Anda di halaman 1dari 8

Dampak Ekses dan Defisiensi Vitamin pada Tubuh

Shedy Maharani Nariswari, 1506758203, Mahasiswa FIK UI 2015

Tubuh memerlukan nutrisi untuk menghasilkan energi, memelihara sistem


tubuh, dan untuk menyimpan cadangan zat yang dapat digunakan. Nutrisi terdiri
dari makronutrien dan mikronutrien. Salah satu mikronutrien ialah vitamin yang
merupakan nutrien organik dan esensial yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah
sedikit untuk memelihara pertumbuhan dan bermetabolisme. Vitamin dibagi
menjadi dua kelompok, antara lain: 1) Fat-soluble vitamins (vitamin A, D, E, dan
K) dan 2) Water-soluble vitamins (vitamin B dan C). Asupan vitamin harus dalam
takaran yang sesuai karena kelebihan dan kekurangan akan menyebabkan gangguan
pada sistem tubuh (Mahan & Stump 2008; Tortora & Derrickson, 2012). Dalam
Lembar Tugas Mandiri (LTM) ini akan dijelaskan mengenai dosis serta gejala,
asesmen, dan dampak baik ekses maupun defisiensi masing-masing vitamin.
Vitamin A merupakan sebuah nutrient-term untuk retinol dan komponen-
komponen lain yang aktivitas biologinya terkait. Secara umum, bentuk vitamin A
yang dapat dikonsumsi yaitu, retinol dan provitamin A seperti -karoten (Ross,
Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014). Nilai Dietary Reference Intake (DRI)
vitamin A pada orang dewasa yaitu, 900 RAE. Satuan yang digunakan yaitu,
Retinol Activity Equivalent (RAE) yang setara dengan Retinol Equivalent (RE) dan
3,3 kali satuan International Unit (IU). Pada orang dewasa nilai DRI yang
dianjurkan sebesar 900 RAE dapat dipenuhi dengan misalnya, mengonsumsi
mangkok bayam yang telah dimasak (737 RAE) dan sereal oat (150 RAE) (Mahan
& Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014)
Tes biokimia diperlukan untuk mengetahui konsentrasi vitamin A dalam
tubuh. Tes biokimia ini dapat menentukan kondisi pasien normal, defisiensi, atau
ekses. Tes ini dilakukan dengan mengidentifikasi konsentrasi vitamin A yang
terdapat dalam plasma dengan nilai kurang dari 0.35mol/La berarti defisiensi dan
nilai lebih dari 3 0.35mol/La artinya kelebihan (Mahan & Stump, 2008).
Defisiensi vitamin A biasanya disebabkan oleh intake yang tidak adekuat,
konsumsi lemak yang kurang, dan insufisiensi fungsi empedu dan pankreas. Gejala
awal yang timbul yaitu, night blindness (nyctalopia) yang merupakan gangguan

1
pada adaptasi gelap karena kegagalan sintesis rhodopsin. Defisiensi vitamin A juga
mengakibatkan xeroftalmia yaitu, kondisi atrofi kelenjar periokular sehingga
produksi mukus berkurang dan mata menjadi kering, hiperkeratosis konjungtiva,
serta terdapat Bitots spots (akumulasi sel deskuamata berwarna putih). Kondisi-
kondisi tersebut akhirnya menyebabkan kebutaan. Akibat defisiensi vitamin A
lainnya, antara lain: 1) Menurunnya jumlah dan kemampuan mitosis sel T
(imunokompeten); 2) Terjadinya infeksi berbagai sistem tubuh karena hilangnya
integritas membran mukus; 3) Phynoderma (hiperkertosis folikel) sehingga kulit
menjadi kering dan kasar. Defisiensi vitamin A dapat diatasi dengan pemberian
vitamin A dalam dosis besar secara oral (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan &
Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014).
Sebaliknya, kondisi hipervitaminosis A terjadi karena konsumsi berlebihan
biasanya dalam bentuk suplemen, food faddism, atau self medication. Gejala yang
mengindikasikan hipervitaminosis A yaitu, sakit kepala dan mual karena
meningkatnya tekanan intrakranial. Dampak hipervitaminosis A lainnya yaitu,
teratogenesis, iritasi kulit, nyeri sendi, anoreksia, alopesia, dan gangguan pada liver
(Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014).
Vitamin larut lemak selanjutnya yaitu, vitamin D (calciferol). Dosis vitamin D
yang diperbolehkan untuk konsumsi harian yakni 600 IU. Kadar vitamin D yang
kurang dari 600 IU akan menyebabkan hipovitaminosis D yang risikonya lebih
besar pada bayi karena yang hanya mengonsumsi ASI, populasi di dataran tinggi,
dan orang yang memiliki BMI tinggi. Sementara dosis vitamin D yang ditoleransi
sebanyak 2000 IU per hari. Apabila melebihi dosis tersebut maka, muncul reaksi
intoksikasi yang ditandai dengan hiperkalsemia dan hiperfosfatemia serta terjadi
kalsifikasi jaringan lunak (Mahan & Stump, 2008).
Beberapa penyakit terjadi karena tidak terpenuhinya vitamin D dalam tubuh.
Pertama, riketsia yang terjadi pada bayi dan anak-anak. Gejala riketsia yaitu,
kejang-kejang, pertumbuhan melambat, dan gagalnya mineralisasi tulang sehingga
tulang belakang melengkung dan struktur tulang ekstremitas abnormal. Kedua,
osteomalasia yang terjadi pada orang dewasa ditandai dengan penurunan massa
jenis tulang dan adanya pseudofraktur. Hal ini dapat ditangani dengan paparan sinar
matahari 15-20 menit per hari dan konsumsi vitamin D3 sebanyak 1000-1250 IU

2
per hari. Ketiga, osteoporosis yang berkaitan dengan penuaan dan penurunan
hormon estrogen (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross,
Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Pembahasan selanjutnya yaitu, vitamin E yang meliputi dua kelas yang secara
biologi aktif terdiri dari tocopherol dan tocotrienol. Nilai intake vitamin E yang
dibutuhkan tubuh setiap harinya sebanyak 15 mg. Konsentrasi vitamin E dalam
tubuh dapat dikaji dengan mengetahui status -tocoferol dalam plasma yang nilai
normalnya ialah 20 mol/L. Angka status -tocoferol yang kurang dari 5 g/ml
dalam total lemak tubuh menandai kondisi defisiensi vitamin E. Defisiensi vitamin
E sebenarnya jarang terjadi namun, dengan beberapa keadaan seperti intake yang
kurang, abnormalitas gen, dan sindrom malabsorbsi defisiensi vitamin E dapat
terjadi. Manifestasi yang muncul yaitu, anemia hemolitik, penyakit degeneratif
neurologi, hilangnya refleks tendon, gangguan keseimbangan dan koordinasi tubuh,
kelemahan otot, miopati, dan hiporefleksia (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan
& Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora &
Derrickson, 2012).
Kemudian, hipervitaminosis E terjadi apabila seseorang mengonsumsi vitamin
E lebih dari 1000 mg per hari. Walaupun tidak bersifat toksis, kelebihan vitamin E
akan berdampak pada penurunan kemampuan tubuh untuk menggunakan vitamin
larut lemak lainnya. Misalnya, terjadi kerusakan mineralisasi tulang karena tubuh
tidak dapat menyerap vitamin D. Dampak lainnya yaitu, kecenderungan untuk
mengalami epiktasis dan distres saluran gastrointestinal yang ditandai dengan mual,
diare, dan flatulens (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross,
Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Vitamin terakhir yang termasuk dalam vitamin larut lemak ialah vitamin K.
Vitamin ini terdiri dari tiga tipe yaitu, filoquinon, menoquinon, dan menodion. Nilai
Adequate Intake (AI) vitamin K sebanyak 120 g per hari untuk laki-laki dan 90 g
per hari untuk wanita. Defisiensi vitamin K sangat jarang terjadi jika terjadi akan
menimbulkan gejala berupa hemoragi karena hipoprothrombinemia. Hal ini
ditandai dengan durasi pembekuan darah yang lama yang diketahui dengan
asesmen prothrombine time. Nilai normal prothrombine time yaitu, 11-14 detik dan
apabila lebih dari 25 detik artinya terjadi defisiensi vitamin K. Sementara itu,

3
kondisi kelebihan vitamin K tidak akan menimbulkan toksisitas namun, jika
jumlahnya sangat berlebihan akan menyebabkan kerusakan hati. Pada kondisi
kelebihan menadion pada bayi akan menimbulkan anemia hemolitik dan jaundice.
Berikutnya, akan dibahas kelompok vitamin B yang terdiri dari tiamin,
riboflavin, niasin, piridoksin, sianokobalamin, asam pentatonik, asam folat, dan
biotin. DRI tiamin yaitu, 1.2 mg untuk laki-laki dan 1.1 mg untuk wanita. Hal ini
dapat dikaji melalui tes aktivasi transketolase eritrosit yang normal jika nilainya 90-
160 g. Defisiensi tiamin dapat terjadi jika intake tidak adekuat dan terjadi
penurunan absorpsi dan transport. Dampak defisiensi tiamin, antara lain: 1) Beriberi
yang terdiri dari beriberi kering dengan gejala kelemahan otot, beriberi basah
dengan gejala edema, dan beriberi akut untuk bayi dengan gejala anoreksia; 2)
Enselopati Wernicke yang ditandai dengan optalmoplegia, nystagmus, dan ataksia;
serta 3) Polineuritis karena degenerasi selubung mielin dengan gejela kerusakan
refleks. Sementara kelebihan tiamin dapat terjadi dengan konsumsi seribu kali dari
kebutuhan yang efeknya akan menekan pusat pernapasan (Gropper, Smith, & Groff,
2009; Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014;
Tortora & Derrickson, 2012).
Kelompok vitamin B selanjutnya yaitu, riboflavin atau vitamin B1 dengan DRI
untuk laki-laki sebanyak 1.3 mg/hari dan untuk wanita sebanyak 1.1 mg/hari.
Biasanya kondisi defisiensi riboflavin (ariboflavinosis) bersamaan dengan defisit
nutrisi yang lain. Gejala defisit riboflavin awal yaitu, mata gatal dan photophopia.
Kemudian, empat bulan berikutnya muncul gejala lesi di bibir luar dan sudut mulut.
Hal ini dapat diketahui dengan asesmen aktivitas reduktase eritrosit glutation
dengan Coefficient Activity (CA) normal sebesar 1,4. Sebaliknya, pada kondisi
ekses riboflavin tidak akan muncul reaksi negatif (Gropper, Smith, & Groff, 2009;
Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora
& Derrickson, 2012).
Niasin atau vitamin B3 merupakan kelompok vitamin B yang akan selanjutnya
dibahas. Nilai DRI niasi yaitu, 16 mg per hari untuk laki-laki dan 14 mg per hari
untuk wanita. Kondisi defisit atau ekses dapat diketahui dengan mengidentifikasi
metil nikotinamid dari urin yang nilai normalnya 0,8 mg per hari. Defisiensi niasin
ditandai dengan dermatitis, diare, demensia, dan kematian. Sementara kelebihan

4
niasin biasanya terjadi karena konsumsi obat hiperkolesterolemia. Gejala kelebihan
niasin yaitu, efek vasodilatori berupa pruritus dan kemerahan, mual, cedera liver,
dan hiperurisemia (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross,
Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Asam pantotenik termasuk dalam kelompok vitamin B yang terdistribusi secara
luas di makanan-makanan dengan nilai AI 5mg per hari. Hal ini dapat diidentifikasi
dengan mengetahui nilai urinary panthotenate excretion. Defisiensi terjadi jika
nilai tersebut kurang dari 1 mg per hari dan biasa terjadi di populasi malnutrisi.
Defisiensi asam pantotenik menyebabkan kerusakan sintesis lemak dan produksi
energi ditandai dengan burning feet syndrom. Sindrom ini digambarkan dengan
sensasi terbakar pada kaki yang dapat ditangani dengan pembrian kalsium
pantotenat. Gejala lainnya yaitu, mengalami depresi, kelelahan, dan kelemahan.
Sebaliknya, kondisi ekses asam pantotenik tidak menimbulkan efek hanya diare
pada konsumsi dosis masif yaitu, 10 gram per hari (Gropper, Smith, & Groff, 2009;
Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora
& Derrickson, 2012).
Kelompok vitamin B selanjutnya yaitu, biotin yang merupakan koenzim
esensial untuk konversi asam piruvat menjadi asam oksalesetik. Nilai AI biotin
sebanya 30 g per hari yang dapat dikaji dengan mengetahui nilai urinary biotin
excretion. Nilai yang kurang dari 6 30 g per hari mengindikasikan defisiensi
biotin. Kondisi ini terjadi pada pasien penerima parenteral yang akan menimbulkan
gejala dermatitis, glositis, anoreksia, depresi, letargi, dan halusinasi. Defisiensi
biotin juga dapat terjadi pada pasien gangguan gastrointestinal dengan mekanisme
gangguan absorbsi biotin. Pada kondisi kelebihan biotin tidak menimbulkan efek
apapun (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero,
Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Pembahasan berikutnya yakni mengenai asam folat yang merupakan bentuk
vitamin yang teroksidasi. Kebutuhan diet yang dianjurkan sebanyak 400 g dari
Dietary Folate Equivalent (DFE) per hari. Kebutuhan asam folat yang kurang dari
8 ng/mL berdasarkan hasil asesmen serum asam folat akan mengakibatkan
gangguan biosintesis DNA dan RNA. Hal ini akan menyebabkan penurunan
pembelahan sel yang ditandai dengan kelainan megaloblastic macrocytic anemia.

5
Kelainan tersebut menyebabkan sel darah merah yang tersirkulasi menjadi lebih
sedikit dengan ukuran yang lebih besar namun, tidak matang. Apabila intake lebih
dari 15 mg per hari akan menyebabkan insomnia, malaise, iritabilitas, dan distres
sistem gastrointestinal (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008;
Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Kemudian, akan dibahas mengenai vitamin B6 atau disebut juga dengan
piridoksin yang memiliki vitamer yaitu, pirodoksamin dan piridoksal. Ketiganya
disintesis menjadi pyridridoxal phospate (PLP). Vitamin B6 memiliki nilai RDA
sebanyak 1,3 mg per hari untuk orang dewasa. Kondisi defisiensi dapat diketahui
dengan mengkaji konsentrasi plasma PLP yang kurang dari 20 nmol/L. Akibat
defisiensi vitamin B6, antara lain: 1) Abnormalitas metabolik ditandai dengan
kelemahan dan neuropati perifer; 2) Anemia mikrosistik hipokromik karena
kerusakan sintesis heme; 3) Kerusakan sintesis niasin dari triptofan; dan 4) Gejala
lainnya berupa dermatitis pada mata, hidung, dan mulut. Pada keadaan ekses yaitu,
melebihi dosis yang ditoleransi (100 mg per hari), gejala yang ditimbulkan
neuropati sendori, parathesia, dan gangguan refleks tendon (Gropper, Smith, &
Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler,
2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Kelompok vitamin B terakhir yaitu, vitamin B12 atau kobalamin yang nilai
RDAnya sebanyak 2,4 g per hari. Nilai ini dapat diketahui melalui pengkajian
konsentrasi serum vitamin B12 yang pada kondisi defisit nilainya kurang dari 200
pg/mL. Sama seperti pada defisiensi asam folat, pada defisiensi kobalamin akan
mengakibatkan megaloblastic macrocytic anemia. Kelainan ini terdiri dari tiga
tahapan meliputi tahap 1 ketika penurunan serum vitamin B12, tahap 2 saat terjadi
penurunan konsentrasi vitamin B12 di dalam sel, dan tahap 3 ketika terjadi
penurunan sintesis DNA serta peningkatan serum homosistein dan metilmalonik.
Ketiga tahapan tersebut akhirnya menyebabkan perubahan fungsi dan morfologi sel
darah di sumsum tulang belakang. Gejala yang ditimbulkan yakni palor, kelelahan,
palpitasi, dan shortness of breath (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump,
2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson,
2012). Sementara, akibat hiperkobalamin belum dilaporkan dan digunakan untuk
diagnosis kanker dan leukimia (Andres, Serraj, Zhu & Vermorken, 2013).

6
Vitamin larut air berikutnya ialah vitamin C (asam askorbat) dengan nilai RDA
vitamin C yaitu, 90 mg per hari untuk laki-laki dan 75 mg per hari untuk wanita.
Asesmen yang dapat dilakukan untuk mengetahui kadar vitamin C dalam tubuh
yakni, pengukuran plasma asam askorbat dengan nilai kurang dari 0,2 mg dL berarti
seseorang mengalami defisiensi. Biasanya defisiensi asam askorbat terjadi di
lingkungan dengan populasi malnutrisi, pada pasien kanker kakeksia dan
malabsorpsi, serta pada seorang alkoholisme. Scurvy menandai kondisi kurangnya
vitamin C dalam tubuh dengan gejala gusi berdarah, hemoragi sublingual, gigi
membusuk, dan hiperkeratosis folikel rambut. Hal ini dapat dicegah dengan
pemberian vitamin C sebanyak 60-100 mg secara intrevena (Gropper, Smith, &
Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero, Cousins, Tucker, & Ziegler,
2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Sementara kondisi vitamin C yang berlebih akan mengakibatkan beberapa
manifestasi klinis. Pertama, nyeri abdomen dan diare osmotik karena tingginya
dosis vitamin C tidak terabsorbsi dengan baik. Kedua, nefrolitiasis yang terjadi
karena overdosis vitamin C dimetabolisme menjadi asam oksalat yang merupakan
konstituen batu ginjal. Serta, overabsorbsi zat besi yang berbahaya pada pasien
talasemia (Gropper, Smith, & Groff, 2009; Mahan & Stump, 2008; Ross, Caballero,
Cousins, Tucker, & Ziegler, 2014; Tortora & Derrickson, 2012).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua jenis vitamin.
Pertama, vitamin larut lemak yang terdiri dari vitamin A, D, E, dan K. Kedua,
vitamin larut lemak meliputi vitamin B dan C. Masing-masing vitamin memiliki
nilai RDA/AI/DRI sesuai dengan kebutuhan tubuh. Defisiensi terjadi apabila pada
asesmen konsentrasi vitamin kurang dari kebutuhan tubuh dan kondisi ekses terjadi
sebaliknya. Baik dalam kondisi defisiensi dan ekses akan muncul gejala-gejala pada
sistem tubuh.

7
DAFTAR PUSTAKA

Andres, E., Serraj, K., Zhu, J. & Vermorken, A. (2013). The pathophysiology of
elevated vitamin B12 in clinical practice. QJM: An International Journal of
Medicine. 106 (6), 505515. https://doi.org/10.1093/qjmed/hct051

Gropper, S. S., Smith, J. L. & Groff, J. L. (2009). Advanced nutrition and human
metabolism 5th metabolism. United States of America: Cengage Learning
Education.

Mahan, L.K. & Stump, S.E. (2008). Krauses food and nutrition therapy 12nd
edition. Saint Louis, Missouri: Saunders Elsevier.

Ross, A. C., Caballero, B., Cousins, R. J., Tucker, K. L. & Ziegler, T. R. (2014).
Modern nutrition in health and disease 11th edition. Baltimore: Wolters
Kluwer.

Tortora, G. J. & Derrickson, B. (2012). Principles of anatomy and physiology 13th


edition. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Anda mungkin juga menyukai