Anda di halaman 1dari 34

STATUS PASIEN

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

Nama Mahasiswa : Victhoria Agustha P Dokter Pembimbing : dr.Hery Susanto, Sp.A

NIM : 030.07.262 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. A

Umur : 2 bulan 7 hari

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Suku : Jawa

Alamat : Pagangan RT05 RW02,Dukuh Turi Tegal

Nama Ayah : Tn. D

Umur : 26 tahun

Pekerjaan : Buruh Bangunan

Pendidikan : SMP

Nama Ibu : Ny. N

Umur : 24 tahun

1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SMA

Ruangan : Melati

Tanggal masuk RS: 14 November 2013

DATA DASAR

ANAMNESIS (Alloanamnesis)

Anamnesis dengan orang tua pasien dilakukan pada tanggal 14 April 2013 pukul
14.00 WIB di ruang Melati

Keluhan Utama : Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang

1 hari sebelum datang berobat ke IGD, malam harinya timbul keluhan


panas pada pasien, panas yang dirasakan pasien terus-menerus, panas tidak di
sertai menggigil dan keringat dingin. Keesokan malamnya timbul kejang pada
pasien (10 jam setelah panas timbul).Pasien mengeluh kejang sebanyak 1x tetapi
pada saat kejang anak sudah tidak demam, durasi kejang selama 5 menit,
kejangnya terjadi di seluruh tubuh (kaki dan tangan kaku), mata mendelik ke atas,
mulut terkatup, tidak ada keluar busa dari mulut pasien,bibir tidak biru,sebelum
kejang pasien muntah 5x dari siang.Ibu pasien mengatakan tidak ada penurunan
kesadaran sebelum dan sesudah kejang, pasien tidur setelah kejang lalu menangis.
Ibu pasien kemudian membawa pasien berobat ke IGD

Tidak terdapat keluhan batuk, pilek, sesak, muntah, mimisan, serta gusi
berdarah. BAB tidak cair, warna kuning coklat, masih dalam batas normal. BAK
lancar warna putih kekuningan, tidak disertai darah dan keluhan menangis saat
berkemih. Suhu saat di IGD adalah 38oC. Setelah mendapatkan perawatan di IGD,
kemudian pasien dirawat di ruang melati.

2
Pada perawatan hari itu di ruang Melati, sudah tidak ada keluhan kejang,
panas juga sudah mulai turun. Pada perawatan hari kedua, keluhan kejang juga
tidak timbul, saat pagi hari tidak dirasakan adanya panas, siang harinya keluhan
panas timbul kembali namun panas yang dirasakan tidak setinggi saat sebelum
kejang.

Riwayat Penyakit Dahulu


1 bulan yang lalu pernah timbul keluhan kejang yang serupa. Kejang di
dahului panas tinggi, kejang sebanyak 1x, durasi kejang selama 5 menit,
kejangnya terjadi di seluruh tubuh (kaki dan tangan kaku), tanpa disertai
penurunan kesadaran, anak menangis.Tapi ibu saat itu tidak begitu yakin
anaknya kejang.
Riwayat trauma kepala disangkal
Riwayat Alergi disangkal
Riwayat Asma disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami Kejang demam
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami epilepsy
Riwayat alergi dan asma disangkal

Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Antenatal

Ibu memeriksakan kehamilan di Bidan Puskesmas secara teratur 1x tiap


bulan selama kehamilan. Saat usia 8 bulan, ibu memeriksakan kehamilan setiap 2
minggu. Mendapatkan suntikan TT 2x Tidak pernah menderita penyakit selama
kehamilan, riwayat perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat trauma
selama kehamilan disangkal, riwayat minum obat tanpa resep dokter dan jamu
disangkal. Ibu mengkonsumsi vitamin penambah darah dari Puskesmas.

Kesan: riwayat pemeliharaan prenatal baik.

3
Riwayat Persalinan

Bayi laki-laki lahir dengan umur kehamilan ibu 40 minggu, secara


spontan, ditolong oleh bidan. Bayi lahir langsung menangis keras dengan berat
badan lahir 3000 gram, panjang badan lahir 47 cm, lingkar kepala dan lingkar
dada lahir ibu lupa.

Kesan : Neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan sehat.

Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan postnatal dilakukan di Posyandu dan anak dalam keadaan sehat.

Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak

Pertumbuhan:

Berat badan lahir 3000 gram. Panjang badan lahir 47 cm.

Berat badan sekarang 5,2 kg. Panjang badan 57 cm.

Perkembangan:

senyum : 1 bulan

miring : 2 bulan

Saat ini anak berusia 2 bulan . Belum ditemukan gangguan perkembangan


dalam mental dan emosi. Interaksi dengan orang sekitar baik.

Riwayat Makan dan Minum Anak

Ibu mengaku memberikan ASI eksklusif sejak lahir

Kesan : kualitas makanan baik

4
Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)


BCG 1 bulan - - - - -
DPT/ DT/HB 2 bulan - - - - -
POLIO 1 bulan 2 bulan - - - -
CAMPAK - - - - - -
HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - - -

Kesan: imunisasi dasar belum Selesai.

Riwayat Keluarga Berencana

Ibu pasien mengaku tidak mengikuti program KB

Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai buruh bangunan dan ibu pasien sebagai ibu rumah
tangga. Penghasilan ayah pasien 1.500.000 per bulan. Ayah pasien menanggung 1
orang anak dan istri.

Kesan: riwayat sosial ekonomi kurang.

Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
No Usia Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Keterangan
Kelamin Mati

1 2 bulan Laki-Laki hidup - - - Sakit

5
Data Perumahan

Kepemilikan rumah : Rumah Pribadi


Keadaan rumah :
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Tempat tinggal pasien
berukuran 5 x 6 m2 terdiri dari 1 kamar, beratap genteng, lantai kramik, dinding tembok,
ruang tamu serta ruang makan jadi satu. Terdapat 2 buah jendela di masing-masing
ruangan, selalu dibuka. Ventilasi udara dan cahaya matahari baik. Kamar mandi dan
toilet berada di dalam rumah. Sumber air berasal dari sumur, jarak antara sumur dengan
septik tank lebih dari 10 meter, penerangan dengan listrik. Sistem pembuangan air
limbah disalurkan melalui selokan di depan rumah. Selokan dibersihkan 1 kali dalam
sebulan dan aliran air di dalamnya lancar. Sampah di buang di kumpulkan dalam satu
wadah dan dibuang setiap hari ke tempat sampah atau di bakar sendiri.
Kesan : rumah dan sanitasi lingkungan baik

PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 14 november 2013 pukul 14.30 WIB di ruang Melati.

Kesan Umum : kesadaran: compos mentis. Tampak sakit sedang ,menangis kuat dan
gerakan masih aktif,kejang (-)

Tanda Vital

Laju Nadi : 134 x/menit, reguler, isi cukup

6
Laju Nafas : 32 x/menit, reguler
Tekanan darah : Tidak dilakukan
Suhu : 36,8 C (aksila)

Data Antropometri
Berat badan sekarang : 5,2 kg

Tinggi Badan: 57 cm

Status Generalis
Kepala
Normochepali, ukuran lingkar kepala 38 cm, ubun-ubun besar belum menutup,
rambut hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut, kulit kepala tidak ada
kelainan.
Mata
Mata cekung (-/-), pupil isokor, diameter 3mm kanan kiri, RCL (+/+), RCTL (+/+),
palpebra oedem (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), katarak kongenital (-/-), glaukoma kongenital (-/-)
Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), bentuk normal, sekret (-/-), septum deviasi (-)
Telinga
Normotia, discharge (-/-)
Mulut
Sianosis (-), stomatitis (-), bercak-bercak putih pada lidah dan mukosa (-), bibir
kering (-), labioschizis (-), palatoschizis (-)
Leher
Pendek, pergerakan baik, pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)

Thorax
Paru
Inspeksi :simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, retraksi suprasternal (-),
subcostal (-), intercostalis (-)
Palpasi : stem fremitus tidak dilakukan, aerola mammae tidak teraba, papilla
mammae (+/+).
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru kiri-kanan
Auskultasi : Suara nafas dasar vesikuler, suara nafas tambahan (-/-), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-), hantaran (-/-)

Jantung
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak

7
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : datar, distensi (-), venektasi (-), darm contour (-), darm stifung (-),
massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : turgor kulit normal, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar.
Perkusi : timpani, shifting dullnes (-)

Genitalia
Laki-laki, penis normal, skrotum normal, testis (+/+)

Anorektal

Anus (+)

Anggota gerak

Keempat anggota gerak lengkap sempurna

Superior Inferior
Akral Dingin -/- -/-
Akral Sianosis -/- -/-
CRT <2 <2
Oedem -/- -/-

Refleks Patologis : Babinksi (-), Oppenheim (-), Gordon (-)


Tanda rangsang meningeal:Kaku kuduk (-), Brudzinksy I (-), Brudzinsky II (-).
Kernig (-), Laseque (-).

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium di lakukan tanggal 14 november 2013

Hematologi Hasil Nilai normal


Leukosit 8.5 6.0- 17.5
Eritrosit 43 3.9-5.5
Hemoglobin 9,0 11.1-14.1
8
Hematokrit 31.3 31.0-41.0
MCV 77 76-96
MCH 27.8 27-31
MCHC 33.3 33.0-37.0
Trombosit 279 150-450
Diff
Netrofil 12.1% 50-70
Limfosit 75.2% 25-40
Monosit 9.6% 2-8
Eosinofil 3 2-4
Basofil 0.1 0-1
LajuEndap
Darah
LED 1 jam 12 mm/jam 0-15
LED 2 jam 20 mm/jam 0-25

PEMERIKSAAN KHUSUS

Data antropometri:

Anak laki-laki usia : 2 bulan

Berat badan : 5,2 kilogram

Panjang badan : 57 cm

Pemeriksaan Status Gizi

Pertumbuhan fisik anak laki-laki 0-36 bulan menurut persentil NCHS

BB/U= 5,2/5,6 x 100%= 92.85 %

PB/U= 57/58,1 x 100%= 98,10%

BB/PB= 5,2/5,1 x 100% = 101,9%

Kesan : berat badan normal, tinggi badan normal, status gizi anak Baik

PERJALANAN PENYAKIT

14 november 2013

9
S: kejang (+) 1x tadi pagi subuh jam 1pagi, 5 menit, kejang seluruh tubuh, tanpa penurunan
kesadaran. Demam (+), BAB (+), BAK (+), batuk (-), pilek (-)

O: KU: compos mentis, tampak sakit sedang, tampak lemah, sianosis (-), kejang (-)

TD: Tidak dilakukan pemeriksaan

HR: 142 x/mnt

RR : 32x/ menit

Suhu : 37,70C

Mata : konjungtiva pucat (-), SI-/-,

Hidung : nafas cuping hidung (-/-)

Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo/ SN vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, Retraksi (-)

Abdomen : datar, supel, Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, timpani, Bising usus
(+) normal.

Genitalia: laki-laki, penis normal, skrotum normal, testis (+/+)

Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem +/+, CRT <2detik

Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem +/+, CRT <2detik

A: observasi kejang

dd:epilepsy

P: Dirawat, IVFD RL 15 tpm, amoxilin 3x 500/3(iv), Zirkumkid 1x cth syrup, PCT syr 3-4x
cth p.o, Luminal (fenobarbital) pulv 3x6mg p.o, asam valproat 2x1,5 ml (syrup), Observasi
kejang, tanda-tanda vital dan KU.

15 november 2013

10
S: kejang (-), demam (-) pagi hari, (+) siang hari, BAB (+), BAK (+), batuk (-), pilek (-)

O: KU: compos mentis, tampak sakit sedang, tampak lemah, sianosis (-), kejang (-)

TD: Tidak dilakukan pemeriksaan

HR: 134 x/mnt

RR : 32x/ menit

Suhu pagi: 36,80C

Suhu siang: 38,40C

Mata : konjungtiva pucat (-), SI-/-,

Hidung : nafas cuping hidung (-/-)

Thorak : Cor/ S1 S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo/ SN vesikuler +/+, Ronkhi -/-, Wh -/-, Retraksi (-)

Abdomen : datar, supel, Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, timpani, Bising usus
(+) normal.

Genitalia: laki-laki, penis normal, skrotum normal, testis (+/+)

Ekstremitas superior : akral hangat +/+, oedem +/+, CRT <2detik

Ekstremitas inferior : akral hangat +/+, oedem +/+, CRT <2detik

A: Observasi Kejang

Dd:epilepsy

P: Dirawat, IVFD DS NS 20 tpm, amoxilin 3x 500/3(iv), Zirkumkid 1x cth syrup, PCT syr
3-4x cth p.o, Luminal (fenobarbital) pulv 3x6mg p.o, asam valproat 2x1,5 ml (syrup),
Observasi kejang, tanda-tanda vital dan KU.

11
DAFTAR MASALAH PADA PASIEN

Aktif:

1. Kejang
2. Demam

Inaktif:
Masih diobservasi tumbuh kembang kedepan akibat kejang.

DIAGNOSA BANDING

Kejang:

Infeksi: Ekstrakranial: Kejang demam sederhana (Simpleks)

Kejang demam kompleks

Intrakranial: Meningitis

Ensefalitis

Gangguan Metabolik dan elektrolit


Epilepsi
SOL (space occupaying lession) di Intrakranial
Perdarahan di Intrakranial

Status Gizi Baik.

DIAGNOSA SEMENTARA

I.Observasi Kejang
II.
Epilepsi
III.
Anemia
IV. Status gizi Baik
PENATALAKSANAAN

A. Terapi Awal
Non-Medikamentosa

12
o Rawat ruang anak
o Observasi kejang
o Observasi TTV dan KU
o Berikan ASI yang baik dan sesuai
Medikamentosa
IVFD DS NS 20 tpm
Amoxilin 3x500/3 (IV)
Asam pravoat 2x 1,5 ml (syrup)
Paracetamol 3x10mg/kgbb/kali 4-6jam
Luminal (fenobarbital) pulv 3x6mg p.o
Zirkumkid 1x1/2 cth syrup
B. Diet:

Menurut American Academy of Pediatric Committee on Nutrition kebutuhan Kalori bayi


0-3 bulan 116kcal./kg./d yang didapatkan hanya melalui Asi dan ditambah Pasi
jika ASI tidak mencukupi

NASEHAT
Selalu sedia obat penurun panas di rumah dan obat anti kejang
Kontrol ke dokter setelah di rawat
Peningkatan penggunaan ASI
Pantau pertumbuhan dan perkembangan anak
Lengkapi imunisasi
Selalu menjaga kebersihan
Hindari anak kontak dengan sumber infeksi

USULAN

Pungsi lumbal
Pemeriksaan Denver Developmental Scoring Test secara berkala
Pemeriksaan gula darah dan elektrolit darah lengkap serta AGD
CT-scan kepala
EEG

PROGNOSA
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

13
Analisa Kasus

Diagnosa pada pasien ini adalah Observasi Kejang.Diagnosa ini berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Didapatkan adanya kejang pada pasien yang didahului dengan panas tinggi. Kejang
timbul 10 jam setelah panas timbul.Namun saat kejang tidak disertai demam. kejang sebanyak
1x, durasi kejang selama 5 menit, kejangnya terjadi di seluruh tubuh (kaki dan tangan kaku),
mata mendelik ke atas, mulut terkatup, tidak ada keluar busa dari mulut pasien. Ibu pasien
mengatakan tidak ada penurunan kesadaran sebelum dan sesudah kejang, pasien menangis.
Kejang timbul pada saat anak tidak demam.

1 bulan yang lalu pernah timbul keluhan kejang yang serupa,namun ibu pasien tidak
yakin anaknya kejang. Saat itu anak tidak demam tidak ada penurunan kesadaran, anak
menangis. Selain itu juga didapatkan bahwa anak intensitas menyusu juga kurang..

Didapatkan kejang pasien ini hanya sebagai observasi kejang karena tidak
memenuhi kriteria kejang demam dan epilepsi.

Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan 5 tahun.

Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam.

Kalau epilepsi biasanya kejang minimal 2x,namun ibu pasien tidak yakin bahwa
waktu itu anaknya kejang sehingga datanya kurang mendukung epilepsi.

Tidak didapatkan adanya Faktor risiko menjadi epilepsi adalah :


1. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
2. Kejang demam kompleks
3. Riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung

Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik di IGD didapatkan, KU compos mentis, tampak sakit sedang,
tampak lemas. HR : 140x/mnt, RR : 36x/mnt, S: 38,00C, konjungtiva anemis (+). Pada
pemeriksaan fisik, tidak didapatkan tanda rangsang meningeal dan defisit neurologis.

14
Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien ini antara lain pemeriksaan darah rutin.
Terdapat penurunan pada netrofil dan HB serta peningkatan pada limfosit .

KEJANG DEMAM

DEFINISI

Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38 0 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Biasanya terjadi pada
anak umur 6 bulan 5 tahun. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian
kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Bila anak berumur kurang dari 6
bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain
misalnya infeksi SSP, epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam.

Pada umumnya kejang demam terjadi pada rentang waktu 24 jam dari awal mulai
demam. Kejang dapat bersifat fokal atau parsial yaitu hanya melibatkan satu sisi tubuh, maupun
kejang umum di mana seluruh anggota gerak terlibat. Bentuk kejang dapat berupa klonik, tonik,
maupun tonik-klonik. Kejang dapat berlangsung selama 1-2 menit tapi juga dapat berlangsung
lebih dari 15 menit

EPIDEMIOLOGI

Kejang demam terjadi pada 2 % - 4 % dari populasi anak 6 bulan - 5 tahun. 80 % merupakan
kejang demam sederhana, sedangkan 20% kasus adalah kejang demam kompleks. 8 %
berlangsung lama (lebih dari 15 menit). 16 % berulang dalam waktu 24 jam. Kejang pertama
terbanyak di antara umur 17 - 23 bulan. Anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam.
Bila kejang demam sederhana yang pertama terjadi pada umur kurang dari 12 bulan, maka
risiko kejang demam ke dua 50 %, dan bila kejang demam sederhana pertama terjadi setelah
umur 12 bulan, risiko kejang demam ke dua turun menjadi 30%. Setelah kejang demam
pertama, 2 4 % anak akan berkembang menjadi epilepsi dan ini 4 kali risikonya dibandingkan
populasi umum.

15
ETIOLOGI

Etiologi dan patogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan tetapi
umur anak, tingginya dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang . Faktor
hereditas juga mempunyai peranan yaitu 8-22 % anak yang mengalami kejang demam memiliki
orangtua yang memiliki riwayat kejang demam pada masa kecilnya. Kejang demam biasanya
diawali dengan infeksi virus atau bakteri. Penyakit yang paling sering dijumpai menyertai kejang
demam adalah penyakit infeksi saluran pernapasan, otitis media, dan gastroenteritis.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr. dr. Lumantobing pada 297 anak penderita
kejang demam, infeksi yang paling sering menyebabkan demam yang akhirnya memicu serangan
kejang demam adalah tonsillitis/faringitis yaitu 34 %. Selanjutnya adalah otitis media akut (31
%) dan gastroenteritis (27%) .

PATOFISIOLOGI

Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh natrium (Na+). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron
tinggi dan konsentrasi Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran ini diperlukan energi yang berasal dari glukosa yang melalui proses oksidasi oleh
oksigen. Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10%-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebanyak 20%. Akibatnya terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion
kalium dan ion natrium melalui membran, sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya
muatan listrik yang cukup besar dapat meluas ke seluruh sel maupun membran sel di dekatnya
dengan bantuan neurotransmiter dan menyebabkan terjadinya kejang. Setiap anak memiliki
ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang dapat terjadi pada suhu 38oC, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi kejang
baru dapat terjadi pada suhu 40oC atau lebih.

16
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya. Tetapi pada
kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnoe sehingga kebutuhan oksigen
untuk otak meningkat dan menyebabkan terjadinya kerusakan sel neuron otak yang berdampak
pada terjadinya kelainan neurologis.

MANIFESTASI KLINIS

Kejang demam dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh
anak. Kontraksi pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat
menangis atau merintih akibat kekuatan kontraksi otot. Kontraksi dapat berlangsung selama
beberapa detik atau beberapa menit. Anak akan jatuh apabila sedang dalam keadaan berdiri, dan
dapat mengeluarkan urin tanpa dikehendakinya. Anak dapat muntah atau menggigit lidahnya.
Sebagian anak tidak bernapas dan dapat menunjukkan gejala sianosis. Pada akhirnya kontraksi
berhenti dan digantikan oleh relaksasi yang singkat. Kemudian tubuh anak mulai menghentak-
hentak secara ritmis (pada kejang klonik), maupun kaku (pada kejang tonik). Pada saat ini anak
kehilangan kesadarannya dan tidak dapat merespon terhadap lingkungan sekitarnya.

KLASIFIKASI

Klasifikasi kejang demam menurut Livingstone

A. Kejang Demam Sederhana:


1. Kejang bersifat umum
2. Lamanya kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
3. Usia saat kejang demam pertama muncul kurang dari 6 tahun
4. Frekuensi serangan 1-4 kali dalam 1 tahun
5. Pemeriksaan EEG normal

B. Epilepsi yang Dicetuskan oleh Demam:


1. Kejang berlangsung lama atau bersifat fokal
2. Usia penderita lebih dari 6 tahun saat serangan kejang demam yang pertama
3. Frekuensi serangan kejang melebihi 4 kali dalam 1 tahun
4. Pemeriksaan EEG yang dibuat setelah anak tidak demam lagi hasilnya abnormal

Sedangkan menurut Fukuyama kejang demam dibagi menjadi (1):

A. Kejang Demam Sederhana:

17
1. Riwayat penyakit keluarga penderita tidak ada yang mengidap epilepsi
2. Sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
3. Serangan kejang demam yang pertama terjadi antara usia 6 bulan-6 tahun
4. Lamanya kejang berlangsung tidak lebih dari 20 menit
5. Kejang tidak bersifat fokal
6. Tidak didapatkan gangguan atau abnormalitas pasca kejang
7. Sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis atau abnormalitas
perkembangan
8. Kejang tidak berulang dalam waktu singkat

B. Kejang Demam Kompleks


Kejang demam yang tidak memenuhi kriteria di atas digolongkan sebagai kejang demam
kompleks.
Sekitar 80-90 % dari keseluruhan kasus kejang demam adalah kejang demam sederhana.

DIAGNOSIS

Diagnosis kejang demam hanya dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-


penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,
perubahan akut pada keseimbangan homeostasis air dan elektrolit, dan adanya lesi struktural
pada sistem saraf misalnya epilepsy. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang menyeluruh untuk menegakkan diagnosis ini.

Anamnesis

1. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis meningitis


encephalitis)
2. Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
3. Riwayat demam (sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik turun)
4. Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi saluran napas, otitis
media, gastroenteritis)
5. Waktu terjadinya kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
6. Sifat kejang (fokal atau umum)
7. Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
8. Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam atau
epilepsi)
9. Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
10. Trauma

18
Pemeriksaan Fisik

1. Temperatur tubuh
2. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (infeksi
saluran napas, otitis media, gastroenteritis)
3. Pemeriksaan reflex patologis
4. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis meningitis,
encephalitis)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan elektrolit, pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk menyingkirkan


gangguan metabolisme yang menyebabkan perubahan homeostasis apabila pada
anamnesis ditemukan riwayat muntah, diare, gangguan asupan cairan, dan gejala
dehidrasi.
2. Pemeriksaan Cerebro Spinal Fluid (CSF) untuk menyingkirkan diagnosis meningitis
encephalitis apabila anak berusia kurang dari 12 bulan, memiliki tanda rangsang
meningeal positif, dan masih mengalami kejang beberapa hari setelah demam
3. CT Scan cranium pada umumnya tidak diperlukan pada kejang demam sederhana yang
terjadi pertama kali, akan tetapi dapat dipertimbangkan pada pasien yang mengalami
kejang demam kompleks untuk menentukan jenis kelainan struktural berupa kompleks
tunggal atau multipel.
4. EEG pada kejang demam tidak dapat mengindentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksikan terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat dipertimbangkan pada
kejang demam kompleks.

TATALAKSANA

A. Antipiretik dan Antibiotik


Antipiretik diberikan sebagai pengobatan simptomatis terhadap demam. Dapat diberikan
paracetamol dengan dosis untuk anak yang dianjurkan 10-15 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam
atau ibuprofen 5-10 mg/kgBB/hari tiap 4-6 jam. Antibiotik untuk mengatasi infeksi yang
menjadi etiologi dasar demam yang terjadi.

19
B. Penanganan Kejang pada Anak
Hal pertama yang harus diperhatikan adalah tersumbat atau tidaknya jalan napas.
Selanjutnya dilakukan pemberian oksigen, dan menghentikan kejang dengan cara:

Pemberian obat rumatan


Indikasi pemberian obat rumatan
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salah satu):
1. Kejang lama > 15 menit
2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, palsi serebral, retardasi mental, hidrosefalus.
3. Kejang fokal

20
4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
. kejang demam > 4 kali per tahun
Penjelasan:
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat
Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik
Jenis obat antikonvulsan
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang (level I). Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam
benign dan efek samping penggunaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus
menerus diberikan dalam jangka pendek, dan pada kasus yang sangat selektif (rekomendasi D).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar
(40 - 50 %). Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis
namun insidensnya kecil. Dosis asam valproat 15 - 40 mg/kg/hari dalam 2 - 3 dosis dan
fenobarbital 3 - 4 mg/kg per hari dalam 1 - 2 dosis.
Lama pengobatan rumatan
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.
Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak perlu
menyebabkan kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsy berbeda-beda tergantung dari
cara penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%, sedangkan Living stone
(1954) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan 2,9% yang menjadi epilepsi, dan
golongan epilepsy yang diprovokasi oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsy.
Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam
tergantung dari factor:

21
1. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
2. kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam
3. kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang demam tanpa demam sekitar 13%, disbanding bila hanya terdapat 1
atau tidak sama sekali factor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.
Hemiparesis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung
lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya sesuai kejang fokal yang
terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi setelah 2 minggu timbul spasitas. Dari
suatu penelitian terdapat 431 pasien dengan kejang demam sederhana, tidak terdapat kelainan
pada IQ. tetapi pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan
perkembangan atau kelaianan neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan
saudaranya. Jika kejang demam diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi
mental akan terjadi 5 kali lebih besar.
Kejang demam bersifat benigna. Angka kematian hanya 0,64%-0,75%. Sebagian besar
penderita kejang sembuh sempurna, sebagian kecil berkembang menjadi epilepsy sebnyak 2-7%.
Empat pasien penderita kejang demam secara bermakna mengalami gangguan tingkah laku dan
penurunan tingkat intelegensi.

22
EPILEPSI

DEFINISI

Epilepsi berasal dari kata Yunani epilambanien yang berarti serangan dan menunjukan
bahwa sesuatu dari luar tubuh seseorang menimpanya, sehingga dia jatuh.

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure)
yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten,
yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara
paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) merupakan manifestasi klinik dari bangkitan serupa
(stereotipik) yang berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan
kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Sedangkan sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang terjadi
secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur, awitan, jenis bangkitan, faktor
pencetus dan kronisitas.

KLASIFIKASI EPILEPSI

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan menjadi 2
yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi.

Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

1. Bangkitan Parsial

Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,

A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

3. Dengan gejala autonom

23
4. Dengan gejala psikis

B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan kesadaran

2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan

C. Parsial yang menjadi umum sekunder

1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik

2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

2. Bangkitan Umum

A. Absence / lena / petit mal

Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam beberapa detik
(sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam tanpa reaksi. Seragan ini
biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4 sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran
hilang, tonus otot skeletal tidak hilang sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata
penderita akan memandang jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan
benda yang sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya
lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan menunjukan gambaran
yang khas yakni spike wave yang berfrekuensi 3 siklus per detik yang bangkit secara
menyeluruh.

B. Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal
yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi , tidak disertai
gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat
disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh
ensepalopati metabolik.

C. Tonik

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan
dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi.

24
D. Tonik-klonik /Grand mal

Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak
kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan
tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa menggigit
lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar
secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

E. Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot skelet yang
muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak. Gambaran klinis yang terlihat
adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang berulang dan
terjadinya cepat.

F. Atonik

Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot dan terjatuh
secara tiba-tiba.

3. Tak Tergolongkan

Klasifikasi untuk epilepsi dan sindrom epilepsi yakni,

1. Berkaitan dengan lokasi kelainanny (localized related)

A. Idiopatik (primer)

B. Simtomatik (sekunder)

C. Kriptogenik

2. Epilepsi umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan peningkatan usia

A. Idiopatik (primer)

B. Kriptogenik atau simtomatik sesuai dengan peningkatan usia (sindrom west, syndrome
lennox-gasraut, epilepsi lena mioklonik dan epilepsi mioklonik-astatik)

C. Simtomatik

3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal dan umum

A. Bangkitan umum dan fokal

25
B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum

4. Sindrom khusus : bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.

A. kejang demam

B. status epileptikus yang hanya timbul sekali (isolated)

C. bangkitan yang hanya terjadi karena alkohaol, obat-obatan, eklamsi atau hiperglikemik non
ketotik.

D. Epilepsi refrektorik

ETIOLOGI EPILEPSI

Sekitar 70% kasus epilepsi yang tidak diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi
idiopatik dan 30% yang diketahui sebabnya dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik,
misalnya trauma kepala, infeksi, kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak,
toksik dan metabolik. Epilepsi kriptogenik dianggap sebagai simptomatik tetapi penyebabnya
belum diketahui, misalnya West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome.

Penyebab spesifik dari epilepsi antara lain ;

1. Kelainan yang terjadi selama kehamilan/perkembangan janin contohnya ibu mengkonsumsi


obat-obatan tertentu yang dapat merusak otak janin, minum-minuman alkhohol atau
mendapatkan terapi penyinaran.

2. Kelainan yang terjadi saat kelahiran (bayi baru lahir) :

- Brain malvormation

- Gangguan oksigenasi sebelum lahir (Hipoksia-Asfiksia)

- Gangguan elektrolit

- Gangguan metabolisme janin

- Infeksi

3. Saat usia bayi anak-anak

- demam (kejang demam)

26
- tumor otak (jarang)

- infeksi

4. Saat usia anak dewasa

- Kelainan kongenital sepeti sindrom down, neurofibromatosis, dll.

- Faktor genetik dimana bila salah satu orang tua epilepsi (epilepsi idiopatik) maka kemungkinan
4% anaknya epilepsi, sedangkan bila kedua orang tuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya
epilepsi menjadi 20%-30%.

- Penyakit otak yang berjalan secara progresif seperti tumor otak (jarang)

- Trauma kepala

5. Saat usia tua/lanjut

- Stroke

- Penyakit Alzeimer

- Trauma

PATOFISOLOGI EPILEPSI

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari

pada proses inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, pergeseran


konsentrasi ion ekstraseluler, voltage-gated ion channel opening, dan

menguatnya sinkronisasi neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi dan perambatan
aktivitas serangan epileptik. Aktivitas neuron diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang
ekstraseluler dan intraseluler, dan oleh gerakan keluar-masuk ion-ion menerobos membran
neuron.

Lima buah elemen fisiologi sel dari neuronneuron tertentu pada korteks serebri penting dalam
mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:

1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon depolarisasi
diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+ secara perlahan.

2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang memungkinkan


adanya umpan balik positif yang membangkitkan dan menyebarkan aktivitas kejang.

27
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal pada
daerah tertentu di korteks, termasuk pada hippocampus, yang bias dikatakan sebagai tempat
paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah potensial luas,
yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas elektrik.

4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk juga merekrut respon NMDA)
menjadi ciri khas dari jaras sinaptik di korteks.

5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan dari
frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.

Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami
depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan
berulang-ulang. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah
besar neuron abnormal muncul secara bersamasama, membentuk suatu badai aktivitas listrik di
dalam otak. Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda

(lebih dari 20 macam), bergantung pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.
Dengan demikian dapat dimengerti apabila epilepsi tampil dengan manifestasi yang sangat
bervariasi.

Sebagai penyebab dasar terjadinya epilepsi terdiri dari 3 katagori yaitu :

1. Non Spesifik Predispossing Factor ( NPF ) yang membedakan seseorang peka tidaknya
terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain. Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan
bangkitan epilepsi hanya dengan dosis rangsangan berbeda-beda.

2. Specific Epileptogenic Disturbances (SED). Kelainan epileptogenik ini dapat diwariskan


maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas timbulnya epileptiform activity di otak.
Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja sama SED dan NPF.

3. Presipitating Factor (PF). Merupakan faktor pencetus terjadinya bangkitan epilepsi pada
penderita epilepsi yang kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat
membangkitkan reactive seizure dimana SED tidak ada.

Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekuler yang banyak dianut sekarang adalah :

Membran neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion kalium dan ion klorida, tetapi
sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi
ion kalium dalam sel ( intraseluler ), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler

28
tinggi. Sesuai dengan teori dari Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar
sel, bila natrium ini memasuki sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium. Bangkitan
epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak mengikuti pola yang
normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls.

Sinkronisasi ini dapat terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak,
secara teori sinkronisasi ini dapat terjadi.

1. Fungsi jaringan neuron penghambat ( neurotransmitter GABA dan Glisin ) kurang optimal
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.

2. Keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik ( Glutamat dan Aspartat ) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.

Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma
aminobutyric acid ) tidak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata
kandungan GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial postsinaptik
( IPSPs = inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA. Suatu hipotesis
mengatakan bahwa aktifitas epileptic disebabkan oleh hilang atau kurangnya inhibisi oleh
GABA, zat yang merupakan neurotransmitter inhibitorik utama pada otak. Ternyata pada GABA
ini sama sekali tidak sesederhana seperti yang disangka semula. Riset membuktikan bahwa
perubahan pada salah satu komponennya bias menghasilkan inhibisi tak lengkap yang akan
menambah rangsangan. Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron saja,
sekelompok besar atau seluruh neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok
neuron ini menimbulkan manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2
penyebabnya yaitu fungsi neuron penghambat kurang optimal ( GABA ) sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik secara berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik
( Glutamat ) berlebihan. Berbagai macam penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan
keseimbangan antara neuron inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan heriditer, kongenital,
hipoksia, infeksi, tumor, vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul
epilepsi bila ada rangsangan yang memadai. Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada
abnormalitas otak antara lain di hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu
menyebabkan kenaikan eksitabilitas neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan
selanjutnya menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita
epilepsi yang mati selalu didapatkan kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak
mengherankan bila lebih dari 50% epilepsi parsial, fokus asalnya berada di lobus temporalis
dimana terdapat hipokampus dan merupakan tempat asal epilepsi dapatan. Pada bayi dan anak-
anak, sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik, gangguan metabolik,
gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa kemusnahan neuron-neuron
serta sel-sel glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada gilirannya dapat membuat
neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak akibat trauma, infeksi,
gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembangkan epilepsi. Akan tetapi
anak tanpa brain damage dapat juga menjadi epilepsi, dalam hal ini faktor genetik dianggap
penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne centrotemporal

29
epilepsy.Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepsi idiopatik, melalui
mekanisme yang sama.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui anamnesis dan
pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat
ditegakkan.

1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak
pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang
terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)
merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekwensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

30
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur
dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat
menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.34

3. Pemeriksaan penunjang

a. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.

1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.

2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding seharusnya misal
gelombang delta.

3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya
gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3 spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran
EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video
EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan
untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat
untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk
kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat
diperlukan pada persiapan operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan
melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI lebih sensitif dan secara
anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan
dan kiri

31
PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada
beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi
frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta
menurunkan angka kesakitan dan kematian.

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni,

1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat
minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih
dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan
tersebut.

2. Terapi dimulai dengan monoterapi

3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka
ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya
diturunkan secara perlahan.

5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontorl
dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya

1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor
NMDA, monoamine dan asetilkolin.

2. Fenitoin : Blok sodium channel dan inhibisi aksi konduktan kalsium dan klorida dan
neurotransmitter yang voltage dependen

3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas glutamate,


emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium.

4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T)
dan kalium.

5. Levetiracetam : Tidak diketahui

6. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N

32
7. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent

8. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas


chanel.

9. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride, modulasi


efek reseptor GABAA.

10. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate.

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa
kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara bertahap
setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian
membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. Ada 2 syarat yang penting diperhatika
ketika hendak menghentikan OAE yakni,

1. Syarat umum yang meliputi :

- Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana penderita
sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan.

- Gambaran EEG normal

- Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6bulan.

- Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.

2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya.

- Epilepsi simtomatik

- Gambaran EEG abnormal

- Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan.

- Penggunaan OAE lebih dari 1

- Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

- Mendapat terapi 10 tahun atau lebih.

33
- Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama
3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan
dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.


2. Behrman RE, Kliegman RM, Jensen HB, Nelson Text book of pediatrics, 17 th edition.
Philadelphia: WB Sauders company. 2004. Page 1813- 1829.
3. W Hay, William. Current Diagnosis and Treatment of Pediatrics. 19 th edition. United
States of America: McGrawHill. 2009. Page 697-698.
4. ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993;34;592-8

5. Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam : Baram TZ,
Shinnar S, eds, febrile seizures, San Diego : Academic Press 2002;p.1-20.

6. Pusponegoro, Hardiono; Seri Rejeki Hadinegoro; Dody Fimanda; dkk. Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. IDAI. Edisi: 1. Jakarta: 2004.

34

Anda mungkin juga menyukai