti di atas dapat diakibatkan oleh berbagai sebab, diantaranya seperti
pada tabel di bawah ini.72,73
Secara langsung
2. Tenggelam
3. Kontusio paru
4. Pnemonia berat
5. Emboli lemak
52
1. Inhalasi bahan kimia
2. Keracunan oksigen
Tidak langsung
1. Sepsis
2. Trauma berat
3. Syok hipovolemik
5. Luka bakar
6. Pankreatitis
8. Anafilaksis
Transfusi darah
Gagal ginjal
1. Sindrom nefrotik
2. Malnutrisi
3. Hiponatremia
53
Manifestasi Klinik
Gejala paling umum dari pulmonary edema adalah sesak nafas. Ini
mungkin adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang
secara perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus
dari pulmonary edem akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah
lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas daripada normal dengan aktivitas
yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat (takipnea), kepeningan atau
kelemahan.75
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-
pasien dengan pulmonary edem. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan
stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, seperti
rales atau crakles (suara-suara) mendidih pendek yang terputus-putus yang
berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernafas.75
Manifestasi klinis edema paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium76:
Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak nafas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inpsirasi karena terbukanya saluran nafas yang tertutup saat
inspirasi.
Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edem paru interstisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor
interstisial, akan lebih memperkecil saluran nafas kecil, terutama di daerah basal
oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.
Sering terdengar takipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi
ventrikel kiri, tetapi takipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
54
penumpukan cairan interstisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edem alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu,
terjadi hipoksemia dan hipokapsia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk
berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan
nyata. Terjadi right to left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita
hipokapsia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute
respiratory acidemia. Pada leadaan ini morphin harus digunakan dengan hati-hati
Edem paru yang terjadi setelah infark miokard akut biasanya akibat
hipertensi kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteriakoronaria, terjadi edem paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang
dapat dicegah dengan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxgenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase
akan mengurangi edem paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas alveolar-
kapiler. Pada manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Kadang-kadang
penderita dengan Infark Miokard Akut dan edem paru, tekanan kapiler parunya
normal. Hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edem secara
radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada
beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolus kapiler parus
ekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang reendah seperti pada cardiogenic
shock lung.
Edem paru kardiogenik ini merupakan spektrum klinis Acute Heart Failure
Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai: munculnya gejala dan tanda
secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal.
55
ESC 3 : Pulmonary oedema
Pemeriksaan Penunjang
Pada foto thorax menunjukan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel
vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis
56
kerley A, B dan C akibat edema instrestisial atau alveolar seperti pada gambaran
ilustrasi (Cremers 2010, harun n saly 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada
foto thorax postero-anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar
pedikel vaskuler > 85% ditemukan 80% pada kasus edem paru. Sedangkan vena
azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter >
10 mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax telentang
dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena
azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanay overload cairan.77
Garis kerley A merupakan garis linier panjang yang membentang dari perifer
menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik
perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah
horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus yang menggambarkan
adanya edem septum interlobuler. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang
pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat
hampir sama dengan pembuluh darah.77
Gambar foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edem paru kardiogenik
dan edem paru non krdiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain
bahwa edem tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru
meningkat 30%. Beberapa masalah teknik juga dapat mengurangi sensitivitas dan
spesifitas rontgen paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi
film.78
Ekhokardiografi
57
EKG
Katerisasi Pulmonal
58
Asma
Definisi
Asma adalah penyakit kronik saluran nafas yang ditandai oleh inflamasi kronik
yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan karakteristik respon yang
berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Manifestasi klinisnya adalah
penyempitan saluran nafas yang difus dengan derajat yang bervariasi dan bersifat
reversibel secara spontan atau dengan pengobatan.80
Etiologi
Penyebab asma masih belum jelas. Diduga yang memegang peranan utama ialah
reaksi berlebihan dari trakea dan bronkus (hipereaktivitas bronkus).
Hipereaktivitas bronkus itu belum diketahui dengan jelas penyebabnya. Diduga
karena adanya hambatan sebagian sistem adrenergik, kurangnya enzim
adenilsiklase dan meningginya tonus sistem parasimpatik. Keadaan demikian
menyebabkan mudah terjadinya kelebihan tonus parasimpatik bila ada
rangsangan, hingga terjadi spasme bronkus. Banyak faktor yang turut menentukan
derajat reaktivitas atau iritabilitas tersebut. Faktor genetik, biokimia, saraf
otonom, imunologis, infeksi, endokrin, psikologis, dan lingkungan lainnya, dapat
turut serta dalam proses terjadinya manifestasi asma. Karena itu asma disebut
penyakit yang multifaktorial.81
Diagnosis
Diagnosis asma ditegakkan berdasarkan urutan pemeriksaan berikut:
1. Anamnesis
Secara klinis asma diduga bila ada gejala mengi, batuk, sesak nafas, dan
riwayat pneumonia atau bronkitis yang berulang. Batuk yang menetap dan
berulang terutama sesudah pajanan berbagai zat tertentu, aktivitas, gangguan
emosi, dan infeksi virus. Batuk pada asma menjadi lebih berat pada malam hari.
Namun kadang-kadang gejala asma hanya berupa batuk-batuk kronik. Penting
juga diketahui dalam anamnesis adalah gejala-gejala yang membaik secara
spontan atau dengan bronkodilator dan anti inflamasi, dan faktor-faktor yang
dapat mencetuskan asma dan atopi dalam keluarga.80
59
2. Pemeriksaan fisik
Pada inspeksi terlihat pernafasan yang cepat dan sukar, disertai batuk-batuk
paroksismal, dan ekspirasi memanjang. Saat inspirasi terlihat retraksi daerah supra
klavikular, suprasternal, epigastrium, dan sela iga. Pada asma kronik, terlihat
bentuk toraks emfisematus, bongkok ke depan, sela iga melebar, dan diameter
anteroposterior toraks bertambah. Saat serangan berat terlihat tanda-tanda
kegelisahan sampai penurunan kesadaran, kesukaran berbicara, takikardi,
penggunaan otot bantu nafas, sianosis, hiperinflasi, dan pulsus paradoksus. Pada
perkusi terdengar hipersonor di seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior.
Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
Pada auskultasi, awalnya terdengar bunyi nafas kasar/mengeras. Bila penyakit
makin berat, mengi dapat terdengar baik saat ekspirasi maupun inspirasi. Dalam
keadaan normal, fase ekspirasi 1/3-1/2 dari fase inspirasi. Saat serangan, fase
ekspirasi memanjang. Terdengar juga ronki kering dan ronki basah serta suara
lendir bila banyak sekresi bronkus.
Tanda-tanda yang berhubungan dengan tingkat obstruksi jalan nafas pada saat
pemeriksaan umumnya sangat tergantung pada kemampuan pengamat. Hal yang
lebih baik adalah mencari tanda-tanda yang berhubungan dengan hiperinflasi
dada, seperti hiperresonansi, retraksi subkostal, tarikan trakea dan tegangnya otot-
otot skalenus.80,81
Gambaran Radiologi
Pada umumnya hasilnya normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut umumnya
dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain seperti obstruksi saluran napas dan
bila ada kecurigaan adanya proses patologi di paru atau adanya komplikasi asma
seperti pneumothorax, pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia, dan lain-
lain. Kadang didapatkan gambaran air trapping, diafragma datar karena
hiperinflasi, jantung mengecil dan lapangan paru yang hiperluscen.82
60
NORMAL ASMA
Gambar 1. Foto Thorax Posterior-Anterior pada pasien sehat dan yang menderita asma. Pada
penderita asma, diafragma mendatar karena hiperinflasi83
61
Mekonium Aspirasi
Definisi
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang
diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran pernafasan
bayi. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu penyebab yang
paling sering menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi baru lahir aterm
maupun post-term. Kandungan mekonium antara lain adalah sekresi
gastrointestinal, hepar, dan pancreas janin, debris seluler, cairan amnion, serta
lanugo.84
Diagnosis85
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keadaan berikut:
Sebelum bayi lahir, alat pemantau janin menunjukkan bradikardia (denyut
jantung yang lambat)
Ketika lahir, cairan ketuban mengandung mekonium (berwarna kehijauan)
Bayi memiliki nilai Apgar yang rendah.
Dengan bantuan laringoskopi, pita suara tampak berwana kehijauan.
Dengan bantuan stetoskop, terdengar suara pernafasan yang abnormal
(ronki kasar).
62
Pemeriksaan lainnya yang biasanya dilakukan: (1) Analisa gas darah
(menunjukkan kadar pH yang rendah, penurunan pO2 dan peningkatan
pCO2); (2) Rontgen dada (menunjukkan adanya bercakan di paru-paru).
Pemeriksaan Radiologis86
Radiografi dada diperlukan untuk hal-hal berikut:
Memastikan cakupan kelainan intratorakal
Mengidentifikasi area atelektasis dan sindroma blokade udara
Memastikan posisi yang tepat untuk intubasi endotrakeal dan kateter
umbilikalis
Nantinya, pada kasus SAM, setelah kondisi bayi cukup stabil, pemeriksaan
radiologis otak seperti MRI, CT scan, atau USG cranial, diindikasikan jika
pemeriksaan neurologis bayi menunjukkan adanya kelainan. Ekokardiografi perlu
dilakukan pada kasus-kasus berat seperti distress pernafasan yang berkepanjangan
untuk mengevaluasi fungsi jantung pada persistent pulmonary hypertension of the
newborn (PPHN) dan masalah kongenital kardiovaskular.
Radiografi dada menunjukkan hiperinflasi dengan perselubungan yang
merata. Hasil temuan menunjukkan area atelectasis dengan area udara
terperangkap. Kebocoran udara sering terjadi menyebabkan terjadinya
pneumothoraks, pneumomediastinum, pneumopericardium, dan/atau pulmonary
interstitial emphysema. Efusi pleura juga bisa terjadi.86
63
Gambar 2. Radiografi seri pada bayi baru lahir dengan aspirasi mekonium tanpa komplikasi.
Gambaran radiologis menunjukkan perselubungan perihilar pada paru, yang lebih berat pada
daerah kanan berbanding kiri.86
64
Gambar 4. Gambaran radiologis follow-up pada pasien diatas. Hasil didapatkan setelah
memasukkan bilateral thoracostomy tubes pada pneumotoraks dan menunjukkan
pneumoperikardium (panah) and gambaran yang sangat luscent dari paru. Hasil menunjukkan
pada pasien ini terjadi pulmonary interstitial emphysema.86
65
Radiografi Dada Bayi dengan SAM
Gambar 6. Radiografi dada SAM. A). Infiltrat linear sedang, menandakan aspirasi mekonium
encer dalam jumlah kecil. B). Infiltrat linear bilateral dan tidak merata, menandakan aspirasi
mekonium encer dalam jumlah sedang. C). Infiltrasi menyeluruh pada lapang paru yang tersebar
tidak merata, menandakan aspirasi mekonium encer dalam jumlah yang lebih besar. D).
Atelektasis sebagian lobus kiri atas dengan hiperaerasi paru kanan, menandakan aspirasi
mekonium partikel besar dan kental. Bayi sering mengalami kegagalan perkembangan pernapasan
dan membutuhkan terapi pernapasan yang luas. 87
66
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell R.S. Dinding Thorax. Dalam Anatomi Klinik Bagian ke Satu.
Jakarta: EGC, 1998.
2. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II.
Jakarta: EGC.
3. Azizah S, 2009. Atelektasis. Jakarta.
4. Price, Sylvia A, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
5. Rasad, S. 2000. Radiologi Diagnostik. FKUI. Jakarta.
6. Urgent Fiberoptic Bronchoscopy for Diagnostic and Treatment of The
Lung Atelectasis. Anezteziol Reanimatol. 2013 Nov-Dec. 51-4.
7. Craven J. The thoracic inlet and first rib. Anaesth Intensive Care Med
8;12:4978.
8. Howell NJ, Ranasinghe AM, Graham TR. Management of rib and
sternal fractures. Trauma 2005;7:4754.
9. Weinberg JA, Croce MA. Chest wall injury. In: Flint L, JW Meredith,
CW Schwab, Trunkey DD, LW Rue, PA Taheri (eds). Trauma:
Contemporary principles and therapy (1st edn). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins 2008:35860
10. Shirley PJ. Trauma and critical care III: chest trauma. Trauma
2005;7:13342.
11. Casali C, Fontana G, Morandi U. Surgical stabilization of severe flail chest
[Online]. 25July 2006. Available from: URL: http://www.ctsnet.org/
sections/clinicalresources/thoracic/expert_tech-24.html
12. Henry MM, Thompson JN. Clinical surgery. Edisi 3. Philadelphia:
Elsevier Saunders,2012.
13. Mahoozi H, Volmerig J, Hecker E. Modern Management of traumatik
Hemothorax. Journal of Trauma and Treatment., 2016.
14. Sepesi B, Raymond DP, Peters JH: Esophageal perforation: surgical,
endoscopic and medical management strategies. Curr Opin Gastroenterol
2010, 26:379-383.
67
15. Abbas G, Schuchert MJ, Pettiford BL, Pennathur A, Landreneau J,
Luketich JD, Landreneau RJ: Contemporaneous management of
esophageal perforation. Surgery 2009, 146:749-755, discussion 755-746.
16. Skinner DB, Little AG, DeMeester TR: Management of esophageal
perforation. Am J Surg 1980, 139:760-764.
17. Ryom P, Ravn JB, Penninga L, Schmidt S, Iversen MG, Skov-Olsen P,
Kehlet H: Aetiology, treatment and mortality after oesophageal
perforation in Denmark. Dan Med Bull 2011, 58:A4267.
18. Bhatia P, Fortin D, Inculet RI, Malthaner RA: Current concepts in the
management of esophageal perforations: a twenty-seven year Canadian
experience. Ann Thorac Surg 2011, 92:209-215.
19. Vidarsdottir H, Blondal S, Alfredsson H, Geirsson A, Gudbjartsson T:
Oesophageal perforations in Iceland: a whole population study on
incidence, aetiology and surgical outcome. Thorac Cardiovasc Surg 2010,
58:476-480.
20. Onat S, Ulku R, Cigdem KM, Avci A, Ozcelik C: Factors affecting the
outcome of surgically treated non-iatrogenic traumatic cervical
esophageal perforation: 28 years experience at a single center. J
Cardiothorac Surg 2010, 5:46.
21. Hermansson M, Johansson J, Gudbjartsson T, Hambreus G, Jonsson P,
Lillo- Gil R, Smedh U, Zilling T: Esophageal perforation in South of
Sweden: results of surgical treatment in 125 consecutive patients. BMC
Surg 2010, 10:31. Esophagus 2009, 22:374-380.
22. Byard RW: Esophageal causes of sudden and unexpected death. J
Forensic Sci 2006, 51:390-395.
23. Sanchez-Pernaute A, Aguirre EP, Talavera P, Valladares LD, de la Serna
JP, Mantilla CS, de Leon AR, Torres A: Laparoscopic approach to
esophageal perforation secondary to pneumatic dilation for achalasia.
Surg Endosc 2009, 23:1106-1109.
24. Sreedharan L, Lakshmanan P, Shenfine J, Gibson MJ, Griffin SM:
Thoracic vertebral osteomyelitis secondary to chronic esophageal
perforation. Spine J 2009, 9:e1-5.
68
25. Wolfson D, Barkin JS: Treatment of Boerhaaves Syndrome. Curr Treat
Options Gastroenterol 2007, 10:71-77.
26. Riffat F, Cheng A: Pediatric caustic ingestion: 50 consecutive cases and a
review of the literature. Dis Esophagus 2009, 22:89-94.
27. Rauber-Luthy C, Kupferschmidt H: Household chemicals: management of
intoxication and antidotes. EXS 2010, 100:339-363.
28. Mackler SA: Spontaneous rupture of the esophagus; an experimental and
clinical study. Surg Gynecol Obstet 1952, 95:345-356.
29. Vial CM, Whyte RI: Boerhaaves syndrome: diagnosis and treatment.
Surg Clin North Am 2005, 85:515-524, ix.
30. Sajith A, ODonohue B, Roth RM, Khan RA: CT scan findings in
oesophagogastric perforation after out of hospital cardiopulmonary
resuscitation. Emerg Med J 2008, 25:115-116.
31. Exarhos DN, Malagari K, Tsatalou EG, Benakis SV, Peppas C, Kotanidou
A, Chondros D, Roussos C: Acute mediastinitis: spectrum of computed
tomography findings. Eur Radiol 2005, 15:1569-1574.
32. Juang D, Braverman C, Eagle K.Cardiology patient pages: Aortic
dissection. Circulation [Internet].2008 [cited 2016 July 18];118:50710.
Available from: http://circ.ahajournals.org/content/118/14/e507.
33. Braverman AC. Diseases of the aorta. In: Mann DL, Zipes DP, Libby P,
Bonow RO, editors. Braunwalds heart disease: A textbook of
cardiovascular medicine. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 1277-
311.
34. Renati S, Creager MA. Diseases of the peripheral vasculature. In: Lilly LS,
editors. Pathophysiology of heart disease: A collaborative project of
medical students and faculty. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2016. p. 350-72
35. Ratib K, Bhatia G, Uren N, Nolan J. Acute aortic syndromes. Emergency
cardiology: An evidence-based guide to acute cardiac problems. 2nd ed.
London: Hodder Education; 2010. p. 149-66.
36. Pape LA, Awais M, Woznicki EM, Suzuki T, Trimarchi S, Evangelista A,
et al. Presentation, diagnosis, and outcomes of acute aortic dissection: 17-
69
year trends from the international registry of acute aortic dissection. J Am
Coll Cardiol [Internet]. 2015 [cited 2016 July 18];66:350-8. Available
from: http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/934243/05029.
37. Ahmad GF, Lone H, Lone GN, Wani MH, Singh S, Dar AM, et al. Lung
Contusion: A Clinico-Pathological Entity with Unpredictable Clinical
Course. Bull Emerg Trauma.2013; 1(1):7-16.
38. Cobanoglu U, Melek M, Edirne Y. Chest radiography diagnosis of
pulmonary contusion is associated with increased morbidity and mortality.
Ind J Thorac Cardiovasc Surg 2010; 26: 24-29.
39. FK UNS. Kontusio paru. Available from URL: http://www.bedahfkuns-
elearning.com/learning-system/file.php Accessed September 29, 2017.
40. Grainger RG, Allison DJ, Adam A. Pneumomediastinum. In: Diagnostic
Radiology a Text Book of Medical Imaging. 5th edition. Churchil
Livingstone; 2008. pp 554.
41. Sutton D. Pneumomediastinum. In: Text Book of Radiology and Imaging.
Volume I, 7th edition. Churchill Livingstone; 2003. pp 79.
42. Zylak MC, Standen JR, Barnes GR. Pneumomediastinum Revisited.
Radiology RSNA; 20(4): 1043-57.
43. Hansell DM, Lynch DA, McAdam P. Imaging Disease of the Chest. 5th
edition. USA: Mosby; 2010. pp 939-41.
44. Webb RW, Higgins CB. Mechanical Ventilation and Pulmonary
Barotrauma. In: Thoracic Imaging Pulmonary and Cardiovascular
Radiology. San Fransisco: Lippincott Williams; 2003. pp 346-7.
45. Herring W. Pneumomediastinum and Subcutaneus Emphysema. In:
Learning Radiology Recognizing The Basic. 2nd edition. Philadelphia:
Elsevier Health Sciences: 2012. pp 64-7.
46. Burgener FA, Kormano M. Pneumomediastinum. In: Differential
Diagnosis in Conventional Radiology. 3rd edition. New York: Thieme;
2008. pp 460-1.
47. Flatman S, Morrison E, Elahi M. Spontaneus Pneumomediastinum
Associated with sex. Journal of Radiology Cases Report. 2010; 4(4):
25-9.
70
48. Felipe M, Yung C, Joseph G, Rahul R. Spontaneus Pneumomediastinum.
Applied Radiology Journals. 2008; 37(4): 40-4.
49. Bejvan SM, Godwin JD. Pneumomediastinum: Old signs and New Signs.
AJR. 1996; 166: 1041-8.
50. Agarwal PP. The Ring around the Artery Sign. Radiology RSNA. 2006;
241(3): 943-4.
51. Lilard L, Richard J, Parker A. The Extrapleural Air Sign in
Pneumomediastinum. Radiology RSNA. 1965; 85(6): 1093-8.
52. Sinha R, Naclerios V Sign. Radiology RSNA. 2007; 245(1): 296-7.
53. Murtala B. Radiologi trauma dan Emergensi. IPB Press, jakarta. 2013, hal
43-44
54. Schwartz S.Intisari Prinsip Prinsip Ilmu Bedah Edisi 6, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2002, hal. 390 93.
55. Congenital Diaphragmatic Hernia, eMedicine, available from :
URL: http://www.emedicine.com/ped/topic2603.htm
56. Killeen KL, Shanmuganathan K, Mirvis SE. Imaging of traumatic
diaphragmatic injuries. Semin Ultrasound, CT, MR. 2002 Apr; 23(2): 184-
92.
57. Iochum S, Ludig T, Watter F, Sebbag H, Grosdidier G, Blum AG. Imaging
of diaphragmatic injury: a diagnostic challenge? Radiographics 2002 Oct;
22 Spec No: S103-16.
58. Bartlett JG. Aspiration pneumonia in adults. Updated on July 6, 2015.
Available from: www.uptodate.com. Downloaded on April 10, 2016.
59. Swaminathan. Aspiration pneumonitis and pneumonia. Updated on April
02, 2015. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/296198.
Downloaded on September 28, 2017.
60. Martinez-Ramirez D, Almeida L, Giugni JC, et al. Rate of aspiration
pneumonia in hospitalized parkinsons disease: a cross-sectional study.
BMC.2015;15(104):1-6.
61. Tomita S, Oeda T, Umemura A, et al. Impact of aspiration pneumonia on
the clinical course of progressive supranucluar palsy: a retrospective
cohort study. Plosone.2015.DOI:10.137/journal.pone.0135823. p.1-11.
71
62. Teramoto S. Clinical significance of aspiration pneumonia and diffuse
aspiration bronchiolitis in the elderly. J Gerontol Geriat Res.2014;3(1):1-6.
63. Cotton Robin. Foreign Body Aspiration. Dalam: Kendig Edwin L,
penyunting. Kendigs Disorders of the Respiratory Tract in Children.
Edisi ke-6. Philadelphia: WB Saunders Co.;1998. h.601-7.
64. Junizaf, MH. Benda Asing di Saluran Nafas. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Ketujuh Cetakan Ketiga.
Jakarta: Badan Penerbit FK UI; 2014:p237-243.
65. Kam, Jennifer C., et al. 2013. Foreign Body Aspiration Presenting with
Asthma Like Symptoms. Hindawi Publishing Corporation. USA.
66. Flint, P.W. 2010. Cummings Otolaryngology - Head and Neck Surgery E-
Book, 5th Edition. Mosby. Philadelphia. p1240-1250.
67. Fitri, Fachzi, M.Rusli, Pulungan. 2012. Ektraksi Benda Asing (Kacang
Tanah) Di Bronkus Dengan Bronkoskop Kaku. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
/ RSUP dr. M. Djamil Padang. Padang.
68. Kose, Ataman, et al. 2014. Case Report: Tracheobronchial Foreign Body
Aspiration: Dental Prosthesis. Hindawi Publishing Corporation. Turki.
69. Upreti, L., Natasha, Gupta. 2015. Imaging for Diagnosis of Foreign Body
Aspiration in Children. Department of Radiology and Imaging, University
College of Medical Sciences and Guru Tegh Bahadur Hospital, Delhi,
India. Journal of Indian Pediatrics, vol 52.
70. Zissin, Rivka, et al. 2001. CT Findings of the Chest in Adults with
Aspirated Foreign Bodies. Europe Radiology, 11:606-611. Springer-
Verlag. Tel Aviv, Israel.
71. Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, SetiatiS,editor. BukuAjarIlmuPenyakitDalam
5th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-3.
72. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-
96.
72
73. Behrman RE, Vaughan VC. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Nelson WE,
Ed. Edisi ke-12. Bagian ke-2. EGC. Jakarta. 1993; 651-52.
74. Pasquate et al. Plasma Surfactant B : A Novel Biomarker in Chronic Heart
Failure. Circulation 2004; 110: 1091-6.
75. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation in Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. N Engl J Med 2008; 359: 142-51.
76. Simadibrata M, Setiati S, Alwi, Maryantono, Gani RA, Mansjoer.
Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Pusat
Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
2000; 208
77. Koga dan Fujimoto. Kerleys A, B and C Line. N Engl J M 2009;360:15.
78. Soewondo A, Amin Z. Edema Paru.Dalam: Soeparman, Sukaton U,
Waspadji S, et al, Ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 1998; 767-72.
79. ESC. 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Acute and
Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal. 2012;33:1787-47.
73
87. Hermansen L, Kevin L. Respiratory Distress in the Newborn. Am Fam
Physician. 2007 Oct 1;76(7):987-994. http://www.aafp.org/afp/2007/1001/
p987.html.
74