Anda di halaman 1dari 26

PATOFISIOLOGI

TRAUMA DADA
FLAIL CHEST
Flail chest adalah area toraks yang melayang,
disebabkan adanya fraktur iga multipel
berturutan lebih atau sama dengan 3 iga,
dan memiliki garis fraktur lebih atau sama
dengan 2 pada tiap iganya.
Akibatnya adalah terbentuk area melayang
atau flail yang akan bergerak
paradoksal dari gerakan mekanik pernapasan
dinding toraks. Area tersebut akan
bergerak masuk pada saat inspirasi dan
bergerak keluar pada saat ekspirasi.
A. Karakteristik (Brunicardi, 2006)
1. Gerakan "paradoksal" dari (segmen)
dinding toraks saat inspirasi/ekspirasi; tidak
terlihat pada pasien dalam ventilator
2. Menunjukkan trauma hebat
3. Biasanya selalu disertai trauma pada organ
lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai
akibat adanya ineffective air movement,
yang seringkali diperberat oleh edema atau
kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan
flail chest tidak dibenarkan melakukan
tindakan fiksasi pada daerah flail secara
eksterna, seperti melakukan splint atau
bandage yang melingkari toraks, oleh karena
akan mengurangi gerakan mekanik
pernapasan secara keseluruhan (Brunicardi,
2006).
TENSION PNEUMOTHORAKS
TP adalah adanya udara pada rongga pleura. TP berkaitan
dengan fraktur kosta laserasi dari pleura parietalis dan
visceralis.
Robekan dari pleura visceralis dan parenkim paru dapat
menyebabkan pneumothoraks, sedangkan robekan dari pleura
parietalis dapat menyebabkan
terbentuknya emfisema subkutis. Pneumothoraks pada trauma
tumpul thoraks terjadi karena pada saat terjadinya kompresi
dada tiba-tiba menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
intraalveolar yang dapat menyebabkan ruptur alveolus.

TPterjadi ketika udara dalam rongga pleura memiliki tekanan


yang lebih tinggi daripadaudaradalamparu sebelahnya.
Udara yang keluar ke rongga interstitial ke pleura
visceralis ke mediastinum menyebabkan
pneumothoraks atau emfisema mediastinum. Selain
itu pneumothoraks juga dapat terjadi ketika adanya
peningkatan tekanan tracheobronchial tree, dimana
pada saat glotis tertutup menyebabkan peningkatan
tekanan terutama pada bivurcatio trachea dan atau
bronchial tree tempat dimana bronkus lobaris
bercabang, sehingga ruptur dari trakea atau
bronkus dapat terjadi. Gejala yang paling umum
pada pneumothoraks adalah nyeri yang diikuti oleh
dispneu (Milisavljevic, et al., 2012).
HEMATOTORAKS
Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat
trauma tumpul atau tembus pada toraks. Sumber
perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis
atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa
rongga hemotoraks dapat menampung 3 liter cairan,
sehingga pasien hematotoraks dapat terjadi syok
hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya
kegagalan sirkulasi, tanpa terlihat adanya
perdarahan yang nyata oleh karena perdarahan
masif yang terjadi, yang terkumpul di dalam rongga
toraks.
Dibagi menjadi hemotorak ringan bila jumlah
darah sampai 300 ml saja. Hemotorak sedang
bila jumlah darah sampai 800 ml dan
hemotorak berat bila jumlah darah melebihi
800 ml. Gejal utamanya adalah syok
hipovolemik .
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks
adalah merupakan keadaan yang paling
sering dijumpai pada penderita trauma
toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan
trauma toraks didapati adanya darah pada
rongga pleura.
Bila darah pada rongga pleura mencapai 1500
ml atau lebih akan menyebabkan kompresi
pada paru ipsilateral dan dapat
mengakibatkan hipoksia. Perdarahan masif
pada hemotoraks yang disertai hipoksia
karena hipoventilasi dapat mempercepat
kematian penderita.
CONTUSIO PARU
Kontusio paru adalah adanya lesi yang secara
anatomi dan fisiologi dari paru yang
mengikuti trauma tumpul, cedera kompresi
dan dekompresi pada dinding toraks. Adanya
penurunan integritas kapiler alveoli
menyebabkan paru-paru mengalami
perdarahan dan edema dari alveoli dan
adanya ruang interstitial (Trickle et al,
1973).

Merupakan faktor resiko terjadinya ARDS.


PATOFISIOLOGI
Kontusio paru merupakan hasil dari konsolidasi
dan kolapsnya alveolar sebagai akibat
perdarahan dan oedema interstitial.Wagner et
al dalam Bruner et al, 2011 menyebutkan ada 4
kemungkinan dan tipe dari kontusio paru untuk
membantu mengerti resiko dan penyebab dari
proses ini.
1. Tipe I: Melalui kompresi langsung dinding
toraks terhadap parenkim paru. Ini
merupakan penyebab terbesar kontusio paru.
2. Tipe II: Melalui tekanan organ paru terhadap
tulang belakang.
3. Tipe III: Adanya lesi melalui patah tulang
kosta yang merupakan trauma langsung pada
paru.
4. Tipe IV: Terjadinya adhesi pleura paru-paru
karena trauma toraks yang merusak parenkim
paru-paru.
Paru-paru mengalami cedera karena tekanan
langsung dengan tulang kosta. Bila terjadi
patah tulang kosta atau flail chest, akan
menimbulkan trauma pada paru-paru sekitar 5
% - 13 % meskipun tanpa adanya fraktur tulang
kosta. Tekanan mekanis dari luar dapat
menyebabkan laserasi atau rusaknya parenkim
paru. Ketika trauma tumpul toraks, terjadi
fase edema menjadi edema interstitial dan
muncul infiltrate pada 1-2 jam sesudah
cedera. Rongga udara menjadi penuh dengan
darah, penanda inflamasi dan debris jaringan
yang meningkatkan permeabilitas alveolar dan
kapiler dengan menurunkan produksi surfaktan
(Bruner et al, 2011).
24-48 jam sesudah terjadinya trauma, muncul
kolap alveolar dan konsolidasi yang cepat
melalui ekstravasasi dari darah kedalam
alveoli. Konsolidasi paru dapat meningkatkan
tekanan pembuluh darah yang menyebabkan
hipertensi pulmonal dan retensi dari darah
(Bruner et al, 2011). Ketidaksesuaian
perfusi/ventilasi menurunkan pertukaran gas
dan penurunan compliance paru sehingga
secara klinis muncul gejala seperti hypoxia,
hypercarbia, tachypnea, hemoptysis dan
wheezing (Karmakar et al, 2002).
Mekanisme konsolidasi, ketidaksesuaian perfusi
dengan ventilasi dapat menjadi predisposisi
pasien dengan kontusio paru menjadi
pneumonia dan ARDS. Terjadinya
vasokontriksi paru dan hipertensi pulmonal
merupakan mekanisme proteksi yang terjadi
sebagai respon terjadinya kontusio paru.
Darah mengalir menuju area dengan
oksigenasi yang lebih baik. Hipoksia
merupakan tanda kontusio paru dan menjadi
tanda awal adanya hipoinflasi dan atelectasis
sebagai bagian meluasnya kerusakan
pertukaran gas. Hipoksia selalu memburuk 48
jam sesudah trauma (Ganie et al, 2013).
Tanda pertama dari kontusio paru pada foto
polos toraks adalah fokal atau diffuse
kekeruhan pada paru-paru dan muncul 6 jam
pertama tetapi mungkin membutuhkan waktu
24-48 jam untuk menunjukkan konsolidasi
maksimal. Selama waktu tersebut, fase
respon inflamasi mengalir kedalam cedara
seluler dan subseluler dengan aktivasi dari
koagulan, kaskade komplemen dan
mengeluarkan mediator inflamasi seperti
cytokines, chemokines dan radikal bebas.
Fase akut inflamasi ini dipercaya sebagai
penyebab morbiditas dan mortalitas dengan
kontusio paru (Bruner et al, 2011; Daurat et
al 2015)
Pasien dengan trauma paru dapat menyebabkan
kerusakan pada saluran nafas, alveoli, pembuluh
kapiler, kerusakan pada sel endothelial, sel epithel,
meningkatkan permeabilitas kapiler paru yang
dapat menimbulkan edema pada alveolar. Hal ini
menyebabkan penurunan oksigenasi, sumbatan
jalan nafas disebabkan karena darah pada bronkus
masuk kedalam jaringan yang normal, terjadi
bronkospasme, jalan nafas menyempit, rasio
ventilasi dan perfusi tidak seimbang, penurunan
compliance paru dan kapasitas tidak efektif serta
hypoxemia. Semua ini menambah keparahan dari
terjadinya edema pada paru. Pada saat yang sama
produksi mukus meningkat, kemampuan
pengenceran menurun, seluruh surfaktan karena
cedera alveolar tidak aktif sehingga menimbulkan
paru tidak berfungsi dengan baik (Jin et al, 2014).
RUPTUR DIAFRAGMA
Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya
disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah
toraks inferior atau abdomen atas. Trauma
tumpul di daerah toraks inferior akan
mengakibatkan peningkatan tekanan intra
abdominal yang diteruskan ke diafragma. Ruptur
terjadi bila diafragma tidak dapat menahan
tekanan tersebut. Dapat pula terjadi ruptur
diafragma akibat trauma tembus pada daerah
toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus
juga akan melukai organ-organ intratoraks atau
intraabdominal.
Ruptur diafragma umumnya terjadi di
puncak atau kubah diafragma.
Pada ruptur diafragma akan terjadi herniasi
organ viseral abdomen ke toraks dan dapat
terjadi ruptur ke intra perikardial.
Tanda dan gejala klinis sesak atau
respiratory distress, mual-muntah, tanda-
tanda akut abdomen. Dari pemeriksaan foto
toraks dengan NGT terpasang dijumpai
pendorongan mediastinum kontralateral dan
terlihat adanya organ viseral di toraks.
Sudut costophrenicus
menghilang.
Tampak pleural
effusi.
Tampak gambaran
gaster di
hemithoraks kiri.
Tampak jantung
bergeser kehemi
thoraks kanan.
TRAUMA JANTUNG
Kecurigaan terjadinya suatu trauma jantung
dapat dinilai apabila dijumpai:
1. Trauma tumpul di daerah anterior
2. Fraktur pada sternum
3. Trauma tembus atau tajam pada area
prekordial yaitu parasternal kanan, sela
iga II kiri, garis mid-klavikula kiri, arkus kosta
kiri .
Diagnostik dapat ditegakkan dari pemerikasan
EKG, pemeriksaan enzim jantung atau CK-
CKMB, Troponin T. Pada foto toraks dijumpai
pembesaran mediastinum, gambaran
doublecontour pada mediastinum yang
menunjukkan kecurigaan efusi pericardium.
Dapat juga dilakukan Echocardiography
untuk
memastikan adanya suatu effusi atau
tamponade jantung.
Penatalaksanaan trauma jantung dapat dilakukan
apabila dijumpai:
1. Luka tembus pada area prekordial merupakan
indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi
emergency.
2. Tamponade dengan riwayat trauma toraks
merupakan indikasi dilakukannya torakotomi
eksplorasi.
3. Kecurigaan trauma jantung yang mengharuskan
perawatan dengan observasi ketat untuk
mengetahui adanya tamponade.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai